PUSPA INDAH TAMAN HATI Review

 

 

“An original is worth more than a copy”

 

 

Perkara remake/adaptasi modern dari cerita remaja 80an ternyata masih belum usai. Boy yang sementara waktu bertengger di puncak, mendapat tantangan dari Galih dengan cerita keduanya. Puspa Indah Taman Hati, sekuel dari Gita Cinta dari SMA (2023), hadir dengan suguhan cerita yang lebih sebagai sebuah drama personal dari para karakter sentral. Dunianya memang masih tetap nolstalgia 80an, dengan musik-musik jadul yang diarahkan untuk lebih merasuk ke dalam ruh penceritaan. Namun karya Monty Tiwa kali ini mengusung gagasan yang lebih modern sebagai penyelesaian ‘baru’ dalam konflik ceritanya. Puspa Indah yang memang sudah revolusionary pada zamannya, jadi semakin remaja saja. Bahasan yang boleh dikatakan lebih kompleks tersebut, juga lantas membuat karakter-karakternya terasa lebih real. Menariknya, jika dibandingkan dengan Catatan si Boy yang tayang hanya beberapa minggu sebelumnya, dua film ini terasa seperti agak mirip; karakter utamanya dihadapkan pada pilihan yang sama, dan pilihan mereka masing-masinglah yang jadi penentu. Pembeda yang menunjukkan betapa cerita-cerita ini punya identitas karakter dan gagasan yang kuat. Dan yang paling penting, jika disandingkan dengan Gita Cinta, Puspa Indah sendiri benar-benar jadi sebuah konklusi yang inspirasional bagi perjalanan hidup (bukan hanya cinta) seperti Galih.

Galih dalam Puspa Indah adalah mahasiswa seni yang mencoba membantu menghidupi keluarganya dengan jadi penyanyi. Galih dan ibunya kini tinggal ngontrak di Jakarta. Karir musiknya dapat titik terang tatkala Galih ditawari album solo oleh produser, tapi lagu yang dia nyanyikan bukan lagi lagu karangan sendiri. Melainkan ‘cover’ dari lagu-lagu pop milik penyanyi lain. Lagu-lagu yang bahkan bukan genre yang biasa ia bawakan. Sejalan dengan itu, di kampus, Galih bertemu perempuan bernama Marlina, yang ternyata juga kesengsem sama Galih. Mereka berdua memang jadi pacaran. Tapi tidak tanpa konflik. Karena Galih yang punya pengalaman pahit dalam urusan asmara terkait kelas sosialnya (Galih trauma berat ditolak oleh Bapak Ratna di film pertama), mulai merasa insecure yang berdampak pada karya dan sikap kesehariannya. Marlina pun mengalami gejolak bimbang yang sama karena dia akhirnya mengetahui bahwa wajahnya miriiiiip banget sama Ratna.

Prilly jadi dua, Prilly La-two-consina.

 

Kalo disederhanakan sih, ceritanya memang relate banget. Galih ketemu perempuan yang mirip mantannya. Bukankah memang banyak kejadian seperti itu; kita ketemu orang baru yang ada sesuatu dari dirinya yang membuat kita teringat sama mantan. Atau malah sering juga kan, kita ngerasa kita punya tipe-tipe tertentu, bahwa orang-orang yang pernah kita taksir somehow punya wajah yang mirip. Film ini hanya meng-exaggerate keadaan itu dengan membuat Marlina dan Ratna, both dimainkan oleh Prilly Latuconsina. Aku sendiri juga pernah ngerasain, baru-baru ini malah. Kak Arla yang main juga di Gita Cinta dari SMA mirip banget sama seorang cewek who broke my heart. Maka, selain jadi ngefans sama Arla, aku sebagai cowok Cancer – zodiak yang terkenal susah move on – lantas relapse parah. Aku nyoba ngontak lagi si cewek yang aku tau gak bakal sudi balas messages atau WA ku lagi haha.. Itulah, film Puspa Indah yang bersetting 80an ini sebenarnya sedekat itu. Arahannya pun sebenarnya gak ribet-ribet amat. Film tetap mencoba ‘memancing’ kita ke pilihan Tim Marlina atau Tim Ratna. Naskah Alim Sudio-lah yang menjaga film untuk tetap menghasilkan bahasan yang berbobot.

Marlina dan Ratna bisa kita lihat sebagai Masa Sekarang/Masa Depan dan Masa Lalu bagi Galih. Dan kita tahu bahwa masa lalu, bagaimana juga, penting bagi setiap orang, karena masa lalu-lah yang membentuk jadi seperti apa kita sekarang. Sebagian besar orang (termasuk aku) bahkan menganggap masa lalu akan selalu menang. Tapi Galih adalah seorang karakter tersendiri. Dia boleh saja naksir sama Marlina, karena wajah Marlina mirip sama cinta pertamanya, tapi siapa yang akhirnya dipilih oleh Galih sudah seharusnya diputuskan lewat journey personal Galih. Naskah paham hal ini, karena itulah film menghadirkan kembali Ratna di dalam cerita Galih.  Karena itulah film ini juga tidak ketinggalan mengangkat soal kerjaan Galih sebagai penyanyi. Tema yang mengikat kemelut Galih dengan kerjaannya dan Marlina dengan keinsecure-annya dimiripin sama Ratna,  hingga akhirnya menjadi keputusan Galih memilih siapa di antara dua perempuan itu, adalah soal menjadi diri sendiri.

Statement film dari journey Galih tersebut, menariknya, juga bertindak sebagai gagasan meta. Mengingat film ini sendirinya juga cerita dari masa lalu. Katakanlah, sebuah kopian, seperti lagu-lagu dalam album pop sukses yang dinyanyikan Galih yang bukan original karyanya sendiri. Marlina dan Ratna adalah pembuka mata, bahwa kemiripan mereka bukan lantas berarti Marlina adalah kopian dari Ratna, hanya karena Galih lebih duluan kenal sama Ratna. Bahwa meskipun dari luar ada kemiripan – atau malah disuruh untuk mirip, siapa sebenarnya diri kita, itulah yang membuat kita original. Siapa sebenarnya diri kita, itulah yang harus kita tonjolkan, yang harus tetap dipegang. Maka akhirnya yang dipilih Galih adalah yang membuat dirinya tetap jadi diri sendiri.

 

Cerita yang fokus pada pilihan yang harus dibuat karakter membuat film ini jadi lebih enak untuk diikuti. Karena perubahan pada karakter-karakternya itu lebih mudah terlihat. Yang tentu saja juga berimbas kepada lebih terbukanya ruang untuk para pemain mengeksplorasi akting mereka. Yesaya Abraham, misalnya, di film ini Galih bukan lagi karakter yang lebih banyak diam dan tertekan. Galih di film ini tampak lebih optimis dan berdeterminasi. Flaw karakternya juga lebih kerasa. Kita merasakan dramatic irony pada Galih saat karirnya sukses, tapi membuatnya jadi sedikit songong. Di titik itu kita mengerti Galih yang sukses bisa jadi begitu besar kepala, karena dia punya ‘trauma’ di masa lalu terkait derajat sosialnya. Lucunya, film meng-acknowledge ‘trauma’ Galih tersebut lewat nada yang cukup playful. Seperti ngebecandain Galih. Secara penampilan adegan musik, Yesaya memang selalu tampak tidak-terlalu nyaman disuruh akting bernyanyi. Tapi kini kecanggungannya itu – yang bahkan bertambah karena Galih harus berjoget ala Chrisye – tampak make sense secara inner karakter. Dua karakter yang kepribadiannya bertolak belakang, jelas juga bukan tantangan peran yang enteng bagi Prilly Latuconsina. Marlina dan Ratna berhasil dia hadirkan dengan kekuatan dan kelemahan pribadi masing-masing. Sehingga kita yang menonton pun sering juga terbawa perasaan, kadang kasian ama Marlina dan mendukung Ratna, kadang kasian ama Ratna dan annoyed sama Marlina yang meski lebih terbuka tapi insecure-nya juga gak kelar-kelar

Ternyata bukan Marlina doang, ada lagi yang wajahnya mirip Ratna hahaha

 

Di sinilah menurutku arahan kurang tegas. Secara naskah sebenarnya sudah cukup bagus. Porsi sudut pandang yang balance memang harus dan menjadikan cerita lebih menarik, tetapi semestinya juga tidak mengurangi momen dramatis ketika karakter utama membuat pilihan. Puspa Indah terasa kurang stay di Galih dan agak sedikit terlalu lama mengulik di perasaan Marlina. Karena dari naturenya sebagai film kelanjutan dari Gita Cinta, Puspa Indah adalah soal Galih. Soal perjalanan Galih menentukan pilihan, baik itu karirnya, maupun asmara. Bukan soal Marlina yang bersaing cinta dengan Ratna, atau sebaliknya. Momen pembelajaran Galih memilih apa, atau siapa, dalam film ini tidak diperlihatkan terlalu dramatis. Oleh editing dan cara bercerita film pun, kepentingan perspektif Galih tersebut malah jadi terasa nomordua setelah Marlina dan Ratna ‘meluruskan masalah’ di antara mereka. Film ini banyak membentuk momen-momen tersebut dengan desain untuk menghasilkan ‘ternyata’ alih-alih progres dramatis dari sebuah pembelajaran yang dialami oleh karakter, terutama Galih. Beberapa adegan juga terasa kurang sekuat yang seharusnya, lantaran kadang exit adegannya kelamaan. Misalnya ketika adegan Marlina curhat kepada Ibu Galih; Marlina khawatir jangan-jangan Galih suka dia hanya karena dia mirip Ratna. Momen curhat tersebut terasa agak panjang dan kurang berakhir tegas karena film memilih untuk mengakhiri adegan dengan membahas masalah lain, yakni soal Ibu Galih kangen Bandung.

Film ini juga basically tidak berbuat banyak untuk memperbaiki kekurangan yang kita temukan pada film pertama. Yakni kesan artifisial. Bahasa baku dan lagu jadul, konsep yang dalam dua film ini punya sumber masalah yang sama. Para pemain yang merasa asing dengan konsep tersebut. Karakter-karakter Puspa Indah, secara umum, punya penulisan yang lebih baik. Fungsi dan relasi mereka juga hadir dengan lebih natural. Lebih lancar. Delivery-nya saja yang seringkali masih terasa agak lucu. Adegan-adegan musik juga dilakukan, secara teknis, dengan lebih baik dan tampak lebih meriah masuk ke dalam cerita. Film ini di awal udah kayak mau full-blown musical, dengan nyaris setiap adegan ada nyanyi-nyanyinya. Adegan-adegan nyanyi nya cakep, hanya kesan polesan studio saja yang masih terasa. Like, enggak semua adegan nyanyi perlu polesan, beberapa seperti momen musikal yang sureal, ataupun Galih rekaman dan syuting video klip memang tidak mengapa jika dilakukan dengan polesan. Tapi ada juga adegan-adegan seperti ada Marlina nyanyi di Restoran, yang mestinya lebih kena jika ditampilkan senaturalnya seseorang yang bernyanyi sehari-hari.

 

 




Cerita jaman dulu enak ya, konklusinya tu ada, gitu. Meskipun bersambung, tapi dua filmnya terasa seperti cerita yang berdiri sendiri. Film kali ini, melanjutkan Gita Cinta dari SMA, dengan sebuah perjalanan karakter yang menutup dengan memuaskan. Karena pilihan si karakter itu benar-benar jadi akhir perkembangan dirinya. Sendirinya, film ini hadir dengan statement atau gagasan, yang membuat dirinya tidak sekadar sebuah buatan-ulang. Film ini pun berjuang jadi diri sendiri, seperti karakter-karakternya. Kalo mau dibandingkan lebih lanjut, film ini terasa lebih kompleks dibandingkan Gita Cinta. Karakter-karakternya terasa lebih real. Dunianya yang penuh musik itu pun terasa lebih believable, walau kesan artifisial itu acapkali masih terasa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PUSPA INDAH TAMAN HATI

 




That’s all we have for now.

Galih dan Marlina pacaran main skate bareng teman-teman. Apakah date ala 80an impian kalian?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian jadi pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GITA CINTA DARI SMA Review

 

“True love doesn’t have a happy ending, because true love never ends.”

 

 

Waktu telah membuktikan kisah cinta Galih dan Ratna, pasangan dalam cerita karangan bapak Eddy D. Iskandar tahun 70an,  benar-benar adalah sebuah kisah cinta yang legendaris di Indonesia. Kisah mereka menginspirasi begitu banyak cerita cinta remaja yang muncul sesudahnya. Jika kita nemuin cerita yang cowoknya pendiam, atau puitis, atau kisah cinta yang terhalang status sosial, besar kemungkinan jika ditelusuri, cerita tersebut dapat pengaruh dari kisah Galih dan Ratna. Bahkan Ada Apa dengan Cinta? katanya juga terinspirasi – film itu berakhir dengan perpisahan di bandara, seperti Galih dan Ratna yang berpisah di kereta api. Sendirinya, Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA telah difilmkan dalam dua periode waktu berbeda. Film originalnya tahun 79, juga lantas sukses mengorbitkan Rano Karno dan Yessy Gusman. Sementara adaptasi versi modernnya di tahun 2017, gak kalah berhasil bikin musik jadi trend romantis pada generasi muda. Kali ini, Gita Cinta dari SMA kembali diadaptasi, dihadirkan oleh Monty Tiwa dengan emphasis ke tahun 80an. Mengembalikan Galih dan Ratna ke dunia mereka yang colorful, penuh musik, dan puitis, dan membawa serta para penonton untuk nostalgia ke jaman SMA. Ah ya, cinta dan nostalgia memang pasangan serasi. Seperti Galih dan Ratna!

Cowok yang bersepeda ke sekolah dari rumahnya di pasar buku bekas. Cewek yang ke sekolah diantar ayahnya pake mobil sedan. Dari situlah kisah kali ini dimulai.  Cewek itu, Ratna, anak baru.  Tapi begitu dia sampai di sekolah, digodain sama cowok-cowok yang gak bisa lihat ‘barang’ baru – bening, pula!Ratna malah notice cowok bersepeda tadi. Cowok yang tampak cuek tapi dikagumi orang. Galih.  Ya, seketika Ratna jadi suka sama Galih, dan cewek itu gak begitu malu-malu untuk menunjukkan ketertarikannya. Tinggal Galih yang sok play it cool sendiri. Interaksi ‘iya-enggak’ mereka di awal-awal itu sudah barang tentu bakal bikin penonton sekalian jerit-jerit gemas di tempat duduk masing-masing. Dan setelah puas ‘mainin’ perasaan kita seperti demikian, film memang lantas membuat Galih dan Ratna jadian. Tapi semua kemanisan romansa itu ternyata tidak seabadi janjinya. Karena di antara Galih dan Ratna berdiri Ayah Ratna. Sosok pemberang yang seratus persen menolak hubungan mereka. Sosok, yang terus mengingatkan Galih akan jurang status sosial yang memisahkan dirinya dengan Ratna.

Gak heran banyak penonton yang nantangin Dwi Sasono berantem begitu keluar dari bioskop hihihi

 

Walau endingnya nyelekit, tapi Gita Cinta dari SMA secara overall terasa punya after-taste yang menyenangkan. Sepertinya karena dunianya. Bahasa bakunya. Musiknya. Warnanya. Nuansa 80an memang punya peran besar bagi kita untuk dapat lebih menikmati cerita ini. Bahkan ketika kita bukan yang pernah ngerasain hidup di masa itu. Kayak aku. Nuansa artifisial yang dikeluarkan dengan kuat oleh film ini menjadi semacam lullaby, nina-bobo, bagiku. Dengan gampang membujukku untuk mematikan alarm ‘wah, ini mah standar teen love story antara dua karakter cakep tanpa alasan lebih jauh kenapa mereka harus jadi pasangan’ dan just nikmatin simpelnya dunia like it used to be.  Kupikir, itulah pesona terkuat yang dimiliki oleh Gita Cinta dari SMA.  Dunia yang sederhana nan puitis sebagai panggung dari permasalahan cinta anak muda yang tentu saja masih relevan hingga sekarang. Sehingga keluarnya jadi menyenangkan. Momen-momen kecil seperti ge-er karena dapat puisi berjudul sama dengan inisial nama, dilarang pacaran atau main ke luar rumah oleh ortu, rekam kaset untuk dikasih ke gebetan jadi terangkat lebih manis karena sekarang ada layer nostalgia di baliknya.

Ketika pesona dunia dan karakternya telah terestablish, film lantas mulai memperkuat konflik. Kalo ada satu kata untuk menggambarkan apa yang mencuat dari Gita Cinta dari SMA versi Monty Tiwa, maka itu adalah dramatis. For better and worse, karena memang dramatis di sini ada yang membuat film ini jadi bagusan, dan tak sedikit juga yang membuatnya terasa… over-the-top. Dan seperti guru di sekolah dulu biasanya suka memuji dahulu sebelum menasehati (“cerita karangan kamu sudah bagus, tapi alangkah baiknya kalo tulisannya jangan kayak cakar ayam!”), baiknya kita ngomongin dramatis yang bagus-bagus dulu dari film ini. Dari penulisan cerita, film ini banyak ngasih hal baru yang berujung pada dramatisasi yang diperlukan supaya film lebih menggigit. Pertama adalah pemisah antara Galih dan Ratna. Dibandingkan dengan film jadulnya, film ini lebih tegas dan keras nyebut bahwa ini adalah soal Galih yang anak jelata gak bakal pernah good enough bagi ayah Ratna yang orang kaya dan ningrat Yogyakarta, Klasik si kaya dan si miskin. Konflik ini membuka ruang bagi film untuk semakin melibatkan keluarga dari dua karakter sentral. Sementara juga tentu saja membuild up karakter Galih, yang harusnya karismatik tapi semakin terasa minderan sepanjang durasi berjalan. Karena halangan tersebut really gets to him, melukainya, sebagai seorang manusia laki-laki. Untuk menyeimbangkan perspektif, film mengembangkan konflik ini kepada Ratna sebagai persoalan tentang perempuan dan kebebasan untuk memilih. Ratna menyamakan posisinya dengan Roro Mendut, dari novel yang ia baca. Perempuan yang tidak bisa bersama lelaki yang ia pilih. Dan dari perspektif itu muncul hal terbaik kedua yang dipunya oleh film. Mbak Ayu yang diperankan oleh Putri Ayudya.

Mengutip obrolan dengan Putri Ayudya saat interview “Setiap keluarga pasti punya satu orang, tante atau om, yang mendukung kita” Memang begitulah Mbak Ayu. Dia mendukung Ratna untuk pacaran sama Galih. Dia bahkan membantu Ratna ngeles dari ayah dengan ide-ide seru. Actually peran Mbak Ayu di versi ini memang dibuat lebih besar, apalagi sekarang kita diperlihatkan lebih dalam backstory dari karakter ini. Bagaimana dia juga ngalamin ‘nasib’ serupa Ratna.  She goes way back dengan ayah Ratna yang merupakan saudaranya, Permasalahan perempuan mandiri atas pilihannya jadi semakin kuat, dan relationship Ratna dan Mbak Ayu jadi salah satu hati pada film ini. Mbak Ayu actually membuat film ini berisi. Jika tidak ada dia, film ini bakal kosong. Ya, karena somehow, film tidak lagi full di kehidupan sekolah Galih Ratna (meski teman-teman mereka kayak Erlin, Anton, Mimi tetap ada), sehingga di sini Galih dan Ratna not really do anything selain bereaksi saat hubungan mereka dilarang. Mereka – khususnya Ratna – bahkan tidak diperlihatkan banyak mengalami pembelajaran. Dan masalah tersebut menurutku berakar pada directing yang kurang kuat. Directing yang hanya mengincar dramatisasi.

Oh, Galih. Oh, Arla… eh salah. Oh, Ratna, cintamu abadiiiii~

 

Aku notice directingnya agak kurang total itu dari nuansa yang terasa lebih seperti artifisial ketimbang genuine. Walau memang, perasaan menyenangkannya nyampe karena nostalgia dan karakter. Elemen-elemennya buatku, yang terasa setengah-setengah. Kayak, musical numbers. Film ini banyak menggunakan lagu, bukan hanya sebagai latar tapi juga penggerak cerita. Bahkan juga ada tarian. Tapi ya, pengadeganannya terasa… gitu aja. Hanya pasang kamera, drone, nari-nari di jalan. Dengan musik dan lagu sebanyak itu, aku heran kenapa tidak sekalian aja dibikin musikal. Kenyataannya film ini sama kayak film jadul, tapi dengan adegan nyanyi yang teatrikal, tapi gak jor-joran. Terus soal Yesaya Abraham sebagai Galih. Aku paham bahwa aktor gak harus bisa nyanyi beneran untuk mainin karakter yang bernyanyi. Tapi kupikir keputusan film ini  tidak membentuk dulu paling enggak Yesaya beneran genjreng-genjreng dikit dengan gitar, adalah keputusan yang bisa jadi momok buat mereka ke depan. Karena gimana pun juga kedengarannya aneh saat semua adegan nyanyi di film ini terdengar seperti olahan studio. Bahkan adegan Galih latihan dengan gitar sendirian. Film harusnya lebih memperlihatkan perbedaan antara adegan nyanyi di panggung, adegan nyanyi sendirian, dan adegan nyanyi dalam bayangan Ratna – salah satunya dari suara nyanyian itu sendiri.

Beberapa adegan diarahkan supaya amat dramatis, sometimes it works, sometimes feels over. Yang berhasil itu kayak adegan lempar batu di danau, yang bahkan lebih emosional daripada film jadulnya. Ada satu adegan dramatis yang baru, yang emosinya juga dapet banget berkat penampilan akting para pemain. Prilly Latuconsina yang jago ngasih emosi di kalimat-kalimat panjang, Unique Priscilla dengan permainan emosi tertahan, Putri Ayudya dan Dwi Sasono yang luar biasa penekanan dan ekspresinya; mereka membuat adegan tersebut berhasil, meskipun cara ngesyutnya sangat datar, pengadeganannya hanya kayak mereka lagi baris-berbaris. Nunggu giliran buat ngomong. Aku menyebutnya sebagai drama smackdown; karena begitulah drama backstage di acara smekdon direkam. Superstar/talentnya baris berjajar di depan kamera, lalu marah-marah bergantian. Bicara soal posisi pemain, aku juga ngerasa ada sedikit aneh dari gimana mereka menempatkan Yesaya dan Prilly dalam satu adegan. Ratna dan Galih sejajar tu cuma saat mereka duduk di batang pohon, membahas surat putus dan masa depan mereka. Perbedaan tinggi badan keduanya, kupikir digunakan film untuk mempertegas perbedaan sosial yang jadi tema cerita. Tapi aku gak yakin. Karena lucunya, saat adegan Ratna mengusap pipi Galih pakai saputangan, dua-duanya berdiri, dan magically keduanya kayak sama tinggi! Nah ini contoh momen dramatis yang agak over, menurutku. Selain itu ada juga Ratna pake acara pingsan. Ataupun treatment Ratna bawain minyak angin dari pov Galih yang abis kena mental demi ngeliat Ratna dibonceng orang.

Tapi gak ada yang lebih over-the-top dibandingkan endingnya. Pilihan film ini dengan menaikkan kembali konflik di momen akhir (Ayah Ratna kembali muncul bahkan sampai main fisik segala) terasa aneh sekali. Tidak seperti pada film jadul yang memberikan Galih dan Ratna momen personal, menerima kenyataan mereka harus berpisah, dan saling menguatkan diri (di film itu mereka ngobrol sampai subuh!), yang berarti mereka berdua mengalami pembelajaran dan tuntas (meski ‘kalah’), film versi baru ini tidak punya momen-momen itu. Karakter Galih dan Ratna di film kali ini belum terasa tuntas. Mereka masih kayak di akhir babak pertama, yang mendapat tantangan dari ayah yang melarang, sementara pembelajarannya nanti ada di film kedua. Film ini atas keinginannya untuk jadi superdramatis, luput untuk melihat bahwa yang diperlukan bukan adegan ayah ngamuk sekali lagi, melainkan Galih dan Ratna yang harus belajar menerima bahwa mereka tidak bisa bersama. Setidaknya, untuk sekarang. Mungkin, untuk sekarang.

Cinta sejati adalah cinta yang abadi. Kita biarkan orang yang kita cintai pergi, karena hati kita tahu cinta kita kepadanya tak akan berubah. Cinta sejati tidak peduli memiliki atau tidak. Makanya, keadaan Galih dan Ratna ini tepat sekali dengan gambaran cinta sejati pada kutipan terkenal. Bahwa cinta sejati tidak punya happy ending, karena cinta sejati abadi tidak pernah berakhir.

 




Beruntung yang jadi tulang punggung film adalah skenario. Bukan arahan. Karena film ini punya materi dan penambahan konflik atau karakter yang baru, yang efektif dan emosional, tapi tidak dibarengi dengan bentuk yang benar-benar saklek dan terarah. Terutama bergantung kepada nostalgia dan dramatisasi, yang artifisial. Penampilan akting dari para pemain pun jadi sesuatu yang disyukuri di sini, karena mereka membuat semuanya work out nicely. Film ini secara objektif masih belum sempurna, filmnya masih terasa minimal dan agak kosong – melainkan hanya berisi momen dramatis, tapi toh berhasil menyentuh saraf-saraf emosi. I can’t help but jadi peduli sama Galih, Ratna, Mbak Ayu, dan karakter-karakter lainnya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GITA CINTA DARI SMA

 




That’s all we have for now.

Jadi menurut kalian kenapa Galih dan Ratna bisa menjadi pasangan yang begitu fenomenal?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE VOID Review

“Keeping your shape hidden with your triangle intact.”

 

 

Reaksi terwajar ketika melihat ada pemuda merangkak-rangkak hingga tersungkur di pinggir jalan pada malam yang sepi tentu saja adalah “meh, mabok noh orang!” Pikir dahulu sebelum bertindak suka kita panjang-panjangin menjadi pikir negatif dulu – maklumi – baru kemudian ambil tindakan seperlunya. Meski kalo aku sendiri yang nemuin orang berdarah-darah di jalanan gelap, maka kemungkinan besar aku akan langsung ngabur balik arah tanpa mikir dua kali. Tapi Daniel Carter adalah seorang polisi. Tugasnya melindungi. Jadi, dia mendekat ke si pemuda misterius, dan dengan segera dia menyadari orang ini butuh pertolongan serius. Opsir junior Daniel membawanya ke rumah sakit kecil di pinggir kota. Dan di sanalah kejadian mulai menjadi teramat aneh. Pelataran rumah sakit yang nyaris kosong tersebut mendadak ramai oleh sosok-sosok berjubah putih yang menggenggam pisau. Misteri film ini enggak sebatas pada ancaman anggota cult di luar saja. Listrik di dalam pun lantas ikutan berulah. Dan ada makhluk mengerikan bertumbuh dari mata seorang suster!! Kejadian di film betul-betul menjadi kacau dan di luar akal sehat, tapi ini adalah jenis kekacauan yang amat sangat bisa kita nikmati!

Beberapa tahun ini, banyak kita dapatkan horor-horor independen seperti It Follows (2015) ataupun The Babadook (2014) yang dibuat dengan arahan yang keren. Horor tapi nyeni, aku menyebutnya. Tentu saja ini adalah perkembangan yang sangat menyegarkan lantaran generasi sebelum ini punya arahan yang, ah katakanlah, lebih fisikal. Horor klasik generasi tahun 80an biasa disebut sebagai generasinya BODY HORROR. Karena memang dalam film tersebut banyak kita jumpai potongan-potongan tubuh yang bikin mual, monster-monster aneh yang bikin jijik, pesta pora gore, deh, pokoknya! Banyak orang yang memandang 80an sebagai periode puncak dari genre horor, filmmaker udah gak pakai mikir dan langsung ambil tindakan nekat. Dengan berani mengambil kesempatan sekaligus ngambil resiko, kala itu trennya adalah semua saling berlomba bikin horor yang paling aneh, dan filmmaker itu, mereka tidak pedulikan apapun. Semuanya mengambil creative risk. Bahkan Indonesia juga terjangkit fenomena yang sama, di sini kita punya Bayi Ajaib, Malam Satu Suro, Pengabdi Setan, dan banyak lagi yang nampilin horor dengan praktikal efek yang sangat graphic. Aku salah satu dari sekian banyak fans horor 80an, yeah, bukankah aku sudah pernah bilang aku berangkat dari genre horor?

Makanya The Void ini adalah sesajen yang sangat delightful bagiku. Film ini, jelas sekali, adalah throwback buat horor era 80an. Di sini kita akan ngeliat monster dengan sulur-sulur mengerikan ‘memakan’ manusia, kita akan liat kulit wajah yang mengelupas, perut yang menggelegak sebelum pecah mengeluarkan makhluk aneh yang lain. Makhluk-makhluk yang nampil dalam film ini begitu luar biasa. Walaupun ada sedikit efek komputer, menjelang akhir malah para tokoh kita akan masuk ke dunia green screen. Namun sejatinya MAKE UP DAN EFEK PROSTETIK ADALAH BINTANG dalam The Void, yang tentu saja dibuat dengan budget rendah. Kalian tahu, sebagian besar adegan menakutkan film ini adalah mimpi indah buat penggemar horor klasik.

Kehamilan selalu merupakan fenomena horor bagi cowok

 

As much as bikin kita nostalgia ke jamannya John Carpenter, The Void juga mengEKSPLORASI KETAKUTAN DARI HAL-HAL FILOSOFIS DAN KOSMIK YANG TIDAK KITA KETAHUI, yang dipengaruhi oleh gaya penceritaan H.P.Lovecraft. Rumah sakit jadi lokasi tertutup yang menjebak tokoh-tokoh film. Mereka ketakutan setengah mati, tidak tahu harus percaya kepada apa. Mereka diberi persenjataan yang sama lengkapnya dengan informasi tentang apa yang terjadi, dan itu sangatlah sedikit sekali. They are really just grasping at straws. Mereka enggak tahu di kota kecil mereka ada kelompok cult. Mereka enggak paham sama pandangan ajaran ‘sesat’ ataupun filosofi ngawur soal menentang Tuhan dengan menihilkan kematian lewat mutasi atau semacamnya, yang jadi motivasi utama pihak antagonis cerita. Dan kita, sebagai penonton, melewati pengalaman menakutkan itu bersama para tokoh. Sebab kita dan mereka, kita semua sama-sama enggak tahu apa-apa. Makanya ketika tokoh-tokoh ini belajar sesuatu hal, they discover things, atau bahkan ketika mereka cuma berdiri diam ketakutan hendak dimamam monster, kita juga merasakan hal yang sama. Kita ikut takut, bingung. Perasaan yang kita alami sangat in-sync dengan mereka. Dan setelah semua efek-efek menakjubkan itu, semua elemen cerita akan terkonek dengan cara yang juga sangat aneh.

Segitiga menjadi objek sakral yang terus kita jumpai sepanjang durasi. Geometri ini melambangkan dua lapisan tema cerita. Umumnya, segituga adalah simbol dari keharmonisan. Film ini juga membahas segitiga sebagai ‘formasi’ keluarga bahagia, sama seperti yang sekilas disebutkan oleh film animasi The Boss Baby (2017); sistem dua-orang yang distabilkan oleh orang ketiga, dalam hal ini adalah anak. Dalam The Void, ada implikasi tokoh-tokoh yang ngalamin penampakan ‘dunia lain’ adalah tokoh yang pernah ngalamin kehilangan anak. Tokoh yang segitiganya pernah rusak. Ini adalah tentang orang yang ingin membentuk kembali segitiga tersebut, but unfortunately segitiga juga berarti sebuah doorway, dan mereka menginterpretasikannya sebagai jalan masuk ke dunia horor.

 

Meskipun memang tokoh dinomorduakan, di mana segala kreatifitas dan kerja keras sepertinya memang didedikasikan untuk recreating segitiga keharmonisan horor klasik, The Void enggak sepenuhnya nyerah menjadi kosong. Sutradara merangkap penulis Jeremy Gillespie dan Steven Kostanski terlihat ingin memanfaatkan elemen filosofis untuk menutupi kekurangan di narasi dengan menjadi ambigu. Kayak, “Hey let’s just make this ambiguous so we can have fun with prosthetic and make up stuff!”. Dan kerjaan mereka tersebut memang sukses berat. Ini adalah salah satu film horor dengan efek praktikal paling gile di era 2000an. Ada beberapa jawaban yang diberikan secukupnya sehingga kita bisa menghimpun pemahaman sendiri soal apa yang sebenarnya mereka bicarakan di sini. Tapi tetep saja, keambiguitas itu menjadi salah satu kelemahan sebab hasil akhir produknya memang lebih terasa sebagai proyek have-fun bernostalgia semata.

Get ready for Chau Down!!! Eh, salah film…

 

Enggak semua film kudu menjadi studi karakter dengan tokoh-tokoh dan screenplay yang amazing dan semuanya harus sempurna. Film boleh saja bermain-main dengan teknik pembuatan model ataupun efek dan make up sadis. Asalkan jangan setengah-setengah. Film harusnya dibuat dengan komitmen ke satu arahan. Untuk The Void ini, aku ngerasa sayang aja mereka enggak menulis karakternya dengan lebih well-rounded lagi karena film ini toh memang meminta kita untuk peduli sama tokoh-tokoh. Penampilan aktingnya memang enggak dalem, namun dari babak pertama mereka sudah diset up dengan baik sehingga kita beneran peduli sama mereka menjelang akhir. Aku genuinely ngarep biar tokoh yang enggak bisa bicara itu selamat sampe ending. Tapi terutama kepada Polisi Daniel Carter dan istrinyalah kita banyak menyilangkan jari. Ada banyak momen ketika film ini kita masuk ke dalam hubungan mereka, namun pengeksplorasiannya terlalu tipis. Kita bahkan enggak jelas apakah mereka ini udah cerai atau lagi pisah doang.

Ketika sebuah film punya set up yang menarik udah menghamparkan banyak kepingan puzzle yang kalo disusun sungguh-sungguh bakalan jadi satu gambar yang keren, harusnya film tersebut ngedeliver penghabisan dengan gede. You know, throw a big punch as a finisher. Namun alih-alih begitu, The Void memilih untuk berakhir dengan menggantung kita. Membuat kita bertanya-tanya dan ingin lebih banyak. Saat di babak akhir, film ini agak menyebar begitu saja, enggak difokuskan ke satu penyelesaian. Film kehilangan semangatnya di akhir dan buatku ini mengecewakan. Padahal mereka mulai dengan so promising.

Harmoni kehidupan mungkin dilambangkan oleh bentuk segitiga, akan tetapi sejatinya kita tidak terbentuk dari kejadian yang menimpa hidup. Kepercayaan kita akan arti dari kejadian itulah yang membantuk kita.

 

 

 

Pengalaman misterius yang terasa genuine, horor ini akan membawa kita ke dalam realm of unknown. Penggemar horor seperti aku akan mendapati film ini sangat mengasyikkan. Efek praktikal dan make upnya sangat menakjubkan. Set rumah sakit dijadikan ruang tertutup yang menyeramkan. Menghadirkan cerita yang ambigu, akan tetapi menilik dari sebagian besar waktu, itu hanyalah cara dari film ini untuk menyamarkan alasan sebenarnya ia dibuat; hanya untuk bermain-main dengan efek dan nostalgia kepada horor klasik. Penyelesaiannya harusnya bisa lebih dipikirkan lagi. Karakternya harusnya bisa ditulis lebih well-rounded lagi. Mungkin memang harus beginilah akhirnya jika kita memulai sesuatu dengan bertindak duluan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE VOID.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.