ANNETTE Review

“Jealousy is a disease”

 

Nonton film ini kita gak boleh bernapas. Serius. Narator dalam pembukaan filmnya sendiri kok yang bilang begitu. Sungguh sebuah cara yang aneh dalam meminta perhatian penonton. Malahan, dengan sengaja minta penonton untuk memperhatikan aja udah aneh. Emangnya guru di sekolah. Film harusnya kan ngalir aja. Karena memang, Annette karya Leos Carax ini adalah film yang sangat-sangat aneh. Si sutradara film asal Prancis ini memang belum pernah bikin film yang normal. Dan kayaknya gak bakalan pernah. Karena Carax, seperti yang kita lihat di film ini, benar-benar melihat film sebagai sebuah seni. Sesuatu yang tidak dilihat dengan logika. Tidak dikerjakan di kepala. Kepala itu, kata narator tadi, tempat untuk menguap, ketawa. Nyanyi. Kentut. Sebaiknya lebih baik kita anggap saja kata-kata narator tadi itu sebagai petunjuk, alih-alih peringatan. Bahwa gelombang badai keanehan yang bakal menerjang kita selama nyaris dua jam setengah nanti bukan untuk dikuak dan dibongkar maknanya, melainkan untuk dirasakan.

With that being said, aku harap kita semua sudah siap untuk mendengar bahwa film ini ceritanya tentang pasangan tersohor, seorang stand-up komedian dengan seorang penyanyi opera, yang dikaruniai anak berupa boneka kayu!

annette-trailer-adam-driver-marion-cotillard-social-featured
Anaknya kayak Pinokio, sementara bapaknya yang bernama Henry McHenry bisa jadi adalah orang Sunda (yoi anak motor kayak Dilan!)

 

 

Dalam ulasan The Green Knight (2021) sebelum ini, aku telah menekankan bahwa film bukan semata tentang apa, melainkan lebih kepada bagaimana film tersebut menceritakan tentang suatu hal tersebut. Sebuah film bisa saja punya bahasan yang simpel, atau malah yang klise, tapi karena diceritakan dengan cara yang unik, atau dengan sudut pandang yang beda, maka film tersebut akan terangkat menjadi sebuah tontonan yang segar. Pada kasus Annette ini, well, cara bercerita yang digunakan oleh Carax tak pelak adalah highlight film ini. Jika ada yang bicara tentang Annette, maka mereka akan nyerocos soal betapa gilanya Carax mendesain karakter si anak boneka, betapa di-luar-duniawinya Carax mengeset adegan per adegan, betapa sintingnya Carax memvisualkan konflik dan melagukan dialog. People will talk about how bizzare this film is! Namun bukannya tanpa substansi. Carax memback up kreasi edannya ini dengan muatan yang beresonansi dengan kita. Film ini bukan sekadar “Idih apa banget ada adegan ML sambil nyanyi!” Annette sesungguhnya adalah sebuah tragedi fantasi tentang cinta, karir, dan keluarga.

Di saat dunia kita lagi heboh debat soal punya anak atau tidak, pasangan selebriti Henry dan Ann dengan bangga memperkenalkan buah cinta mereka kepada publik dan media di dunia cerita film Annette. Tapi hubungan asmara mereka yang tampak semakin manis itu ternyata hanya di judul berita gosip saja. Kita yang diperlihatkan langsung momen pribadi Henry dan Ann masing-masing, tahu ada masalah yang mulai menampakkan diri. Jika Pinokio adalah pembelajaran untuk anak tentang menjadi anak yang berbakti, Annette ini justru adalah cerita pembelajaran untuk orangtua. Ceritanya ini sebenarnya lebih mirip dengan A Star is Born (2018) Hanya lebih kelam. Henry meredup, metode dan lawakannya mulai gak lucu, sedangkan Ann semakin terkenal di dunia opera. Kecemburuan membawa rumahtangga mereka pada prahara, sampai Ann akhirnya beneran hilang kesapu ombak. Only to return melalui suara emas milik Annette, anak mereka yang lantas dijadikan bintang panggung yang baru oleh Henry.

Semua kejadian dan dialog film Annette ini dilakukan dalam bentuk nyanyian. Marah, nyanyi. Jalan kaki, nyanyi. Boker, nyanyi. Semua, kecuali beberapa porsi yang merupakan gabungan antara nyanyi dengan aksi teatrikal stand up komedi. Everything feels like a performance art. Film benar-benar keren di sini. Udah seperti teater, tapi panggung dan semua-semuanya divisualkan lewat efek sehingga terasa seperti fantasi. Carax juga gak malu-malu untuk mencampurkan elemen supranatural ke dalam cerita. Sehingga semakin tampak artifisial – ganjil dan aneh. Mereka bener-bener bikin Annette si boneka. Yang desain aja udah bisa bikin kita mimpi buruk saking ganjil tapi realnya. Ya, keganjilan film ini terasa benar-benar personal secara bersamaan. Dan artifisial itu memang telah diniatkan sedari awal. Yang juga sesuai dan menguatkan konteks karakternya sendiri. Karena Henry dan Ann adalah bintang panggung. Mereka hidup dalam cahaya glamor. Mereka hidup dalam set panggung, konsep acara; dalam ‘dunia palsu’. Kepalsuan adalah realita mereka sehari-hari. Dan film membawa realita tersebut kepada kita, lewat visual dan suasana artifisial tersebut.

Itulah kenapa Annette, anak Henry dan Ann, digambarkan serupa boneka kayu. Kita melihat Baby Annette itu sejajar dengan perspektif kedua orangtuanya. Henry dan Ann melihat anak mereka sebagai bagian dari kepalsuan. Hanya sebuah episode baru dari kisah cinta mereka. Sebuah materi publikasi. Bukti dari cinta mereka, tapi bukti kepada siapa? Salah satu lagu yang dinyanyikan Henry dan Ann berjudul “We Love Each Other So Much”, liriknya berulang-ulang menyebut mereka saling cinta. Ini tentu saja bukan penulisan atau penciptaan lagu yang buruk. Pengulangan biasanya dilakukan untuk meyakinkan. Tapi meyakinkan siapa? Ya, cinta Henry dan Ann juga tidak nyata (jikapun nyata, mereka tidak menyadari ini pada awalnya). Melainkan hanya for show.  Orang yang beneran cinta mati tidak butuh untuk mengulang-ulang mengatakannya. Sedangkan dalam kasus Annette, later, Henry hanya menggunakan Annette untuk pamor dan ketenaran, karena Annette punya bakat yang tak biasa. Ann pun hanya menggunakan Annette sebagai sarana balas dendam.

annettedriver-annette-700x392
Kasian anet nasib si Annette

 

Adam Driver di sini bermain dengan nunjukin range yang luas sekali. Dia gak sekadar menyanyikan dialog, dia mengisi setiap dialognya dengan intensitas. Karena memang seintens itulah karakter Henry yang ia perankan. Henry yang kalo lagi stand up, selalu mengusung materi yang merefleksikan hatinya di balik aksi-aksi panggung konyol seperti terbatuk karena asap atau mengayun-ayunkan tali mic seolah itu tali lasso. Pertunjuan Henry udah kayak gimana Snape kalo lagi ngajar/ngedoktrin tentang ilmu hitam di kelas. Henry benar-benar mengontrol penonton dan reaksi mereka. Sisi penuh darkness terselubung itulah yang kemudian lantas dikembangkan oleh Adam Driver, mengarahkan karakter ini ke konklusi yang pedih nantinya. Aku pengen banget bahas adegan musikal terakhir film ini; aku suka performance-nya, aku suka lagunya, aku suka gimana perkembangan karakternya dilakukan – atau diungkap, tapi itu bakal merampas kalian yang belum nonton (tapi tetep nekat baca review!) dari momen terkuat film ini. 

Kecemburuan adalah penyakit. Relationship beneran aja bisa rubuh karenanya. Apalagi relationship yang memang sudah rapuh karena dibangun berdasarkan citra atau just for show seperti Henry dan Ann. Hubungan mereka berubah jadi sarang penyakit. Cemburu karir, cemburu cinta, hubungan mereka menjadi semakin rapuh. Korbannya, siapa lagi kalo bukan anak.

 

Sebagai penyeimbang perspektif Henry yang sudah demikian detil terdevelop, film ini – well – di sinilah film sedikit terbata. Mereka menjual film ini sebagai drama romansa, tetapi perspektif Ann tidak terlalu terjabarkan. Kontras kedua karakter sebenarnya sudah terset up. Henry ‘kills’ orang-orang lewat pertunjukan komedi satirnya. Dia mengekspos perasaan orang-orang, dan in a way mengendalikan reaksi mereka. Ann menghibur orang dengan ‘mati’ dalam setiap nyanyian operanya. Ini dicerminkan kuat oleh film menjadi kejadian yang menimpa mereka, yang somehow bagi Ann tertranslate sebagai perempuan itu, katakanlah, nyaman sebagai victim. Dalam tidurnya saja, dia mimpi Henry punya kasus selingkuh dan abuse terhadap perempuan-perempuan lain. Ann harus jadi hantu dulu baru bertindak. Nah, ini bisa membuat penonton kekinian turn off. Permasalahan romansa jadi kurang menarik sebab Ann tidak menjadi kontra yang disejajarkan dengan Henry. 

Menurutku, film ini sebenarnya tidak harus dipersembahkan sebagai romansa. Film ini justru lebih kuat sebagai kisah orangtua dengan anak. Annette dan dua orangtua yang menyeret dia ke dalam konflik mereka. Perspektif Ann yang dilakukan oleh film ini sudah cukup tertampilkan jika film adalah tentang orangtua dan anak mereka, karena fokusnya tidak lagi pada dua gender seperti pada cerita romansa. Keberimbangan yang dicapai oleh film ini tercapai pada antara orangtua (digambarkan lewat Henry dan Ann) dengan anak (Annette). Jadi sebenarnya film ini bukannya tidak imbang, imbang. Hanya saja tidak pada aspek yang mereka jual. So yea, kupikir ini adalah masalah salah pilih hal untuk dijual aja.

 

 

 

Secara keseluruhan Annette tetaplah sebuah presentasi cerita yang kuat. Menempuh banyak resiko dan merebut kebebasan dalam bercerita. Penampilan akting, visual, dialog; It is breathtaking indeed. Tampil artifisial tapi by-design demi menguarkan muatan emosi yang real. Gak banyak yang berani kayak gini. Aku lebih prefer sama film aneh yang berani tampil bercela demi menyuguhkan tontonan berbeda sambil merayakan kreativitas dibandingkan film normal yang berusaha keren tapi tetap terasa seperti sesuatu yang sudah kita lihat berulang kali. Sayangnya di kita, film yang semuanya jadi kayak musikal atau teater atau dialog puisi, kayak gini agak susah konek untuk sebagian besar penonton. Aku pikir, salah satu sebabnya mungkin adalah karena kita menontonnya dengan subtitle bahasa. Keindahana dialog atau nyanyian itu ilang atau gak kebawa oleh proses translasi. Dan lagi, dengan melihat arti kalimatnya, pikiran kita kembali ke set ke mencari arti. Kita tidak lagi merasa. Kita tidak lagi melihat keindahan wujud aslinya. Maka, sedikit saran, coba deh nonton ini tanpa teks terjemahan – atau setidaknya dengan panduan subtitle inggris. Karena musik adalah bahasa universal, mungkin dengan melihat kita lebih mudah merasakan yang ingin disampaikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ANNETTE.

 

 

 

That’s all we have for now

Ada jejak/rash di wajah Henry yang terus membesar seiring berjalannya cerita. Menurut kalian itu melambangkan apa?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

Leave a Reply