VIRGO AND THE SPARKLINGS Review

 

“Inside every angry child is an emotion they haven’t been able to comprehend”

 

 

Menyelamatkan dunia bukan hanya hak orang dewasa. Tagline Virgo and the Sparklings tersebut kontan menggelitik. Menyelamatkan dunia kan sebenarnya adalah sesuatu yang diemban sebagai tugas, sebuah kewajiban. Tanggungjawab. Bukan sesuatu yang didapatkan dengan jumawa, untuk gaya-gayaan. Kentara sekali kalimat tersebut punya nada penuh kebanggaan, namun sedikit polos tapi juga angkuh terhadap orang dewasa, semacam ingin nunjukin mereka juga bisa dan melakukan dengan lebih baik. Mereka siapa? Siapa lagi yang bisa bersikap angkuh padahal aslinya perlu belajar lebih banyak kalo bukan anak muda. Remaja. So, sedari taglinenya saja, karya Ody C. Harahap ini sudah menguarkan identitas yang kuat. Bahwa superhero kali ini beda dari kakak-kakak hero Bumi Langit sebelumnya. Jagoan super kali ini adalah anak muda, dan kita akan ngikutin cerita dari dunia dan perspektif mereka. Percikan api gelora anak muda, dan permasalahan mereka dengan orangtua, jadi hati pada cerita. Bahkan mungkin bisa dibilang, ini adalah cerita remaja dengan kedok superhero.

Berkedok superhero. Aku bilang begitu karena memang Virgo and the Sparklings works best saat memperlihatkan interaksi antarkarakter remaja dan segudang permasalahan mereka. Riani nama karakter utama di sini. Gadis SMA yang agak pemalu itu jadi semakin gak suka nonjolin diri lagi lantaran dia punya ‘kebiasaan’ aneh. Bola api suka tau-tau berkobar muncul dari dua tangannya. Padahal Riani ini punya bakat nyanyi. Suaranya bagus banget. Waktu Riani nyanyi sendirian di dalam kelas kosong itulah, beberapa teman mendengar kebolehannya. Riani akhirnya diajak gabung ngeband bareng Ussy, Monica, dan manajer mereka; Sasmi. Band mereka dinamai Virgo (karena semua personel ternyata berzodiak Virgo, cute!) dan mereka ikutan semacam kontes battle of the band. Di kontes itu mereka bertemu dan akhirnya saingan sama girl rock band idola mereka, Scorpion Sisters. Bagian Riani membuka diri untuk bergaul dan bikin band bareng teman-teman itulah yang menyenangkan sekali untuk disimak. Karena situasinya benar-benar dibuat grounded. Khas pergaulan anak remaja sehari-hari. Dari situ juga masuklah bahasan tema utama cerita, karena teman-teman Riani sebenarnya gak ada yang boleh ngeband oleh orangtua masing-masing. Tapi mereka tetap nekat, sampai bikin topeng dan kostum biar identitas mereka gak ketahuan nanti pas nampil di panggung. Jadi kostum dan kekuatan api Riani – yang obviously bakal jadi karakter superheronya – di awal itu dihadirkan natural. Para karakter ini ‘hanya’ menjadikan itu sebagai gimmick mereka buat manggung. Buat dapat view. Momen-momen Riani dibantu oleh teman-teman mengendalikan kekuatan api juga terasa sangat lugu. Dia disuruh manasin air, dan juga masak mie. Tapi momen-momen sederhana itu jadi semakin serius, karena di balik keceriaan mereka, di background kita kerap mendengar berita tentang anak muda yang kesurupan dan mengamuk kepada orangtua mereka. Inilah yang jadi konflik, jadi sesuatu yang harus dibereskan oleh Riani terkait journeynya menjadi seorang patriot super.

Kekuatannya api, lagunya angin, zodiaknya tanah

 

Action-fantasi atau superhero yang grounded memang terbukti lebih menyenangkan. Apalagi yang settingnya kehidupan anak muda kayak gini. Yang ceria walau juga penuh drama. Tapi yang jelas, jauh dari ba-bi-bu intrik plot twist politik. Film Virgo juga cukup bijak nahan diri – tidak hingga momen credit kita melihat tie in universe Riani dengan superhero BCU lainnya. Cerita yang contained di dunia sendiri, membuat film jadi lebih fokus, dunianya itu terasa lebih hidup (walaupun memang tidak sepenuhnya dieksplorasi). At least, Virgo terasa punya identitas dan keunikan. Scott Pilgrim vs. The World masih jadi nomor teratas dalam daftar film favoritku setelah sepuluh tahun lebih untuk alasan tersebut. Film itu berlaga di dunianya sendiri, dan berhasil. Dan dunianya itu adalah dunia absurd, tapi sebenarnya adalah cerita khas anak muda. Seorang cowok yang ingin pacaran sama si cewek baru, tapi dia harus ‘ijin’ dulu sama tujuh mantan si cewek. Premis itu diwujudkan dalam aksi seperti pada komik dan video game, karakternya yang di awal kayak remaja sehari-hari ternyata pada punya kekuatan unik. Dan mereka juga tanding ngeband! See, no wonder aku bandingin Scott Pilgrim dengan Virgo ini.

Walau ternyata memang enggak seabsurd itu, Virgo hadir dengan energi remaja khasnya sendiri. Geng-gengan. Naksir-naksiran. Saing-saingan. Idol-idolan. Pertemanan yang akrab banget, tapi sesekali juga bisa berantem. Api kekuatan Riani yang tak terkendali itu bisa kita sambungkan sebagai simbol passion remaja yang sedang dalam masa pencarian tempatnya di dunia. Tapi yang paling penting di antara itu semua, film ini mengangkat value yang relate banget dengan setiap remaja manapun. Tentang komunikasi antara anak dengan orangtua, dengan orang dewasa. Dalam cerita ini, Riani akan menyelediki kenapa anak-anak yang menonton satu video misterius di YouTube pada mendadak kesurupan dan mengamuk. Nice play dari fenomena masa kini yang anak-anak cenderung dinilai lebih emosian kalo terekspos gadget terlalu lama. Memang di jaman sekarang, anak-anak lebih suka menghabiskan waktu di internet ketimbang dengan orangtua. Di salah satu adegan, teman sekelas Riani mengamuk dan ada yang minta untuk manggil guru. Namun Riani menjawab, guru bisa apa. Sekali lagi film ini nunjukin betapa anak muda seperti mereka tidak lagi memilih orangtua atau orang dewasa sebagai opsi yang terpercaya. Film lebih jauh mengeksplorasi masalah ini dengan memperlihatkan Riani dan kawan-kawan berusaha membereskan masalah mereka sendiri. Orangtua hanya berarti masalah.

Kebanyakan cerita dengan tokoh remaja memang biasanya ‘mengantagoniskan’ orangtua. Atau kalo perlu, kehadiran orangtua dihilangkan gitu aja, tidak disebut di dalam cerita. Yang membuat Virgo berbeda dari film-film atau cerita remaja serupa itu adalah, film ini actually mengungkap sudut pandang lain. Bahwa kemarahan anak, ketidakpercayaan anak yang disasar ke orangtua, hanyalah luapan emosi berapi-api yang mereka rasakan di umur segitu. Anak takut membuat marah orangtua, suka ngerasa akan makin susah, sehingga komunikasi itu gak ketemu. Padahal bisa jadi kalo masalah itu diomongin langsung malah jadi ‘plong’ Seperti yang ditunjukkan oleh film ini. Kids, your parents are not that bad.

 

So much fun ngelihat Adhisty Zara, Satine Zaneta, Ashira Zamita, Rebecca Klopper, dan aktor-aktor muda itu ‘dilepas’ di lingkungan yang akrab dan relate dengan keseharian mereka. Membuat film makin terasa genuine. Problem, however, mulai bermunculan ketika film mengangkat yang agak serius dan kehilangan pegangan kepada dunia remaja saat genre superhero itu harus ditegakkan. Virgo and the Sparklings memang terasa enggak balance, pada beberapa momen dapat berubah drastis dari menyenangkan menjadi cringe. Mungkin arahannya kurang bisa mengena ke pemain? Coba bandingkan dialog ’emangnya guru bisa apa’ tadi dengan dialog ‘polisi gak bisa ngapa-ngapain’ yang diucapkan Zara sebagai Riani di menjelang babak akhir nanti.  Celetukan yang lebih serius soal polisi itu terdengar agak cringe diucapkan. Enggak senatural murid yang gak percaya guru. Dan juga feel forced, karena di titik itu kita sudah tahu kekuatan Riani dan sebenarnya naturally dia tinggal bilang cuma dia yang bisa lihat ‘asap hitam’ penyebab semuanya.

Final battlenya juga terasa cringe, tidak tampak seperti ujung yang natural dari build up dan hubungan karakter yang telah dijalin. Situasi menjelangnya padahal masih terasa ceria dan lucu di balik keseriusan masalah. Geng Riani udah full jadi tim hero, tapi kehalang satu pintu terkunci aja mereka kocar-kacir. Lalu mereka yang pakai alat untuk menghalang kekuatan si penjahat jadi punya interaksi kocak karena alat itu membuat mereka tidak bisa mendengar satu sama lain. Tapi saat Riani sudah face-to-face dengan penjahatnya, dalang dari semua, semua terasa lop-sided.  Aksi pada Riani seperti terbatas pada lempar bola api (yang not destructive, tapi menyembuhkan korban dari pengaruh jahat) sehingga battlenya dengan cepat jadi monoton meski film berusaha membuatnya dramatis dengan kekuatan Riani sendiri mulai takes toll on her body. Yang buatku paling mengganjal di final battle itu adalah Riani kayak gak punya plight, perdebatan dengan si jahat. Dia enggak benar-benar menanggapi omongan si jahat, padahal si jahat ini adalah idolanya, padahal si jahat ini sudah menyebut mereka sebenarnya sama dan mengajak Riani bergabung dengannya. Riani cuma ngomong sekadarnya saat mereka bertemu untuk pertama kali sebelumnya, tapi di momen final, benar-benar gak banyak bantering antara mereka berdua. Buatku ini sedikit kekurangan pada naskah, serta missing opportunity. Naskah tidak benar-benar bisa memparalelkan antara Riani dengan si jahat, sehingga resolve konflik mereka kurang nendang. Missed opportunity, karena ini harusnya jadi momen kita melihat Zara dan Mawar Eva adu akting, tapi film gak benar-benar ngasih mereka sesuatu melainkan hanya gimmick cringe sebagai momen ‘berantem’.

Bulan baru, film Mawar baru!

 

Kalo mau jujur sih, adegan-adegan perform musik film ini menurutku sebenarnya juga masih tergolong missed opportunity. Kenapa? Karena di sini mereka punya assemble cast yang sebagian besar beneran bisa nyanyi dan bisa main alat musik tapi coba lihat sendiri deh gimana film ini ngesyut adegan-adegan perform tersebut. Bland dan seragam semua cara nampilinnya. Boring. Sekali lagi aku membandingkannya dengan Scott Pilgrim yang punya banyak adegan ngeband, dan masing-masing adegan tersebut berbeda treatment dan ada keunikannya satu sama lain. Ody Harahap memang bukan Edgar Wright yang ahli bercerita dengan gaya editing dan timing komedi yang khas, Ody punya cara tersendiri menampilkan komedi atau aksi, ataupun keduanya, tapi untuk nampilin perform musik yang energik, arahannya masih terlalu standar.  Adegan musik yang ceritanya direkam dengan hape Sasmi yang kakinya sakit, akan tertampil sama dengan adegan musik di panggung pertunjukan.  Kita selalu melihatnya dari kamera yang seperti kamera pada acara TV sehingga nyanyian tersebut tidak pernah dikesankan seperti dinyanyikan langsung. Mawar ataupun Zara harusnya bisa banget punya momen perform seperti Brie Larson nyanyi Black Sheep di Scott Pilgrim, tapi Virgo tidak pernah meng-utilized pemainnya seperti demikian. Performance mereka artifisial semua, enggak ada aksi panggung sehingga gak berhasil ngasih kesan ‘live’ kayak Brie.

 

 




Film ini buatku punya vibe yang sama dengan film dan video game favoritku, Scott Pilgrim dan seri River City Girls. Aku enjoy nonton bagian karakternya saling interaksi, latihan band, latihan menggunakan kekuatan superhero. Value yang dikandung ceritanya juga relate banget, terutama buat anak muda. Film ini bisa jadi hiburan sekaligus something untuk dipikirkan bagi penonton muda. Walaupun memang pada akhirnya naskah dan arahan cukup keteteran, aksinya berakhir cringe, kekuatan Riani  jatohnya underwhelming banget – apinya gak sakit, sinesthesianya cuma plot device untuk misteri kekuatan penjahatnya – adegan perfom musiknya enggak benar-benar nendang (walau lagunya enak-enak), dan banyak karakter yang bikin penasaran simply karena cerita tidak benar-benar bisa memanfaatkan waktu untuk mengeksplor mereka. But hey,  I’d take cheerful and grounded superhero movies any day ketimbang superhero yang sok-sok gelap dengan fantasi politikal yang melebar ke mana-mana. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for VIRGO AND THE SPARKLINGS

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa sih anak-anak muda gak percayaan sama orang dewasa?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



Comments

  1. Aaron says:

    Udah nonton 2 film hari ini & dua2nya oke walaupun lebih prefer Kembang Api. Sayang banget disini karakternya banyak yang gak tereksplor, momen performnya juga rada seadanya di ending, Scorpion Sisters gak diberi momen yang cukup bagi penonton untuk mengenal mereka, minimal diperlihatkan interaksi antar membernya, gak ada full performance supaya kesannya live, jauh lebih better ketimbang Gita Cinta yang sangat artificial

    • Arya says:

      Haha iya ya, Gita Cinta mah kayak beneran gak effort sutradaranya, cuma muter lagu aja trus pemainnya disuruh akting. Kamera dan segala macemnya rekam gitu aja.
      Scorpion Sisters dikit banget screen timenya, padahal build up mereka gede, sering disebut sebagai idola dan semacamnya

      Kalo aku, tiga dari empat film terakhir yang kutonton, ada bicara soal bunuh diri. The Whale, Kembang Api, sama Otto. Belum mastiin prefer yang mana sih hahaha

  2. Aaron says:

    Padahal biasanya di film atau series, rival atau antagonis selalu diberi perspektif mereka sendiri. Di sini gak diperlihatkan gimana sih keseharian Scorpion Sisters, padahal di trailer kayak mancing ekspektasi bakal ada lebih tentang mereka tahunya lewat kayak angin lalu. Antara Otto dan Kembang Api, lebih suka Otto karena faktor heartwarming scene antara Otto sama keluarga Marisol dan para tetangga. Sayang duo Virgo sama Kembang Api rada sepi, persis kayak Noktah Merah Perkawinan. Bingung sama selera penonton film Indonesia

    • Arya says:

      Bener, apalagi sayang banget padahal Carmine itu yang meranin si Mawar. Bisalah dikasih banyak adegan. Eh cuma dikasih nyerocosin eksposisi di akhir-akhir doang.

      Waktu tayang di bioskop, Otto padahal juga cukup rame kan ya yang nonton. Kenapa pas film indonesia bahas drama jadi malah sepi ya. Aneh, apa berarti memang penonton kita belum percaya sama film indo di luar horor?

      • Aaron says:

        Padahal nambah durasi dikit gak masalah biar penonton bisa kenal sama karakternya. Soal Otto, awalnya melempem sih Mas, tapi tertolong word of mouth yang bagus jadi bisa bertahan lumayan lama. Penonton kayaknya masih terjebak di mindset film Indonesia cukuplah yang menghibur dan ringan, gak usah mikir berat2, gak viral berarti kapan2 aja ditonton dll

        • Arya says:

          Bener juga ya, apalagi dengan banyaknya platform. Enggak urgen film Indonesia yang drama-drama gitu. Bisa ditonton di platform aja nanti (kayak dulu juga banyak yang nunggu film tayang di tv). Kecuali yang viral, harus ditonton duluan biar up-to-date dengan tren.
          Tapi semoga dua film ini bisa kayak Otto, dapet impresi bagus. Aku barusan beres nonton versi original Jepang Kembang Api, dan surprised sih. Versi remake indo kali ini gak nyontek, dan bisa dibilang lebih baik ketimbang aslinya karena jadi lebih dekat.

          • Aaron says:

            Kejutan kecil dari Falcon, sayangnya giliran beneran bagus kurang dilirik, apa karena gak seterkenal Miracle in Cell no 7?

          • Arya says:

            Sepertinya begitu haha, karena memang filmnya bukan yang untuk seru-seruan/tangis-tangisan. Filmnya lebih menjurus ke kontemplatif, nasihat, gitu kan ya

  3. Farrah says:

    Mas, film ini toddler friendly nggak ya? Ratingnya soalnya SU, pengen ajak anakku nonton (umur 4.5tahun) tapi takut ada adegan cinta-cintaan yang gimana gitu hahahaha, atau adegan tentang ‘sekolah’ yg kurang toddler friendly. Masih maju mundur mau ajakkin nonton ini / Kiko

    • Arya says:

      Ada adegan bully di sekolah sih, Mbak. Si Riani diintimidasi sama geng siswi yang lain
      Sama ada dialog yang menjurus, pas Riani dan Leo lagi nyetak foto tapi perbincangan mereka terdengar oleh Carmine, dan kita, kayak orang yang lagi ngapain gitu

  4. Albert says:

    Sepi ya Virgo, padahal bagus menurutku. Aku sih paling suka Dibanding Gundala dan Sriasih. Lebih grounded ceritanya. Virgonya ga sakti banget kayak Sriasih yang rasanya udah pasti menang begitu dapat kekuatan. Cuma Mawar di sini kurang banyak adegannya. Iya bener dialognya sama Zara juga dikit. Hehehe

    • Arya says:

      Aneh kan ya, padahal hero ama villain kan biasanya jadi pusat cerita – dibikin sering ketemu. Temenku malah bilang, jangan-jangan Mawar ama Zara banyakan sutingnya terpisah, gak bareng ahahaha

      So far, memang Virgo lebih asik daripada kakak-kakak heronya

      • Albert says:

        Padahal aku udah nebak Mawar villainnya. Tapi pas nonton karena dikit banget scenenya kubatin kayaknya bukan Mawar nih. Mungkin cowoknya, kan dia ada bilang ditinggal bapaknya pas kecil hahaha. Sakit punggungnya Riani juga ga jadi halangan lagi pas final battle ya.

        Ah, Kembang Api ga tertonton mas. Dua film ini sama2 sepi, paling minggu depan udah turun layar. Padahal di grup film ada bilang Scream ga tayang minggu ini. Entah nonton apa minggu depan hehehe.

        • Arya says:

          Scream gak lulus sensor kayaknya ya, kabarnya gak studionya gak mau dikasih rating 21+. Jadi makin penasaran sesadis apa hahaha
          Ah, bioskop pasti film horor lagi yang dibanyakin. Padahal Rabu itu kan juga ada anime itu, Virgo ama Kembang Api juga ada. Mestinya spot Scream dibagi buat film-film itu aja ya

          • Aaron says:

            Kalau dua film itu stabil okupansinya bisa aja sih Mas, kayak Noktah sempat bertahan karena ada peningkatan okupansi penonton

          • Albert says:

            Waduh barusan liat Cinecrib, dari tanggal 16-30 Maret, katanya tiap minggu ada 2 film horror. Berarti 3 minggu 6 horror. Wah kenyang deh hahaha. Tapi masih ada Shazam sih sama semoga Scream tayang.

          • Arya says:

            Mana bulan puasa pula. Mikirin puasa bela-belain ke bioskop untuk nonton horor yang gitu-gitu mulu aja aku udah lemes sekarang wkwkwk

  5. inisss says:

    filmnya kerasa banget syuting masih pandemi, agak lumayan berasa kosongnya, terus juga jadi makin berasa lagi ketika di bagian awal (ini buatku ganggu bgt soal scene scene yg suaranya cuma dialog sama ambience angin doang) sama pas final battle, stardom yang bikin iklan di mana mana malah acaranya berasa gedung kosong.

    sejauh ini masih bingung sama strategi bcu yang milih ngeluarin jagoan cewe cewe mulu beruntut, abis sri asih dan virgo bahkan cuma ada tira yg jagoan di next project yg udah jadi, semoga dana dari produsernya cukup deh buat lanjutin penceritaan bcu sampe ke ip ip gede kayak si buta dari gua hantu yg berpotensi narik massa

    • Arya says:

      Come to think of it, bener juga ya. Stardom kosong banget, padahal mestinya acara gede. Aneh juga sih, masa iya gabisa ngisi extras biar orangnya banyak. Kemungkinan memang pandemi, atau budget.
      Kalo memang budget problems, mestinya yang IP gede itu aja yang dikeluarin duluan. Buat narik minat penonton casual. Tapi yah mungkin karena satu film selalu tease film lainnya – bukan cerita origin each superhero yang berdiri sendiri – mereka jadi gak bisa rilis sembarangan ya, kudu ngikut timeline

      • Aaron says:

        Soal Stardom kayaknya diakalin dengan streaming online live, walaupun aneh sih gak ada audience live di gedung, yang menang akses khusus nonton langsung.

        • Arya says:

          Aku baru ingat kalo gak salah, memang di narasinya disebutin acara mereka jadi live karena antisipasi anak muda, takut pada ngamuk. Cuma ya weird choice sih, biasanya final battle kan selalu rame dan seru. Film ini cuma punya kru ama temen-temen Riani dan Carmine buat meramaikan, dan itupun gak keliatan rame/serunya

          • Aaron says:

            Mungkin budget terbatas untuk visual effect, jadi bisa aja ada penyesuaian. Adegan fight aja banyak yang kurang smooth

          • Arya says:

            Needs more practical efek gak sih, kayak dia latihan loncat trus direkam temennya itu kan gak mesti banget pake efek komputer

  6. Joe Lucas (@joe_lucas19) says:

    aku sih ngerasanya film ini tuh buru2 banget dari awal. Karakter Riani ya cuma gitu doang pengenalannya, “oh dia bisa keluarin api dari tangannya”. “oh dia bisa melihat warna suara”. Tapi gak ada yang bener2 menjelaskan “kekuatan” Riani ini secara lebih serius. Beda sama versi Webtoonnya yang digali banget kekuatan ini sebelum muncul konflik ini itu

    Kita kan taunya, tiba2 dia pindah sekolah gara2 bakar kertas ulangan, tiba2 dia kenal dan langsung sahabatan sama 3 orang baru itu, tiba2 dia ketemu Leo, tiba2 dia sepakat mau bikin band, tiba2 temen2nya tau kekuatannya dia (ini kecewa banget sih aku, gak ada dramatisasinya sama sekali, padahal aku nunggu banget soal ini; Like hei ini tuh rahasia besar loh, kok dengan mudahnya dianggep sebagai hal biasa gtu aja), dan tiba2 lainnya lagi yang masih banyak banget.. Aku sebagai pembaca versi webtoonnya, untungnya masih bisa ngerti Virgo ini apa dan siapa, nah tapi kalau yang gk pernah baca webtoonnya gimana?

    Kalau mau dibilang film superhero, masih kurang gak sih dari ekspektasi kita?

    Soal Stardom, iya bener mereka pilih ngadain live concert tanpa penonton offline karena mereka mikirnya akan lebih aman, padahal biangnya kan bisikan setan si Carmine, jadi selama dia masih bisa buka mulut ya tetap aja bahaya. hahaha. Apa solusinya dijahit aja ya mulutnya si Carmine? (apa ini trik mereka supaya lebih hemat cast dan hemat budget CGI ya?)

    Btw suka banget sama Monica, Ussy, Sasmi, natural dan effortles banget mereka sampai bikin Riani & Carmine berasa karakter sampingan, Leo? siapa ya dia?

    menjawab pertannyaan mas Arya.
    Menurutuku sih karena ada gap aja ya, yang mungkin disebabkan kurang komunikasi, kurang rasa percaya, takut di jugde duluan, dan sebagainya..

    • Arya says:

      Superhero buatku mah asal ada, satu – nolongin orang, dua – punya kekuatan super, udah bisalah disebut cerita superhero hahaha..
      Leo memang agak ga-guna sih, cuma ada biar ada cinta-cintaan yang bisa dijual.

      Mungkin, karena aku pergi nonton ini tu ekspektasinya udah ke Scott Pilgrim (yang absurd, tiba-tiba orang bisa punya jurus super – dan kalo kalah jadi koin), aku juga jadi nerimo aja Riani bisa punya kekuatan api dan sinestesia. Apalagi mikirnya mereka satu universe sama dua superhero lain yang muncul sebelumnya, jadi di dunia-ceritanya mungkin udah maklum ada orang berkekuatan super. Nah tapi di sini mungkin kekurangan film, kurang memperlihatkan dunia yang penduduknya udah terbiasa ama kekuatan super (aku kebayang dunia di anime My Hero Academia). Makanya reaksi teman-temannya itu jadi nanggung. Mereka takjub, tapi ya lantas dengan cepat jadi biasa aja.

      Si Carmine diasingkan ke ruangan kedap suara aja tuh, biar gak bisa bisikan setan lagi hahaha…

      Menarik sih sebenarnya soal gap ini. Soalnya kalo di horor, biasanya tuh ceritanya tentang orangtua yang takut sama anak. Jadi sebenarnya siapa yang mulai ada gap atau takut duluan hahaha

  7. Joe Lucas (@joe_lucas19) says:

    wah kalo syaratnya itu, berarti film Chronicle 2012 yg bisa telekinesis itu bukan superhero ya?, mereka kan punya kekuatan, tapi alih2 nolong orang, mereka kan malah bikin masalah ini itu..

    iya, lagian aneh bgt si Riani tiba2 suka sama si Leo, walau buat bumbu cinta2an, porsinya juga kurang bgt

    anggep aja gtu mas wkwkw. biar kita bisa maklumin plot hole nya

    ahahaha boleh juga tu

    sorry orang tua takut sama anak gimana mas? gak paham aku..

    • Arya says:

      Ya gak syarat juga. Cuma kan kalo udah nolong orang dan punya kekuatan super, kalo bukan superhero apalagi dong namanya hahaha.. Chronicle is a darker superhero karena mmg gak berawal dari cerita nolong orang, tapi ya ini kayak bilang yang menyusui dan melahirkan anak mamalia, jadi kalo jantan bukan mamalia dong (dengan Chronicle itu ‘jantan’nya) haha

      Sering banget gitu film remaja kita, si cewek pokoknya suka aja sama si cowok, tanpa ada alasan yang jelas – dan tidak ada pengembangan apapun sampai beres.

      Banyak kan cerita horor yang setannya anak kecil, entah itu anak sendiri atau anak orang. Children of the Corn, Omen, Pet Sematary, bahkan Eden Lake (bukan goib, tapi tetep setan!haha) Seringnya tema di film-film itu ya soal orangtua yang takut ada yang gak beres sama anaknya, merasa anak benci mereka karena gagal jadi orangtua yang baik dsb

Leave a Reply