Pasangan suami istri yang sudah akan bercerai itu, mendadak jadi kelihatan rukun kembali. Mereka tampak kompak lagi, kasak kusuk bersama di rumah. Sayangnya, keakraban mereka tersebut bukan mutlak karena mereka kembali menemukan rasa cinta yang telah hilang. Melainkan karena Jay dan Rebecca sedang berusaha untuk melindungi perbuatan kriminal yang dilakukan oleh Kayla, putri semata wayang mereka. Kayla mendorong jatuh sahabatnya dari jembatan. Ke sungai deras yang super dingin di musim salju. Jay dan Rebecca dengan panik langsung berkomplot mengarang cerita supaya anak mereka terlepas dari tuduhan. Namun kebohongan mereka semakin membesar tatkala ayah sang korban ngotot untuk menanyai Kayla. Membuat Jay dan Rebecca menggunakan koneksi dan pengaruh mereka untuk balas menuduh yang tak bersalah, selagi putri mereka masih tampak ketakutan dan shock tak-berkesudahan.
Aku semacam berharap ada film kayak gini sejak nonton serial Defending Jacob (2020) beberapa bulan yang lalu. Serial itu juga tentang orangtua yang mati-matian membuktikan anak mereka bukanlah pelaku yang menyebabkan nyawa anak lain menghilang dari muka bumi. Nonton finale serial tersebut, aku kecewa. Karena jawaban apakah si anak bersalah atau tidak itu tidak dijawab melainkan dibiarkan ambigu. Sehingga semua pesan ceritanya gantung. Serial tersebut jadi tidak punya power dalam menjawab konflik pantaskah orangtua mencurigai anak sendiri ataupun etiskah orangtua melindungi anaknya mati-matian meski si anak beneran bersalah. Nonton serial tersebut jadi terasa kayak makan ciki; kosong. The Lie yang diadaptasi (alias diremake) oleh sutradara-sekaligus-penulis Veena Sud dari film Jerman berjudul Wir Monster hadir dengan lebih ‘tegas’. Sedari awal cerita sudah memastikan bahwa orangtua Kayla yakin anak mereka memang bersalah. Tokoh utama cerita ini adalah Jay, ayah yang begitu sayang kepada putrinya, sehingga mau menempuh banyak – bahkan menggadai moral dan etika, untuk melindungi sang putri karena dia percaya anaknya adalah seorang yang baik. Bagaimana pun jua, kejadian itu bukan murni kriminal. Melainkan sebuah ‘kecelakaan’. Begitu pikir Jay. Dan begitu juga pikirku; aku mengira cerita serupa Defending Jacob bisa lebih baik jika ceritanya tegas, dan aku mengira The Lie sangat berani mengangkat perspektif dilema orangtua yang melanggar etika demi anak mereka seperti ini. Turns out, The Lie ternyata berbunyi persis seperti judulnya tersebut.
Yang mereka punya di sini adalah karakter-karakter yang menantang moralitas. Tokoh utama kita ditempatkan pada skenario yang tak-pelak merupakan mimpi buruk dari orangtua manapun di dunia. Ketika buah hati kita tampak melakukan kesalahan, apakah kita akan membiarkannya terceblos ke penjara, ataukah kita masih mencari pembenaran. Mencari setitik kecil apapun itu yang membuat anak bisa terbebas. Seberapa jauh orangtua melangkah demi melindungi buah hati mereka. The Lie paham betapa dalemnya konflik grounded yang mereka punya. Makanya tokoh orangtua dalam film ini didesain sudah akan bercerai, dan salah satunya adalah orang yang dekat dengan hukum. Naskah ingin sesegera dan sekeras mungkin membenturkan keadaan dengan moral tokohnya. Dan ini membuat ide cerita The Lie menjadi menarik. Aku certainly lebih suka set up cerita film ini dibandingkan dengan set up dan penokohan cerita pada serial Defending Jacob. Namun ultimately, semua berserah kepada penceritaan.
The Lie tak mampu untuk membuat kita peduli pada konflik moral karakter-karakternya. Pertanyaan moral yang mendera pasangan dalam cerita ini gagal mencokolkan kukunya kepada kita. Pilihan dan aksi yang mereka lakukan tak membuat kita mendukung, atau setidaknya mencoba memahami keputusan mereka lebih jauh daripada sekadar ‘ya tentu saja orangtua akan mati-matian melindungi dan membela anak mereka’. Malahan, seiring berjalannya cerita, kita justru semakin geram dengan aksi Jay dan Rebecca. Mereka semakin terlihat jahat dan gak lagi mikirin aturan. Film gagal mendaratkan masalah yang seharusnya relatable bagi setiap orangtua tersebut. Film malah membuatnya sebagai sesuatu yang harus dijauhi.
Secara gagasan, alur cerita film ini didesain untuk memuat pergerakan yang memang menunjukkan suatu deteriorasi. Gimana pihak yang tadinya tak bersalah, jadi ikut terseret, kemudian berbalik menjadi pihak yang paling salah di antara semua. Kita diniatkan untuk ikut sedih, kemudian meratapi – menyesali pilihan yang dilakukan oleh Jay dan Rebecca. Namun film tidak berhasil menemukan cara yang tepat untuk menguarkan perubahan tersebut dengan emosional dan manusiawi. Kita seperti dipaksa untuk peduli lewat tone cerita yang terus memburu kesedihan dan tragedi. Cara film membangun kehidupan keluarga Jay yang ceria dan memperlihatkan seperti apa aslinya Kayla hanyalah dengan montase singkat video-video masa kecil saat mereka masih hidup bersama (menarik si Joey King pakek footage asli dia masih kecil untuk digunakan oleh film sebagai video Kayla). Sesingkat itu belum cukup untuk membuat kita nge-grasp tokoh-tokoh cerita karena sesegera cerita dimulai, film menunjukkan keluarga ini sudah dalam keadaan pisah. Salju dan udara dingin turut membangun efek gloomy yang berdampak kepada kesan hubungan mereka yang juga jadi terlihat dingin. Jadi ketika Kayla telah berada dalam masalah nantinya, film haruslah membangun dua hal sebagai pondasi untuk membuat kita peduli dan melihat tindakan mereka bukanlah ujug-ujug tindakan yang selfish; pertama relasi masing-masing terhadap Kayla, dan kedua perspektif masing-masing terhadap keluarga mereka itu sendiri. Film tidak membangun poin yang kedua. Cerita hanya mentok menggali di tempat yang itu-itu saja, sehingga yang mencuat justru kemerosotan para karakter saja.
Semuanya bermula dari kebohongan kecil. Suatu rahasia yang ditutupi karena kita seringkali menemukan kesulitan dalam berkomunikasi hati ke hati. Dalam film ini ditunjukkan rahasia kecil yang dibiarkan menggelinding itu lama-lama kelamaan menghimpun menjadi bola kebohongan yang besar, layaknya bola salju yang digelindingkan kian membesar. Satu kebohongan akan membuahkan kebohongan lain. Dan akan terus begitu lagi dan lagi. Before we know it, kita akan terjebak kebohongan kita sudah menjadi dosa yang tak mungkin bisa ditebus lagi tanpa air mata.
Dosa terbesar yang dilakukan film ini adalah berbohong demi ceritanya, atas nama twist. Biasanya, aku enggan blak-blakan soal twist. Tapi untuk film ini aku tidak bisa untuk tidak membicarakan twistnya karena masalah yang paling besar memang justru terletak pada twist ini. Aku akan berusaha untuk tidak terlalu gamblang menyebutkan, so here it is:
Pengalamanku bermain video game ngajarin kalo jika sebuah cerita menyebutkan ada tokoh yang mati, tetapi kita tidak diperlihatkan mayatnya, maka niscaya tokoh tersebut sebenarnya masih hidup. Aturan ini pun berlaku pada film, coba saja kalian ingat-ingat film yang ada tokoh mati kayak gini. Biasanya sih cerita superhero atau fantasy gitu; sering deh pasti ada tokoh orangtua yang disebutkan mati ternyata masih hidup. Nah, menonton The Lie tentu saja pertanyaan yang terbersit duluan di benak kita adalah apakah sahabat Kayla itu beneran sudah mati. Film benar-benar komit untuk menunjukkan bahwa dia beneran mati. Kayla beneran salah. Karena itulah bangunan utama cerita; tentang orangtua Kayla yang milih jadi amoral demi lindungin anaknya yang bersalah. Kayla diperlihatkan stress dan sangat shock dikejar-kejar oleh ayah si sahabat. Bahkan, film memasukkan satu shot yang memperlihatkan mayat si sahabat, tergeletak di dataran salju pinggir sungai. Film mati-matian menipu kita semua dengan ini. Film yang tidak mampu bercerita subtil memperlihatkan kemungkinan sahabat itu belum mati, mutusin untuk menipu kita mentah-mentah dengan twist dan sengaja memasukkan shot tadi. Saat revealing, saat twistnya terjadi, aku sungguh merasa dibegoin.
Dan yang paling begonya adalah; twist itu sebenarnya tidak perlu untuk terjadi. Cerita masih berfungsi seperti yang direncanakan jika tidak pake twist, jika film lurus aja membikin sahabat Kayla benar-benar mati. Twist tersebut hanya menambah drama yang tidak perlu, menipu kita dalam prosesnya, dan membuat kejadian-kejadian film sebelumnya banyak yang enggak make sense secara feeling yang dirasakan oleh seorang karakternya. Film ini jadi gak genuine, walaupun memang tidak pernah benar-benar terasa ‘nyata’ sedari awal. Aksi karakternya tidak kita pedulikan, karena lebih seperti mengada-ada demi efek dramatis. Dan setelah twist tadi, film jadi semakin terasa palsunya.
Jadi jika boleh disimpulkan, film ini sama sekali tidak tahu cara menceritakan gagasannya dengan benar dan menarik. Film ini malah berpikir ceritanya akan menarik jika ada twist yang mengecoh. Tensi dari konfliknya ada, berasa. Cuma setelah pengungkapan twist tadi, karakter-karakter semakin susah untuk kita pedulikan. Film ini enggak mampu memancing reaksi yang genuine, maka mereka mengandalkan twist, kecohan, dan dramatisasi. Selain pemerintah, film ini juga termasuk salah satu kebohongan terbesar yang ada pada tahun 2020. The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE LIE.
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya satu kebohongan yang sampe sekarang masih dipertahankan, dan dijadikan realita baru?
Share with us in the comments Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Sepuluh tahun yang lalu ketika aku iseng masukin artikel delapan-film-favorit di blog tumblr-ku yang berfokus kepada artikel prediksi, review, dan analisis acara WWE, aku gak pernah nyangka bakal akan terus menulis mengenai film atau malah gak nyangka bakal suka nonton film dan mendedikasikan diri seutuhnya sebagai pengulas film. Here I am, di 2020. Aku sekarang punya sepuluh daftar film favorit setiap tahunnya. Aku punya sepuluh juara film.
Ini adalah waktu yang tepat untuk menggodok mereka semua, mencari film mana yang jadi juara dari para juara, sekaligus melihat ke belakang seberapa jauh aku berkembang sebagai penonton film. Karena sama seperti sebagian besar dari kalian, aku juga mulai gitu aja. Aku bukan orang film, enggak ngambil sekolah film. I just love storytelling. Tapi tentunya bukan cuma tokoh-tokoh di film yang berkembang, belajar untuk jadi lebih baik. Kita juga seharusnya begitu, berusaha berkembang menjadi lebih dewasa, lebih matang. Maka dari itu, penilaian kita akan suatu film mungkin bisa berubah. Tapi keindahan dari apresiasi film adalah, kita bisa nonton film paling jelek sedunia tapi jika kita suka, ya kita suka. Tidak ada satu kritikus atau reviewer yang kata-katanya mempengaruhi selera, mendikte mana yang kita suka mana yang enggak. Tonton sebanyak mungkin film, kenali yang bagus, dan pilah mana yang disuka.
Pendewasaan dalam nonton film berarti bukan pada perubahan, melainkan belajar mengenali diri sendiri – mengenali akar dari selera. Memisahkan sehingga tidak bias.
Semua film-film juara ini sudah kutonton paling enggak lima kali. Entah itu sambil makan, pengisi background kalo lagi ngegambar, atau pengisi waktu. Beberapa dari mereka sangat personal karena berasosiasi dengan keadaanku pada zaman itu. Sehingga aku sudah bisa membayangkan memilih siapa di antara sepuluh ini akan sangat sulit. Yea, daftar ini kususun basically secara live, aku menulisnya on-the-go. Ulasan film-filmnya enggak banyak kutulis lagi, karena masing-masing akan disertai oleh link ke artikel Top-Eight tahun mereka. Yang lebih banyak kujelaskan nanti adalah seberapa berartinya film itu buatku serta alasan kenapa aku menempatkannya di posisi itu; bagaimana aku akhirnya memutuskan siapa yang jadi juara di antara juara.
Man, how am I gonna pick them apart…..
Mulai dari yang agak mudah dulu, kupikir juara paling bontot adalah
My Score: 5.5/10 My Favorite Characters: Carrie, Sue My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “These are godless times”
Cerita horor Stephen King. Dimainkan oleh Chloe Moretz. I’m one-hundred percent in.
Carrie re-adaptasi novel ini bukanlah film masterpiece. Dia gak break any-ground. Malahan aneh. Film memperlakukan supranatural Carrie yang semestinya membingungkan dan membuat takut layaknya seperti superpower. Seolah Carrie adalah pahlawan. Namun film ini sangat menyenangkan dan berisi karena menampilkan jurang yang sangat ekstrim sebagai pusat konfliknya. Si anak tertindas dan ibu yang ekstrim banget memeluk agama.
Aku suka Carrie karena yang terjadi kepada tokohnya itu adalah impian seluruh anak tertindas di seluruh dunia, dan 2013 itu adalah masa-masa aku tertindas banget sama kuliah haha…
My Score: 8.5/10 My Favorite Characters: Nux, Furiosa My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “I’m gonna die historic on the Fury Road!”
Fury Road adalah salah satu film action paling keren di dekade 2010an, dia punya – berani menampilkan – aspek-aspek yang ditinggalkan oleh film action kebanyakan. Semua stunt di film ini asli, kerja kameranya semua menakjubkan, arahannya mantep. Film ini juga respek sama legacy Mad Max.
Alasan film ini berada di posisi bawah adalah karena action bukan genre favoritku. Aku gak tahu, mungkin ini ada hubungannya dengan aku rutin nonton WWE sehingga dahaga buat cerita dengan media laga, buatku jadi biasa aja. Malahan, aku nonton Fury Road ini juga karena dipaksa oleh teman. Katanya bagus banget, ada adegan melibatkan nenek-nenek yang kocak dan pasti aku suka – katanya. Akhirnya aku nonton, dan wow! benar-benar fantastis. Adegan gitar api itu salah satu terkeren yang bakal selalu nyantol di hati.
My Score: 8.5/10 My Favorite Characters: Thor, Loki, Hela My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “I tried to start a revolution, but didn’t print enough pamphlets”
Aku benar-benar suka yang dilakukan oleh Taika Waititi kepada dunia Thor. Komedi di film ini pure blast. Dialognya semacam ‘it’s funny becaue it’s true’ sehingga jadi berkali lipat lebih lucu. Tokoh-tokohnya awkward sehingga jadi lebih dekat daripada kita. Tapi meski banyak yang bilang filmnya jadi kayak OVJ, Ragnarok dibuat dengan sangat kompeten dan gak receh. Struktur, narasi, karakter, semuanya kuat. Apalagi visual dan desain produksinya.
Superhero kalo mau lucu, ringan, ya mending gini aja sekalian hahaha.. Buatku film ini murni hiburan. Menakjubkan film ini buktiin kekonyolan bisa kok dibuat bagus.
My Score: 9/10 My Favorite Characters: Mitsuha My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “Dreams fade away after you wake up”
Film terbaik 2016. Salah satu dari sedikit sekali film yang dapat nilai 9. Bukan hanya itu, film ini di daftarku bersaing dengan film-film keren lain semacam La La Land, Sing Street, The Witch. Makoto Shinkai berhasil membuat seni yang benar-benar indah, world-building yang kompleks dengan berbagai elemen, dan di pusatnya ada drama cinta yang unik dan hangat. Buatku elemen orang bisa saling cinta, terhubung secara emosional hanya lewat pesan di handphone tanpa pernah bertemu sebelumnya, sangat mengena.
Susah sih memang buatku meletakkan film ini di posisi yang cukup belakang. It’s just.. film-film lain terasa lebih akrab buatku.
My Score: 7.5/10 My Favorite Characters: Ricky Knight, Hutch My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “All pregnancies are unplanned, son”
Aku bersyukur sekali ada film tentang WWE, mengangkat tentang pegulat wanita yang tergolong pemain baru, dan dibuat dengan bener. Jadi aku bisa menyukai ini tanpa rasa bersalah. Jadi bukan guilty pressure, melainkan benar-benar membanggakan.
Drama keluarganya kuat, komedinya efektif, dan inti ceritanya yang tentang mengejar mimpi juga sangat mengena. Seharusnya film ini tayang di bioskop Indonesia. Tapi sepertinya appeal wrestling di sini memang kurang ya. Atau jangan-jangan karena Indonesia masih ngelarang gara-gara kasus dekade lalu?
Wrestling buatku adalah bagian penting dari perjalananku suka sama film. Karena gulat basisnya adalah drama. Ada ceritanya. Dulu aku nonton, kalo gak WWE ya film horor. Makanya dua ini lebih berbekas buatku.
My Score: 8.5/10 My Favorite Characters: Babadook My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “Why don’t you go eat shit?”
Aku sudah menonton banyak horor, dari yang jelek hingga yang klasik semuanya kusantap. Kecuali horor esek-esek Indonesia karena waktu ngetopnya itu aku sama sekali belum tertarik nonton Indonesia. Hereditary dan Babadook adalah horor terseram yang kutonton sepanjang 2010-2019. Penulisannya juga termasuk yang terbaik. Unsur horor psikologisnya kental sekali. Juga sama-sama membahas kegagalan. Terutama The Babadook yang lebih fokus dan personal kepada si single mother. Dan itulah penyebabnya aku meletakkan posisinya di atas Hereditary.
Hereditary mengandung unsur cult sehingga ceritanya yang juga tentang ibu terasa lebih ‘eksternal’. Dia juga muncul di tahun yang memang horornya sebagian besar tentang sekte, sehingga kurang terasa ekslusif seperti The Babadook yang sekonyong-konyong di 2014 kita mendapat horor berbobot – dari sutradara baru – yang benar-benar seram.
Oke, sudah setengah jalan, dan kini tersisa yang susah untuk dipilih. Aku sendiri kaget juga aku ngepush film ini jadi tiga-besar. I discovered ternyata aku suka sama film yang performance musiknya, meskipun aku gak suka dengerin atau ngikutin musik.
My Score: 7.5/10 My Favorite Characters: Becca, Stacie My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “I set fires to feel joy”
2012 adalah masa gelap dalam hidupku. I got dumped by a girl, and I took it really hard. Dan Pitch Perfect hadir dengan lagu-lagu dan performance yang menghiburku. Ada kali setiap hari aku muter ini nonstop, supaya gak sepi.
Tokoh-tokohnya receh tapi lumayan unik. Aku jadi peduli sama akapela meski aku gak tau apa-apa, dan film ini juga bukan membahas akapela lebih dalam. Cuma hiburan. Dan surprisingly ditulis dengen bener. Becca gak annoying dan really cool. Suara Anna Kendrick bikin cinta banget. Sebagai catatan tambahan, mungkin aku sekarang belum nonton The Breakfast Club jika bukan karena film ini haha
Oke, we’re down to two. Ini keputusan yang sulit lantaran dua-duanya sama-sama paling jadul di sini, yang berarti dua-duanya lebih banyak aku tonton dibanding yang lain. Dua-duanya punya banyak adegan dan dialog yang masih terngiang-ngiang di telingaku. Yang aku hapal di luar kepala. Keduanya sama-sama quirky. Duh, ini serius susah…
Keputusanku sepertinya harus bertolak pada film mana yang lebih original… wait, yang satu adaptasi, yang satu sekuel! MASIH SAMA!!
Hmmm…. kalo sudah begini, ‘terpaksa’ kembali ke objektif sedikit, sehingga:
My Score: 6.5/10 My Favorite Characters: Jill (duh!), Kirby My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “Do you know what it was like growing up in this family? Related to you? I mean, all I ever heard was Sidney this and Sidney that and Sidney, Sidney, Sidney. You were always so fucking special! Well, now I’m the special one.”
Serius aku hapal dialog itu di luar kepala. Aku cinta banget sama Emma Roberts waktu dia jadi psycho Jill dan ngucapin kalimat itu. Aku actually nonton ini ke bioskop sampe lima kali, dalam lima hari berturut-turut.
Ini urutanku nonton franchise Scream: Scream, Scream 4, Scream 2, Scream 3. Meski Scream jauh lebih original dan bagus daripada Scream 4, namun segi fun nontonnya buatku dua film ini amat berimbang. Jokes dan sentilan meta terhadap genre horornya kena banget, sehingga film ini bisa dijadikan sebagai penanda jaman pada sinema horor. Pembunuhannya agak bego, tapi masih bekerja-lah dalam lingkup dunia franchisenya. Ceritanya juga gak maksa-maksa amat, ini tampil lebih dari sekedar cash-grab menghidupkan kembali franchise jadul. Sense nostalgianya pun kuat dengan banyak reference sehingga nontonnya semakin asyik.
Aku udah bilang kan, Emma Roberts di sini keren banget? sejak nampil di film inilah maka sampe sekarang dia lekat dengan tipe karakter cewek ‘gila’ haha
With all that being said, film nomor satuku – My Dirt Sheet Movie of Decade 2010-2019 – adalah
My Score: 7.5/10 My Favorite Characters: Kim, Envy Adams My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Shirt: “Well, Pac-man was originally called Puck-man. They changed it because… Not because Pac-man looks like a hockey puck. “Paku Paku” means “flap your mouth”, and they were worried that people would change, scratch out the P turn it into an F, like…” – oh wait I did that, I made the shirt already. My Favorite Lines that I’d Like to Put on a Next Shirt: “Bread makes you fat.”
Jika kalian ngeklik link top-8nya kalian akan didirect ke… wujud pertama My Dirt Sheet! alias ke blog tumblr lengkap dengan gaya nulisku dulu hahaha
Bahkan saat aku sama sekali belum ngerti film, aku tau Scott Pilgrim adalah film yang spesial. Genrenya nyampur, drama, petualangan, fantasi, laga, musik, video game.. what? Ya video game, inilah uniknya film yang diadaptasi dari graphic novel ini. Cerita sebenarnya ringan, dekat dengan remaja manapun. Seorang cowok yang mau macarin cewek tapi harus berhadapan dengan mantan-mantan si cewek. Berhadapan di sini bukan sekedar harus lebih baik, lebih keren, melainkan literally harus ngalahin mereka dalam entah itu battle beneran atau battle bands. Either way, yang kalah jadi koin.
Cast film juga keren-keren. Sekarang separoh dari mereka sudah jadi superhero haha.. Film ini sungguh unik. Komedinya datang dari berbagai hal. Dari karakter, dari style, dari dialog. Bahkan dari editing. Dulu saat nonton ini nama Edgar Wright belum berarti apa-apa bagiku. Namun begitu aku tahu lebih banyak tentang film, aku langsung “daaang, gak heran filmnya bisa selincah ini!” Jangankan filmmaker lain, Edgar Wright sendiri aja setelah film ini hingga penghujung dekade, belum lagi mengeluarkan karya yang berenergi seperti ini. Scott Prilgrim vs. The World adalah gem langka yang gak semua orang berani bikin.
Paket lengkap buat anak nerd lah ini pokoknya. Salah satu kritikan buat film ini adalah bahwa si Ramona Flowersnya cuma tokoh manic pixie, but who cares! Semua remaja cowok kepingin punya cewek keren sesuai impian, toh.
So yea, that’s all for 2010s.
Menyenangkan nonton film bagus, menonton film enggak bagus, dan menyukai gak peduli bagus atau tidaknya. Intinya, nonton film ini bagaimanapun juga adalah menyenangkan. Makanya aku sekarang juga selalu mengusahakan menonton semua film. Walaupun kata orang filmnya jelek. Karena siapa tahu di dalamnya ada yang membekas di hati, ada yang mengena secara personal.
Apa film favorit kalian sepanjang 2010-2019? Share with us in the comments
Remember, in life there are winners. And there are…
We? We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
“In tragedy, empathy still dependent of proximity”
Belum lama ini, peringatan kemerdekaan negara kita sempat tercoreng oleh peristiwa berwarna rasisme yang terjadi pada sekelompok mahasiswa asal Papua di Surabaya, yang berbuntut panjang. Aku bukannya bilang film The Nightingale menggambarkan peristiwa yang sama persis, tapi yang digambarkan oleh drama period piece yang berlokasi di Pulau Tasmania, Australia ini – yakni arogansi sosial yang berakar pada kolonisasi – kurang lebih mirip dengan yang kita temukan pada lingkungan modern. Jika pemuda Papua dihardik monyet oleh aparat, maka bangsa Aborigin dalam The Nightingale dipanggil “Boy!” Namun bukan dalam artian sebagai anak kecil, melainkan ‘boy’ yang berarti panggilan kepada binatang ternak/binatang peliharaan.
Clare, tokoh utama kita, berkulit putih – tapi ia tak bernasib lebih baik. Sedikit, karena dia adalah pendatang tawanan. Dan sebagian besar karena dia adalah wanita. Clare memang tidak dipanggil ‘Boy’, tapi bagi serdadu Inggris dia tak lebih dari sekadar burung penyanyi (nightingale adalah burung bulbul yang bersuara merdu). Clare adalah properti bagi Letnan Inggris yang membawanya ke Tasmania. Nasib Clare tak berbeda dari Billy, ‘orang hitam’ yang ia sewa untuk mencari jejak si Letnan Inggris yang menyisir hutan bersama orang-orangnya menuju ke kota, satu hari setelah menghancurkan keluarga Clare, dan membiarkan wanita itu mati.
The Nightingale punya intensi seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) tapi dengan pengembangan seperti Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017). Bermula seperti sebuah cerita balas dendam perempuan, film ini lantas membuka dengan suara yang menarik. Nafsu membalas itu dapat kita rasakan perlahan sirna; segala kekerasan yang diwariskan di antara kelompok kulit putih penjajah, segala diskriminasi dan pelecehan, bahkan ketidakpedulian terhadap lingkungan, semua ‘kejahatan’ yang ingin dibetulkan oleh aksi Clare itu tampak tidak penting lagi. Bukan lantaran hal-hal tersebut perlahan membaik, ataupun karena Clare menjadi takut, melainkan sepanjang perjalanan yang ia lalui bersama Billy, ia menjadi punya sesuatu yang baru untuk dilihat – untuk dipertimbangkan. Gagasan yang ingin diangkat oleh sutradara Jennifer Kent tidak sesederhana kejahatan akan mendapat balasan. Tidak, karena kekerasan yang akan berbuntut pada kekerasan hanya akan membentuk lingkaran setan kehancuran manusia yang akan terus bergulir. Kent justru mengangkat pertanyaan ‘bagaimana jika cara lain di luar balas dendam’. Dan terutama, ‘masihkah kemanusiaan itu akan ada di dunia yang penuh dengan kekerasan’.
Sakit itu tentu masih terasa. Lukanya bahkan mungkin tidak akan pernah sembuh. Alih-alih saling membalas sehingga orang merasakan sakit yang kita derita, mungkin jawaban dari semua itu adalah mendekat untuk merasakan sakit yang orang derita. Saling berempati. Sehingga kita merasakan kesamaan dengan orang di sekitar kita, tidak peduli warna kulit, dan agama mereka.
Meskipun cerita mengambil tempat pada tahun 1825, saat The Black War berkecamuk di Tasmania; menjadikan jalan-jalan di pedalaman Tasmania sangat berbahaya karena tensi yang begitu tinggi antara serdadu kolonial Inggris dengan penduduk lokal yang semakin tersingkir dan diperlakukan tidak manusiawi, The Nightingale terasa seperti berita yang kita temukan di internet tadi pagi. Segala yang kita rasakan saat menonton peristiwa naas demi peristiwa naas di film ini begitu relevan. Menyaksikan setiap frame film ini seperti menyaksikan kejadian asli. The Nightingale baru film panjang kedua Jennifer Kent (sebelumnya adalah The Babadook yang super-seram tentang grief seorang ibu beranak satu itu), tapi sutradara yang satu ini sangat bernyali.
Film ini disajikan olehnya dengan begitu disturbing. Banyak adegan kekerasan, mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, hingga sesuatu yang keji yang dilakukan kepada anak keci, yang ditampilkan tanpa tedeng aling-aling. Supaya kita semua tahu betapa mengerikannya perilaku penjajah. Namun aspek tersebut tidak pernah dialamatkan sebagai gimmick semata. Kekerasannya tidak sebagai pengalih perhatian kita dari cerita yang hampa – ya, aku menyindirmu, wahai Perempuan Tanah Jahanam (2019) – ini tak pelak adalah salah satu film paling kompleks, paling menyakitkan untuk ditonton beberapa tahun terakhir. Bukan kekerasannya yang menarik perhatian kita. Melainkan setiap keputusan-sulit yang harus diambil oleh karakter, yang memaksa skenario untuk maju, yang membuat film semakin menarik untuk kita ikuti. Ada simbol-simbol menyejukkan yang digunakan oleh film sebagai counter dari elemen disturbing ini. Yang akan membuat kita terdistract dan berusaha memahami makna burung yang jelas-jelas dijadikan metafora, nyanyian, bahkan landscape dari belantara itu sendiri.
Mengingat betapa kerasnya film ini, kita hanya bisa membayangkan berat dan konflik moral yang harus dilewati oleh para aktornya. Tidak mungkin mereka enggak mendapat bimbingan atau konseling dari psikolog setelah memainkan beberapa adegan yang sangat brutal tersebut. Karena mereka memainkan peran dengan begitu… nyata. Tidak sedetik pun aku merasa melihat seseorang yang pura-pura jadi orang jahat atau orang teraniaya. Baykali Ganambarr yang main sebagai Billy, this is just his first feature, tapi tampak begitu natural. Kita tidak pernah melihatnya sebagai kaku dan dingin walaupun tokohnya memang diniatkan canggung dan ‘berjarak’ pada awalnya dengan tokoh utama. Peran yang cukup tricky lagi adalah sebagai antagonis – letnan Inggris – yang jahat dan nyebelin. Peran ini ditangani oleh Sam Claflin, truly like a pro. Meskipun tokohnya ini nyaris satu-dimensi tapi kita tetap mendengarkan semua gagasannya, kita pelototin semua perbuatannya, dan kita sungguh-sungguh benci padanya, seperti, kita sudah melakukan suatu hal yang tepat dengan membencinya sehingga kita justru tidak ingin dia melakukan hal yang mengkhianati ‘kejahatannya’. Claflin tidak terjebak ke dalam karakter over-the-top. Dia juga tidak tampak seperti sedang berakting. Dia memainkan adegan-adegan yang sangat ‘mengganggu’ dengan keotentikan seseorang yang harus bertindak jahat demi menunjukkan powernya. Claflin sangat sukses memainkan tokoh antagonis yang sebegitu jahatnya kita suka untuk membencinya.
Sedangkan tokoh utama kita, Clare, diperankan oleh Aisling Franciosi yang memberikan salah satu permainan peran paling menyayat hati tahun ini. Karakternya benar-benar menempuh perjalanan yang ekstrim, secara emosional. Bayangkan grafik yang bergelombang naik dan turun, nah pada setiap titik terendah menuju ke atas dan setiap titik tertinggi menukik ke bawah; di situlah saat akting Franciosi terasa sangat fenomenal. Sehingga emosi Clare tak mencuat dibuat-buat, melainkan benar-benar bersumber dari kesakitan yang teramat kita pahami. Pretty much, setelah semua yang ia lalui di awal cerita, Clare PTSD, dan sentuhan yang diberikan oleh Franciosi benar-benar hormat kepada PTSD itu sendiri; yang tak tereksploitasi secara berlebihan.
Sayangnya, ada beberapa kali kita terlepas dari tokoh Clare. Tepatnya pada saat adegan-adegan mimpi. Inilah yang menurutku merupakan sedikit kelemahan dari The Nightingale. Aku bisa mengerti durasi dan temponya yang cukup lambat. Aku bisa paham kenapa babak ketiga seperti mengulur-ngulur waktu menuju peristiwa yang sudah kita nantikan dengan geram. Tapi penggunaan adegan mimpi dalam film ini; sebenarnya bisa dimengerti juga kepentingan adegan-adegan tersebut. Film ingin menunjukkan progres batin Clare, dari dia takut sebagai korban berubah menjadi gentar karena nun jauh di balik hatinya dia balik merasa dirinya bersalah. Adegan film ini juga jadi ruang untuk mengembalikan sang sutradara ke habitat semula; ke ranah horor. Dalam film pertamanya, The Babadook, yang notabene film horor juga banyak menampilkan adegan mimpi. Dalam The Nightningale juga sama. Peristiwa-peristiwa yang tergambar dalam adegan mimpi tersebut semuanya mengerikan. Banyak, katakanlah hantu, yang kadang muncul dengan wajah seram. Hanya saja yang jadi masalah adalah repetitifnya adegan-adegan mimpi itu terasa. Strukturnya selalu sama. Semuanya berakhir dengan kemunculan sosok yang paling seram, Clare yang tadi berjalan (atau berlari) terbelalak, dan kemudian dibangunkan. Adegan mimpi yang jumlahnya lumayan banyak ini jadi tak-kejutan lagi, jadi tertebak, sehingga malah seperti lebih kuat berfungsi sebagai transisi – atau bahkan; jeda iklan – ketimbang pandangan mendalam dari psikologis Clare.
Jennifer Kent membingkai kebrutalan penjajahan, menghidangkan kekerasan terhadap wanita, anak-anak, dan minoritas, tapi berhasil mengakhiri cerita tersebut dengan mengambil cara yang spesial. Ia memancing kita untuk melihat ke dalam. Tidak menjawab langsung, melainkan memberi kita jarak untuk mempertimbangkan. Ada masa ketika kita tidak sejalan dengan tokoh utamanya, yang tidak sepenuhnya kesalahan pada film. Melainkan ‘kesalahan’ kita yang telat untuk berubah, seperti tokohnya berubah. Film ini keras, susah untuk disaksikan karena kontennya yang no holds barred, namun merupakan salah satu film terpenting bagi siapapun yang ingin merasakan kemanusiaan. The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE NIGHTINGALE
That’s all we have for now.
Pada Festival Film Toronto 2018, Jennifer Kent sempat ditanya oleh peserta. Pertanyaan tersebut tidak ia jawab. Pertanyaan peserta tersebut adalah ‘menurut Kent apakah akan ada penonton yang tergerak untuk berbuat kejahatan – membunuh, memperkosa – setelah menonton film ini’
Menurut kalian kenapa Jennifer Kent menolak menjawab pertanyaan tersebut? Bagaimana pendapat kalian tentang pertanyaan tersebut? Jika ditanyakan kepada kalian, apakah kalian akan menjawabnya? Share with us in the comments Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Disuruh menceritakan tentang ayah oleh ibu guru, Shota si bocah SD yang bertubuh kecil memberitahu seisi kelas bahwa ayahnya adalah orang yang sangat kuat. Namun ketika melanjutkan cerita soal pekerjaan, Shota diam. Dia tidak tahu apapun tentang pekerjaan ayahnya. Sedikit sekali yang ia tahu selain ayahnya berotot, suka minum protein, dan mengajaknya berpose garang yang sama ketika mereka di pemandian. Untuk membuktikan ayahnya bukan seorang mafia seperti yang diutarakan oleh salah seorang teman, Shota nekat menyelinap naik ke mobil untuk mengikuti sang ayah. Shota pun tiba di tempat yang penuh oleh orang-orang berbadan kekar. Ternyata Shota berada di gedung olahraga, di arena gulat. Ayah Shota adalah seorang pegulat. Tapi bukan seorang juara. Ayahnya bahkan bukan pegulat yang bertabiat baik. Shota malu kepada teman-teman sekelasnya. Alih-alih mengaku ayahnya adalah si Topeng Kecoa yang udah berbuat curang pun masih aja kalah, Shota malah bilang ke teman-teman bahwa ayahnya adalah Dragon George, pegulat muda berambut pirang; juara bertahan yang diidolakan banyak orang.
Jepang termasuk dalam negara yang menjadi kiblat gulat profesional – bersama Meksiko dan Amerika Serikat. Di sana gulat sudah lebih dari sekadar hiburan. Hampir seperti disakralkan. Para penggemar saling menjaga kayfabe – yakni fakta yang sebenarnya hanya nyata di skenario gulat. Kayak menjaga bahwa Sinterklas itu ada kepada anak-anak. My Dad is a Heel Wrestler garapan Kyohei Fujimura yang mendapat dukungan penuh dari organisasi gulat nomor satu di Jepang; New Japan Pro Wrestling, adalah film yang berusaha memanusiakan olahraga-hiburan yang sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang tersebut. Meskipun sejatinya ini adalah film drama anak-anak, tapi ceritanya tidak seketika menjadi simpel. Film tidak lantas ‘menipu’ anak-anak dengan mengatakan gulat itu beneran, melainkan ia memperlihatkan dengan benar perihal status ajaib pro-wrestling terkait mana yang benar, mana yang rekayasa. Yang ingin diperlihatkan film ini justru adalah kenyataan seorang penggemar gulat – cara terbaik untuk kita menikmati, dan menyingkapi, lalu lantas menghormati bisnis olahraga-hiburan dan semua orang yang terlibat di dalamnya.
Film ini akan membuat kita merasakan bagaimana rasanya menjadi penonton – tepatnya, penggemar – gulat di masa kini. Ada tiga sudut pandang yang bekerja di dalam film ini. Shota yang belum pernah menonton gulat sebelumnya dan mengetahui ayahnya ternyata menjadi tokoh jahat di dalam ring. Ayah Shota (diperankan oleh pegulat NJPW asli bernama Hiroshi Tanahashi), dulunya dia pegulat top tapi karena usia dan cedera, masanya sudah lewat sehingga sekarang dia giliran berperan sebagai penjahat – tokoh untuk dipermalukan. Dan seorang reporter cewek bernama Michiko yang tahu seluk beluk gulat dan ingin menulis artikel tentang perjalanan karir gulat ayah Shota. My Dad is a Heel Wrestler memang bukan film yang hebat – bahkan di antara film-film yang ada gulatnya di tahun 2019, film ini masih kalah bagus dari Fighting with My Family ataupun The Peanut Butter Falcon – tetapi ini adalah cerita yang unik karena tiga sudut pandang tadi. Benar-benar menerjunkan kita ke dalam drama seorang penggemar karena ketiganya dimainkan dengan mulus dan saling menambah untuk tetap mempertahankan ‘magisnya’ sebuah pertunjukan gulat.
Kita akan melihat kehidupan asli pegulat. Kita akan dibawa ke belakang panggung, bertemu dengan para pegulat. Kita akan belajar melihat mereka sebagai seorang manusia. Tapi real ‘belakang panggung’ bisnis ini tidak pernah diperlihatkan. Limitasi tersebutlah yang membuat film ini menarik lantaran menempatkan penonton yang tidak mengerti atau tahu atau peduli sebelumnya akan gulat pada posisi yang abu-abu. Seperti Shota. Seperti Shota kita ingin melihat ayahnya menang, seperti Michiko si jurnalis kita tahu pentingnya kemenangan bagi ayah Shota, seperti ayah Shota kita ingin dia menang. Tapi setiap kali dia kalah, kita tidak melihatnya kecewa. Ini adalah perasaan para penggemar gulat saat menonton pertandingan di dunia nyata. Kita ingin jagoan kita menang, kita mungkin akan kesal ketika mereka kalah, tapi tidak pernah kecewa karena kita paham ada kayfabe dan ‘storyline’ yang dijaga. Namun bagi non-fans, atau orang yang tidak pernah menonton dan mengerti gulat – seperti Shota – hal ini akan ‘membingungkan’. Jadi film akan secara instan terasa relate.
Bukan hanya Shota, tokoh anak-anak dalam film ini tampak tidak tahu olahraga yang mereka tonton cuma bohongan. Hanya orang dewasa yang menggunakan istilah-istilah gulat seperti ‘heel’ ataupun ‘babyface’ – mengisyarakatkan gulat sama saja dengan bermain peran – sedangkan Shota dan kawan-kawannya selalu menyebutnya sebagai orang jahat dan orang baik. Inilah yang menciptakan tensi drama anak dan ayah yang menjadi hati dari film ini. Shota ingin ayahnya berhenti saja karena memalukan baginya punya ayah orang jahat. Bagi ayah Shota ini menyedihkan karena dia bukanlah orang jahat. Menjadi pegulat jahat adalah pekerjaannya sekarang. Shota membuatnya galau, karena setiap orangtua pasti ingin menjadi yang bisa dibanggakan oleh anaknya. Film menerjemahkan perjuangan ayah Shota menjadi ‘pahlawan’ seperti dulu yang dibanggakan oleh anaknya lewat bahasa gulat – lewat pertandingan. Fans wrestling seperti Michiko tahu ‘derita terdalam’ ayah Shota; pegulat itu jadi jobber sekarang. Jadi pecundang. Tugasnya sekarang bukan lagi untuk menang dan jadi poster boy untuk perusahaan gulat, melainkan adalah untuk kalah dan membuat lawannya tampak hebat.
Dan film ini menunjukkan tidak ada yang salah dengan pekerjaan ayah Shota. Bukanlah hal memalukan menjadi tokoh jahat. Setiap pekerjaan punya kepentingan masing-masing, terlebih jika dipilih berdasarkan passion dan hati. Menjadi tokoh jahat dalam gulat, dalam film, sama pentingnya dengan menjadi tokoh baik. Karena semua punya sistem. Film menunjukkan semua itu lewat derita dan kesenangan kita menonton perjuangan seorang tokoh jahat, tokoh badut, yang selalu kalah. Supaya kita bisa menghormati mereka.
Yang beneran jahat dalam film ini – here’s the twist – justru adalah teman-teman Shota yang membully-nya karena tidak mengerti cara kerja gulat sebagai hiburan, atau bahkan yang tidak menonton gulat sama sekali. Karena merekalah yang merendahkan orang-orang seperti Shota, seperti ayahnya, seperti Michiko yang berjuang untuk mempertahankan pekerjaan dan ilusi yang ‘mungkin’ menyertainya. Si pegulat jahat bukanlah orang jahat di kehidupan nyata. Film juga menghindari jebakan drama dengan tidak membuat si pegulat idola ternyata adalah orang jahat di balik panggung. Semua yang mengenal olahraga ini, dibuat oleh film sebagai orang-orang baik. Mereka hanya bekerja, melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya, dan menghormati pekerjaan tersebut. Jahat menurut film ini adalah bersikap judgemental terhadap pekerjaan orang lain yang tidak kita ketahui dan tidak punya keinginan untuk mengetahuinya.
Makanya film ini akan sangat menyenangkan bagi penonton yang memang menggemari gulat. Ada banyak cameo dari pegulat Jepang, ada banyak referensi dari dunia gulat seperti Trent Baretta bermain sebagai tokoh bernama Joel Hardy yang punya style ala Hardy Boyz beneran, ataupun ada penampakan Naito dengan catchphrase “tranquilo” andalannya – ini semua gak bakal make sense buat non-fan tapi kehadirannya tidak pernah terasa mengganggu dan disebar dengan jumlah yang cukup untuk membuat seorang fan gulat menggelinjang secara konsisten. Secara teknis dan desain produksi, film ini memang tidak terlalu menonjol. Begitupun dari segi penampilan. Yang paling menarik buatku adalah karakter Michiko yang dari luar tampak seperti parodi dari seorang hardcore fan, tapi dia justru jadi orang yang paling manusiawi untuk protagonis kita. Shota bermain cukup bagus untuk tidak tampak annoying. Sementara ayahnya dan para pegulat tampak lebih prima bermain di dalam ring – karena memang di situlah zona nyaman mereka. Ketika akting dramatis beneran, masih terasa sedikit kaku sehingga nyaris tampak seperti stereotipe.
Jika kalian bertanya apakah film ini berusaha meng-convert seseorang untuk jadi suka sama prowrestling – kaitannya dengan promosi gulat jepang? I ‘d say yes. Film ini seperti dibuat oleh seorang penggemar untuk mengajak temannya ikutan suka gulat. Sudut pandang baik tokoh maupun kamera benar-benar on point. Karena drama match seperti yang direkam pada babak ketiga itulah yang penggemar lihat setiap kali mereka nonton wreslitng. Ada personal story. Bukan sekadar kalah menang, siapa yang juara, siapa yang jahat dan baik. Film ini menangkap esensi drama dan memperkuatnya ke dalam pertandingan yang dikoreografi – persis seperti match wrestling beneran. Kita harus sama terbukanya dengan Shota jika ingin menikmati film ini, dan jika bagi kalian itu adalah kerjaan ekstra, maka mungkin kalian tidak akan menyukai film ini. The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MY DAD IS A HEEL WRESTLER.
That’s all we have for now.
Mengapa menurut kalian anak-anak peduli dengan pekerjaan orangtua mereka? Pernahkah kalian merasa malu dengan pekerjaan orangtua, dan bagaimana kalian menyelesaikan persoalan tersebut? Share with us in the comments Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
“True happiness can be realized when we harmonize the needs of our body and mind with our true self; the soul”
Ada rasa ngeri yang terasa ketika aku menyaksikan film terbaru garapan Garin Nugroho yang jadi Film Pilihan Tempo tahun 2018 yang lalu. Padahal Kucumbu Tubuh Indahku ini terhitung lebih ‘pro-selera rakyat’ dibanding film-film terakhir dari Garin. Dua filmnya yang kutonton baru-baru ini – Setan Jawa (2017) dan Nyai (2016) – terasa lebih berat dan lebih ‘semau Garin’. Toh, dengan tone yang tidak dibuat berat, Kucumbu Tubuh Indahku masih berhasil untuk menjadi meresahkan (in a good way) lantaran menguarkan elemen-elemen yang membuatnya masih satu garis yang sama dengan saudara-saudaranya tersebut. Persoalan manusia, budaya (dalam hal ini; Jawa), dan materi. Dan dalam film yang oleh khalayak internasional dikenal dengan nama Memories of My Body ini, tiga ‘Garin Trinity’ terwujud dalam sesuatu yang lebih dekat, yang lebih tidak-abstrak, yang – dalam bahasa film ini – lebih tegas garis jejaknya; Tubuh manusia, serta jiwa yang mengisinya.
Siapa sangka benda yang diciptakan dari tanah liat ini bisa begitu bikin rumit, ya? Padahal jenisnya cuma dua. Yang ada batangnya. Dan yang ada gunungnya. Tapi si empunya badan akan diharapkan untuk melakukan atau tidak-melakukan sesuatu berdasarkan dari onderdil tubuhnya. Segala sesuatu juga harus mengikuti aturan tubuh ini. Pakaian, misalnya. Bahkan nama.
Tapi apakah memang tubuh yang sebenarnya membuat pria itu pria, wanita itu wanita? Apakah yang bertinju itu jantan. Yang lembut itu bukan. Apakah ketika seseorang berkepala gundul lantas ia tidak diperbolehkan menari. Dan bagaimana sebenarnya ketika seseorang jatuh cinta – apa yang ia cintai. Tubuhkah?
Pertanyaan-pertanyaan seperti demikian yang bakal muncul ketika kita menonton Kucumbu Tubuh Indahku. Kita mengikuti perjalanan seorang Juno, as in Arjuna, yang sedari kecil mulai menunjukkan ketertarikan sama hal-hal kecewekan. Juno kecil suka mengintip rombongan penari lengger (tarian di mana penari laki-laki akan mengenakan riasan dan melenggok bak perempuan). Semakin beranjak dewasa, dorongan tersebut semakin kuat. Masalahnya adalah setiap kali Juno berusaha mengekspresikan diri kepada dunia luar yang serta merta meng-judge dirinya, kemalangan terjadi, yang membuat dirinya terlunta-lunta dari satu tempat ke tempat lain. Cerita film ini akan melingkupi dari fase Juno kecil, hingga dewasa. Pembagian fase tokoh cerita begini sedikit mengingatkanku kepada film Moonlight (2016) di mana kita juga melihat perjalanan tiga-fase tokoh dari anak-anak hingga dewasa yang berkaitan dengan eksplorasi seksual yang membuat ia dikecam oleh lingkungan sosialnya. Moonlight yang menang Oscar sangat kuat di kerja kamera yang benar-benar menempatkan kita dalam perspektif si tokoh. Sebaliknya, Garin, sutradara ini tidak pernah benar-benar unggul dalam permainan kamera, melainkan ia bekerja hebat dengan komposisi. Sebagai seorang yang berlatar dari teater, Garin mengimplementasikan sentuhan khas seni panggung tersebut ke dalam visual sinematis sehingga penceritaan film ini berhasil juga menjadi unik.
Perjalanan hidup Juno akan diceritakan ke dalam empat ‘episode’, di mana setiap episode tersebut diawali dengan Juno Dewasa yang bicara langsung kepada kita. Menghantarkan kita kepada konteks masalah dengan cara yang amat poetic dan dramatis. Kata-kata kiasan yang ia ucapkan akan menjadi pegangan untuk kita, sehingga kita bisa membedakan tiap-tiap episode yang bertindak sebagai kenangan dari Juno sendiri. Satu episode bisa saja lebih panjang dari yang lain. Ada yang lengkap dari awal, tengah, hingga akhir. Namun ada juga yang langsung berpindah ketika konfliknya lagi naik. Aku sendiri agak mixed soal itu. Garin menawarkan bukan jawaban, melainkan gambaran untuk kita perbincangkan. Aku suka dua episode pertama, tapi setelahnya cerita seperti mengulang permasalahan, hanya saja kali ini dengan intensitas yang dinaikkan. Baik itu intensitas kekerasan ataupun seting yang dibuat semakin edgy dan relevan dengan keadaan sekarang.
Kita tentu sadar, Juno dapat saja tumbuh menjadi the next Buffalo Bill seperti dalam film The Silence of the Lambs (1991), film Kucumbu ini bisa saja dengan gampang berubah menjadi thriller psikologikal atau malah slasher yang digemari lebih banyak penonton. Film ini lumayan berdarah kok. Tapi Garin – kendati terasa berusaha lebih pop dari biasanya – tetap dengan bijaksana menyetir cerita kembali ke arah yang lebih beresonansi terhadap manusia dan budaya. Makanya jadi lebih mengerikan. Setiap episode tadi itu bertindak sebagai lapisan. Ada lapisan romansa. Ada yang berbau politik, sebagai sentilan terhadap dunia kita. Gambaran besarnya terkait dengan gagasan film ini adalah soal keadaan sosial yang katanya berdemokrasi tapi tidak pernah benar-benar demokratis terhadap warganya. Namun journey pada narasinya sendiri tidak terasa baru karena apa yang dihadapi Juno sebenarnya itu-itu juga.
Empat episode tersebut adalah gambaran tentang empat makna tubuh yang digagas oleh cerita. Yang diselaraskan dengan pergerakan arc si Juno sendiri. Kita akan diberitahu bahwa “tubuh adalah rumah”, dan kita akan diperlihatkan ‘rumah’ tempat Juno dibesarkan. Right off the bat kita bisa melihat ada ketidakcocokan antara jiwa Juno dengan ‘rumah’ – dengan tubuhnya. Ini juga seketika melandaskan keinginan Juno untuk menjadi jantan, karena ia pikir jiwa feminisnya akan berubah maskulin jika ia terlihat jantan. Episode kedua cerita ini mengatakan bahwa “tubuh adalah hasrat.” Maka kita melihat Juno kecil pertama kali terbangkitkan hasrat lelakinya. Hanya saja ia belajar semua itu dengan konsekuensi yang keras. Jari-jarinya yang bisa merasakan kesuburan ayam harus dihukum. Sehingga cerita bergulir ke “tubuh adalah pengalaman.” Ini berkaitan dengan ‘muscle-memory’ yang pernah aku bahas pada review Alita: Battle Angel (2019) ; Hal-hal yang terjadi padanya semasa kecil, trauma-trauma baik di jiwa maupun literal membekas di badannya, hal itulah yang membentuk seperti apa Juno sekarang yang beranjak dewasa. Seorang asisten tukang jahit yang membuang hasrat maskulin dan sudah sepenuhnya berjiwa feminin. Hanya saja ia masih menahannya. Ini adalah point of no-return buat Juno sebagai tokoh cerita. Di sini kita dapat kontras adegan yang menyentuh sekali antara pemuda bertinju dengan Juno yang menghindar dengan tarian; yang perlu diperhatikan adalah Juno hanya mulai menari saat si pemuda sudah tertutup matanya oleh kain. Film Garin biasanya selalu soal gerakan, dan hal tersebut tercermin di sini. Actually, selain ini, ada banyak adegan yang ngelingker dari apa yang pernah dilakukan Juno kecil. Pengalamanlah yang mengendalikan tubuh Juno mengendalikan jiwanya. Tapi Juno belum bebas. Jiwanya masih berperang di dalam. Pergolakan tersebut tercermin pada tubuhnya, sebagaimana episode ke empat menyebut bahwa “tubuh adalah alam medan perang”. Aku gak akan menyebut seperti apa akhir film ini, tapi inner-journey Juno tertutup dengan baik dan ngelingker. Meskipun seperti yang sudah kutulis di atas, menuju akhir cerita akan bisa terasa ngedrag karena tidak muncul sesuatu yang baru melainkan hanya intensitas yang ditambah.
I’ve also mentioned Garin tidak selalu juara di kamera. Aku bicara begitu karena dari yang kuamati pada Setan Jawa dan Nyai, Garin seperti hanya melempar pemandangan ke kamera, dan perhatian kita tidak benar-benar ia arahkan, sehingga film-film Garin kebanyakan membingungkan. Namun sebenarnya di Kucumbu Tubuh Indahku, terutama di paruh awal kita melihat cukup banyak perlakuan pada kamera yang membuat film ini tidak membingungkan untuk ditonton. Ada editing yang precise, dan menimbulkan kelucuan yang lumayan satir seperti ketika Juno yang habis colok-colok pantat ayam kemudian berpindah ke dia lagi makan dengan jari yang sama. Kamera juga akan sering membawa kita seolah-olah mengintip, atau melihat dengan framing benda-benda. Ini sesungguhnya berkaitan dengan tema ‘mengintip’ yang jadi juga vocal-point cerita. Juno diajarkan bahwa manusia di dunia hanya numpang ngintip. Ada banyak lubang yang disebut oleh film ini, untuk mengingatkan kita dan juga Juno bahwa kita sebenarnya tak lebih dari tukang intip. Soal intip-intip dan lubang ini juga eventually pun bergaung lagi di makna adegan terakhir, karena kita tahu bahwa hal tersebut menyimbolkan keadaan Juno sebagai seorang closeted-person. Dan di titik terakhir itu, dia tak lagi mengintip.
Bertolak dari penari yang kudu bisa bergerak maskulin dan feminin, Garin Nugroho berhasil menyajikan sebuah tontonan berbudaya yang memancing pemikiran kita. Terselip komentar sosial dan politik. Sekaligus sebuah seni yang memanjakan indera. Semua aktornya bermain dahsyat. Namun begitu, ini adalah jenis film yang harus banget ditonton berkali-kali, sebab cuma seginilah yang pretty much bisa dijabarkan jika nontonnya baru satu kali. Bahkan menurutku film ini juga sebenarnya mau bilang bahwa tubuh indah yang penuh oleh borok-borok kehidupan itu adalah negara kita, sebuah rumah dengan hasrat, pengalaman, dan sebuah ‘medan perang’ hingga kini. Dan sudah begitu lama sepertinya tubuh dan jiwa itu tidak bergerak bersama. Film ini hadir sebagai celah supaya kita bisa mengintip hal tersebut, supaya kembali menyelaraskan gerakan. The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for KUCUMBU TUBUH INDAHKU.
That’s all we have for now.
Apakah kalian pernah merasa terbatasi oleh gender kalian? Jika kalian diperbolehkan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh lawan-jenis kalian, hal apa itu yang kalian lakukan?
Tell us in the comments
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
“It is not the answer that enlightens, but the question.”
Beberapa ekor pinguin muncul begitu saja di taman, di kota yang bukan saja panas, tapi juga bahkan jauuuh dari aroma laut. Fenomena yang aneh tersebut jelas saja mengundang banyak reaksi. Orang dewasa akan garuk-garuk kepala, mereka berusaha memindahkan pinguin-pinguin tersebut ke tempat yang lebih layak. Bagaimana dengan anak-anak kecil seusia Aoyama? Wuih suasana ruang kelas empat tersebut riuh oleh semangat anak-anak yang bertanya-tanya ada apa gerangan. Seru sekali mereka membincangkan makhluk-makhluk lucu tersebut. Sebagai seorang anak sepuluh-tahun, yang dibilang dewasa juga belum, tapi punya kecerdasan yang jauuuuuuhhh di atas teman sebayanya, Aoyama mencatat detil-detil tentang pinguin yang bisa ia temukan di buku. Dia membandingkannya dengan yang ia lihat sendiri. Aoyama membuat teori-teori. Saking sibuknya, Aoyama mungkin tak sadar bahwa ia juga sama anehnya dengan para pinguin itu di mata teman-temannya.
Penguin Highway nyata-nyatanya adalah salah satu film teraneh yang bisa dibuat orang untuk anak-anak. Film menggali rasa penasaran yang didera oleh anak kecil dengan enggak malu-malu. Karena bagi mereka hampir semua hal di dunia adalah misteri. Pinguin itu justru bukan ‘masalah’nya sebenarnya bagi Aoyama. Karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Aoyama berkembang menuju remaja, dewasa. Aku punya adek berusia sepuluh-tahun dan memang dia ‘pervert’ seperti tokoh film ini. Aoyama having a first crush kepada Kakak cantik asisten dokter gigi, wanita yang jauh lebih dewasa daripada dirinya. Dia sudah menetapkan akan menolak cewek-cewek yang ‘menembak’nya karena pilihan sudah ia tetapkan. Aoyama yang cerdas bahkan rela jarang gosok gigi biar bisa ke dentist terus; bertemu dengan Kakak yang juga jadi guru main caturnya. Salah satu observasi ilmiah yang diamati Aoyama terhadap Kakak adalah bagaimana cewek itu punya payudara yang berbeda dibanding punya ibunya. Dan karena film ini mengambil sudut pandang Aoyama, maka bukan saja kita mendapat sejumlah close-up shot dada Kakak, namun juga semua hal tampak seperti payudara. Aoyama memilih kue yang bulet, memandangi gunung-gunung yang bulet, mangkok yang… you guessed it, bulet! Hal menjadi semakin menarik tatkala Aoyama menemukan hubungan antara si Kakak dengan kemunculan para pinguin dan juga gelembung air besar yang Aoyama dan teman-temannya temukan di padang rumput di dalam hutan.
Secara teknis, film ini tergolong cerita fiksi ilmiah, karena Aoyama dan teman-temannya memandang pinguin dan semua peristiwa yang mengikutinya dari sudut keilmuan. Aoyama senang bereksperimen, dia membuat gadget dari mainan, dia menyimpulkan teori-teori berdasarkan data dan keilmuan yang ia riset. Aoyama membuat catatan yang membandingkan waktu metamorfosis kupu-kupu dengan hitungan hari menjelang dia tumbuh dewasa. Didukung oleh ayahnya yang kerap menyemangati dengan coklat tatkala Aoyama berhasil membuat kesimpulan terhadap suatu peristiwa, Aoyama percaya dia akan meraih hal-hal yang hebat untuk dunia. Tapi actually, elemen fiksi ilmiah ini cuma latar karena sesungguhnya ini adalah cerita tentang coming-of-age. Filosofi hubungan antara Aoyama dengan si Kakak lah yang menjadi penggerak utama cerita. ‘Kamera’ akan menangkap perjalanan inner karakter, disuguhkan lewat animasi yang kawaii dan mempesona. Sementara kita hanya sekelebat melihat catatan teori yang dibangun oleh Aoyama – antara itu atau lewat dialog cepat yang ia sebutkan. Ceria penuh warna seperti mata anak-anak memandang dunia. Ketika dunia mereka menjadi aneh atau sedikit menyeramkan, warna-warna tersebut tidak absen, tidak lantas membuat film menjadi suram. Melainkan animasinya dibuat mengundang rasa penasaran kita, mewakili perasaan Aoyama yang selalu ingin tahu.
Saat menonton ini, memang pada awalnya aku menganggap cerita film ini lumayan mengganggu buatku. Setelah ekspektasi kita dibangun terhadap ilmu pengetahuan di sepuluh menit pertama, kita secara alami akan menganggap film akan memberi kita jawaban yang logis terhadap semua fenomena yang terjadi. Tapi bukan saja ternyata elemen sci-finya terkesampingkan, penjelasan masuk-akal terhadap semua itu bahkan tidak ada! Alih-alih melihat jawaban, aku malah melihat orang melempar kaleng kola dan kaleng tersebut berubah menjadi pinguin di udara. Aku pun merasa dicuekin karena Aoyama dan teman-temannya tidak pernah mengajakku berteori bersama, heck, bahkan main caturpun aku tidak dilibatkan. Namun kemudian aku sadar, aku masih melihat film ini dalam posisi sebagai orang dewasa. Belum kembali menjadi anak-anak seperti yang film ini niatkan. Ini sama sekali bukan masalah apa jawaban yang benar, tidak pernah seperti demikian bagi anak-anak. Ini adalah soal mencari jawaban. Tidak perlu ada stake, tidak perlu dikejar waktu karena anak-anak punya semua waktu yang mereka butuhkan untuk eksplorasi. Film meminta kita untuk mengistirahatkan pikiran dewasa dan biarkan naluri kanak-kanak kita memegang kendali, supaya kita bisa melihat lebih banyak. Bahkan si Kakak dalam cerita, dia belajar banyak dan merasa kembali muda dengan berada di sekitar Aoyama dan teman-teman yang sedang melakukan eksperimen.
Kebebasan untuk tidak terlalu memusingkan hal-hal yang terjadi, merupakan anugerah yang dimiliki oleh anak kecil. Orang dewasa akan terdistraksi kepada hasil sehingga fokusnya teralihkan dari hal-hal yang membuat kita tertarik, dan yang menginspirasi pada awalnya. Bukan soal benar atau salah, mustahil atau logis, ini adalah soal mencari, memuaskan sendiri rasa penasaran kita dengan terus mengasah kreativitas dan segala kemungkinan. Karena kritis itu bukan semata bertanya dan berharap mendapat penjelasan yang memuaskan. Kritis adalah memuaskan diri dengan mencari jawaban atas tanya-tanya yang terus kita ajukan sebab dunia begitu membuat penasaran.
Aoyama boleh saja gagal menemukan jawaban yang logis, sebab semua perjalanan yang ia lalui itu telah membuat dirinya humble. Menjadikannya manusia yang lebih baik pada akhir cerita. Penguin Highway adalah salah satu contoh cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ yang baik. Perubahan karakter Aoyama di awal dengan di akhir cerita dapat kita rasakan dengan kuat mengalir. Sutradara Hiroyashu Ishida melakuan kerja yang sangat baik mengarahkan cerita yang kompleks dan aneh dalam film panjang pertamanya ini. Film ini terasa lucu dan menghibur, tetap teramat dekat meskipun menangani masalah yang di luar logika. Aoyama tidak tampak seperti Conan, yang kita tahu dia adalah orang dewasa dalam tubuh anak kecil. Aoyama memang terhadirkan sebagai seorang bocah yang pintar dan penuh keingintahuan, dia memandang semua fenomena sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi.
But I do thing film ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi. Terutama pada karakter Kakak Cantik. Tokoh ini sengaja dibuat misterius, karena dia adalah salah satu ‘misteri’ bagi Aoyama secara fisik. Tapi film turut membuat eksistensi si Kakak sebagai tanda tanya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ini membuat tokoh Kakak jatuh ke dalam trope “Manic Pixie Dream Girl” – tokoh cewek yang di mata protagonis cowoknya begitu sempurna dan hanya berfungsi sebagai dorongan ataupun pembelajaran si protagonis untuk menjadi tokoh yang lebih baik. Trope ini menandakan naskah tidak berhasil menggali karakter pendukung, dan memang kelihatan jelas film ini hanya berpusat pada Aoyama. Naskah membiarkan Aoyama jadi tokoh utama meskipun ada tokoh lain yang lebih punya stake untuk mencari jawaban. It’s okay jika film memutuskan seperti demikian dan konsisten terhadapnya, tapi aku berpikir film tidak mesti membuat Kakak sebagai Manic Pixie Dream Girl yang mengurangi penilaian – bisa diberi bobot lebih banyak, atau melakukan hal simpel seperti yang dilakukan Love for Sale (2018) kepada tokoh Arini; Love for Sale membuat Arini ‘termaafkan’ karena dia tidak seujug-ujug ada di sana sebagai pembelajaran untuk Richard, dia ada sebagai bentuk pilihan dari Richard. Kakak di Penguin Highway, menurutku seharusnya bisa dibuat seperti demikian alih-alih ada dan kemudian tidak ada.
Diadaptasi dari novel karangan Tomihiko Morimi, si pengarang ini sering disebut sebagai Virgin Writer karena kekhususannya memasukkan hal-hal lugu yang bisa dianggap ‘pervert’ oleh sebagian orang. Dan memang, film ini jelas adalah salah satu teraneh yang bisa ditonton oleh anak-anak. Mengusung cerita coming-of-age dengan bungkus sci-fi. Benar-benar menaruh penonton dalam bingkai pandang tokoh utamanya yang masih kelas empat. Film ini melempar semua logika dan meminta kita untuk mengikuti perjalanannya dengan santai, karena dirinya adalah potret yang mengingatkan kembali bagaimana rasanya kembali menjadi anak kecil yang penuh rasa ingin tahu. Unik dan menyegarkan, seperti pinguin. The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PENGUIN HIGHWAY.
That’s all we have for now.
Kapan terakhir kali kalian membaca untuk menambah ilmu, alih-alih biar dapat nilai bagus? Kapan terakhir kali kalian bertanya untuk membuka wawasan, bukannya bertanya untuk nyinyir atau malah nyindir orang lain?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Dalam The Favourite kita akan melihat Emma Stone dan Rachel Weisz memperebutkan hati Olivia Colman. Siapa di antara Lady Sarah dan rakyat jelata Abigail yang akhirnya menjadi orang kepercayaan, dan kekasih-rahasia sang Ratu Inggris. Kita bisa bilang ini kisah cinta-segitiga yang benar-benar ganjil. Agaknya, lewat komedi dengan sudut pandang unik, pemandangan sejarah – sebuah period piece – yang bahkan gak benar-benar peduli sama keakuratan, dan dengan cueknya menggeser posisi laki-laki menjadi sebatas hiasan ruangan dengan wig dan dandanan heboh, sutradara Yorgos Lanthimos berusaha menyentil dinamika dunia politik kontemporer di sekitar kita, hingga ke lapisan yang paling kecil. I mean, betapa sering kita nemuin kasus – atau bahkan mungkin mengalami sendiri – seorang yang posisinya terancam oleh kedatangan seorang baru yang lebih charming dan pintar menarik hati? Berapa sering kita terlena antara dusta dan cinta?
Permulaan film ini seolah mengeset cerita biasa tentang keberhasilan orang-susye memanjat tangga sosial dan menuai hasil keringat, darah, dan air matanya. Abigail yang diperankan Emma Stone memang dengan gampang sekali menarik simpati kita. Dia orang yang baik hati, yang bersedia kerja apa saja. Abigail sudah cukup makan garam perihal perlakuan dunia terhadap orang-orang miskin seperti dirinya, walaupun dirinya masih ada hubungan keluarga dengan tokohnya Rachel Weisz, Lady Sarah yang gede di lingkungan istana. The Favourite benar-benar menunjukkan beda kelas sosial tersebut dengan ekstrim – tetap, dalam undertone yang kocak. Selama ini kita mungkin hanya menerka apa sih yang dikerjakan orang-orang kaya di jaman dahulu. Setelah nonton film ini, imajinasi kita terhadap mereka akan semakin liar. Balapan bebek alih-alih kerja rodi di dapur?
Kerja menakjubkan film ini adalah gimana backstory dan motivasi setiap tokoh berhasil tersampaikan kepada kita, secara tersurat maupun tersurat. Kita hampir mengasihani Abigail lantaran dia diberikan masa lalu traumatis, namun itu semua ‘hanya’ alasan supaya kita paham roda gigi macam apa yang bergerak di dalam kepalanya. Kita jadi mengerti tidak ada yang lebih diinginkan Abigail selain kenyamanan istana, tidak lagi berada di kelas bawah. Dan semakin kamera membawa kita mendekatinya, ini bukanlah cerita keberhasilan. Inilah yang aku suka dari The Favourite, ceritanya berani menunjukkan kegagalan. Boleh saja begitu dia pertama kali menginjakkan kaki ke istana, masuk ke lingkungan Ratu Anne, Abigail memang wanita baik-baik, akan tetapi lambat laun bahkan dirinya sendiri seperti enggak percaya pada hal-hal yang ia lakukan demi mengukuhkan diri di atas sana. Abigail seperti meyakinkan dirinya sendiri ketika berulang kali dia menyebut dirinya punya hati yang baik. Di balik dinding istana, betapapun dekat jarak yang ia ciptakan antara sang Ratu dengan dirinya, Abigail tidak pernah merasa secure. Tokoh Abigail adalah peringatan kepada kita semua bahwa dalam lingkup sosial yang tidak seimbang antara kaya dan miskin menciptakan kompetisi yang bar-bar. Miskin gak mau semakin miskin, dan yang kaya tentu saja tidak mau jatuh miskin.
Dan tidaklah gampang untuk keluar dari lingkungan sosial seperti demikian. Film menggambarkan kekangan yang dirasakan oleh kaum aristokrat itu lewat wide shot yang dapat kita temukan di sepanjang durasi. Menggunakan lensa fish-eye, film menyuguhkan jangkauan luar biasa lebar. Kita akan melihat tokoh-tokohnya sendirian di ruangan yang besar, persis kayak lukisan-lukisan jaman dulu, dan sekaligus kita merasakan kesendirian – bahkan ketika mereka berada di court room dengan banyak orang, dan kungkungan yang menyangkut dalam perasaan mereka. Sekalipun mereka berjalan, wide shot tersebut beralih fungsi untuk menunjukkan jauhnya perjalanan yang mereka lakukan untuk sampai di sana. Sekali lagi, sama seperti Abigail, film mengeset pemahaman kita bahwa semua orang di dalam sana tidak mau kembali ke muasal mereka di jalanan. Berbeda dengan wide-shot yang dilakukan oleh Roma (2018), saingan film ini di Oscar, kamera The Favourite enggak ragu untuk bergerak aktif. Kita bakal sering dibawa berayun oleh kamera, yang kemudian melesak maju bersama karakter, untuk menimbulkan kesan para tokoh ini berjuang keras bergerak di dalam sana. Film juga memilih untuk menggunakan cahaya-cahaya yang natural. Yang terbukti efektif sekali saat shot di malam hari, sebab cahaya lilin itu benar-benar menangkap kecemasan Abigail yang tak tenang seberapapun tinggi statusnya, dia masih khawatir akan ‘ketahuan’ sebagai orang yang seharusnya tidak berada di sana.
Apa yang tadinya dimulai dari cerita underdog yang sederhana – I mean, siapasih yang enggak bakal terpikat sama Abigail yang feminim dan sopan dibandingkan Lady Sarah yang tegas dan kaku – berubah menjadi sesuatu yang lebih dalem lagi. Film dengan berani menunjukkan perubahan Abigail, dia semakin nekat melakukan berbagai cara. Sensasi nonton yang luar biasa saat kita menyadari bahwa Abigail yang hanya memikirkan diri sendiri tidak lebih baik dari orang yang berusaha keras untuk ia gantikan. Lady Sarah yang melarang ratu makan coklat, yang meledek dandanan sang ratu kayak luak, yang ogah membelai kelinci-kelinci peliharaan Ratu, yang terang-terangan mengaku cintanya pada ratu ada batasnya namun tidak demikian buat negara, adalah orang yang lebih baik karena dirinya berada di sana bukan untuk kepentingan pribadi. Sarah punya tujuan yang jauh lebih mulia daripada memuaskan kenyamanan dirinya sendiri. Tidak seperti Abigail, Sarah tidak sekalipun menganggap Ratu Anne sebagai hadiah yang harus dimenangkan. Adegan Abigail menari bersama Ratu, at one point kita mendengar suara letupan senjata, dan Ratu terjatuh – sambil tertawa – melambangkan siapa sebenarnya yang ‘pembunuh’ alias oportunis. Dan tentu saja bukan tidak ada maksudnya ketika film memperlihatkan Abigail lebih ahli menembak ketimbang Sarah. Sarah tidak pernah berpura-pura, dia mempersembahkan dirinya apa adanya. Dia tidak peduli orang menganggapnya kejam dan berhati dingin. Malahan faktanya, dibanding Abigail yang sepanjang waktu membuat ‘rencana’ dan bergerak sembunyi-sembunyi, hanya satu kali diperlihatkan Sarah berusaha bikin surat buat ngeblackmail Ratu, namun pada adegan berikutnya kita melihat surat tersebut dia bakar. Karena seperti yang diperjelas oleh dialog Sarah dengan Abigail; dia tidak memainkan permainan yang sama dengan Abigail.
Dan Sarah-lah yang mengungkapkan kalimat terpenting yang menjadi pesan dalam film ini. Bahwa kejujuran adalah cinta. Mencintai dan tetap bersikap jujur ternyata adalah hal yang luar biasa sukar dibandingkan berbohong demi menyenangkan orang.
Tentu saja sikap Sarah tersebut dipandang sebagai ketidaksetiaan oleh Ratu. Yang membawa kita ke tokoh terakhir dalam cerita segitiga ini. Olivia Colman dinobatkan sebagai pemenang Aktris Terbaik dalam Peran Utama Oscar 2019, mungkin membuat kita bertanya-tanya kenapa tokoh yang diperebutkan ini yang disebut sebagai peran utama. Buatku, tokoh utama cerita ini memang Abigail. Namun aku mengerti kenapa Anne juga bisa dipandang sebagai tokoh utama. Walaupun tokohnya annoying dan konyol sebagai penguasa (mengingatkanku pada persona Vickie Guerrero di WWE), keputusan Ratu Anne-lah yang menjadi penentu cerita. Dan jika kita tilik karakternya, dialah yang paling manusiawi di antara semua. Anne yang paling menderita. Dia bahkan enggak tahan mendengar musik karena membuka luka emosional yang selama ini menderanya. Ratu kita ini telah kehilangan tujuh-belas anaknya. Implikasinya adalah dia tidak bisa punya anak. Film dengan hebat menetapkan bahwa sosok ini sangat mendamba cinta, dia ingin ada yang menunjukkan cinta kepadanya. Kelinci-kelinci yang ia pelihara; merupakan wujud pengganti anak baginya. Menjadi ratu, penguasa, adalah siksaan ekstra bagi pribadi semacam ini karena dia tidak pernah tahu pasti siapa yang tulus mencintai dirinya dan siapa yang hanya ingin mengeruk keuntungan darinya. Lebih mudah baginya untuk mempercayai dan menerima Abigail yang terus memuja-muja dirinya – menjilat kalo boleh dibilang – ketimbang Sarah yang menyuruh-nyuruh dirinya.
Sang Ratu ultimately dihadapkan pada pilihan antara orang yang bersikap manis dengannya dan orang yang ketus. Abigail memanfaatkan kelemahan Anne, sedangkan Sarah berusaha mengeluarkan Anne dari kelemahan tersebut. Dan pada akhirnya memang Abigail yang menang. Namun film menembak kita dengan pertanyaan, apa yang ia menangkan? Apa yang ia dapatkan sebagai anak emas si Ratu kalo kenyataannya hati Abigail semakin tidak tenang. Abigail malahan hanya jadi sasaran kegelisahan sang ratu yang dibuat oleh film ini menyadari bahwa dirinya baru saja mencampakkan satu-satunya orang yang beneran peduli kepada dirinya, yang menganggap dirinya manusia alih-alih tukang ngasih makan.
Menjadi yang teratas tidak serta merta membuat kita bahagia. Malahan ratu dalam cerita ini justru adalah yang paling nelangsa di antara semua. Di balik nada komedi yang membuat kita tertarik mengikuti ceritanya, film ini menunjukkan bahayanya dinamika kuasa yang bisa terjadi antara si kaya/si kuat dengan si miskin/si lemah dalam sistem kekuasaan tertutup seperti begini. Sebab yang atas akan melampiaskan ke yang bawah, dan begitu seterusnya melingkupi semua lapisan.
Berusaha menyentil masalah kontemporer lewat gambaran sejarah yang dengan nekatnya melanggar banyak aturan sebuah film period piece. Film ini menilik dinamika antara kelas, cinta, dan politik – membalutnya dalam busana komedi, sehingga menjadi tontonan yang enggak malu-maluin dan enggak malu menunjukkan apa yang bisa terjadi – dan mungkin sedang terjadi di sekitar kita. Semua penampilan di sini luar biasa, kita sudah melihat pencapaian film ini pada musim award yang lalu. Film ini memberanikan kita untuk mempertimbangkan pilihan, untuk tidak memilih yang termudah, dan mengingatkan kadang memang selalu ada udang di balik batu. The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold star for THE FAVOURITE.
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian menjadi raja/ratu itu asik? Apakah cinta itu ada batasnya? Pernahkah kalian merasa lebih aman dan sejahtera bagi diri kalian untuk berbohong ketimbang mengatakan yang sebenarnya?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
“There’s nothing temporary about the love or the lesson.”
Gampang untuk tidak menyakiti orang lain, atau merasa kasihan melihat kondisi orang lain, karena kita membayangkan jika itu terjadi kepada anggota keluarga sendiri. Kita cukup dengan menjauhkan diri dari masalah orang, enggak ikut campur, hanya membantu jika diminta. Dibutuhkan usaha yang lebih keras, lebih susah, untuk secara nyata menyayangi dan peduli sama orang lain. Menganggap mereka seperti anak sendiri. Tidak sembarang yang bisa, yang rela, mengurus anak orang. Tahukah kalian penelitian menyebutkan seorang ibu akan menganggap pup anak kandungnya enggak sebau dan semenjijikkan pup anak orang lain. Bayangkan ada seorang ibu yang punya cinta begitu besar sehingga mau mengurusi pup yang bukan dari pantat anaknya.
Adopsi jelas bukan perkara sepele. Lewat Instant Family, sutradara Sean Anders membagi cerita dan pengalaman suka-duka yang ia alami ketika dirinya memutuskan mengadopsi anak. Dan Anders cukup bijak untuk mengajak kita tertawa bersamanya karena film ini diceritakan dengan begitu ringan dan lucu. Kita akan melihat langkah-langkah yang harus dilalui oleh pasangan yang berniat menjadi orangtua asuh, dimulai dari konseling, masa percobaan, bagaimana mereka memilih anak (film bilang “udah kayak belanja!”), fakta bahwa tidak banyak yang mau memilih anak remaja karena kita bisa bayangkan lebih merepotkan karena mereka sudah mulai memasuki usia ‘membandel’, dan tentu saja drama yang muncul ketika orangtua asuh sudah bertemu dan membawa anak asuhnya ke rumah. Anders, tak pelak, mengerti semua hal tersebut dan ia paham di mana harus menggali kelucuan. Meskipun lucu, bukan berarti film harus kehilangan hati.
Mark Wahlberg dan Rose Bryne memerankan sepasang suami istri yang memutuskan untuk mencoba membesarkan anak, tapi Mark menolak punya anak sendiri lantaran tokohnya, Pete, sudah berumur dan dia enggak mau dia udah tua banget saat anaknya remaja. Jadi dengan berkelakar dia semacam bilang kita curi start saja, adopsi anak yang sudah sekolah. Di balik kekonyolan, naskah berhasil membuat kedua tokoh ini – Pete dan istrinya Ellie – sebagai tokoh yang manusiawi; terkadang kita dapat melihat mereka pada awalnya tidak benar-benar serius pengen punya anak – mereka mengadopsi hanya untuk membuat diri mereka merasa lebih baik di mata sanak dan kerabat. Seperti ketika mereka tadinya cukup kaget tatkala mengetahui Lizzie, remaja hispanic yang menurut mereka ‘cocok’ ternyata punya dua adik dan itu berarti mereka harus menanggung tiga anak. Namun kita tidak pernah kehilangan simpati kepada mereka. Kita mengerti ketika mereka melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati anak asuhnya, mereka benar-benar pengen membuat anak-anak tersebut senang. Bahwa mereka berusaha menjadi orangtua yang baik. Wahlberg dan Bryne benar-benar tampak meyakinkan; ketika mereka ragu kita juga ikut ragu, ketika mereka marah kita tahu mereka melakukannya sebagai pilihan yang menurut mereka terbaik.
Aku suka naskah memparalelkan ini dengan pekerjaan profesional yang mereka geluti. Pete dan Ellie mencari nafkah sebagai fixer upper; mereka membeli rumah yang sudah bobrok, memperbaikinya, untuk dijual kembali dengan keuntungan yang besar. Ini pada ujungnya memberikan konflik karena mereka terbiasa ‘membangun’ rumah, mempercantik untuk dihuni oleh orang lain. Betapa mengejutkan bagi mereka ketika menyadari bahwa dalam adopsi anak, tidak sama seperti yang mereka lakukan pada rumah. Karena anak berarti menyangkut ‘rumah tangga’. Ada perasaan yang terlibatkan. Plot pasangan tokoh utama kita ini adalah tentang mereka menyadari betapa desperate-nya mereka sebenarnya untuk jadi ayah dan ibu. Lihat betapa takjub dan nagihnya Pete dan Ellie ketika salah satu anak asuh tersebut memanggil mereka dengan “daddy” dan “mommy”. Film tidak mempermudah keadaan dengan membuat ketiga anak yang mereka asuh masih memiliki ibu kandung. Pertanyaan yang menggantung di plot poin kedua nyatanya berhasil membawa cerita ke dalam warna emosional; Apakah Pete dan Ellie bisa merelakan anak yang sudah mereka urus pulang kembali ke ibu kandung yang sudah keluar dari penjara. Apakah itu adil bagi mereka yang sudah meluangkan banyak. Tentu saja itu juga tergantung pada pilihan ketiga anak, namun jika mereka memilih Pete dan Ellie, apakah itu tidak sama saja dengan Pete dan Ellie merampas mereka dari ibu sah yang tentunya juga berjuang untuk anak-anak tersebut. Moral dilema dan drama yang bikin hati anget ini tak sekalipun terselip keluar dari cerita. It’s still there all along, terbungkus dengan rapi oleh pita-pita komedi. Sehingga film akan membuat kita tertawa dan menyeka mata sekaligus.
Jangan pernah meremehkan seberapa besar kau bisa mencintai seseorang dan bagaimana cinta tersebut mampu mengubah mereka. Kita mungkin hanya sementara di dalam hidup mereka. Mereka mungkin tak seberapa lama di hidup kita. Tapi tidak ada yang namanya numpang lewat dalam urusan cinta. Pun pelajaran dan waktu yang kita luangkan bersamanya akan terus terpatri selamanya.
Aku suka gimana film ini tidak menggali hubungan Pete dan Ellie dengan anak-anak asuhnya seperti cerita ‘strangers yang menjadi teman’ kebanyakan. Cerita tidak exactly dimulai dengan benci berubah menjadi cinta. Ketiga anak asuh tersebut enggak langsung melawan, enggak seketika distant dan gak respek. Kita melihat kedua belah pihak sama-sama seperti ‘mengetes air’ di awal-awal mereka satu rumah. Film mengambil waktu untuk mengembangkan reaksi mereka. Pete dan Ellie yang merasa bisa dengan gampang ‘memperbaiki’ anak-anak ini, dan the kids, aku suka film tidak membuat mereka menyusahkan bagi Pete dan Ellie. Film tetap membuat ini sebagai tugas Pete dan Ellie; bahwa mereka perlu memahami bagaimana cara yang tepat menunjukkan cinta kepada anak-anak, seperti keluarga normal.
Tokoh anak-anak juga tak kalah meyakinkannya. Isabela Moner menyuguhkan penampilan yang benar-benar kerasa sebagai Lizzie, tertua dari tiga bersaudara. Film memberikan kesempatan baginya untuk menjangkau banyak rentang emosi, dan Moner mengeksekusinya dengan baik. Remaja yang bermasalah, namun Lizzie tidak jatoh annoying dengan akting yang berlebihan. Tokoh ini bisa kita tarik perbandingan dengan Euis di Keluarga Cemara (2019), karena sama-sama paling dekat sebagai sosok antagonis bagi tokoh utama; Lizzie tampak lebih luwes karena rangenya lebih luas, sedangkan Euis sedikit tertahan. Yang lebih bandel sebenarnya Lizzie namun Euis tampak lebih ‘hard to deal with’, menurutku ini disebabkan oleh perbedaan eksplorasi karakter yang bisa jadi berhubungan dengan kemampuan akting pemainnya. Moner begitu natural, sehingga aku jadi penasaran pengen melihat seperti apa dia memainkan Dora later this year. Lain Lizzie, lain pula dengan dua adiknya; Juan dan Lita. Dua tokoh ini kocak banget sebagai karakter komedi. Yang satu tukang merengek, yang satu bego namun super-sensitif. Film membuat kita tertawa oleh tingkah mereka, meskipun aku kadang merasa jahat juga sih terbahak melihat Juan kesakitan karena ulahnya sendiri.
Dengan tone komedi dan drama yang ngeblend, kadang bikin kita ‘bingung’ juga seperti yang kita rasakan pada tokoh Juan. Is it okay to laugh at children getting hit?Apa sopan mentertawakan seorang wanita yang belum berhasil menemukan anak asuh? Atau menuduh sepasang suami istri yang wajahnya amat mirip sebagai saudara kandung? Film yang tak malu-malu menyinggung berbagai persoalan ini bergerak dengan cepat sehingga kita tertawa dan baru berpikir kemudian. Menakjubkan gimana satu montase bisa hadir dalam berbagai feeling seperti yang dilakukan oleh film ini. Dan betapa randomnya kemunculan cameo Joan Cusack di menjelang akhir itu seolah duo Octavia Spencer dan Tig Notaro belum cukup untuk menggelitik kita semua. Tapi menurutku memang itu semua bergantung kepada selera humor masing-masing penonton. I could laugh at some of it. Dan nyengir buat sebagian kecil yang lain.
Yang benar-benar kepikiran buatku adalah pilihan resolusinya. Di bagian-bagian awal Pete sempat meracau soal white-savior, gimana yang mereka lakukan bukanlah sekedar pencitraan orang kulit putih yang mau menyelamatkan anak-anak. Buatku penyelesaian film ini justru menguatkan aspek white-savior yang berusaha dihindari oleh Pete tersebut. Alih-alih memperlihatkan interaksi untuk mencapai kesepakatan bersama, kita mendapati jalan keluar yang berasal dari keadaan luar; dari seorang ibu yang masih belum keluar dari jerat narkotika. Film berusaha mengalihkan kita dari ras si ibu dengan membuat ada satu tokoh amerika yang juga terikat masalah yang sama; bahwa narkoba bukan stereotipe ras. Tapi tetap saja aspek ini membuat Pete dan Ellie menjadi tampak keluarga paling ‘sempurna’ di antara keluarga lain yang ditampilkan oleh film. Menurutku cerita seharusnya menggali ‘cacat’ dari dalam dengan lebih dalam lagi dari sekadar masalah pencitraan.
Prestasi terbaik yang dicapai oleh film ini adalah membuat kita sadar bahwa wajar saja jika semua keluarga itu ‘gila’. Justru semakin ‘gia’ maka semakin besar pula cinta di dalamnya. Dan yang namanya cinta tak melulu datang dari rantai DNA. Film ini membawa sudut pandang yang unik, dan mencoba untuk menceritakan sesuatu yang mengharukan dengan tawa. Sukses luar biasa. Makanya walaupun adopsi-adopsian enggak terlalu ngetren di sini, film ini tetap terasa relatable dan mampu menyentuh kita semua. The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold star for INSTANT FAMILY
That’s all we have for now.
Mengapa orang yang mengangkat anak asuh sering dikatakan sebagai pahlawan? Apakah makna orangtua bagi kalian?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
“A sibling represents a person’s past, present, and future.”
Setiap anak pertama kepengen punya adik. Berdasarkan pengalaman aja sih, walaupun kejadiannya di usia empat-tahun, aku masih ingat jelas berlarian bolak-balik dari pintu depan ke pintu samping, nungguin orangtua pulang dari rumahsakit. Membawa adik bayi. Dan si adik harus cewek! Supaya gak ngambil mainan robot-robotanku, anak cewek mainannya boneka; sudah aku siapkan juga beberapa yang kayak boneka susan.
See, beberapa menit masuk ke film Mirai aku merasa relate banget ama si Kun, yang juga berumur empat dan menunggu kedatangan adik barunya dengan tidak sabar. Tapi tidak seperti diriku, Kun belum siap. Hati-hati terhadap permintaanmu, terutama jika kau tak mengerti apa yang kau minta. Anak seusia Kun belum memahami konsep keluarga. Pikirnya ‘adik’ mungkin sekedar teman yang mampir, atau mungkin mainan baru. Kun tidak mengerti dirinya sekarang menjadi abang. Bahwa adik adalah bagian dari keluarga, posisinya lebih dari anjing peliharaan mereka. Maka Kun pun mengalami apa yang disebut orang dewasa sebagai krisis status diri. Dia menjadi sangat iri ketika semua perhatian ibu dan ayahnya diambil oleh si adik, yang diberi nama Mirai. Dalam ngambek dan rengekannya setiap kali dimarahin ibu karena sudah membuat Mirai menangis, Kun pergi ke taman rumahnya di mana dia bertemu dengan anggota keluarganya yang datang kadang dari masa depan, kadang dari masa lalu. Lewat mereka-mereka ini, terutama Mirai versi remaja, Kun mengarungi zona waktu dan berjuang – dalam kapasitas anak seusianya – belajar memahami apa sebenarnya arti sebuah keluarga.
Mamoru Hosoda sudah enggak diragukan lagi punya otak yang brilian sebagai sutradara film animasi. Karya-karyanya – The Boy and the Beast (2015), Wolf Children (2012), Summer Wars (2009) – bukan saja indah untuk dilihat, melainkan juga punya visi yang begitu kuat yang terasa begitu ingin ia komunikasikan kepada para penonton.. bahkan Digimon garapannya saja terasa lebih sedikit berisi. Mirai bukan termasuk pengecualian. Tertampil dalam kemulusan dan keelokan visual yang sudah kita harapkan, film ini berwarna oleh karakter-karakter yang begitu nyatanya sehingga kita jadi lupa mereka cuma tokoh animasi. Kun, ayahnya, ibunya, seperti orang yang benar-benar ada di dunia nyata. Tema fantasi yang dipunya oleh cerita tidak menjadikan film ini jauh, malahan membuatnya semakin grounded sebab fantasi yang kita lihat tersebut dengan kuat dan efektif melambangkan apa yang dilalui oleh karakternya, yang juga pernah dialami oleh kita.
Bagi anak kecil, secara keseluruhan film ini akan terasa sedikit berat. Fantasi yang ada tidak selamanya membawa mereka ke ranah keajaiban seperti pada cerita Alice ataupun Mary Poppins, sebagian besar yang kita saksikan adalah Kun dibawa ke masa ibunya masih seusia dirinya, atau lebih jauh lagi ke zaman kakek buyutnya masih segar bugar. Penonton cilik akan butuh bimbingan untuk mengikuti cerita, untuk memahami apa yang sedang dialami oleh Kun. Karena dalam petualangan Kun inilah letak pembelajarannya. Seperti misalnya petualangan Kun dengan kakek buyutnya sebenarnya adalah pelajaran mengatasi rasa takut yang dialami oleh Kun dalam belajar menaiki sepeda roda dua. Ataupun ketika Kun ngambek sama keluarganya, kita langsung dibawa ke dunia di mana Kun tersesat di stasiun kereta api, dia mengalami kejadian yang buat orang dewasa relatif kocak, namun akan sangat menakutkan buat anak kecil; ini jadi pembelajaran Kun harus mengakui gimana satu anggota keluarga punya keterikatan dengan yang lain, meskipun sering marah-marahan.
Anak kecil bisa meledak oleh begitu banyak emosi yang ia rasakan sekaligus. Karena mereka belum belajar mengontrolnya. Anak kecil seperti Kun yang gembira punya adik baru, tetapi pada saat bersamaan ia cemburu lantaran sang adik mencuri perhatian ayah ibu, mengambil kasih sayang mereka darinya. Juga ada beban yang ia rasakan ketika ayah ibu mengharapkan tanggung jawab dan kelakukan yang lebih baik darinya, yang serta merta akan menjadi penolakan jika anak sulung seperti Kun tidak diberikan pengarahan ataupun bimbingan.
Sementara perspektif cerita dibuat begitu konstan dan benar dari sudut pandang anak empat tahun (yang memang digambarkan sedikit lebih ‘dewasa’ dan pintar dibanding balita yang pernah kutahu) dalam melihat masalah keluarga dan eksistensi dirinya, di sisi sudut imajinasi, bangunannya sedikit enggak kokoh. Akan jauh lebih menantang jika film ini membuat elemen fantasi yang dialami Kun sebagai ambigu; kita tidak dibuat tahu pasti apa itu semua hanya imajinasi ataukah sebuah kejadian yang benar-benar terjadi. Film punya ‘modal’ untuk membuatnya demikian. Di awal-awal, Kun sudah dibangun sebagai anak yang punya imajinasi kreatif, menjelang akhir aku malah masih percaya bahwa semua kejadian ‘time-travel’ itu hanya imajinasi Kun – dia berinteraksi dengan kepalanya sendiri. Namun kemudian film melakukan adegan-adegan di mana akan menjadi mustahil Kun mengetahui sesuatu tanpa beneran ada orang yang memberitahu. Seperti si kakek buyut tadi. Saat mereka bertualang, Kun menganggap pemuda pincang yang ia temui itu adalah ayahnya. Namun setelah sekuen tersebut, kita menyaksikan Kun surprise melihat foto si pemuda ada di album keluarga, dan ibunya menyebut itu adalah kakek-buyutnya. Tidak mungkin Kun bisa membayangkan wajah orang yang belum pernah ia lihat, membayangkan apa pekerjaannya. Juga ada adegan ketika Kun menaruh surat maaf di dalam sepatu ibunya, meniru apa yang ibunya semasa kecil lakukan kepada nenek. Tidak mungkin Kun membayangkan sendiri detil ini – jadi pastilah dia benar-benar mengarungi waktu dan bertemu dengan ibunya waktu kecil.
Dan hal tersebut, buatku, mengecilkan perjalanan yang dilakukan oleh Kun. Setiap ada masalah, dia dengan convenient-nya dibawa oleh kekuatan pohon di taman untuk belajar dari anggota keluarga dari masa yang lain. Membuat kekuatan ‘time-travel’ itu benar-benar ada juga mengurangi nuansa fantasi yang diusung oleh cerita. Tidak lagi terasa sureal. Akan lebih memberikan impresi jika film tidak memberikan kepastian soal pertemuan Kun dengan orang-orang tersebut. Apalagi tokoh anjing peliharaannya juga dimunculkan sebagai karakter yang menyerupai manusia – yang sama sekali berada di luar konteks perjalanan menembus waktu. Jikapun memilih untuk tidak ambigu, film seharusnya mengambil rute yang sama sekali absurd, fantasinya betul-betul yang gak-masuk-akal seperti anjing yang menjadi manusia tersebut, sehingga lebih cocok dengan fantasi anak kecil seperti Kun.
Film ini membahas tentang ‘derita’ seorang anak pertama, yang sesungguhnya bukan berarti meniadakan cinta yang dirasa. Ada banyak ‘keuntungan’ yang diperlihatkan oleh film ini secara tersembunyi. Dalam kapasitasnya, film justru menyadarkan kita bahwa jadi anak pertama itu adalah anugerah dan keasyikan tersendiri yang tersembunyi di balik kecemburuan kekanakan.
Kemunculan sekuen time-travel yang seperti episode-episode ini juga membuat pace cerita sedikit gak imbang dan lumayan repetitif. Masalah – masuk sekuen – selesai dengan layar hitam. Penceritaan seharusnya bisa dibuat dengan lebih baik lagi. Memang agak mengecewakan jika kita mengingat ini adalah buatan dari sutradara sekreatif Mamoru Hosoda. Tapi bukan berarti film ini enggak bagus. Masih banyak kesenangan yang bisa kita dapatkan saat menonton. Penampilan voice akting yang meyakinkan – aku baca di IMDB versi amerika disuarakan di antaranya oleh Rebecca Hall dan John Cho yang membuat aku penasaran karena yang aku tonton ini adalah versi sub inggris yang berbahasa Jepang. Karakter-karakter yang ditulis seperti orang beneran sehingga relatable. Film ini menyentuh ranah yang tidak berani disentuh oleh animasi anak-anak kebanyakan, di mana tokohnya yang begitu muda dieksplorasi dengan sangat mendalam dan terasa begitu personal. The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for MIRAI.
That’s all we have for now.
Anak urutan keberapakah kalian? Pernahkah kalian pengen punya adik, atau pengen punya kakak? Dan sebaliknya, pernahkah kalian merasa menyesal udah minta adik, atau kalian harap kalian gak punya abang atau kakak?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Sudah satu bulan kita keluar dari tol 2018 dan mulai melaju di jalan panjang yang baru. Jalan yang kita harepin bakal mulus, melewati berbagai pemandangan yang seru. Siapa yang tahu rintangan dan polisi tidur seperti apa yang siap menghadang di balik tikungan sana. Namun kita mesti selalu siap. Jangan gentar. MY DIRT SHEET AWARDS KEDELAPAN hadir buat kamu-kamu yang masih sering ngelirik ke kaca spion. Yang mungkin masih ragu-ragu dengan keputusan yang sudah diambil tahun lalu. Yang memulai 2019 dengan tak begitu lancar sehingga menyangka “jangan-jangan tahun kemaren masih lebih baik dari sekarang”. Karena toh memang tak ada yang tahu pasti seperti apa ke depan. Maka, jadikanlah penghargaan-penghargaan berikut sebagai pengenang, selurus apa sih 2018 itu
Anyway, kali ini Penganugerahan dikembalikan ke tangan kita-kita, setelah tahun lalu terjadi ‘kekacauan’ dari para pembaca nominasi yang seenaknya sendiri hhihi
TRENDING OF THE YEAR
Kenyataan bahwa video tahunan Youtube Rewind yang biasanya ngetren, versi akhir tahun 2018 malah banyak dihujat, sejatinya bikin ‘ngeri’ juga sih. Apa memang tren-tren di 2018 sejelek itu? Atau para youtuber-pengisinya aja yang kelewat narsis sehingga video tersebut jadi gak asik lagi? Jadi, inilah nominasi yang paling ngehits, silahkan judge sendiri asik atau enggak scene perviralan dunia hhihi: 1.Es Kepal Milo Duh pas bulan puasa kemaren, gak keitung deh pelanggan kafe eskrimku yang meminta menu es kepal. Es dari Malaysia ini melejit, dijual di mana-mana, dengan jumawa menjadi tren sampai ada yang iseng menghitung kalori yang terkandung di dalamnya 2.Flossing Flossing atau The Floss adalah gerakan ‘tarian’ gaul di mana…. well, I’m not describing that! Banyak orang – remaja maupun orang dewasa – yang mempraktekkan Floss sejak kepopulerannya naik oleh aksi di televisi, bahkan tokoh game pun dirender untuk melakukan gerakan ini 3.Hey Tayo Aku gak nonton tv jadi gak terlalu ngeh ada acara ini, sampai saat mudik lebaran aku mendapati semua anak kecil di kampung nonton dan nyanyiin acara ini. Dan tentu saja, Tayo sukses jadi meme dan viral 4.K-Pop Tahun ini giliran musik dan idol pop Korea yang populer. Dikawangi grup girlband dan boyband semacam Blackpink, BTS, dan banyak lagi, mereka menuai sukses bukan saja di Indonesia, melainkan juga di belahan dunia lain 5. Sinetron Azab Terkenal karena judul episodenya yang bombastis dan berimajinasi tinggi. Setinggi ratingnya, karena Azab actually punya versi yang lebih ‘ngeri’ berjudul Dobel Azab 6. Tik Tok Aplikasi video tempat anak-anak muda nyalurin kreasi, challenges, nari-nari dan bikin lucu-lucuan.
Piala The Dirty pertama jatuh kepadaa:
K-Pop boleh saja punya aksi-aksi koreografi yang keren sebagai pengiring dari lagu-lagu mereka. Tapi My Dirt Sheet punya penilaian tersendiri atas bagaimana sebuah penampilan musik dikatakan terbaik. Tampil dan Musik; sejauh apa kalian rela melakukan sesuatu dengan bermusik
BEST MUSICAL PERFORMANCE
Nominasinya adalaaah 1. Cameron Post – “What’s Up?”
2. Childish Gambino aka Donald Glover – “This is America”
3. Slashstreet Boys – “I’ll Kill You That Way”
4. Tom Holland – lip sync to “Umbrella”
5. Vanellope von Schweetz – “A Place Called Slaughter Race”
Apakah Childich Gambino akan membawa piala sambil menari? Akankah tangan Tom Holland penuh oleh payung dan piala? Bisakah Cameron Post mendapat apa yang ia pantas? Atau Slashstreet Boys yang berjaya dengan lagu pembunuh mereka? Apa mungkin Vanellope berhasil dengan lagu Princess pertamanya? Eng ing enggg The Dirty jatuh kepadaaa
Ke-absurd-an kita lanjutkan dengan salah satu kategori paling eksulsif, eh salah, eklufis, eh, eksklusif! My Dirt Sheet. Kategori di mana tolol dan troll diberikan anugerah.
BEGO OF THE YEAR
Tepuk tangan dulu doonng buat para nominasi: 1. Ari “Wage/Weij” Irham
Kejadian salah baca judul film Indonesia di ajang FFI 2018 ini membuktikan ketampanan memang bukan apa-apa dibandingkan dengan keignorant 2. Cut Nyak Dien Masa Kini
Lebih tepatnya mungkin “Masa gitu” kali ya… atau mungkin “Masa ngaku-ngaku punya masalah” hhihi 3. Drama-Drama Vicky Prasetyo
Hidup mungkin memang membosankan jika gak ada drama. Tapi ya, gak ngundang-ngundang helikopter macam film aksi juga sih, jadinya bukan drama malah komedi 4. Para ‘Narasumber’ Serial “Who is America?”
Sacha Baron Cohen bikin reality show unik di mana dia menyamar demi mengungkap kebegoan, kesombongan, dan kesoktahuan orang-orang tinggi di Amerika 5. Titus Worldslide
Butuh ketrampilan berlari yang luar biasa untuk bisa jatuh dan meluncur hilang masuk ke dalam tirai di bawah ring seperti yang dipraktekkan oleh Titus O’Neil di depan penonton Saudi Arabia
Anugerah bergengsi ini jatuh kepadaaa
Harapannya sih semoga kita bisa lebih baik dengan menertawakan kesalahan, belajar darinya. Daripada emosian dan ujug-ujug bertengkar. Buat yang udah terlanjur bertengkar, My Dirt Sheet juga memberikan piala khusus loh. Sukur-sukur setelah dapat piala, jadi pada baikan.
FEUD OF THE YEAR
Nominasinya adalah: 1. Bibit Unggul Twitwar Ketika mahasiswi pinter kepepet oleh fans dari ilustrator yang ia sindir, ‘perang’ mereka jadi hiburan buat kita 2. Becky Lynch vs. Everybody Menyebut diri sebagai “The Man”, Becky Lynch nantangin semua orang di-backstage, bahkan di twitter. Fans tentu saja bersorak sorai melihat kearoganannya yang keren 3. Creed vs. Drago Konflik Creed lawan Drago dilatarbelakangi sejarah kelam; ayah Drago membunuh ayah Creed di atas ring. Pertandingan tinju belum pernah menjadi sepersonal ini. 4. Laurie Stroode vs. Michael Myers Empat puluh tahun loh, seteru dua orang ini. Empat puluh halloween Laurie mendendam sehingga malah parnoan. Makanya jadi epic saat posisi mereka seolah berganti – Laurie yang memburu Michael 5. Lukman Sardi vs. Reviewers Lukman Sardi sempat ‘nyari’ ribut dengan tulisan instatorynya soal film hanya boleh dinilai ama yang pernah dan ngerti cara membuatnya 6. Yanny vs. Laurel Sama kayak Dress di tahun 2017, Yanny dan Laurel membagi orang-orang menjadi dua; kubu yang mendengar suara itu sebagai “Yanny”, dan yang mendengarnya “Laurel”. Aku juga heran sih, kok bisa Y ama L jadi mirip
Pemenangnya, dan silahkan rebutan piala, adalah…
Segala energi berantem itu memang mestinya disalurin lewat video game aja. Dijamin memuaskan dan gak bikin semakin makan ati. Apalagi game sekarang udah tampil realistis banget, fitur online juga berkembang pesat. Tawuran jadi makin aman, deh
GAME OF THE YEAR
Beriku adalah para nominasinya 1. Dragon Ball Fighterz
Tak disangka-sangka sebagus itu, game terbaru Dragon Ball ini sukses menendang pantat angka penjualan game Marvel vs. Capcom di pasaran
2. God of War
Banyak orang gak sabar memainkan Kratos yang sudah insaf dan kini punya anak untuk berbagi bunuh monster
3. Harry Potter: Hogwarts Mystery
Kapan lagi dengan hape doang kita bisa masuk Hogwarts dan menjalani tujuh-tahun di sekolah sihir dengan segala aktivitasnya
4. PUBG Mobile
Nyaris semua orang yang kukenal main game ini di hapenya.
5. Spider-Man
Menawarkan pengalaman menjadi Spider-man dalam kehidupan sehari-hari.
Biar gak loading kelamaan, inilah dia pemenangnyaa
Perang, sudah. Perang-perangan, juga sudah. Sekarang waktunya ngademin suasana dengan kategori favoritkyu~ Marilah kita mendoakan supaya cewek-cewek yang masuk nominasi ini mendapat jalan yang lurus dan lancar menuju kesuksesan. Amiinnn
UNYU OP THE YEAR
Sambutlah para nominasi, di antaranya: 1. Alexa Bliss
Setelah gagal dua tahun berturut, Alexa nongol lagi. Dan meski tahun 2018 dia lumayan lama cedera, Si Goddess ini gak kehabisan akal untuk tampil licik dan menawan 2. Cailee Spaeny
Memukau di Pacific Rim: Uprising, Cailee langsung menunjukkan kemampuannya memainkan peran yang berbeda di Bad Times at El Royale 3. Chloe Grace Moretz Satu lagi pemain lama, yang udah langganan masuk nominasi. Chloe tahun ini balik dalam dua film yang menantang aktingnya lebih lanjut; Suspiria dan The Miseducation of Cameron Post 4. Hailee Steinfeld
Tampil dengan manis sekali di Bumblebee, Hailee bahkan mengungguli pencapaiannya sendiri yang sebelumnya ia patri di Edge of Seventeen 5. Mackenzie Foy
Satu-satunya yang bikin film Nutracker terbaru itu layak tonton. Foy bersinar, aku akan senang sekali nungguin peran dia berikutnya di film yang lebih berarti 6. Vanesha Prescilla
Alumni Gadsam 2014 yang langsung melejit lewat perannya sebagai Milea di Dilan 1990. Tapi aku lebih suka dia di film #TemanTapiMenikah sih
Akankah Bliss atau Moretz akhirnya mendapat piala? Ataukah kali ini adalah giliran anak-anak baru untuk membuka jalan? The Dirty goes to…
MY MOMENT OF THE YEAR
Pencapaian anak muda seperti di atas membuatku ingin berefleksi sebentar atas apa yang sudah kulakukan di tahun 2018. Looking back, I will say I have no regrets. Yah, meskipun kafe eskrimku di tengah tahun pada akhirnya tutup. Tapi itu tentu saja membuka jalan yang baru. Aku bisa jadi lebih fokus ke film. Aku bisa makin serius di Forum Film Bandung. Aku juga jadi punya waktu lebih untuk berkarya. Buku pertamaku, Review Jaman Now, akhirnya terbit – paling tidak sampai penerbitnya kabur enggak jawab-jawab WA lagi. Dan aku juga sudah berani nyoba-nyoba bikin film pendek. Dua, film pendek. Setelah dipikir-pikir, itulah yang kubanggakan di tahun 2018. Aku akhirnya mencoba. Dan ketagihan, karena hasilnya masih belum membuatku puas. Semoga tahun 2019 aku bisa terus bikin-bikin lagi, kali ini dengan lebih bagus.
Kadang, memang, kita pengen mengulang menjadi anak-anak. Yang jalannya masih lebih panjang. Yang kesempatannya terbuka masih lebih luas. Yang semangatnya seperti tak terbatas. Kadang, kita seperti lupa bagaimana melihat dunia dari kacamata anak kecil. Makanya, My Dirt Sheet memberikan award buat kategori Best Child Character; bukan tokoh anak-anaknya, melainkan buat penulisan tokohnya. Karena menjadi orang dewasa yang berusaha kembali melihat dunia dari sudut anak kecil itu tidak gampang. Emosi yang disajikan harus tepat, dan benar adanya.
BEST CHILD CHARACTER
Nominasi untuk kategori ini adalaaahh
1. Kayla – “Eight Grade” Perasaan dan apa yang dilalui oleh anak kelas delapan yang berusaha populer ditulis ke dalam tokoh Kayla dengan begitu dekat pada kenyataan. 2. Miles Morales – “Spider-Man: Into the Spider-Verse” Konfliknya dengan ayah; perihal apa yang ingin ia lakukan jadi lapisan-dalam yang bergerak paralel dengan tugas-luarnya sebagai Spider-Man generasi baru. 3. Moonee – “The Florida Project” Lewat kenakalan, kepolosan, dan keceriaan Moonee kita diperlihatkan betapa pentingnya keberadaan orangtua bagi seorang anak 4. Stevie ‘Sunburn’ – “Mid90s” Kalo Stevie lain lagi, ia mewakili perasaan anak-anak yang sebenarnya juga memerlukan teman dibandingkan melulu sosok pengasuh. 5. Theo – “The Haunting of Hill House” Dalam serial rumah berhantu Netflix, penulis mempersonifikasikan lima stages of grief ke dalam sifat tokoh-tokohnya. Theo yang punya kemampuan ESP, mewakili stage Bargaining.
Tanpa banyak tawar-menawar lagi, The Dirty jatuh kepadaa…
Anak-anak di kategori atas, mereka sama sekali gak jengkelin. Mereka bahkan lebih dewasa dari nominasi di kategori berikut ini. Kadang orang dewasa memang lebih menjengkelkan, dengan kata-kata yangt gak kalah tak-make-sense nya dari racauan anak-anak. Pembaca sekalian, inilah kategori selanjutnya:
MOST ANNOYING QUOTE
Nominasinya adalah:
1. “Ada aaaaapa ya sebenarnya?” – Aruna
2. “Makan daging dengan sayur kol” – lirik lagu yang jadi kutipan buat orang yang berusaha ngelucu
3. “Mashook, Pak Eko!” dan versi lainnya; “Mantul, Pak Eko!”
4. “Rindu itu berat” – Dilan
5. “Skidipapap Sawadikap” – immature netizens
Untuk kali ini The Dirty jatuh kepada kutipan yang aku pake buat menjengkelkan orang-orang:
Adegan dari Aruna & Lidahnya itu kocak, aneh, campur menjengkelkan. Menakjubkan gimana film berhasil membuat adegan yang bekerja dalam banyak tingkatan seperti demikian. Untuk itulah My Dirt Sheet mengadakan kategori berikut, meskipun kami sudah punya Top-8 Movies yang terpisah. Karena terkadang adegan-adegan keren itu gak melulu ada di film-film yang bagus.
Perjalanan film sepanjang 2018 memang dihantui oleh film-film horor yang jumlahnya banyak banget. Demi mengenang itulah, maka My Dirt Sheet kali ini mengeluarkan kategori spesial.
DEMON OF THE YEAR
Nominasi untuk kategori ini adalah tokoh-tokoh setan yang sudah berhasil menjadi ikonik; entah itu karena penulisannya, karena bangunan ceritanya, ataupun simply karena penampakannya yang mengerikan. Mereka adalah…. 1. Bent-Neck Lady – serial “The Haunting of Hill House” Sosok hantu yang paling bertanggungjawab ngehasilin mimpi buruk; lehernya itu loh! Di balik kengeriannya, hantu ini ternyata punya jalan hidup yang tragis 2. Ivanna – “Danur 2: Maddah” Ah aku gak akan pernah lupa adegan Ivanna ngangguin orang zikir – badannya naik turun dengan gerakan yang creepy – dan kemudian memecahkan kaca dan breaking the 4th wall; menakuti kita semua 3. Michael Langdon – serial “American Horror Story: Apocalypse” Antichrist yang berusaha menaklukan kelompok penyihir ini punya segudang trik dan manipulasi menyeramkan dalam melancarkan aksinya. Tak lupa pula, dia punya sisi humanis yang membuatnya menjadi karakter yang menarik 4. Suzzanna – “Suzzanna: Bernapas dalam Kubur” Tidak ada yang lebih mengerikan daripada hantu yang misinya untuk balas dendam. Tapi tidak segampang itu, Ferguso. Suzzanna ditulis begitu manusiawi sehingga kita diperlihatkan bagaimana dia semakin tragis berusaha untuk menahan amarah kesumatnya 5. Valak – “The Nun” Iblis dari neraka yang mengambil wujud biarawati akhirnya punya film sendiri!
Dan yang sukses membawa piala ke alam baka adalaahh
Gak sia-sia, kan, Luna Maya didandanin – dipakein topeng prostetik, supaya meyakinkan menjelma menjadi sosok Suzzanna. Karena penampilan itu toh penting gak penting. Kategori berikut ini dipersembahkan buat fashion-fashion super unik yang kalo dipake bakal bikin penampilan kita lain daripada yang laen. Bikin kita menonjol di jalanan!
FASHION OF THE YEAR
Nominasinya adalaaah 1. Baju koko Black Panther
2. Baju koko… Thanos!
3. Jaket Dilan
4. Kacamata Velveteen Dream
5. Setelan, literally, kebesaran Alessia Cara
Penampilan paling unik tahun 2018 adalaaah
Setelah ganti penampilan dan menarik hati, ayo kita mencari pasangaann hhihi jadi kayak lagu Chibi Maruko.
COUPLE OF THE YEAR
Nominasi kategori ini bisa bikin kalian baper, karena memang mereka semua ini so sweet banget 1. Ally & Jack
Walaupun berakhir tragis, kisah dua orang ini sangat menginspirasi. Siapa coba yang gak kepingin berkarya bersama pasangannya? 2. Ayudia & Ditto Kisah mereka di film #TemanTapiMenikah bisa jadi relationship goal banget buat orang-orang yang berkubang di friendzone. Untuk membuat makin sweet lagi, dua pemeran film ini berakhir beneran jadian 3. Dilan & Milea
Highschool sweethearts ini sudah ditonton oleh jutaan pasangan yang diam-diam pengen menjadi seperti mereka 4. Milly & Mamet
Suri tauladan buat pasangan milenial yang baru mengarungi kehidupan rumah tangga, nih 5. Prince Harry & Meghan
Tau dong cerita manis di balik pasangan darah biru kerajaan Inggris ini? Gimana si cewek dulu hanya bisa berfoto di depan istana, dan kini… cewek-cewek pasti bilang “mauuuuuu” 6. Rachel & Nick Satu lagi cerita impian ketika seorang gadis mengetahui ternyata pacarnya anak orang kaya
Dan The Dirty diberikan kepadaaa..
Tentu saja akan sedih sekali jika kita melihat pasangan-pasangan seperti itu harus terpisahkan. Momen bahagia akan lenyap semudah Thanos menjentikkan jarinya. Orang-orang yang terpisah dari yang tercinta; dari keluarga, teman, kerabat. Marilah kita mendoakan mereka korban gempa seperti di Lombok, gempa tsunami di Palu, tsunami di Selat Sunda. Korban kecelakaan seperti jatuhnya pesawat Lion Air. Korban penembakan sekolah, korban terorisme. Dan kepada jiwa-jiwa yang berjasa, baik yang dikenal seperti Stan Lee, Bruno Sammartino, Roddy Piper, Dolores the Cranberries, Gogon, Stephen Hwaking, dan banyak lagi – maupun yang tak dikenal. Kepada mereka semua yang tak bisa ikut lagi jalan bersama di 2019, aku ajak kita semua untuk mengheningkan cipta.
Mulai!
….
….
MOMENT OF SILENCE
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
Penghargaan terakhir diberikan untuk kejadian paling tak-terduga, paling heboh, paling out-of-nowhere yang terjadi di 2018
SHOCKER OF THE YEAR
Nominasinya sebenarnya banyak, semua hal yang udah bikin kita shock dan surprise, yah meskipun dengan dunia yang semakin aneh, rasanya kita juga semakin bebal ama yang namanya ‘mengejutkan’. Berikut adalah beberapa yang menurutku cukup mengagetkan 1. Kane jadi walikota! 2. Ronda Rousey debut di WWE!! 3. Daniel Bryan dibolehin bertanding setelah sebelumnya divonis pensiun-dini!!! 4. Jokowi bisa naik motor! 5. Gadis Sampul diadain lagi!! 6. Netflix ngeluarin konten interaktif!! 7. Ada concentration camp buat muslim di Cina!?! 8. Katy Perry ama Taylor Swift baikan?! 9. Printer 3D yang bisa ngeprint ke kulit manusia!! 10. Bill Cosby ngaku!!! 11. Sudahkah aku nyebutin Stephen Hawking, manusia paling pintar itu meninggal dunia!?
Well, ya karena Hawking ninggalin kita sesuatu yang sangat mengejutkan…
OH MY GAWD!!
Apakah dunia beneran kayak di serial Rick dan Morty? Apa bakal ada banyak jenis Spider-Man? Apa di dunia lain sana ada My Dirt Sheet Awards juga dengan pemenang yang berbeda? Apa 2018 di dunia lain menyenangkan, atau lebih kacau? Siapa tau lebih maju?
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners. And there are losers.
Atau begitulah yang kita sangka, karena siapa tau ada dunia lain yang hanya punya winners atau losers saja.
Yang jelas, we still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.
Selamat Tahun Baru, Semua!!!! Tetap tersenyum yaaa