AUM! Review

“The seed of revolution is repression”

 

 

Bikin film tantangannya banyak. Konsep-konsep matang yang sudah disiapkan bisa sirna diterpa keadaan di lapangan. Cuaca yang tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kerusakan atau gangguan tak terduga pada alat-alat teknis maupun properti. Mood atau moral yang turun setelah sedikit adu argumen saat syuting. Semua yang menuntut filmmaker untuk mengubah rancangan, menyesuaikan dengan kondisi, bisa saja dan hampir selalu pasti terjadi saat sedang menggarap film. Itu dengan asumsi film tersebut sudah lolos dan dapat izin untuk dibuat. Karena memang pada kenyataannya, beberapa cerita boleh jadi tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk disyutingin sama sekali. Beberapa cerita dinilai terlalu ‘berbahaya’ untuk dibuat. Jadi adalah sepenuhnya tergantung usaha si empu cerita untuk menempuh apa saja supaya buah pikiran yang ia anggap penting tersebut bisa lahir dan ditonton semua orang. Aum! debut feature sutradara Bambang ‘Ipoenk’ K.M. menceritakan tentang film yang seperti demikian.

Lewat gaya mockumentary yang bernada humor-meta, Bambang menunjukkan kepada kita bagaimana sekiranya tantangan dan sukarnya membuat film yang menyuarakan reformasi, pada awal era reformasi. Kenapa aku bilang ‘sekiranya’? Well, karena walaupun kita sudah mendengar betapa opresifnya pemerintah di jaman tersebut. Beberapa dari kita ada yang mengalami langsung, aku yakin. Tapi yang disajikan oleh film ini, lewat gaya penyampaian yang dipilih, tidak pernah membuat alur cerita terasa realistis. 

aum-0_5f85ba8e-df8a-4a91-9627-54e47fd22e7d
Di IMDB malah katanya ini film biopik…

 

 

Ini tuh kayak sekumpulan orang kreatif berkumpul sehabis nonton One Cut of the Dead (2018), dan tercetuslah ide cerita versi mereka sendiri, dengan menggunakan konsep bercerita dari film komedi zombie asal Jepang tersebut. Hanya saja, mereka kurang mengenali apa yang membuat konsep itu berhasil. Alhasil, Aum! yang punya formula beat-to-beat sama dengan One Cut, tidak bekerja semaksimal itu. Aum! tidak bekerja seperti yang pembuatnya niatkan.

Dalam One Cut of the Dead, semuanya jelas. Film yang dibuat oleh para karakter kru dalam cerita, kualitasnya jelek. Amatir (makanya dilaporkan banyak penonton bioskop walk-out pada rentang setengah jam film ini) Kemudian, diungkaplah siapa yang berada di balik kamera. Kita diberikan penjelasan atas kondisi film yang mereka bikin. Tuntutan TV, gimmick yang harus dipenuhi, hingga ke konflik personal si sutradara dan para aktor. Sehingga kita tahu bahwa pentingnya film yang akan mereka bikin bagi mereka, lalu kita jadi peduli saat kenyataan di lapangan para kru menemui kesulitan sementara the show must go on. Pada akhirnya, dan mengerti kenapa hasil akhir film mereka bisa jelek seperti itu, dan kita jadi menumbuhkan rasa respek sama perjuangan kru.

Aum! yang dibuat dengan kualitas gambar dan kamera yang deliberately di bawah standar (untuk menguatkan kesan gerilya filmmaking) juga memiliki bangunan cerita yang sama. Dimulai dari kejadian yang ternyata bukan kejadian nyata. Melainkan film, yang bercerita tentang mahasiswa aktivitis yang dikejar-kejar aparat, kemudian dibantu oleh abangnya, kemudian dia rapat dengan teman-teman, dikejar lagi, rapat lagi menyuarakan ajakan untuk melakukan gerakan reformasi, lalu ada adegan yang memparodikan tindakan pemerintah terhadap gerakan mahasiswa. Lalu kita dibawa melihat proses belakang layar kejadian di awal tersebut; di sini narasi soal tekanan dan susahnya mereka menggarap film itu secara diam-diam seharusnya dikembangkan. Dan lalu, film pisah dari One Cut; Di babak akhir Aum! memasukkan twist. 

Yang membuat One Cut bekerja adalah kita sudah dilandaskan. Film buatan mereka jelek tapi memuaskan bagi mereka, tekanan untuk terus lanjut ada benar-benar kita lihat, urgensinya kuat karena ada batas waktu dan gimmick one-cut itu sendiri. Stakenya pun kerasa karena kita mengerti motivasi karakter pembuat film. Nah, itu semualah yang enggak ada, atau enggak jelas, pada Aum! Kita gak yakin film sub-par bergaya teatrikal yang para karakter film ini bikin tu, terconsidered gagal atau tidak oleh mereka, kita tidak tahu pesan mereka sampai atau tidak ke penonton di dunia mereka. Kita juga tidak melihat tekanan seperti yang terus diucapkan oleh karakter produser. Hanya ada beberapa bystander misterius yang bertanya saat syuting, selebihnya tidak ada yang menantang pembuatan film mereka, karena isi film tersebut. Padahal harusnya ini yang dikuatkan. Bagaimana mereka dapat izin, bagaimana mereka ngecoh supaya jadi syuting, misalnya. Supaya kita yang nonton bisa mengerti memang susah bagi mereka untuk bersuara. Bukan literally harus ngomong “Action!” pelan-pelan sampe gak kedengeran sama pemainnya. Hal yang kita lihat jadi hambatan paling besar dalam proses filming mereka justru adalah ketidakkompetenan kru dan sutradara – yang diniatkan jadi momen-momen komedi oleh Aum! Dan lagi, proses  bikin film mereka ini tidak pernah terasa urgen. Si Produser menyebut mereka harus bikin film diam-diam, tapi hanya ada satu adegan diperlihatkan yang mereka syuting di tempat umum. Selebihnya mereka syuting di ruang mereka sendiri. Di dalam mobil. Di gedung teater. Yang semuanya kalo gagal pun, bisa diulang syutingnya. 

Karakter-karakter Aum! tidak dikembangkan. Selain kerjaan yang jadi jobdesc mereka, kita tidak tahu lagi mereka ini siapa. Jefri Nichol jadi dua karakter (aktor dan peran yang ia mainkan), tapi karakternya tidak ada yang esensial untuk cerita dan reformasi itu sendiri. Dia hanya ada di sana, akting dua versi, for nothing. Lalu ada karakter bule yang megang kamera untuk dokumentasi. Karakter ini ujungnya pun tidak jadi apa-apa dalam cerita. Konflik yang meraung paling besar itu justru adalah soal debat filmmaking antara sutradara dengan produser di lapangan. Keduanya berselisih paham tentang visi dalam film. Hal yang bersifat internal, alih-alih eksternal seperti yang seharusnya jadi tantangan yang sebenarnya. Dan kemudian datanglah twist. Paling enggak, twistnya bener. Bener-bener mengubah cara pandang kita terhadap cerita ini dari awal. Sutradara ternyata tidak berada di pihak menyuarakan reformasi. Tidak berada di kapal yang sama dengan visi Produser. Sutradara, katakanlah, semacam menyabotase dari dalam. Berusaha supaya film yang mereka bikin menjadi sesuatu yang bukan diniatkan. Twistnya ini meskipun gak salah, gak ngada-ngada, dan ditanam dengan baik, tetep tidak mengangkat status. Kembali ke film mereka di awal. Yang kita tonton adalah film bersuara reformasi dengan gamblang seperti yang diinginkan produser, tapi teknisnya (dan suara nyanyian Jefrinya) ngaco. Jadi apakah itu berarti film mereka ini berhasil? Mereka akhirnya memang beneran digrebek. Tapi apakah itu pencekalan terhadap film mereka, atau karena posisi dan aktivitas mereka sebagai aktivis reformasi bocor oleh musuh dalam selimut tadi?

See, film ini tidak pernah clear, dan inilah yang salah satunya menghambat kita dari masuk ke dalam cerita.

aum-film-bioskop-online-2-31dc8b472b01810368e713bd7b9fc36b
Denger Chicco Jerikho teriak mulu ama-lama bunyinya berubah menjadi “Hoam!” aliasnya bunyi kita menguap

 

 

Tapi, debat Sutradara dan Produser itu sebenarnya menarik, sih. Mereka bicara soal apakah film harus subtil dan mengundang pilihan kepada penonton, atau harus stick memuat satu suara tertentu. Dengan konteks film sebagai seni, keadaannya jadi berbalik. Justru si Produser yang membela reformasilah yang jadi seperti opresor ketika dia pengen banget filmnya menyetir penonton ke arah reformasi. Meskipun pada saat itu, reformasi memang dibutuhkan. Itulah sebabnya film yang mereka hasilkan jadi konyol. Karena suara itu dipaksakan. Tapi tetap tidak diakui sebagai film yang jelek, karena pesan reformasinya adalah hal yang dibutuhkan.

Mungkin, keadaan inilah yang dimaksud oleh Woodrow Wilson ketika dia menyebut “benih sebuah revolusi adalah represi” Gerakan yang mendorong perubahan mau tak mau, sadar tak sadar akan menyebabkan satu atau lain hal merasa terbatasi. Seperti pada membuat film contohnya. Ketika pembuat memaksakan satu suara kepada penonton, tanpa memberi ruang dialog, film tersebut telah mengekang penonton dari gagasan lain.

 

Maka dari itulah, aku selalu menilai film tidak semata dari ada atau tidaknya pesan/isu. Melainkan dari bagaimana pesan/isu/gagasan tersebut disuarakan. Diceritakan. Aum! punya isu yang penting dan masih relevan, tapi film ini tidak memahami fungsi pada konsep bercerita yang mereka pakai (atau kalo boleh dibilang, mereka tiru).

Film meta seperti One Cut dan Aum! ini kuncinya ada pada ilusi. Kita membuat film di dalam film, yang begitu imersif, sehingga penonton bertanya mana yang nyata? One Cut berhasil membuat apa yang tadinya seperti kisah zombie menjadi cerminan dari perjuangan kru membuat sebuah tayangan. Perjuangan yang beneran relate sama orang-orang yang bekerja di belakang layar. Aum! mengambil konteks represi di era reformasi. Tapi dia terasa seperti meraba situasi, seperti kita. Oh dulu mahasiswa hilang diculik. Oh, dulu karya dibredel. Oh, ada militer nyamar. Kita tahu hal itu terjadi, tapi tidak bagaimana tepatnya. Fiksi dalam film harusnya diilusikan ke dalam fakta-fakta ini. Tapi dalam Aum! apa yang tadinya film fiksi bermuatan fakta, malah berlanjut terus menjadi seperti fiksi. Apalagi dengan twist ‘sutradara ternyata adalah’ tersebut. Tidak ada yang terasa real dalam film ini. Interaksi para kru juga terasa dibuat-buat, karena dijadikan komedi ‘atasan yang galak kepada bawahan’

 

 

 

Perbandingan dilakukan bukan semata untuk mengatakan film ini meniru. Melainkan untuk melihat bagaimana konsep seharusnya memenuhi satu fungsi. Film ini terasa menggunakan konsep hanya karena konsep itu keren dan bekerja pada film lain. Padahal saat kita menyaksikan, konsep pada film ini tidak banyak menolong cerita. Alurnya semakin kerasa ngada-ngada. Isinya dari akting teater yang kaku ke adegan orang debat dan marah-marah. Kita tidak peduli sama karakter-karakter karena tidak dikembangkan (melainkan disimpan untuk twist). Tujuan untuk memperlihat represi itu juga tidak tercapai, karena hambatan yang diperlihatkan film cuma hambatan dari internal. seperti ketidakcakapan kru dan sebagainya. Jadi saat menontonnya ya tidak konek, tidak peduli. Aku tidak menepis film ini punya isu penting. Tapi punya isu tidak lantas membuat sebuah film, bagus.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for AUM!

 

 

 

 


That’s all we have for now

Manakah yang lebih kalian setuju – film harus menggiring penonton ke opini tertentu atau membuka pilihan kepada penontonnya?

Share with us in the comments yaa

 


Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Comments

Leave a Reply