THOR: LOVE AND THUNDER Review

 

“The saddest thing about betrayal is it never comes from your enemies”

 

 

Dikhianati itu memang gak enak. Rasanya nyelekit banget. Bayangkan kita sudah menaruh harapan kepada orang,  kita sudah begitu percaya mereka akan either memegang rahasia, menepati janji, atau selalu ada saat dibutuhkan, tapi ternyata mereka tidak menganggap harapan dan kepercayaan kita kepada mereka sebagai sesuatu yang berharga. Di situlah letak sakitnya; yang disebut berkhianat itu pelakunya bukan musuh yang kita benci. Tapi justru orang yang kita sayang, Yang kita percaya. Penguasa, misalnya. I hate to get political saat ngomongin superhero yang harusnya fun, tapi sepertinya memang itulah yang sedikit disentil oleh Taika Waititi dalam projek Thor kedua yang ia tangani; Thor keempat – Love and Thunder. Origin karakter penjahat utama di film ini ia hadirkan sebagai seseorang yang merasa dikhianati oleh dewa yang ia puja. Bahwa dewanya tidak menolong saat sedang kesusahan. Bahwa dewa hanya mau dipuja. Sehingga si karakter bersumpah untuk membasmi semua dewa di dunia. Tentu saja ini jadi cikal konflik yang menarik, karena protagonis yang kita semua sudah kenal di cerita ini adalah Thor, yang juga seorang dewa.

Namun Thor bukan dewa sembarang dewa. Thor telah melalui begitu banyak. Seperti yang dinarasikan oleh si monster batu Korg (disuarakan langsung oleh pak sutradara) lewat adegan eksposisi yang merangkum perjalanan karakter Thor dari tiga film sebelumnya, Thor adalah dewa yang ngalamin naik-turunnya kehidupan. Dia bukan dewa agung yang duduk di singgasana emas sambil makan anggur. Thor adalah dewa superhero yang berjuang menyelamatkan dunia. Thor pernah terpuruk hingga badannya gemuk. Thor pernah kehilangan sahabat, saudara, keluarga, dan bahkan pacar. Jika ada dewa yang bisa menaruh simpati kepada Gorr (nama karakter yang  dendam kepada para dewa itu) maka Thor-lah dewanya.

Setting dan latar cerita film ini sebenarnya sudah perfect. Lupakan dulu multiverse dan karakter Marvel lain (tim Guardians of the Galaxy yang sempat muncul sebagai penyambung film ini dengan sebelumnya pun akan segera menyingkir), Thor Empat ini kembali kepada sebuah cerita yang berdiri di dalam franchisenya sendiri. Film ini hadir dengan stake gede yang personal, yaitu pemusnahan para dewa (termasuk Thor) sekaligus mengangkat pertanyaan bukankah sebaiknya memang para dewa penguasa lalim itu musnah saja? Sebelum membahas itu lebih lanjut, film menghadirkan satu aspek menarik lagi buat Thor. Supaya Thor (Chris Hemsworth tampak makin prima – physically and mentally – mainin karakter ini) semakin tergali tidak cuma sebatas bereaksi terhadap tindakan Gorr, dia dibuat berkonfrontasi dengan Jane Foster (Natalie Portman, welcome baaacccckkk!) yang kini punya kekuatan dan atribut serupa si Dewa Guntur, lengkap dengan senjata lama milik Thor yakni Palu Mjolnir. So in a way, film dengan gaya tuturnya yang kocak ini turut menggali gimana Thor merasa ‘dikhinati’ oleh senjata lamanya yang kini memihak mantannya.

Need more Darcy. Darcy is the GOAT!

 

Meski berusaha untuk hadir sebagai kisah sendiri (another classic adventure of Thor!) tapi memang terasa film ini sedikit kerepotan dengan karakter-karakternya. Dalam pengembangannya, Thor terasa jadi kurang sepadan dengan Gorr, dalam artian journeynya tidak benar-benar paralel. Pun sedari awal, alur film ini bergerak lewat keputusan dan aksi dari Gorr, yang posisinya adalah penjahat. Film ini mirip sama Avengers Infinity War (2018), yang Thanos, penjahatnya lebih cocok sebagai karakter utama sementara para karakter superhero bereaksi terhadap tindakan yang ia lakukan.  Di sisi lain, aspek ini mengindikasikan satu hal positif. Yaitu film ini – seperti halnya Infinity War – punya karakter villain yang ditulis dengan solid. Aspek yang langka dalam genre superhero secara keseluruhan. Penjahatnya gak sekadar pengen nguasain atau bikin hancur dunia. Melainkan, ngasih sesuatu untuk kita pikirkan. Dalam hal ini adalah soal penguasa.  Secara karakterisasi, Thor memang kalah ‘kuat’. Selain hanya lebih berupa bereaksi, pembelajaran yang ia alami pun kurang nendang dan kurang sejalan. Bagi Thor yang aware sama konflik yang mendera Gorr, perkembangan karakter cuma di awal dia show off sendiri dan nanti di akhir cerita dia jadi lebih luwer berteam work. Termasuk di antaranya membagi kekuatan dengan anak-anak – yang kuakui ini jadi aspek yang seru dan memuaskan karena aku sudah lama minta ini kepada film-film superhero hiburan. Libatkan anak-anak. Bikin mereka ngerasain jadi superhero itu seperti apa. Anyway, pembelajaran Thor intinya adalah learn to trust, dia juga gak insecure lagi sama Jane dan Mjolnir yang jadi superhero, yang fungsinya kayak cuma ngasih lihat bahwa ada Dewa yang ‘bener’.

Makanya Thor justru lebih cocok dengan penjahat sampingan yang muncul di film ini. Dewa Zeus (portrayal yang kocak dari Russel Crowe hihihi)  Pemimpin para dewa seluruh mitologi itu ternyata seorang yang pengecut dan memikirkan keselamatan golongannya sendiri. Permasalahan Thor dengan Zeus justru seperti disimpan untuk film berikutnya. Interaksi mereka masih dibiarkan terbatas, Zeus hanya muncul di satu sekuen. Setelah itu, Thor kembali fokus ke permasalahan dengan Gorr si God Butcher. Nah, justru Jane Foster yang jadi Mighty Thor yang ternyata lebih paralel dengan permasalahan Gorr; mereka sama-sama mortal yang dapat kekuatan. Tapi menggunakannya dengan berbeda. Jane yang mengidap kanker, beralih kepada kekuatan dewa untuk jadi obat. Penyakitnya tidak sembuh, melainkan jadi makin parah, tapi dia tetap berusaha kuat dan memilih untuk menggunakan sisa waktunya menjadi superhero. Bertarung bahu-membahu dengan Thor. Beda dengan Gorr yang seketika kecewa dengan dewa, dan menggunakan kutukan yang mengonsumsi dirinya dengan kekuatan bayangan itu untuk membunuh dan balas dendam. Walau motivasinya kayak Kratos di game God of War original, karakter Gorr sebenarnya deep. Christian Bale tahu ini dan memainkan karakternya yang perlahan semakin meng-zombie itu (bentukannya jadi mirip Marylin Manson!) dengan tone menyeramkan sekaligus menyedihkan.

Adegan Thor ke tempat jamuan para dewa, menjelaskan duduk perkara Gorr dan meminta bantuan, tapi malah dilepehin dan disuruh duduk tenang aja di situ seperti menyentil penguasa yang gak peduli sama rakyat. Yang ternyata hanya menjadikan rakyat sebagai sacrifice, yang bukan saja membiarkan tapi justru balik menyalahkan rakyat. Yang taunya cuma minta dilayanin dan dipuja. yang antikritik. Yang gak bertanggungjawab sama sekali terhadap kekuasaan yang dimiliki. Kalau diliat-liat kondisinya  mirip terjadi kepada rakyat Indonesia waktu pas harga minyak naik, dan rakyat malah disuruh jangan sering-sering pakai minyak goreng. 

 

Memang at the heart, permasalahan yang disentil Taika di film ini bukan permasalahan sepele. Ada orang yang marah sama Dewa (yang dalam konteks karakter tersebut adalah Tuhan) sehingga berontak dan memburu dewa. Menggunakan anak-anak dalam prosesnya. Yang juga kalo ditarik relasinya ke kita, dewa di sini bisa berarti penguasa. Pemerintah yang tak bertanggungjawab kepada rakyat meskipun janji duduk di atas sana sebagai pemimpin dan wakil rakyat. Lalu ada juga soal relasi asmara yang complicated antara Thor dengan Jane. Kalo film ini digarap Indonesia aku yakin jadinya bakal superhero yang muram dan dark lagi. Itulah hebatnya Taika Waititi, dan Marvel Studios for the matter. Karena mereka selalu bisa membuatnya ke dalam penceritaan yang ringan. Tanpa mengurangi bobot gagasan atau temanya sendiri. Thor: Love and Thunder tetap hadir dengan humor receh yang timbul dari karakter bertingkah norak (supaya mereka tetap grounded) kayak waktu di Thor: Ragnarok (2017). Tentu ini tantangan yang gak gampang. Taika Waititi toh tidak sepenuhnya berhasil meleburkan dua tone kontras. Film ini sedikit tertatih ketika berusaha menyampaikan hal yang serius dengan nada konyol.  But in the end, film ini masih termasuk golongan film yang menghibur. Yang ringan. Yang masih bisa dinikmati oleh penonton anak-anak lewat bimbingan orang tua.

Bayangkan pekikan kedua kambing raksasa Thor kalo mereka tahu beberapa hari lagi Idul Adha

 

Taika bukannya gak aware, sutradara yang gaya humornya unik ini bijak untuk tidak terus-terusan ngepush tingkah norak dan receh karakter. Porsinya memang sedikit dikurangi ketimbang Ragnarok. Taika mengalihkan komedinya kepada cara menuturkan. Sebenarnya film ini banyak bagian eksposisi. Nah, Taika menghandle itu dengan dijadikan gimmick komedi. Kadang dia membuatnya sebagai tontonan pertunjukan, kadang dia juga membuatnya sebagai cerita api-unggun, you know, bergaya narasi paparan oleh Korg, ataupun dia memainkan eksposisi ke dalam montase genre. Kayak ketika menjelaskan hubungan masa lalu antara Thor dan Jane, film membuatnya ke dalam narasi situasi dalam rom-com. Sentuhan-sentuhan ini jadi memperkaya range komedi yang bisa dilakukan oleh film Thor. Membuat filmnya sendiri jadi terus menarik. Sehingga walaupun kadang tonenya timpang, atau recehnya just not work, film ini masih terus mengalir dalam bercerita.

 

 

 

 

Ini merupakan film stand-alone MCU pertama yang mencapai film keempat, dan berhasil terasa tetap fresh. Progres tokoh utamanya terasa. Eksplorasi ceritanya terus berkembang dan berhasil terjaga dalam konteks dunia itu saja. Yang adalah permasalahan dunia dewa-dewa.  Sekali lagi Taika Waititi berhasil membuat mereka grounded dengan permasalahan yang relevan. Gaya komedi, arahan colorful, musik rock, dan karakter-karakternya masih tetap ajaib, membuat film semakin menghibur. Personal favoritku adalah film ini melibatkan anak-anak dalam cerita dan aksinya. Sedikit issue pada tone karena cerita bermuatan cukup serius, tapi tidak benar-benar mengganggu. Struggle sebenarnya film ini ada pada membuat bagaimana Thor bisa tetap relevan di cerita ini. Karakterisasinya kalah kuat, tapi film berhasil ngasih sedikit perkembangan pada Thor sekaligus menjadikannya hook ke petualangan classic berikutnya!
The Palace of Wisdom gives 7.5  out of 10 gold stars for THOR: LOVE AND THUNDER

 

 

That’s all we have for now.

Setujukah kalian penguasa di negeri kita udah kayak dewa?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Comments

  1. Farah says:

    Makin kesini marvel filmnya malah lebih bagus di development karakter musuhnya ya daripada the heroes himself (yes i mean you, Dr Strange, hahaha), tapi overall Thor masih lebih unggul sih daripada Strange, karena kayanya Thor gak ada titipan khusus dari MCU ya.

    Btw seru banget sih komedinya, dari kambing yg teriak2 sampe Stormbreaker yg cemburu hahaha, Waititi emg juara kalo soal komedi

    • Arya says:

      Kambing teriak-teriak itu momennya selalu bikin ngakak sih, gak ada gagah-gagahnya entrance si Thor jadinya hahaha.. apalagi pas nabrak planet hitamputih itu

      Udah mentok kayaknya memang journey heronya, apalagi Thor udah film keempat – plus banyak kemunculan di entry lain, udah bingung mau bikin pengembangan gimana.

  2. lucas says:

    entah kenapa film thor ini kerasa terlalu komedi, nontonnya bener”gangerasain ada stake nya sama sekali karena hampir semua di treatment secara gimmick dan komedi, penyelamat di film ini adalah gorr the buthcer ( i scream hope he plays in another movie) karena beneran kerasa bgt beda tone nya dan gamasuk dengan cara pembawaan film ini yg menjadikan ancaman gorr ini ga bertaring padahal dari karakter dan look nya one of the best villain marvel created. Satu lagi yg kurang penanganan waititi soal drama beneran kerasa bgt kurg bisa ngedeliver sensitivitas nya padahal ending nya bisa menghantarkan ke emosi yang lebih tinggi, apa mungkin genre semua dijadiin komedi kaya gini gacocok buat saya (guns n roses saved it all)

    • Arya says:

      Settingan Thor memang dibuat biar berasa kayak nonton superhero kartun sih.

      Malah sebenarnya kalo kita simak lebih dalam, motivasi si Gorr ternyata memang gak semengerikan itu. Pertama-tama Thor dibuat yakin Gorr ingin membasmi semua dewa. Ke kita penonton, awalnya ini juga seperti mengancam. Tapi kemudian kita tahu dewa yang lain itu jerk semua, jadi bodo amat ke mereka, kita cuma peduli sama Thor. Kemudian baru diungkap (dan Thor tahu) Gorr sebenarnya ngincer Stormbreaker-nya Thor. Di sini masih personal, nyawa Thor and the genk memang dalam bahaya. Tapi di menjelang akhir kita jadi tahu tujuan Gorr sebenarnya ke ‘sumur permintaan’ Eternity itu, ternyata bukan buat bikin semua dewa mati. Permintaannya buat hidupin anaknya. Buatku di babak akhir memang stake gede personal yang dirasain Thor itu, ancaman Gorr, jadi gak terasa lagi. Tapi bukan karena kebanyakan komedi, melainkan karena goal puncak Gorr yang sebenarnya adalah anaknya.

      • Farah says:

        Oh ternyata maksut endingnya tuh gini ya, aku masih kurang fokus ternyata. Bukan di akhir Thor berhasil ngerebut Stormbreakernya ya? & Mighty Thor juga berhasil ngancurin pedangnya si Gorr itu mas? Aku fikir Eternitynya gak berhasil, tapi iya juga sih aku pun sempet bingung anaknya Gorr ‘lahir’ dari mana

        • Arya says:

          Walau pedangnya hancur dan stormbreaker juga direbut lagi, tapi in the end Gorr berhasil membuka Eternity. Thor sendiri bilang ke Gorr, elu udah menang. Di titik itu, aku yakin hate Gorr ke dewa masih ada, tapi deep inside yang dia pengenkan anaknya balik. Dan dia cuma punya satu permintaan. Ending film akhirnya diputuskan oleh Gorr seperti yang kita lihat. Makanya juga menurutku di sini karakterisasi Thornya kalah kuat, sama kayak Thanos dan Scarlet Witch, film ini sebenarnya lebih kuat sebagai cerita penjahatnya haha

  3. soearadiri says:

    Seneng banget Marvel yg bikin tren ini. Dimana Karakter Villain beserta development-nya yg jadi fokus utama film, yg bahkan membuat karakter protagonisnya kalah kuat dari segi karakterisasi. Saya pribadi suka dengan keputusan ini. Tema Villain yg nggak satu dimensi benar2 dieksplor habis2an oleh Marvel. Kayaknya itu deh yg bikin aktor Hollywood ter-Picky, Christian Bale setuju buat ambil peran ini, yg mana nggak pernah saya sangka. Duh, padahal udah jatuh cinta banget sama Mighty Thor. Aku rada kaget nih film ngikutin banget backstory Mighty Thor kayak komik. You know lah, MCU sering ganti2 backstory karakter

    • Arya says:

      Bener, film superhero bisa kuat tergantung sekuat apa penjahatnya. Karena villain yang kuat berarti rintangan yang kuat bagi protagonis, thus journeynya should be awesome! Cuma mungkin karena masih superhero lama, jadi agak jenuh. Karakterisasinya mungkin udah mentok. Kayak Strange ama Thor ini kan, karakter sampingannya jadi lebih menarik kayaknya kalo dijadiin tokoh utama. Si Chavez ama Mighty Thor, kulebih suka kalo film mereka aja sih. Biar Strange ama Thor jadi pendamping, kinda like Iron Man di film Spider-Man Marvel.

      Tapi mungkin kalo dibikin kayak gitu, hambatannya agak hard sell ya? Spidey memang udah populer, tapi Mighty Thor ama Chavez dinilai gak banyak common audience yang tahu?

  4. Albert says:

    Kok aku belakangan ga dapat notif di email kalau ada post di mydirtsheet. Terakhir wwe money, kukira Mas Arya lama ga review 😀 . Aku lebih suka Thor ya daripada Strange. Musuhnya lebih berbobot. Suka Christian Bale waktu di Dark Knight, Berarti Jane Foster sekalinya muncul langsung mati ya? Walaupun di Multiverse apapun bisa terjadi 🙂

    • Arya says:

      Iya, sempat ada error di Jetpack blog, kayaknya settingan sharenya ke-reset
      Hahaha inilah gak enaknya multiverse marvel, karakter mati pun rasanya kurang nendang karena toh bisa dimunculin lagi dari universe yang lain.
      Yang Wanda kayak cuma ngulang dari serialnya sih ya, sementara si Bale bener-bener tokoh baru, threatnya lebih menyeluruh dan ngena ke Thor juga

Leave a Reply