SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS Review

“Violence is any day preferable to impotence”

 

Seperti judulnya, Seperti Dendam (cukup disingkat begini saja ya nyebutinnya), memanglah sebuah cerita balas-dendam sebanyak film ini sebagai sebuah kisah cinta. Ini adalah film yang ada kelahi-kelahinya, ada romansa-romansanya, dan sering juga keduanya – berkelahi dan romansa itu – berlangsung sekaligus. Untuk membuat dirinya semakin unik, film ini hidup berlatar dunia 80an. Tampil layaknya film laga yang berlangsung dan seperti benar-benar dibuat oleh industri tahun segitu. Berpeganganlah yang erat, karena karya Edwin yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan ini only gets weirder. Nada yang sedari awal diarahkan berbunyi seperti komedi lantas menjadi surealis ketika elemen mistis mulai diperkenalkan. Bersiaplah karena di sini gambar-gambar di belakang truk akan bisa berbicara. Dan jika kalian mengharapkan ada sesuatu setelah semua debu-debu truk itu lenyap, setelah semua pukulan-pukulan teknis itu mendarat menghujam, Seperti Dendam bakal melayangkan serangan terakhirnya dengan ending yang begitu tiba-tiba.

dendam202112021753-main.cropped_1638442415
Film tentang impotensi tapi elemennya dibikin nyembur ke mana-mana

 

Masih ingat ayah Shang-Chi di film kung-fu MCU (Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings)? Gembong penjahat yang bertemu perempuan penjaga desa. Lalu mereka berantem dengan begitu elegan sehingga kayak sedang menari, yang menghantarkan mereka menjadi saling cinta? Well, itu semua jadi gak seberapa romantis jika dibandingkan dengan Ajo Kawir dan Iteung di film Seperti Dendam. Tadinya Ajo Kawir kepengen membunuh seorang juragan. Maka dia harus berurusan dahulu dengan bodyguardnya. Gadis yang tak kalah jagoan bernama Iteung. Dan oh boy, berantemnya Ajo Kawir lawan Iteung di lokasi truk ngangkut-ngangkut pasir itu sungguh intens. Beneran kayak film-film silat low budget tempo dulu. Edwin tidak membumbui itu dengan adegan yang elegan seperti pada Shang-Chi. Melainkan dia menampilkannya se-rough mungkin. Jikapun ada ‘polesan’, maka itu difungsikan untuk menahan tone alias nada supaya tetap berada di kotak over-the-top kelucuan.

Memang, adegan berantem awal pertemuan mereka itu membuatku tercengang. Kamera gak banyak cut, langsung aja nampilin. Aku mungkin salah, tapi mereka gak keliatan pakai stuntmen. Ada tuh saat Iteung di-powerbomb ke tanah berpasir. Maaaan… Sebagai orang yang nonton WWE religiously, aku tahu ada cara yang aman untuk ngelakuin jurus-jurus atau adegan tersebut. Berantem sekasar itu bisa dikoreografikan dengan safely. Tapi tetep saja aku kagum sekali Marthino Lio dan Ladya Cheryl berani dan sanggup ngelakuin adegan itu dengan baik.

Pertarungan nyaris hidup-mati itu jadi koneksi yang sangat personal bagi Ajo Kawir dan Iteung. Pemuda yang haus berkelahi sebagai pelampiasan frustasi dan semacam pembuktian diri, bertemu dan dibikin humble oleh perempuan tangguh yang seperti memahami lelaki seperti itu. Koneksi mereka is on another level of love. Tapi ternyata itu hanyalah salah satu bentuk unik purest love yang digambarkan oleh film ini. Untuk satunya lagi, mari kita letakkan konteks ke dalam cerita. Alasan Ajo Kawir napsu cari ribut adalah karena dia percaya itulah satu-satunya cara dia menunjukkan kejantanan. Bahwa dia masih cowok, kok, meskipun burungnya gak bisa berdiri. Kita hanya bisa membayangkan; berantemnya aja seintens itu, gimana pergumulan mereka di kasur ya. Tapi Ajo Kawir enggak bisa begitu. Ajo Kawir awalnya malah sempat minder dan menghindar. Tapi, Iteung tetep mau dan mengawini dirinya. Relationship Ajo Kawir dan Iteung lantas menjadi pondasi besar untuk bangunan cerita Seperti Dendam. Chemistry Lio dan Cheryl hanya tersendat oleh dialog jadul yang kerap sedikit janggal terdengar saat momen-momen mereka. Seperti saat berantem tadi, keduanya tampak lebih klik dalam bahasa gerak dan ekspresi. Sebenarnya itu saja sudah cukup untuk memikul narasi film ini. Karena memang Seperti Dendam lebih excellent ketika menampilkan, entah itu aksi, their whole world, atau hal sesimpel joget dangdut di kawinan.

Aku menikmati ketika narasi masih berpusat di Ajo Kawir berusaha menjadi better man setelah menikah dengan Iteung. Dia berusaha meninggalkan kebiasaan lama. Bahkan berjanji untuk tidak membunuh si Macan, seorang lagi gembong penjahat dengan kepala berharga tinggi. Harga yang mestinya bisa memberikan kehidupan yang layak bagi rumah tangga Ajo. Namun konflik sebenarnya baru datang setelah ini. For Ajo dan Iteung sama-sama punya hantu di masa lalu. Impotensi Ajo berasal dari trauma masa kecil perlahan tapi pasti menjadi pemicu, sementara teman lama Iteung datang menawarkan solusi sekaligus ancaman bagi Ajo. Jika ini adalah cerita biasa, film ini akan berakhir saat turning point. Saat yang berusaha dibangung Ajo bersama Iteung hancur, membuat mereka terpisah. Seperti Dendam sekarang barulah jelas intensinya. Film ini ingin mengeksplorasi impotensi – dalam hal ini bisa dilihat sebagai pria yang merasa dirinya lemah. Kenapa seorang pria bisa merasa begitu. Bagaimana menyembuhkan impotensi berarti adalah bagaimana cara yang benar bagi seorang pria merasa dirinya jantan. Apakah merasa macho memang sepenting itu. Pamungkas film ini sebenarnya terletak saat eksplorasi itu. Saat menunjukkan Ajo Kawir berusaha ‘menemukan jalan pulang’ kepada Iteung. Namunnya lagi, justru di paruh akhir yang difungsikan untuk itulah, film ini terasa mulai gak koheren. 

Bahkan Mahatma Gandhi yang pacifist tulen aja bilang lebih baik menjadi violent jika itu satu-satunya cara untuk mengklaim power. Ajo Kawir jadi impoten setelah peristiwa traumatis yang menimpa dirinya. Impoten di sini adalah lack of power. Menjadi violent bagi Kawir bukan hanya pelampiasan frustasi, ia semestinya belajar menyadari bahwa itulah perjuangannya untuk berani mendapatkan kembali hal yang hilang dari dirinya karena trauma.

 

Begitu masuk ke paruh akhir, Seperti Dendam seperti berjuang mencari arah untuk finish. Tidak lagi berjalan untuk bercerita. Melainkan jadi seperti masuk ke mode mengakhiri cerita dengan tetap bergaya. Masalahnya, di titik itu masih banyak elemen yang harus diceritakan. Ketika menggali lebih dalam ke asal muasal penyakit Ajo Kawir, ataupun ketika memaparkan kejadian horrible apa yang menimpa Iteung saat masih masuk usia remaja, film mulai menapaki arah yang surealis. Katakanlah, ada karakter ‘hantu’ yang dimunculkan. Lalu juga ada perihal perilaku semena-mena aparat yang dirahasiakan, yang juga mengait ke persoalan petrus dan presiden di periode waktu itu.  Untuk menambah kuat karakter periode dan dunianya, film juga sekalian memberikan peristiwa gerhana sebagai latar. 

dendamSeperti-Dendam-Rindu-735x400
Ratu Felisha mainin salah satu karakter terseram seantero 2021

 

Karakter-karakter baru pun lantas muncul. Mereka sebenarnya terasa punya kepentingan yang signifikan di dalam cerita ini, tapi karena Seperti Dendam sudah menjadi medium film, penempatan mereka tidak terasa benar-benar menjustifikasi keberadaan mereka itu sendiri. Dengan kata lain, aku merasa mereka jadi dimunculkan ujug-ujug saja. Tidak ada bedanya dengan si karakter ‘hantu’ yang tau-tau ada begitu sesajen dibakar. Film seperti Dendam pada akhirnya terkekang juga oleh hakikatnya sebagai cerita adaptasi novel. Yang juga kentara terpengaruh oleh mendadak banyak elemen ini adalah tone cerita. Sedari awal, Seperti Dendam memang tidak pernah saklek. Apakah ini satir. Apakah kita memang diniatkan untuk tertawa melihat Ajo Kawir berjuang membangunkan burungnya. Apa yang harus kita rasakan melihat Ajo Kawir kesenengan dihajar orang-orang yang diajaknya berkelahi? Tapi begitu paruh akhir dan segala elemen baru masuk, tone semakin tak menentu lagi. Di bagian yang seperti dirancang untuk membuat kita takut, kita juga merasakan harapan bertumbuh. The only constant adalah pada adegan berantem yang selalu menarik, dan jadi penawar bingung dan sumpeknya semua terasa.

Novelnya sendiri memang aku belum baca. Jadi gak bisa mastiin juga seberapa ‘sama’ film ini dibuat dengan bukunya. Biasanya buku memang lebih leluasa sih, lebih banyak ruang juga. Film adaptasinya ini seharusnya bisa lebih luwes. Mengingat banyaknya muatan, dan style yang mencakup surealis dan menonjolkan seni bercerita, sepertinya bisa lebih asik kalo sekalian aja film ini tampil acak kayak Pulp Fiction (1994). Gak usah runut atau linear. Bagi semacam segmen per karakter, kreasi di urutannya saja, bolak balik saja tak mengapa. Sekalian juga per segmen itu tone-nya bisa beda. Dengan membuatnya begitu, semua yang diniatkan untuk ada masih bisa tertampung semua. Juga, film jadi gak perlu mikirin dan rush menuju ending seperti yang kita saksikan sekarang ini.

 

 

 

Dari tiga-besar film Indonesia tahun ini, film inilah yang memang terasa terhambat oleh adaptasi. Dua film lainnya itu luwes dan bisa mencapai ending yang membayar tuntas semua. Film yang satu ini tidak begitu. Paruh pertama terasa lebih enak karena masih mengalir sebagai cerita, yang fokus ke karakter. Ketika sudah mendekati penghabisan, muatan yang seambreg mulai terasa pengaruhnya. Film jadi berusaha untuk mengakhiri aja. Elemen kritik ke politik, komedi, horor, atau bahasan lainnya pun jadi tempelan at best. Padahal aslinya kan tidak seperti itu. Mereka harusnya jadi esensi. Film ini perlu untuk jadi bold, aneh, kasar, lucu, miris, dan sweet sekaligus. Untuk pembangunan itu semua – dan pembangunan dunianya – kerja film ini sangat excellent. Dia berhasil. Saat menempatkannya sebagai satu film koherenlah, film ini kurang mulus. Maka, mungkin sebaiknya jadi total aneh saja sekalian. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian siapakah Jelita? Apakah dia hantu Rona Merah, atau ada hubungannya dengan Iteung? Apa makna karakter ini bagi kedua tokoh sentral di dalam cerita?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. perkyfinger says:

    Nah iya, waktu Jelita muncul filmnya jadi agak downgrade dan bingungin. Karakternya memang kuat tapi random banget tiba2 jadi mistis (mana make up nya mirip Suzzana LunMay). Tapi cukup suka dengan character development nya Ajo Kawir yang buas beringas jadi tobat karena bucin

  2. Iman says:

    sangat menikmati adegan kelahinya, terutama adegan awal ajo-iteung dan pas di penjara, sebentar tp sangat membekas. cerita novelnya memang sangat “padat” dgn pengenalan karakter2 yg pas dan sejalan cerita bergerak menjadi semakin koheren dgn ritme penceritaan. dalam film semua diinginkan masuk jadinya separuh terakhir jd seperti tugas kuliah yg harus dikumpulkan dlm satu malam, gurung gusuh.
    latar iteung dengan pak toto hy diceritakan sekilas sama jelita, padahal kl ada adegannya bisa menjadi lebih kuat bagaimana kondisi iteung jd mudah tertarik dgn stimulan laki2, cerita mono bisa smp kelahi juga nanggung.
    tp sebagai suatu produksi sy sangat menikmati film ini.

    • arya says:

      Ooo si Iteung itu memang ada kondisi juga aslinya ya? Di film ini aku ngeliatnya ragu juga, entah dia ke Reza karena benar-benar merasa lonely (ditambah Ajo gak lagi seagresif sebelum mereka kawin) atau memang cerita mengontraskan kebutuhan karakter mereka (yang satu gak bisa ngaceng, yang satu nepsongan). Kurang terdeliver karakter Iteung di film aku ngerasanya.
      Kalo yang Si Buta Jagoan di penjara itu siapa latar belakangnya?

      • newadityaap says:

        Kalau dia ke Reza aka Budi Baik tuh semacem “bisnis/bales budi” bukan ya? Kan dia janjiin bakal nyari 2 orang yg bikin trauma Ajo Kawir. Makanya ketika si Budi ingkar janji langsung diabisin sadistically (ngeri loh bayangin paku di tembok nembus tengkorak).
        Selain adegan kelahi, yg dinikmatin tuh adegan berantem pake truk. Kalo di The Raid 2 kita dapet mobil vs mobil, di sini dapetnya truk vs truk.

        • arya says:

          Iya, Iteung kan menduga kalo dua orang itu dihabisi, Ajo bisa ‘sembuh’. Pemicu Iteung pengen bikin Ajo sembuh itu sih maksud aku di atas itu. Urge dia yang di awal ikhlas ngawinin Ajo itu sumbernya dari mana. Kupikir, ini pastilah bahan eksplorasi karakternya. Cuma di film, masih kurang tegas tampaknya. Maka kutanya, mungkin di novel Iteungnya lebih jelas apa gimana, perbedaannya dengan di film haha
          Dapet banget sih ini mainin gimmick truk-truknya. Keren xD

      • Iman says:

        Iteung pernah di abuse (smp diperkosa) oleh pak Toto gurunya sd/smp (lupa), setiap akhir pelajaran dia disuruh bantu admin oleh tuh guru dan disitulah berawal kejadian yg bikin iteung menjadi “ketagihan”. dari mulai adegan awal dia menolak smp karena kalah tenaga, gak enak sama org tua/guru, jd diam saat dilecehkan dan berakhir menikmati (masa2 baligh bagi perempuan). Budi Baik tahu itu, makanya walaupun dlm setiap pertarungan dia kalah dia tahu kelemahan Iteung dengan seducing her.
        Ki Jempes, lelaki tua buta, org yang sangat disegani di penjara, jagoan beladiri. Dia tahu Ajo anak yang baik, dia brutal di penjara dengan alasan yang membuat Ki Jempes kasihan, dari dialah Ajo nambah kepiawaiannya dalam bertarung.

        • arya says:

          Karakternya semacam ketagihan seks gitu ya.. traumanya bekerja berlawanan dengan trauma Ajo. Wah ini makin menarik sih sebenarnya dinamika Ajo dan Iteung. Cuma di film aku ngerasanya kurang mendalam sih, lebih ke kejadian apa lalu berikutnya apa aja.
          Kebijakannya Ajo di akhir itu juga kayaknya turunan/ajaran dari si Ki Jempes itu ya.

      • Iman says:

        Yes betul bgt, kontrol diri Ajo didapatkan dr Ki Jempes, sampai dia bisa jadi mentor buat si Mono Ompong. Relasi Mono sama Ajo juga jadi bagian favorit aku di novel.

        • arya says:

          Di film singkat banget sih ya.. tau-tau ada si mono aja, trus udah akrab gitu kan mereka. Trus tau-tau ikut tinju-tinjuan. Masalah nempel nyembur si mono aja dikasih tau sebaris dialog doang. Tiga jam mestinya ini filmnya hahaha

  3. Efi Fitriyyah says:

    Telingaku merasa geli sama dialognya. gimana ya? hehehe dan keberadaan Jelita itu emang bikin mbulet dan ga paham apa hubungannya dia dengan orang-orang di film ini. Lebih suka lihat gelutnya terutama pas saling bantingnya Iteung dan Ajo. Secara elemen jadulnya aku merasa mataku terasa pedas, bold banget buatku mengingat filmnya melintasjuga time line awal tahun 90an setelah mereka menikah

    • arya says:

      Hahaha iya, begitu Jelita muncul, aku langsung bengong aja.. filmnya pun langsung jadi bingungin ya setelah Jelita ada. Padahal pengen lihat gelut-gelutnya aja terus, seru XD
      *komen teh Efi yang ini ternyata nyasar ke spam, untung keliatan pas aku pembersihan bulanan, maaf jadi telat replynya

  4. クリス (@christmellody) says:

    Nah, kurang lebih sepemikiran deh soal film ini, seperti yang kubilang juga, ini tuh jatohnya “a jumbled mess of conflicting genres” karena ketika pembuka udah oke, tau-tau pindah ke hal lain padahal yang barusan belom tuntas, begitu masuk ke ide baru, pindah lagi, terus aja begitu, dan ketika di akhir udah bingung mau langsung dibawa aja semuanya. Mau satir enggak jadi, mau jadi action juga enggak 100%, mau jadi romance cuma lompat lompat, mau jadi kritik sosial juga terlalu hiruk pikuk sama semua elemennya. Bingung. Beneran pas ending langsung “Eh?”
    Btw, saya termasuk pembaca buku juga, dan kalo dibilang akurat ya ini akurat, cuma benar seperti yang dibilang, media tertulis punya banyak ruang untuk eksplorasi, sehingga semua elemen tadi bisa jalan seimbang, cuma ketika jadi film ya begitulah.
    Lalu, karakter (hantu) Jelita di film juga itu improvisasi khusus untuk film (dikonfirmasi mas Eka sendiri waktu dia bilang di Twitter Spaces), karena di buku enggak seperti itu. Cuma ya balik lagi, malah nambah satu elemen lagi di filmnya: mistis. Maka kesimpulannya, nonton ini berasa enggak tuntas, sama sekali.

    • arya says:

      Begitu udah dipenjara, ceritanya langsung hiruk pikuk ya, mas. Udah gak kayak mau cerita lagi, tapi jadi kayak mau nampilin semua isi bukunya sebelum durasi beres. Jadi gak ada yang kena satupun.
      Oh gitu, soalnya ada yang komen juga katanya ciri khas edwin di elemen mistis surealis kayak gitu, jadi berarti memang improv khusus film dong ya. Pas beres nonton kemaren itu, memang langsung ngernyit sih. Kirain aku doang, pas nanya ke Dwi, ternyata dia juga sama. Eh, Mas Chris juga ternyata hahaha

      • クリス (@christmellody) says:

        Iya, scattershot abis dengan durasi segitu, tapi enggak yakin juga kalo durasi diperpanjang bakalan ngebantu hahaha
        Yang semangat kayaknya Robby doang sih xD
        Tapi satu hal yang menarik juga soal elemen mistis, waktu pas inget judul bilang kalo itu di Bojongsoang tahun 1989, aku pikir berarti ini di Bandung, cuma banyak kendaraan yang hilir mudik plat nomornya AK, dan ketika dicari, ga ada kota dengan plat nomor AK. Berarti memang dibikin sefiksi mungkin dengan detil kecil kayak gitu. But then, si Robby bilang kalo AK itu maksudnya mungkin Ajo Kawir. Berarti ini semua adalah universenya? Hahaha

        • arya says:

          Oohahaha aku gak ngeh plat-platan, berarti ini memang set dunia antahberantah sebenarnya ya.
          Membantu, tapi jadi cerita biasa. Kalo udah memang pengen aneh-anehan, pengen cerita ini enggak dimake-sensekan sedari awal, mestinya ya harus lebih total lagi aja. Aku pas nonton kebayangnya Pulp Fiction sih, yang acak aja urutan kejadiannya. Jadi kita gak mikirin urutan/plot lagi, tapi udah nikmatin craft dan keanehan dan karakternya aja.

  5. Fazanaya says:

    Untung aja sebelum nonton film ini, aku uda baca review sana sini, jadi nggak pusing2 amat, lumayan menikmati pas nonton. Agak bingung di babak akhir, kenapa Jelita harus turun tangan sendiri buat ngebunuh Paman gembul. Eh ternyata setelah aku cari tau, Paman gembul ada hubungannya sama 2 Polisi yg memperkosa Rona merah waktu itu. Asli kurang begitu paham sama urusannya Paman gembul, petrus, dan 2 polisi itu pas nonton.
    Yup siapakah Jelita? Motif nya apa kok tiba2 muncul diantara iteung dan Ajo? Yang pasti buatku, Jelita ini sepertinya punya masa lalu/latar belakang yg sama kayak Iteung dan Ajo. Jelmaan Rona Merah seperti kata mas Arya? Bisa jadi.
    Jujur, waktu nonton film ini berasa agak capek, karena alurnya lompat2.
    Tapi terselamatkan sama kemunculan Jelita yg buatku malah lucu walau jadinya aneh/absurd he..he…
    Cerita yg diusung sama film ini sangat menarik sebenarnya, tapi ya gitu ada yg masih menyisakan tanda tanya. Mungkin saya harus baca bukunya.

    • arya says:

      Hahaha iya, aku juga gak paham sebenarnya hubungan Paman Gembul dengan mereka semua, selain dia orang yang bayar Ajo dan Jelita. Adegan matinya pun aneh kan; abis ngomongin Soeharto mancing ikan tapi pake orang yang nyelem nyantolin ikan ke kailnya, si Paman Gembul malah mati dibunuh Jelita yang muncul dari laut pake pakaian ninja. Apa mungkin Jelita di sana sebenarnya bukan Jelita ya – apa mungkin sebenarnya Paman Gembul di situ mati ditembak petrus karena kedengeran lagi gibahin presiden?
      Bingung sih banyak karakter, kayaknya memang harus baca bukunya xD

  6. Avant Garde says:

    Bang, yg adegan panas nggak dibahas nih wkwkwk….
    Agak bingung sih kalo gak baca novelnya, kata temanku yg udah baca Jelita emang hantu yg mati habis diperkosa Paman Gembul makanya dia balas dendam sama Paman Gembul

  7. Farron says:

    Teori gua sih Jelita itu orang sakti iseng yang punya kemampuan teleportasi. Masa hantu bisa mancing ikan make kostum ninja terus nyabet kaki orang tiga detik kemudian?

    • Arya says:

      Iya sih. Secara filosofis mungkin kita bisa nyimpulin Jelita ini perwujudan dari ‘darkness’ karakter-karakter. Muncul jadi satu makhluk Jelita ini. Tapi secara eksistensi, ya bingung juga. Hantu bukan, orang juga bukan. Ya mungkin memang amannya anggap dia sosok sakti saja hahaha

        • Arya says:

          Haha ya, itulah salah satu gunanya kritik/review. Supaya kita bisa nonton casual gak pake mikir. Lalu setelah nonton baru kita baca ulasan, biar dapat insight lain yang ada dari filmnya.
          Kalo semua orang nonton gak pake mikir simbol-simbol, kasian pembuat filmnya. Karena film kan bentuk komunikasi dia ama penonton. Film mau itu dibikin seasal apapun, pastilah ada sesuatu yang ingin disampaikan pembuatnya. Makanya, film butuh ada sebagian penonton yang menyampaikan apa-apa yang sekiranya luput/tak dipedulikan sama penonton lain, atau oleh dirinya sendiri.

Leave a Reply