“Beautiful trees still rise from ugly seeds”
Peter Rabbit is a bad seed. Di antara kelinci-kelinci peliharaan Bea, Peter yang paling bandel. Dalam film pertamanya saja (rilis tahun 2018) Peter ngebully Thomas McGregor, manusia yang jadi musuh bebuyutannya, yang punya alergi buah blackberry dengan melempar blackberry tersebut hingga tepat masuk ke mulut. Prank yang begitu kelewatan, sampai-sampai Sony Pictures harus meminta maaf kepada publik perihal adegan tersebut.
Agaknya, insiden itulah yang jadi inspirasi bagi sutradara dan penulis naskah Will Gluck untuk cerita sekuel dari karakter kelinci yang awal fenomenanya berasal dari buku kanak-kanak di Inggris ini. Gluck mengedepankan tema Peter sekarang aware bahwa dia dicap bandel oleh orang lain. Gluck ingin membuat pesan yang menyuarakan tentang mengenali self-worth, kepada penonton. Karena bandel tentu saja tidak berarti jahat. Like, bandel pada kendaraan justru berarti hal yang bagus. Sehingga untuk benar-benar menghidupi tema tersebut, Gluck pun mengonsep film kedua ini sebagai film yang bandel. Enggak cukup hanya dengan menjadi meta, Peter Rabbit 2 kini melompat melewati batas aturan dunianya sendiri.
Semenjak gencatan senjata, yakni peristiwa sakral Bea menikah dengan Thomas, kelinci berjaket biru tokoh utama kita ini memang berusaha bersikap manis. Tidak lagi dia mengganggu kebun sayur milik Thomas. Peter bahkan menjaga kebun tersebut dari hewan-hewan lain. Sayangnya, belum semua orang dapat melihat perubahan sikap Peter. Image nakal dan bandel tetap melekat kepadanya. Buktinya, saat Bea dan Thomas bertemu dengan produser yang tertarik untuk membesarkan buku karangan Bea tentang Peter dan kawan-kawan menjadi sebuah franchise raksasa, Peter mendapati karakternya di dalam cerita itu akan tetap dibuat sebagai karakter yang bandel. Peter lantas jadi pundung dengan semua orang. Peter minggat, dan di jalanan kota London itulah Peter bertemu dengan seorang kelinci tua. Kelinci yang percaya kepadanya. Kelinci yang bertindak selayaknya ayah baginya. Kelinci, yang mengajaknya untuk bergabung ke dalam misi mulia merampok makanan di Farmer’s Market.
So yea, ada lebih banyak yang terjadi pada film kedua ini. Peter Rabbit 2: The Runaway memang mengadopsi istilah sequel is bigger. Yang kita ikuti bukan saja petualangan Peter menjalankan misi, tapi juga persiapan seperti pada film heist beneran. Mengumpulkan teman-teman, bikin rencana, dan lain sebagainya. Sesekali kita juga akan dibawa berpindah mengikuti Bea yang harus mengarang buku cerita sesuai dengan pesanan. Paralel di sini adalah Peter dengan Bea. Keduanya sama-sama bertemu dengan orang yang mereka kira nurturing, peduli, dan mengembangkan diri mereka yang sebenarnya. Padahal sebenarnya Bea dan Peter sedang dimanfaatkan. Film sudah menyiapkan banyak sekali lelucon slaptick – bahkan lebih banyak daripada film pertama – supaya tone cerita tidak menjadi terlalu sentimentil. Seperti misalnya ketika Peter yang berjalan sendirian bersedih hati, film menggunakan banyak treatment komedi seperti Peter terjatuh ke semen basah dan sebagainya. Komedinya naik bertahap menjadi lebih kreatif saat menggunakan musik latar sebagai candaan. Aku ngakak di adegan tupai nyanyiin lagu Green Day, dan bagaimana si tupai penyanyi itu jadi running joke yang muncul bikin Peter heran setiap kali dia menggalau. “Kok elu bisa tahu isi hati gue?” kurang lebih begitu pertanyaan si Peter kepada Tupai hahaha
Sebagai cerita yang memang berasal dari materi untuk anak-anak, film ini perlu untuk menjadi total menghibur. Ini lompatan nekat pertama yang dilakukan oleh film. Peter Rabbit dan teman-teman yang di buku aslinya adalah dongeng sederhana untuk dibacakan sebagai cerita pengantar tidur, kini dibuat total konyol, enggak banyak beda ama film kartun ala Looney Tunes. Dan supaya stay true dengan tema aware kepada true self, film memperlakukan komedi tersebut dengan cara meta. Yang artinya, para karakter dalam film ini dibuat mengenali perbuatan mereka yang disejajarkan dengan mengenali hal di dunia nyata kita, para penonton mereka. Semacam breaking the fourth wall cara-halus. Peter di film ini menyebut tindakan mereka sudah semakin mirip adegan kartun, misalnya. Atau ketika ada karakter yang menyebut betapa menjengkelkannya suara Peter terdengar. This rings so true karena suara James Corden yang mengisinya memang benar-benar annoying. Film membuat karakternya sendiri mengacknowledge ini dengan beberapa kali mempraktekkan dan mempertanyakan suaranya.
Kemetaan tersebut tidak hanya dilakukan sebagai selingan komedi. Namun juga actually dijadikan bagian dari plot. Ini kita lihat pada porsi Bea. Dia disuruh menulis cerita yang lebih fantastis. Kelinci-kelinci pada ceritanya disuruh supaya enggak hanya berkutat di perkebunan di rumah saja. Melainkan harus bertualang di kota, di pantai, bahkan kalo perlu hingga ke angkasa. Kelinci-kelinci tersebut disuruh melakukan berbagai aksi, seperti kebut-kebutan ataupun berkeliling dunia menyelamatkan teman-teman mereka. Film sudah menyiapkan punchline untuk plot poin tersebut dengan membuat ‘Peter dan kawan-kawan yang sebenarnya’ benar-benar melakukan hal yang jadi materi untuk buku karangan Bea. Peter akan benar-benar ngebut-ngebutan untuk menyelamatkan teman-temannya yang tersebar ke berbagai penjuru
Untuk mendaratkan cerita (dan semuanya) supaya enggak benar-benar sampai ke luar angkasa, film mengikat permasalahan Peter berakar pada masalah keluarga. Dalam hal ini, permasalahan seputar relationship seorang anak kepada ayah. Dan juga sebaliknya; permasalahan bagaimana menjadi ayah kepada seseorang yang dianggap sebagai anak. Peter yang tampak bandel bagi Thomas, dan masalah Peter yang langsung marah dikatain bandel despite usahanya untuk jadi lebih baik — ini adalah masalah ayah dan anak, written all over it! Mereka berdua hanya harus menyadari itu, sehingga Peter sebenarnya tidak perlu lagi mencari father figure ke tempat lain. Dan inilah sebabnya kenapa karakter Thomas McGregor – yang di film pertama merupakan semacam antagonis utama – kali ini lebih mencuri perhatian ketimbang Bea, atau Peter sekalipun. Thomas memang masih kebagian porsi konyol juga (dia lari ngejar mobil itu ‘kartun’ banget dan favoritku adalah pas adegan menangisi rusa – comedic timing Domhnall Gleeson dapet banget!) tapi fungsi karakternya kali ini terutama adalah sebagai sarana penyadaran untuk Bea dan Peter. Dia menunjukkan cinta yang kuat. Meskipun masih sering bertengkar dengan Peter, tapi semua itu ada alasannya. Adegan Thomas ngobrol dengan Peter di menjelang babak tiga akan jadi hati untuk film ini.
Masalah Peter memang berakar dari absennya seorang ayah di dalam hidup. Peter jadi percaya dirinya berbeda, seorang ‘bad seed’. Tapi meskipun memang benar, Peter bandel, dan ayahnya seorang pencuri seperti yang diceritakan si Kelinci Tua, tidak berarti Peter harus tumbuh menjadi bener-bener bad. Karena kualitas seseorang tidak ditentukan dari bibitnya.
Wait, Thomas ngobrol dengan Peter??
Ya, sayangnya ini adalah hal yang aku merasa perlu untuk disebutkan sebagai spoiler, karena ini adalah satu lagi lompatan maut yang dilakukan oleh film. Untuk menjadi sebandel Peter, film merasa perlu untuk melanggar aturan buku Peter Rabbit, yakni hewan-hewan lucu itu tidak bicara kepada manusia. Film pertama menghandle aturan ini dengan lebih baik, mereka mencari celah supaya komunikasi bisa tetap terjadi. Namun, film kedua ini, mereka langsung saja seperti sebuah cara gampang untuk mengomunikasikan feeling antara Peter dan Thomas. Ya, secara konsep memang masuk, tapi tidak berarti tampak bagus dari kacamata penulisan skenario. Atau bahkan dari kacamata para fans hardcore, yang bisa aku bayangkan pada surprised. Karena kekhasan Peter Rabbit sendiri jadi ilang. Yang jelas, dari penulisan, aku memang berharap momen ‘wejangan’ seperti ini tidak digampangkan atau tidak dibikin ada begitu saja. There should be more clever and sweet ways untuk membuat hewan dan manusia membicarakan perasaan mereka dan memecahkan masalah bersama.
Film memang lantas jadi full over-the-top. Benar-benar melanggar bukunya, dengan adegan yang dipersembahkan sebagai meta itu tadi. Dengan pesan yang gak jelas lagi apa sasarannya. Peter Rabbit memang menjadi franchise sukses di dunia nyata, sementara di film ini kita melihat karakter Bea (yang merupakan nama asli penulis Peter Rabbit) enggak suka Peter Rabbit menyimpang dan jadi semata produk jualan. Tapi film di akhir memperlihatkan Peter Rabbit dan Bea benar-benar bertualang, melakukan hal menyimpang yang ia tolak sebagai buku berikutnya. Sehingga becandaan metanya ini jadi kabur, apa tujuannya. Kenapa film malah melakukan hal yang semestinya adalah ‘salah’ menurut kompas ceritanya. Dan ini membuat film jadi pretentious.
Orang Jawa bilang lihatlah sesuatu dari bibit, bobot, dan bebetnya. Well, untuk bobot, film ini punya muatan yang berharga sebagai tontonan keluarga. Yang membuatnya bisa konek dengan anak-anak, maupun orang tua. Untuk kriteria bebet, film ini punya konsep yang lebih unik dibandingkan film pertamanya. Tampil lebih berani, melompati banyak resiko untuk menjadi berbeda; menjadi lebih besar daripada bibitnya. Hal ini dapat jadi hal yang positif, jika menjadi berbeda dan lebih besar itu mengarah kepada kepastian menjadi better. Sayangnya film ini malah terlihat seperti menertawai bibitnya sendiri. Mencoba jadi beda tapi tidak berhasil memperjelas poin utama dari konsep yang mereka lakukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY.
That’s all we have for now.
Ngomong-ngomong soal bibit-bobot-bebet, apakah menurut kalian menilai seseorang dari tiga kriteria tersebut masih relevan di masa sekarang ini?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA