RESIDENT EVIL: WELCOME TO RACCOON CITY Review

“Love brings you home”

 

Untuk urusan film adaptasi video game, kita para nerds bisa lebih ganas daripada zombie. Kita akan bergerombol memadati bioskop, lalu pulang dengan jalan terseok. Menggerutu. Mengerang. “Argghh apaan gak seru! Jauh banget ama video gamenya!!” Seri Resident Evil dari Paul W.S. Anderson secara konstan terus bigger and bigger sebagai ganti dari mengusung cerita original yang berbeda dengan seri gamenya. We hated those movies. Lebih mirip mindless action flick ketimbang survival horor. Jadi demi menjawab erangan fans dan kecintaannya sendiri terhadap franchise ini, seperti Claire Redfield di dalam cerita yang pulang ke kota asalnya, sutradara Johannes Roberts memulangkan kembali film Resident Evil. Dia mereboot seri film ini dengan mengeset cerita balik ke akar video game originalnya. Mencuatkan elemen survival horor. Membangun atmosfer kelam. Membuat suasana yang persis dengan game. Menghadirkan nama-nama yang sudah dikenal baik. Roberts benar-benar membuat sesuatu yang kita minta. Tapi aku keluar dari teater dengan tetap mengerang. Dia membuat semuanya sama dengan game, kecuali karakternya.

“WUARRRGGHHH!!!”

reidentcreepy-new-nightmare-trailer-for-resident-evil-welcome-to-raccoon-city
Welcome to Cringe City

 

Sekarang aku jadi kangen ama Alice dan Resident Evil-nya Anderson. Yea mereka gak bagus, tapi setidaknya ada energi di baliknya. Resident Evil: Welcome to Raccoon City ini mirip game, ceritanya lebih horor, tapi ternyata malah bland. Bahkan ledakannya aja terasa hampa. Semuanya sama dengan game yang udah dimainkan ternyata punya kelemahan tersendiri, yakni menjadikan jalan cerita tak lagi punya hook. Sehingga film harus bergantung kepada karakter-karakter. Dan pada mereka itulah, film ini tersungkur paling keras.

Roberts menggabungkan elemen cerita pada dua game pertama (Resident Evil dan Resident Evil 2) ke dalam seratus menit. Penonton yang punya nostalgia sama game-game tersebut bakal kesengsem berkaca-kaca saat melihat lokasi dan skenario yang udah dikenal, terhidupkan ke dalam film ini. Claire Redfield yang kembali ke Raccoon City untuk bertemunya abangnya, Chris. Sementara Chris – beserta rekan-rekannya – dikirim menyelidiki mansion di hutan. Rumah gede tempat tim yang dikirim sebelum mereka tidak mengirimkan kabar apa-apa. Claire menemukan ada yang gak beres di kota mereka. Penduduknya berubah menjadi beringas, ingin memakannya. Jadi Claire pergi ke kantor polisi. Di sana dia akan team up dengan Leon si polisi anak baru. Sampai akhirnya mereka menelusuri jejak Umbrella Corporation yang merupakan dalang dari zombie outbreak di kota.

Kalian tahu dong meme Leonardo DiCaprio yang duduk nunjuk layar (dari adegan film Once Upon a Time in Hollywood)? Yea, that’s us for the majority of this Resident Evil movie. Banyak adegan, maupun dialog, yang mereferensikan hal-hal populer dari gamenya. Seperti adegan zombie botak yang lagi makan berbalik pelan menghadap kamera, atau ketika ada adegan mecahin puzzle di piano, atau ketika term “Jill’s sandwich” diucapkan. Dan bukan hanya dari dua game itu saja, Roberts meluaskan librari nostalgianya kepada versi remake dan versi alternatif yang hadir di konsol game lain. Sebagai pembungkus dari semua itu, Roberts menggunakan atmosfer horor yang dicomotnya dari horor-horor 80an. Suasana ala horor John Carpenter, ditambah aksi survival dari zombie yang bisa muncul menyerang dari mana saja, film ini tampak sudah punya model atau formula yang oke sebagai sebuah sajian horor yang menghibur. Aku bisa membayangkan kalo penonton yang gak pernah main gamenya akan bisa lebih menikmati suasana menyeramkan dan misteri kota Raccoon. Terutama penonton horor mainstream, karena film ini memang juga memasukkan elemen horor yang seperti hantu-hantuan sebagai pengeset mood alias sebagai pembuka. Sementara penonton nerd yang main gamenya bakal lebih menikmati lewat sajian nostalgia, karena kita tahu seberapa tipis cerita, apa yang bakal terjadi di balik semuanya.

Resident Evil bicara tentang kota yang menjadi korban dari perusahaan yang tidak bertanggungjawab. Sekali lagi rakyat jadi tumbal bagi perbuatan orang kaya. Elemen lebih gelapnya menyangkut anak-anak turut dijadikan bahan percobaan. Dari konteks itu, berkembanglah berbagai game, film, yang terus lebih besar. Sehingga franchise ini butuh reset. Sayangnya, bahkan setelah direset dengan penuh passion dan cinta terhadap seri ini pun, Resident Evil ini gagal melihat apa yang seharusnya digali lebih dalam untuk membuat ceritanya jadi horor survival kemanusiaan yang sebenarnya.

 

Dengan segera penonton baru dan penonton nerd ini akan jadi akur. Alias ama-sama kehabisan hal menarik yang bisa dinikmati di sini. Sama-sama gak punya pegangan untuk bertahan. Cerita tipis – yang bahkan tidak benar-benar memenuhi fungsi sebagai prekuel karena tidak membahas mendalam soal perusahaan korup yang menjadikan satu kota sebagai tempat buangan limbah eksperimen yang dilakukan dengan tidak bertanggungjawab – juga tidak dibackup dengan karakterisasi yang menarik. Claire si karakter utama tidak banyak beban emosional. Motivasinya kembali ke kota yang ia benci (dan in a way, ia takuti) adalah untuk bertemu dengan abangnya, dan itu terpenuhi dengan cepat. Enggak ada tantangannya, enggak ada dramanya. Setelah itu, Claire hanya ada di sana untuk bereaksi dengan kejadian-kejadian, sembari terflashback ke masa kecil. Dia juga dibikin jago banget, beberapa kali menyelamatkan Leon yang entah kenapa dibikin sebagai total joke di sini. Dua karakter utama game Resident Evil 2 dikasih dinamika yang sangat basic dan boring, bahkan pemainnya tampak bosan memainkan karakter mereka. Dan Chris serta yang lainnya, just generic. Gak ada motivasi personal sama sekali. Cringe malah, karena cuma mencoba melawak dan menyumpah serapah saat keadaan menjadi mengerikan.

Perubahan karakter memang jadi sumber utama blandnya film ini. Aku akan menyebut hal yang tidak berani disebut banyak orang, terutama kritikus karena permasalahannya memang sensitif; mereka mengganti sosok karakter-karakter yang sudah kita kenal menjadi sama sekali berbeda. Jill, diganti dari blonde white girl, menjadi perempuan berkulit gelap berambut ikal. Leon, diganti jadi keluar dari stereotipe jagoan amerika. Pergantian itu apalagi kalo bukan supaya karakter film ini beragam. Supaya gak kulit putih semua. Sebenarnya bukan masalah digantinya, melainkan karena naskah tidak memberi mereka kesempatan untuk membuktikan diri bahwa mereka adalah karakter tersebut. Film hanya memparadekan nama mereka setiap kali ada dialog. Menyebut-nyebut nama walaupun kita udah tahu mereka itu siapa, seolah cuma nama itulah identitas mereka.

reidentevillcome-to-raccoon-city-terbaru-rilis-layar-id
All I see is bunch of NPCs saking kosongnya karakter mereka

 

Ketika karakter yang sudah dikenal (dari game, dan/atau dari film sebelumnya) diubah, penonton perlu diintroduce ulang kepada mereka. Dan itu gak bisa hanya dengan nama saja. Apalagi mereka adalah karakter utama dalam video game. Karakter yang diperankan oleh pemain, menempuh banyak petualangan bersama. Sehingga pemain yang bakal jadi penonton mereka dalam film, mengenal mereka, mengidentifikasi diri sebagai bagian dari mereka. Mengganti karakter mereka begitu saja, merampok penonton dari identifikasi ini. Mereka jadi asing, gak konek lagi. Filmlah yang harus menyambung ini kembali. Jill, Leon, bahkan Chris dan Claire – empat yang kita mainkan sebagai diri kita di game, tidak dibuild up dengan proper oleh film ini. Mereka hanya ditampilkan. Menyebut nama. Ditambah dengan penampilan yang dibuat sama sekali berbeda. Gak heran kenapa kita gak konek sama mereka. Mereka basically adalah nobody, tanpa background story, tanpa karakterisasi untuk kita pegang.

Melihat mereka di film ini, aku jadi berpikir kalo Paul W.S. Anderson justru telah memilih cara yang tepat. Mengambil karakter lain di luar game sebagai karakter utama. Membentuknya sebagai protagonis dan perwakilan dari kita. Kemudian baru menampilkan karakter-karakter yang sudah kita kenal di game. Dengan begitu, berarti Anderson bisa dengan lebih bebas membangun cerita dan dunia sendiri, dengan tidak ‘mengganggu’ karakter-karakter original. Taktik yang sama digunakan oleh Mortal Kombat (2021), menghadirkan karakter baru sebagai fokus kita untuk mendekatkan diri, sementara bisa lebih bebas menampilkan karakter-karakter ikonik, tidak perlu mengubah atau membangun ulang mereka. Karena ya memang pasti susah membangun karakter seperti Jill, Leon, Claire, Chris yang empat-empatnya jagoan utama sekaligus dalam satu film. Suicide Squad 2016 sudah membuktikan itu adalah hal yang nyaris mustahil.

Waktu kecil, aku terblown away oleh klip live-action intro game Resident Evil pertama. Waktu itu rasanya nambah serem banget ke petualangan nanti, dan juga kayak bikin gamenya semakin… real? Haha, kalo ditonton sekarang sih klip itu kerasa banget cheesy-nya. Efeknya keliatan banget disamarin oleh warna hitam putih. Tadinya aku berharap film Welcome to Raccoon City ini paling enggak bisa ngasih feel yang sama, tentunya dengan scare dan efek praktikal yang lebih meyakinkan. Turns out, efek dalam film ini kadang oke, kadang lebih cheesy daripada klip tersebut. Akting karakternya pun begitu, malah lebih cringe mengingat mereka aktor yang lebih profesional. Yang paling bikin aku kecewa ya, ternyata nonton film ini gak terasa apa-apa. 

 

 

 

Baik versi sebelumnya maupun versi yang ini, semuanya punya kekurangan besar masing-masing. Versi yang ini meski punya atmosfer dan elemen horor seperti (gerak kamera dan penggunaan cahaya) yang lebih seram, yang lebih mendekati estetik gamenya, hadir dengan sangat datar. Karakter-karakternya tidak bisa kita kenali. Mereka direduce jadi pelontar one-liner dan template konyol. Tidak ada motivasi personal. Mereka cuma berlarian mencari jalan keluar, bereaksi pada kejadian. Tidak belajar darinya. Ceritanya memang tidak membahas mendalam. Penggabungan cerita dua gamenya tidak mulus. Dan banyak hal yang konyol. Kejadian yang ditempatkan sebagai inciting incident di sepuluh menit awal aja sebenarnya udah cukup untuk meruntuhkan film ini. Mana ada zombie yang melipir ilang gitu aja padahal ada dua mangsa potensial lagi berdiri di jalanan di dekatnya. But hey, kita zombie kalo udah soal film adaptasi game. Kita akan terus memenuhi bioskop sambil meneriakkan hal yang ingin kita santap tapi tidak kunjung diberikan oleh filmnya. “Braaaaiiiiinnn!!”
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for RESIDENT EVIL: WELCOME TO RACCOON CITY.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Ada gak sih sutradara yang pengen kalian lihat ngedirect Resident Evil? How you think he/she will make things different for the movie?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DON’T LOOK UP Review

“It’s funny because it’s true”

 

Film-film tentang bencana selalu dimulai dari presiden yang tidak mendengarkan ilmuwan. Kalimat yang jadi meme di internet tersebut lucu, karena memang begitulah biasanya cerita-cerita bencana dalam film terjadi. Tapi kalimat tersebut mulai tidak lagi demikian lucu, ketika orang-orang menyadari kejadian itu sedang terjadi juga di dunia nyata kita. Bahwa film – karya seni – memanglah meniru kehidupan. Jadi orang-orang mulai ngebash Don’t Look Up. Komedi satir terbaru dari Adam McKay yang tega-teganya menyinggung soal reaksi pemerintah – reaksi manusia – terhadap pandemi Covid-19, di balik kedok cerita yang berdasarkan laporan jurnalis perihal perubahan iklim atau global warming. But hey to be fair, mungkin sebelum menggodok naskahnya McKay tidak meniatkan, bahkan belum tahu bakal ada pandemi. Tapi catatan dunia menangani pandemi baik itu di Amerika, hingga Indonesia, seperti menuliskan diri sendiri ke dalam naskah McKay. Sehingga dia membuat film ini seperti sebuah cerita pandemi yang tidak bicara tentang pandemi!

Jadi, kita-kita sendirilah – reaksi kita menghadapi pandemi, reaksi kita terhadap film ini – yang actually memberikan power kepada Don’t Look Up. The joke is on us. Untungnya Don’t Look Up lebih bijak daripada sekadar cerita yang menuding kebegoan umat manusia. Karena di balik komedi-gelapnya, McKay telah menggariskan bukan jawaban, melainkan lebih seperti gagasan soal lebih menghargai hidup dan kalo bisa kita semua kurang-kurangilah ego hidup di dunia fana.

lookmXkEyXkFqcGdeQWRvb2xpbmhk._V1_
Kalo kata Max Black di Twitter “Kirain drama, ternyata film comety”

 

Di mataku, McKay punya reputasi sebagai sutradara yang mampu menjelaskan banyak hal rumit dengan sederhana dan malah lucu. Seperti, ketika di The Big Short (2016) dia berhasil menjelaskan peristiwa krisis finansial 2007-2008 lengkap beserta istilah-istilah ekonomi dan perbankan dengan nada komedi yang solid sehingga aku yang sama sekali buta akan hal tersebut tidak terbengong-bengong, malahan sangat menikmati dramanya. Sehingga sekarang, bagiku menarik sekali melihat pendekatan yang ia lakukan dalam mempersembahkan masalah perubahan iklim ke dalam kiasan sci-fi tentang komet yang jatuh menimpa bumi. Yang dilakukan McKay di sini adalah membuat permasalahan iklim ataupun komet yang sering disepelekan banyak orang karena jauh alias masih lama itu menjadi terasa amat, sangat, superduper dekat. 

Bagi astronomer, nemuin komet merupakan prestasi. Bisa menamai komet dengan namamu adalah salah satunya. Tapi perayaan komet yang dilihat Dr. Mindy dan muridnya, Kate Dibiasky terpaksa harus berakhir prematur. Karena menurut hitungan, komet besar tersebut ternyata melaju menuju bumi. Tepatnya, akan membuat bumi kiamat dalam waktu sekitar enam bulan lagi. Jadi Dr. Mindy dan Kate harus segera melaporkan temuan mereka ke presiden, dengan harapan tindakan pencegahan bisa segera dilakukan. Namun, reaksi Bu Presiden, orang-orang yang berkepentingan, dan bahkan sebagian masyarakat pun ternyata tidak seperti yang diharapkan oleh Dr. Mindy dan Kate.  

Presiden yang hanya peduli sama citra. Yang cuma mau bergerak jika itu berarti keuntungan perolehan suara baginya, maka selalulah diadakan selebrasi. Media yang suka menutupi kejadian dan lebih milih mendahulukan rating. Masyarakat dan netijen yang failed untuk melihat kepentingan suatu hal, melainkan lebih tertarik pada gosip dan pada betapa gantengnya orang yang muncul di televisi. Pada gambaran-gambaran sosial seperti inilah satir dan sindiran Don’t Look Up menunjukkan performa sangar yang jadi hiburan utamanya. Bencana yang mestinya bisa cepat diatasi, jadi lama dan berlarut-larut karena bukan saja menyepelekan dan tidak percaya, pemerintah lebih suka untuk mengurusi dulu isi kantongnya. Dan orang-orang terombang-ambing sehingga akhirnya turut mengambil keputusan salah dan bego karenanya. Di sinilah kita dengan gampang menarik garis kepada penanganan pandemi yang parah dari pemerintah. Running gag soal snack gratis yang dijual oleh komandan tinggi negara itu? Yup kita gak salah jika mengaitkannya denagn keputusan pemerintah menjual kepada rakyat hal-hal yang semestinya gratis dan seesensial makanan. Film ini dibuat oleh orang Amerika yang resah sama pemerintah mereka yang pinter-pinter blo’on. Dan sebagaimana yang terbaca, lucunya, film ini juga terasa sama dekatnya bagi kita yang orang Indonesia.

Beneran, cuma perlu sedikit perubahan kok untuk membuat film ini benar-benar relate total sama Indonesia. Perubahan kayak, dituker; si Jonah Hill yang jadi presiden dan Meryl Streep jadi sosok di belakangnya yang dibecandain orang sebagai ibunya. Atau karakter bilyuner gadget yang diperankan Mark Rylance dibuat mengharuskan semua orang ngeinstall app buatannya untuk perlindungan dari komet.  I’m sorry jika terdengar terlalu political. But yea, everything is about politics. Film ini jelas dibuat berdasarkan ketidaksukaan terhadap itu. Karena padahal tidak semuanya mesti harus politik. McKay actually nulis dialog soal kenyataan sesungguhnya bahkan lebih parah, karena mereka-mereka (pemerintah) itu tidak sepintar itu untuk menjadi sejahat yang kita kira. Karena memang padahal ada hal yang lebih penting. Kesehatan, keselamatan hidup orang banyak. Keselamatan planet. Film menuliskan concernnya dengan sangat cerdas. Menyindir dengan, turns out, sangat tepat. Makanya terasa sangat lucu. 

lookvlcsnap-2021-12-25-11h42m56s324
The writing is funnier than most comedies I’ve watched this year.

 

Di balik satirnya itu, film sesungguhnya ingin memperlihatkan yang terburuk dan yang terbaik dari umat manusia. Bukan salah film kalo yang ia gambarkan jadi betul-betul relevan sehingga kayak menunjuk-nunjuk muka kemanusiaan. Karena yang ditampilkan sebenarnya berimbang. Penggalian mendalam dari sosial penanda jaman yang kita rasakan. Betapa mudahnya orang yang dijadikan meme walaupun sesungguhnya dia yang benar, itu juga digunakan untuk menunjukkan betapa lihainya kita terhadap teknologi. Menggelar konser kemanusiaan, sekilas tidak berarti langsung kepada masalah, tapi itu juga jadi bukti kuatnya persatuan jika kita semua sudah sadar. Don’t Look Up bukannya tidak ada plot. Ilmuwan Dr. Mindy dan Kate bukanlah ada di sana untuk memperingatkan semua orang dan mereka selalu benar. Masing-masing juga punya kesalahan.

Ada pilihan yang mereka ambil, yang berujung pada pembelajaran. Pada Dr. Mindy yang diperankan penuh range emosi oleh Leonardo DiCaprio, kita melihat development dari seorang profesor yang belum publish jurnal, nervous jadi pusat perhatian tapi dia pengen membuktikan diri, dan akhirnya terlena juga ketika mendapat sedikit attention dan posisi. Dan bahkan karakter yang difungsikan sebagai kompas moral seperti Kate, juga punya drama. Jennifer Lawrence jadi korban bully udah seberpengalaman DiCaprio jadi korban bencana alam; di sini Kate yang ia mainkan adalah karakter yang paling amburadul oleh kejadian. Dia yang nemuin, tapi dia yang paling diledek, diacuhkan, dikucilkan. Mencapai emosional seperti itu dengan tetap menjaga tone yang humorous jelas bukan prestasi mudah. Kate-lah yang menghantarkan kita kepada elemen agama yang dimuat oleh film ini. Elemen yang sekilas kayak di permukaan, tapi sesungguhnya punya statement yang tak kalah kuatnya. Elemen itu datang dari ‘tempat’ yang tak terduga, dan actually adalah yang paling dekat dengan jawaban yang dipunya oleh manusia di film ini. Karena lowkey film ini bicara tentang kesombongan manusia yang merasa punya power di dunialah yang membuat kiamat itu tampak berlipat kali lebih buruk.

Masih banyak lagi aktor-aktor gede yang ikut bermain di sini, dan mereka semua on-board banget dengan yang ingin disampaikan oleh film. Mereka total menghidupkan karakter-karakter mereka yang tampak konyol. See, mereka di sini tidak berusaha keras untuk tampil konyol, karakter-karakter mereka yang begitu relate dengan kejadian yang terjadi di dunia nyatalah yang membuat mereka lucu. Lucu yang ironis, yang membuat kita balik mempertanyakan diri “Mau sampai kapan kita hidup sekonyol ini?” Jadi, ya di balik komedi memang ada kesuraman yang merayap. Ada suatu ketakutan bahwa dunia kita bisa saja berakhir seperti yang diperlihatkan film. Ini membuat kita jadi sejajar dengan karakter film yang takut dunia mereka dihantam komet. 

Banyak karakter, banyak sindiran komedi, banyak dark yang melatarbelakangi, film ini tidak sekalipun tersandung dalam menampilkan semuanya. Kamera film tidak terjebak (dan tidak merasa perlu) untuk menyorot ensemble cast sekaligus dalam satu frame. Melainkan fokus kepada menghasilkan berbagai rasa yang diniatkan. Cut-to-cut film memang terkadang tampil too much pada bagian eksposisi dan pada bagian membandingkan dua kejadian sekaligus, tapi saat menguarkan komedi ataupun yang bikin kita geram, film dengan bijak fokus memperlihatkan reaksi dan ekspresi. Sehingga walaupun pace film terasa cepat, kita tidak merasa kebingungan ngikuti cerita ataupun perasaan yang diniatkan, tidak merasa ketinggalan. Semuanya tampil dengan keseimbangan luar biasa.

 

 

 

Baru inilah film yang benar-benar menjadi penanda era pandemi. Era idiocracy. Dan film ini bahkan sama sekali tidak bicara tentang virus tersebut. Tidak ada masker-maskeran, tidak ada lockdown-lockdownan. It was supposed to be kiasan global warming. Tapi kita jualah yang membuatnya bahkan terasa lebih relevan lagi.  Berisi sarkas yang dikemas ringan dan sangat menghibur, komedi dari awal hingga akhir tanpa pernah kehilangan bobot dari komentar-komentar dan sindiran yang dilayangkan. McKay menunjukkan kualitas penulisan yang cerdas. Dia paham mengolah cerita tanpa keluar dari fokus. Begitu banyak yang bisa salah dalam film ini, berkat beragamnya elemen yang dimuat, elemen yang bekerja. Dia dengan berani menghantam semua. Aku tidak akan meminta film ini untuk melambat, atau menyuruhnya berhenti mengejek kita. Seperti komet itu. Ya, seperti komet. Film ini datang sebagai cerminan atau kiasan dari yang terjadi di dunia nyata. The only time kita menunduk seharusnya adalah untuk merenungkannya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DON’T LOOK UP.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah keadaan di Indonesia sekarang pantas untuk dibuatkan film komedi sendiri? Genre apa yang kalian buat berdasarkan Indonesia?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TEKA-TEKI TIKA Review

“You are a piece of the puzzle of someone else’s life”

 

Tidak mudah keluar dari zona nyaman. Butuh kemauan dan keberanian yang sama besarnya. Inilah yang dilakukan Ernest Prakasa. Sudah mendapat tempat yang kerasan di blantika film komedi, tapi Ernest malah menantang dirinya sendiri dengan membuat thriller Teka-Teki Tika. Cobaan pertama langsung menerpa. Film ini sempat dirujak netizen, dikatain nyontek Knives Out (2019). Nah, itulah kenapa kita tidak boleh main hakim hanya dari melihat trailer saja. Teka-Teki Tika sama sekali tidak mirip film whodunit tersebut. Melainkan, lebih sebagai thriller dalam lingkup keluarga, tentang apa yang telah dilakukan oleh karakter sehingga kini ia takut rahasianya itu dibongkar oleh orang. Revealing yang mencengangkan, yang jawabannya kita tunggu-tunggu, memang tetap ada. Dan boleh jadi lebih surprise daripada yang kita harapkan sebelumnya. Karena ternyata film ini adalah thriller bergaya ujar jenaka khas Ernest, dengan tambahan twist ala Shyamalan!

teka202112040754-main
Padahal bahkan si Shyamalan sendiri enggak selalu bisa bikin ‘twist ala Shyamalan’ yang berhasil

 

Sebagian besar durasi, cerita akan bertempat di sebuah rumah mewah. Milik Budiman, seorang konglomerat yang akan segera mendapat proyek besar dari pemerintah. Maka Budiman dan istrinya, mengundang dua anak mereka untuk menghabiskan akhir pekan di rumah. Arnold dan Andre, dua ‘putra mahkota’ yang siap mewarisi segala milik ayah mereka. Tapi keduanya kurang akur, punya gaya hidup berbeda, dan pandangan yang juga tak sama mengenai ‘how to do business‘. Si sulung Arnold yang datang bersama istri yang tengah hamil tua, katakanlah lebih bertanggungjawab. Namun juga lebih boring ketimbang adiknya, Andre, yang suka gonta-ganti pacar (kali ini dia membawa pacar baru yang jauh lebih muda) dan lebih mementingkan nge-club dengan alasan networking. Ada konflik yang berusaha ditarik cerita di antara mereka, sekaligus juga mengeluarkan celetukan-celetukan komedi dari enam karakter keluarga ini.

Menarik? Kurang? Well, karena itulah dihadirkan Tika. To stir things up. Malam itu Tika muncul di pintu depan rumah Budiman. Dengan gaya slengekan – yang begitu kontras dengan lingkungannya, bahkan dengan Andre sekalipun – cewek berambut seleher itu memperkenalkan diri sebagai anak kandung Budiman yang ditelantarkan. Tika gak bakal pergi sebelum mendapat yang ia mau. Dan tak segampang itu bagi Budiman dan keluarga mengusirnya, sebab Tika ternyata tahu banyak tentang rahasia semua orang di sana. 

Bukan hanya bagi Budiman, bagi kita pertanyaan-pertanyaan yang sama pun seketika bermunculan. Siapa Tika? Kenapa dia tahu begitu banyak tentang keluarga Budiman? Apakah dia berkata jujur? Apa yang sebenarnya dia mau? Misteri inilah yang jadi pondasi naskah Teka-Teki Tika. Untuk itu, kita harus peduli dulu sama para karakter lain. Karena hidup mereka seolah jadi bergantung sama Tika yang bisa saja membocorkan rahasia dan bikin keluarga kaya itu hancur berantakan. Bagaimana membuat penonton peduli sama karakter-karakternya itulah yang jadi teka-teki yang harus dipecahkan oleh Ernest selaku pembuat film. Jika ini adalah komedi, Ernest would’ve cracked the code easily. Karakter akan dibuat seunik mungkin, dengan dialog lucu dan motivasi yang mungkin kontras sedih supaya memantik drama. Tapi kali ini ranah yang dijamahnya adalah thriller. Dengan desain berupa motivasi karakter yang disembunyikan. Rahasia mereka itulah yang jadi drama. Dengan begitu, sutradara berpaling kepada hal yang ia tahu. Dialog lucu. Inilah awal kenapa tone film ini membuat cerita yang kita saksikan kurang terasa intensitasnya. Film ini masih terasa bersandar kepada komedi, padahal mestinya ia adalah cerita thriller yang membuat kita mengkhawatirkan para karakter. Sehingga membuat kita justru susah bersimpati kepada stake yang merundung karakternya.

Porsi komedi di sini memang jauh lebih sedikit dibandingkan film-film Ernest sebelumnya. Tapi, komedi itulah yang satu-satunya dipunya karakter-karakter film ini sebagai usaha untuk membuat mereka terlihat menarik. Ketika para karakter berdebat di meja makan soal mengurus bisnis, kita gak masuk ke dalam mereka. Ketika Tika ngancem mau buka rahasia pun, kita tidak merasakan apa-apa. Barulah ketika karakter pacar si Andre yang ‘lugu’ nyeletukin hal yang gak nyambung, kita tertawa. Masalahnya, celetukan dan komedi-komedi itu gak ada sangkut pautnya sama konflik atau misteri pada cerita. Obrolan intens jadi runtuh begitu saja ketika lelucon disuntikkan di sela-sela obrolan. Sindiran soal penguasa yang relevan dengan keadaan sekarang kita pun jadi sepintas lalu saja, tidak benar-benar punya weight padahal bisa dibilang merupaka tema yang konsisten dibahas dalam narasi. Para pemain pun tampak lebih rileks memainkan komedi daripada bermain serius. There’s a reason kenapa Morgan Oey, Tansri Kemala, dan Sheila Dara tampak menonjol dibandingkan yang lain. Tidak banyak yang bisa digali oleh para aktor ketika mereka disuruh untuk serius dan bermisterius.

Ungkapan kita adalah kepingan puzzle dalam hidup orang lain, biasanya bernada romantis. Film ini seperti sisi gelap dari ungkapan tersebut. Karena ceritanya menunjukkan ketidakhadiran kita dapat membuat hidup orang lain menjadi tak-lengkap dalam artian susah. Sometime, kita perlu jujur dan mengakui perbuatan supaya tidak menjadi lubang menganga dalam hidup orang di sekitar kita.

 

Sebenarnya nuansa thriller itu masih bisa digapai lewat teknis. Cut, zoom in, panning perlahan, biasanya hal-hal semacam itu dilakukan oleh kamera dalam film-film thriller untuk memperkuat intensitas suatu adegan. Namun sebagaimana thriller adalah hal baru baginya, cerita dengan ensemble karakter sebagai pusat juga merupakan hal baru bagi Ernest. Jadi concern-nya terbagi. Kita bisa melihat film ini berusaha keras untuk menampilkan variasi dari bagaimana kesemua karakter tampil dalam satu frame. Bagaimana menampilkan gambar yang memaksimalkan lokasi dan visual yang menarik (salah satunya adalah shot yang salah dinilai banyak orang sebagai niru Knives Out). Sehingga menampilkan intensitas thrillernya, terlupakan. Kamera Teka-Teki Tika paling hanya muterin ruangan, dan selebihnya kebanyakan hanya menyorot dari depan dalam diam. Beberapa ada yang dilakukan dengan sudah tepat, seperti keputusan untuk benar-benar fokus ke wajah Tika hanya datang setelah dia memberi tahu siapa dirinya. Yang berarti kita sudah ‘diijinkan’ untuk masuk mengenal karakter ini lebih dalam.

Namun ketika karakter ngobrol dengan mengancam, tidak ada gerakan yang memperkuat intensitas atau semacamnya. Pada adegan Tika digiring keluar rumah, kemudian di tengah jalan dia mengancam membuka satu rahasia, sehingga pengusirannya distop oleh Budiman, misalnya. Ada banyak yang mestinya bisa dilakukan oleh kamera dan editing dalam menampilkan ini, mestinya bisa dipecah jadi beberapa shot biar efeknya nyampe. Namun film hanya melakukannya dengan merekam dari depan, dan kamera mundur seiring semua karakter berjalan ke depan. Semua orang ada di dalam frame, tapi kita tidak merasakan emosinya ketika ada yang bicara, mengancam, atau sebagainya. Alur emosi yang ada pada adegan itu jadi datar karena direkam dengan datar.

Also, maaan, film modern memanglah aneh. ‘Film modern’ yang kumaksud adalah film yang memuat elemen gadget dan teknologi kita seperti smartphone dan sebagainya. Karena biasanya kan yang kita tahu kamera yang ngesyut orang dengan sudut rendah sehingga orang itu tampak menjulang biasanya digunakan untuk menguatkan karakter si orang itu sebagai penguasa atau yang dominan. Film ini openingnya adegan Budiman video call dengan ‘atasan’, ada bagian ketika kamera mengambil perspektif si lawan bicara, yang membuat Budiman dan istrinya tampak menjulang, memandang kita ke bawah, karena gadget mereka ditaruh di atas meja. Ini menghasilkan kesan yang aneh kayak kebalik. Kenapa malah si ‘bos’ yang kecil. Atau mungkin memang adegan itu untuk melandaskan Budiman adalah orang gede, tapi dia juga punya atasan. Dan kayaknya inilah yang membuat kita susah konek dengan dia sebagai karakter utama. Konglomerat biasanya memang sudah sus sedari awal, dan film gak pernah benar-benar membuat karakter ini simpatik hingga akhir nanti.

tekateka-teki-tika_54df5178-1b29-4a59-962b-fcd3809fb8bc
Treatment kamera juga membuat revealing siapa Tika dan rahasia-rahasia lainnya tak pernah terasa ‘wah’

 

Adegan-adegan dari kedatangan Tika sepertinya dirasa memang kurang menarik, sehingga film membuat si Tika ini jadi serbabisa. Dia dibuat tahu medis. Dia malah dibuat bisa berantem ternyata. Jagoan. Tapi malangnya, kepandaian Tika berantem ini juga mengharuskan film untuk memuat adegan aksi. Sesuatu yang berada di garis spektrum lain dari thriller rahasia, drama keluarga, dan bahkan komedi karakter. Nah bayangkan ketika urusan thriller dan drama dan elemen rahasia saja masih keteteran, lalu malah ditambah harus ngurusin orang berantem. It’s too much. Ernest menantang dirinya terlampau banyak. Seperti kata Arnold kepada Andre “Semua jadi tidak terkontrol”. Plus, ini membuat Tika yang tetap dipertahankan misterius menjadi ‘mary sue’; istilah untuk karakter serbabisa. Yang justru membuat kita menarik diri darinya. Seketika Tika menjadi membosankan. Kayak, bener-bener fixed gak perlu lagi kita mempedulikan dirinya karena toh naskah akan membuat dia bisa melakukan apapun begitu saja.

Sehingga, begitu cerita abis dan semua rahasia terungkap, dan semua masalah sirna (kecuali soal rumah mereka yang dengan entengnya dianggap Ibu sebagai “Udah, gak usah dipikirkan”) film masih belum terasa istimewa dan menarik.

Lalu datanglah twist itu. Ending film ternyata baru di ‘false resolution’. Ada misteri yang sebenarnya belum usai. Kupikir ini disengaja untuk hook kalo-kalo mau ada sekuel. Tapi enggak. Kocaknya, justru langsung dibahas lewat cerita ekstra yang muncul begitu kredit bergulir. Cerita yang membuat genre Teka-Teki Tika ini berubah total. Persis kayak twist M. Night Shyamalan yang mengubah genre (dari thriller ke superhero pada Unbreakable, atau dari horor ke sci-fi pada Old). Thriller komedi drama keluarga Teka-Teki Tika berubah menjadi sebuah action-spy! Bahkan setelah itu, visual di kredit title pun berubah jadi menunjukkan Tika sama sekali berbeda dengan yang kita lihat di sepanjang film tadi. Kurang menarik apa lagi coba!!

 

 

 

Kadang kita menyuap terlalu banyak dari yang mampu kita kunyah. I’m afraid inilah yang terjadi di film ini. Nyebrang dari komedi ke thriller sebenarnya sudah tantangan yang cukup tanpa harus ditambah sehingga membuat film jadi terbang ke mana-mana. Padahal belum ada dari tantangan itu yang bisa dijawab dengan memuaskan. Ibarat ngerjain puzzle, tapi belum beres malah mau nambah kepingan lagi. Film ini tampak jadi sebuah karya ambisius, meski banyak yang perlu dibenahi lagi. Terutama soal karakternya yang bisa digali dan diberikan development, ketimbang revealing demi revealing saja. Lalu soal intensitas dan bobot misteri yang belum terasa.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for TEKA-TEKI TIKA.

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian tertarik jika Tika diberikan universe sendiri – katakanlah, jika dibikin jadi ‘saingan’ Arini di Love for Sale, hanya saja si Tika ini khusus di action?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

THE POWER OF THE DOG Review

“One of the greatest tragedies in life is to lose your own sense of self…”

 

Cerita Benedict Cumberbatch yang ‘terguncang’ oleh kedatangan pemuda bernama Peter ke dalam rumahnya, ke dalam dunianya, kali ini bukanlah tentang kekuatan laba-laba. Melainkan, tentang power dari seekor – atau katakanlah seorang – the dog. Dog yang seperti apa? Karya Jane Campion terbaru ini memang sangat berlapis sehingga bisa dilihat sebagai cerita tentang seorang alpha-dog yang menunjukkan dominasi, ataupun sebagai perlawanan seorang under-dog . Namun tak peduli dari sisi manapun kita melihatnya, film ini tetaplah merupakan sebuah tragedi karakter. Film, dengan karakter dan narasi yang kompleks terkait maskulinitas, yang akan membuat kita terpaku di depan layar. Merasakan setiap gigitan yang hadir pada adegan terakhir yang memang berjalan jauh sekali dari yang biasa kita dapatkan dari cerita yang berpusat pada hubungan dua orang seperti ini.

Setting jaman koboi (Campion menyulap New Zealand menjadi Montana tahun 1920an) hanya menambah lapisan yang jadi bobot pada narasi bertema maskulinitas. Kita semua tahu koboi kerjaannya macho banget. Berpanas-panas di luar, mengembala sapi-sapi. Harus punya ketangguhan, punya ketangkasan melebihi kuda yang ditunggangi, serta jago dengan pisau dan tali laso. Karakter yang dimainkan Cumberbatch dengan begitu menakjubkan dia udah beda banget ama yang sudah terbiasa kita lihat; Phil, adalah koboi yang paling koboi di antara para koboi. Dia jadi semacam mentor bagi para koboi lain yang bekerja di peternakan yang ia kelola bersama adiknya, George (Jesse Plemons jadi penyeimbang buat karakter saudaranya). Sikap Phil yang cenderung kasar dan haus untuk membuktikan dominasi dirinya hampir setiap waktu itu pada awalnya tampak seperti karena ia pengen menyejajarkan diri dengan sosok seorang yang telah melatih dan mengajari mereka dahulu. Seiring durasi kita akan mulai melihat ada sesuatu yang lebih personal di balik motivasi Phil tersebut. Bahwa ada alasan yang sangat pribadi di balik sikap keras yang ia tonjolkan.

dog253af6f9-e444-437a-b85f-05148ee9a662
Ngebiri sapi aja dia ogah pakai sarung tangan, saking mau nunjukin “gue cowok banget!”

 

Sepuluh menit pertama film ini efektif sekali dalam melandaskan karakter Phil, serta karakter-karakter kunci lainnya. Menunjukkan pergolakan batin yang sedang tembak-tembakan di dalam dirinya. Phil memimpin George dan beberapa orang koboi lain masuk ke tempat makan. Di meja dia melihat kerajinan bunga dari kertas. Hanya Phil yang bereaksi terhadap bunga itu. Kita bisa melihat dia tertarik, tapi si koboi jagoan ini menutupi ketertarikan tersebut dengan low-key meledek bunga itu. “Cewek mana ini yang bikin?” Begitu kira-kira celetuknya. Tatkala mengetahui bahwa bunga itu dibuat oleh anak pemilik tempat makan tersebut; seorang pemuda kurus tinggi bernama Peter (Kodi Smit-McPhee menghidup karakter ini luar-dalam), makin menjadi-jadilah ledekan Phil. Peter ampe kabur dari sana (sepertinya nangis), meninggalkan ibunya (Rose, diperankan oleh Kirsten Dunst dengan tak kalah kompleksnya) bekerja sendirian malam itu.

Bagi kita, hampir clear sebenarnya saat itu Phil malu kalo yang lain sampai nyadar dirinya tertarik sama bunga buatan cowok. Dia meledek, supaya gak ketahuan perasaan yang sebenarnya. Film lantas mendorong kita untuk bertanya lebih lanjut, sejauh apa sebenarnya ketertarikan Phil. Kekompleks-an karakter Phil datang dari sini. Dari bagaimana yang ia tampilkan di luar bukanlah siapa dirinya yang sebenarnya. Maka kehadiran Peter – yang sebenarnya membuatnya tertarik – jadi ancaman untuk siapa Phil di luar tersebut. Jadi ketika George ternyata memutuskan untuk menikahi Rose yang janda, yang effectively membawa serta Peter ke dalam lingkarannya, Phil jadi marah. Kepada Peter, kepada George yang menurutnya berkhianat, dan tentunya juga kepada Rose. Film ini tak berhenti sampai kepada perspektif Phil seorang. Karena Peter juga digali. Film malah dibuka dengan monolog suara Peter berbisik tentang melindungi ibu merupakan tugasnya sebagai seorang pria. Dua kebutuhan untuk membuktikan diri sebagai cowok, yang termanifestasi ke dalam dua wujud berbeda inilah yang menghantarkan kita kepada hubungan yang tragis, yang baru benar-benar digali pada paruh kedua cerita.

The Power of the Dog memang memerlukan waktu lama untuk bisa kita benar-benar mengerti berjalan ke arah mana. Itu bukan semata karena set upnya yang banyak, melainkan juga karena konteks karakternya itu sendiri. Phil gak mau semua orang tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Terlebih dia hidup di masa pandangan soal preferensi seksual masih terbatas, dan di tempat yang menuntutnya untuk benar-benar macho. Dan ‘semua orang’ di situ, adalah termasuk kita. Penontonnya. Kita tahu Phil menutupi perasaan aslinya terhadap bunga – dan mungkin terhadap Peter, kita tahu dia look up kepada sosok mentornya yang sudah tiada, tapi kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang diinginkan Phil sebagai seorang manusia. Tidak hingga pertengahan itulah kita baru mengerti bahwa Phil merindukan koneksi dengan orang lain, sebagaimana koneksi yang ia rasakan dengan sang mentor. Koneksi, yang berupa relationship. Naskah benar-benar mewujudkan tembok itu dengan actually menghalangi kita lebih lanjut melihat Phil. Kita malah sering berpindah ke Peter, yang juga diberikan tembok sama tebalnya. Yang juga tidak bisa kita lihat apa sebenarnya yang dirasakan oleh karakter yang pengen jadi dokter bedah ini, selain motivasi vague soal melindungi ibu.

Insecurity yang mengakar menjadi toxic masculinity adalah tema dalam The Power of the Dog. Pada pengembangannya, tema ini mengambil wujud cerita yang sangat tragis. Keengganan Phil menunjukkan dirinya yang sebenarnya, Phil yang memilih untuk menyembunyikan dirinya atas nama martabat dan kejantanan, akan membawanya menuju akhir yang pahit. Tidak ada yang tahu siapa dirinya yang di dalam sana, semua sia-sia hanya karena tuntutan untuk tampak macho. Dan racun itu juga menjangkiti orang lain seperti yang kita lihat pada tindakan yang diambil Peter.

 

Maafkan kalo terasa sedikit terlalu banyak spoiler. Karena walaupun memang fokus kepada karakterisasi, tapi film ini dibangun dengan konteks karakter yang menutupi siapa dirinya dari orang lain termasuk kita, sehingga untuk membicarakan mereka kita perlu membeberkan aksi yang mereka lakukan. Dan itu berarti terpaksa sebagian besar kejadian filmnya harus disebutkan. Seperti soal Peter tadi. Awalnya sekilas dia memang seperti karakter underdog, yang dikatain lemah, tapi ternyata punya ‘kekuatan’ sendiri. Yang punya cara sendiri dalam membawa diri. Di antara cowok-cowok toxic lain, yang meledek kefeminimannya, gampang melihat karakter ini sebagai “oh mestinya Phil lebih jujur seperti Peter ini”. Tidak ada yang disembunyikan oleh Peter, dia terang-terangan mempersembahkan siapa dirinya apa adanya. Dia main hulahop tanpa masalah, dia bikin bunga, dan sebagainya. Namun melalui aksi final yang ia lakukan kepada Phil, atas nama ‘cowok harus melindungi ibu’ yang ia sebut pada pembukaan film, kita lantas melihat karakter ini juga ngalamin maskulinitas yang enggak sehat. Bahwa ternyata dia juga ada menyimpan rahasia, dia abai sama perasaan asli yang mulai ditunjukkan Phil kepada dirinya. Keberaniannya melakukan hal di akhir tersebut, malah membuat kita mempertanyakan kembali motivasinya. Apakah dia benar-benar murni melindungi ibu, atau ini jadi soal balas dendam dirinya yang pernah disakiti.

dogBenedict-Cumberbatch-The-Power-of-the-Dog-film-netflix
Gak heran kalo koboi sering dijadiin model iklan rokok, supaya cowok pada beli

 

Itulah mengapa The Power of the Dog kusebut sebagai salah satu film paling kompleks yang bisa kita tonton tahun ini. Dan juga salah satu yang paling tragis. Kedua karakter sentral itu sama-sama jatoh menyedihkan. Karena sama-sama salah menakar apa itu kejantanan atau maskulinitas. Cuma memang cerita film ini pada paruh pertama agak menuntut kesabaran untuk diikuti. Kita diperlihatkan dua perspektif, yang sama-sama tidak bisa kita tembus. Kita hanya mantengin para karakter, mengarungi berbagai kejadian, dengan pace yang cukup lambat. Film ini actually dibagi menjadi lima bagian; Transisi yang menunjukkan visual angka romawi 1 sampai 5 berlatar hitam muncul setiap kali film loncat ke periode cerita yang lain. Bagian ini di paruh awal bertindak hampir seperti episode, karena membahas kejadian yang berbeda. Dan ini membuat film semakin melebar karena isinya juga membahas tentang George dan istrinya, Rose yang merasa canggung harus tinggal di dekat-dekat Phil yang sangat kasar kepadanya. Dengan kata lain, paruh awal ini memang membahas banyak sudut. Banyak dialog yang memaparkan backstory. Itu semua karena film tidak mau kita lekat kepada Phil.

Yang juga membuat semakin susah dari konteks karakternya itu adalah film jadi tidak bisa menyerahkan karakter utama yang jelas. Kita tidak tahu harus peduli kepada siapa. The easy guess tentu saja adalah Peter, apalagi suara dialah yang membuka cerita, tapi begitu Phil sudah ‘melunak’ garis itu kembali menjadi kabur. Setelah midpoint, cerita mulai lebih enak untuk diikuti. Elemen romansa mulai mencuat. Sementara di belakang mereka, kita mendengar komposisi musik yang dominan biola juga terasa semakin intens. Film ini mendekati klimaks dengan menguarkan perasaan uneasy dari kontras musik dengan adegan yang kita lihat. Untuk kemudian benar-benar menjadi tragis di ending.

 

 

 

 

Aku sama sekali gak menyangka itu semua. Aku pikir ini semacam drama koboi ala western flick yang setidaknya lebih berat daripada yang biasa. Turns out, film ini punya kekuatan penceritaan sendiri yang membuatnya berbeda, dengan bahasan yang berdaya pula. Dalam kisah lain, konteks yang membuat karakter utama berjarak dengan penonton, tidak akan berhasil menjadi tontonan yang efektif. Namun pada kisah ini, konteks tersebut walaupun menyulitkan penonton, tapi benar-benar sesuai dan actually menambah bobot pada karakter dan ceritanya itu sendiri. Paruh pertama memang agak lambat dan berpotensi bikin bosan. Namun semua itu hanyalah set up untuk paruh berikutnya yang benar-benar tragis. Dan membuat gagasan film jadi menggaung lama.  
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE POWER OF THE DOG.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now

Sebelum ini kita udah menyaksikan pria yang hobi ngajakin orang berantem demi membuktikan kejantanannya dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021). Menurut kalian apakah persamaan dan perbedaan soal toxic masculinity yang diperlihatkan film tersebut dan pada film The Power of the Dog ini?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SILENT NIGHT Review

“It is dangerous to be right when the government is wrong”

 

Malam dalam Silent Night, film-panjang debut dari sutradara dan penulis naskah Camille Griffin, tidak selamanya malam yang sunyi. Ensemble cast yang memerankan berbagai tipe karakter keluarga membuat film ini seperti kisah liburan natal dengan warna komedi yang kental. Malam barulah menjadi senyap  tatkala bencana yang melatarbelakangi dunia mereka semakin mencuat seiring durasi bergulir. Keluarga dan para sahabat yang kita lihat itu akan mati selepas malam itu. Beserta semua orang lain di seluruh dunia. While tone komedi dan kesuraman nasib yang mereka jemput dengan consent sepenuh hati tersebut memang kerap bertabrakan, membuat film ini tidak berjalan seimbang yang diniatkan, namun jika kita melihat ke belakang lebih jauh lagi, kita akan menyadari bahwa Griffin tidak membuat film ini sebagai sajian untuk kita merenungi kematian. Dan bahkan tidak juga kekudusan malam natal. Melainkan, Silent Night dihadirkan sebagai cemo’ohan terhadap masyarakat yang penakut dan pemerintah mereka yang suka memberikan informasi yang salah.

Silent-Night-trailer-1
Coba deh sekali-kali pemerintah itu diunfollow semua, gitu.

 

Natal mungkin memanglah salah satu occasion yang paling luwes untuk dijadikan latar cerita film. Kita sudah menonton beragam genre bermunculan dari tema hari Natal. Film Silent Night ini membuktikan itu dengan actually menggabungkan komedi dengan genre bencana/kiamat. Musik-musik natal yang festive yang berputar di awal akan digantikan dengan alunan yang lebih dramatis. Drama keluarga, kemudian diakhiri dengan twist yang membuat cerita menjadi dark.  

Nell dan suaminya mengundang sahabat dan kerabat mereka untuk merayakan malam natal. Film ini dibuka dengan kesibukan di pagi hari. Yang digambarkan kocak comically. Kita melihat sang suami berlarian di halaman, mengejar ayam. Art si putra sulung yang lagi motongin wortel dan tak sengaja mengiris jarinya sendiri saat kaget mendengar kegaduhan ayahnya di luar. Sementara Nell, juga anak bungsu mereka yang kembar sibuk melakukan hal lain. Kita juga diperlihatkan para tamu yang sedang dalam perjalanan ke rumah Nell. Karakter-karakter yang tak kalah ‘ajaibnya’. Istri pesolek, yang clearly naksir sama sahabat mereka, sementara suaminya yang cupu gak nyadar. Mereka punya anak perempuan yang sikapnya ngeboss abis. Ada pasangan lesbi. Ada pasangan yang jarak umurnya cukup jauh, yang actually outsider dari kelompok mereka. Ketika nanti akhirnya mereka berkumpul, kita akan notice ada kejadian seru apa yang melatarbelakangi relationship mereka semua. Tapi yang paling penting diperhatikan adalah suasana. 

Camille Griffin membangun suasana yang awkward, yang sebenarnya berlaku dua lapis. Bukan saja canggung karena ‘rahasia’ hubungan para karakter yang diungkap – mengejutkan bahkan bagi mereka sendiri. Namun juga canggung karena kumpul-kumpul mereka yang seharusnya merayakan momen natal dan kebersamaan itu, tidak benar-benar terasa seperti sesuatu yang dirayakan. Melainkan sesuatu yang mereka paksakan diri untuk merayakan, karena ini adalah kesempatan terakhir mereka bersama. Griffin menyelimuti cerita komedi ini dengan perasaan dread dari pengungkapan bahwa dunia yang dihidupi karakter ini sedang dalam bahaya yang lebih berbahaya dari pandemi korona. Ada pusaran awan gas raksasa di luar sana, membunuh setiap makhluk hidup yang dilalui. Maka pemerintah menyuruh para ilmuwan membuat pil yang bisa membuat orang mati dalam keadaan seperti tidur. Tidak menyakitkan. Obat tersebut lantas dibagikan kepada masyarakat yang terdata (gelandangan dan imigran gelap gak kebagian), guna dikonsumsi sebagai alternatif dari mati menderita. Inilah nasib yang tentu saja juga dipilih oleh Nell dan keluarga dan sahabatnya. Karena pemerintah menyuruh seperti itu.

Konflik datang dari Art, putra sulung Nell, yang meragukan keputusan tersebut. Yang menyebut usaha mereka sama saja seperti bunuh diri sia-sia. Bahwa mestinya ada cara lain. Dan bahkan Art menantang keputusan tersebut dengan mengangkat bahwa pemerintah dan para ilmuwan bisa saja salah. Silent Night seharusnya lebih berkutat di konflik ini. Karena di bahasan inilah kita baru merasa benar-benar relate dan peduli sama para karakter. Pembangkangan Art menjadi menarik karena yang ia sebutkan memang sangat relevan. Mengapa percaya begitu saja. Mengapa menyerah dengan cepat. Pihak orangtua Art pun memberi argumen yang cukup menarik. Bahwa mereka enggak tega membiarkan Art dan sodaranya mati menderita kena gas. Jadi lebih baik mati bunuh diri, mati yang udah dijamin pemerintah enggak menyakitkan. Tidak pernah ada usaha untuk pembuktian, mereka menerima saja karena begitu takutnya. Ketika Art nantinya menghirup gas dan mulai kejang-kejang, ayah dan ibu dan saudara-saudaranya langsung menenggak pil mereka. Tanpa mengecek nadi Art atau apapun yang membuktikan Art benar-benar telah tewas.

Bahasan ini relevan karena seperti keluarga Art itulah masyarakat terasa. Terlalu takut, terlalu reaktif, sehingga mudah dikendalikan dan tertipu hoax serta berita palsu. Bahkan terlalu takut untuk berjalan di luar arus. Naasnya, menjadi seperti Art di tengah lingkungan begitu justru berbahaya.

 

Setelah Thomasin McKenzie di Old dan Last Night in Soho. Lalu Archie Yates di Home Sweet Home Alone , kini giliran Roman Griffin Davis yang kebagian film sendiri. Aku senang alumni Jojo Rabbit terus dapat kesempatan menggali kemampuan akting, dan memang si Roman Griffin yang jadi Art menonjol dibandingkan bahkan Keira Knightley yang jadi ibunya, yang dijual oleh film sebagai tokoh utama. Simply karena Art-lah satu-satunya karakter yang beneran menarik di film ini. Karakter-karakter lain hanya punya gimmick komedi, mereka tidak punya motivasi ataupun urgensi yang manusiawi membuat mereka terflesh out sebagai karakter. Suami yang boring. Istri yang ‘mentel’. Anak yang kasar. Kupas mereka dari semua itu, dan berakhirlah sudah. Tidak ada apa-apa di baliknya. Naskah bergantung kepada ‘siapa sih mereka sebenarnya kepada satu sama lain’, bagaimana hubungan mereka sebelum momen di cerita ini berlangsung. Kita diniatkan untuk tertarik untuk mendengar obrolan dan konflik mereka, yang berdasarkan kepada masa lalu mereka. Tapi semua itu terasa hampa. Permasalahan mereka gak pernah benar-benar baru, ataupun terasa menarik. 

Art sebenarnya juga sama. Gimmick komedinya yang dicuatkan. Dia juga suka berkata kasar, dan melawan orangtua. Komedi situasi yang sepertinya dipantik dari bagaimana seorang anak bertindak ketika dia tahu ini hari terakhirnya. But deep inside, Art adalah anak baik dan cerdas. Karakter di balik gimmick komedinya itulah yang akhirnya mengangkat derajat karakter ini dibanding yang lain. Dan actually mengangkat film ini. Yah, walaupun cuma sedikit sih.

 

silentroman-griffin-davis-silent-night-interview
Fun fact: Roman Griffin dan anak kembar di film ini kakak adik beneran, dan ibu mereka adalah sutradara film ini

 

 

Aku gak bilang Griffin berhasil menghantarkan mix tone. Menyeimbangkannya sehingga Silent Night jadi tontonan yang enak. Walaupun dia berhasil mencuatkan perasaan canggung, yang mencerminkan sensasi ‘impending doom’ yang menyelimuti karakter-karakternya, tapi keseluruhan film ini tidak bekerja dengan demikian efektif. Tidak pernah terasa seimbang. Tone-tone yang dirancang itu sebenarnya justru saling menabrak. Dan tidak dengan dampak yang bagus. Kita tidak bisa tertawa melihat karakternya – karena gak lucu – sementara juga tidak bisa benar-benar khawatir karena dua hal. Kita tidak mengkhawatirkan mereka yang sudah siap mati. Dan karena film masih terus menyelipkan reaksi-reaksi komedi bahkan ketika sudah waktunya untuk menjadi dramatis dan kelam. Kepada Art saja – yang jadi paling dekat sebagai tokoh utama sebenarnya yang dipunya oleh cerita ini – kita juga susah untuk benar-benar peduli. Karena struktur cerita. Ketika kita mulai in-line dengannya, film malah membuat Art sebagai korban gas yang pertama di antara mereka, saat Art yang katanya ingin cari keselamatan sendiri, lari dari rumah. 

Sangat aneh rasanya ketika kita harus ikut tertawa menyaksikan karakter dealt with their relationship, sementara kita berusaha memahami apa yang terjadi di latar dunia mereka. Sementara kita berusaha mengerti kenapa mereka bertingkah kayak cult bunuh diri. Seharusnya yang dilakukan film ini adalah mengestablish dunia mereka terlebih dahulu, baru kemudian kita bisa dikontraskan dengan sikap mereka yang berusaha rileks, dan berkomedi ria dengan perkara relationship itu.

 

 

 

Film ini sudah menghadapi tantangan cukup banyak dengan menghadirkan komedi, liburan-natal, dan horor. Menambahkan elemen twist, terbukti membuat film ini jadi too much untuk Griffin. Padahal film ini punya pesan yang tak-kalah penting. Punya konsep penyampaian yang cerdas. Dengan set up suasana yang membuat sesuatu yang seperti biasa menjadi unik. Mestinya film ini establish dunia dulu, baru fokus ke karakter. Menguatkan perspektif mana yang jadi karakter utama. Membuat mereka lebih sebagai pion-pion simbolisme, dengan pengembangan yang lebih clear, ketimbang sebagai suara-suara komedi saja. Karena reaksi-reaksi mereka atas ketakutan itulah yang menarik, bukan hubungan yang makin kayak ngada-ngada.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SILENT NIGHT

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian Silent Night ini cerita yang tragis, kenapa?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

YUNI Review

“Withered before bloom”

 

 

“Kamu mau jadi apa?” adalah pertanyaan tersulit yang bisa ditanyakan atau pernah hinggap ke benak remaja enam-belas tahun. Lulus sekolah saja belum, tapi dianggap sudah harus bisa menentukan jalan hidup sendiri. Di umur segitu aku bahkan bingung mau masuk IPA atau IPS. Kuliah di mana nanti pun aku gak ada bayangan sama sekali. Di situlah aku relate dengan yang dialami Yuni. Dan aku sadar, permasalahan yang kualami dulu sebagai cowok remaja itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Yuni di film ini. Pertanyaan “Kamu mau jadi apa?” tersebut beribu kali lebih mendesak ditodongkan ke pikiran Yuni. Bagi cewek-cewek remaja seperti dirinya, yang tinggal di kampung/pinggiran, dengan sosial yang masih erat tradisi patriarki, ditanyain pertanyaan tadi itu saja sebenarnya sudah luar biasa. Sebab pertanyaan itu sebenarnya cuma basa-basi. Semua orang di sana tahu: cewek itu ya urusannya di sumur, dapur, ama kasur. Ngapain sekolah tinggi-tinggi. Kalo udah dilamar, ya tunggu apalagi. Pamali menolak rejeki.

Pamali.

Satu kata itu bakal menghantui Yuni sepanjang durasi. Setiap pilihan Yuni akan selalu dikaitkan dengan pamali. Oh aku inginnya begini, tapi nanti pamali. Semua orang di sekitar Yuni percaya pada pamali. Haruskah Yuni percaya juga. Atau haruskah Yuni memperjuangkan pilihannya sendiri, dengan konsekuensi dia benar-benar sendiri. Jika Lady Di dalam Spencer (2021) dipenjara dalam sangkar emas; istana dengan segala tata dan aturannya, maka Yuni dalam film yang terinspirasi dari puisi Hujan Bulan Juni ini terkekang dalam norma masyarakat patriarki atas nama ekonomi, yang semua orang tahu itu tidak indah, tapi mereka bertindak seolah tidak ada pilihan. 

Padahal Yuni (kenalin, Arawinda Kirana bintang masa depan!) di tahun terakhir SMA-nya itu, mau fokus untuk masuk ke perguruan tinggi. Dia mengincar sebuah program beasiswa. Syaratnya; pertama nilai harus bagus. Itu gampang, dia tinggal nyelesaikan tugas ulasan puisi dari guru idolanya, Pak Damar (Dimas Aditya jadi pengajar yang cerdas dan simpatik). Kedua, tidak menikah. Syarat keduanya inilah yang susah-susah gampang. Yuni sendiri sebenarnya kepikiran pacaran aja enggak. Ada sih yang naksir, Yoga (pesona Kevin Ardilova keluar sebagai cowok pemalu), tapi Yuni lebih milih makan cilok. Yuni memang masih seperti anak remaja umumnya. Suka ngumpul-ngumpul bercanda sama teman segeng. Ngoleksi benda-benda berwarna ungu. Tapi kemudian seorang pria yang barely ia kenal, datang melamar. Yuni lantas jadi perbincangan di desa karena menolak lamaran itu. Membuat Yuni meragukan keputusannya. Apalagi kemudian lamaran-lamaran lain – dengan calon yang semakin gak ideal secara umur – terus berdatangan. Salah satunya terang-terangan membeli keperawanan Yuni.

yunifilm-yuni-1_169
Seolah membuktikan kebenaran si pamali

 

Sutradara Kamila Andini menyiapkan film Yuni dalam dua versi berbeda. Versi untuk tayang di festival dan versi untuk tayang di bioskop. Secara esensi kedua versi ini masih sama. Tadi aku sempat menyebut Spencer, dan ya, sebagai cerita yang sama-sama tentang perempuan yang terkukung, dua versi Yuni punya esensi yang lebih baik ketimbang Spencer. Yuni yang memang anak remaja tidak pernah ditampilkan cengeng, atau merengek, atau sebatas pengen melakukan yang ia mau. Penggalian Yuni terhadap kungkungannya dilakukan dengan pendekatan yang lebih dewasa. Pamali dan patriariki itu mengurung tidak pernah diantagoniskan. Bahkan para lelaki yang jadi personifikasi patriarki tidak mutlak digambarkan sebagai lawan, atau sebagai pelaku. Yang tampak jahat saja, ternyata sendirinya adalah korban dari ekspresi feminis yang ditekan. Yuni terlihat mencoba memahami pamali dan patriarki, mencoba menelisik apa yang terjadi kalo dia ‘menentangnya’, sementara dia juga terus melihat sekitar; ke orang-orang yang lebih dulu terjerat. Sehingga cerita Yuni jadi lebih tragis dan membekas. 

Untuk menambah layer karakter Yuni yang diceritakan mandiri, pintar, dan lebih berani dari teman-temannya, film memberinya hobi. Yang kerap kelewat aneh. Yaitu suka dengan segala hal berwarna ungu. Semua yang ungu dikoleksi sama dia. Aneh, karena Yuni gak segan nyolong benda ungu milik orang lain (dan lantas berkelahi kalo ketahuan) Detil kecil seperti inilah yang membuat film menjadi semakin hidup. Bukan exactly soal warna ungunya, tapi hobi Yuni mengoleksi benda ungu itu seperti mencerminkan keinginan besar Yuni untuk stay true ke identitasnya, ke dirinya sendiri. Bahwa dia tak ragu untuk melakukan apapun untuk membuat dirinya komplit. Kita melihat ini terwujud ketika Yuni datang ke klub, ataupun datang sendiri ke rumah bapak yang melamarnya, dan menolak lamaran tersebut, setelah sebelumnya melakukan sesuatu yang membuat dirinya punya alasan untuk menolak. Barulah nanti ketika diledek warna janda, Yuni ngamuk. Karena itu seperti mengonfirmasi ketakutannya telah menolak lamaran.

Sepertinya memang remaja dituntut terlalu banyak. Mereka yang sedang dalam masa perkembangan, diharapkan untuk tumbuh, tapi seringkali tidak diberikan ruang tumbuh atau, katakanlah pupuk, yang sesuai. Yuni dan teman-teman misalnya, mereka diharapkan untuk kawin setelah sekolah. Itu saja sudah aneh, tapi bahkan lebih aneh lagi saat mereka itu enggak dikasih tahu apa yang dihadapi saat menikah nanti. Mereka tidak diberikan pendidikan seks, tidak diberikan arahan berumah tangga. Melainkan hanya disuruh patuh sama suami karena yang diajarkan kepada mereka selalu soal perempuan tidak bisa sendirian tanpa laki-laki. Makanya remaja-remaja seperti Yuni tragis seperti layu duluan sebelum berkembang.

 

Dari sekolah yang mau ngadain tes keperawanan hingga ke nenek yang menasehati dengan “pernikahan itu rezeki”, film ini bercerita dengan sederhana. Nuansa kesehariannya terasa. Yuni luar biasa di sini. Aku malah pernah dengar saat menang di TIFF 2021 lalu, orang luar bengong melihat fenomena anak muslim yang hanya pakai jilbab di sekolah saja; padahal itu sesuatu yang normal tampak di keseharian kita. Jadi itu menunjukkan betapa film ini kuat di karakter. Otentik dengan tampil sederhana.

Tidak melulu karakter-karakter menceritakan dengan nada depresif, melainkan lebih seperti bercerita sehari-hari. Seperti misalnya karakter yang diperankan Asmara Abigail. Dia jadi perias di salon, karakter yang wild, cheerful, “preedom abis” tapi punya masa lalu nikah muda dan dicampakkan suami juga. Ketika bercerita pengalaman traumanya itu, film tidak membuatnya jadi kisah overdramatis. Untuk menguatkan karakter, dan menekankan bahwa kasus seperti ini ‘terpaksa’ terus teroverlook karena dianggap normal, si karakter itu ya bicara dengan nada senormal dirinya bicara. Yuni dan kitalah yang dibiarkan untuk meresapi kejadian tersebut. Di versi festival, adegan berceritanya itu malah lebih dikontraskan lagi, berupa kita hanya mendengar suara si karakter bercerita, tapi gambarnya adalah adegan Yuni dan dirinya lagi foto-foto ceria.

Versi bioskop memang memuat lebih banyak eksplorasi karakter pendukung, sehingga naturally sedikit lebih ‘berwarna’ ketimbang versi festival yang lebih memfokuskan kepada Yuni itu sendiri. Karakter-karakter dalam Yuni serta permasalahan mereka yang masing-masing mewakilkan contoh kasus ‘perempuan terikat patriarki’ akan sangat bisa kita pedulikan, akan sangat mudah beresonansi dengan kita, sehingga wajar versi bioskop akan lebih digemari oleh penonton. 

Tapi, kalo memang mau dibandingkan……

Bagiku film Yuni versi festival tampil lebih baik dibandingkan dengan Yuni versi bioskop.

 

Perbedaannya yang kerasa itu bukan exactly pada ending atau tone yang lebih ringan atau durasi yang lebih panjang. Melainkan bersumber pada strukturnya. Kedua versi film Yuni ini actually sudah banyak perbedaan dari cara suatu adegan ditampilkan (baik dari kamera ataupun editingnya) dan dari urutan adegan-adegannya sendiri. Versi bioskop memperlihatkan Yuni dapat tugas puisi duluan, sebelum dilamar untuk pertama kali. Sementara versi festival Yuni dilamar duluan. Kenapa urutan ini penting, karena membentuk bangunan cerita. Dengan menempatkannya duluan dalam sepuluh menit pertama, versi festival langsung jelas memperlihatkan itu sebagai inciting inciden. Bahwa ini adalah cerita gadis remaja yang pengen kuliah, tapi tiba-tiba dia dilamar. Struktur versi festival lebih fit secara universal sebagai cerita film. Ke belakangnya strukturnya jadi tetap jelas. Lamaran versi bioskop, sebaliknya, ada sebagai plot poin pertama. Setelah sekitar tigapuluh menit. Set upnya yang panjang, yang membahas banyak – hingga adegan Yuni nyanyi segala – membuat versi ini berjalan seperti, katakanlah aimlessly. Yuni yang diberi tugas puisi untuk naikin nilainya enggak benar-benar ngasih hook yang koheren dengan kungkungan yang disetup pada lingkungannya.

Versi bioskop benar-benar menjelaskan runut adegan. Padahal gak semuanya juga signifikan. Yuni kenalan dengan si pelamar pertama aja sebenarnya justru terasa mereduksi adegan lamaran itu sendiri. Karena yang versi festival terasa lebih kuat saat Yuni dilamar seseorang yang kita gak tahu. Menguatkan bagaimana perempuan bisa benar-benar dihadapkan pada hal yang tak bisa mereka kendalikan. Lagipula karakter si pelamar itu toh gak bakal dimunculin lagi, jadi ya buat apa juga dielaborate keberadaannya. Misalnya lagi soal teman sekelas Yuni yang udah punya anak, udah nikah, tapi semacam ditinggal oleh suami yang tak pernah lagi pulang ke rumah. Di versi bioskop di-elaborate hingga ada adegan Yuni dan teman-teman datang ke rumah melihat bayinya. Lalu Yuni melihat ternyata kakak-kakak perempuan si teman juga mengalami nasib serupa. Informasi yang redundan, terlebih karena nanti juga ada adegan Yuni ngobrol dengan si teman itu perihal hal yang bersangkutan. Versi festival hanya punya adegan ngobrol itu, dan dengan bijak meninggalkan adegan ke rumah. Sehingga penceritaan versi festival terasa lebih efisien dan efektif.

yunizs0is9iu9qmpd3cbvmb1
Buat apa nambah durasi kalo diisinya sama adegan “aduh, ngagetin aja”

 

Semua kisah perempuan yang dimuat dalam versi bioskop itu penting. Menambah layer. Tapi tidak bisa hanya ditambahkan seperti demikian. Percakapan soal suara haram yang terselip, tanpa ada flow yang bener-bener natural, ya hanya jadi memolorkan strukturnya saja. Versi yang diniatkan untuk merunutkan ini akhirnya malah terasa lebih lompat-lompat dibandingkan dengan versi festival yang karakter-karakternya sering ditampilkan tanpa introduksi yang proper. Percakapan soal LGBT juga. Adegannya padahal bagus banget, tapi karena sedari awal Yuni gak pernah ada concern ke situ, jadi ya kayak tambalan aja. Di festival, musik dan LGBT hanya disinggung sekilas, tapi toh tidak mengurangi esensi yg dirasakan oleh Yuni. Yang pentingnya poinnya dapet, ada karakter LGBT, dan ada banyak kungkungan kepada perempuan.

Memang, yang versi festival bisa tampil sedikit lebih berat. Lebih nyuruh fokus dan mikir. Dan bisa juga terlalu depressing untuk penonton mainstream. Maka versi bioskop memang dirancang untuk soften the blow. Endingnya yang heartbreaking itu, gak boleh sedih-sedih amat, sehingga dibikinlah adegan ending yang sama sekali berbeda. Ending yang ada harapan dan kesan saling menguatkan. Tapi ya secara konteks cerita, aneh sih. Karena di versi bioskop yang banyak memperlihatkan kasus-kasus patriarki, Yuni ini mengerti perempuan-perempuan di sana struggle di hidup mereka masing-masing. Mereka berjuang hingga sekarang. Yuni malah memilih aksi, well, yang ia pilih. Kesannya di akhir itu kenapa dia malah seperti ‘menyerah’ di saat perempuan lain dia tahu masih berjuang. Apalagi setelah ada adegan perbincangan dengan ayahnya. Kalo yang versi festival kan, Yuni tahu bukan hanya dirinya yang terkukung, tapi dia gak tau tepatnya seperti apa. Maka keputusan Yuni dianggap sebagai pembebasan diri. 

 

 

Maka, untuk pertama kalinya aku akan memberikan dua skor untuk satu film (eventho dengan dua versi editing ini mestinya film ini sudah dianggap dua film berbeda). Secara esensi, film ini memanglah termasuk salah satu yang paling penting yang udah diproduce oleh filmmaker tanah air. Digarap dengan berani, mengangkat bahasan yang mungkin bisa jadi kontroversi, tapi kupikir tidak akan karena film ini kekuatannya adalah di karakter. It won’t offend too much. Terasa sangat otentik sekaligus sangat nyeni. Respek juga sama karakter dan inspirasinya. Tapi kalo aku nonton yang versi bioskop duluan, versi yang lebih ramai dan menggapai lebih banyak lagi, aku akan bilang versi itu cukup overkill, agak redundan, dan perlu untuk ditrim sehingga bisa lebih fokus ke Yuni. Karena pilihan Yunilah atas keadaannyalah yang lebih tragis ketimbang dia mendengarkan cerita tentang karakter lain. Dan actually itulah yang kurasakan pada versi festival. More intimate, more focus, more effective sebagai bangunan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for YUNI theatrical version, and 8.5 out of 10 gold stars for YUNI festival version

 

 

 

That’s all we have for now

Sudahkah kalian menonton dua versi Yuni? Versi mana yang lebih kalian suka, kenapa?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS Review

“Violence is any day preferable to impotence”

 

Seperti judulnya, Seperti Dendam (cukup disingkat begini saja ya nyebutinnya), memanglah sebuah cerita balas-dendam sebanyak film ini sebagai sebuah kisah cinta. Ini adalah film yang ada kelahi-kelahinya, ada romansa-romansanya, dan sering juga keduanya – berkelahi dan romansa itu – berlangsung sekaligus. Untuk membuat dirinya semakin unik, film ini hidup berlatar dunia 80an. Tampil layaknya film laga yang berlangsung dan seperti benar-benar dibuat oleh industri tahun segitu. Berpeganganlah yang erat, karena karya Edwin yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan ini only gets weirder. Nada yang sedari awal diarahkan berbunyi seperti komedi lantas menjadi surealis ketika elemen mistis mulai diperkenalkan. Bersiaplah karena di sini gambar-gambar di belakang truk akan bisa berbicara. Dan jika kalian mengharapkan ada sesuatu setelah semua debu-debu truk itu lenyap, setelah semua pukulan-pukulan teknis itu mendarat menghujam, Seperti Dendam bakal melayangkan serangan terakhirnya dengan ending yang begitu tiba-tiba.

dendam202112021753-main.cropped_1638442415
Film tentang impotensi tapi elemennya dibikin nyembur ke mana-mana

 

Masih ingat ayah Shang-Chi di film kung-fu MCU (Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings)? Gembong penjahat yang bertemu perempuan penjaga desa. Lalu mereka berantem dengan begitu elegan sehingga kayak sedang menari, yang menghantarkan mereka menjadi saling cinta? Well, itu semua jadi gak seberapa romantis jika dibandingkan dengan Ajo Kawir dan Iteung di film Seperti Dendam. Tadinya Ajo Kawir kepengen membunuh seorang juragan. Maka dia harus berurusan dahulu dengan bodyguardnya. Gadis yang tak kalah jagoan bernama Iteung. Dan oh boy, berantemnya Ajo Kawir lawan Iteung di lokasi truk ngangkut-ngangkut pasir itu sungguh intens. Beneran kayak film-film silat low budget tempo dulu. Edwin tidak membumbui itu dengan adegan yang elegan seperti pada Shang-Chi. Melainkan dia menampilkannya se-rough mungkin. Jikapun ada ‘polesan’, maka itu difungsikan untuk menahan tone alias nada supaya tetap berada di kotak over-the-top kelucuan.

Memang, adegan berantem awal pertemuan mereka itu membuatku tercengang. Kamera gak banyak cut, langsung aja nampilin. Aku mungkin salah, tapi mereka gak keliatan pakai stuntmen. Ada tuh saat Iteung di-powerbomb ke tanah berpasir. Maaaan… Sebagai orang yang nonton WWE religiously, aku tahu ada cara yang aman untuk ngelakuin jurus-jurus atau adegan tersebut. Berantem sekasar itu bisa dikoreografikan dengan safely. Tapi tetep saja aku kagum sekali Marthino Lio dan Ladya Cheryl berani dan sanggup ngelakuin adegan itu dengan baik.

Pertarungan nyaris hidup-mati itu jadi koneksi yang sangat personal bagi Ajo Kawir dan Iteung. Pemuda yang haus berkelahi sebagai pelampiasan frustasi dan semacam pembuktian diri, bertemu dan dibikin humble oleh perempuan tangguh yang seperti memahami lelaki seperti itu. Koneksi mereka is on another level of love. Tapi ternyata itu hanyalah salah satu bentuk unik purest love yang digambarkan oleh film ini. Untuk satunya lagi, mari kita letakkan konteks ke dalam cerita. Alasan Ajo Kawir napsu cari ribut adalah karena dia percaya itulah satu-satunya cara dia menunjukkan kejantanan. Bahwa dia masih cowok, kok, meskipun burungnya gak bisa berdiri. Kita hanya bisa membayangkan; berantemnya aja seintens itu, gimana pergumulan mereka di kasur ya. Tapi Ajo Kawir enggak bisa begitu. Ajo Kawir awalnya malah sempat minder dan menghindar. Tapi, Iteung tetep mau dan mengawini dirinya. Relationship Ajo Kawir dan Iteung lantas menjadi pondasi besar untuk bangunan cerita Seperti Dendam. Chemistry Lio dan Cheryl hanya tersendat oleh dialog jadul yang kerap sedikit janggal terdengar saat momen-momen mereka. Seperti saat berantem tadi, keduanya tampak lebih klik dalam bahasa gerak dan ekspresi. Sebenarnya itu saja sudah cukup untuk memikul narasi film ini. Karena memang Seperti Dendam lebih excellent ketika menampilkan, entah itu aksi, their whole world, atau hal sesimpel joget dangdut di kawinan.

Aku menikmati ketika narasi masih berpusat di Ajo Kawir berusaha menjadi better man setelah menikah dengan Iteung. Dia berusaha meninggalkan kebiasaan lama. Bahkan berjanji untuk tidak membunuh si Macan, seorang lagi gembong penjahat dengan kepala berharga tinggi. Harga yang mestinya bisa memberikan kehidupan yang layak bagi rumah tangga Ajo. Namun konflik sebenarnya baru datang setelah ini. For Ajo dan Iteung sama-sama punya hantu di masa lalu. Impotensi Ajo berasal dari trauma masa kecil perlahan tapi pasti menjadi pemicu, sementara teman lama Iteung datang menawarkan solusi sekaligus ancaman bagi Ajo. Jika ini adalah cerita biasa, film ini akan berakhir saat turning point. Saat yang berusaha dibangung Ajo bersama Iteung hancur, membuat mereka terpisah. Seperti Dendam sekarang barulah jelas intensinya. Film ini ingin mengeksplorasi impotensi – dalam hal ini bisa dilihat sebagai pria yang merasa dirinya lemah. Kenapa seorang pria bisa merasa begitu. Bagaimana menyembuhkan impotensi berarti adalah bagaimana cara yang benar bagi seorang pria merasa dirinya jantan. Apakah merasa macho memang sepenting itu. Pamungkas film ini sebenarnya terletak saat eksplorasi itu. Saat menunjukkan Ajo Kawir berusaha ‘menemukan jalan pulang’ kepada Iteung. Namunnya lagi, justru di paruh akhir yang difungsikan untuk itulah, film ini terasa mulai gak koheren. 

Bahkan Mahatma Gandhi yang pacifist tulen aja bilang lebih baik menjadi violent jika itu satu-satunya cara untuk mengklaim power. Ajo Kawir jadi impoten setelah peristiwa traumatis yang menimpa dirinya. Impoten di sini adalah lack of power. Menjadi violent bagi Kawir bukan hanya pelampiasan frustasi, ia semestinya belajar menyadari bahwa itulah perjuangannya untuk berani mendapatkan kembali hal yang hilang dari dirinya karena trauma.

 

Begitu masuk ke paruh akhir, Seperti Dendam seperti berjuang mencari arah untuk finish. Tidak lagi berjalan untuk bercerita. Melainkan jadi seperti masuk ke mode mengakhiri cerita dengan tetap bergaya. Masalahnya, di titik itu masih banyak elemen yang harus diceritakan. Ketika menggali lebih dalam ke asal muasal penyakit Ajo Kawir, ataupun ketika memaparkan kejadian horrible apa yang menimpa Iteung saat masih masuk usia remaja, film mulai menapaki arah yang surealis. Katakanlah, ada karakter ‘hantu’ yang dimunculkan. Lalu juga ada perihal perilaku semena-mena aparat yang dirahasiakan, yang juga mengait ke persoalan petrus dan presiden di periode waktu itu.  Untuk menambah kuat karakter periode dan dunianya, film juga sekalian memberikan peristiwa gerhana sebagai latar. 

dendamSeperti-Dendam-Rindu-735x400
Ratu Felisha mainin salah satu karakter terseram seantero 2021

 

Karakter-karakter baru pun lantas muncul. Mereka sebenarnya terasa punya kepentingan yang signifikan di dalam cerita ini, tapi karena Seperti Dendam sudah menjadi medium film, penempatan mereka tidak terasa benar-benar menjustifikasi keberadaan mereka itu sendiri. Dengan kata lain, aku merasa mereka jadi dimunculkan ujug-ujug saja. Tidak ada bedanya dengan si karakter ‘hantu’ yang tau-tau ada begitu sesajen dibakar. Film seperti Dendam pada akhirnya terkekang juga oleh hakikatnya sebagai cerita adaptasi novel. Yang juga kentara terpengaruh oleh mendadak banyak elemen ini adalah tone cerita. Sedari awal, Seperti Dendam memang tidak pernah saklek. Apakah ini satir. Apakah kita memang diniatkan untuk tertawa melihat Ajo Kawir berjuang membangunkan burungnya. Apa yang harus kita rasakan melihat Ajo Kawir kesenengan dihajar orang-orang yang diajaknya berkelahi? Tapi begitu paruh akhir dan segala elemen baru masuk, tone semakin tak menentu lagi. Di bagian yang seperti dirancang untuk membuat kita takut, kita juga merasakan harapan bertumbuh. The only constant adalah pada adegan berantem yang selalu menarik, dan jadi penawar bingung dan sumpeknya semua terasa.

Novelnya sendiri memang aku belum baca. Jadi gak bisa mastiin juga seberapa ‘sama’ film ini dibuat dengan bukunya. Biasanya buku memang lebih leluasa sih, lebih banyak ruang juga. Film adaptasinya ini seharusnya bisa lebih luwes. Mengingat banyaknya muatan, dan style yang mencakup surealis dan menonjolkan seni bercerita, sepertinya bisa lebih asik kalo sekalian aja film ini tampil acak kayak Pulp Fiction (1994). Gak usah runut atau linear. Bagi semacam segmen per karakter, kreasi di urutannya saja, bolak balik saja tak mengapa. Sekalian juga per segmen itu tone-nya bisa beda. Dengan membuatnya begitu, semua yang diniatkan untuk ada masih bisa tertampung semua. Juga, film jadi gak perlu mikirin dan rush menuju ending seperti yang kita saksikan sekarang ini.

 

 

 

Dari tiga-besar film Indonesia tahun ini, film inilah yang memang terasa terhambat oleh adaptasi. Dua film lainnya itu luwes dan bisa mencapai ending yang membayar tuntas semua. Film yang satu ini tidak begitu. Paruh pertama terasa lebih enak karena masih mengalir sebagai cerita, yang fokus ke karakter. Ketika sudah mendekati penghabisan, muatan yang seambreg mulai terasa pengaruhnya. Film jadi berusaha untuk mengakhiri aja. Elemen kritik ke politik, komedi, horor, atau bahasan lainnya pun jadi tempelan at best. Padahal aslinya kan tidak seperti itu. Mereka harusnya jadi esensi. Film ini perlu untuk jadi bold, aneh, kasar, lucu, miris, dan sweet sekaligus. Untuk pembangunan itu semua – dan pembangunan dunianya – kerja film ini sangat excellent. Dia berhasil. Saat menempatkannya sebagai satu film koherenlah, film ini kurang mulus. Maka, mungkin sebaiknya jadi total aneh saja sekalian. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian siapakah Jelita? Apakah dia hantu Rona Merah, atau ada hubungannya dengan Iteung? Apa makna karakter ini bagi kedua tokoh sentral di dalam cerita?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SPENCER Review

“A bird in a cage is not happy, even if you bought him a golden cage.”

 

 

 

Lady Diana dikenal sebagai sosok yang tragis. Peristiwa dan aftermath kematiannya yang naas jadi sensasi perbincangan berita di tahun 1997. Maka, sutradara Pablo Larrain yang sebelum ini menggarap biopik figur First Lady Jacqueline Kennedy yang tak kalah ‘sedihnya’ (Jackie), merasa tepat untuk membuat kisah hidup Diana sebagai sebuah cerita tragis pula. Larrain mengarahkan film Spencer sebagai cerita tentang perempuan yang bagai burung terkurung dalam sangkar emas. Bukannya mau nyamain cewek ama burung – apalagi perempuan yang begitu berpengaruh seperti Lady Diana si Princess of Wales, tapi memang Larrain menjadikan Spencer bukan sebagai biopik sejarah yang utuh. Melainkan sebagai sebuah fabel yang berdasarkan kepada tragedi nyata. Dongeng yang benar-benar terus mengedepankan ketaknyamanan hidup perempuan di dalam istana yang seperti penjara. Seolah terpenjara itulah yang membuat Diana bisa relate kepada kita.

Malanglah juga, buat penonton yang mungkin enggak tahu atau mungkin dulu masih terlalu muda untuk mengerti apa yang menimpa Lady Diana. Karena Larrain tidak tertarik untuk berlama-lama menjelaskan tragedi apa yang terjadi di kehidupan Diana Spencer, yang jadi anggota kerajaan Inggris. Informasi latar belakang seperti soal rumah tangga Diana dengan Pangeran Charles sedang genting karena ada rumor affair, atau keadaan di istana Sandringham, atau perihal eating disorder yang diderita Diana, akan langsung ditampilkan saja di dalam narasi yang ia susun berpusat pada minggu Natal di tahun 1991.

Plot Spencer berpusat kepada eksplorasi perasaan Diana terhadap keluarga dan aturan dan gaya hidup kerajaan yang harus ia jalani sebagai istri dari putra mahkota. Diana datang terlambat ke Sandringham. Meski sepertinya dia memang beneran nyasar, tapi kita bisa melihat Diana menikmati keterlambatannya itu. Menikmati momen-momen saat dia ada di luar sana. Alih-alih di dalam istana, yang jadwal buka kado hingga pakaian yang ia kenakan saja diatur. Dia gak bisa milih dress proper dan asesoris yang wajib ia kenakan setiap kali jamuan makan. Bahkan jamuan makan itu sendiri bisa jadi siksaan emosional untuk Diana. Bulimia yang ia derita bentrok dengan kewajiban makan dan berat badan yang harus ia patuhi. Tidak ada di ruangan itu yang tampak peduli kesehatannya. Diana justru tampang dipandang sebagai pelanggar aturan oleh keluarga kerajaan. Gak mau patuh. Kalung mutiara yang ia kenakan pun lantas menjadi simbol kekangan bagi dirinya.

spencer-kristen-stewart-as-princess-diana-lede
POW di bajunya itu singkatan Princess of Wales atau malah Prisoner of War?

 

Film ini disebut banyak orang sebagai sebuah masterpiece. Dan itu benar. Spencer adalah masterpiece dalam menggambarkan ketaknyamanan yang kerap mendera Lady Diana. Ambil adegan makan malam sebagai contoh. Kita melihat Diana masuk terlambat (sekali lagi) ke ruang makan. Mengenakan gaun hijau dan kalung mutiara yang sebenarnya enggan ia pakai. Kemudian prosesi makan malam mereka berlangsung dengan sangat kaku. Lengkap dengan pelayan-pelayan yang udah terlatih kayak militer. Mereka makan dalam diam, badan tegap, siku gak boleh nyentuh meja dan segala macam. Tapi, kita diperlihatkan ekspresi Diana, yang masih belum menyentuh sup hijaunya. Cara kamera merekam, editing yang dilakukan, plus permainan akting Kristen Stewart membuat kita merasakan sensasi tak nyaman. Kita seperti merasakan sejumlah pasang mata memelototi Diana. Konteks lain di sini adalah Diana punya ‘kebiasaan’ muntahin kembali makanannya, jadi dia justru diharapkan dengan tegas untuk tak melakukan itu lagi – meski dia tidak punya kendali atas penyakitnya itu. Kecemasan Diana ditangkap oleh film, dan kemudian digambarkan lewat adegan sureal berupa Diana merenggut lepas kalung mutiara yang ia kenakan. Mutiara-mutiara itu berjatuhan ke dalam mangkuk supnya, dan Diana memakan sup itu, lengkap dengan toping mutiara-mutiara yang keras. Adegan yang beberapa menit kemudian diungkap sebagai bayangan dari Diana tersebut benar-benar efektif dalam menunjukkan seberapa besar tekanan di situ bagi dirinya.

Ironis, Diana justru merasa lebih terkekang di rumah yang melindunginya seratus persen lewat aturan dan berbagai tata krama dibandingkan di luar, di tempat paparazi diketahui akan mengintai kemana pun dia pergi. Kungkungan ternyata jauh lebih bikin stress.

 

Gambar-gambar Spencer yang gorgeous sekali memang dimanfaatkan dengan seefektif itu. Sandringham bahkan udah kayak karakter tersendiri. Dengan build-up yang cermat terhadap bagaimana tempat mewah itu malah jadi seperti penjara. Kamera akan melayang memperlihatkan bentuknya yang tertutup. Lalu juga ada adegan demi adegan yang memperlihatkan betapa strict-nya di sana; bahkan urusan dapur saja benar-benar diawasi oleh pasukan khusus. Dan Diana ada di sana, sebagai presence yang mempertegas bukan hanya ‘kecantikan’ melainkan juga kontras keinginan untuk bebas dan kungkungan itu. Semua aspek penceritaan lewat visual tadi itu dimainkan sehingga saat adegan perasaan pembebasan diri di menjelang akhir, kita semua jadi ikut merasakan seberapa gemetarnya tangan Diana untuk merenggut kalung (kali ini beneran) dan betapa plongnya nanti emosinya terasa.

Ketika film-film tentang Lady Diana sebelum ini masih berusaha untuk tampil berimbang, Spencer tidak ragu untuk memihak. Tidak ragu untuk menunjuk antagonis. Diana ke dapur tengah malam aja, ditegor. Dia gak nutup gorden jendela aja lantas dimarahi, karena ternyata ada paparazi yang mengintai setiap saat bahkan saat dia berganti pakaian. Diana heran kenapa harus dia yang ‘kena’, seperti kalo di kita ada perempuan yang dilecehin maka yang disalahkan pasti si perempuan, bukan para cowok yang harusnya dilarang. Diana gerah harus mengikuti protokol dan gak bisa kemana-mana, gak bisa ngapa-ngapain sendirian. Memang, sebaliknya, bisa terdengar Diana-lah yang egois. Supaya gak keliatan seperti itu, maka naskah mencuatkan posisi Diana. Bahwa semuanya bermuara kepada concern Diana kepada anak-anaknya. Kekhawatiran Diana atas kesehatan mereka (Istana yang dingin, dan menolak gedein pemanas) serta perhatian saat ayah memaksa mereka ikut berburu burung. Ini jadi memperlihatkan Diana sebagai ibu yang baik di atas segalanya. 

spencer03042ce3-ede2-4c4e-ac72-18cad07ae5d0-SPENCER_by_Pablo_Larrain_courtesyNEON
Waktu kecil, aku punya teman yang ‘diledek’ ibunya mirip Lady Di

 

Aku gak tau aslinya Lady Diana seperti apa, tapi banyak yang bilang penampilan Kristen Stewart di sini mirip banget – bahwa Stewart menghilang ke dalam sosok Diana Spencer. Aku gak bisa konfirm soal itu, but I do have some opinions. Stewart memang berhasil nampilin sosok yang terkekang lahir dan batin. Dia ngomong aja suaranya kayak bisik-bisik, bahkan saat sedang adu argumen dengan koki atau pegawai di istana itu. Cara ngomong yang semakin memperkuat kesan bahwa perempuan ini saking merasa gak bebasnya, sampai bicara pun gak bisa lepas. Namun di sisi lain, lama kelamaan kok ya agak monoton juga. Somehow jadi terasa susah juga bagi kita untuk masuk ke dalam karakter ini, karena kita literally dan figuratively kurang bisa ‘mendengar’ yang berusaha ia keluarkan. Padahal kalo dia lepas aja, kayak waktu dia ngobrol di pantai bareng sahabat yang jadi pelayannya, karakter ini lebih mudah untuk kita ‘dekati’.

Ini jugalah yang jadi sedikit ganjelan buatku. Spencer terlalu lama menghabiskan waktu untuk menunjukkan Diana adalah korban sangkar emas. Diana nangis, Diana muntah, atau melakukan keduanya bersamaan – sambil pakai dress menakjubkan, Diana melukai diri sendiri. Intensitas yang terus naik untuk menunjukkan perasaan terkekang yang semakin besar. Film kekeuh banget nunjukin ketatnya si pihak antagonis sehingga Diana jadi hancur lebur. Tanpa pernah menonjolkan keberimbangan. Padahal tak sedikit juga pelayan atau pihak istana yang ngasih Diana nasihat dan nunjukin support kepadanya. Tapi she just cry dan segera balik ke mode ‘gue korban’. Aku bukannya gak berada di sisi Diana atau gimana, tapi aku melihat ada kecenderungan begini: dalam narasi yang ada elemen pelaku dan korban, kalo narasi itu pembahasannya fokus ke pelaku tanpa atau sedikit sekali menggali perspektif korban, pasti bakal dikecam. Namun sebaliknya, tidaklah mengapa kalo yang dibahas adalah perspektif korban doang. Pelaku tidak dikembangkan, melainkan justru kalo bisa harus terus diantagoniskan. Buatku ini kecenderungan yang mengkhawatirkan sih. Membuat film jadi kentara banget fokus nomor satu kepada agenda. Alias memihak tapi untuk kepentingan menggaet ‘marketing’ tertentu.

Dan Spencer ini aku hampir ngerasanya kayak begitu. Film ini membuat seolah Diana itu berada di tempat yang tidak ia mau. Seolah dia jadi tawanan di sana. Penonton yang sama sekali gak tahu siapa Diana boleh jadi akan menganggap Diana dipaksa menikah, atau mungkin malah ‘dijual’ kepada keluarga kerajaan. Padahal kan tidak. Diperlihatkan Diana bukan putri paman petani (bukan Diana yang di lagu Koes Plus!) Diana putri bangsawan Eropa. Rumahnya juga gede. Walaupun dia diperlihatkan memang hidup lebih bebas di masa kecil, tapi tentunya Diana tahu seperti apa lingkungan istana – apa yang ia masuki ketika menikah. Inilah yang harusnya diberikan konteks oleh film. Boleh mengantagoniskan satu pihak, tapi juga tetap gak elok jika protagonisnya selalu dipush entah itu selalu benar atau selalu dibuat menderita tanpa menggali kenapa dia bisa merasa begitu pada awalnya. Development karakter Diana terlalu sedikit karena film terlalu sibuk mengantagoniskan pihak satunya dan  terlalu sibuk membuat protagonisnya ini menderita.

 

 

 

Tampaknya memang perspektif itu yang diincar. Film ini sepertinya memang tidak berniat untuk menggali lebih dalam melainkan hanya berpusat kepada kecamuk emosional yang sekiranya terjadi di dalam diri seorang Lady Diana selama ia hidup sebagai istri Pangeran Charles dan anggota kerajaan. Ingat, sekali lagi film ini adalah fiksi yang berdasarkan tragedi nyata. Jadi tentunya build up tragedinya itu yang diimajinasikan di sini. Dan untuk menghasilkan perasaan tak-nyaman, terkukung, dan stress karakternya tersebut, film ini melakukannya dengan luar biasa. Hanya, buatku, film yang dua jam isinya ‘memamerkan’ seseorang di posisi korban, bukanlah tontonan yang, katakanlah menghibur, atau yang benar-benar terasa penting. They just so undeniably great at being that one-sided, rather self-absorbed story.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SPENCER

 

 

 

That’s all we have for now

Diana di kisah ini sering melihat vision dari cerita yang ia baca tentang Anne Boleyn yang dipenggal Raja Henry yang menolak menceraikannya. Menurut kalian apa makna cerita tersebut sampai begitu penting bagi Diana?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TICK, TICK…BOOM! Review

Time is what we want most, but what we use worst”

 

 

Hidup itu berharga karena ada batasnya. Tanyai saja setiap vampir yang kalian tahu. Mereka pasti akan berkata hidup abadi itu membosankan. Karena tidak ada deadline, kau punya kesempatan sebanyak yang dimau. Tidak ada lagi urgensi di dalam hidup jika kita punya waktu yang tak terbatas di dunia. Heck, kita terpikir untuk pengen hidup seribu tahun lagi hanya karena kita tahu hidup ada masa kadaluarsanya. Jika kalian tidak punya kenalan vampir untuk memberitahu pentingnya waktu, maka kalian cukup menonton kisah hidup Jonathan Larson dalam biografi musikal Tick, Tick…Boom! yang merupakan debut penyutradaraan dari aktor, penyanyi, dan komposer Lin-Manuel Miranda.

Batas atau umur itulah yang sebenarnya memberikan excitement dalam hidup. Kita melakukan passion kita, mengejar impian kita, karena kita tahu kita mungkin tidak bakal dapat mencapai semua itu karena waktu kita bakal habis. Makanya kita semua pengen dapat tambahan waktu, padahal yang penting dari waktu tersebut bukanlah seberapa banyak yang kita punya. Melainkan apa yang kita lakukan untuk mengisinya.

 

Memang tepat bila disebut Miranda membuat film ini sebagai surat-cinta untuk pencipta teater musikal – yang disebut oleh karakter ceritanya sebagai “spesies yang terancam punah”. Cara bercerita yang digunakan Miranda ‘terdengar’ oleh kita sebagai sebuah ekspresi penuh rasa syukur dan cinta yang dipersembahkan kepada seni tersebut, dan kepada tokoh pembuat-pembuatnya. Khususnya kepada Jonathan Larson. Seorang sutradara teater musikal yang menelurkan karya fenomenal, tanpa pernah melihat karyanya tersebut dimainkan. Larson meninggal dunia pada malam sebelum show Rent ditampilkan. Agak tragis, tapi tak pelak sungguh menginspirasi. Tick, Tick…Boom! however, dihadirkan tidak berfokus kepada Rent karya Larson yang fenomenal itu, melainkan kepada sosok si Larson sendiri. Perjalanan yang ia tempuh sebelum ia bahkan punya, katakanlah, nyali untuk membuat Rent.

Menjelang ulangtahunnya yang ketigapuluh, Larson (peran musikal pertama bagi Andrew Garfield!) mulai galau. Krisis eksistensi menerpa dirinya. Larson merasa belum mencapai apa-apa. Dia yang kerja di diner, belum jadi orang. Mimpi-mimpinya di masa muda sama sekali belum kesampaian. Karya musikal yang ia ciptakan terus saja ditolak. Atau lebih parah, dicuekin. Bertekad untuk membuat sesuatu atas namanya, Larson kini memusatkan diri untuk proyek musikal rock, sci-fi, yang ia beri judul Superbia. Masalahnya, di proyek yang ia tahu bakal mengubah dunia itu, Larson justru merasa kesulitan. Dia gak mampu menulis babak kedua – babak paling penting – dalam musikal ciptaannya itu. Dalam kondisi ekonomi yang mulai menghimpit, sosial yang makin tercerai berai (bertengkar dengan pacar, dan ditinggal mati oleh teman-teman yang satu persatu direnggut HIV), dan umurnya sendiri yang ia pikir semakin kehabisan waktu, Larson berjuang menyelesaikan karyanya.

boomimage
Tik tik bum, bunyi bom waktu di dalam hati~

 

 

Untuk film pertamanya ini, Miranda mengadaptasi musical performance one-man show Larson sebagai pondasi dari drama musikalnya ini. Clearly, sang sutradara masih berpegang pada hal yang lebih dekat dengannya, yakni gaya teatrikal. And that’s okay, karena Miranda memang cukup berhasil bercerita dengan memadukan gaya teatrikal tersebut dengan gaya bercerita film. Kita melihat Larson tampil live di depan audiens, kemudian dia bercerita tentang lagu yang ia ciptakan dari kehidupannya itu. Cerita Larson tersebut lantas menjadi adegan drama yang kita tonton sebagai flashback. Dalam adegan-adegan drama itu pun nantinya Larson dan karakter-karakter lain akan sering burst out menyanyikan lagu, lengkap dengan koreografi dan set yang dibikin seolah sebuah live teater. Semua bingkai tersebut ditampilkan mulus. Lagu-lagunya catchy dan tampak dibawakan dengan natural. Lirik yang menggambarkan perasaan Larson saat itu pun mampu menghantarkan perasaan dengan lebih tepat, walaupun kesannya jadi fun. Misalnya musical number saat Larson terperangkap dalam kesibukan diner tempat dia bekerja di hari minggu. Atau adegan nyanyi saat dia ‘merayakan’ apartemen baru milik sahabatnya yang memilih kerja kantoran dengan melepaskan kerjaaan sebagai seorang aktor.

Tapi buatku, film ini paling the best saat berbingkai teater. Bagian musikal favoritku adalah ketika Larson dan penyanyi yang diperankan oleh Vanessa Hudgens melagukan momen-momen saat Larson dan pacarnya ribut soal kerjaan dan masa depan. Koreografinya unik sekali. Mereka duduk di atas kursi di depan panggung menghadap audiens. Sambil tersenyum mereka mendendangkan curhat. Semakin intens curhatnya, senyum mereka makin lebar, dan gerakan koreo mereka semakin cepat-cepat. It’s wild! Kalo sutradara tidak memilih untuk menyelang-nyelingi adegan musikal di teater itu dengan adegan drama Larson dan pacarnya berantem di rumah, kalo musikal itu disyut dengan benar-benar seperti adegan teater – without cut dan sebagainya – aku sudah pasti akan meloncat-loncat kayak anak kecil dihadiahi PS 5 oleh bapaknya yang galak. Namun tetap saja, tidak bisa dipungkiri bahwa yang disuguhkan oleh para aktor di film ini bukanlah akting sembarang akting.

Can we please stop dulu bicarain Spider-Man, dan fokus ke betapa luar biasanya Andrew Garfield dalam peran musikal pertamanya ini? Garfield adalah salah satu dari sedikit aktor yang kayaknya selalu ngasih aku surprise dari apa yang bisa ia lakukan terhadap perannya. I mean, waktu di Hacksaw Ridge (2016) aku surprise sama penampilan drama emosional yang ia tampilkan. Begitupun waktu di Silence (2017), dia kembali memberikan note yang distinctive dalam perannya. Sekarang di Tick, Tick…Boom! ini juga begitu. Dia berhasil menghidupkan sosok seniman larger-than-life. Dia menghajar setiap adegan musikal dengan penuh gelora. Bukan sebatas nyanyi dan tampil sedikit nyentrik, Garfield di sini juga harus mengenai nada-nada dramatis. Larson yang tenggelam dalam cipta karya sehingga bertengkar dengan orang-orang terdekatnya, akan dengan gampang terlihat sebagai pribadi egois. Tapi Garfield membuat kita bersimpati dengan karakternya ini. Membuat kita paham apa yang ‘tick‘ di dalam perasaannya. Penampilan akting Garfield membuat karakter ini semakin mudah untuk kita relasikan dengan kehidupan kita.

Siapa sih yang gak risau saat menemukan dirinya berkepala tiga tapi belum mencapai apa-apa. Aku rasa semua penonton butuh menyaksikan film ini, paling enggak sebagai guide memasuki usia tiga-puluh. Karena memang gak gampang, untuk menyadari bahwa hidup kita bukan semata terbatas, tapi sebanyak apapun waktu yang kita punya, segimana pun orang punya waktunya masing-masing, waktu itu gak akan berbuah apa-apa jika kita tidak mengisinya dengan hal yang kita cinta. Kisah hidup Jonathan Larson dalam film ini, kurang lebih, mengatakan tentang hal tersebut.

boomTherapy-in-Tick-Tick-Boom
Aku malah sempat kecewa saat masih hidup setelah usia 27, aku merasa gak cukup berbakat untuk sebanding sama the 27 Club artists.

 

 

Ada banyak hal yang bisa disukai dalam Tick, Tick…BOOM! kecuali pacarnya Larson. Urgh. Annoying banget. Dia sengaja banget nagih jawaban saat Larson lagi sibuk-sibuknya. Dia gak dateng saat show. Eh, pas shownya rame, dia baru muncul. Pacar apaan tuh. Tapi mungkin itulah mark keberhasilan dari karakter yang memang jadi inspirasi Larson ini. Kisah cinta mereka inilah yang harus dijadikan stake utama, karena narasi yang berangkat dari kisah nyata ini kan semua orang sudah tahu endingnya. Larson yang merasa dirinya diburu waktu, sendirinya, tidak akan lagi jadi cerita yang menarik jika film tidak menyelam ke dalam karakter-karakter yang punya peran dan menghidupi hidup Larson. Karakter-karakter itu, seperti pacar Larson dan juga sahabat masa kecilnya, memang ada dan disorot cukup banyak oleh cerita. Tapi permasalahan mereka tidak pernah dibahas lebih dalam dari sebuah adegan musikal berikutnya. Permasalahan dengan mereka berdampak kepada Larson, tapi film hanya memperlihatkan sebatas soal ‘terwujud sebagai lagu baru’

Bukan Larson saja yang terburu waktu. Demi menguatkan kesan deadline yang menghimpit, film ini sendiri akhirnya bercerita dengan nada yang seperti terburu-buru. Tidak pernah benar-benar diam sejenak untuk merenungi emosi ataupun berkontemplasi dengan karakternya. Seharusnya ada lebih banyak adegan seperti Larson berenang dan literally menyelam ke dalam pikirannya. Film ini, memperkenalkan kita dengan menarik kepada karakter-karakter dan masalah mereka, tapi tidak lantas mau keluar dari memperlihatkan para karakter sebagai manusia di luar yang kita lihat. Oh, ada teman yang terbaring kena HIV, Larson sedih, tapi setelah dijadikan satu lagu, masalah tersebut pindah juga ke masalah lain. Ke masalah untuk dinyanyikan berikutnya. Bisa jadi ini karena pondasi cerita adalah pertunjukan seni sehingga yang kita lihat juga masalah yang terkesan lompat-lompat seperti itu, tapi sebenarnya itu gak jadi soal jika film mau untuk melambat sedikit. Narasi tidak harus berjalan seperti diburu-buru. Kesan itu bisa dilayangkan lewat kerja kamera atau lewat editing saja.

 

 

 

Seneng sekali setidaknya ada tiga drama musikal bagus tahun 2021 ini. Meskipun aku gak suka musik, tapi aku selalu menyambut gempita film musikal karena biasanya emosinya memang menohok lebih dalam. Film ini misalnya. Fusion keren dari teater musikal dengan drama musikal. Penampilan akting yang mempesona dari Andrew Garfield turut mempermanis surat-cinta untuk seni teater dan salah satu seniman yang bekerja membuatnya, si Jonathan Larson itu sendiri. Ceritanya sungguh menginspirasi, super relatable, dan bakal bikin kita ikutan nyanyi dari hati. Pengennya sih film ini bisa sedikit lebih ‘tenang’ dan lebih berlama lagi menyoroti karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TICK, TICK…BOOM!

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jonathan Larson berjuang hingga akhir hayat atas nama seni. Menurut kalian apakah seni itu memang sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LAST NIGHT IN SOHO Review

“We romanticize the past with an illusion that we’d know how we’d fit”

 

 

“Hati-hati, di London banyak orang jahat.” Peringatan yang jadi penutup nasihat Nenek sebelum Eloise/Ellie pindah untuk kuliah ternyata merupakan set up bagi bangunan narasi horor Last Night in Soho. Kalimat tersebut membuild-up antisipasi Ellie; cara pandang dirinya terhadap pengalaman yang ia temui dan rasakan sebagai gadis desa yang pindah ke kota besar. Dan tentu saja antisipasi kita juga, karena kita akan melihat dan merasakan semua pengalaman lewat Ellie. Itulah yang membuat karya terbaru Edgar Wright ini sebuah horor atau misteri psikologis yang luar biasa efektif. Tak ada yang lebih menyeramkan daripada seorang perempuan yang merasa dirinya ‘diserang’ oleh banyak pria (dan tak jarang juga oleh perempuan lain) dari berbagai arah. Yang merasa tempatnya hidup begitu enggak aman, sehingga dia harus mencari ke tempat lain. Bahkan, hingga ke waktu atau era yang lain.

Kok bisa? Karena Wright membuat filmnya ini sebagai semacam perjalanan waktu. Setiap kali Ellie tidur di kamar kosnya, dia seperti tertransport ke era 60an yang penuh kelap-kelip. Ellie melihat dunia itu lewat mata Sandie, gadis yang mengejar mimpi jadi penyanyi seperti Ellie yang punya keinginan untuk jadi seorang fashion designer. Tapi kehidupan Sandie si gadis berani yang tahu apa yang ia mau itu seketika jadi inspirasi bagi Ellie. Apalagi memang sejak awal Ellie sudah terobsesi dengan segala sesuatu yang berbau tahun 60an. Ellie rela pergi tidur lebih cepat karena ia udah gak sabar untuk merasakan lagi keglamoran Sandie dan era tersebut.

sohoLast-Night-in-Soho-Thomasin-McKenzie-Anya-Taylor-Joy
Dengan kontras warna biru dan merah itu, tadinya kukira poster Survivor Series Smackdown lawan Raw

 

 

Untuk 30 sampai 40 menit pertama, cerita akan fokus kepada kontras antara Ellie dengan Sandie. Ketika kehidupan kampus dan sosial Ellie tampak penuh orang fake dan toxic – mulai dari pengemudi taksi yang matanya belanja ke kaki Ellie hingga ke teman sekamar di asrama yang manis di depan saja, sehingga kini Ellie tidak bisa memastikan seorang anak cowok yang mendekatinya itu beneran tulus pengen jadi teman atau cuma pengen meminum lebih dari kola miliknya saja – kehidupan malam Sandie tampak lebih aman dan menjanjikan. Menyaksikan dari balik cermin, Ellie melihat Sandie dibantu oleh seorang pria, diberikan kesempatan casting, janji mau diorbitkan, dibela dari mata keranjang; benar-benar disupportlah!

As far as the genre goes, babak pertama film ini memang membuat kita meraba-raba. Selain kemampuan Ellie melihat hantu ibunya di dalam cermin dan perihal Ellie masuk ke era 60an setiap kali tidur (bagaikan mimpi teramat nyata), kita enggak yakin di mana letak horor film ini. Yang terasa kuat adalah misteri kejadian tersebut kenapa bisa terjadi. Implikasi yang dihadirkan adalah hantu Sandie yang membawa Ellie masuk ke era tersebut, karena Ellie punya ‘kemampuan’, tapi itu juga belum membuat film terasa seram. Last Night in Soho memang mengambil waktu selama itu untuk mendaratkan ceritanya ke horor yang dijanjikan. Namun itu bukan berarti film ini tampil membosankan.

Set dan artistiknya stunning semua. Kerja kamera dan tempo editing cepat yang sudah jadi cap-dagang Wright membawa kita melewati set up panjang dan semua kontras itu dengan penuh gaya. Pertama Wright menekankan kontras itu lewat warna. Eloise dan lingkungannya hadir dengan warna-warna biru hingga abu-abu pucat, sementara Sandie melangkah mantap menembus dunia dominan merah di balik dress pink ataupun jaket putih mengkilap. Ellie pada awalnya tampil polos, tidak seperti Sandie yang bibirnya selalu merekah merah. Warna-warna tersebut tentu saja menguatkan karakter mereka. Thomasin McKenzie memainkan Eloise sebagai karakter yang berusaha mandiri, yang berusaha optimis. Dia memang sedikit polos, dan somewhat kurang pede dan kurang agresif (perhatikan rasa bangganya ketika menyebut mengenakan baju rancangan sendiri memudar dengan cepat begitu melihat reaksi dari teman-teman barunya), tapi McKenzie berhasil membuat kita melihat dia sebagai gadis yang gak mudah menyerah. Kita bersimpati pada gadis yang dicap norak dan aneh oleh cewek-cewek seusianya ini. Sebagai Sandie, Anya Taylor-Joy, ditugaskan untuk menjadi antitesis dari karakter Ellie. Dan dia berhasil memainkannya dengan fenomenal. Sandie benar-benar tampak sebagai enigma dimainkan oleh Anya.

Bukannya mau nyamain diri ama sutradara sekelas Edgar Wright, tapi aku punya bayangan yang mungkin sedikit lebih tegas mengenai effort yang harus Wright keluarkan untuk mewujudkan visi kreatifnya di sini. Bikin dua aktor seolah mereka satu orang karakter, yang bergerak selaras dalam pantulan cermin, jelas bukan hal yang gampang. Aku pernah bikin film pendek dengan konsep serupa, dua pemain harus bergerak layaknya seseorang dengan pantulannya, dan hasilnya susah untuk sempurna. Akhirnya aku mengurangi adegan, dari yang banyak gerak menjadi cuma senyum doang hahaha.. Yang dilakukan Wright dalam film Soho ini bahkan lebih kompleks dari adegan sekadar karakter bercermin. Yang dengan budget yang banyak, tentu bisa dilakukan pake efek komputer. Wright di sini betul-betul membuat Ellie dan Sandie terlihat sebagai satu orang, lewat adegan tanpa cermin yang gak-putus. Adegan menari yang Ellie dan Sandienya muncul bergantian, dilakukan Wright tanpa efek editing, melainkan dengan efek praktikal yang menuntut ketepatan dari semua kamera dan juga para aktor.

In some sense, film ini mengingatkanku sama Malignant (2021), horor action campy dari James Wan. Kedua film ini bekerja pada goal yang sama. Pembangunan narasi horor yang membuat kita bertanya-tanya ini sebenarnya film tentang apa – which is add much to the mystery itself. Penggarapan yang mengunggulkan kepada gaya entah itu teknis kamera atau editing. Dan bahkan sama-sama bermain seputar karakter yang ketika tidur tertransport ke tempat lain. Keduanya adalah film yang ingin kita bersenang-senang atas nama horor dan misteri. Kalo perbandingannya dilanjutkan, aku mau bilang, pada akhirnya aku lebih suka Last Night in Soho ketimbang Malignant. Karena walaupun sekilas horor Soho terlihat lebih lemah, sebenarnya Soho punya bangunan cerita dan lapisan psikologis karakter yang lebih berbobot. Yang eventually membuat misteri dan horornya menjadi lebih impactful karena jadi benar-benar beresonansi dengan kehidupan kita di luar cerita.

soholastsohothumb-1634585969073
Apa jadinya film Edgar Wright tanpa soundtrack yang benar-benar mewakili mood?

 

 

Thomasin McKenzie semakin dituntut untuk menyuguhkan permainan yang menakutkan secara emosional, seiring dengan Elliekarakternya yang sudah semakin terattach dan peduli sama Sandie mulai melihat ada yang gak beres sama arahan karir cewek di masa lalu tersebut. Di sinilah set up yang disebutin nenek di awal tadi kembali weighing in ke dalam narasi. Bukan hanya karir dan mimpinya, tapi nyawa Sandie actually jadi ikut terancam oleh orang-orang yang ternyata berniat jahat kepadanya. Terbangun dari tidur, Ellie kini berusaha mati-matian untuk mencarikan keadilan bagi nasib Sandie. Elemen horor terbangun juga dari tidur, merayap di balik usaha Ellie. Gadis itu sekarang melihat hantu-hantu dari orang yang jahat kepada Sandie, seperti jadi mengejar dirinya. Mereka ada di mana-mana!

Eloise yang jadi takut tidur, heck bahkan dia jadi terlalu stress untuk bisa tidur, kehidupan akademis dan sosialnya merosot drastis, ditambah dengan dia menjadi percaya bahwa dunia tidaklah pernah jadi tempat yang baik-baik saja (tidak sekarang, tidak dulu, dan mungkin tidak di masa mendatang) — inilah horor sebenarnya yang digambarkan oleh cerita Last Night in Soho. Ini jauh lebih seram ketimbang wajah-wajah burem ataupun darah-darah muncrat dari penampakan hantu. Wright menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan tempo lewat bangunan misteri di dalam narasi seperti yang ia tunjukkan di film ini. Bahwa dia bisa menjalin horor, baik itu lewat komedi ataupun drama, karena dia mengerti bagaimana membangun dan mendeliver. Gaya-gaya tadi bukan cuma supaya gak bosan, melainkan juga merupakan pengalih perhatian yang cantik, makanya gak jarang kita menemukan diri kita caught up by surprise setiap kali menonton film Wright.

Salah satu tema tersembunyi dalam film ini adalah soal nostalgia. Bagaimana orang bisa obses sama nostalgia, meskipun dia enggak ngalamin langsung hal nostalgia tersebut. Seperti Eloise yang ngaku suka 60an, padahal dia hanya tahu itu dari film, musik, atau media lain. Film ini menerjemahkan itu sebagai pelarian. Kemudian film menantang itu dengan pertanyaan “Bagaimana jika tempat tersebut sama saja dengan penyebab kita lari di awal? Do we still love it?” Maka, tidaklah bijak sebenarnya terlalu meromantisasi sesuatu yang kita gak pernah tahu, yang kita hanya rasakan sebagian kecil dari kebaikannya saja.

 

Hantu-hantu itu menyimbolkan ‘penyakit’ di masa lalu akan terus menghantui masa depan. Malah tidak akan berakhir atau tidak akan mati kecuali benar-benar ditindak, seperti yang diketahui Ellie bahwa ada satu pelaku dalam tragedi Sandie yang masih hidup di masa sekarang. Lalu, di puncak konflik Ellie, Wright membalikkan narasinya. Begitu jungkir-balik sehingga pesan tadi menjadi sedikit kabur. Menurutku, pilihan twist yang melibatkan revealing identitas satu karakter yang membuat role (pelaku dan korban) jadi kebalik inilah yang membuat Last Night in Soho jadi terbagi dua penontonnya. Gagasan yang diusung lewat pembalikan itu, aku bisa lihat, tidak mudah diterima bagi penonton. Especially karena menyangkut gender sebagai subjeknya. Jadi gak heran juga banyak yang menolak memberi skor tinggi, urung merekomendasikan, atau bahkan mengkritik keras film ini. Mungkin itu juga sebabnya kenapa film ini cepat kandas di bioskop.

Padahal menurutku memang fenomena itulah yang sedang diperiksa oleh film. Sedari awal “banyak orang jahat” itu sudah dilandaskan. Yang berarti bahwa ya, orang jahat ya bisa ada di mana-mana. Bisa siapapun. Seorang yang jadi korban ketimpangan atau kekerasan, tidak berarti mereka tidak akan bisa menjadi orang jahat. Tidak berarti setiap tindakan mereka bisa terjustifikasi. Pembunuh massal tetaplah pembunuh massal, tidak peduli dia hidup di era 60an atau di era woke kekinian.

 

 

 

 

Kekurangan film ini bagiku cuma, ceritanya belum berhasil betul memperlihatkan korelasi antara kerjaan Ellie – keberhasilannya sebagai siswa perancang busana – dengan misteri yang ia alami. Kita tidak dikasih lihat secara detil bagaimana kenyataan yang ia sibak itu berdampak kepada rancangan Ellie. Selebihnya, film ini sendiri bagai seni kontemporer. Misteri yang dengan balutan visual yang cantik sekali. Hadir dengan tetap berbobot, dan semakin gorgeous berkat penampilan akting yang flawless. Aku mungkin sedikit bias karean Thomasin dan Anya cakep-cakep, but they do understand the assignment, dan aku gak melihat ada ‘nada sumbang’ dari penampilan mereka di sini. Sedangkan untuk Edgar Wright, aku gak setuju sama yang bilang sutradara ini belum fasih di horor. Wright cuma punya formula sendiri, dan dia menerapkan horor ini ke dalam formula tersebut. Memang, hasilnya tidak seperti horor yang biasa. Ini adalah horor unik dengan implikasi gagasan yang tak kalah seram.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LAST NIGHT IN SOHO

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kita suka meromantisasi nostalgia? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA