LAMB Review

“They can face anything, except reality”

 
 

Sudah lumayan banyak keanehan dalam dunia film 2021, perihal bayi. Sebelum ini kita udah dapat bayi boneka kayu. Bayi setengah mesin. Dan kini, Lamb yang ceritanya terisnpirasi dari folklore atau cerita rakyat Islandia, melengkapi keanehan terebut dengan menghadirkan bayi domba setengah manusia. You would think cerita tentang pasangan yang mengadopsi bayi hibrid tersebut bakal punya beragam bahasan dan kejadian. Namun Lamb digarap oleh sutradaraValdimar Johannsson di bawah sayap studio A24. Dan film-film dari rumah produksi dan distributor tersebut tidak terkenal dengan film yang punya banyak kejadian dalam satu cerita. Buatku, film-film A24 justru dikenang sebagai yang wajib ditonton kala mau menaikkan berat badan. Karena, camilanku udah habis dua bungkus, adegan filmnya baru beres memperlihatkan karakter berjalan dari ujung layar ke layar satunya.

I don’t mean that entirely as a bad thing. Film A24, dan termasuk Lamb ini, meskipun flownya lambat, tapi sangat poetic. Visualnya dirancang untuk benar-benar nge-entranced kita. Sebab visualnya itulah yang menjadi pintu masuk kita terhadap perasaan yang digambarkan. Cerita Lamb bersetting di rumah peternakan di pegunungan. Pemandangan padang rumput luas, bukit-bukit yang senantiasa tertutup kabut, dan langit abu-abu membentang dicat ulang oleh film dengan ‘warna’ yang menimbulkan kesan tak-nyaman. Atmosfer lingkungan tersebut terasa mengekang. As far as bagaimana sebuah konsep memenuhi fungsi, film ini berhasil. Meskipun fungsi tersebut tidak enjoyable bagi kebanyakan penonton. Apalagi ketika dua karakter sentral mulai diperkenalkan kepada kita. Pasangan pemilik peternakan domba, Maria dan Ingvar. Semua mood yang digambarkan, yang nyampe kepada kita, bersumber dari dua karakter ini. Lamb meletakkan kita begitu saja di ruang dapur mereka. Tidak mengetahui mengapa mereka terasa begitu dingin. Begitu somber. Tidak bergairah.

 
Lamb-Banner
Kecuali adegan opening, yang tanpa kita sadari sebenarnya adalah adegan domba kimpoi di malam yang dingin
 
 
 

 

Ini jadi set up yang benar-benar susah untuk diikuti. Apalagi karena film ini sebenarnya ceritanya singkat banget. Jangan dulu ngomongin dialog, kejadian-kejadian yang menyusun narasi utuhnya aja enggak banyak. Lamb ini bisa saja jadi episode animasi horor Yamishibai yang pendek-pendek, yang menitnya itungan jari itu. Kita jadi ingin cepat-cepat masuk ke pusat konflik. Tapi film dengan teganya berlama-lama. Film ingin memastikan kita merasakan semua emosi yang diniatkan. Karena ini penting. Film tidak pernah menyebut sesuatu dengan gamblang. Ketika ngasih set up bahwa keluarga Maria punya kejadian masa lalu tak mengenakkan, film memberitahu kita lewat dialog ‘gajelas’. Maria dan Ingvar membicarakan seputar mesin-waktu. Aku sudah camilan bungkus ketiga sekarang, aku harus nambah terus karena kalo enggak, aku bakalan ngantuk. Namun sebelum aku sempat membuka camilan keempat, film membuatku melek dengan adegan yang sangat-teramat-real. Adegan Maria dan Ingvar membantu seekor domba melahirkan. Ingvar memegangi badan domba, Maria menarik kepala anak yang nongol di belakang mama domba. Aku bersyukur udah gak sedang makan. Dan honestly, setelah adegan itu aku gak perlu camilan lagi untuk stay awake.

Akhirnya cerita sampai ke menu utama. Kali berikutnya ada domba yang melahirkan, Maria dan Ingvar mendapati sesuatu yang membuat mata mereka membulat. Film cerdas gak langsung ngasih kita lihat. Kita kan jadi penasaran saat Maria membawa bayi domba ke dalam rumah, memandikannya di bak mandi, menidurkannya di ranjang bayi. Membungkusnya dengan selimut. Hangat. Kita merasakan juga, tapi tidak tanpa sensasi geli-geli aneh. Film ngambil waktu lagi. Ngebuild up si anak domba ini kenapa sih sebenarnya. Mengapa pasangan itu begitu sayang dan begitu protektif terhadap si anak domba. Mama domba mengembek di luar jendela, mereka usir. Ketika anak domba itu menghilang dari rumah, Maria dan Ingvar panik. Benar-benar cemas. Mereka mencari-cari ke luar rumah, tapi tidak pernah mencari ke kandang domba. Sebagai penonton, kita diharapkan film untuk mulai menambah satu-tambah-satu dari adegan-adegan tersebut. Dari perbincangan mesin waktu hingga ke kecemasan anak domba yang menghilang. Ya, pasangan ini pastilah punya kenangan buruk terhadap anak. Dan setelah si anak domba ketemu, barulah diperlihatkan dia adalah domba separuh manusia. Mereka beri nama Ada. Mereka rawat seperti anak sendiri. Realita-baru mereka tersebut lantas akan kembali ditantang ketika babak baru cerita dimulai, dengan kedatangan saudara laki-laki Ingvar, Petur, ke rumah kecil mereka.

Basically, aku baru saja menceritakan 90% isi film, hanya dari satu paragraf di atas. Hanya menyisakan yang penting-penting, yakni konfrontasi drama dan menit-menit terakhir berupa pengungkapan yang either bagi kalian terasa shocking dan seram, atau menggelikan. Tergantung dari bagaimana perasaan kalian setelah melewati nyaris dua jam yang ajaib tersebut. Segitu singkat dan, katakanlah, uneventfulnya, cerita film ini. Film baru benar-benar hidup dan menyala saat keempat karakater sudah ada di rumah itu. Padahal mestinya bisa lebih banyak dan lebih kompleks yang diceritakan. Ada yang mulai gede dan menyadari dirinya berbeda aja hanya dibahas sekilas, porsinya lebih kecil daripada durasi Maria dan Ingvar berkeliling di rumah mencarinya saat hilang tadi. Heck, keberadaan atau eksistensi Ada di dunia cerita ini saja tidak pernah dibahas mendalam. Melainkan cuma sebatas Petur bilang Ada itu tidak benar (binatang yang didandani dan dianggap anak manusia), yang tentu saja ditentang oleh Maria dan Ingvar yang tersenyum bangga memperkenalkan Ada kepadanya. Coba kalo ini sinetron, waah, Maria pasti curiga.. Jangan-jangan lakik gue selingkuh ama domba.. (Although, mungkin ini juga salah satu penyebab dia menembak mati sang mama domba).

 
lambmaxresdefault
“Ayah, kenapa aku… Ada”
 
 
 

Jadi, Baby Ada ini pastilah sebuah simbolisme, kan. Kan?

Si Ada dalam cerita ini bisa jadi serupa sosok minotaurus dalam legenda yunani, yang melambangkan kematian. Atau dia yang makhluk setengah manusia setengah hewan itu bisa juga seperti Dewa Ganesha di India, yang tampil seperti itu sebagai bentuk penyesalan orangtua yang telah memotong kepala manusianya. Atau dalam agama Kristen, Ada si domba itu ya bermakna sebagaimana domba dalam Alkitab. Makhluk suci yang melambangkan keajaiban Tuhan. Domba melambangkan purity dan keinnocent-an. Yang menarik adalah, si Ada malah bisa dimaknai sebagai ketiga simbol tersebut sekaligus.

Lamb pada hatinya adalah sebuah cerita tragis. Makanya dia dijual sebagai horor. Karena horor bukan sebatas kejadian mengerikan karena hantu-hantuan, jumpscare, atau pembunuh gila di malam hari. Horor juga adalah kejadian mengerikan yang berasal dalam kita sendiri. Dari perasaan tragis yang menghantui. Dendam, cemburu, rasa bersalah, duka. Lamb sesungguhnya bermain pada dua tema yang terakhir. Ingvar, dan khususnya Maria (tokoh utama cerita ini adalah seorang ibu) adalah pasangan yang telah melewati hari-hari penuh duka. Keberadaan Petur, dan hubungannya dengan mereka yang tersirat di dalam cerita, adalah saksi hidup dari seberapa dalam duka tersebut berdampak di kehidupan rumah tangga mereka. Untuk tidak mengatakan terlalu banyak, Ada si bayi domba, bagi mereka lebih dari kesempatan kedua. Bagi suami istri ini, Ada bisa dibilang adalah mesin-waktu, yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki atau bahkan mencegah duka yang tadi terjadi.

Tragisnya adalah, bahwa manusia yang terluka, cenderung lebih suka untuk menghadapi apapun – termasuk sesuatu yang sama sekali ajaib, sesuatu yang setidakmasukakal menjadikan anak domba sebagai anak sendiri – kecuali kenyataan pahit itu sendiri.  Film ini gak segan-segan ngasih hukuman untuk orang seperti itu. Seperti yang kita lihat terjadi kepada Maria di akhir cerita. Lamb sesungguhnya adalah dongeng rakyat penuh moral tentang orang yang jadi kehilangan begitu banyak, karena mereka berkubang dan tidak membenahi diri setelah kehilangan yang pertama.

 
 
 
 
 

Puitis, tragis, humanis. Film ini bukan hanya punya bobot, tapi juga penuh oleh ruh-ruh seni. Dia bercerita lewat visual. Dosa film ini cuma, bercerita terlalu lama. Dan terlalu sedikit. Dia tidak berhasil meyakinkan kita bahwa cerita yang sajikan ini memang harus berdurasi sepanjang itu, karena dia tidak mengisi durasi dengan seimbang. Atau katakanlah, dengan efektif. Banyak plot-plot poin yang jadi ada, dan kemudian tidak ada, dengan begitu saja. Semuanya numpuk di pertengahan akhir. Sementara di awalnya, set up agak sedikit terlalu kosong. Melainkan jadi susah untuk diikuti. Saking susahnya, penonton bisa gak sabar, dan memutuskan untuk melihat film ini sebagaimana yang mereka mau. Tidak lagi sesuai tuntunan yang disediakan. Akhiran film yang mengejutkan itu, misalnya, aku gak kaget kalo ada yang menganggapnya lucu, alih-alih tragis. 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LAMB.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap pilihan-pilihan yang dilakukan oleh Maria? Apakah di mata kalian dia adalah seorang ibu yang baik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Comments

  1. Miyanov says:

    Baru aja nonton bbrp hari lalu.
    Awalnya aku kira Ada setengah manusia itu cuma imajinasi mereka aja. Kaget bgt ps di ending kyk gitu. Kyk yg, apakah ini campur fantasi? Wkwkw
    Serem si tindakannya Maria. Ga pantes bgt dia ngelakuin itu. Anda pikir anda siapa??? Ingin ngomong gitu ke Maria
    Overall sama si ama review ini, pace nya lambat banget, tpi visualnya bener-bener bisa nampilin vibe ganjil, dingin, creepy. Typical A24 movies

Leave a Reply