PENYALIN CAHAYA Review

“If he cannot silence her absolutely, he tries to make sure no one listens”

 

 

As of right now, people are just projecting their hate onto this movie. Kebencian yang memang layak sekali untuk dikoarkan karena bersumber dari dugaan kekerasan seksual yang ditutupi, yang ironisnya jadi tema dalam cerita. Sehingga orang-orang sekarang either mengasihani korban, atau mengutuk pelaku yang malah dapat penghargaan dengan menuliskan cerita ini. Like, hampir semua orang yang kulihat di timeline Twitter, yang memilih untuk menonton film ini, menyaksikannya supaya bisa membuktikan dosa itu benar tercermin ke dalam cerita. Menontonnya supaya bisa mengutuknya. Menonton tanpa apresiasi – apalagi memuji dan menikmati – sebagai bentuk solidaritas dan pembelaan kepada penyintas-penyintas yang didramakan. Mengutuk kekerasan seksual dan mengutuk pelakunya jelas adalah perbuatan yang benar. Tidak akan ada yang meragukan di sisi mana kita berpihak when it comes to case like this. Everyone should condemn it. Namun, film tentu bukan persoalan satu orang. Hanya untuk menilai salah-benar adalah alasan yang ‘kurang tepat’ untuk menonton film. Karena menonton harusnya pertama-tama untuk personal.

Aku gak meminta kalian untuk berhenti menyuarakan kebenaran dan berhenti membenci kasusnya. Aku hanya meminta untuk sejenak kita memisahkan film ini dari pelakunya. Toh film hanya ‘mesin fotokopi,’ bukan satu orang yang menyalinkan sesuatu di atasnya. Aku ingin meminta waktu sebentar untuk kita memikirkan apa yang diomongkan Penyalin Cahaya kepada kita, masing-masing. Seperti apa kira-kira dialog kita dengan film ini. Jika kita bukan korban, jika kita bukan pelaku, maka siapa kita, kata film, di cerita ini. Di mana posisi kita. Apa yang kita lakukan di cerita ini. 

penyalinmedia
Kenapa di akhir itu cuma dua cewek yang mendorong mesin fotokopi ke atas gedung? Karena yang cowok Tariq

 

Penyalin Cahaya bercerita tentang mahasiswi berprestasi bernama Suryani. Perempuan yang aktif di kegiatan teater kampus, sekaligus sibuk membantu usaha warung makanan milik orangtuanya. Selain sedikit masalah dengan ayahnya yang keras, things seem going well untuk Sur. Permohonan beasiswanya hampir tembus. Pertunjukan teater mereka sukses berat. Namun semua itu sirna ketika Sur menemukan dirinya terbangun kesiangan esok hari. Beredar foto-foto dia lagi mabok dan berpesta pora di acara sukuran klub teater tadi malam. Permohonan beasiswanya lantas ditolak. Sur diusir dari rumah. Sur yang sama sekali tidak ingat apa-apa kini berusaha membersihkan namanya. Mencari tahu siapa yang telah mengambil foto dan menguploadnya, hanya untuk menemukan perbuatan mengerikan lain yang malam itu terjadi kepadanya. Dan mungkin kepada banyak lagi teman lainnya.

Jadi, di mana aku dalam cerita Sur Menuntut Kebenaran dan Keadilan ini? Aku ngikutin perjuangan Sur menyibak misteri. Aku melihat ketika Sur malah balik dipersalahkan. Dia bicara dan mempertahankan diri tapi, aku menyaksikannya, jadi malah berbalik dituduh melempar fitnah dan meminta maaf walaupun di sini dialah yang paling dirugikan. Hidupnya hancur. Dan apa yang kulakukan? Aku hanya bisa merasa malu. Sedih dan marah juga sih, tapi yang paling nyesek kurasakan adalah malu. Karena film ini memperlihatkan kepadaku kesusahan yang harus dilalui Sur saat speak up sebagai korban. Diperlihatkan dengan emosi yang sangat mendetil, dalam teknis visual yang terlihat begitu luwes bermain close up dan warna-warna, sehingga kadang seperti realm fantasi tapi terasa menampar saking realnya semua terasa. Film ini dihadirkan ringan, tapi karena itulah justru terasa semakin menohok. Karena aku yang sama sekali gak tahu sesusah apa bagi korban seperti Suryani, yang merasa semua bisa selesai dengan enteng, jadi benar-benar merasa tersadarkan dengan tamparan. Malu karena ternyata sesusah itu bagi Suryani, dan Suryani-Suryani lain di luar sana. Malu karena kita gak doing enough to help them

Film ini paham bahwa awareness terhadap itu harus ditingkatkan. Jadi mereka membuat Sur menempuh semua yang kita jatuhkan kepada korban pelapor setiap kali ada kasus seperti ini. Sur akan dicurigai berbohong. Sur dipersalahkan karena ceroboh. Sur dianggap mencemarkan nama baik. Semua itu ditampilkan film dalam gambaran yang begitu naas, bukan semata demi dramatisasi ataupun glorifikasi penderitaan korban. Melainkan untuk ngeshame kita yang entah kenapa selalu takut untuk mempercayai korban. Kita malah lebih suka mempertanyakan mereka. Akhirnya membuat mereka senewen sendiri, merasa diri merekalah yang salah. This is the worst feeling. Film dengan berani mengangkat itu. Konflik personal Sur dieksplorasi. Dia merasa bersalah melanggar aturan ayahnya. Dia merasa bersalah nuduh temannya. Telah ngebajak hape mereka. Adegan Sur dan teman-teman nonton rekaman CCTV dan kemudian tuduhannya berbalik menjadi Sur malah disalahin teman-teman, duduk terdiam di sana, dengan pikiran berkecamuk antara apa ia dia salah dengan masih ada satu hal yang gak kejawab baginya, merupakan salah satu yang paling menohok. Menciptakan intensitas, dan karakter building yang kuat. Sur tidak digambarkan tak-bercela, dia tidak selalu benar, dan ini jadi menambah lapisan konflik. Ke kita, yang selalu failed mengenali urgensi korban. Bahwa sekalipun korban tampak bersalah, itu tidak mengurangi kenyataan bahwa dia adalah korban kasus kekerasan. It still happened to her. Help her.

Dengan begitu, ironi yang digambarkan film ini jadi semakin kuat. Sur, untuk speak up, terpaksa harus bertindak sendiri. Tanpa dukungan. Dia harus melanggar hukum untuk membuktikan dirinya tak bersalah dan adalah korban dari ini semua. Arahan untuk perjalanan karakter ini terasa begitu kuat. Mantap mengarah kepada efek yang diniatkan. Thriller bergaya misteri whodunnit dipilih untuk semakin mengontraskan. Kenapa? karena whodunnit biasanya simpel. Everybody is suspect tapi ujungnya selalu siapa yang salah, siapa yang benar. Sur pikir dia tinggal menemukan siapa yang upload. Siapa yang membiusnya. Sayangnya, urusan kasus kekerasan seksual di kita belum bisa jadi sesederhana itu. Tidak dengan relasi kuasa dan ketimpangan gender masih merajalela. Padahal seharusnya ya sederhana, orang yang berbuat salah, ya harus dihukum. Tapi kenapa Sur yang jadi semakin susah dan sendirian. Di pilihan bercerita inilah gagasan film sesungguhnya juga berada.

Bahkan penampilan akting Shenina Cinnamon sebagai Suryani tampak dikawal sangat ketat. Seperti misalnya ada beberapa dialog yang diucapkan dengan sedikit belibet olehnya, tapi oleh cara film ini mempersembahkan, belibet itu jadi tampak sesuai dengan konteks. Bahwa karakter ini memang sedang mengalami kejadian yang emosionalnya harus ia pendam sendiri. Sehingga ia ‘bergetar’ menahan semua itu.

Yang ditunjukkan dengan begitu emosional oleh film ini adalah bahwa pilihan satu-satunya bagi korban kekerasan  adalah untuk diam. Bukan karena mereka mau diam. Melainkan karena diam berarti pilihan yang paling aman. Karena keignorance kita-lah mereka memilih itu. Angkat bicara menjadi sulit. Bukan saja membuka trauma, tapi juga sebab kita masih lebih cenderung tidak mempercayai korban. Sementara pelaku dengan gampangnya memainkan kuasa untuk mendiamkan, bahkan balik menuding mereka. 

 

Mitologi medusa jadi alegori yang tepat. Dalam adegan revealing yang dibuat sangat teatrikal, mendadak realm fantasi tadi mendobrak kesan realism yang dibangun, kita diperlihatkan pelaku yang sebenarnya beraksi kayak wayang orang di tengah asap, berdialog soal medusa dan perseus. Di depan korban-korban yang dibekep. Adegan ini memang terlihat aneh dan over the top. Tapi masih berfungsi efektif dalam memuat gagasan. Karena beginilah gambaran korban-korban kekerasan seksual di dunia nyata. Mereka dibungkam. Mereka jadi terdiam. Membatu, kayak korban Medusa. Pelaku di cerita ini bilang dirinya Perseus, but really, pelaku sebenarnya lebih cocok dikatain medusa. Karena udah bikin korban membatu. Pelaku bebas bergerak. Terus beraksi ke sana kemari, menepis tudingan sana-sini, dan balik menyalahkan korban. Memastikan tidak ada yang mendengarkan mereka. Dan kita simply tidak melihat itu.

penyalininopsis-Film-Penyalin-Cahaya-Angkat-Cerita-Tentang-Kekerasan-Seksual
But now we know, dan kita kasih cermin ke Medusa. Mereka kini yang diam membatu.

 

Menjadi whodunnit ternyata punya lubang jebakan sendiri. Dan penulisan film ini enggak seanggun arahannya, sehingga film kecemplung juga beberapa kali. Dalam pengembangan misteri misalnya. Untuk membuat penonton tetap engage ke misteri, film paham harus mengungkap perlahan. Hanya saja, misteri ini terlalu dielaborate. Dari siapa pelaku upload, hingga ke pelaku pelecehan yang lebih besar, film terlalu sibuk mengembangkan seolah ini adalah kejahatan cerdas. Terselubung, terencana dengan matang. The crime keeps getting bigger. Hingga jadi kayak mustahil. Ya mustahil terjadi, mustahil gak ketahuan, mustahil ada yang bantuin. Kasusnya sendiri, jadi kayak ngada-ngada. Di sini aku bisa lihat penonton yang udah tahu kasusnya bakal ilfeel lagi saat menonton. Karena film tampak seperti mau ngepush kehebatan pelaku. Yang berlawanan dengan gagasan dan sasaran dialog film. Kita. Penyalin Cahaya harusnya ngepush narasi dari perspektif Sur untuk menegur kita yang gak melakukan apa-apa melainkan mempersulit korban. Bukan untuk memperlihatkan soal rencana sinting dan rapi si pelaku. 

Sehingga film terasa jadi lebih panjang daripada seharusnya, untuk urusan kasus yang tidak perlu terlampau digayain. Seharusnya waktu dipakai untuk ngeresolve beberapa hal. Terutama dari sudut pandang korban seperti Sur dan yang lain. Turn around mereka perlu dieksplorasi lagi karena berkenaan dengan kesukaran membuka suara. Aku sendiri sebenarnya pengen banget konflik Sur dan ayahnya diresolve, seperti Sur dengan ibu. Terutama karena ayahnya yang paling keras tidak mau mempercayai Sur, sementara dia juga ada benarnya – kalo ayah gak nyuruh Sur pake baju dalam, Sur gak akan pernah menyadari satu kejanggalan kunci yang membuatnya yakin dirinya ‘dikerjai’. Yang paling kurang greget sebenarnya adalah karakter Amin (Chicco Kurniawan di sini mirip John Cho ya haha) sahabat Sur yang tukang fotokopi dan menampung/memfasilitasi usaha Sur. Kalo kita balik ke kasus, menurutku ke dalam karakter inilah co-writer menuangkan dirinya. Pelaku in the past, dan kini berusaha meredeem diri dengan membantu Sur. Tapi yang dilakukan Amin tidak cukup. Hanya sebatas memberi mesin fotokopi. Sikapnya tidak pernah diselesaikan. Pengkhianatannya dirasakan oleh Sur, sebesar ‘pengkhianatan’ yang penonton rasakan sehingga banyak yang akhirnya memilih untuk tidak lagi mendukung film penting ini.

 

 

With all of that being said, pendapatku terhadap film ini – dan kasusnya –  ada dua. Pertama untuk filmnya sendiri. Aku masih menganggap film ini layak menang Terbaik FFI. Karena pesan dan relevansinya. Karena arahan dan teknis dan permainan aktingnya. Tapi tidak untuk sebagian lagi, terutama untuk penulisan. Yang memang terlalu bombastis, seringkali tidak sesuai dengan niat filmnya sendiri. Kedua, mengenai tujuan film dan kasus itu sendiri. I feel like, keberadaan film ini penting karena menyadarkan kita bahwa korban-korban itu susah mendapat keadilan, maka permudahlah. Bantu mereka sebarkan suara, karena itulah justice yang paling mungkin bisa mereka dapatkan. Akan tetapi, kalo dengan keberadaan film ini malah membuat korban semakin merasa tak diperlakukan adil, membuat mereka makin susah mendapat justice, maka menurutku hate it if we must. Sebaiknya film ini bertindak tegas dan merestore itu. Jangan sampai film ini hadir tapi jadi bertentangan dengan makna keberadaannya sendiri. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PENYALIN CAHAYA

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kebanyakan orang masih begitu sulit mempercayai korban?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Fahira says:

    Sejauh yang aku baca, ini review paling netral dan baik tentang Penyalin Cahaya. Awalnya aku ikutan ‘gemes’ dengan sikap ayahnya Sur yang terkesan ignorant, dan baru sadar kalo justru sikap ayahnya juga yang jadi petunjuk pertama buat kasusnya.

    • arya says:

      Ayahnya memang paling minta dibejek sih, coward banget ngelindungin keluarga aja gak bisa. Di cerita ini, ya Sur memang gak perlu juga berterima kasih sama ayahnya. Bukan ayahnya benar, dan dia salah. Tapi gimanapun orangtua adalah dikit-dikit omongannya yang kalo diikutin gak bikin kita rugi hahaha..

  2. gina says:

    Bagus banget review nya mas. Aku setuju sih
    Sekarang jadi heran kmrn liat org2 yg udh nntn duluan di JAFF sblm kasus nya kesebar pada bilang filmnya bagus banget, easily 10/10. Eh pas udh ke bongkar, tiba2 yg pada nntn di netflix bilang filmnya jelek, kyk sinetron, dicari-cari kesalahan nya, yah gitu lah hahaha

    • arya says:

      Ya posisi semuanya memang jadi sulit sih. Penonton juga gitu. Sekarang sekalipun mau muji juga pasti ngeri, salah-salah kata malah bisa dituduh ada di sisi pelaku, cari aman mau netral, atau gak sensitif ke korban. Malah katanya ada yang sampe ngejelekin yang muji-muji waktu JAFF kemaren kan, kekritisan penonton waktu itu dipertanyakan karena tidak melihat ada yang salah di balik film ini.
      Sebenarnya ya itu karena konteks kita menonton kan. Kita melihat yang ingin kita lihat. Semuanya ya ada biasnya sih. Yang nonton festival karena penasaran filmnya bagus menang banyak Citra, bakal ngerasa bagus banget perfecto. Yang nonton untuk melihat sejauh mana andil penulis berkasus ini akan langsung menghubungkan banyak hal negatif yang ada filmnya kan.

      • newadityaap says:

        Saya juga nonton dan ngasih feedback ke filmnya berusaha dalam posisi netral sih. Filmnya emang berisi banget, karakter2nya juga dibikin smart, baik protagonis maupun antagonis. Background Sur mahasiswi IT itu cukup ngasih konteks ke orang awam buat nunjukin cara Sur nyari kebenaran, meski emang cara dia langsung dapet password email temen2nya dan ngungkap foto asli punggungnya itu kurang realistis (kaya cepet ngehnya aja). Walau filmnya bagus banget pun, akhirnya skornya ga 10/10 juga kok.
        Kalo tentang kasusnya sendiri, tetep perlu dikawal dan mastiin pelaku KS di dunia nyata dapet konsekuensi yg lebih dari sekedar ditonjok 1x kaya di filmnya. Lagipula, cancel culture meski berat tetep diperluin buat prevent kemunculan para pelaku berikutnya.

        • arya says:

          Bener, cancel culture ya kalo memang terbukti bersalah ya tunggu apa lagi kan hahaha. Cancel-lah pelaku secancel-cancelnya.
          Kebaikan dan kualitas filmnya tetap harus diacknowledge

  3. soearadiri says:

    Ya ngerti sih, ceritanya over the top guna menambah elemen misteri dan daya tarik dari genre film whodonnit seperti ini. Which is works. Namun alih2 si pelaku itu dibikin kayak Mastermind, lebih baik kesulitan2 Sur berasal dari sistem seperti dewan keamanan, dewan kode etik, atau bahkan polisi yg tidak bisa memfasilitasi korban bahkan menyulitkan korban dengan tuduhan dan stigma. Like sesulit itukah percaya dulu jangan dulu ngasih kritikan seolah2 pelapor pantas menjadi korban.
    Soal Medusa, saya sih nangkepnya knp Medusa, adalah karena backstory-nya Medusanya itu sendiri, dimana dia saat masih menjadi seorang hamba, ia diperkosa oleh Dewa Poseidon, namun alih2 mendapat dukungan, ia malah dikutuk oleh Dewi Athena menjadi monster karena dianggap telah menodai kesucian kuilnya, tempat ia diperkosa. Makanya Rama di adegan revealing “berpura-pura” mnjadi Perseus untuk membungkam medusa

    • arya says:

      Ya di situlah salah penulisannya, malah fokus ke rencana si pelaku. Sampe dia kerja sama ama supir ojol pula kan. Manjang-manjangin aja, malah jadi kayak gak ketangkep karena mereka pintar. Padahal kan karena sistem yang coward dan sebagainya. Itu yang mestinya digali, gak usah fokus ke how pelaku do it.
      Mitologi itu yang dijadikan pembenaran oleh Rama. Dia nganggap dirinya mulia dengan menjadi Perseus, tukang persekusi monster, yang dia fully realized adalah korban. Aku gak mau in-line dengan sudut pandang yang dikasih oleh Rama (dan film). Di teater mereka pun gambarannya yang jadi patung cowok-cowok, as if they were the victims. Mitologi Medusa punya duality. Aku lebih suka melihat penafsiran medusa yang satunya.

  4. Menik says:

    Haha iyaa… Jgn2 kesimpulannya Sur semabok itu di rumah Rama karena minumnya miras impor, sedangkan yg sama Amin, dia tetep sober karena itu miras lokal.
    Dari awal emang gak ada obat yg dicampurin ke dia 😀 #halah

  5. arya says:

    Tariq ini memang red herring sih diniatkannya. Apalagi sedari awal dia udah kayak galak kan di mata Sur. Wajar Sur curiga. Dia ngasih minuman itu yang beda warna itu kebetulan aja. Sur mabuk kena obat tidur, kita gak bisa liat aslinya gimana karena yang punya rumah dan akses cc kamera ya si pelaku itu. Cuma yang kurang jelas ya apakah dia sengaja ngincer Sur atau random aja siapapun yang teler diembat haha

  6. Farah says:

    aku awal nonton ini gak tau kalo ternyata salah satu cowriternya ada kasus serupa, dan bener sih, lgsg ngubah perspektif banget pas tau kasus penulisnya, padahal pas nonton positif2 aja. btw, analogi fogging disini tuh apa ya mas? blm lagi tagline menguras, menutup, mengubur kan diulang2 banget kayanya pas adegan revealing Rama. Aku dengernya rada gimana gitu :””

    • arya says:

      Kayak makanan gak sih.. misalnya makan di luar, kalo kita tahu yang masaknya abis ngapain aja, menu kesukaan pun bakal jadi lain rasanya hihihi
      Hmm.. kayaknya itu inside joke buat komunitas mereka dan teman-teman deh. Soalnya aku pernah lihat tweet yang bilang semacam Cahaya ini punya adegan yang kayak ‘negur’ suatu komunitas. Tapi gatau juga yang mana haha. Lagian fogging juga muncul di film jogja sebelum ini; Science of Fictions. Mungkin punya makna yang sama, atau gimana

    • クリス (@christmellody) says:

      Ikutan nimbrung untuk berbagi pendapat soal fogging ini…
      Saya rasa, fogging ini adalah upaya pelaku untuk menghapus dan menghilangkan bukti kejahatan si pelaku, sehingga… setiap tempat yang “difogging” maka di sana ada korban yang berusaha untuk speak up, dan di sana juga korban dibungkam serta usaha pengumpulan buktinya dihapus. Kesimpulan ini muncul karena kalau tidak salah, adegan ini muncul 2-3 kali sbelum sampai ke tempat Sur, dan salah satunya ada di kampus, yang tentu saja, ada banyak korban di sana, bahkan sekilas angota teater lain juga hadir di atap gedung.
      Menguras, menutup, dan mengubur seperti menjadi sebuah analogi untuk menghapus bukti kejahatan. Menguras korban sampai habis, menutup celahnya, lalu mengubur bukti yang ada. Itu sekadar interpretasi saya saja sih.

      • arya says:

        Wah cocok nih interpretasinya. Aku ingat ada beberapa kali adegan fogging, dan creepy part dari itu ternyata bisa jadi gak ada satupun di antara mereka yang fogging nyamuk beneran ya. Semuanya hanya tindak menutupi kejadian

  7. arya says:

    Haha iya, yang disuruh pake baju dalam itu yang penting kan. Sur akhirnya ngeh dikerjain orang karena nyadar baju dalamnya itu kebalik. Coba Sur gakpake, dia gak bakal tau udah diapa-apain. Dia bakal percaya aja kalo peristiwa foto itu memang salah dirinya sendiri.
    Kayaknya masih di rumah suster itu juga, tapi gatau sih, ga masalah juga hehehe
    Thank youu.. Aku nonton Return to Hogwarts udah nyess-nyess sendiri. Udah gak sanggup bikin reviewnya lagi.

  8. Raja Lubis says:

    Well, saya juga merasa ketika adegan Fogging terakhir hingga ending, film ini langsung mengubah haluan dari realis ke seperti surealis. Tapi mungkin ini juga yang disebut-sebut oleh juri FFI sebagai eskpresi sinematik yang beda dari generasi muda masa kini dalam hal perfilman.
    Kedua persoalan akting Shennina Cinnamons yang pada akhirnya memang terselamatkan oleh pacing film ini yang cenderung mencengkeram. Bahkan hal-hal detail terutama karakterisasi IT yang dibebankan pada Suryani tidak banyak orang yang membahasnya.
    Suryani itu disebut web designer hanya oleh Rama ketika ia menawarkan pekerjaan untuk ayahnya. Selebihnya Suryani hanyalah tukang upload alias web admin. Bahkan satu-satunya adegan yang mendukung dia pandai dalam hal web hanyalah tentang bagaimana menambahkan email teman-teman teaternya dengan domain websitenya. Honestly, berapa banyak email domain yang akan dipakai, dan teater ini bukanlah perusahaan yang betul-betul semua anggotanya perlu menggunakan email dengan akhiran domainnya.
    Persoalan lain hadir dari soal bajak membajak data. Hanya ada metode yang digunakan Sur yakni ‘Black and White’ dan ‘Invert’. Dalam usahanya mencari persamaan foto instalasi Rama hasil bidikan kamera digital dengan tubuh yang difotocopy, itu sangat unlogic. Yang bisa saya terima hanyalah tato punggung Lutesha karena objeknya cukup padat dan masih bisa diterima secara akal. Sementara bagian punggung Sur, dan tangan Tariq?? Hm,,,

    • arya says:

      Walau memang tinggi nilai hiburannya tapi setelah ketahuannya kasus, soal realis dan surealis ini memang jadi membangkitkan suudzon. Kenapa saat mengeksplorasi korban dan kesulitannya dibikin semirip mungkin dengan kenyataan, tapi begitu menampilkan pengungkapan pelaku dan motif film beralih jadi surealis. Apakah ini berarti masih susah bagi penulis mengamini/mengakui kenyataan perbuatan tersebut? Ngasih ungkap di cerita pelakunya dibantu orang aja buatku kayak udah mengelak bahwa perbuatan jahat itu tanggung jawab dia sendiri haha..
      Wah Suryani dan keplausiblean teknis detektifnya ini kalo ternyata begitu mah bisa jadi bahan konten sendiri nih, Mas. Bikin yuk, banyak juga kan di Youtube konten jenis ‘expert ngomentarin hal (real science) di narasi film’

    • クリス (@christmellody) says:

      Kurang lebih saya setuju seoal penggambaran Sur sebagai orang yang memahami IT. Soal web admin itu, memang sayangnya enggak dijelaskan Sur buat website seperti apa, yang ditempilkan jelas dia cuma unggah konten (dengan koneksi internet yang… itu pake koneksi apa ya kira-kira tahun 2019 ngebut begitu?), dan tiba-tiba ada website sudah jadi yang kita juga enggak tau kayak gimana websitenya.
      Metode invert color dan B&W itu sekalipun terlihat unlogic, saya pernah lihat ada orang punya fetish seperti itu bang. Maaf bercerita, pernah ada orang yang saya tahu sendiri punya kecenderungan memamerkan alat kelamin, tapi si foto tersebut diedit sedemikian rupa (naikan saturasi, invert color, B&W, dsb.) sehingga bentuknya sudah tidak seperti aslinya, seolah itu adalah sebuah goresan tinta yang terkesan seperti “art” sehingga orang-orang pun melihatnya seperti sesuatu yang abtrak, tidak jelas bentuk aslinya. Sampai di situ saya oke, tapi memang untuk Sur bisa menyadari kalo itu adalah tanda lahir miliknya di punggung…. rasanya tidak secepat itu sih.

      • arya says:

        Gila orang-orang ya, ada kasus eksibisionis kayak gitu ternyata.
        Agak oot; Gila ama jenius emang beda-beda tipis. Kayak, si Rama ini kalo dia gak fetish, gak foto tubuh orang diam-diam, sebenarnya ide instalasi seni tubuh jadi galaksi itu cukup keren sih. Dia bisa aja tinggal open bilang ke tim “eh gue ada ide nih untuk tema teater kita, bagi kalian yang bersedia, kalian fotoin kulit kalian nanti gue bikin kayak galaksi luar angkasa”. Kayak, mata kita aja kalo dizoom doang hasilnya udah menakjubkan kan, apalagi diedit pake skill dan segala macem. Sayang, napsunya banyak yang udah gak beres nih orang-orang.

      • Raja Lubis says:

        Persoalan si Rama mengedit foto hasilnya saya sih percaya saja, apalagi juga Christ memberi contoh di dunia nyata memang ada yang seperti itu.
        Tapi yang janggal buat saya memang cara pengungkapan/pembuktian terbalik yang dilakukan Sur. Dengan karakterisasi IT yang minim, jadi sulit untuk saya percaya Sur bisa membuktikan secepat itu hanya dengan dua metode. Poin lainnya, hasil olahan teknologi itu dibandingkannya dengan hasil fotocopy-an. Ini yang agak miss point nya sih menurut saya.

  9. Miaw says:

    Aku masih bingung motif pelaku menggunggah foto selfienya Sur kenapa ya? Karena ga suka, iseng atau emang ga mau dia dapetin beasiswa? Kayaknya beda motif mengenai pelecehan seksual/penyakit kejiwaannya pelaku? Atau ada kolerasinya dari perihal tersebut?

    • arya says:

      Bukannya memang Sur sendiri yang ngupload? Dia sendiri yang foto dan upload, tapi gak nyadar karena mabok. Pelecehan seksual yang dia alami terjadi saat dia bener-bener tepar. Tubuhnya difoto untuk fetish dan ‘karya seni’ buatan Rama.

Leave a Reply