THE MEDIUM Review

“All is amiss. Love is dying, faith’s defying, heart’s denying”

 

 

Sebagai satu rumpun Asia Tenggara, Thailand mirip-miriplah sama kita. Di sana pun kepercayaan terhadap kleniknya tinggi (maksudnya, orang sono juga lebih suka ke dukun ketimbang ke klinik! hihihi) Dalam catatan yang lebih serius, ada perbedaan fundamental antara kepercayaan klenik orang Thailand dengan orang kita. Di kita, mempercayakan kesembuhan kepada ilmu ghaib bisa disebut sebagai dosa. Sebagai praktek syirik, karena bertentangan dengan ajaran agama. Menduakan Tuhan. Sedangkan bagi mayoritas penduduk Thailand, klenik tersebut justru bagian dari kepercayaan religi mereka. Bangsa Thailand berdoa kepada Dewa-Dewa. Meminta kesejahteraan, kesehatan, peruntungan. Dukun adalah perantara rakyat dengan sesembahan mereka. Menolak menjadi dukun saja, berarti menolak percaya kepada Dewa-Dewa, dan itu adalah perbuatan salah yang bakal mendatangkan kemalangan. Seperti yang persisnya terjadi pada cerita film yang di-review kali ini. The Medium, kolaborasi antara penulis naskah Thailand dan Korea, akan membuka perjalanan horor My Dirt Sheet pada musim halloween tahun ini!

medium80hnp3NoCkV75bXWPLA88wEgFcK
Kalo kita bisa percaya penyakit sihir seperti cacar naga, maka kita juga bisa percaya sama sakit guna-guna

 

Poster filmnya bilang bahwa ini adalah cerita tentang perdukunan di Thailand. Maka kita dibawa melihat keseharian seorang dukun perempuan yang cukup populer bernama Nim. Cerita tampak cukup inosen di awal-awal. Kita melihat dia mengobati orang. Kita mendengar Nim menjelaskan tentang pekerjaannya tersebut, tentang darimana ia mendapat ilmu, dan bahkan soal ia memposisikan diri sebagai sanding dari ilmu kedokteran. Semua itu ternyata set up untuk kekacauan yang bakal terjadi. Bermula dari Nim yang menghadiri pemakaman suami kakaknya. Kita lantas diberitahu soal keluarga besar Nim, yang adalah bungsu dari tiga bersaudara. Keluarga besar Nim sepertinya dikutuk, lantaran sang kakak pernah menolak ilmu dukun dari Dewa. Nim langsung tahu bahwa ada yang tidak beres pada Mink, kini anak satu-satunya dari kakaknya. Mink, dengan mood swing yang mengkhawatirkan. Mink, yang bicara kepada orang yang tak kelihatan. Mink, yang pantulannya di cermin bisa senyum sendiri (jantungku copot lihat adegan ini!) Mink, yang sempat menghilang dan kembali – tidak lagi seperti orang normal. Nim bisa jadi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan keluarganya, namun bahkan serangan kekuatan gaib yang jahat itu too much untuk dihandle oleh Nim. 

Medium storytelling yang dipakai oleh sutradara Banjong Pisanthanakun (salah satu horor karyanya yang paling membekas buatku adalah Shutter di tahun 2004) dalam The Medium ini adalah gaya dokumenter. Kehidupan Nim direkam oleh beberapa kru kamera yang ingin meneliti profesi dukun sebagai tradisi lama yang ada di Thailand. Dalam perfilman, istilah untuk cerita fiksi yang dibingkai dengan gaya dokumenter disebut mockumentary. Dokementer ala-ala. Yang memang, seringkali, bukan gaya dokumenternya saja yang di-mockery. Melainkan juga ada film menggunakan gaya tersebut untuk menyentil topik yang diangkat. Seperti bagaimana Taika Waititi dalam What We Do in the Shadows (2014) memparodikan genre vampire. Atau bagaimana This Is Spinal Tap (1984) didesain untuk ngeledek kehidupan rock band. Akan tetapi, The Medium tidak terasa seperti komentar nyeleneh terhadap perdukunan. Sutradara Banjong justru terlihat punya respek yang dalam terhadap profesi tersebut. Lewat dialog yang dibentuk sebagai interview, dimuatnyalah berbagai insight.

Bahwa kerjaan dukun punya beban, tanggungjawab, dan segala kesusahan tersendiri. Kita melihat Nim yang tidak menikah, hidup sendiri alih-alih dua saudaranya yang tinggal serumah di bagian lain kota. Nim tidak dibuat sebagai karakter serbabisa, yang punya mantra-mantra ampuh, dengan tarian-tarian ritual memukau. Tidak ada jurus-jurus. Tidak ada merintah-merintah hantu berantem untuk berantem kayak Shaman King. Ketika Nim bekerja, yang kita rasakan justru ke-vulnerable-an. Dukun ternyata tidak segampang itu mengusir setan. Nim butuh waktu berhari-hari berdoa dalam lingkaran ritual yang rumit dan gak mentereng. Dia bahkan harus berhujan-hujan menanti petunjuk dari roh yang ia ajak komunikasi. Bumbu drama antara Nim dengan keluarga kakaknya, dengan abangnya, menambah lapisan pada gambaran seorang dukun yang diceritakan oleh film ini. Pekerjaan Nim benar telah jadi mockery, bahkan di kalangan rakyat Thailand itu sendiri. Dua saudara tertua Nim sendiri tidak terlampau respek sama kerjaan dukun. Sang kakak justru menolak ilmu tersebut jatuh kepadanya, dan memilih ‘kabur’ memeluk agama lain. Dalam satu adegan diperlihatkan Nim nangis dengan tragis saat patung Dewa yang sudah turun temurun jadi sembahan keluarganya ditemukan dalam keadaan patah. Kepala Dewa itu berguling di tanah.  Film tidak menegaskan bahwa itu adalah perbuatan roh jahat yang berusaha ia usir, atau ada orang tertentu yang sengaja menghancurkan patung. Yang jadi poin adalah kerjaan relijius Nim tidak lagi mendapat perlakuan atau diterima dengan sebagaimana mestinya.

Dari sekian banyak dosa yang bisa dilakukan umat manusia terhadap keyakinannya, menolak Tuhan adalah dosa paling besar. Film ini menunjukkan dosa tersebut tidak terampuni. Tuhan balik meninggalkan keluarga kakak Nim, dan di momen eksak itulah keluarga tersebut tidak bisa tertolong lagi.

 

Gaya dokumenter digunakan dengan maksimal. Karena dengan konsep ini yang kita lihat terbatas pada apa yang direkam oleh kamera dalam narasi saja, info yang kita dapat juga tidak bisa lebih banyak daripada kameramen – kita tidak melihat kejadian yang off-camera atau yang tidak direkam – sehingga ini menambah banyak bobot ke dalam aspek misteri yang dimiliki oleh film. Kayak patung tadi, kita tidak tahu pasti bagaimana bisa rusak, dan oleh siapa. Tapi misteri kejadian tersebut dengan efektif menaikkan tensi. Dan film juga jago dalam membangun tensi. Atmosfer mengerikan juga terjaga dengan baik. 

Salah satu tantangan dalam mockumentary adalah membuat alasan yang bisa dimaklumi kenapa ada kamera di sana. Film ini bijak sekali dalam menempatkan kamera tersebut. Ketika there’s no way kru bisa ada di satu tempat tertentu, maka film enggak ragu untuk memindahkan pandangan kita kepada rekaman cctv misalnya. Dan actually, memang pada permainan gimmick kamera inilah The Medium menyimpan kekuatan. Sekuen kamera tersembunyi pada menjelang babak ketiga adalah bagian yang paling seram buatku. Jumpscare yang dilakukan pun tidak annoying, melainkan memang efektif sebagai punchline adegan seram. Selanjutnya tentu saja adalah kru kamera itu sendiri. Film harus menemukan adegan atau alasan yang pas, yang memungkinkan kenapa mereka bisa terus merekam padahal ada hantu. Film juga memikirkan rancangan untuk ini. Yang juga dimainkan ke dalam pay off adegan horor nantinya. You know, dengan santainya nanti si hantu merebut kamera dari tangan kameramen, dan balik merekam mereka. Mengungkapkan horor yang selama itu tak-terlihat kepada kita semua.

Dalam lingkup horor, film ini memang enggak segan-segan menampilkan darah, adegan menjijikkan, adegan vulgar, hingga ke adegan sadis. Korbannya juga enggak pilih-pilih. Kuat-kuatin mental deh kalo mau nonton film ini. Jika kalian punya soft spot kepada hewan atau anak bayi, maka kalian akan butuh sebanyak mungkin comfort items yang bisa kalian dapatkan sebagai persiapan sebelum menonton.

medium808503_s_1624271312911
Bayangin, Dewa aja ditolak loh. Women, am I right?

 

Dengan perhatian tercurahkan kepada rancangan gaya dokumenter supaya efektif untuk capaian horor, film ini mau tidak mau jadi abai sama bangunan narasinya. The Medium akan terasa kepanjangan, ada masalah pacing yang cukup serius di pertengahan saat film mulai terasa menapaki poin yang berulang-ulang. Mink menghilang, ketemu, kesurupan, Nim berusaha mengusir roh jahat dengan ke tempat-tempat misterius, Nim seolah tahu sesuatu, tapi Nim tetap gagal. Ada beberapa kali siklus tersebut berulang, dalam berbagai variasi. Nim sebagai tokoh utama pun mulai menjengkelkan. Karena meskipun seharusnya ini adalah interview dia, tapi dia tidak pernah memberitahu kita apa-apa soal kasus Mink. Kamera, dan kita, hanya mengikutinya ke mana-mana. Mengikuti tindakan dan pencerahan yang ia dapatkan, tapi kita tidak pernah tahu dia sebenarnya lagi ngapain. Kita tidak tahu apa makna telur yang kuningnya berwarna hitam. Kita hanya melihat Nim bereaksi. Ada kesan seperti film sendiri juga sebenarnya tidak tahu, dan hanya melakukannya untuk mengulur-ulur misteri. Lalu Nim ‘hilang’ begitu saja. Posisinya digantikan oleh dukun pria, yang hadir so late in the game sehingga seperti karakter yang serbatahu. Seperti film butuh solusi instan. Dan on top of pergantian tokoh utama begitu saja (dari Nim sepertinya ke kakaknya), kasus misteri tetap tidak ada penjelasan.

Cerita film ini tidak berakhir dengan perasaan yang memuaskan. Yea aku tahu, ini bukan happy ending. Tapi bad ending yang disajikan juga tidak memuaskan, karena tidak benar-benar terasa seperti menuntaskan apa-apa. Babak ketiga film ini adalah ketika semua kerusuhan terjadi. Asik untuk horor-hororan, tapi film juga seketika menjadi all over the place. Ada orang yang kayak zombie, makanin orang. Ada orang kesurupan nabrakin kepala ke tembok ampe serpihan otaknya nempel. Kamera dengan infrared. Voodoo doll. Semua itu berlangsung gitu aja tanpa ada kepedulian sama konflik karakter yang seperti disudahi begitu saja. They are helpless, so, here’s hell for your entertainment. Film kayak bilang begitu kepada kita semua. Film yang tadinya meminta perhatian kita pada cerita, pada drama dan perasaan karakter, pada kerjaan dukun, mendadak menyuruh kita untuk senderan dan rileks menikmati horor yang mereka sajikan. Yang tampak buatku, ini merupakan sebuah ketidakkonsistenan, dan malah hampir seperti film memang tidak tahu cara mengakhiri cerita dengan tepat.

 

 

Sebagai wahana horor, aku suka. Aku merekomendasikan ini sebagai tontonan Halloween kalian semua. Nuansa horor yang kental, relate dengan kita. Karakter yang juga somehow terasa akrab. Gaya bercerita yang efektif sebagai landasan momen-momen seram yang bikin kita segen matiin lampu rumah di malam hari. Film ini punya semua itu. Yang tidak film ini punya, dan ini penting, adalah konsistensi bangunan cerita. Kita yang orang Indonesia bisa nonton ini tanpa subtitle, dan tidak akan ketinggalan banyak narasi penting, dan bisa tetap mengerti. Karena yang punya pay off pada film ini hanya gaya berceritanya. Ceritanya sendiri tidak. Jika kalian pengen nyimak cerita seputar dukun dan kepercayaan yang lebih padet dan matang, kalian akan lebih menemukannya pada The Wailing (2016), karya penulis naskah dari Korea yang ikut kolab ngerjain naskah film ini. Efektif hanya sebagai wahana horor, namun tidak demikian halnya sebagai film horor, film ini ternyata tepat sekali seperti judulnya. Medium. Sedang-sedang saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE MEDIUM.

 

 

 

That’s all we have for now

Ngomong-ngomong soal dukun, waktu kecil aku punya penyakit amandel. Yang cukup parah, gampang meradang. Aku pasti sakit demam dan tidak bisa menelan makanan, paling tidak satu kali dalam sebulan. Karena takut dioperasi, maka aku dibawa orangtua berobat ke dukun. Nah lucunya, sebelum ketemu sama dukun yang bener, aku sempat nyasar dulu ke dukun yang ngasal. Dari mana aku dan orangtuaku tahu bahwa dukun pertama itu ngaco? Well, karena, dia nyuruh kami untuk nyari obat berupa telur dari ayam hitam berbulu putih!

Apakah kalian punya pengalaman lucu (atau mungkin seram!) seputar berobat ke dukun?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

Comments

  1. arya says:

    Hahaha bener, makin ke belakang jadi makin generik trus tau-tau over the top. Aku sependapat, menit-menit pertamanya udah bagus dan bener-bener bikin kita masuk ke cerita. Sampai tengah aku masih enjoy sebenarnya, karena kukira perjuangan si Nim itu bakal dikasih ujung, taunya kan enggak. Pas dia ditarik gitu aja dari cerita, baru aku mulai hopeless sama film ini.
    Nontooonn, tapi baru episode 5. Ntar malem mau nyambung lagi ke berikutnyaa. Buatku horornya serem juga sih, karena deket banget ama kita. Horor tentang orang lebih suka dan gampang percaya sama ‘keajaiban’.

  2. NasiPadang says:

    Bagaimana dengan stiker di belakang mobil bertuliskan “Mobil ini berwarna merah”? Padahal mobilnya enggak berwarna merah. Si cenayang bilang kalau ini ada kaitannya dengan masalah yang terjadi. Saya masih penasaran dengan maksud hal itu.
    Yang tahu, bisa boleh share dong ^o^

    • iyami says:

      stiker “mobil ini merah” padahal mobilnya hitam memiliki 2 arti :
      – pertama secara tersirat yg dibawa di dalam moil tsb adalah Noi (ibu Mink) bukan Mink (yg dikurung dirumah). Jadi Noi dijadikan umpan oleh dukun india supaya mengundang roh2 jahat saat upacara nanti. Ini digambarkan dukun india yg senyum licik (sedikit nyengir) karena itu murni idenya.
      – kedua dikutip dari salah satu akun twitter yg mengerti tentang kebudayaan Thailand. Warna merah dilambangkan dgn keberuntungan (lucky). Jadi apapun hal yg dilambangkan dgn warna merah itu bisa beruntung / sukses. Kemungkinan karena mau mengadakan ritual, dukun tsb menyediakan transportasi warna merah. Dan karena gak ada mobil (warna) merah (adanya warna hitam) dukun tsb memberi stiker “mobil ini warna merah”. Ini juga digambarkan oleh dialog dukun tsb, yaitu “aku sudah menyiapkan peralatan / sesembahan / jimat selengkap itu, demi kesuksesan ritual tsb”

      • arya says:

        Wahaha menarik ini, jadi stiker itu semacam buat pengecohan ya. Mungkin untuk menekankan sorotan film untuk nge-mock manusia yang berpikir bisa mempermainkan kekuatan gaib

  3. Aoyama says:

    Mungkin gak sih Dewa Bayan dari awal cuman mau Noy, jadi ketika sekeluarga mikir Dewa Bayan turun ke Nim, padahal mah nggak. Karena ditolak, Dewa Bayan jadi gak melindungi desa lagi. Makanya kutukan itu ada dan gak bisa ada yang handle, karena Dewa Bayan gak ada. Selama ini Nim yaa jadi dukun aja gitu tapi tanpa dirasukin sama Dewa Bayan. Terus yang aku bingungin pas Mink gituan di kantor, itu beneran orang apa cowok berbadan gede yang dia omongin ada di mimpinya ya? Well, akting semua castnya mantep sih. Mengingat yang meranin Mink katanya merupakan film debutnya. Wow wow wow.

    • arya says:

      Iya sih, kayaknya Dewa Bayan itu memang pundungnya sama si Noy. Teorinya menarik, cuma yang jelas memang si Dewa gak ngasih blessing apapun untuk pertolongan keluarga Noy.
      Beneran kayaknya itu mah, cuma bagi Mink kan dia kerasukan, dia kayaknya blur mana mimpi mana yang bukan. Oh, dia debut akting di situ, totalitas ya si Mink.

    • iyami says:

      nambahin ketika Mink gituan di kantor itu karena dia diganggu arwah PSK, itu karena karma dari Pang (om nya Mink yg suka main PSK). Cluenya pas Mink kesurupan (sebelum toples :p) bilang “kamu suka kan wanita gadis seperti itu” sambil Mink naikin dan mecumbu Pank (kaya adegan orang bercinta). Jadi orang2 besar itu kemungkinan teman kantor Mink atau satpam kantor Mink.
      Kalau soal mimpi Mink itu soal karma leluhur (kakek) Mink yg suka menjagal (memotong kepala) orang.

  4. Narita says:

    Belakangan kebanyakan reviewnya film horor sama thriller semua, ya XD Jadi takut buka blog ini #PLAK!
    Untung Masnya tetap berbaik hati dengan tidak menampilkan screenshoot yang menakutkan dari film-film itu. (Jadi kadang ya tetep aja baca review film horornya karena penasaran. Meski bakal mikir 1000x buat nonton sendiri, sih hahaha)
    Ahaha, sebelum tahu kalau pemilik blogger ini penggemar film horor dan thriller, aku nyasar ke blog ini via ulasan review film-film genre lain, sih XD

    • arya says:

      Hahaha, apalagi bulan halloween ya, pasti dominan lagi film horor xD
      Soalnya dulu pernah pakek screenshot yang seram, eh pas share ulasan di facebook malah ditake-down, kena peringatan – dikira ‘inappropriate content’. Sejak saat itu jadi kapok hihi
      Gara-gara pandemi juga sih. Dulu kan tidak ada pilihan. Pokoknya rabu-kamis ke bioskop, apapun yang tayang ditonton. Sekarang, jadi terbiasa di rumah, pilihan lebih banyak, tapi karena bawaannya nyantai jadi milih-milih yang digemari aja.
      Terimakasih, semoga bisa segera lebih variatif lagi seiring makin kondusifnya keadaan

  5. Natamadja says:

    Gak ngerti lagi sama filmnya wkwk, 1/4 awal filmnya masih oke lah membangun pace, cerita dan ngejelasin masalah , makin kebelakang makin bosen ditambah makin aneh , banyak banget plot hole , ternyata terjawab dari review disini, filmnya juga gapunya jawaban buat hal tersebut wkwkwk gokil.
    Kayaknya endingnya pengen senyebelin the mist , tapi ini malah kentang banget;)

    • arya says:

      The Mist!! Jadi inget dulu perasaan langsung campuraduk banget pas sampai endingnya, antara miris, kasihan, atau ngetawain. Keren lah itu. Bener. beda banget ama pas ending Medium. Kayak gak ngerasa apa-apa, cuma sebatas semuanya mati doang.

  6. tychm says:

    Sebenernya bukan zombie asal-asal sih.
    Nim di awal banget sudah jelaskan bahwa arwah itu bisa bersumber dari mana saja; salah satunya ya hewan.
    Usaha keluarga Ming: dagang daging anjing.
    Itu cukup menjelaskan penggunaan mas-mas kerasukan arwah anjing yg menyerang kru.
    Kenapa Ming sampai bisa kerasukan banyak banget arwah (legion) juga dijelaskan sama dukun pria yg bilang: leluhur dari sisi bokapnya Ming itu tukang jagal manusia (ini juga yang dimimpikan Ming setiap hari), dan para korbannya mengutuk keluarga Ming.
    Kutukan tadi kombo dengan Noi (ibunya Ming) yang seharusnya jadi dukun tapi malah curang dan melepas tanggungjawab ke adiknya (Nim). Jadilah dasar pembantaian sekeluarga.
    Tapi gw setuju, film ini terlalu banyak menyisakan pertanyaan atau setidaknya konfirmasi — a-la Shutter.
    Gw coba google dan sampai di sini berharap dapat insights, tapi ternyata merasakan hal yg sama juga. Haha.
    Cheers.

    • arya says:

      Oiya sih bener, masuk akal roh-roh anjing yang dijagal balik menyerang mereka. Semuanya kembali ke sejarah leluhur mereka ya, dan diperparah sama Noi menolak ilmu dukunnya

    • pat says:

      NAH AKHIRNYA ADA JUGA YANG SEPEMIKIRAN:( aku sedih banget film bagus ini malah dibilang “all over the place” dan emang gak sedikit yang ‘males’ karena tiba-tiba jadi zombie-zombie an karna mungkin kita akrab nya kalau makan orang yang kanibal dan zombie, mereka melupakan detail kecil dalam film ini yaitu Noi yang jualan daging anjing walaupun itu ditentang pemerintah bahkan beberapa warga asli Thailand.
      Yang aku kurang puas sama ending filmnya sih aku ngerasa bakal lebih sempurna aja kalau akhirnya TKP itu ditemukan polisi dan ada adegan dimana kamera-kamera yang berserakan itu diselamatkan sebagai barang bukti, biar lebih terasa nyata buat kita kenapa film dokumenter itu bisa tersajikan ketika gak ada satupun yang selamat.

      • arya says:

        Kalo penjelasan2 narasi, film pasti punyalah yang namanya bangunan narasi. “All over the place” itu bukan perkara ceritanya ada kesurupan atau kanibal, tapi storytellingnya. Ulasan-ulasan pun biasanya tidak akan menyinggung penjelasan narasi, karena bakal spoiler – kecuali memang ulasan yang bentuknya sebagai ringkasan cerita atau yang bentuknya explanation (kayak ulasan ‘ending explained’ atau semacamnya.
        Di awal itu tidak terbangun kalo ini adalah cerita kejar-kejaran ala zombie, melainkan terbangun sebagai drama misteri yang grounded. Di penulisan naskah itu ada aturan bahwa 10 menit pertama haruslah memuat bentuk film secara keseluruhan. Makanya pas nonton superhero atau film aksi, di awal-awal pasti ada adegan berantem pembuka. Kalo di horor, pasti ada aksi setan, atau pembunuhan, atau apapun yang memberi gambaran kepada penonton bahwa film mereka ini ada di ranah apa.
        Di Medium ini, sepuluh menit pertamanya tidak in line dengan jadi apa film di akhir nanti. Malah kalo kita perhatikan, Medium berubah-ubah sepanjang durasi. Dari dokumenter ala-ala dengan drama misteri, ke horor found footage yang pake jumpscare, lalu ke rusuh kesurupan dengan style zombie-zombiean. Itu kan basically tiga ranah horor yang berbeda, dimuat di satu film ini, tanpa ada set up tone/bangunan yang jelas bahwa mereka ini horor seperti apa. Desain tiga ranah yang berbeda itulah “All over the place” yang dimaksud. Film ini kayak pengen jadi semuanya, gitu.

  7. Jedi Manglayang says:

    Baru nonton juga min, ku kira bakal dapet kesimpula di endingnya eh ternyata gak rapi ini buat penutupannya ahahha. tapi emang soal jumpscarenya dapetlah buat film horror ini apalagi cukup surprise yang depan kamera hahah. emang secara intense banget ngangkat konflik di ceritanya.

  8. ZH|K∆ says:

    Nim mungkin sebenarnya tidak mewarisi bakat dukun Dewa Bayan.. di Endingnya kayak ngaku gitu pasrah sama kekuatan yang lebih besar. Dan waktu Ibu Mink minta maaf telah menaruh banyak jimat di tempat Nim, poin mantap agar Mink saja pewarisnya, lalu ketika Ibu Mink masih belum percaya Dewa bertanya kepada Nim pernah lihat Dewa Bayan, jawabannya mengandung keraguan akan keberadaannya. Bisa saja Nim membuat perjanjian dengan setan di gedung itu, karena tanpa ritual Nim tiba-tiba tahu rumah kosong itu… AU AHHH..

    • iyami says:

      bisa saja garis keturunan dukun terhenti di Ibu Mink dan Mink, karena mereka menolak dan (malah) berganti agama. Serta sikap apatis Mink terhadap hal2 yg berbau gaib (adegan saat awal wawancara di tempat kerja Mink //pas nyinggung Doraemon//). Nah kemungkinan dewa Bayan sendiri sudah menolak membantu dan melindungi dari karma atau kutukan keluarga Mink. Jadi ketika para arwah/kutukan/karma datang semua ke Mink, dewa Bayan sudah angkat tangan, ini digambarkan patung yg kepalanya putus.
      Ilmu yg dimiliki Nim kemungkinan bukan berasal dari Bayan, tetapi dari dukun India (yg terakhir). Mereka kedua kan sohib akrab perdukunan, bahkan sebelum insiden Mink kerasukan.

      • iyami says:

        ..nambahin lupa, jadi Nim over pede ke dewa Bayan bahwa dia generasi penerus per-dukunan pasca Ibu Mink & Mink menolak menjadi dukun. Padahal ilmu Nim didapat dari dukun India sedangkan dewa Bayan sudah angkat kaki.

      • arya says:

        Menarik sebenarnya Nim ini untuk digali, makanya sayang aja tiba-tiba dia ‘dimatiin’ dan film pindah fokus ke menggambarkan horor chaos dari karma yang menimpa keluarga Mink. Ibarat video game, di tengah-tengah, film ini dihadapkan pada dua pilihan: lanjut ke rute Nim, atau ke rute Ibu Mink. Film memilih rute ibu mink, yang memang lebih komersil (lebih seru untuk wahana horor)

    • Emir Haidar says:

      Kalau saya menduganya, apartemen kosong itu tempat yang dahulunya dipakai moyangnya Willow untuk menjagal manusia. Upacara dilakukan di apartemen itu untuk mengunci kekuatan jahatnya, dan apartemen ditinggalkan karena apartemen dihantui oleh korban jagal yang terbunuh di tanah tersebut. Sebelumnya salam kenal !

  9. ZH|K∆ says:

    im mungkin sebenarnya tidak mewarisi bakat dukun Dewa Bayan.. di Endingnya kayak ngaku gitu pasrah sama setannya, dan gak yakin ritual bakalan berhasil. Dan waktu Ibu Mink minta maaf telah menaruh banyak jimat di tempat Nim, poin mantap agar Nim saja pewarisnya, dan info itu didapat dari setan itu sendiri, lalu ketika Ibu Mink bertanya kepada Nim emang pernah lihat Dewa Bayan, jawabannya mengandung keraguan akan keberadaannya. Bisa saja Nim membuat perjanjian dengan setan di gedung itu, karena tanpa ritual Nim tiba-tiba tahu rumah kosong itu… AU AHHH..

    • arya says:

      Tapi Nim kayak sayang dan respek banget sama Dewa Bayan, jadi kayaknya gak mungkin Nim mau bikin perjanjian dengan setan. Tapi juga, kayaknya bener juga kalo kekuatan Nim itu bukan kekuatan Dewa Bayan seperti yang ia yakini/yang ia katakan kepada orang-orang.

  10. Ajeng says:

    Hai, kyknya aku mau nambahin sedikit. Kenapa film ini menggantung, itu lebih ke gaya film dari produser nya sendiri, sm kyk The Wailing, disitulah orang-orang lebih byk engagement dengan cari tau further insights dr yg sudah disediakan di dalam film ini.
    Instead of put a subjective review on this film, mungkin lebih bisa cari tau lebih kenapa gaya film dari satu produser ini selalu “digantung”, as a review supposedly being objective, right?

    • arya says:

      Lah tapi kan The Wailing gak gantung, ceritanya beres dan terjelaskan semuanya.
      The Medium juga gak berakhir dengan cliffhanger. Orang semuanya mati kok. Gak gantung kan ceritanya.
      Anyway, kalo mau yang objektif-objektif tok, mending baca press release aja XD
      Review supposed to search answers; kenapa memakai gaya tertentu, apakah gaya yang dipakai benefit ke cerita yang ingin disampaikan, dsb, melalui film yang ditonton. Review bukan untuk menginfokan “si anu gayanya begitu jadi harap maklum”

  11. f says:

    “malah hampir seperti film memang tidak tahu cara mengakhiri cerita dengan tepat.“
    Harusnya sutradara dan sekelas film internasional sudah paham betul gimana caranya bikin film dan bikin ending yang pintar dan bikin teka-teki, mereka sengaja gitu kali, bukan “tidak tau cara mengakhiri cerita dengan tepat” HAHAHAHA sok iye lau njing

    • arya says:

      Yeee maksudnya itu bukan bagaimana cara bikin film/bikin ending jadi teka-teki.
      Tapi, saat bikin cerita, kan kita pasti selalu punya pilihan dalam mengakhiri film. Berakhir gantung, berakhir sedih, berakhir menang, berakhir kalah, dsb. Biasanya dipilih yang paling tepat membungkus dan do justice ke semua elemen cerita. Lah kalo ceritanya sekompleks ini tapi akhirannya semua mati, kan itu kayak cara paling aman doang dalam mengakhiri cerita.

    • Backup account (@Moryata) says:

      Menurut ku sih ini udah cukup bagus buat menakhiri cerita , saya yakin sutradanya pun sengaja agar penonton dibuat membekas ke ingatan dan menebak nebak akhir ceritanya gimana , tp emang bener klo yang pengen bagus bener di ending itu gimana caranya itu kamera dokumenter bisa sampai di publish ke publik sementara jurnalisnya pada mati semua.. atau mungkin ini jalan buat sequel selanjutnya karna yang tersisa tinggal mink dan pengikutinya yang udah jelas jadi setan dan tidak terselamatkan.

      • arya says:

        Itu sebenarnya salah satu kelemahan di horor found footage sejak lama; soal kamera yang kok bisa sampai ke publik, padahal pada cerita seringkali dibikin semua karakternya mati. Jawaban gampangnya ya kameranya diambil oleh polisi. Tapi kan jadi tidak memuaskan. Trope yang begini memang perlu dikonstruksi ulang oleh genre found footage dan horor mockumentary secara keseluruhan

  12. aul says:

    Barusan bgt nonton dan aku rada kasian sama NIM, di awal film kan dia bener2 yg jadi center utama film, mengarah ke perdukunan thailand, terus dewa wayan, dll.. makin ke tengah kok menguak kutukan keluarganya si noy ya wkwkwk
    yg ku harepin sih harusnya si nim jangan terlalu cepet mati gituloh 🙂 berharap ada act yg lebih ttg pedukunannya dia…. juga misal dewa wayan ini memang gak ada ditubuh nim, harusnya ada penjelasan misal dari firasat atau scene khusus buat nim ngejelasin hal itu.. yagasiiii hmmm greget aja hampir 1 jam pertama ngejelasin ttg perdukunan si nim, eh tiba2 banting stir ke azab keluarga noy.
    tapi apresiasi bgt sama sutradaranya, jumpscarenya bener2 ngena dan gak lebay (yg bagian si ming terdabest).

    • arya says:

      Menurutku kekurangan film ini memang di situ sih. Mereka ganti haluan dari Nim. Padahal Nim selain sudah kita pedulikan di awal, juga masih bisa digali lagi

  13. iyami says:

    “Perkimpoan” antara sutradara Banjong Pisanthanakun dan Na Hong-jin di film ini memang hebat. Alur di esekusi secara lambat, penonton pun di suruh “menangkap” klise-klise yg ada selama cerita berkembang selama (sekitar) 80menit awal. Ciri khas racikan Banjong Pisanthanakun sama seperti di film sebelumnya (Shutter, 4bia). Kalau bicara sinematografi, ini mah bagian dari Na Hong-jin, dengan film dark gloomy ala-ala film The Wailing dan The Chaser yang membuat penonton susah bernafas selama hampir 2 jam di film ini. Plus ditambah suasana pedesaan di pedalaman Thailand ini, mengingatkan aku pada film The Wailing juga.
    Cast nya pun gak kalah apik, kombinasi antara artis junior dan senior menghiasi film ini. Akting Narilya Gulmongkolpech, pun gak kaleng2, “totalitas” aktingya pun patut diberi 4 jempol, walaupun dia harus beradegan “ekstra” di scene tertentu di film debut internasionalnya ini. Transformasi Narilya “Nimk” di film ini pun oke juga, yg awalnya gadis cantik nan ceria berubah menjadi gadis yg menyeramkan. Benar2 kombinasi yg tepat dan mantap, di tengah kurangnya asupan film horor di akhir2 tahun ini.
    Kekurangan nya terletak di penyelesaian akhir yg terkesan teruburu-buru. Atmosfer yg dibangun di awal-awal yg nampak indah dan “anggun” harus berantakan tak bersisa di 30 menit akhir film ini. Tokoh Nimh yg harus mati di sepertiga akhir film, serta pergeseran protagonis dari Nimh ke Noi (atau malah ke Mink) juga membuat akhir cerita film ini menjadi rancu. Plus ditambah dukun India (teman Nimh) yg seolah-olah menjadi pahlawan kesiangan kian menambah keabsurdan diakhir film ini.
    Yah walaupun film ini ada beberapa “kecacatan” kecil tetapi saya (dan mungkin 1 ruangan di biokop tsb) merasa terhibur dgn film tsb. Seolah-olah kami (atau saya) disajikan film rasa nano-nano, ada “rasa” serem, jijik, distrubing, creepy, penasaran, hingga lucu, bersatu padu menjadi satu di film ini. Overall (4,5/5) nilai yg pantas utk film duet duo sutradara Asia ini.

    • arya says:

      Terima kasih reviewnyaa.. aku selalu nunggu banget komenan berisi review seperti ini, seru kita jadi bisa saling share opini dan saling memperkaya pandangan buat suatu film

  14. hansen says:

    kalau mink yg bertingkah kayak anak kecil, itu jg ada karma nya y? harusnya iya ya.. cuman ga diceritain.. jadi kurang kena. selain itu, kalau memang itu jadi anjing semua, kenapa possessed mink juga matiin anjingnya ya… bener sih, film ini ga konsisten. byk yg ga diceritain, tapi jg ga ninggalin clue buat nyambung2in.. jadi kita ga bisa menghubungkan smua detail2 kecil yg ada di film, padahal to make a movie feels like it is wholesome, you have to connect these little things, jadi memang kesannya ga ada yg terlupakan gitu, smua make sense. sayang sih. dan juga evil nya terlalu overpowered, ga ada battle nya, jadi ga seru.. kalo ada battle dulu, kita kan mgkn lebih tegang ya, dan belum ketebak endingnya. dan bisa cukup meningkatkan kualitas the whole movie. anyway, good review.

    • arya says:

      Nah setuju, dari narasi menyebutkan rohnya banyak saja, udah weak sih sebenarnya. Minknya jadi ‘gak ada’. tokoh evilnya juga overpowered, film ini kayak banyak hal-hal aja, tapi gak benar-benar ngikat.
      Terimakasih sudah bacaa

  15. Iksan says:

    Pesan dr film ini mirip2 dg Serial Midnight Mass di netflix lah. Fanatisme buta sangat berbahaya di kehidupan apalgi. Apalgi itu hanya kepercayaan warisan kyk di film ini. Bisa berasal dr Iblis atopun mmg dr entitas yg baik. Tersirat di ending cerita kalo si dukun blm yakin jg akan keberadaan Dewa itu. Hanya bermedia patung ditengah hutan doang kan.
    Kalo kesimpulanku mmg dewa Bayan itu ya ga ada. Yg bikin keluarga mereka kyk gitu itu ya Iblis yg berkedok Dewa Bayan.
    Hehe sori kalo salah

    • arya says:

      Agak ekstrim sih kalo dewanya enggak ada, soalnya Midnight Mass juga bukan tentang tuhan yang gak ada, kan. Agama masih direcognize, cuma salah mengenali tuhan aja

  16. mago-by-gfriend says:

    Menurutku untuk yang katanya dokumenter horor, film ini cukup berlebihan pengambilan gambarnya. Kenapa bisa ada kamera di balik batu, di atas gunung, dll. Oh, ya, aku sepakat dengan akhir cerita yang cukup amburadul, tapi enggak menutup kemungkinan kalau film ini keseramannya masih bisa dinikmati bersama. Bagian yang menjadi pertanyaanku adalah di mana sebenarnya Ba Yan? Apa selama ini Nim sebagai dukun penerus hanya bohong belaka? Kenapa bisa rekaman seluruh adegan diputar kalau semua krunya tewas. Duh, banyak pertanyaan yang enggak terjawab, tapi ya sudahlah.

    • arya says:

      Hahaha iya sih, tapi masih lebih masuk akal ketimbang Paranormal Acitivity yang baru. Setidaknya di Medium, kita tahu yang rekam itu ada kru-nya, enggak cuma tiga orang. Jadi ya anggaplah kru memang ditempatin di balik batu.
      Banyak yang mestinya digali tapi malah diarahin ke chaos mati-mati aja ya

  17. lila says:

    Hai kak, izin kasih tau yaaa aku pernah nonton film lacoronna disana di jelasin tentang telur yang berwarna hitam. dalam sebuah ritual pengusiran setan telur berfungsi sebagai media untuk mengetahui seberapa kuat dan seberapa jahat setan/iblis yang akan mereka hadapi jadi semakin merah / semakin hitam warna telur yang dipake ritual tersebut ketika di pecahkan maka semakin kuat iblis yang akan di hadapi. begitupun sebaliknya jika kuning telur warnanya orange maka iblisnya berarti mudah untuk di hadapi. terimakasih

  18. arya says:

    Pasti paling kesel pas adegan si ibu yang jaga Mink di kamar itu ya? Ahahaha… aku kesel di situ sih, bego banget bisa kejebak suara bayi. Lagian krunya menahan satu orang ibu-ibu gak bisa

  19. risang says:

    arc awal2 film ini menjanjikan sekali padahal, mulai masuk ke bagian cctv ala2 paranormal activity mulai kerasa keanehan plotnya sampe jadi zombie attack. aku sih berharap film ini menghadirkan plot mind blowing seperti the wailing (yg mana procedurenya juga), tapi malah berakhir ke ending yg sangat aneh dengan plot hole yg ga make sense, coba gausah pake jump scare2 apa gore2 pointless seperti itu cukup berikan kesan2 tersirat bisa perfect untuk film horror terobosan baru.

    • arya says:

      Film ini di awal-awal tu kayak berada di level yang sama ama The Wailing, tapi makin ke belakang aku heran kenapa jadi makin “mainstream”. Kenapa semua gaya horor jadi kayak kepakek. Begitu Nim mati, langsung curiga filmnya gak bakal punya penyelesaian cerita/jawaban memuaskan. Wajar sih rame penontonnya di bioskop, soalnya filmnya ternyata ada di level horor hura-hura aja

  20. arya says:

    Gak kebayang kalo adegan itu bisa masuk jadi nominasi Oscar ahahaha.. Nontonnya antara ngakak campur kesel.
    Bener, terlalu rame endingnya, gak cocok ama awalannya. Mana bukan si Nim pula, ganti jadi dukun cowok gajelas darimana

  21. arya says:

    Hahaha aku juga ngerasa sia-sia sih, ngapain liatin idup si Nim, kehidupan keluarganya, segala macam panjang-panjang kalo ujungnya cuma mati-mati gitu aja. Nim nya malah udah gak ada lagi pula.
    Kalo ngawalinnya begitu, aku ngakhirinnya ya pasti Nimnya gak bakal mati di tengah. Kalo pun mati, ya di akhir, setelah permasalahan dia ama kakaknya beres segala macem. Gak perlu ramean kayak gitu, mereka sekeluarga aja udah cukup untuk adegan ending.

  22. arya says:

    Ditonton untuk nobar seru-seruan aja hahaha… Memang setelah adegan-adegan cam di rumah, filmnya jadi gak serem lagi sih, jadi buat tawa-tawa kaget doang

  23. Emir Haidar says:

    Kalau mengulik filmnya sekali lagi, sebenarnya film ini secara implisit mengangkat gegeran komunis di daerah Isan sendiri; yang ditandai dengan pengungkapan moyang Willow (bapaknya Ming, ipar Nim) yang menjadi aktor utama. Nim dan kakak laki lakinya dianggap berkhianat kepada Bayan karena menghalangi arwah arwah orang Isan yang dijagal untuk membalas dendam kepada Ming.
    Oh iya, satu lagi, film ini release disaat turunnya kepercayaan rakyat Thailand terhadap institusi kerajaan bukan ?

    • arya says:

      Berarti relevan banget sama penonton Thailand film ini ya, nyenggol isu rakyat mereka dengan telak sebenarnya. Basically ini kayak cerita ‘bencana karena tuhan marah’, tapi penuh oleh wisdom lokal dan cara personal mereka menyampaikannya

  24. Joe Lucas (@joe_lucas19) says:

    ternyata banyak yg sepemikiran ya disini.., film ini rame cuma karena film horor seru2an aja, dan sebetulnya aku termasuk orang yang ikut tertarik nonton karena hype nya di Indo. tapi sayang aku cuma nonton di rumah, gk nonton di bioskop sih, jadi mungkin agak ada jarak, secara ada beberapa scene yang aku gk paham karena gk ada subtitelnya.

    dari awal aku masih oke2 aja dengan paruh awal film yang terasa grounded dan masuk akal, pemilihan found footage menjadi pembeda dari horor kebanyakan, secara aku dah bosen ama horor holywod yg terasa kyk cerita superhero, dimana yg baik selalu menang atas jahat. kayak si The Conjuring: The Devil Made Me Do It. tapi sejak Nim mendadak mati dan diganti ama si dukun cowok itu, sudah hilang rasa semangatku untuk nonton nih film. padahal aku termasuk orang cukup kebal ama film horor, tapi film ini cukup membuatku ngeri2 sendiri diawal film, akting dan makeup si Mink meyakinkan banget, bikin kita yakin kalau dia emg udah gk waras (alias kerasukan)

    yang paling hancur adalah endingnya yg dibikin chaos gtu, aku kesel banget ama kebodohan karakternya. padahal aku tipe orang yg suka2 aja ama bad ending, tapi utnuk kali ini. aku gk setuju sih.
    kekonyolan dimulai dari si ibu bayi yg ngeyel dan dengan mudahnya di tipu, serta si kru kameramen yg lemah banget, seolah emg disuruh ngalah gtu supaya si Mink berhasil lolos
    trus chaos yg ada di apartemen itu, seolah emg sudah direncakan agar gagal, supaya seru aja gtu, semuanya pada mati, tapi malah makin gk masuk akal, kalau mau dibandingkan, yg menurutku sejenis adalah film Gonjiam: haunted asylum, yg malah lebih baik dari film ini. karena ada alasan gtu kenapa semuanya pada mati.(karena mereka “nakal”). sedangkan The Medium, kurang bisa menjelaskan gtu, kenapa si setan kok bisa kuat banget
    dan alasan kenapa footage ini bisa publish kan gk dijelaskan, makin bikin gk masuk akal, setidaknya seperti yg temen2 disini bilang, coba aja ada polisi kek yg muncul dan ngambil kameranya, dah cukup sebetulnya. sementara kalau Gonjiam kan jelas, mereka itu sedang live streaming.

    jadi film ini tuh sebenernya menjanjikan di awal, tapi kok endingnya begitu?
    overall, aku kasih skor 60/100%.

    mau share dikit, aku telat banget tau kalau ada blogger Indo yg ternyata kritis dalam menilai film kyk mas Arya ini, thanks banget mas sudah konsisten bikin ulasan, walau orang2 kita mungkin banyak yg gk suka baca(lebih suka nonton youtube). hidden gems banget sih bagi sinefil Indo yg pingin punya teman share perfilman.
    aku sendiri sebelumnya sering nonton ulasan di youtube dari 4 nama besar yg ada di Indo, sebelum akhirnya ketemu sama blog ini. yg ternyata mereka kurang kritis dan kadangkala hanya seperti demi “kejar tayang”

    • Joe Lucas (@joe_lucas19) says:

      oh ya lupa, aku datang dari masa depan, jadi sudah sempat nonton Incantation, yg sedikit lebih baik daripada The Medium ini. walau Incantation juga belum dapat memuaskanku. hahaha.

      yg selalu aku inget sebagai horor terbaik cuma 2 sih, The Exorcist (1972) , sama, The Autopsy of Jane Doe (2016)

      • Arya says:

        Incantation secara naskah memang sedikit lebih kuat daripada Medium, perspektifnya lebih kuat, gagasannya lebih tersangkutkan dengan baik ke dalam genrenya. Tapi yang bikin ku tak puas adalah gaya berceritanya. Mungkin karena terpengaruh Medium itu, ironis sih. Kalo berceritanya bener, Incantation bisa jadi horor yang superior. Tapi karena kayak berusaha seperti Medium, dengan chaos found footage dan sebagainya, buatku Incantation jadi sama-sama aja dengan Medium hahaha

        The Exorcist ikonik banget adegan-adegannya yaaa

    • Arya says:

      Karakter paling menyebalkan di horor ini tuh kayaknya si ibu2 ngeyel itu. Bikin kacau semua rencana aja hahaha.. Sama sih, aku juga nyaman-nyaman aja nontonnya, sampai ternyata si Ming mati dan filmnya ganti perspektif. Malah jadi ganti genre juga kayaknya, gak lagi jadi mockumentary seorang dukun, tapi jadi found footage ala Gonjiam, kan. Makanya Gonjiam lebih enak ditonton, karena konsisten. Medium ya jadi kerasa random aja, tau-tau jadi chaos segala macem.

      Sama-sama, thankyou juga udah mampir kemari baca-baca. Yah, semoga blog ini bisa jadi alternatiflah buat yang suka baca lebih banyak kata, yang masih penasaran sama filmnya hehe

Leave a Reply