BECKETT Review

“There is not a thing as the wrong place, or the wrong time.”

 

Aku tidak tahu Beckett garapan sutradara asal Italia, Ferdinando Cito Filomarino, bakal nyeritain tentang apa. Seperti biasa, aku gak nyari info filmnya, gak nontonin trailer. Aku suka ‘datang’ ke sebuah film dengan sesedikit mungkin tahu tentangnya. Langsung nonton aja, apapun film yang keluar. Beckett, at first, terlihat seperti cerita sepasang manusia yang dimabuk cinta. Tapi kemanisan yang mereka tunjukkan di sepuluh menit pertama itu membuatku waspada.  Apakah ini memang kisah cinta dua pasangan yang berurusan dengan perbedaan-perbedaan kecil mereka? Seems convenient mengingat John David Washington yang jadi lead di sini pernah juga memainkan drama pasangan dalam Malcolm & Marie (2021).  Tapi hey, Washington juga bermain di Tenet (2020), jadi mungkin saja ini berubah jadi thriller laga. Atau malah siapa tau ini beneran dari kisah nyata, seperti BlacKkKlansman yang dibintangi Washington di tahun 2018. 

Jangankan yang nonton, bahkan si Beckett sendiri enggak tahu dia sedang dalam cerita apa. Beckett akan terus berlari dan berlari dan berlari di sepanjang narasi yang memuat bahasan seperti kasus penculikan, konspirasi politik, dan kebobrokan polisi. 

beckettx1080
Jika kisah cintamu terasa seperti too good to be true, siap-siaplah lari!

 

Turns out, Beckett adalah cerita tentang seseorang yang berada di tempat yang salah, di waktu yang salah. Beckett dan pacarnya lagi liburan di pelosok Yunani. Malang menimpa malam itu. Mereka kecelakaan. Beckett yang mengantuk membuat mobil mereka melayang keluar dari jalan. Nyungsep ke dalam sebuah rumah. Pacar Beckett tewas. Beckett? Dia melihat sesuatu yang harusnya tidak boleh ia lihat di sana. Beckett yang selamat dari kecelakaan, menjadi ‘ancaman’ bagi kelompok orang yang gak mau rahasia mereka terbongkar. Alhasil, Beckett pun jadi buruan. Dikejar-kejar oleh wanita misterius, dan polisi berjanggut yang gak segan membunuhi orang-orang. Pelarian Beckett menuju keselamatan di Kedutaan menjadi sebuah aksi menyelamatkan diri yang nyaris mustahil. Karena apparently, di tengah memanasnya situasi politik di Yunani, Beckett gak tahu harus percaya kepada siapa.

Udah kayak gabungan ketiga film Washington terdahulu, cuma gak kisah nyata aja. Dan tentunya gak ada elemen time-travel (oh boy, padahal si Beckett pastilah pengen banget bisa time travel). Film ini mengambil pendekatan yang lebih grounded. Beckett adalah manusia biasa, cowok yang biasa-biasa saja. Dia sama-sama kurang bertanggung jawab dengan kita semua yang males nelfon hotel untuk konfirmasi kedatangan. Beckett yang berlibur ke Yunani bahkan gak mau repot untuk belajar bahasa sono barang sedikit. Naskah film actually cukup berhasil mengolah suspens dari karakteristik Beckett tersebut. Film tidak sekadar mencuatkan warna kulit Beckett, membuatnya kentara dan jadi penguat tantangan bahwa tidak ada tempat bersembunyi baginya. Film juga membuat perbedaan bahasa jadi pemantik ketegangan. Dengan sengaja bahasa lokal Yunani tidak diberikan subtitle, sehingga kita jadi sejajar dengan Beckett. Kita jadi sama gak tahunya, yang tentu saja lantas membuat kita jadi turut peduli dan pengen ikut menguak apa yang terjadi.

Washington memerankan orang biasa yang terjebak dalam situasi tak biasa, dengan cukup meyakinkan. Dia tampak distant dan canggung di antara orang-orang lokal. Dengan tangan cedera itu berlari menyusur hutan sambil terpincang dan terbungkuk-bungkuk dalam usaha menyembunyikan diri. Kebingungan Beckett juga terpancar dari wajahnya. Dia enggak tahu apa yang terjadi, apa yang harus ia lakukan. Stakenya di sini adalah hidup atau mati. Film membuat rintangan terus naik baginya. Dia ketemu orang-orang, beberapa membantu, beberapa jadi korban karena membantu, dan tentu saja beberapa ikut memburunya. Dalam usaha untuk membuat hal-hal tetap naik, supaya suspens tetep kenceng, perlahan film mulai meninggalkan bumi. Alias tidak lagi berada di jalur yang grounded. Setelah turning-point saat Beckett tidak bisa mundur lagi, dan dia mulai bertekad untuk menyelamatkan kasus penculikan, aksi-aksi film jadi semakin konyol. Beckett terus tertembak dan terluka, tapi dia terus berlari. Kita mengerti perubahan dirinya yang kini enggak lagi berlari untuk menyelamatkan diri, melainkan berlari untuk, katakanlah, jadi pahlawan. Yang tidak kita mengerti adalah kenapa aksi-aksi yang ia lakukan itu tidak lantas membunuhnya. Serius deh, nyawa Beckett tidak pernah lebih terancam lagi di akhir itu. Dia justru tampak lebih mungkin untuk mati karena ulahnya sendiri ketimbang karena ditembak oleh polisi jahat. Bagaimana orang biasa seperti Beckett bisa terjun dari parkir lantai atas, dengan selamat menimpa atap mobil yang melaju keluar, yang bahkan tidak bisa ia lihat datangnya. Ini timing dewa yang SpiderMan aja butuh latihan mencobanya hahaha

BECKETT (2021) John David Washington as Beckett. Cr: Yannis Drakoulidis/NETFLIX
Si Beckett berbakat jadi superhero

 

Selagi Beckett berlari-lari, mari kita menyelami kejadian yang membangun narasi film ini. Apa yang sebenarnya ingin film ini katakan dengan masalah politik, dan bahkan dengan memperlihatkan hubungan Beckett dan pacarnya dengan sangat elaborate.

Not. Much.

Beckett dan pacarnya (diperankan dengan semakin manis oleh Alicia Vikander) mengambil porsi waktu yang terlalu lama di pembuka. Inilah yang actually membuat kita kebingungan film ini sebenarnya cerita tentang apa. Di sepuluh menit pertama itu, yang terlandaskan sempurna adalah hubungan Beckett dan tanggungjawabnya terhadap sang pacar. Sedangkan permasalahan kecamuk politik dan kasus peculikan hanya diperlihatkan sekilas lewat tayangan televisi yang menyala di kafe. Padahal film ini justru ternyata sebaliknya. Lebih soal lari-larian Beckett yang tak-sengaja terlibat di dalam situasi politik tersebut, dan gak banyak tentang pacarnya. Dari set up dan sepuluh menit pertama yang dilakukan, film mestinya membuat Beckett kerap teringat dengan pacarnya. Seharusnya meaning relationship tersebut bagi Beckett diperlihatkan punya peranan besar terhadap perjuangan survivalnya. Ceritanya seharusnya sering circled-back ke relationship tersebut. Tapi yang ada, dalam babak perjuangannya itu, hanya satu kali Beckett ‘kembali’ ke persoalan pacarnya. Konflik dari dia basically telah bikin pacarnya yang berspirit manic-pixie itu celaka seperti absen di sebagian besar cerita lari-larian, dan kemudian dimunculkan lagi begitu saja saat film memutuskan sudah saatnya membuat Beckett menyadari pembelajaran.

Ya, kita ngerti satu-satunya circled-back yang dilakukan oleh film memang adalah yang paling penting. Itu adalah momen ketika Beckett yang menyesali dirinya membawa sang pacar ke tempat yang salah, ternyata melihat makna dari mereka berada di sana; di rumah itu, bersimbah darah, and all. Dia di sana untuk menyelamatkan seseorang. Namun penulisan film dalam menggarap itu tidak benar-benar rapi menyulamnya. Penyadarannya terasa mendadak, karena sebagian besar waktu film heboh di adegan lari-larian dan membahas konspirasi politik yang terjadi.

Enggak ada yang namanya berada di tempat yang salah, di waktu yang salah. Karena di manapun kita berada, kita seharusnya bisa membuat sesuatu yang positif. Tugas kitalah untuk membuat setiap detik hidup menjadi bermakna. Kemungkinannya justru sebaliknya. Kita bisa jadi selalu ditempatkan where we meant to be.

 

Di lain pihak, soal politik, dan soal polisi bobrok segala macam yang dijadikan fokus cerita itupun tidak pernah diselami lebih dalam. Melainkan hanya kulit luar. Hanya situasi yang perlahan dikuak dan diketahui oleh Beckett. Kecamuk politik yang jadi latar Beckett lari-lari itu, yang memang cuma dijadikan latar. Tak lebih sebagai tempat film memuat revealing-revealing. Oh ternyata ini yang jahat. Ternyata yang itu yang baik. Kan, sudah kuduga ada di sana. Jadi cara supaya film tetap bisa punya sesuatu untuk memancing keseruan aja. Inilah yang membuat Beckett jadi sajian yang hampa. Tidak menantang kita. Hanya membuat kita ikut ngos-ngosan capek melihat Beckett dikejar ke sana kemari. melihat Beckett bertingkah kaku dan ketakutan dan kebingungan di antara orang-orang lain. Sutradara seperti cuma menyuruh para aktornya untuk lari dan mengucapkan dialog, tanpa banyak muatan visi yang dia kembangkan dari naskah – yang juga ditulis dengan kurang dalam dan tidak rapi.

 

 

 

Ini adalah jenis film yang dibuat dengan mementingkan bagaimana supaya penonton tetap merasa surprise. Openingnya dibuat seolah tentang kisah pasangan. Kita tidak akan tahu ini cerita tentang apa dengan melihat menit-menit pembukanya. Situasi atau konspirasi politik dipakai supaya cerita bisa punya banyak pengungkapan. Sebenarnya ini bisa bekerja dengan efektif, jika dibarengi dengan penulisan dan arahan yang jitu. Film ini tidak punya dua hal tersebut. Penulisannya tipis. Arahannya, malah ikut berlari-lari. Dari yang cukup grounded, ke menjadi aksi-aksi yang konyol. Dari yang tadinya aktingnya kaku karena disengaja, jadi malah seperti kayak gak diarahin. Nonton film ini toh memang terasa seru. Tapi seru yang bikin capek. Kayak abis lari-larian keliling pot kembang tanpa alasan.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for BECKETT.

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa menurut kalian kita merasa berada di tempat dan waktu yang salah? Apakah itu sebuah wujud denial?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

Leave a Reply