“Because you already have what you wish for”
Animasi dengan karakter kucing oren pake sepatu boot, tentunya gak ada urusan untuk bicara dalem perihal kematian, kan? Inilah pasti kartun untuk tontonan anak kecil, kan? Well, film animasi – seperti halnya komik – memang masih sering dipandang sebelah mata. Ya, animasi memang sebagian besar dibuat supaya lebih appeal buat penonton muda. Tapi itu bukan berarti film animasi tidak bisa bercerita dengan bobot yang lebih kompleks. Justru sebaliknya, film animasi bisa banget diolah jadi medium yang efektif untuk memperkenalkan isu yang lebih matang kepada penonton. Film animasi bukan lantas berarti film anak-anak, but when they do, animasi mampu mengangkat kepada isu-isu real yang dianggap ‘angker’ oleh orang tua kepada anak-anak. Sutradara Guillermo del Toro literally bilang bahwa animasi adalah medium, bukan genre khusus (untuk anak-anak) dalam pidato kemenangan film Pinokionya di Golden Globes baru-baru ini. Memang, despite pandangan umum bahwa animasi hanyalah film anak, toh telah banyak animasi hebat yang bercerita dengan matang. Mengangkat isu yang real. Sementara tetap menghibur dalam melakukannya. Puss in Boots terbaru karya Joel Crawford adalah contoh berikutnya, perjuangan terbaru dari animasi untuk membuktikan kekuatan medium ini dalam ranah bercerita.
Aku gak ngikutin franchise Shrek. Ini, in fact, adalah film Puss in Boots pertama yang aku tonton. Dan sukur Alhamdulillah film ini ceritanya berdiri sendiri. ‘Modal’ nonton ini cukup dengan tahu bahwa universe-ceritanya adalah dunia dongeng alias cerita rakyat populer. Jadi, yea, ‘magic’ adalah hal yang bisa kita harapkan di film ini. Si Puss in Boots sendiri kan, sebenarnya dari dongeng klasik Italia. Oleh universe ini, dia adalah kucing jagoan ala Zorro. Dengan sikap sedikit narsis; pede, cerdas, suka pesta, dan tak kenal takut. “Aku tertawa di hadapan Kematian” adalah jargonnya sebelum beraksi menantang bahaya. Saking jumawanya, Puss memang sedikit careless. Selama bertualang ngalahin orang jahat itu, kucing oren ini actually sudah ‘menghabiskan’ delapan nyawanya. Tau dong, kalo konon kucing punya sembilan nyawa? Nah, di sini ceritanya si Puss sudah dalam nyawanya yang terakhir. Kenyataan ini telak menerpa dirinya. Puss kini tidak merasa segagah itu. Dia bener-bener takut saat sesosok serigala datang dan nyaris mengalahkannya. Satu-satunya harapan untuk mengembalikan kegagahannya adalah saat ia menemukan peta ke Falling Star yang mampu mengabulkan semua permintaan. Puss ingin meminta nyawanya dibanyakin lagi. Petualangan Puss in Boots bersama rekan baru dalam mencari permintaan itu pun dimulai. Petualangan yang penuh bahaya dan stake yang tinggi. Karena bukan dirinya saja yang mengincar permintaan tersebut. Plus, si serigala yang ternyata adalah Death himself, terus memburu kemanapun dia pergi.
Selain karena soal rebutan mencari pengabul permintaan, pengaruh anime – animasi Jepang – lain kuat terasa di sini. Salah satunya adalah sekuen berantem dengan raksasa di awal cerita. Aku benar-benar gak nyangka kalo film dari barat ini, punya sekuen aksi yang vibenya mirip banget ama aksi di Attack on Titan! Serius. The way si Puss meloncat-loncat lincah mendekat menuju sasaran yaitu titik lemah raksasa yang menjulang. Perspektif kamera dalam menangkap dimensi kedua karakter ini. Bahkan settingnya di atap-atap rumah. Persis banget kayak Eren yang mau mengalahkan Titan. Sungguh kejutan menyenangkan buatku. Aku jadi semakin tertarik melihat apa lagi yang bisa dilakukan film ini terkait gaya animasi yang mereka pilih. Visualnya sendiri tampak fluid dan seru karena menggunakan gaya yang sama dengan animasi pada Spider-Verse dan Mitchell vs. The Machines. Gabungan animasi 3D dengan efek dan garis-garis 2D sehingga tampak kayak komik yang bergerak. Kayak video game yang begitu stylish. Animasi tersebut juga terasa selaras dengan quirk yang dikandung oleh karakter dan dunianya sendiri. Ditambah dengan sekuen-sekuen action tadi, Puss in Boots jadi terasa luar biasa enerjik dan ciamik.
Perkara tone cerita dan karakter, film ini memang secara overall dibuat untuk menyasar penonton yang lebih muda. Appeal dari estetik dongeng dan kekonyolan yang bisa dibawanya tetap jadi jualan nomor satu. Tapi film ini juga tidak segan-segan untuk menyelam lebih matang soal bahasan, maupun candaannya. Dinamika antara kekonyolan, fantasi, dan real talk yang dikandung inilah yang bikin Puss in Boots: The Last Wish jadi hiburan paket komplit. Membuatnya jadi hiburan bagi penonton dewasa, maupun penonton yang lebih muda. Film ini gak ragu untuk membahas soal takut akan kematian, soal panik menyadari diri yang semakin menua (something yang clearly gak kepikiran sama anak kecil) karena film ini tahu dia punya medium yang brilian dan cocok banget untuk menceritakan soal itu. Makanya bagi orang yang lebih dewasa, cerita film ini bisa jatohnya mengerikan, sementara anak-anak mungkin hanya melihatnya sebagai kisah Puss bertemu musuh kuat yang berbahaya. And that’s okay. Kenapa? karena film ini bakal jadi experience yang terus berubah buat anak-anak tersebut seiring mereka dewasa. Anak kecil yang sekarang nonton ini, jika menonton kembali saat sudah dewasa maka akan menyadari hal yang sebelumnya gak mereka notice. Like, bukankah rasanya wonderful jika film mampu terasa berbeda, bisa tetap terasa baru, walaupun kita menontonnya berulang kali. Nah, film ini punya kesempatan untuk menjadi wonderful seperti itu dengan tampil dinamis, mengandung bobot dan hiburan dengan sama mutunya.
Dalam petualangannya mencari bintang pengabul permintaan, si Puss bertemu banyak karakter. Kawan lama, kawan baru, maupun musuh baru. Karakter-karakter seperti Kitty Softpaws, si Serigala Kematian, dan si cihuahua imut yang nyamar jadi kucing, Perrito, akan ngajarin Puss (dan to some extent, kita) tentang kehidupan dan kematian. Tentang bagaimana hidup justru berharga jika ada batas waktunya. Karena mau gimana pun juga, kematian akan datang. Melihat Puss yang ingin meminta ‘perpanjangan’ nyawa membuat aku sendiri teringat sama kejadian pas aku lagi Tugas Akhir dulu. Tanggal presentasi sudah mepet, tapi tugasku belum selesai. Maka aku minta perpanjangan waktu sama mentor. Tau gak beliau bilang apa? Mau sepanjang apapun saya kasih waktu, tapi kalo kamu belum ready, kamu gak akan pernah ready. Waktu itu tidak akan pernah cukup buatmu. Ya, mau berapa banyak waktu yang kita punya, enggak akan jadi soal. Karena semua adalah soal apa yang kita lakukan terhadap waktu tersebut. Dibawa ke cerita film ini; siap menyambut kematian sebenarnya adalah soal sudah atau belumnya si Puss menghargai hidup. Kitty Softpaws, teman alias, ehm, mantan Puss ada di sana untuk mengingatkan apa yang harusnya bisa dimiliki oleh Puss sejak lama jika dia benar-benar menghargai hidup (dengan menghargai bahwa hidup bisa berakhir). Perrito, surprisingly, bakal jadi karakter favorit banyak orang, bakal banyak sekali mengajari Puss soal ya, live the life. Karakter Perrito yang polos, rada bloon namun blak-blakan banget sama perasaannya, ternyata jadi karakter yang bijak banget dibanding yang lain. Karena Perrito satu-satunya yang melihat dunia sebagai sesuatu yang harus dinikmati. Sementara Puss, Kitty, dan karakter lain yang bersaing nyari Bintang, saling tidak percaya satu sama lain.
Perihal kematian tersebut lantas semakin didaratkan lagi oleh film ini menjadi bahasan permintaan. Banyak lagi karakter yang jadi saingan Puss in Boots untuk mencari pengabul permintaan. Ada Goldilock dan keluarga beruangnya. Ada juga Jack Horner, si kolektor barang-barang dongeng ajaib. Bahkan Kitty juga sempat jadi saingan. Bahasan soal permintaan ini akan lebih gampang untuk relate ke anak-anak. Dan film juga gak ragu untuk ngasih pelajaran berharga. Tidak ada satupun dari karakter tersebut yang mendapatkan apa yang ingin mereka minta. Semuanya gagal. Tapi kegagalan tersebut tidak diperlihatkan film sebagai sesuatu yang depressing, melainkan dalam semangat yang positif, Yang lebih menggelora. Karena di sini film ngajarin soal sesuatu yang sebenarnya basic dalam nulis cerita. Yaitu yang kita inginkan sebenarnya tidak benar-benar kita perlukan. Dan bahwa yang kita perlukan itu sebenarnya sudah ada di sekitar kita, kita hanya perlu menyadarinya saja. Karakter dalam film ini seperti terkena pamali Birthday Wish Rule, yaitu ngasih tau permintaannya apa ke orang lain, sehingga permintaan tersebut tidak akan terkabul. Padahal sebenarnya ‘pamali’ tersebut justru adalah jawaban dari pencarian mereka. Bahwa dengan share their wish, mereka akhirnya bonding dengan orang-orang yang actually jadi ‘jawaban’ atas permintaan mereka. Karena orang-orang terdekat yang dikasih tau their secret wish itulah yang tadinya kurang dihargai – teroverlook – oleh mereka yang terbuai oleh keajaiban.
Mengharapkan sesuatu ‘keajaiban’ tentu saja gak salah. Hanya saja, one way or another, sebenarnya yang kita inginkan bisa jadi sudah ada di sekitar kita. Bisa jadi permintaan itu sebenarnya sudah terwujud, bahkan sebelum diminta. Kita hanya belum sadar aja. Kita terlalu menggebu sampai tidak menyadari apa yang dipunya. Tidak menghargai apa yang dimiliki. Seperti Goldilock yang gak sadar ada keluarga yang selama ini bersamanya. Seperti Puss yang baru ngeh hidupnya setelah semuanya akan berakhir.
So yea, jangan lagi animasi ini jadi medium storytelling yang teroverlook oleh kita. Yang kurang kita hargai, hanya karena tampilan yang cerah, jokes yang konyol, dan seringkali dibuat untuk appeal ke anak kecil. Karena lagi dan lagi, terus bermunculan animasi yang berbobot seperti film ini. Yang di balik hiburannya, menghadirkan bahasan yang berbobot. Mengangkat topik yang ‘angker’ tapi berhasil disamarkan lewat warna yang segar, tanpa mengurangi kepentingannya. Film ini penuh aksi, sekuen berantemnya keren-keren dan kreatif, serta penuh berisi oleh fantasi yang mereferensikan dunia dongeng/cerita rakyat klasik, sambil juga menghantarkan pelajaran berharga tentang hidup kita yang dibatasi oleh waktu. Pelajaran yang tentu saja konek untuk segala lapisan usia. Cerita petualangannya sendiri mungkin memang tidak benar-benar ngasih hal baru (selain dunianya sendiri), tapi karena penceritaannya yang menawan dengan dinamika yang unik, aku terhibur, sekaligus tersentil juga oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH
That’s all we have for now.
Apakah kalian merasa pernah punya satu hal yang dipengenin banget, tapi kemudian sadar ternyata kalian sudah punya itu? Apa yang membuat kalian akhirnya sadar?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Bagus banget ya mas. Layarnya dikit di sini, hampir ga tertonton si Pus. Gemes sama Perrito polos banget. Si pus ini 8x mati konyol2, sayang nyawanya. Tinggal 1 baru terasa berharga jadi takut mati ngumpet di panti kucing. Hahaha.
Hahaha, tapi aku jadi pengen tau itu yang 7x dia mati ada di film-film sebelumnya, atau memang baru kali ini Puss in Boots ada mati-matinya?
Ga nonton franchise Shrek juga sih. Rasanya enggaklah, paling baru di sini diliatin mati2nya yang lucu-lucu. Jadi pengen juga cari Shrek, aku ga pernah nonton nih. Hehehe.
Buat modal kalo-kalo Puss yang ini ada sekuelnya ya hahahaa, kayaknya dia balik ke dunia Shrek kan pas di ending itu
Aku nonton Puss in Boots simply karena cuma film ini yg ratingnya semua umur, jadi ga ada pilihan lain waktu ngajak anakku ke bioskop. Suprisingly ceritanya bagus bangettt, mayan tertampar sama adegan ‘rintangan bunga’, disaat yg sama aku ngeliat diriku kayak Puss, dan anakku kayak Perrito.
Semoga kedepannya banyak animasi seperti ini ya, yg ratingnya semua umur & gagasannya bagus. Lumayan banget buat hiburan akhir pekan, karena anak kecil kalo nonton dibioskop kan experiencenya beda, jadi pesan filmnya lumayan masuk ke otak dia. Cukup sedih soalnya aku jarang nemu film yg ratingnya semua umur dibioskop huhu
Film superhero aja sekarang banyak yang rating remaja ke atas ya, Mbak haha. Horor jangan harep, apalagi lokal, di horor anak-anak kalo gak jadi korban doang, ya jadi setannya. Padahal dulu jaman ku kecil banyak horor untuk anak-anak, Goosebumps, Scooby Doo, dll.
Memang agak lain sih sekarang ini, kebanyakan studio-studio bikin filmnya dengan poin agak rancu. Animasi malah dipakai masukin agenda woke gitu aja, gak ada pembahasannya. Mestinya kan ya kayak Puss in Boots ini. Benar-benar menghantarkan topik yang real dan penting, tapi tetap grounded dan respek ke pemikiran anak-anak, sekaligus jadi hiburan yang respek ke orang dewasa.
Film anak lokal juga udah agak jarang :’) kayak dulu (bahkan sampe sekarang) aku obsessed bgt sama Petualangan Sherina, kenangan waktu nonton filmnya tuh masuk core memory. Aku yg pengen bikin pengalaman serupa jadi agak susah huhu, ditambah kehadiran platform, youtube kids dll. Wah jadi curhat hahaha
Ohiya Scooby Doo ya, aku sampe lupa kalo Scooby Doo film horor, karena waktu nonton yg diinget ya lucunya aja 😀
Keluarga Cemara 2 tahun kemaren sebenarnya bisa banget jadi film buat anak. Tapi, ya itu, filmnya kayak ‘bingung’ menjualnya sebagai film anak. Bahasannya jadi diperibet sehingga jadi gak ada yang kuat. Scooby Doo aja sekarang kan dibuat seri barunya, tapi konsepnya dari sudut pandang Velma, nyeritain sebelum mereka jadi geng. Eh, ternyata diniatkan untuk dewasa banget. Melenceng keluar dari semuanya, pengen woke dan edgy doang.
Kayaknya orang dewasa sekarang terlalu fokus sama diri sendiri ya haha, they made all about them. Lupa cara berpikir sebagai dan untuk anak-anak.
Saya yang lumayan ngikutin franchise shrek pun suka banget sama film ini, bahkan jadi yang terfavorit dari semua franchisenya. Memberikan warna baru di franchisenya namun gak meninggalkan ciri khas franchise shrek dengan jokes metanya di ranah dunia dongeng dan beberapa dark jokesnya. Almost perfect menurut saya, dari animasi, penokohan dan penceritaannya yang padat namun berisi, bukti bahwa film bagus gak harus melulu serius dan berdurasi panjang dan yap betul banget film ini bakal ngasih experience yang berbeda ke setiap penontonnya, dan bakal jadi treasure buat mereka yang bakal beranjak dewasa dan menggali nilai dan arti film ini lebih dalam suatu saat nanti di masa depan. Berasa fun banget nonton ini tapi juga dibikin mikir tentang bahasan tentang kematian dan kehidupan, serta dibikin sedih dan bersyukur dengan kisah perrito yang lugu, tetap mensyukuri hidupnya dan optimis walaupun banyak mengalami kesialan keburukan dari orang2 yg dipercayainya. Overall film ini keren parahh dan saya bersyukur bangeg akhir2 ini banyak dapet film berkualitas pasca covid
Perrito the real hero! Hahaha
Animasinya yang buatku jadi nonton film ini. Karena kelihatan beda ama franchise Shrek dulu. Honestly, waktu kecil tu aku agak ‘takut’ lihat animasi Shrek, makanya gak nonton. Kebawa ampe sekarang. Pas lihat trailer Puss ini di bioskop, wuih kok ini beda, kayak Spider-verse. Pas ditonton ternyata beneran gak rugi. Animasinya keren, ceritanya juga dahsyaattt!!!
Taun ini memang tumben, film bulan Januari aja udah bagus-bagus xD
Jadi pengin nonton. Saya selalu suka baca review film di sini. Kalau Noktah Merah Perkawinan nggak ada ulasannya ya Mas?
Makasihh, Noktah Merah nanti direview bareng film-film 2022 yang keskip kayak Wakanda ama nominasi2 Oscar, di mini-review edisi.. februari ini, semoga haha.. ngumpulin 8 judul dulu XD