HATI SUHITA Review

 

“True love is about growing as a couple”

 

 

Barangkali inilah pentingnya cinta. Jika rumah tangga adalah kebun bunga, maka cinta adalah airnya. Tanpa ada air, bunga-bunga itu akan layu. Kasihannya, masih sering didapati rumah tangga yang dimulai bukan atas saling cinta. Melainkan sebuah perjanjian. Atau biar terdengar agak romantis, istilahnya disebut perjodohan. Rumah tangga Alina dalam Hati Suhita yang diadaptasi Archie Hekagery dari novel, contohnya. Hati Suhita diarahkan oleh Archie untuk memperlihatkan perjuangan Alina menyirami rumah tangganya yang kering kerontang. Supaya ibu-ibu yang nonton bisa bergemes-gemes ria, memilih ship favorit mereka dari segi tiga yang terlibat di dalam cerita. Tapi di sisi lain, Archie sendiri jadi tidak sempat menyiram pokok permasalahan sebenarnya. Soal perjanjian yang berakar dari perjodohan, yang berkaitan erat dengan hal yang membuat kisah ini jadi novel yang spesial; identitas karakternya.

Alina Suhita adalah anak pesantren. Sejak kecil dia sudah dijodohkan sama anak pemilik pesantren besar tempatnya menimba ilmu. Alina dan Gus Birru, sudah dipupuk untuk menjadi pasangan penerus Pondok Pesantren Al-Anwar tersebut. Keduanya memang lantas tumbuh jadi orang-orang hebat. Cerdas, karismatik, taat beragama. Amanah untuk jadi pemimpin pesantren sepertinya gampang saja mereka emban. Tapi tidak demikian dengan amanah yang satunya; jadi pasangan. Alina dan Gus Birru toh memang kemudian dinikahkan. Tapi walaupun Alina tampak berusaha menjadi istri yang baik, Gus Birru tidak mau membuka hatinya karena cowok ini cinta sama cewek terpelajar lain. Rengganis. Sehingga Alina dan Gus Birru akhirnya membuat perjanjian untuk berpura-pura jadi suami istri yang harmonis, padahal aslinya tidur seranjang pun Gus Birru ogah.

Wife without benefits

 

Hati Hati Suhita ada pada tempat yang tepat. Film ini menggali dari sisi manusia para karakternya. Menggali hubungan mereka. Bukan hanya Alina yang permasalahannya dieksplorasi oleh film, meski memang film ini paham betul betapa pedihnya keadaan tersebut bagi Alina, sehingga menggali di sini, Dan terutama berusaha nge-cash in dari sini, Memancing emosi penonton dari pengembangan yang detil (tapi gak lebay) dari gimana sih ketika seorang perempuan yang ingin jadi istri soleha bagi keluarga besar dan suami, tapi tujuannya tersebut ternyata sekaligus jadi antagonis baginya. Mulai dari mencoba merayu, ngebaik-ngebaikin, ngerawat saat sakit, hingga balas cuek, semua aksi Alina  sukses membuat berbagai kelompok ibu-ibu yang nonton satu studio denganku bereaksi, bersorak-sorai riuh rendah. Malah ada yang sempat menghunus hapenya, siap untuk merekam layar bioskop (sebelum akhirnya dilarang oleh temannya sendiri).

Opening kredit film ini bekerja efektif dalam mempersiapkan kita kepada konflik setiap karakter sentral, serta dilakukan dengan ekstra dramatis. Baru ini kayaknya film yang menggunakan shot drone dengan begitu menyeluruh. Kemegahan pesantrennya tertangkap.  Konflik dua, eh tiga! karakter sentralnya  juga sekaligus berhasil terlandaskan dengan kuat. See, keadaan mereka sangat kompleks. Yang terluka bukan hanya Alina. Gus Birru yang selama ini aktivis yang memperjuangkan kebebasan juga merasa terkekang karena perjodohan. Rengganis, pacar Gus Birru juga manusia yang punya perasaan – yang juga hancur karena cintanya tiba-tiba kandas begitu saja. Film mencoba menggali mereka dengan adil, tidak ada yang dibikin totally jahat banget, ataupun dibikin pasrah-pasrah aja. Di balik Gus Birru yang dingin kepada Alina (karakter ini harus dibikin supercuek dulu supaya nanti bisa dilihat developmentnya), kita juga dikasih lihat gimana dekatnya dia dengan Rengganis. Bahwa keduanya itu share mutual interest, dan connected oleh ide. Aku bisa mengerti gimana dua orang ini bisa saling cinta. Kepada Alina, film juga memperlihatkan di balik sikap dinginnya yang menyangka Alina mau dijodohkan demi posisi di Pesantren, Gus Birru toh kecantol juga melihat kepintaran Alina dan terutama saat mendengar suara merdu Alina membaca Al-Qur’an. Hal tersebut didesain memang supaya penonton makin penasaran ke mana akhirnya cinta itu berlabuh. Banyak momen didedikasikan film ini untuk bikin penonton geregetan, misalnya kayak membuat ketiga karakter seolah akan bersirobok di sebuah kafe buku. Ditambah pula dengan kehadiran karakter pendukung, seperti ‘comebacknya’ Desy Ratnasari yang jadi mertua Alina, yang terus mendorong Alina supaya makin mesra pada Gus Birru, film semakin memanjakan rasa gemes-gemes penasaran penonton.

Namun bahkan di gurung pasir pun bisa tumbuh bunga. Yang berarti, cinta masih tetap hadir di tempat kering sekalipun. Persoalan kehadiran cinta dan mengenalinya untuk bisa tumbuh bersama itulah yang sebenarnya dibahas oleh cerita Hati Suhita. Berbagai karakter itu punya cinta dan cara tersendiri, ini adalah soal saling mengenali dan memahami sehingga akhirnya bisa tumbuh bersama. Itulah cinta sejati.

 

Film ini ngebuild ‘nikah-tapi-gak-dijamah’ sebagai sesuatu yang menyakitkan, membangun usaha Alina untuk menunjukkan cintanya kepada Gus Birru sebagai sesuatu yang pedih karena tak-berbalas, dan juga menampilkan relasi karakter lain untuk menambah serunya masalah hati mereka. Di menjelang akhir malah ada sekuen yang clearly mengajak bermain-main ekspektasi penonton terhadap siapa jadian dengan siapa. Itu semua memang bikin penonton menggelinjang, tapi film ini seperti meninggalkan banyak konteks yang menyertai karakter-karakternya tersebut. Yang kubicarakan di sini adalah konteks pesantrennya. Latar yang membentuk siapa mereka-mereka ini tidak benar-benar dibahas, melainkan ya sebagai ‘kostum’ saja. Film Hati Suhita kebanyakan hanya berkutat di efek perjodohan terhadap tiga karakter sentral, tapi tidak pernah benar-benar mengembalikan bahasan kepada perjodohan tersebut. Padahal ini penting, kenapa? Karena ini berkaitan dengan konteks ‘dari mana mereka berasal’, yang berarti karakter mereka baru bisa kita selami sepenuhnya ketika konteks ini dihadirkan. Tanpa konteks pesantren, film ini tak ubahnya seperti cerita perjodohan random. Like, diganti jadi bertempat di perusahaan besar pun bisa. Mari kita buktikan dengan mengganti istilah pesantren dengan ‘perusahaan’ pada sinopsis di atas:

‘Alina Suhita adalah karyawan perusahaan. Sejak kecil dia sudah dijodohkan sama anak pemilik perusahaan besar tempatnya bekerja. Alina dan Gus Birru, sudah dipupuk untuk menjadi pasangan penerus Perusahaan Al-Anwar tersebut. Keduanya memang lantas tumbuh jadi orang-orang hebat. Cerdas, karismatik, taat beragama. Amanah untuk jadi pemimpin perusahaan sepertinya gampang saja mereka emban. Tapi tidak demikian dengan amanah yang satunya; jadi pasangan. Alina dan Gus Birru toh memang kemudian dinikahkan. Tapi walaupun Alina tampak berusaha menjadi istri yang baik, Gus Birru tidak mau membuka hatinya karena cowok ini cinta sama cewek terpelajar lain. Rengganis. Sehingga Alina dan Gus Birru akhirnya membuat perjanjian untuk berpura-pura jadi suami istri yang harmonis, padahal aslinya tidur seranjang pun Gus Birru ogah.’

Kan, ceritanya jadi generik karena konteks pesantren sama sekali tidak dibawa. Konteks yang kumaksud adalah dasar pemikiran karakternya.  Bahwa perjodohan adalah perintah orangtua, yang mereka anggap sebagai amanah. Bagaimana di mata Alina menjadi istri yang baik adalah istri yang taat suami. Sementara di mata Gus Birru yang taat agama menghormati perempuan adalah dengan tidak menodainya. Yang kumaksud adalah cerita Hati Suhita yang bersetting di pesantren itu harusnya bisa lebih kompleks lagi ketimbang yang actually kita tonton (tentang berusaha bikin orang yang gak cinta, menjadi cinta). Jika konteks agama atau pesantren itu digali lebih dalam, masalah Alina bakal lebih rumit bukan lagi sekadar belum pernah disentuh, tetapi bagaimana dia merasakan mengikuti perintah agamanya (dengan ngurus keluarga dan nurutin kata suami) ternyata belum cukup baginya. Masalah Gus Birru terhadap perjodohan bakal lebih berlapis karena ini juga menyangkut perintah orang tua dan bagaimana dia selama ini gak cocok dengan ayahnya, dan bagaimana dia yang menolak menggauli istri yang bukan pilihannya itu bisa jadi bukan karena dia tidak cinta melainkan perlawanan terhadap ayah. Dan si Rengganis, maaan, mestinya dia yang paling pedih karena bentuk cinta yang ia harus jalani adalah mengikhlaskan. Perjalanannya sebenarnya lebih dramatis jika konteks identitas mereka diperkuat. Lingkungan pesantren itu sendiri juga harusnya bisa jadi ‘gudang contoh kasus’ tempat mereka belajar penyadaran masing-masing, bukan lagi sekadar tempat karakternya berkarya dan nunjukin kehidupan profesional.

Paling males kalo ibu udah pake jurus “Semalam ibu mimpi…”

 

Aku pikir itulah  juga kenapa delivery para karakter sentral tidak terasa sekonsisten karakter pendukung. Nadya Arina, Omar Daniel, dan juga Anggika Bolsterli memainkan karakter mereka dengan emosi ataupun intonasi yang sering kurang terasa kontinu. Atau mungkin, tidak kena pada sasaran, seolah mereka sendiri juga ragu dengan apa yang dirasakan karakter. Misalnya ketika dialog di kafe soal menghamili supaya ‘sandiwara’ mereka tetap terjaga dan permintaan Abah dan Ummi terpenuhi, dari nadanya aku pikir Alina setuju (walau dengan sarkas) tapi ternyata pada adegan berikutnya, dia menolak mentah-mentah. Atau ketika Alina dan Rengganis ngobrol di dapur; ku gak yakin mereka memang saling ngasih semangat atau nebar kode buat saingan. Bahkan hingga cerita berakhir, aku masih meragukan Alina dan Gus Birru sudah beneran saling cinta, bukan masih karena amanah dan mikirin Ummi dan Abah.

Konteks yang disisakan film salah satunya hanyalah soal karakter yang suka berkunjung ke makam Sunan/Wali untuk menenangkan diri. Which is great, budaya masyarakat mengalir kuat dari sini. Menambah sesuatu yang baru, yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Tapi efeknya juga akhirnya tidak besar. Aku lebih memilih mereka benar-benar memperlihatkan Gus Birru mengaku kepada orangtuanya, misalnya. Di film ini, adegan itu diperlihatkan cuma sebatas adegan tanpa dialog, slow-motion diiringi lagu. Padahal itu momen penting bagi Gus Birru yang telah menyadari kesalahannya. Itu juga momen akhirnya dia berkonfrontasi dengan ayahnya. Film ini lebih butuh momen-momen besar seperti itu ketimbang momen ngeswerve kita soal siapa ternyata mencintai siapa. It gets really draggy sekitar dua-puluh menit terakhir karena film berusaha bikin kita naik turun dengan ngasih red herring soal siapa yang dipilih si karakter untuk jadi pasangannya. Yang menurutku sebenarnya gak perlu, lebih baik waktunya dipakai untuk adegan pembelajaran yang personal seperti Gus Birru dengan ayahnya. Pacing film juga jadi aneh karena ini. Film yang di awal-awal sering terasa kayak terlalu cepat exit adegan, pas di belakang tau-tau jadi melambat. Dan akhirnya jadi kayak kehilangan momentum karakternya balikan, karena terlalu lama pada sekuen swerve. Lucunya memang film ini tuh kayak puncak dramatisnya tu ada di adegan pembuka tadi. Epik sekali. Sementara ke belakangnya enggak ada lagi adegan seperti demikian. Selebihnya film tidak pernah lagi ‘ekstra’ seperti itu. Padahal mestinya adegan opening itu cuma semacam ‘teaser’ untuk apa yang akan ada di akhir.

Sebenarnya, ada sih satu momen yang buatku cukup surprise. Kayak out of left field, gitu. Unexpected. Yaitu ketika Gus Birru menyadari dia sesuatu dari menonton film dokumenter buatan salah satu karakter. Ini ngingetin aku sama The Fabelmans (2022), yang memang film itu ingin memperlihatkan kekuatan dari filmmaking.  Adegan di Hati Suhita ngingetin, tapi tak sekuat itu karena di adegan itu Gus Birru sadar lewat dialog yang ia dengar, bukan dari gimana adegan film yang ia tonton bercerita.

 

 




Untuk mengincar cerita yang bisa digemes-gemesin oleh penonton, film ini berhasil mendaratkan tujuannya. Arahan film memang sepertinya total untuk ke sana dan dilakukan dengan elegan pula. Permasalahan perjodohan, orang ketiga, suami yang tak-cinta diceritakan dengan enggak lebay dan menarik. Bahasan karakternya juga berimbang, sehingga jadi cukup dramatis. Tapi sepertinya ada konteks yang hilang. Film dengan latar yang kuat itu harusnya tidak jadi segenerik seperti yang kita tonton ini. Pilihan dan journey karakter yang kita lihat seperti kurang konsisten, karena ada konteks dari mereka yang mungkin sengaja tidak dibahas mendalam. Jadinya seperti bermain di kulit luar saja. Film jadi seperti terlalu jinak dan menghindari banyak potensi bahasan yang menantang. Karena bagaimana pun juga ini kan adalah cerita perjodohan pada karakter dalam ruang agama. Ketika persoalan amanah dan hati diadu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HATI SUHITA

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang sikap Gus Birru dalam film ini? Apakah menurut kalian dia cinta kepada Alina?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



Comments

  1. Raja Lubis says:

    Untuk pertama kalinya, nggak akan memberikan pandangan apapun, karena 1000000000000000% apa yang ditulis disini, saya sepakat tanpa syarat. Menerima pandangan tulisan ini tanpa penolakan!

    Tim Rengganis garis keras! Xixixi

  2. Parangsae says:

    Karena nongol di netflix, saya nonton dengan meng-cut banyak bagian yang gak penting.
    Yang paling dapat perhatian saya cuma Aruna. Yang lain blas ga ada soalnya cuma Aruna yg aktingnya ngalir aja, bahasanya Kediri-an dan enak aja liat juga dengernya.
    Saya tim bukan Biru dan Suhita pokoknya. Ini cerita yg harusnya bisa lebih dalam, tapi sayang jadi cetek banget. Semua gak ada yg pas. Semua yang saya rasakan, udah dituliskan oleh penulis di atas. Gak ada yg lebih, gak ada yang kurang. Sepakat semua.
    Biru cinta Alina? Hahahahahaha…
    Cinta terindah itu adalah cinta yang tak sampai. Soalnya yang kebayang yang indah. Soalnya, yang kebayang ya cuma “andai”. Kalo cinta udah saling ketemu dan bersatu, cinta aja udah gak cukup. Thanks for the review. Lega ada yang sependapat

    • Arya says:

      Iya tuh si Aruna ngalir, langsung dapat nominasi Pemeran Pembantu Wanita Terpuji di Festival Film Bandung tahun ini.
      Hahaha iya juga ya, lagian juga ketika cinta udah bersatu seringnya malah pasangan ngeluh jenuh dan segala macem. Indahan cinta yang berjuang.

      Sama-sama, terima kasih juga sudah mampir baca

Leave a Reply