THE BOY AND THE HERON Review

 

“Because you are a beautiful lie and I am  a painful truth”

 

 

Bagaimana menjalani hidup dengan benar? Caranya adalah dengan mengingat dan memahami kematian. Jawaban tersebut bisa kita dapatkan dari ajaran agama, atau dari menonton karya terbaru Hayao Miyazaki, sang Bapak Studio Ghibli. Sudah bukan rahasia, film-film Pak Hayao selalu personal, penuh makna, dan luar biasa menakjubkan lewat simbol-simbol dunia ajaib yang surealis. Namun The Boy and the Heron ini, bahkan lebih deep, dark, dan personal lagi. Kisahnya yang tentang seorang anak laki-laki yang kehilangan ibu akibat perang boleh saja bermula dengan kejadian yang berdasarkan pengalaman hidup Pak Hayao semasa kecil, tapi film ini berakhir dengan sesuatu yang seperti mencerminkan ujung dari dunia animasi magis buatannya sendiri. Film ini bisa jadi adalah hadiah terakhir dari Hayao Miyazaki kepada kita. Bagaimana kita hidup di dunia tanpa film-filmnya?

Fantasi, anak, dan perang. Hayao Miyazaki is up there untuk film-film yang bermain di tema tersebut (for me, he followed by Guillermo del Toro)  Hayao bicara tentang  kehilangan, duka, tragedi tapi lewat dunia fantasi yang menakjubkan. Dia tidak melihat itu sebagai musuh yang harus ditakuti, ataupun menjadikan sebagai sebuah pengalaman yang mengeksploitasi. Hayao, malahan, membuatnya sebagai entitas yang harus dihadapi. Dipelajari. Dihormati. Ini yang juga ia lakukan kepada tema kematian dalam The Boy and the Heron. Anak laki-laki dalam cerita ini, Mahito, menyongsong babak baru dalam hidupnya. Setelah ibunya tewas jadi korban perang, Mahito dibawa ayah pindah ke daerah pedesaan Tokyo. Hidup bersama istri ayahnya yang baru. Meskipun nurut, toh kita melihat penolakan itu dalam sikap Mahito. Penolakan untuk menganggap Natsuko sebagai ibu. Penolakan untuk nerima kenyataan ibunya bakal tergantikan. Inilah yang membuat Mahito diledek oleh burung cangak (sejenis bangau) yang bisa bicara yang secara misterius muncul di area sekitar rumah mereka. Cangak itu menyebut bahwa ibu Mahito masih hidup, dan ada di dalam reruntuhan menara di hutan. Dan bahwa Natsuko juga pergi ke sana. Dengan panah dan busur buatannya sendiri, Mahito pergi ke menara. Mencari ibunya. Meskipun dia tahu Cangak Abu itu berbohong. “I know it’s a lie, but I have to see” katanya mantap sebelum masuk ke ‘perangkap’ yang membuatnya terjebak di dunia sureal di bawah sana.

Kenapa translatenya enggak bangau aja ya? Atau burung kuntul sekalian. Judulnya jadi Anak Laki-Laki dan si Kuntul haha

 

See, Mahito sama sekali tidak takut sama Heron (kita manggilnya Heron aja lah ya hehe) yang menjebaknya. Dia sudah mempersenjati diri, fisik dan mental, untuk melawan tipu daya Heron. Yang actually, Heron ini kocak, karena ada dialog ambigu si Heron yang dengan bangga bilang “Benar, semua yang aku sebutkan adalah bohong” yang lantas ditembak oleh Mahito “Berarti itu bohong juga dong?” Mahito dan si Heron memang dalam perjalanan menjadi berkawan, mereka akan bekerja sama untuk ke puncak menara. Tempat kakek buyut Mahito selama ini bersemayam. Hayao Mayazaki kali ini memang benar-benar menyatukan dunia nyata dan fantasi, keanehan yang dilihat Mahito juga direcognized oleh karakter manusia lain. Petualangan yang dialami Mahito bukan terjadi di dunia mimpi yang bakal ngasih dia pembelajaran, melainkan benar ia lakukan. Realitas dalam cerita film ini memang didesain sebagai realitas dengan keanehan-keanehan. Yang bekerja di dalam konteks tema cerita, yaitu tidak takut kepada hal yang tidak kita mengerti. Seperti halnya Mahito yang tidak takut dengan keanehan dan kebohongan Heron. Mahito justru takut sama dunia nyata, dunia di mana dia harus punya ibu dan hidup baru. Saking gak siapnya Mahito dengan sekolah baru, dia sampai nekat melukai kepalanya sendiri dengan batu. Adegan yang bikin aku kaget, dan sejujurnya aku struggling untuk melihat kepentingan adegan self-harm di film yang harusnya untuk tontonan keluarga. Sampai di menjelang akhir, naskah akhirnya mengikat adegan tersebut dengan pembelajaran yang beautiful seputar sikap penerimaan dan penyadaran Mahito.

Dengan tema dan desain begitu, menurutku ada benarnya film ini juga adalah film ‘terberat’ dari Hayao Miyazaki. Film ini menantang kita untuk memahami emosi Mahito di lingkungan rumahnya yang baru. Mahito yang jarang bicara dan menutup diri. Film ini menantang kita untuk menyelami dan melihat makna di balik kejadian-kejadian dan karakter-karakter aneh yang ditemui oleh Mahito nanti selama petualangannya dalam menara. Karena di dalam sana, dia akan bertemu banyak banget hal-hal di luar nalar. Mulai dari rombongan makhluk imut putih, kawanan pelikan pemakan makhluk lain, tentara burung parkit, dan bahkan versi lain dari ibunya sendiri. Garis besar yang bisa aku sebutkan tanpa membuat review ini jadi ‘walkthrough spoiler’ adalah semua kejadian dibuat dengan maksud mempersiapkan Mahito untuk memahami kematian. Karena inilah yang dibutuhkan Mahito supaya dia bisa melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Mahito harus bisa melihat makna hidup lewat mengerti tentang kematian, menurut karakter-karakter di sekitarnya. Kita bahkan bisa menangkap sedikit komentar tentang perang dan dampaknya terselip sebagai layer dalam cerita.

Ada anekdot menarik yang pernah aku baca soal Kehidupan dan Kematian. Jadi, Life bertanya kepada Death “Kenapa manusia mencintaiku, sedangkan dirimu sangat mereka benci?” Death dengan kalem menjawab “Karena kamu adalah kebohongan yang indah, sedangkan diriku adalah kebenaran yang menyakitkan”. Anekdot tersebut membantuku mencerna film ini lebih lanjut. Karena persis itulah yang sebenarnya yang dikatakan oleh film. Bahwa kematian tidak lebih dari sebuah kenyataan pahit. Bahwa semua hal akan menemui ‘ajalnya’. Bahwa semuanya fana. Tinggal kitanya saja yang mempersiapkan diri menyongsong kenyataan tersebut tiba.

 

Karena ini film yang personal, maka membaca film ini pun udah kayak membaca Hayao Miyazaki sendiri. Seperti menapak tilas film-filmnya selama ini. Karena penonton yang familiar dengan karyanya, akan merasakan The Boy and the Heron ini seperti sangat akrab. Not just in sense, karena memang sudah ciri khasnya membuat film seperti begini. Tapi on a deeper level, kayak sebuah self-tribute dari orang yang sedang melihat ke belakang, ke dalam dirinya sendiri. Di dalam cerita, kakek buyut Mahito membangun dunia sureal fantastis ini dan dia ingin Mahito meneruskan pekerjaannya. Dia ingin Mahito tinggal di sana, menjaga agar dunia tersebut tidak runtuh. Karena dia ngerasa gak sanggup. Dunia yang mestinya damai tanpa perang seperti dunia nyata itu, nyatanya tidak semenangkan itu. Burung-burung yang masuk ke sana jadi ganas. Penulisan story tersebut terasa seperti self-realization dari Hayao Miyazaki. Bahwa dunia-dunia yang dia bangun selama ini, yang dia ciptakan dalam film-film indah itu, tetaplah sebuah fantasi. Dan akan berakhir. Bahwa dia gak bisa menciptakan itu selamanya. Ada titik di mana dia harus berhenti. Titik di mana cerita-cerita itu ‘mati’. But also, Hayao tampak bergulat dengan dirinya sendiri lewat karakter anak-anak Mahito, tak akan ada hal yang benar-benar ‘mati’. Ibu masih akan tetap hidup di hati Mahito yang bakal tumbuh dan menjalani hidup. Begitu juga karyanya, akan tetap hidup abadi lewat kita-kita penontonnya, hingga generasi-generasi selanjutnya.

Supaya konsisten dengan tema unggas; film ini bisa jadi adalah swan song-nya Hayao Miyazaki.

 

Sayangnya, dari yang kulihat di studioku menonton, aku merasa resepsi penonton kasual terhadap film ini agak datar. Like, fakta bahwa kita bisa menyaksikan animasi magis Ghibli di layar lebar aja mestinya udah cukup untuk bikin “wah-wah” sendiri. Tapi aura yang kurasakan di studio saat itu biasa saja. Kayaknya film ini bakal mirip kayak Elemental (2023) waktu tayang musim panas lalu. Penonton expecting petualangan yang dahsyat, sehingga gak sadar sebenarnya film ini sedang bekerja wonderful dalam konteks dan bahasan yang ingin disampaikan. Also, kita sering agak terlalu cepat ngejudge film dengan tema berat sebagai film yang lambat, sebagai aneh dan gak jelas. Padahal film ini naskahnya berhasil mengembangkan dengan seksama konflik personal yang dirasakan oleh Mahito. Karakternya distant by design karena begitu cara dia awalnya berusaha dealing with kehilangan ibu. Sepuluh menit pertama, vibe ‘dark’ dan sureal itu sudah dilandaskan kuat oleh naskah. Adegan opening yang Mahito di antara orang-orang di area yang kebakaran, dengan visual api dan sosok-sosok manusia yang berdistorsi, kurang apa coba itu melandaskan seperti apa film ini nantinya. Jangan harap film ini menyuapi kita dengan apapun. Karena bahkan pengungkapan informasi penting pun, misalnya pengungkapan hubungan antarkarakter siapa dan apa, dilakukan oleh film dengan natural tanpa aba-aba yang menuntun “oh ini bakal masuk bagian penting”. Film menampilkan dirinya sebagai dunia mimpi, untuk kita eksplorasi dan pahami sendiri. Hebatnya film ini justru karena kita ikut menyelam, menguak, merasakan, dan berubah bersama karakternya.

 




Untuk menjawab pertanyaan sendiri di awal tadi, no I can’t. Studio Ghibli tahun-tahun belakangan ini struggle terus, setiap film barunya keluar- bahkan yang bukan buatan Hayao, kesannya seperti film terakhir terus. Tapi aku selalu percaya Hayao Miyazaki bakal comeback, mendaratkan film Ghibli kembali ke tengah-tengah kita. Aku gak bisa membayangkan kalo ini bakal beneran jadi film terakhirnya. That’s why aku gak bakal ngupdate list Top-8 Film Ghibli Favoritku dengan film ini. Bukannya karena jelek, atau aku tak suka. Film ini menceritakan hidup-mati dengan konsep yang wonderful. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik, seperti yang biasa mereka lakukan. Aku hanya belum mau mengakui bahwa ini adalah end of an era. Aku berharap bakal ada lagi film ajaib yang bikin aku mengubah list itu. Ya, turns out, aku lebih keras kepala daripada Mahito.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE BOY AND THE HERON

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli selama ini? Sebesar apa menurut kalian peran film-film mereka terhadap sinema atau kalian sendiri personally?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



Comments

  1. iin says:

    Saya penggemar baru Ghibli. Sudah cukup lama mendengar Ghibli dan Hayao Miyazaki, tapi baru belakangan ini nonton karya-karya beliau. Dan saya sangat terpukau dengan konsep dan kiasan-kiasan yang beliau sajikan dalam film ini. Semoga masih ada karya-karya beliau lainnya di masa mendatang, rehat dulu boleh lah ya, tapi jangan berakhir… saya juga lebih keras kepala daripada Mahito dan Kak Arya haha.

    Dua studio animasi Jepang yang sejauh ini memukau saya, Ghibli dan Makoto Shinkai, dengan ilustrasi yang jelas berbeda genre, namun dua-duanya, aduhai memanjakan mata.

    Makasi udah mengulas filmnya kak Arya^^

Leave a Reply