FINCH Review

“If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough”

 

 

Finch-nya Tom Hanks berharap robot buatannya bisa hidup layaknya manusia. Akan tetapi, tidak seperti Pak Tua Geppetto si Tukang Kayu, Finch tidak butuh Peri Biru untuk membuat keinginannya itu terkabul. Karena Finch adalah enginer robot yang handal. Dia telah membuat robot sederhana, sebelumnya. Dia hanya perlu step up his game, dan membuat robot cerdas yang bisa bicara, bergerak, dan berpikir. Dan, tidak seperti Geppetto yang membuat boneka kayu karena kesepian, Finch membuat robot bukan untuk cari teman. Finch memang sendirian (satu-satunya manusia di tengah mesin, perkakas rongsok, dan anjing peliharaan), tapi Finch tidak merasa kesepian. Finch justru nyaman dengan keadaannya. Satu-satunya alasan dia ingin menciptakan robot seperti manusia, adalah karena Finch merasa hidupnya sudah tak lama lagi, sehingga dia harus segera mencari pengganti. Pengganti siapa dan buat apa? Pengganti dirinya untuk menjaga anjing peliharaan kesayangannya.

finch202109211022-main.cropped_1632194537
Kayaknya aku butuh juga belajar bikin robot untuk jagain kucingku

 

 

Jika cerita tersebut terdengar datar bagi kalian, maka itu hanyalah karena aku memang belum menyebut settingnya. Di sini, aku ingin memperlihatkan bahwa setting suatu cerita ternyata memanglah sangat berperan. Sehingga tak jarang, setting tersebut menjadi bagian dari karakter dalam cerita. Gini, bayangkan cerita Finch itu bertempat di masa sebelum pandemi. Lalu coret itu, dan bayangkan cerita tersebut berada dalam situasi lockdown. Ya, narasi keseluruhan yang bermain dalam kepala kalian pastilah akan sangat berbeda – tentu saja akan ada perbedaan stake, tantangan, dan bukan tak mungkin juga perbedaan solusi. Bobot motivasi Finch mencarikan teman bagi anjingnya saja bisa berbeda antara saat dia bisa menemukan banyak manusia dengan saat harus bersusah payah untuk keluar rumah. Semua perbedaan tersebut dapat muncul hanya dengan mengganti situasi yang melatarbelakangi cerita. Sutradara Miguel Sapochnik enggak mau tanggung-tanggung. Dia menempatkan cerita Finch ke setting distopia.

Lapisan ozon Bumi sudah demikian parah (jadi kayak keju swiss, kata Finch) sehingga semua makhluk hidup yang terpapar sinar matahari, bakal kebakar seolah mereka adalah vampir. Situasi ini membuat kesendirian Finch beralasan, karena sejauh yang ia tahu (dan kita lihat) tidak ada manusia yang selamat. Situasi ini juga menghantarkan kita kepada kesehatan Finch. Lewat informasi visual, kita tahu dia terkena radiasi yang cukup parah. Dan di atas semua itu, makanan pun menipis. Situasi ini menciptakan stake yang menggencet. Yang membuat Finch harus bergerak setiap hari, mencari makanan di tempat-tempat terbengkalai, mempertaruhkan nyawa dengan keluar – ke tengah cahaya matahari – dengan pelindung baju UV yang sudah rombeng, menemukan tempat-tempat yang aman – bagi dirinya dan anjingnya – dari serangan badai berikutnya. So we see Finch is in a pinch situation. Situasi itulah yang enventually mengharuskan, mendesak, karakternya untuk membuat robot dan meletakkan kepercayaan yang ia tahu amat sangat berharga.

Setelah premis manusia membuat robot untuk menjaga anjing, membangun dunia yang memuat itu sekaligus menyediakan tantangan dan desakan yang kuat, tugas Miguel berikutnya adalah memberikan tema. Gagasan apa yang ingin ia sampaikan sebagai ruh dari konflik cerita. Ibarat jika bikin robot, sutradara Miguel kini harus memberikan robot itu baterai. Trust atau kepercayaan, dipilih olehnya sebagai ‘baterai’ tersebut. Dan ini berhasil jadi motor penggerak yang efektif. Pembelajaran tentang trust yang dilalui oleh para karakter; Finch sendiri, Jeff si Robot, dan Goodyear si anjing kesayangan (hanya tiga inilah karakter yang muncul dalam cerita) itulah yang membuat cerita jadi punya hati, yang membuat narasi film menjadi sedemikian berbobot sehingga film Finch bisa mencuat melebihi statusnya sebagai film distopia biasa yang menceritakan soal bencana umat manusia.

Robot itu diciptakan Finch sebagai makhluk cerdas, setia, punya daya tangkap luar biasa (meskipun sebenarnya terpaksa berjalan dengan kekuatan 72% dari potensi aslinya) supaya si robot tinggal meniru apa yang dilakukan Finch. Ngasih makan anjing, ngendarai mobil van, bikin shelter dan segala macamnya. Satu hal yang tidak bisa diprogramkan adalah, membuat robot itu dipercaya oleh Goodyear, sang anjing. Jadi, Finch dalam sisa umurnya harus mengajarkan si robot berlaku, supaya mendapat kepercayaan. Masalahnya, Finch sendiri adalah orang yang punya trust issue. Dari pengalaman masa lalu yang ia ceritakan kepada robot dalam berbagai kesempatan, kita paham bahwa Finch enggak percayaan sama orang, bahkan sebelum bencana matahari menimpa bumi. Dalam keadaan mereka yang sekarang, ketidakpercayaan Finch terhadap orang lain semakin besar. Bukannya tidak ada lagi manusia, namun kondisi manusia berebut untuk survive telah meruntuhkan sisa-sisa tembok kepercayaan di dalam diri Finch. Terlebih karena dia dan si anjing telah hidup sebagai saksi betapa jahatnya manusia saat kondisi memaksa mereka. Jadi, pertanyaan besar yang membuat interaksi karakter-karakter ini menarik adalah bagaimana bisa seseorang mengajari sesuatu hal kepada orang lain, saat dia sendiri tidak paham sama hal yang hendak ia ajarkan.

Tentu saja tidak bisa. Finch bahkan gak bisa menjelaskan makna trust dengan sederhana dan tepat, saat si robot bertanya. Finch hanya menjawab trust adalah trust. Dia either menjawab terlalu singkat, atau menjawab dengan cerita yang sangat panjang. Finch gak tahu, karena dia sendiri gak pernah percaya sama orang lain sebelumnya.  Inilah yang harus disadari oleh Finch, dalam waktunya yang terbatas. Finch sendirilah harus yang lebih dulu belajar memahami apa itu trust, bagaimana mempercayai orang lain kembali, sebelum ia berusaha mengajarkannya kepada Jeff si Robot.

 

Banyak penonton dan kritikus yang mengatakan film ini tidak original dan membanding-bandingkannya dengan film distopia lain, dan bahkan juga dengan film Tom Hanks lain, Cast Away (2000) hanya karena setting dan situasinya. Padahal sebenarnya, Finch ini pada intinya justru lebih mirip dengan Finding Nemo (2003). Si Finch adalah Marlin yang harus belajar untuk mempercayai Dory (dan eventually Nemo) – yang dalam film ini adalah Jeff si Robot. Akan ada adegan ketika Finch harus membuat keputusan, dan Jeff mengusulkan sesuatu tapi Finch menolak karena tak percaya. Akibatnya mereka berada pada tempat yang semakin parah. Tentu saja, film ini punya pesonanya tersendiri.

finch.ucmki3.image.qoh
Robotnya mirip mukak Deadpool, dan pas ngomong kayak lagi di Red Roomnya Twin Peaks

 

 

Sebagian besar, film ini ditopang oleh kepiawaian akting Tom Hanks. Aktor satu ini, batuknya aja meyakinkan! Hanks memainkan pria terluka luar dalam dengan power yang membuat kita tidak memandang karakternya dengan beriba-iba ria. Kita bisa melihat perjuangan dan desakan. Kita bisa melihat betapa dia tidak menyerah meskipun di lubuk hati dia pesimis sama dunia. Kita bisa merasakan dia hanya hidup untuk menjamin anjingnya berada di tangan yang benar. Hanks bersinar memainkan karakter ini, dia membuat akting dengan banyak dialog itu dengan berbagai range emosi itu tampak mudah. Momen-momen ketika dia ‘mendongeng’ untuk Jeff, aku merasa gak sabar dan ikutan duduk di sana mendengarkan cerita. Hanks gak butuh flashback, cukup dia bercerita aja, semua emosi yang diniatkan, semua pembelajaran yang dikandung, sudah tersampaikan kepada kita. Maka, tugas akting Caleb Landry Jones pun tak kalah berat. Dia harus bisa mengimbangi Hanks, sekaligus sebagai robot yang satu-satunya cara menunjukkan ekspresi dan perkembangan adalah lewat suara. Caleb berhasil terdengar seperti anak yang polos ke seorang yang penuh rasa optimis, hingga menyerempet ke komedi lewat kontras karakternya dengan Finch. Developmentnya semakin terasa saat film mendekati akhir. Jeff terasa sekali perbedaannya dengan saat di awal, kita merasakan progresnya dalam belajar menjadi semakin ‘manusiawi’.

Interaksi Finch dengan Jeff, Jeff dengan Goodyear, Finch dengan Goodyear menghantarkan kita melewati naik turunnya perasaan hangat, haru, intens, dan juga kocak. Film memang gak berniat menjadi sepenuhnya depressing. Malah, lebih banyak momen-momen ringan. Momen-momen yang lebih manusiawi. Mengingat ini cerita distopia dengan tokoh manusia dan robot dan hewan, maka pencapaian manusiawi tersebut jelas merupakan feat yang luar biasa. Saat menonton, seiring perjalanan yang dilakukan para karakter menuju Golden Gate Bridge (yang membuat film ini semacam road-trip movie) kita akan merasakan cemas, dan sedikit gak tega karena kita tahu cerita mengarah kepada Finch yang harus pergi. Alias mati. Bagi naskah, inilah yang dijadikan pertanyaan untuk dijawab di babak terakhir. Apakah usaha Finch berhasil?

Enggak banyak film yang berhasil tetap stabil saat ‘mencabut’ karakter utamanya saat cerita berlangsung. Kebanyakan langsung jatuh bebas, alias sudut pandangnya jadi kacau, dan tidak terjustifikasi kenapa karakter utama tersebut harus hilang atau diganti atau semacamnya. Contoh teranyar adalah The Medium (2021), horor Thailand yang bangunan ceritanya langsung runtuh saat karakter utama dibikin tewas dan ujug-ujug diganti oleh karakter dukun yang random. Finch adalah contoh yang berhasil. Suprisingly, film ini berhasil mencapai ending yang memuaskan meskipun karakter utamanya harus undur diri. Karena naskah benar-benar ditulis dengan matang. Keseluruhan babak terakhir adalah untuk menunjukkan keberhasilan Finch. Kita melihat aftermath dan apa yang ia ‘wariskan’ kepada Jeff. Masih ingat ketika di awal ulasan disebut setting sebagai bagian dari karakter? Seiring Finch belajar tentang trust, bahwa masih ada yang bisa diharapkan di muka bumi, situasi dunia cerita pun berubah. Membantu Finch menyadari semua itu. Gampang untuk overlook dan mengatakan film ini random tiba-tiba dunianya udah gak bahaya lagi. Sesungguhnya, film meminta kita untuk percaya bahwa ada yang mendasari semua itu. Bahwa sebenarnya yang diperlihatkan bahwa masih ada harapan. Sepeninggal Finch, cerita tidak berakhir karena lewat interaksi Jeff dan Goodyear film memperlihatkan bahwa perjalanan karakter Finch sudah melingkar sempurna. Jeff mendapat kepercayaan Goodyear karena Finch telah berhasil membuka hatinya untuk sebuah trust.

 

 

 

Buatku film robot ini hangat sekali. Action dan komedi dan ketegangannya tidak pernah berlebihan, melainkan fokus kepada cerita karakter. Perjalanan manusiawi yang harus ditempuh oleh karakternya. Sebagai road-trip, memang film ini adalah salah satu yang cukup langka, karena menunjukkan karakternya sampai di tujuan, bahwa tujuan itu sama berharganya dengan prosesnya. Secara terpisah film ini memang bisa terasa kurang original. Premisnya kayak sudah banyak. Settingnya apalagi. Namun secara gambaran besar, semua elemen di film ini berada pada tempat dan memenuhi fungsinya masing-masing. Dihidupi oleh tema yang menggugah dan penampilan akting yang memukau. Mata kita pastilah kelilipan pasir jika tidak melihat indahnya film ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FINCH.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian termasuk yang susah mempercayai orang? Mengapa menurut kalian itu bisa terjadi?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. arya says:

    Langsung jadi horor! wkwkwk gak kebayang kalo beneran terjadi kayak gitu, disuruh ppkm bentar aja kita repot, gimana kalo harus di dalam rumah seharian karena mati kalo kena matahari. Satu planet jadi kayak penduduk pulau di Midnight Mass XD

  2. arya says:

    Tom Hanks banyak monolog bercerita gitu, tapi gak pernah sekalipun nadanya monoton. Kayaknya dia kalo baca laporan jumlah korban covid juga bakal jadi pengumuman yang berbobot
    Hahaha jelek gitu filmnya? Di Twitter kayaknya rame yang ngomongin “seru, bagus, dsb”.. Ntarlah aku nonton juga.. Ada dua yang upcoming sih, rencananya ditonton hari ini; Home Alone dan Passing. Kalo sempet, boleh deh ditambahin Red Notice, jadi penasaran XD

  3. arya says:

    Aku malah jadi nonton Red duluan, Passing belum hahaha
    Buutt, kayaknya gabakal direview, gatau mau nulis apa saking standarnya.. ada juga ntar ujungnya ngomel-ngomel doang bahas twist yang do nothing kecuali surprise mengecoh. Clearly, film ini cuma mau have fun dengan deadpool, the rock, ama wonder woman aja. Nothing really challenging.
    Paling kurang puas sama The Rock sih. Deadpool ama Wonder Woman masih ada kesel nontonnya karena peran mereka kan jadi orang licik semua, at least keduanya ada momen mereka kayak bener-bener bad guy. Lah si The Rock, waktu ternyata dia bad guy juga, tetep kayak orang baik. Beneran dikontrak gaboleh terlihat bgt kayak antagonis apa gimana sih dia hahaha, padahal dulu kan The Rock sekalinya jadi antagonis di atas ring, mulut dan tingkahnya bisa lebih beracun daripada actual Deadpool

  4. arya says:

    Plus, lagi-lagi The Rock main di hutan… film-film dia belakangan pokoknya selalu ada dia ditempatin di hutan, mau dijadiin running jokes buat karir film dia kayaknya xD
    Tapi karena gak ngikutin, aku baru tau si Ed itu main di GoT, beneran bisa akting dia? atau di serial itu cameo juga?
    Sekitar 2 atau 3, tapi semakin dipikirin semakin berat ke “2 dari 10 bintang emas” sih hahaha

  5. arya says:

    Typo aku, maksudnya “Plusnya”: jadi The Rock di hutan jadi nilai plus karena kayak udah jadi candaan tersendiri
    Hahaha iya, malah aku ngasihnya tinggian nilai Home Sweet Home Alone dibanding Red Notice.
    Hanya 2, karena mengingat mereka punya tiga aktor action/superhero paling hits masa kini, yang juga punya sense komedi yang tinggi, bermain jadi bad guy semua, tapi hasilnya cuma action standar, dengan cerita yang standar pula.
    Ryan Reynolds ngobrol bercanda 2 jam tanpa-script ama Dwayne Johnson aja aku yakin bakal lebih menghibur daripada film Red Notice ini xD

Leave a Reply