SHANG-CHI AND THE LEGEND OF THE TEN RINGS Review

“Its richest bequest. Its golden inheritance”

 

 

Menonton Shang-Chi, aku sejenak lupa kalo ini merupakan film superhero. Cerita tentang ‘warisan’ keluarga, bisnis yang ala gangster-gangsteran, adegan berantem yang benar-benar menonjolkan martial arts. Untuk beberapa saat, aku merasa sedang nonton film-film Kung-fu! Sampai aku menyadari yang di layar itu bukan Jackie Chan ataupun Jet Li. Melainkan bintang laga masa kini (calon legenda di depan) Simu Liu, bintang komedi dengan range drama yang belum gagal membuatku kagum Awkwafina, dan naga beserta makhluk-makhluk mitologi dari visual komputer. This is indeed a Marvel movie. Film hiburan yang paling cocok ditonton sambil makan popcorn, dengan petualangan CGI grande, dan dialog yang sama renyahnya ama popcorn itu tadi. Namun sutradara Destin Daniel Cretton jelas sekali ingin mengarahkan ini ke dalam perspektif yang lebih unik. Ke dalam karakter yang lebih representatif. Dan ‘jurus-jurus’ yang ia kerahkan sukses membuat Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mencapai keseimbangan hiburan dengan sajian berbobot. Mengembalikan film superhero Marvel ke yin-yang  yang selama ini terlupakan

sangchi-chi-iron-fist-1
Padahal tadinya aku ‘sangchi’ bakal bagus, takut kayak Mulan

 

 

Belajar dari kritikan yang menghajar live-action Mulan (2020), film Shang-Chi yang juga mengusung karakter beretnis dan mitologi yang mengacu kepada referensi budaya Cina, berlaku lebih hati-hati dan respect terhadap representasinya tersebut. Yang pertama langsung terdengar adalah bahasa. Karakter dalam film ini tidak sekonyong-konyong berbahasa Inggris semua. Sepuluh menit pertama actually full dialog Mandarin, lalu setelah nanti setting membawa cerita berada di tempat yang lebih diverse, bahasanya akan mengikuti keberagaman tersebut. Film ini lebih peka sama di mana dan siapa. Penggunaan bahasa Inggris pun jadinya tidak terasa dipaksakan. Karakter kita hidup di San Francisco, tapi bahasan mengenai mereka merupakan bahasan yang mendalam, menggali hingga ke akar leluhur dan legenda. Karena pada intinya narasi Shang-Chi memang berinti kepada keluarga.

Ketika kita pertama kali bertemu dengan Simu Liu, karakter yang ia perankan dipanggil dengan nama Shaun. Dia bekerja sebagai tukang parkir valet, bersama sahabatnya Katy (karena terlalu banyak nonton Steven Universe, aku jadi merasa suara Awkwafina mirip sama suara si Amethyst). Mereka berdua ini orangnya nyante banget. Gak kayak sahabat mereka yang orang-cina-kesayangan-keluarga banget, Shaun dan Katy lebih suka berkaraoke dan nyaman sama kerjaan mereka yang dianggap tidak memenuhi standar keluarga. Sebenarnya, ada alasan bagus – yang rahasia! – kenapa Shaun menikmati hidupnya seperti itu. Begini, keluarga Shaun bukanlah keluarga standar seperti keluarga Katy. Ayah Shaun tidak lain tidak bukan adalah The Mandarin, pendekar penguasa, pemegang senjata sepuluh cincin yang legendaris, pemimpin kelompok Ten Rings yang sudah mencatat lembar kelam sejak beribu tahun lalu. Shaun, nama sebenarnya Shang-Chi, sejak kecil dilatih ayah jadi assassin, demi membalaskan dendam kepada pembunuh ibu. Shaun kabur dari kehidupannya tersebut. Meninggalkan ayahnya, adiknya, dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi sebagaimana yang disaksikan oleh Katy dan kita, Shaun terendus oleh ayahnya, dan dia dipaksa pulang. Karena menurut ayah, ibu masih hidup. Terpenjara di tanah legenda. Shang-Chi harus kembali dan menghadapi semua yang pernah ia tinggalkan. 

Sekarang mungkin kalian sedikit mengerti kenapa aku malah ngerasa kayak nonton film Kung-fu saat nonton film ini. Naskahnya benar-benar fokus kepada konflik dalam keluarga pemimpin organisasi hitam! Shang-Chi adalah cerita tentang seorang anak yang kabur dari kehidupan itu karena dia gak sudi menapaki jalan tersebut. Mana ada cerita original dari superhero Marvel yang seruwet dan sedalam ini, at least sejak Winter Soldier? Dan naskah berhasil berkelit dari membuat Shang-Chi tampak seperti karakter sok suci yang membosankan. Karena pertanyaan yang berkecamuk di dalam dirinya adalah apakah saya pengecut telah kabur? Keluarga yang jadi sentral cerita ini ditulis dengan detil dan relatable. Semuanya jadi pendukung yang menambah banyak pembelajaran bagi karakter Shang-Chi. Ada adik perempuan Shang-Chi, yang merasa diremehkan oleh ayah, dan ditinggalkan oleh Shang-Chi, sehingga tumbuh menjadi pemimpin organisasinya sendiri. Ada ibu Shang-Chi yang dirancang sebagai karakter paling berpengaruh, yang mendaratkan dan merekatkan keluarga ini. Kematiannya jadi titik balik karena sebegitu berperannya Ibu bagi mereka semua. 

Film sempat nge-poke fun Shang-Chi yang kabur tapi ganti namanya malah ‘cuma’ jadi Shaun (ganti nama kok mirip). Namun jika kita melihat on deeper level, keputusan nama tersebut melambangkan keraguan karakter ini. Yang ditakutkan oleh Shang-Chi adalah dia bakal jadi penerus ayahnya, karena itulah yang budaya keluarga mereka. Tapi ia juga adalah ‘warisan’ ibunya.  Kebingungannya akan itulah yang membuatnya kabur. Yang harus dipelajari Shang-Chi dalam kisah ini adalah bahwa anak gak bisa kabur. Melainkan mewarisi baik dan buruk keluarga. Shang-Chi harus mengembrace, dan memantapkan apa yang nanti ia wariskan berikutnya. 

 

Dan tentu saja, ada ayah Shang-Chi. Pria yang dikenal dengan banyak nama, karena reputasinya yang mengerikan. Tapi dia settle dengan nama The Mandarin, karena baginya filosofi di balik nama itu cukup ‘lucu’ (akan ada dialog eksposisi yang menceritakan tentang ini, dikemas dalam bentuk bincang-bincang santai di meja makan). Diperankan oleh ikon Hong Kong, Tony Leung yang jago kung-fu dan drama, The Mandarin boleh jadi adalah salah satu dari sedikit sekali penjahat-Marvel yang punya karakter paling compelling. Paling manusiawi. Secara simpel kita bisa bilang dia adalah karakter jahat yang bersedia jadi orang baik atas nama cinta. Secara lebih kompleks – cara yang diterapkan oleh film ini – The Mandarin adalah karakter yang berakar pada tradisi, norma pejuang, kebanggaan, kehormatan, kekuatan (practically sifat-sifat yang dilambangkan oleh legenda kesepuluh cincin). Dia bukan karakter yang jahat licik pengen menguasai dunia. Kita akan melihatnya lebih sebagai sosok ayah yang sudah terluka banyak, tapi juga sangat keras. Kita bersimpati, sekaligus merasa takut kepadanya. Film ini bekerja terbaik saat memperlihatkan hubungan atau konflik yang mengakar begini antara anggota keluarga ini. Sutradara tahu di situlah – pada grounded-nya itulah – letak kekuatan yang dimiliki film ini, maka ia berusaha sebisa mungkin untuk mencapai itu saat men-tackle elemen yang lebih fantasi.

sangchiScreen-Shot-2021-06-25-at-10.31.21-AM
Sialnya, aku menyangchikan film ini tidak di bioskop

 

 

Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Shang-Chi punya sekuen-sekuen berantem terbaik yang pernah kusaksikan sepanjang Marvel Cinematic Universe berlangsung. Ketika film Marvel yang lain banyak berseru-seru ria dengan aksi superhero, sebagian besar porsi laga film Shang-Chi berlangsung dengan gaya berantem Kung-fu. You know, berantem yang tampak plausible meskipun memang masih sangat bergantung kepada efek CGI, stuntmant, dan kerja kamera serta editing. Seenggaknya, sebagian aktor di sini memang punya pengalaman beladiri, pembuatnya pun tampak memahami seni itu dan tau cara terbaik dalam merekamnya. Jadi mereka semua tau apa yang harus dilakukan. Favoritku adalah adegan berantem di dalam bis, sekuennya dari awal-tengah-hingga akhir is pure excitement dan joy. Sekuen itu muncul di babak awal, dan film terus menaikkan game mereka untuk aksi-aksi ini. Kita bakal melihat berantem di pondasi bambu (kayak di Rush Hour 2), dengan kamera yang aktif ‘melayang’ ke sana kemari, memastikan cerita lewat berantem itu sampai dengan gemilang. Di menjelang akhir, kita akan disuguhkan adegan berantem yang kita saksikan lewat cermin di dalam ruangan. Kamera akan berputar 360 derajat, kita akan melihat tubuh beterbangan, dengan sensasi direction yang diajak bermain-main, bergantian antara pantulan cermin dengan tidak. Ketika memang harus aksi satu-lawan-satu, film ini pun gercep dengan perspektif. Menghasilkan gerak yang dinamis sesuai gerakan berantem, tanpa pernah menjadi memusingkan. Ketika harus fantasi pun, pertarungan akan tetap terasa berbobot. Aksi-aksi seperti pertarungan Dragon Ball itu ternyata bisa kok dibikin dengan indah dan meyakinkan!

Setelah semua itu, makanya babak ketiga film ini jadi kurang greget. Setelah pertempuran kung-fu satu lawan satu, aksi berantem yang interaktif dengan settingnya, dan jurus-jurus yang sepertinya mungkin untuk dilakukan (hanya dipercantik/dibikin makin intens oleh efek komputer), di babak akhir film mengembalikan semua itu ke fantasi superhero. Pertarungan dengan naga-naga, dan makhkluk CGI. Seketika aku merasa kehilangan banget. Akhiran yang diniatkan untuk besar-besaran tersebut justru jadi terasa menutup film dengan… kecil. Dengan biasa. Tidak ada lagi excitement dari drama karakter, karena semuanya berubah menjadi “kalahkan monster sebelum dunia jadi kacau itu!” Meskipun tetapi dilakukan dengan kualitas teknis luar biasa, tapi tetap saja jika dibandingkan dengan perjalanan-karakter yang sudah kita tempuh bersama sedari awal, film ini tetap terasa berakhir dengan sedikit underwhelming.

 

 

 

Tapi ya, mau bagaimana. Tidak mungkin juga itu dihilangkan, dan meminta film untuk tetap dengan berantem ‘sederhana’. Karena afterall, ini adalah entry berikutnya dari jagat sinema superhero. Film ini terikat untuk menjadi fantastis seperti yang kita lihat di akhir. Film ini terikat oleh kebutuhan untuk ‘menjual’ dunia yang lebih besar, untuk ‘ngetease’ ke film superhero yang akan datang. Film ini terbebani oleh tuntutan menyampaikan eksposisi dan flashback. Maka, yang harus kita apresiasi di sini adalah upaya film untuk menjadi seunik dan seberkarakter mungkin, di sela kebutuhan-kebutuhan tersebut. Toh film berhasil, kita telah dibuatnya terhanyut oleh konflik keluarga yang pelik dan  menyentuh. Kita telah dibuatnya peduli sama karakter-karakter. Mulai dari pendamping atau sidekick, hingga ke antagonis, semuanya berhasil dibuat berbobot. Kita juga telah dibuat terkesima oleh dunia dan aksi-aksi yang mewarnainya. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 ten rings, eh 10 gold stars! for SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian pilih untuk lakukan jika ada tindakan atau keputusan dari orangtua yang tidak kalian setujui?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Comments

  1. Andy Setiawan says:

    Menurutku adegan romantis ngga perlu mesti jalan berdua di pantai, makan malam berdua ditemani lilin trus pamitan sambil mengecup jidat.. Itu terbukti dari adegan pertemuan Bapak dan Ibu Shang Ci yg diwarnai fighting scene yg indah tapi membuat skaligus menjadi romantis. Mengingatkan adegan Chow yun fat dan Zhang Ziyi dalam Crouching Tiger karya kereografi Yuen Wo Ping yg legend itu. Adegan favorit fighting bambu2 yg bener2 beda bgt sama film Marvel sebelumnya. Dan tentu saja Awkwafina msh mencuri perhatian dgn celotehannya, gwa ketawa pas adegan taruhan simpel tp lucu. Dan yg terakhir tentu saja kredit buat Tony Leung, umur 51tahun masih fit aja dan salut buat perawatan wajahnya krn sejak Infernal Affair tampangnya ngga berubah.

    • arya says:

      Bapak Ibu Shang-Chi romantis banget ketemunya, mereka berantem tapi terasa chemistry cintanya jadi malah kayak lagi menari. Tony udah perfect casting banget kayaknya di sini.
      Si Awkwafina sok-sok bengong lihat naga, padahal sendirinya jadi naga legenda di Raya hihihi

  2. Anthony says:

    kagum banget sama aktingnya om “Thio Bu Ki” Tony Leung, bikin hanyut dan beberapa kali simpati dengan karakter Wenwu. Aura hard boiled nya (dan aura SugDad 😀 ) kenceng banget,
    Padahal doi karakter psikopat yang kasih misi gila ke anak sulung.
    MVP scenestealer banget.
    Chemistry antara Simu Liu dan Awkwafina keren banget, ngakak pas ditanyain kapan nikah sama Neneknya Katy.

    • arya says:

      Nenek-nenek asia di mana-mana sama yaa hahaha, bawa temen beda jenis ke rumah pasti langsung disangkain pacar dan ditanya kapan nikah.
      Tony mencuri spotlight banget sih memang

  3. Iin says:

    Mengikuti kata bang Arya, awalnya “shangchi” nonton ini di Bioskop. Tapi, karena keluaran Marvel, akhirnya nonton jg. Lebih seru nonton di bioskop baaang!! hehe
    Btw, pantesan kyk pernah denger suara kyk Awkwafina itu di Raya and the dragon, tapi ga tahu klu itu dia yang dubbing ahha.
    Adegan favorit saya adalah ketika pertemuan Ibu dan Bapak Shangchi, berantemnya beneran kayak nari, hahah. Sangat bisa dinikmati! Apalagi adegan berantem di bus.. Beuuuhh, keren!!!
    Well, nunggu review dari bang Arya untuk Venom terbaru yak heeheh.. Makasiii

    • arya says:

      Rugi aku gak nonton di bioskoooppp, kebayang pasti seru banget. Dan kalo diingat-ingat kayaknya aku memang belum pernah nonton kungfu di bioskop deh.. apalagi ini superhero kungfu huwaaa
      Venom aku gak post reviewnya di sini, karena udah ‘dibeli’ ekslusif sama website CineCrib jadi kupost di mereka. Kayaknya besok udah dipublish, don’t miss it yaa xD

  4. Albert says:

    Aku suka kalimat di review Movfreak. “Wenwu bukan figur penghancur dunia. Tapi demi mengembalikan “dunianya” yang hancur, Wenwu rela bila harus menghancurkan dunia”. Suka banget Tony Leung sih. Mungkin dari pengalaman masa muda dulu suka nonton series kungfunya di Indosiar. Tapi sebetulnya apa yang dia harapkan waktu dengar bisikan istrinya? Jasad istrinya pasti udah dikubur. Apa mau ketemu rohnya? Hehehe. Eternals nunggu masuk Disney plus dulu berarti Mas?

    • arya says:

      Wah bener juga tuh kalimatnya. Kayaknya gak usah ditipupun, like, kalo monster naga itu bilangnya bakal ngidupin kembali istrinya asal dia bukain pintu gua, Wenwu pasti bakal ngelakuin itu juga walaupun dia tahu dunia bakal hancur. Segitu cintanya.
      Aku baru tau dia dulu sering main series kungfu di Indosiar hahaha
      Iya nih, semoga at least Januari udah rilis di platform

          • Albert says:

            Udah kubaca Mas. Aku baru tahu CInecrib ada websitenya, aku cuma tahu di Youtube aja, pantesan ga muncul2 wajah Mas Arya, hehehe. :Lupa sama sekali Venom 1, cuma perasaan ceritanya lumayan tapi Actionnya cuma sebentar. Wah lebih jelek ya. Credit scenenya ini entah Venom bakal masuk MCU atau Spiderman balik ke Sony kira2 mas? Aku sih maunya Venom masuk MCU, syukur2 langsung muncul di No Way Home hahaha.

          • arya says:

            Venom 1 dosanya kalo kata aku cuma kebanting ama film Upgrade yang beberapa bulan lebih dulu tayang, mirip konsep karakternya. Dan Upgrade itu low budget, tapi bisa lebih fun main di praktikal kamera dsbnya.
            Pengennya sih masuk MCU, tapi ya itu, si Sony suka labil hahaha… bisa aja mereka bikin Venom dan Spiderman banyak jenis, biar bisa bagi-bagi ama MCU haha

  5. Irfan Satya Aji says:

    Halo mas, udah lama bgt kayanya ga mampir ke sini sejak ga bisa ke bioskop krn pandemi hehe
    shang chi ni film pertama yg bs kutonton di bioskop lagi haha
    kl diliat dr komen dan mas arya juga, kayanya banyak yg awalnya shangchi ya wkwk soalnya aku juga gitu haha
    meskipun dikemas ringan (wong aja bisa karaokean disini wkwk) tp sebenernya masalah keluarga di film ini lumayan kompleks ya. dan kl liat ten rings nya, aku malah keinget penjahit yg bisa berantem di kungfu hustle wkwk
    dan omong2 soal keluarga, losmen bu broto sepertinya worth to watch mas hehe kemarin br aja nonton dan rasanya seneng film indonesia ada yg berkualitas lagi (kebanyakan nonton film indonesia di disney+ agak bikin sedih haha)

    • arya says:

      Enaknyaaa, aku masih belum bisa ke bioskop haha… semoga desember masih ada si Losmen, penasaran makin banyak yang bilang bagusss
      Aku sangchi gara-gara Mulan sih, dan Black Widow juga. Takut aksinya bombastis doang. Untungnya Shang Chi udah gak kayak gitu yaa. Mirip kung fu, cuma selera humornya aja yang masih amerika-ish, karena Marvel itu.

Leave a Reply