• Home
  • About
  • Movies
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
    • SOUND OF METAL Review
    • MANK Review
    • HAPPIEST SEASON Review
    • THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review
    • BLACK BEAR Review
    • FREAKY Review
    • TENET Review
    • THE CALL Review
    • HILLBILLY ELEGY Review
    • THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review
    • RUN Review
    • DREAMLAND Review
    • ROH Review
    • THE NEW MUTANTS Review
    • HIS HOUSE Review
  • Wrestling
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
    • TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: action

TARUNG SARUNG Review

06 Wednesday Jan 2021

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2021, action, adventure, culture, drama, family, friendship, life, love, netflix, religious, review, spoiler, sport, thought

“Prayer is the time you spend one-on-one with God”

 

 

 

Petinju punya ring sebagai medan berlaga. Petarung MMA punya octagon. Pesumo berantem dalam lingkaran dohyo. Cabang bela diri punya ‘sajadah’ sendiri, punya keunikan sendiri, tapi sebenarnya punya prinsip yang sama; Konfrontasi satu-lawan-satu, dengan skill dan teknik seni tersendiri. Sebelum menjadi sebuah kompetisi, ini adalah bentuk komunikasi – penyelesaian masalah – dari manusia satu ke manusia lainnya, yang telah mengadat budaya sesuai daerah masing-masing. Dan tak banyak dari kita yang sebelumnya tahu, daerah Makassar punya beladiri yang unik. Yang mempertemukan petarungnya bukan di atas ring ataupun di dalam kerangkeng. Melainkan di dalam sarung.

Budaya Tarung Sarung dari Makassar itulah yang diangkat oleh Archie Hekagery dalam drama aksi terbarunya. Hekagery menyusun narasinya ini ke dalam kerangka cerita kompetisi. Tokoh jagoan kita di sini adalah Deni, remaja anak orang kaya yang dikirim pulang kampung. Deni disuruh mengurus perusahaan keluarga di sana, sebagai bukti dia bisa berguna bagi keluarga. Tapi tentu saja, layaknya anak muda, Deni malah terlibat urusan asmara. Deni berseteru dengan jagoan di sana – jagoan yang telah berturut-turut menjuarai kompetisi Tarung Sarung. Demi membantu dan membela kehormatan teman-teman yang ia kenal di sana, Deni menyanggupi tantangan untuk ikut dalam kejuaraan Tarung Sarung nasional yang akan diselenggarakan satu bulan lagi. Dalam waktu yang singkat itu Deni harus berguru, tapi dengan syarat yang tentu saja tidak mudah bagi dirinya. Sama tak mudahnya dengan latihan yang harus anak kota itu jalani. Turns out, Deni belajar lebih banyak daripada sekadar ilmu beladiri.

Dia juga belajar bahwa masakan ikan di Makassar itu rasanya enak sekali

 

 

Ya, ini adalah bentukan cerita yang sudah familiar sekali bagi kita. Kisah kompetisi yang tokohnya underdog alias terlihat gak ada harapan untuk menang. Musuhnya jauh lebih berpengalaman. Dianya sendiri ‘lembek’. Serta ada elemen hubungan si protagonis dengan guru yang awalnya ogah untuk melatih. Film Tarung Sarung ngikutin persis beat-per-beat formula cerita ‘underdog dalam kompetisi’. Namun, yang membuat film ini sedikit berbeda adalah karakter si protagonis underdog-nya itu sendiri.

Si Deni itu bukanlah tipe karakter yang mengundang simpati kita. Dia bukan anak baek-baek, yang terlalu sombong atau terlalu naif. ‘Dosa’ Deni ini udah terlampau banyak sedari awal. He’s a spoiled rich kid, yang hal baik dalam dirinya cuma dia ringan tangan untuk berbagi. Deni percaya uang membuat semua orang bahagia, jadi dia yang punya banyak uang itu enggak pelit dan selow aja bagi-bagiin harta untuk membuat orang senang. Untuk membereskan masalahnya. Deni punya banyak anak buah yang siap disuruh-suruhnya untuk mengeroyok mukulin orang. Deni juga tidak percaya Tuhan, dia ogah beribadah, dia gak mengaku beragama. Panji Zoni juga mengapproach karakternya ini dengan akting yang membuatnya mirip tokoh jahat ala cerita gangster Jepang.

Film Tarung Sarung mengambil resiko besar membuat protagonis ceritanya orang yang begitu unlikeable seperti ini. Dia ini dibikin kayak antihero or something. Sehingga pada awal-awal cerita, memang susah bagi kita untuk ngikutin cerita ini. Aku gak merasa benar-benar peduli sama Deni. Apalagi karena dia dikelilingi oleh karakter-karakter konyol yang difungsikan untuk membalancekan tone. Menjadikannya lebih pop. Supaya kita merasa senang karena mereka lucu. Padahal malah semakin annoying. Aku awalnya malah ragu bagaimana elemen underdog bisa worked jika karakternya dibuat unlikeable. Tapi seiring berjalannya cerita, seiring kita semakin mengerti kemana arahan progres cerita, karakter Deni terasa semakin membaik. Development karakternya dalam durasi nyari dua jam ini begitu gede. Deni bukan semata berhasil membuat kita bersimpati, melainkan, he really earns it.

Kultur kedaerahan seperti tarung sarung itu sendiri, dan juga agama, dimainkan ke dalam formula cerita underdog tadi. Dengan satu lapisan lagi yakni lapisan fish-out-water. Inilah yang jadi pembentuk karakter Deni. Anak kota, yang percaya uang sebagai jalan keluar, yang jauh dari agama, yang main keroyokan, dibentrokkan ke dalam lingkungan yang lebih kekeluargaan, yang erat dalam keagamaan, yang menjunjung tinggi spiriatualis one-on-one. That’s the grand design dari karakterisasi Deni. Karakternya dibuat seperti demikian supaya bisa memuat makna kultur tarung sarung yang selaras dengan agama, dengan harapan supaya kita bisa ikut belajar bersama Deni. Buatku aspek yang menarik dari konteks ini adalah soal satu-lawan-satu dan pencerahan Deni terhadap agamanya. Dalam beladiri tarung sarung, mau tak mau Deni memang harus satu lawan satu dengan lawan di dalam sarung. Dan bagaimana sarung juga merupakan atribut ibadah, yang dipakai saat Deni berkomunikasi one-on-one dengan sang Pencipta. Ada koneksi di sini. Yang dapat kita lihat dijadikan solusi oleh Deni pada adegan final fight yang cukup nyeremin itu.

Satu-lawan-satu dalam berantem actually lebih terhormat dibandingkan keroyokan. Karena benar-benar mengetes keberanian saat kita menatap langsung mata musuh. Apalagi jika berada dalam satu tempat yang dekat, seperti dalam ring atau malah rentang satu sarung. Keberanian inilah yang harus dipelajari oleh Deni; keberanian yang akan mengantarkannya kepada keikhlasan. Dan cara terjitu membuktikanny adalah dengan belajar sholat. Karena saat beribadah, Deni akan di dalam sarung sendirian, mata-ke-mata dengan Allah.

 

To address the elephant in the room; ya film ini jelas sekali terinspirasi oleh The Karate Kid (1984). Nama lengkap Deni aja Deni Russo, throwback ke protagonis The Karate Kid yang bernama Daniel LaRusso. Tahap-tahap latihan beladirinya juga mirip, Yayan Ruhian jadi ‘Mr.Miyagi’nya di sini. Nyuruh Deni nepok nyamuk dan beresin sendal mesjid pakai kaki sebagai bentuk latihan yang tak Deni sadari. In fact, film Tarung Sarung ini menjadi meta tatkala Deni dan Tenri (love interestnya) melihat poster film The Karater Kid. Mereka berdua mengenali film tersebut, bicara tentangnya, Deni malah menyebut dirinya taunya cuma Karate Kid versi remake dan suka sama film tersebut. Dengan begitu, gak masalah bagiku film ini punya elemen cerita dan beat yang The Karate Kid, toh filmnya sendiri embrace it.  Hanya saja, menurutku film ini melewatkan kesempatan untuk bermain lebih jauh dalam ranah meta tersebut. Karena kan aneh, karakternya tahu film Karate Kid, tapi gak nyebutin apa-apa soal kejadian yang ia lalui persis sama dengan film itu. Menurutku film ini mestinya bisa have fun lagi, totally bermain di ranah meta alias bikin self-aware aja. Daripada menyebutkan/menampilkan sekilas yang malah jadi kayak sebagai alasan aja.

Like, “tuh lihat kami nampilin poster Karate Kid, jadi ya kami memang sengaja kok nyamain ama film ini”

 

 

Memang, ada beberapa titik dalam film ini yang masih bisa diperbaiki penuturannya, atau ditambah eksplorasi penulisannya. Misalnya adegan opening di bar yang sempat kusinggung sekilas. Di opening ini tidak langsung kelihatan bahwa tokoh utama cerita adalah cowok yang ngeroyok orang yang udah minta maaf. Deni malah tampak seperti penjahat. Apalagi karena momen pembuka film ini exactly adalah nampilin karakter yang ternyata bukan siapa-siapa di cerita sedang nonton liputan kompetisi tarung sarung di handphonenya. Adegan nonton itu tidak perlu, karena pertama bukan tokoh utama cerita yang nonton. Kedua karena penjelasan tentang tarung sarung toh akan diulangi kembali saat Deni baru tau dan ingin berlatih. Jadi, adegan penjelasan di opening itu redundant. Untuk memperkenalkan tarung sarung early (within 10 minutes) kepada kita sebenarnya bisa dilakukan saat adegan Deni nonton televisi di rumahnya sebelum berangkat ke Makassar. Tinggal bikin saja Deni menonton tayangan liputan tersebut.

Penulisan film ini bisa di-improve lagi berikutnya pada berbagai adegan Deni diajarin prinsip dalam agama Islam. Meskipun memang setiap percakapan itu dibuat menggantung untuk Deni mempertimbangkannya di dalam hati, tapi tetap film terdengar ‘terlalu frontal berceramah’. Pengadeganan mestinya bisa dibuat lebih smooth lagi. Sebagai perbandingan, kita bisa lihat bagaimana film Ma Rainey’s Black Bottom (2021) menghandle tokoh utamanya yang juga jauh, tak percaya, dan bisa dibilang mengantagoniskan agama. Pencerahan yang datang kepada karakter dilakukan oleh film itu lewat lebih banyak gerakan kamera ketimbang dialog-dialog nasehat dari karakter lain. Sehingga film tersebut jadi lebih smooth dan less-menceramahi.

Dan terakhir, satu hal lagi yang mestinya bisa dikembangkan oleh film ini adalah penulisan terhadap karakter lawan utama si Deni. Yang kita tonton ini, karakter jahatnya, ya just that; jahat. Ambisius, nekat. Dan kasar. Dengan kata lain, masih satu dimensi. Padahal sudah ditetapkan bahwa tarung sarung itu kuat menyangkut soal harga diri. Si Sanrego jahat yang suka manggil Deni ‘Calabai’ itu tidak pernah benar-benar dibahas dorongan personalnya. Dia hanya ingin memperistri Tenri dan Deni jadi penghalang baginya – ini gak digali oleh film, melainkan Sanrego dibuat jahat aja. Makanya ketika konflik semakin memuncak; Sanrego menantang Deni melakukan Sigajang Laleng Lipa (tarung sarung versi hidup/mati pake badik), kita hanya melihatnya sebagai tindakan seorang loser. Padahal ada secercah emosional yang bisa digali karena Sanrego harga dirinya terluka.

 

 

With all being said, menurutku film ini cukup lumayan. Terutama sebagai drama. Karena perjalanan tokoh utamanya terasa sangat fulfilling, dan Deni benar-benar earned our respect dan simpati. Ada banyak layer pada cerita karakter ini. Keluarga, budaya, agama, bahkan lingkungan hidup. Padet banget. Dan semuanya berhasil diikat terarah oleh naskah. Karakter-karakter pendukung pun mendapat pengembangan, walaupuh beberapa difungsikan sebagai easy-fodder untuk dramatisasi. Tapi sebagian besar film ini terasa padat dan cukup berbobot. Dengan ‘hanya’ meninggalkan beberapa aspek yang mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi. Dari segi aksi, yang kurang adalah kamera worknya; kurang bisa menonjolkan keunikan dari bertarung dalam sarung karena treatmentnya masih serupa sama adegan berantem biasa. Soal kemiripan dengan The Karate Kid, yah film sudah ‘ngaku’, dan memang formula cerita kompetisi begini sudah sering diulang-ulang karena formula ini sudah terbukti berhasil. Jadi aku cukup maklum. Lagipula latar film ini sudah cukup kuat sebagai identitas yang unik. Aku sedikit sayang aja film ini nyerah tayang di Netflix alih-alih bertahan nunggu tayang di bioskop.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for TARUNG SARUNG

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa formula underdog dalam cerita/film tentang kompetisi selalu berhasil dan disukai penonton?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SHADOW IN THE CLOUD Review

04 Monday Jan 2021

Posted by arya in Uncategorized

≈ 10 Comments

Tags

2021, action, drama, fantasy, funny, horror, life, love, monster, mother, review, spoiler, thought, thriller, war

“War is to man what maternity is to a woman.”

 

 

 

Udah lama gak ngeliat Chloe Grace Moretz dalam peran cewek badass, sehingga Shadow in the Cloud garapan Rosanne Liang ini terasa jadi pengobat rindu. Moretz bukan hanya beraksi di atas pesawat yang sedang mengudara, dalam aksi fantasi perang dunia ini, karakter yang ia perankan akan menghajar bokong monster-monster maskulinitas!

Moretz berperan sebagai Maude Garrett yang menyatakan dirinya mendapat surat perintah untuk ikut dalam misi pesawat The Fool’s Errand. Pesawat yang isinya cowok semua itu tidak begitu saja percaya kepadanya. Mereka meremehkan Garrett, semua. Well, kecuali Quaid yang tampak respek dan bersedia menjaga tas bawaan Garrett di dock atas sementara Garrett sendiri ditempatkan di stasiun senjata bagian bawah pesawat oleh Kapten. Dari situlah masalah muncul. Di bawah sana, Garrett melihat sesuatu di badan pesawat – dan juga di balik awan. Pesawat mereka terancam bahaya diserang oleh dua hal berbeda. Dan tak satu orang pun yang percaya pada Garrett. Stake semakin tinggi bagi protagonis kita, sebab tas yang sedang dijaga oleh Quaid di atas tadi ternyata adalah berisi sesuatu paling berharga yang harus dijaga Garrett dengan nyawanya sendiri!

Dengarkanlah kata-kata perempuan, walau kadang ribet

 

Now, the movie itself is actually pretty bizzare. Ada perbedaan tone cerita yang benar-benar drastis. Film ini banyak menggunakan musik-musik techno/elektronik yang kekinian, yang mentok banget dengan setting dunia 1940an yang kita lihat. Belum lagi, film sering menampilkan visual dengan warna-warna neon, yang juga kontras dengan environment pesawat yang tampak kuno, dan ringkih. Benturan-benturan ini menciptakan kesan ‘dreamlike’, seperti sebuah fantasi. Sementara itu, melalui kontras modern dengan jadoel itu, bawah sadar kita juga dibuat mengerti kalo ini adalah kisah fantasi yang menyuarakan hal kekinian. Ini adalah soal perempuan dalam dunia pria.

Film bermaksud untuk memperlihatkan kepada kita hal-hal seperti bagaimana perempuan diperlakukan, prejudice apa yang seringkali menimpa, dan betapa merawat anak saja dapat menjadi begitu perjuangan bagi perempuan. Dalam kata lain: film ingin memperlihatkan perang seperti apa dialami oleh perempuan masa kini, dan betapa kadaluarsa sesungguhnya ‘perang’ tersebut. 

 

Paruh pertama film ini dengan paruh keduanya udah kayak dua film yang berbeda. Aku biasanya suka banget dengan film-film yang bahkan si film itu sendiri mengalami perubahan. Kriteria film yang kukasih skor 9 biasanya seperti demikian. Misalnya Jojo Rabbit (2020) yang awalnya cerita di camp terus berubah jadi cerita semacam ‘stranger on attic’ lalu berubah lagi jadi cerita perang. Atau Inside Out (2015) yang berubah dari cerita di ruang kendali menjadi cerita petualangan. Shadow in the Cloud pada paruh pertama adalah cerita yang sangat contained. Hanya berisi dialog-dialog, dengan situasi yang menarik. Garrett sendirian di turret bawah. Terkunci. Terpisah dengan lawan ngobrolnya; para kru pria yang berada di bagian atas pesawat. Mereka ngobrol lewat radio internal pesawat. Aku genuinely suka bagian ini. Aku suka setnya; yang menggambarkan betapa terkucil, terkurung, dan rendahnya perempuan ditempatkan oleh pria-pria toksik. Aku juga suka sama dialog mereka, dan cara dialog tersebut dimainkan. Dimulai dari Garrett yang mencuri dengar para kru ngelecehin dia, hingga ke akhirnya mereka berdebat dan Garrett put them in their place saat mengungkap kepandaian dan pengalaman mereka ternyata tak jauh berbeda – bahkan Garrett lebih superior. Akting Moretz pun ternyata lebih ‘cakep’ di bagian drama berdialog-dialog ini.

Tapi kemudian, sembari Garrett melakukan lompatan ke luar pesawat, film juga melakukan lompatan yang tak kalah jauhnya. Sekarang ceritanya berubah menjadi action thriller/horor yang luar biasa impossible. Dan bagiku, film ini langsung terjung bebas. Menubruk permukaan bumi, terbakar, dan meledak hingga tak bersisa. Ketika elemen Gremlin dimunculkan, film ini masih bisa ditolerir.  Tonenya sedari awal sudah diset sebagai sebuah fantasi, sehingga tak masalah jika ternyata monster kayak Gremlin ternyata beneran ada. Gremlin itu pun masih cocok jika dimasukkan ke konteks maskulinitas karena makhluk antagonis itu bisa dilihat sebagai perwujudan dari sifat-sifat jelek para lelaki. Karena mitos Gremlin aslinya memang muncul sebagai kambing-hitam keteledoran manusia merawat kendaraan seperti pesawat, you know, ‘kendaraan pria-pria’. Gremlin disebutkan sebagai makhluk seperti goblin yang merusak peralatan, sehingga menyebabkan kecelakaan, padahal aslinya ya karena memang kendaraannya gak terawat aja. Seperti pesawat yang dinaiki Garrett. Jadi, Gremlin ini bukan masalah, adegan Garrett menghajar Gremlin di babak akhir juga cukup memuaskan walaupun pengadeganannya bego. Yang bikin malesin itu adalah aksi-aksi lain yang dibuat begitu heboh sehingga tak masuk akal. Aksi-aksi seperti Garrett yang jatuh, keluar dari pesawat, terlontar masuk kembali karena imbas ledakan pesawat musuh yang hancur. Konyol!

Aksi-aksi seperti begitu malah membuat kita jadi menertawakannya. Garrett bergelantungan, merayap di luar pesawat sembari membawa tas kulit yang ia jaga biar gak jatuh. Pesawat-pesawat musuh yang gak pernah menembakinya, tapi selalu sukses menembak kru cowok di dalam pesawat – tepat pada saat punchline dialog mereka yang terkesima melihat aksi Garrett. Gremlin yang muncul ngajak berantem, tapi luar biasa mematikan terhadap kru laki-laki lain. Aksi-aksi konyol itu dengan cepat menjadi annoying, karena kita sadar bahwa satu-satunya alasan adegan itu terjadi adalah karena ingin menunjukkan kehebatan Garrett sebagai seorang perempuan. Agenda feminis salah kaprah yang ditunjukkan oleh film ini. Garrett yang di awal sudah benar ditampilkan sebagai seorang yang bercela dengan motivasi dan muslihatnya sendiri, kini berubah ditampilkan sebagai seorang yang lebih baik daripada siapapun di sekitarnya. Garrett ini bisa semua, mulai dari mekanis pesawat, pilot, penembak, dan petarung. Tentara beneran aja jarang yang bisa semua skill kayak gitu. Semua elemen di luar dirinya pun lantas diperlemah demi menguatkan tokoh ini. Ledakan yang tak membunuh, malah menjadi pegas penyelamat. Peluru-peluru yang senantiasa meleset.. Garrett bahkan bisa ‘berteleport’ mengejar Gremlin. Semua ke-lebay-an ‘perempuan-hebat’ itu membuat film ini jadi tak pantas lagi menyandang narasi pemberdayaan yang jadi gagasan utamanya.

This is the close we can get to an action-feminazi!

 

Padahal kalo memang mau bikin cerita yang menghormati perjuangan perempuan di medan perang, kenapa tidak bikin cerita yang lebih real aja misalnya tentang salah satu pilot cewek Perang Dunia II yang fotonya dipajang oleh film ini di kredit penutup. Kenapa harus memilih cerita yang berujung menjadi aksi tak masuk akal yang hanya seperti menuding dan mengecilkan nilai perjuangan.

Sebenarnya film ini sudah mengeset ‘nada dasar’ ceritanya supaya kita enggak kaget dengan perubahan drastis di tengah-tengah. Tapi, film ini melakukan itu dengan demikian aneh. Klip video kartun perang ditampilkan di layar, memperlihatkan soal Gremlin dan pesawat, dengan adegan over-the-top khas kartun. Sebenarnya ini cukup, kalo ditempatkan dengan benar. Film ini anehnya, membuat opening itu seperti terpisah dari cerita utama. Kita tidak melihat karakter menonton klip tersebut atau apa. Karena setelah klip itu, kita lantas disambut oleh kredit studio dan logo-logo yang terlibat produksi film ini. So, bahkan sedari mau mulai aja film ini udah gak make sense. Penulisannya janggal. Garrett sendiri pun tak mendapatkan plot yang benar. Tidak ada pengembangan pada karakternya, melainkan hanya pengungkapan demi pengungkapan; revealing demi revealing. Garrett dibikin sudah benar dan kuat sedari awal. Tidak ada pembelajaran pada karakternya. Tentu saja, sekali lagi karena film berkutat pada agenda tokoh feminis yang salah kaprah.

 

 

Aku menonton ini malam hari tanggal satu Januari. Dan belum genap 24 jam, tapi 2021 udah ngasih kekonyolan dan agenda yang makin annoying. Film ini bukan tontonan yang tepat untuk mengawali tahun yang semestinya penuh harap dan penyembuhan. Karena film ini memperlihatkan perjuangan dalam sebuah fantasi yang semu. Bukannya empowering, malah menggelikan. Tadinya kupikir film ini unik, pemainnya pun berjuang akting dengan sepenuh hati, tapi naskahnya ternyata asik sendiri. Sebenarnya gak masalah jika film tampil sebagai aksi thriller/horor yang konyol, but not like this. Tidak dengan karakter dangkal dan adegan yang menyangkal logika hanya untuk membuat karakternya terlihat kuat.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SHADOW IN THE CLOUD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Bicara soal perang dan perempuan, apakah menurut kalian etis bagi suatu negara untuk mengirimkan perempuan-perempuannya berperang? Bagaimana dengan perempuan-perempuan pahlawan di jaman dahulu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020

03 Sunday Jan 2021

Posted by arya in Movies

≈ 4 Comments

Tags

2020, action, article, awards, biography, comedy, drama, family, funny, horror, list, pow joke, review, spoiler, top-8

 

Kita sudah pernah survive hidup di masa film-film impor telat bahkan dilarang masuk ke bioskop. Malah, abang atau kakak atau orangtua kita pernah ngalamin zaman bioskop yang film-filmnya gak ada yang terpuji. Dan siapa sangka, tahun 2020 ternyata datang beserta ancaman baru bagi para pecinta film; bioskop seluruh dunia harus ditutup demi memutus rantai pandemi! Bukan hanya film impor, film Indonesia pun tak ada yang bisa tayang di bioskop. Bukan hanya film-film bagus, film-film jelek juga harus terpisah dari penggemarnya.

Gak ada lagi yang namanya premier-premier. Gak ada lagi yang bisa nonton bareng. Tempat pemutaran alternatif juga perlahan tutup. Tapi untungnya kita hidup di masa internet yang terbilang cukup jaya. Masa di mana televisi sudah tergantikan oleh platform-platform streaming. Di era bioskop-tutup ini, streaming mencuat sebagai jawaban bagi dunia perfilman. Sebelum pandemi, kehadiran streaming memang sudah banyak, namun Studio/PH masih menomorsatukan bioskop. Karena di situlah pengalaman sinematik yang sebenarnya bisa terasa. Hanya saja, keadaan di 2020 membawa mereka terpaksa harus ‘menyerah’. Daripada film mereka mundur dan tak-tahu kapan bisa rilis karena kondisi pandemi yang tak kunjung menentu, kan. Film Trolls World Tour-lah yang pertama kali  alih-alih memundurkan tanggal tayang, memilih untuk tayang di platform. Dan praktisnya, memulai ‘new normal’ kebiasaan menonton.

Blog ini tentu saja merasakan pengaruh cukup drastis dari perubahaan ini. Pertama, tahun ini aku tidak mengeluarkan daftar ‘Kekecewaan Bioskop’; karena hanya caturwulan pertama yang film-filmnya masih di bioskop. Film-film yang tayang di platform juga banyak yang mengecewakan, sebenarnya, but I don’t feel right menyebut mereka sebuah kekecewaan – karena at least, mereka membuat industri film bisa bertahan, dan karena nonton di platform tidak terasa se-wah dan se-berjuang nonton di bioskop. Kedua, karena nonton di platform, aku jadi kebawa santai. Nonton jadi gak seurgen saat tayang di bioskop, yang perlu ngejar-ngejar sebelum filmnya turun, atau buru-buru beli tiket sebelum kehabisan atau simply sebelum spot kursi favorit diambil orang. Makanya reviewku mulai dari caturwulan kedua kemaren mulai telat-telat. Gak lagi se-on time biasanya. Malah saking banyak dan beragamnya tontonan yang bisa ditonton kapan saja, beberapa film jadi tak terulas. Tahun ini aku hanya mereview 119 film.

On the bright side, waktu nonton yang lebih senggang itu bisa kuisi dengan membuat review video. Ya, mulai tahun ini, youtube My Dirt Sheet sudah aktif ngereview film – dengan konsep sambil main video game! Ahahaha biar gak usah ribet ngurusin copyright tampilan trailer. Jadi yang belum subscribe, silakan lakukan hihihi…

Sisi positif lain dari new-normal nonton ini adalah kualitas yang kureview relatif meningkat. Karena filmnya sedikit, maka tak lagi rame oleh film-film medioker. List tahun ini sangat ketat!

 

HONORABLE MENTIONS

  • 1917 (jika film adalah sebuah experience, maka film ini nawarin experience perang terbaik di tahun ini)
  • Borat Subsequent Moviefilm (Borat kembali menyentil lewat komedi ‘pura-pura udik’, yang benar-benar sebagai reality check buat kita semua. Plus narasinya kini lebih berdrama. Very nice!!)
  • His House (persoalan hidup imigran dijadikan horor nyeni yang luar biasa manusiawi!)
  • Little Women (begini nih bikin film feminis yang gak agenda-ish; cantik dan respek!!)
  • Mank (penggemar sinema bisa belajar banyak dari film ini)
  • Nocturne (horor yang ngasih audio secreepy visual, menguatkan konflik psikologisnya)
  • Soul (film Pixar paling dewasa yang membahas filosofi keberadaan dengan ringan, lewat world-building yang kreatif!)
  • Sound of Metal (sound design luar biasa, cerita dan karakter manusiawi, akting juara, ending powerful — film ini punya semua!!)
  • Swallow (cara bertutur yang deep creep membuat cerita wanita memperjuangkan otonominya ini menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan)
  • The Assistant (pendekatan berceritanya realistis sekali sehingga film ini jadi luar biasa efektif menyampaikan gagasannya)
  • The Invisible Man (fenomenal opening dan fenomenal akting bikin thriller ini menjuarai caturwulan pertama film 2020)
  • The King of Staten Island (Kuat oleh sense of realism, film ini berhasil sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi)
  • The Science of Fictions (film ini harusnya dikirim ke Oscar, harusnya menang Citra. Yang banyak!)
  • The Vast of Night (horor fenomena UFO dengan arahan yang sangat menarik dan menginspirasi buat filmmaker muda)
  • The Willoughbys (animasi dengan cerita yang unik, aku suka film ini mainly karena ada Alessia Cara ngisi suara karakter sentralnya!)

Tak lupa pula, Special Mention dihaturkan kepada film Vivarium yang ulasannya paling banyak dibaca tahun 2020 di blog ini.

 

Bersama dengan spoiler warning buat film-film yang masuk delapan-besar ini, aku juga ngingetin kalo daftar ini completely subjective. Ini not-exactly daftar film terbaik. Ini adalah delapan-besar film 2020 versi ku. Kesukaan-ku. Jadi isinya bisa berbeda dengan daftar versi kalian. Akan berbeda dengan daftar terbaik di web atau blog lain. Malah, daftar ini akan berbeda dengan Rapor Film My Dirt Sheet – karena penilaian rapor tersebut berusaha kubikin seobjektif mungkin.

So yea, inilah TOP-EIGHT MOVIES ANGKATAN CORONA!!

 

 

8. EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA

Director: David Dobkin
Stars: Will Ferrell, Rachel McAdams, Dan Stevens, Pierce Brosnan
MPAA: PG-13 for crude sexual material including full nude sculptures, some comic violent images, and language
IMDB Ratings: 6.5/10
“IT WILL NEVER BE ENOUGH! I ONLY WANT TO HEAR JA JA DING DONG!”

Totally hiburan di tengah pandemi!

Ketika baru nonton ini, aku tahu ini bakal jadi cerita underdog dalam sebuah kompetisi. Seperti film-film serupa; ia ringan, formulaic, tapi bisa sedikit menginspirasi. Yang aku tidak tahu adalah… bahwa film ini ternyata luar biasa asik dan menghibur!

Ini film yang paling banyak aku tonton sepanjang. Bengong mau nulis apa lagi saat ngulas film? Aku berhenti dan setel film ini. Lagi pengen ngemil? Aku putar film ini sebagai teman ngunyah. Boring nunggu render-an video? Aku mainkan film ini dan dijamin tak akan bosan lagi. Well, sebenarnya filmnya sendiri banyak kekurangan. Ada bagian gajelas banget, yang gak aku suka di tengah, yakni adegan nyanyi bareng para juara eurovision beneran. Tapi bisa diskip dan nonton yang ada Lars dan Sigritnya aja. Karena memang keasikan film ini datang dari dua karakter sentral tersebut. Mereka lucu, mereka awkward, penampilan akting Rachel McAdams dan Will Ferrell kocak banget – and they sure can perform!

My Favorite Scene:
Adegan nyanyinya keren dan kocak semua. Aku suka Double Trouble, aku suka Ja Ja Ding Dong, aku bahkan suka lagu Running with the Wolves. Namun sebagai puncak, I’ll give the cake to Husavik.

“Gra-med-DIAAAA!!!”

 

 

 

 

7. THE TRIAL OF THE CHICAGO 7

Director: Aaron Sorkin
Stars: Eddie Redmayne, Joseph Gordon-Levitt, Sacha Baron Cohen, Michael Keaton
MPAA: R for language throughout, some violence, bloody images and drug use
IMDB Ratings: 7.8/10
“Let us make sure that if blood is going to flow, let it flow all over this city.”

Makjaaaaaangg!! Adegan persidangan di film ini adalah sidang terheboh yang pernah aku lihat di dalam film. Bahkan lebih bikin geram dibandingkan sidang yang pernah kutonton di televisi – dan aku udah lihat sidang kopi sianida dan sidangnya Steven Avery!

Film ini memang sukses mengaduk-aduk emosi. Debat sidang yang ada di film ini begitu sensasional. Dan begitu kita sadar bahwa adegan-adegan dalam sidang ini tuh beneran kejadian di dunia nyata karena film ini diangkat berdasarkan peristiwa beneran. Yah, meskipun yang namanya film, ada beberapa hal yang diubah alias didramatisasi. Namun demikian, film ini berhasil tampil tidak seperti parodi ataupun lebay. Malahan powerful dan mampu membuat kita berefleksi terhadap masa kini.

Aaron Sorkin berhasil membuat film ini sebagai tontonan yang seru, meskipun sebagian besar isinya adalah orang ngomong aja.

My Favorite Scene:
Punchline film ini di ending itu kuat banget. Tapi paling terbayang-bayang itu, yang paling bikin geregetan bahkan ketika filmnya udah beres, adalah kelakukan hakimnya.

 

 

 

 

6. BLACK BEAR

Director: Lawrence Michael Levine
Stars: Aubrey Plaza, Christopher Abbott, Sarah Gadon 
MPAA: R for language throughout, sexual content, drug use and some nudity
IMDB Ratings: 6.5/10
“Hey, I think feminism is fucked up.”

Aku suka nonton film. Aku suka nulis. Aku selalu ingin tahu bagaimana satu film itu ditulis – bagaimana film itu dibuat. Black Bear memuat hal tersebut. Karena film ini memvisualkan proses penulisan sebuah film – bagaimana ide-ide personal bisa ditarik untuk menjadi sebuah cerita, yang menghormati penonton dan penulisnya sendiri.

Film ini punya banyak kesamaan dengan film terfavoritku sepanjang masa, Mulholland Drive. Sama-sama aneh. Sama-sama nunjukin adegan syuting film (this is my soft spot for movies), sama-sama dihidupi oleh karakter yang nanti direveal sebagai orang yang bukan kita kenal sebelumnya. Sama-sama bikin bingung, tapi bingung yang membuat kita peduli karena ceritanya berakar pada konflik personal. Bedanya, Black Bear actually adalah berakhir dengan nada yang positif. Karena karakternya adalah penulis, dia menulis, maka yang ia lakukan sebenarnya adalah sebuah proses healing.

Black Bear disangga oleh penampilan akting yang luar biasa natural dari tiga aktor sentralnya. Kalo kalian belum ngefans sama Aubrey Plaza, kalian bakal jadi ngefans sama aktor ini. She’s weird, she’s funny. Dia nunjukin range emosi yang menakjubkan. Kalian perlu melihat Aubrey pada adegan ketika dia disuruh berakting pada bagian kedua cerita film ini. Tapi, untukku,

My Favorite Scene adalah:
Pas dialog debat soal feminis di cerita bagian pertama. Dialog film ini memang berisi banyak argumen yang menantang kita untuk diskusi, dan salah satunya – dialog dengan argumen paling menarik dan relevan – adalah ketika Aubrey harus memilih sikap di antara seorang suami yang berpikiran lebih tradisional dengan istri yang lebih ‘woke’, namun kedua orang ini sama-sama annoying.

 

 

 

 

 

5. RELIC

Director: Natalie Erika James
Stars: Robyn Nevin, Emily Mortimer, Bella Heathcote
MPAA: R for some horror violence/disturbing images, and language
IMDB Ratings: 5.9/10
“Do you ever get lonely out here by yourself?”

Dari sekian banyak horor bagus yang tayang di tahun 2020, aku memilih Relic sebagai favorit. Relic bukan hanya superseram, tapi juga sarat oleh makna. Dan ceritanya gampang untuk relate kepada siapa saja, karena kita semua punya orangtua – dan sendirinya akan menjadi orang tua.

Seluruh kejadian dalam film ini dirancang sebagai perumpamaan dari dampak demensia kepada si pasien, sekaligus juga kepada keluarganya. Nonton film ini akan bikin kita takut tua dan tinggal sendirian, sebegitu berhasilnya metafora itu diwujudkan oleh film. Perasaan mengerikan seperti ketika orang yang kita kenal berubah menjadi orang lain karena tidak lagi mengingat siapa kita, ataupun ketika kita mulai kehilangan ingatan itu satu persatu, inilah yang jadi bahan bakar horor cerita.

Dan semua itu berhasil berkat arahan yang visioner dari sutradara yang baru sekali ini bikin film. Cerita ini seperti personal baginya. Ending film ini juga jadi salah satu ending paling powerful yang bisa kita tonton di 2020. Tepuk tangan untuk Australia sekali lagi menelurkan sutradara horor yang hebat. I can’t wait to see Natalie Erika James’s next projects.

My Favorite Scene:
Ketika karakter dalam film ini mulai tersesat di dalam rumah mereka sendiri! Gila ini adegannya serem karena terasa banget panik dan mengukungnya rumah yang dibikin ‘bertambah ruangan’ itu.

 

 

 

 

 

4. THE PLATFORM

Director: Galder Gaztelu-Urrutia
Stars: Ivan Massague, Zorion Eguileor, Antonia San Juan
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 7.0/10
“There are 3 kinds of people; the ones above, the ones below, and the ones who fall.”

Perfect banget ditonton saat awal pandemi kemaren. Nonton ini tuh jadi kejawab kenapa orang-orang pada sibuk menimbun masker (atau menimbun tisu toilet di luar negeri sana). Lebih universal lagi, menjawab kenapa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat.

Film ini berhasil menjelaskan itu lewat konsep dunia-cerita yang diciptakan dengan baik. Perlambangan di balik mekanisme platform dan lantai-lantainya itu benar-benar terasa mewakili keadaan di dunia kita. Ini adalah film yang penting bagi kemanusiaan, tapi sekaligus menjadikan film ini sangat susah untuk ditonton.

Darah, muntah, kotoran, kerakusan dan moral bobrok; itulah lima elemen dasar film ini. Secara simbolik maupun literal, film ini sungguh akan membuat kita mual.

My Favorite Scene:
Adegan yang menabrakkan persiapan masak sebegitu banyak dan enak makanan, dengan bagaimana makanan tersebut akhirnya dimakan

 

 

 

 

 

 

3. I’M THINKING OF ENDING THINGS

Director: Charlie Kaufman
Stars: Jesse Plemons, Jessie Buckley, Toni Collette, David Thewlis, Guy Boyd
MPAA: R for language including some sexual references 
IMDB Ratings: 6.6/10
“Other animals live in the present. Humans cannot, so they invented hope.”

Satu lagi film 2020 yang ngingetin sama Mulholland Drive, dan bahkan punya general-idea yang mirip. Film ini secara konflik juga mirip dengan Black Bear – tentang orang yang memutar ulang cerita hidup di dalam kepalanya. Tapi film ini menohok karena memperlihatkan kegagalan.

Aku lebih suka film ini karena lebih aneh, pengadeganannya lebih menekankan kepada hal sureal. Film ini juga banyak dialog, tapi gak akan bikin bosan karena surrounding dialognya itu yang menarik. Kita melihat tokoh-tokoh yang berubah namanya, bajunya — begitu unsettling, random, dan sedikit mengerikan.

Awalnya memang film ini terasa distant. Kita gak yakin tentang apa sebenarnya. Di sinilah letak pesona film. Kaufman merangkai dialog, karakter, adegan, dan penyimbolan dengan luar biasa detil sehingga tanpa disadari film ini akan berakhir dengan terasa begitu dekat. Begitu nyata. Kenapa jadi kayak iklan provider…

My Favorite Scene: Adegan balet di menjelang akhir itu sampai sekarang bikin aku kepikiran. Apakah ini kejadian yang sebenarnya? Apakah ini harapan si tokoh? Yang jelas begitu weird dan beautiful

 

 

 

 

 

2. JOJO RABBIT

Director: Taika Waititi
Stars: Roman Griffin Davis, Thomasin McKenzie, Scarlett Johansson, Taika Waititi
MPAA: PG-13 for mature thematic content, some disturbing images, violence, and language
IMDB Ratings: 7.9/10
“Not everyone is lucky enough to look stupid.”

Film yang berada di posisi limbo sebenarnya; keluar tahun 2019, tapi berkat Indonesia yang gak mau masukin film ini ke bioskop, aku baru bisa nontonnya di tahun 2020. Sering sih kondisi gini terjadi. Biasanya film-film limbo palingan hanya kumasukin ke ‘honorable mentions’. Namun Jojo Rabbit ini begitu bagus, sehingga sayang rasanya untuk tidak mencatatkan namanya di daftar top-eightku.

Bahkan, objectively, film ini tetap dengan nilai tertinggi di antara film-film 2020. Naskahnya keren banget. Mengadaptasi cerita ‘muram’ menjadi komedi satir, yang enggak pretentious. Film ini tetap terasa sangat penting, bicara tentang ‘sebarkan cinta, bukan kebencian’ di balik nada konyolnya itu. Ini menunjukkan permainan hati dan komedi yang sangat presisi dari pembuatnya.

Progresi ceritanya benar-benar menyenangkan untuk diikuti. Membuat film terasa padat, dan membuat kita merasa sayang ketika film berakhir karena gak mau berpisah dengan karakter-karakternya.

My Favorite Scene:
Film ini punya banyak adegan top. Kita minta sedih, ada. Lucu, ada (Yorki paling bikin ngakak!). Sweet pun ada. Weird, apalagi! Tapi seperti biasa, the best part adalah ending. Dan adegan di ending Jojo Rabbit seperti mewakili semua perasaan yang sudah memuncak dari filmnya.

 

 

 

 

Pandemi memang telah sukses mengubah skena nonton kita. Beda dengan bioskop, nonton streaming-an di hp atau laptop atau tv masing-masing membuat nonton terasa lebih spiritualis lagi.  Film-film pun ternyata banyak yang menggali eksistensi, merefleksi diri, dan sebagian lagi mengajak kita untuk menikmati hidup walau dalam keadaan tak-biasa.

Perubahan yang tampak jelas di daftar ini adalah, sudah sejauh ini tapi belum ada film superhero. Padahal biasanya, film superhero pasti nongol – setidaknya mengisi di ‘honorable mentions’. Dalam kondisi dunia di mana kita butuh pahlawan, apakah superhero malah absen dalam daftar tahun ini?

Siapkan terompet tahun baru kalian – karena inilah, FILM NOMOR SATU PILIHANKU DI TAHUN 2020!

*tiup terompet: “teteteret-teret-tenettereneett!!”

 

 

 

 

 

1. DA 5 BLOODS

Director: Spike Lee
Stars: Delroy Lindo, Jonathan Majors, Melanie Thierry, Chadwick Boseman
MPAA: R for strong violence, grisly images and pervasive language
IMDB Ratings: 6.5/10
“We fought in an immoral war that wasn’t ours for rights we didn’t have.”

In the wake of #BlackLivesMatter, Spike Lee menghadirkan film ini ke tengah-tengah kita.

Da 5 Bloods menggambarkan bagaimana persisnya menjadi serdadu kulit hitam yang disuruh berperang di Vietnam. Horor perang yang seumur idup gak ilang itu dipotret oleh Lee, disebar ke lima perspektif karakter, dan kita melihat seperti apa perang membekas ke dalam hidup mereka. Selipan flashback adegan perang, ditambah cuplikan klip perang yang nyata, membuat film ini dapat jadi disturbing untuk ditonton. Aku merinding sendiri nonton ini, bahkan lebih merinding daripada nonton film-film horor yang bagus-bagus itu.

Tapi jangan bayangkan arahan Lee kaku dan one-tone seperti film-film agenda-ish. Film ini tidak tampil murni mengerikan. Juga tidak murni menuding siapa-siapa. Ada hati yang begitu menguar soal persahabatan dan keluarga. Ada kelucuan yang dihadirkan. Film ini punya segalanya. Ia bermula dari petualangan dan berakhir ke action menegangkan.

Di film ini kita bisa melihat salah satu penampilan terakhir dari Chadwick Boseman (rip) – nonton film ini sekarang akan membuat Boseman semakin fenomenal lagi karena karakternya di sini begitu kharismatik, perfectly mirroring him in real life.

My Favorite Scene:
Monolog Delroy Lindo. That’s it. Aku angkat kupluk banget. Beautiful, daunting, kita takut dan kasihan melihatnya saat bersamaan. Jika aku yang punya, aku akan ngasih Oscar untuk Delroy di adegan ini.

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Akhir 2020, bioskop mulai menggeliat bangun. Semoga pandemi segera berakhir. Semoga perfilman segera pulih. Semoga Indonesia gak terjebak dan ikut-ikutan dalam perang platform, karena pada titik ini perfilman kita belum sanggup untuk bersaing di sana – platform tidak banyak membantu perfilman kita dalam jangka panjang, melainkan hanya membuat film-film jadi cenderung seperti ftv. Semoga tahun 2021, kita sudah bisa menikmati ngejar-ngejar film di bioskop kembali!

Apa film favorit kalian di tahun 2020? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2021?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…

… karena tahun 2020 ini gak ada Kekecewaan Bioskop, maka aku mau paradein losers lain. Ya kalian; Mulan, Tenet, Milea, dan…

We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

WONDER WOMAN 1984 Review

22 Tuesday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 15 Comments

Tags

2020, action, adventure, dc comic, drama, fantasy, funny, life, love, period piece, review, spoiler, superhero, thought

“Wishes are free, but you have to pay for everything else.”

 

 

 

Harga dan impian punya kesamaan. Semua orang punya. Setiap orang pasti memiliki keinginan, dan setiap orang tentulah rela untuk membayar sejumlah ‘harga’ demi keinginan dan impian mereka bisa terpenuhi. Sekuel Wonder Woman yang kembali digarap dengan sangat cakep oleh Patty Jenkins akan ngasih tau kita sedikit banyak tentang ‘keinginan’ dan ‘harga’ tersebut. Bahwa seringkali harga yang kita bayar terlalu tinggi, padahal sesungguhnya yang kita miliki dalam hidup sudah cukup.

Film ini dibuka dengan adegan di Pulau Amazon, saat Diana kecil ikut kompetisi obstacle-course ala Benteng Takeshi  Ninja Warrior. Opening ini penting untuk dua hal; menyambut kita dengan aksi menghibur yang seru, serta melandaskan karakter Diana yang naif. Membuild up konflik personal yang nantinya memegang peranan penting dalam keseluruhan arc Wonder Woman dalam film ini. Karena reaksi Diana Kecil terhadap kegagalan dan kekalahannya di kompetisi ini akan terefleksi dan jadi ‘sin’ utama karakternya.

Seringkali kita mengarang kebohongan, karena kita tidak menerima kenyataan. Kita ingin lebih dan merasa tidak cukup dengan yang kita dapatkan sekarang. Kita mengambil jalan pintas, demi memenuhi keinginan untuk mendapatkan yang lebih baik. Keinginan yang tak akan pernah terpuaskan. Satu jalan pintas akan berkembang menjadi lebih banyak jalan pintas. Sampai akhirnya kita tersesat di sana. Melupakan siapa sebenarnya diri kita. Dan itulah harga tertinggi yang akan kita bayar.

 

Wonder Woman 1984 memang lebih banyak bermuatan drama ketimbang aksi. Namun film ini tidak gagal dalam menampilkan babak kehidupan Diana Prince sebagai superhero. Ceritanya justru semakin menarik karena berani memperlihatkan seorang pahlawan super yang vulnerable. Yang gak semena-mena kuat. Sosok Wonder Woman di sini terasa semakin manusiawi, karena kita dibimbing untuk mengenali karakternya, memahami keinginannya, dan melihat kelemahan. Bagaimana pun juga cerita superhero tetep saja adalah cerita tentang seorang person. Penggalian person inilah yang berhasil dilakukan maksimal oleh Jenkins. Jadi film ini enggak sekadar bak-bik-buk menghajar musuh, melainkan juga bahkan tokoh musuhnya diberikan kesempatan untuk tampil relatable dan manusiawi.

Tentara Arab kalah karena mereka be like ‘Astaghfirullah haram-haram’ sambil tutup mata

 

 

Fokus cerita adalah di tahun 80an saat fanny pack masih jadi hot fashion item. Diana Prince hidup di tengah-tengah khalayak Washington D.C. Di sela-sela kesibukannya bekerja sebagai peneliti benda-benda bersejarah dan menjadi pahlawan pembasmi keributan di kota, Diana diperlihatkan sebagai seorang yang kemana-mana sendirian. Diana kurang membuka diri, karena ternyata dia masih belum bisa move on dari Steve yang gugur di film pertama. Saat Dreamstone – kristal pengabul permintaan yang jadi sumber masalah film ini – ditemukan, Diana tak pelak langsung secretly make-a-wish Steve hidup kembali. Permintaan Diana ini terkabul, tapi dengan ‘bayaran’ kekuatan supernya perlahan memudar.

Sementara itu, ada dua karakter lagi yang meminta kepada Dreamstone. Dua karakter yang bakal jadi musuh utama Wonder Woman di sini. Pertama adalah rekan kerja Diana, perempuan kikuk dan cupu bernama Barbara Minerva (Kristen Wiig charming dalam peran-peran kayak gini). Minerva meminta untuk menjadi keren seperti Diana. Permintaan yang terdengar inosen, sayangnya Minerva gak tau kalo Diana itu pahlawan superpower. With great power, comes great responsibilities. Minerva mana siap. Minerva jadi orang yang angkuh dengan kekuatan barunya, dia tidak lagi ceria dan bersahabat. Penjahat kedua adalah seorang bintang televisi sekaligus pengusaha minyak, Max Lord (Pedro Pascal memainkan seorang con-man yang licin). Diremehkan seumur hidup, membuat pria ini pengen jadi yang terbaik; bagi dirinya dan bagi putranya. Jadi dia mengubah dirinya menjadi Dreamstone. Membuatnya bisa mengabulkan permintaan semua orang, sekaligus menagih bayaran apapun yang ia mau untuk memuaskan keinginannya atas kuasa. Di bawah kekuatan Max Lord, dunia kacau terancam WW84 (World War 84! hihi), sedangkan Diana terus melemah karena gak rela kehilangan sang pacar untuk kedua kalinya.

Aku bisa melihat SJW-SJW di seluruh dunia bakal sinis sama film ini. Kayaknya Wonder Woman 1984 ini bakal bernasib sama dengan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018), dalam hal filmnya bagus tapi gak banyak yang berani terang-terangan memuji. You know, karena gak sejalan dengan agenda feminis kekinian. Suzzanna Luna Maya adalah drama horor yang manusiawi tapi gak banyak yang bicarain karena protagonisnya adalah seorang wanita perempuan yang rela hidup sebagai hantu untuk bisa terus bersama suami. Sedangkan Wonder Woman 1984 ini, Diana Prince-nya dibuat sebagai seorang perempuan yang gak bisa move on dari cowok; perempuan adidaya yang sempat rela menukar kekuatannya demi cinta. People will certainly quick to criticize that. Padahal mestinya dipahami dulu konteks journey Diana pada film ini. Sikapnya itu sebenarnya justru adalah ‘dosa’nya. Sesuatu yang harus Diana perbaiki sebagai bagian dari resolusi cerita mengenai kebenaran yang harus dihadapi.

Jalan keluar segala kekacauan dalam cerita ini adalah dengan membatalkan permintaan. Terdengar memang simpel dan gampang. But is it tho? Apakah segampang itu bagi Diana untuk membatalkan permintaannya; membuat Steve pergi lagi dari dirinya? Apakah semudah itu bagi Minerva untuk berhenti kuat dan keren sebagai Cheetah dan kembali menjadi dirinya yang cupu? Apakah seenteng itu bagi Max Lord membatalkan semua yang ia dapat, setelah semua kekuasaan itu? Cerita film ini adalah soal menghadapi kebenaran. Untuk mengenali bahwa bukan hanya kita yang menderita. Semua orang punya derita dan kesusahan masing-masing. Jadi cukuplah minta lebih banyak daripada orang lain. Menyadari itu sungguh bukanlah hal yang mudah bagi siapapun. Inilah tantangan bagi film ini. Harus membuat bagaimana membatalkan permintaan itu jadi sesuatu yang benar-benar tampak sulit dan berat bagi karakter. Makanya film ini butuh dua jam lebih. Ketiga karakter sentral yang sebenarnya sama-sama gak mau menatap kebenaran dibahas pelan-pelan, diberikan ruang untuk kita mengerti mereka. Dan pada beberapa memang efektif. Kita dapat merasakan emosi pada Wonder Woman dengan pengadeganan dia lari lalu terbang (adegan Wonder Woman belajar terbang sendiri on-the-moment itu beautiful sekali), kita juga dapat gejolak emosi ekstra ketika film membahas backstory Max Lord. Kita merasakan beratnya kembali itu bagi para penjahat yang selama ini sudah menderita.

Cerita begini menuntut range yang luas dari para pemerannya. Bagi Gal Gadot, memang ini kesempatan emas yang tak ia lewatkan. Wonder Woman udah kayak mendarah daging baginya. Gadot exceptionally excellent pada akting yang menuntut permainan fisik; dia udah buktiin ini di film pertama, dan menunjukkannya sekali lagi pada sekuel ini. Tantangan baru di sini baginya adalah menampilkan Wonder Woman yang menangis, yang merasa kalah. Dan akting emosional itu pun berhasil dimanuveri olehnya. Saat bercanda pun, karakternya come off sebagai natural, timingnya kayak mengalir aja. On top of that, karakter Gadot ini menguar kharisma. Detil-detil kecil bagaimana dia membawa diri, bagaimana orang-orang memperhatikannya, turut membangun karakternya. Like, beginilah seharusnya seorang tokoh superhero, gitu.

Lassonya bukan hanya untuk kebenaran, tapi juga untuk eksposisi

 

 

Sedari film pertama memang Jenkins mengarahkan ini dengan perhatian khusus terhadap detil-detil kecil.  Momen-momen kecil itulah yang justru membuat film ini terasa hidup. Seperti misalnya menggunakan pakaian sebagai hook untuk elemen drama. Lihat secara subtil film letakkin cheetah pattern di mana-mana, diam-diam membangun sosok si Cheetah. Ataupun misalnya pengadeganan seperti Diana dan Steve yang berjalan-jalan di kota, dengan kondisi ‘terbalik’ dari film yang pertama, karena sekarang Steve yang seperti fish-out-of-water; terkaget-kaget melihat seni, lifestyle, dan teknologi tahun 1984. Lalu sepertiga akhir, adegan ini circle-back lagi, kali ini mereka jalan dengan kota yang chaos. Jadi, Jenkins mengembangkan bukan hanya karakter tapi setting dalam detil-detil kecil tersebut. Adegan aksi atau berantemnya pun terasa berbeda satu sama lain, berkat detil-detil. Adegan berantem pertama di Gedung Putih, akan berbeda banget dengan adegan berantem kedua beberapa menit berikutnya, karena detil dan cerita karakter yang membedakan.

Ngomong-ngomong soal berantem, meskipun aku kurang puas karena terlalu singkat, tapi aku suka adegan big fight antara Wonder Woman dengan Cheetah. Environmentnya memang gelap untuk nyamarin CGI, tapi juga dimanfaatkan oleh film untuk menciptakan detil visual yang tampak wah. Aku suka lasso dan kabel listrik yang dikontraskan. Jubah emas Wonder Woman keren, kita melihat pov shot saat berantem dengan kostum ini, but mainly kostum ini dimanfaatkan untuk ‘teaser’ aja, karena there’s no way fungsi kostumnya gak diperlihatkan semua.

Approach Jenkins buat film ini kayaknya memang supaya tampak seperti cerita film kartun. Resolusi yang simpel, begitu pula awal masalahnya. ‘Cuma’ kristal ajaib entah darimana. Memang konyol, tapinya lagi, memang begitulah cerita superhero di kartun-kartun. Selalu ada ‘benda asing’ atau hal kecil lain yang jadi pemicu kehancuran dunia. Tapinya lagi, di film kedua ini, approach yang dipake itu sering juga menimbulkan adegan-adegan yang kontras dengan ‘manusiawi’ yang diincar oleh film. Alias ada beberapa adegan yang tampak dipaksakan masuk, karena cheesy ataupun karena hanya disinggung sekali itu saja. Misalnya seperti adegan di pesawat tak-kelihatan. Ya, ini disamain dengan komik karena aslinya Wonder Woman memang punya invisible jet sebagai kendaraan. Namun cara film ini memperkenalkan kendaraan itu kurang memuaskan. Tiba-tiba saja Diana punya kemampuan menghilangkan itu, dan tidak pernah dipakai lagi dalam adegan-adegan lain.

 

 

 

 

Kalo mau dibandingin, film ini memang tidak sesolid Wonder Woman yang pertama (2017) Ada beberapa bagian yang terasa dihadirkan gitu aja, yang kesimpelannya membuat film terasa lebih ringan dan kecil dari yang diharapkan. Jenkins masih mempertahankan keunggulan penceritaannya seperti memanfaatkan detil-detil kecil untuk karakter, adegan aksi yang fun dan memikat, serta tentu saja penampilan Gal Gadot yang kali ini dituntut untuk semakin ‘lincah’. Satu lagi yang menurutku nilai plusnya adalah, Jenkins sedari film awal tidak pernah terjebak untuk menjadikan superhero cewek ini sebagai agen feminis yang lebay. Tidak terasa film yang agenda-ish atau film dengan kepentingan tertentu. Melainkan fokus ke cerita yang memanusiakan tokoh-tokohnya. Cerita ini malah jadi relatable karena tentang cinta dan menerima kehilangan, yang tak pelak relevan untuk ditonton di tahun 2020 yang penuh musibah ini. Bisa membantu kita untuk tetap kuat, mau itu cewek ataupun cowok.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for WONDER WOMAN 1984.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Dreamstone mengabulkan permintaan, tapi dengan biaya berupa mengambil hal terpenting pada hidup kita. Jika kalian menggunakan Dreamstone, apakah kalian bisa menerka kira-kira apakah yang diambilnya dari hidup kalian? Kenapa?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review

21 Monday Dec 2020

Posted by arya in Wrestling

≈ 4 Comments

Tags

2020, action, analysis, championship, drama, funny, result, review, spoiler, sport-entertainment, thought, wwe, wwe network

 

 

Akhir tahun dan Natal identik dengan semangat keluarga. Sehubungan dengan itu, maka WWE memberikan kita kisah dua kepala keluarga. Yang satu, kepala keluarga yang bekerja keras demi keluarga. Yang benar-benar berjuang menyediakan keluarganya tangga, kursi, dan meja.. eh salah, sandang, pangan, dan papan. Sementara satunya lagi, adalah kepala keluarga yang menunjuk dirinya sendiri. Menggunakan muslihat dan gertakan supaya ditakuti, supaya anggota keluarga tunduk kepadanya, dan kemudian menggunakan mereka untuk kepentingan pribadinya. Dua kepala keluarga yang menganut paham berbeda soal honor dan perjuangan. Dua kepala keluarga itulah, Kevin Owens dan Roman Reigns, yang dibenturkan oleh WWE sebagai partai puncak. Seharusnya.

Sejak berubah haluan menjadi antagonis, Roman Reigns tak pelak menjadi atraksi utama dalam siaran WWE. Membuat brand Smackdown – tempat Roman Reigns bernaung – solid dalam capaian penonton. Mengalahkan brand Raw yang ratingnya anjlok banget-bangetan. Sampai network/pihak penyiar brand merah itu ngamuk-ngamuk. Tahun 2020 ini memang tahun yang berat bagi show semacam WWE; show yang mengandalkan reaksi live dari penonton. Kalian yang masih getol ngikutin Raw dan Smackdown setiap minggu, pasti ngerasa kalo memang yang paling santer dibicarain adalah soal Roman Reigns. Dan ini bukan hanya karena karakter itu akhirnya berubah jadi jahat (sesuatu yang tadinya dianggap impossible bagi banyak fans, mengingat Roman Reigns adalah golden boy WWE era kekinian), melainkan karena WWE memainkan perubahan karakter tersebut dalam cerita yang tepat.

Settingnya adalah keluarga besar. Sesuatu yang bisa mudah untuk direlasikan. Apalagi WWE kan memang ibaratnya udah kayak sinetron buat cowok; menggodok cerita tentang pria yang ingin jadi kepala keluarga yang hebat jelas beresonansi sekali dengan demographic penontonnya. ‘Drama’ Reigns menjadi semakin seru setelah dibentrokkan dengan Kevin Owens. Their storyline’s just come off natural. Klasik benturan sudut pandang. Dan WWE meng-capitalize story tersebut dengan membiarkan keduanya untuk ‘berperang’ di TLC. Yea, the match is war! Kerasnya pertarungan mereka sangat terasa, dan itu bukan saja karena mereka dibanting-banting ke kursi, tangga, dan meja. WWE gak menahan-nahan, dan benar-benar memanfaatkan peraturan no-dq untuk memperpanas suasana. Owens, the clearly better man in the story – hero yang orang ingin untuk berhasil, dibuat berjuang sangat keras karena baginya ini adalah handicap satu-melawan-dua. Roman Reigns dibantu oleh sepupunya, sesuai dengan karakternya sebagai kepala keluarga yang ngeabuse. Dan Owens, being kepala keluarga yang gak mau menyerah, benar-benar bangkit terus walau apapun yang menghalanginya. Bagusnya, WWE tidak membuat Owens layaknya manusia super. Tidak seperti Roman Reigns kalo dia dikeroyok pas masa-masa dia babyface dulu. Kedua pihak yang berseteru sama-sama desperate dan mati-matian, dalam spektrum berbeda. Dan itulah yang membuat match mereka sangat seru.

Carmella cosplay jadi Cheetah?

 

 

Smackdown is clearly on a roll dengan cerita dan karakter-karakter yang sangat fresh. Match brand biru satu lagi di PPV ini adalah Sasha Banks melawan Carmella. Yang ternyata jauh lebih solid daripada yang aku bayangkan. Build up match ini juga bagus, leading up ke pertandingan dengan elemen dramatis yang gak dimainkan dengan lebay. Carmella tampak meyakinkan sebagai heel dengan karakternya yang baru. Yang smart tapi vicious. Dan aku suka dia punya asisten yang seperti reference dari peran Carmella yang dulu sebagai sidekick R-Truth. Sasha Banks juga tampak begitu berapi-api di match ini. Move tribute buat Eddie Guerrero akan selalu bikin kita bersorak, dan Sasha berhasil pull it off dengan tanpa-cela. Sorotan mainstream yang didapat Sasha karena muncul di season 2 serial The Mandalorian bakal memperlama sabuk juara melingkar di pinggangnya, dan Sasha sudah lebih dari siap untuk menghandle semua ‘tanggungjawab’ dan bertindak sebagai juara.

Survivor Series memang sudah berlalu, tapi persaingan kualitas itu akan terus ada. Puncak tangga sementara ini ditempati oleh Smackdown yang punya cerita lebih seru dan karakter-karakter yang lebih fresh. Sedangkan Raw, meskipun menghidangkan lebih banyak ke atas meja, tapi terasa stale. Butuh api, atau mungkin ledakan, untuk membuat kita bisa lebih betah duduk di kursi menontonnya.

 

Jawaban dari Raw untuk tuntutan dari USA Network perihal rating mereka yang rendah adalah menghadirkan kembali Charlotte Flair. Sebagai rekan tag team Asuka. Sebagai protagonis. Ugh…

Berbeda sekali dengan approach yang diambil oleh Smackdown yang mengangkat elemen fresh. Raw justru tetap tak mengambil resiko. Charlotte instantly didorong ke title picture. Dan bahkan menang, tanpa ada kesusahan. Padahal lawan yang ia hadapi adalah tim yang selama ini meneror divisi wanita di Raw. Ini taktik lama; superstar populer didorong untuk menang terus. Padahal sebenarnya match ini masih bisa dibuat menarik. Bikin Charlotte kesusahan, bikin Nia Jax dan Shayna Baszler tetap mendominasi. Bikin Asuka dan Charlotte dalam bahaya. Tapi enggak. Tidak ada yang spesial di match yang didesain untuk ngehype si Charlotte. Enggak ada intensitas, enggak ada ketegangan, karena dalam hati kita udah was-was kalo resultnya bakal so obvious. Match ini standar aja, dia di-hot tag oleh Asuka dan menggempur habis-habisan. Ini gak baru, ini basi. Heck, bahkan move Charlotte pun gak ada yang baru. Moonsaultnya aja botch kok; keliatan banget gak kena.

Padahal tadinya aku sempat senang. Kejuaraan Tag Team Raw berakhir dengan cukup fresh. Aku lega akhirnya New Day yang tingkahnya udah usang itu kalah, dan pertandingan dimenangkan oleh Hurt Bussiness dengan bibit-bibit seteru baru; Shelton yang ditag-tanpa-consent oleh rekannya sendiri. Nah, hal-hal kayak gini yang bikin kita penasaran untuk menonton kelanjutannya. Untuk meminta apa lagi yang bakal terjadi pada karakter stable Hurt Bussiness itu sendiri.

TLC match versi Raw juga mestinya belajar banyak dari Smackdown. Karena while greatly ngepush Drew McIntryre sebagai pejuang tangguh, superstar yang lain tidak diberikan sesuatu. AJ Styles di-match tersebut merupakan AJ Styles hebat yang biasa. Gak banyak bedanya Styles yang berbodyguard, dengan yang enggak, bahkan di environment no-dq kayak TLC ini. Namun karena both Styles dan McIntyre adalah great wrestlers, maka paruh awal match ini masih seru untuk diikuti. Gak banyak superstar yang mampu menyuguhkan pertandingan TLC yang seru, tanpa bergantung kepada spot-spot gede. Styles dan McIntyre adalah contoh yang ‘gak banyak’ itu. Mereka berdua lebih mengandalkan aplikasi gerakan yang cerdas ketimbang terbang-terbangan atau hancur-hancuran. Bagian paling mengecewakan dari match ini jelas adalah saat Miz datang ngecash-in koper MITB, membuat pertandingan menjadi Triple Threat TLC. Miz di-book bego banget malah nge-cash di tengah match. Dan ujug-ujug gagal. Ini semua menunjukkan WWE udah nyerah dengan koper MITB mereka tahun ini. Mereka benar-benar gak tahu koper itu harus diapain sejak diberikan kepada Otis sebagai pemenangnya yang sah. Mungkin sebaiknya, konsep MITB juga harus diperbarui, atau paling tidak, diistirahatkan dulu beberapa tahun sebelum dimunculkan kembali supaya fresh.

Bakar dulu biar bisa bangkit dari abu

 

 

Ternyata Raw punya jawaban kedua untuk tuntutan pihak network. Dan jawaban kedua ini membawa harapan untuk menjadi lebih baik. Untuk memperbaiki rating, Raw sepertinya ingin diarahkan untuk sedikit lebih ‘ganas’ lagi. Match Firely Inferno antara Randy Orton dan The Fiend sepertinya adalah pemanasan untuk ke arah. Karena match ini ternyata ‘less of a match dan more of a trick yang ngeri’. Dan ini fresh. Konsep Inferno Match yang sudah ada sejak tahun 90an, diubah sehingga bukan hanya tampilannya lebih wah, tapi juga lebih memudahkan buat superstar yang terlibat. Tak lagi berupa ring yang dikelilingi oleh api, melainkan api tersebut ada mengelilingi barikade pembatas ring. Sehingga superstar bisa lebih leluasa bergerak dan beraksi. Konsep ini juga pas dengan karakter The Fiend, yang sama seperti Kane dan Undertaker (penggagas Inferno match original); yakni sama-sama monster supernatural.

Untuk aksinya sendiri, meskipun sebenarnya gak banyak gerakan wrestling, tapi WWE membuatnya tetap seru dengan teknik editing ala cinematic match. Dalam match Inferno, pemenang ditentukan oleh siapa yang lebih dulu membakar anggota tubuh lawannya. Elemen inilah yang dimainkan menjadi maksimal oleh WWE, karena keleluasaan mereka menggunakan teknik editing. Kita bisa melihat adegan-adegan intens seperti The Fiend membakar kursi yang sedang diduduki oleh Orton. Atau Orton membakar The Fiend yang tepar di atas ring. Terlihat brutal jika dieksekusi dengan editing yang baik, padahal match ini justru paling aman. Dan bagi kita, ini udah kayak hiburan nonton film. Dan kupikir, jika memang ini adalah jawaban yang tepat untuk USA Network, aku gak akan masalah menonton Raw dengan sisipan match cinematic seperti ini. Asalkan waktu dan kondisinya tepat.

 

 

So yeah, WWE TLC 2020 masih dapat digolongkan sebagai PPV yang harus-ditonton. Karena cukup banyak elemen fresh dan unik untuk disimak. Khususnya dua pertandingan dari Smackdown. Aku berikan MATCH OF THE NIGHT kepada Roman Reigns melawan Kevin Owens. Pertandingan-pertandingan dari Raw juga sebenarnya masih layak ditonton, meskipun banyak berisi aspek yang mengecewakan dan tidak maksimal dari segi bookingan. Jika kalian suka cinematic match (alias pertandingan yang udah diedit), FireFly Inferno jelas bisa jadi penghibur yang superseru. WWE mulai ‘bermain dengan api’, semoga ini jadi awal perubahan yang baik.

 

 

Full Results:

1. WWE CHAMPIONSHIP TLC Drew McIntyre bertahan dari AJ Styles, dan The Miz yang join di tengah pertandingan
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Sasha Banks mempertahankan sabuk dari Carmella
3. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Hurt Bussiness’ Cedric Alexander dan Shelton Benjamin jadi juara baru ngalain The New Day
4. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Asuka dan partner-misterinya, Charlotte Flair merebut sabuk dari Nia Jax dan Shayna Baszler
5. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP TLC juara bertahan Roman Reigns mengalahkan Kevin Owens
6. FIREFLY INFERNO Randy Orton membakar The Fiend Bray Wyatt!!

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

TENET Review

03 Thursday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 37 Comments

Tags

2020, action, adventure, crime, drama, friendship, life, love, review, sci-fi, spoiler, thought, timetravel

“The conundrum of free will and destiny has always kept me dangling”

 

 

 

Bayangkan jika Seo-yeon dalam thriller The Call (2020) dapetin cara untuk pergi ke masa lalu, dan berangkat ke sana untuk berantem dengan Young-sook yang udah bikin kacau hidupnya di masa kini. Bayangkan, jika masa depan punya kemampuan untuk menjangkau masa lalu. Karena seperti begitulah konflik dalam action terbaru dari Christopher Nolan ini. Dalam Tenet, pihak dari masa depan berhasil menemukan teknologi inversi waktu sehingga mereka bisa melakukan perjalanan ke masa lalu. Untuk nge-wipe out humanity yang udah bikin masa depan porak poranda. Let that sink in for a lil bit – supaya kita bisa berefleksi. Bakal jadi segitu parahnya kah masa depan karena ulah kita, sampai-sampai mereka dari masa depan segitu marahnya sehingga tak pedulikan resiko paradoks; hancurnya masa lalu berarti masa depan tak pernah ada?

Karena begitu kompleksnya, berusaha merangkum alur cerita dalam film ini akan berarti sama dengan berusaha menulis sebuah cerita pendek. Alur Tenet ini ribet banget, dan tidak bisa disederhanakan dengan rumus ‘karakter + yang ingin sesuatu + tetapi’ karena tokoh utamanya sendiri enggak benar-benar punya keinginan, at least hingga sekitar pertengahan cerita (maafkan kalo di ulasan ini sense timing/waktuku agak ngaco karena efek habis nonton film yang membenturkan timeline ini masih terasa hihihi). Garis besar yang perlu diketahui sebagai bangunan cerita film ini adalah bahwa protagonis kita, John David Washington – kita panggil pake nama aktornya aja karena tokoh ini gak diberikan nama – adalah seorang agent/mata-mata yang handal. Karena aksi dan sikapnya yang selfless, dia terpilih untuk program Tenet. Misi utamanya adalah menghentikan pihak yang disebut akan memulai Perang Dunia Ketiga. Betapa terkejutnya John saat kemudian mengetahui ‘Perang Dunia Ketiga’ itu ternyata berhubungan dengan perang lintas-waktu yang melibatkan peluru-peluru dan mobil yang berjalan terbalik. John melewati misi demi misi, yang membawanya ke sosok yang bakal jadi pemicu kiamatnya dunia.

And while at it, tentu saja seorang tokoh laga juga harus menyelamatkan seorang wanita cantik.

 

Narasi Tenet membenturkan antara kalimat “What’s happened, happened” dengan konsep ‘free will’ yang dimiliki oleh kita, manusia. Namun hanya karena apa yang telah terjadi, terjadi; bukan berarti kita tidak bisa berharap atau mengusahakan menjadi lebih baik. Karena dari masa lalu lah kita belajar. Nolan menantang kita dengan pertanyaan apakah free will itu eksis di dunia yang basically adalah aksi dan reaksi, atau bahkan sesuatu yang sudah didesain alias ditakdirkan. Masa lalu akan selalu jadi pembentuk seperti apa ke depannya. Dan kita harus melakukan sesuatu tersebut sekarang, di masa kita sendiri.

 

Konsep yang filosofis demikian menggugah pikiran, kemudian dibalut oleh aksi laga dengan suntikan elemen yang sudah menjadi ciri khas Nolan; elemen time-bending. Resultnya adalah sebuah spectacle yang seru, lagi membingungkan. Memandangnya seperti itu, maka Tenet memang tampak seperti mahakarya yang menakjubkan. Aspek teknik – didukung budget yang hanya bisa dipercayakan kepada Nolan – film ini luar biasa terdesain dan terencanakan dengan baik mengantarkan kepada capaian luar biasa yang berhasil diraih film ini. Film Tenet, seperti kata ‘Tenet’ itu sendiri benar-benar dirancang sebagai palindrom. Kejadian-kejadian yang dilalui oleh John akan circle-back to him di akhir. Menunjukkan kehidupannya berjalan ‘mundur’ seperti petualangannya, dia gak bisa lepas dari rentetan palindrom tersebut – film dimulai dari misi di Gedung Opera di mana ia diselamatkan oleh seseorang misterius, lalu ke misi di bandara, lalu di jalanan dan kembali lagi begitu dengan urutan yang terbalik – walaupun dia sebenarnya bisa memilih untuk keluar dari sana. Dalam pembalikan waktu yang sepertinya menetapkan jalan kita, ultimately tetap pilihan kitalah yang jadi penentu utama. But again, pilihan kita bukanlah pasti tidak bergantung dari result yang sudah dideterminasikan.

Sama seperti pada sinopsis di atas tadi; tidak ada cara dalam semesta-waktu kita yang bisa menyederhanakan aksi-aksi dan teori inverted time yang menjejali dua-jam lebih durasi film ini. Saking kompleksnya. Yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk mengerti yang kita lihat adalah dengan memahami dulu prinsip dasar konsep time-travel dalam film ini. Konsep yang dipakai sungguh berbeda dengan cara kerja perjalanan waktu yang biasa kita lihat dalam cerita-cerita time-travel. Dalam Tenet ini, seseorang yang mundur ke masa lalu tidak muncul secara instant begitu saja ke waktu yang ia tuju. Melainkan harus benar-benar ‘berjalan’ ke waktu tersebut. Jika John ingin kembali ke hari kemaren, ia harus mundur dulu dari titik-waktu ia sekarang ke titik waktu hari kemaren yang ia tuju. Proses ‘mundur’ itu diwujudkan secara visual, menjadi adegan-adegan unik. Nolan membangun aksi-aksi gede dari adegan-adegan unik alias terbalik tersebut. Dia punya tempo dan irama sendiri dalam memperlihatkannya. Dimulai dari adegan ‘ringan’ berupa peluru yang terbang masuk ke dalam pistol alih-alih terbang termuntahkan oleh pistol, ke adegan John yang bergerak normal berantem dengan seseorang yang bergerak mundur, hingga epik action scene seperti car chase dan perang militer yang melibatkan banyak pihak yang maju dan pihak yang mundur secara bersamaan. Sekilas memang tampak rada goofy juga, tapi adegan-adegan tersebut dilakukan tanpa CGI, murni koreografi dan praktikal efek, sehingga sungguh layak untuk diapresiasi.

Tenet bikin tenot tenot, kemudian teeeeeeetttt :flatline:

 

Sebaliknya, jika kita memandangnya sebagai perjalanan karakter, maka karya Nolan yang satu ini jelas akan bikin kita frustasi. Karena sama sekali tidak ada pengkarakteran yang bisa kita pegang secara emosional di sini. Paling tidak, untuk waktu yang lama. Seiring berjalannya cerita, kita akan menumbuhkan sedikit simpati kepada tokoh Kat (istri dari Sator, si penjahat utama, yang mempertaruhkan keberadaannya buat sang anak) dan tokoh Neil (partner John yang misterius tapi kharismatik, dia seperti tahu lebih banyak dari yang diperlihatkannya). Namun tidak ada emotional attachment yang bisa kita rasakan terhadap tokoh John, Sang Protagonis, itu sendiri. Motivasi karakternya ngawang-ngawang, karakterisasinya pun generik sekali, meskipun Nolan disebut sudah meng-cast tokoh ini dengan mengsubvert standar karakter utama mata-mata yang biasa. Padahal karakter inilah yang kita tonton; aku ngasih The Call tinggi karena fokus ke pengembangan karakter dan tidak beribet-ribet ria dalam aturan-dunianya.

Teorinya adalah Tenet berjalan dengan pace-nya sendiri. Bergerak maju tanpa basa-basi, memperlihatkan karakter si protagonis lewat aksi dan pilihannya ketimbang lewat dialog ataupun adegan yang langsung menyuapi backstory ataupun karakterisasi tokoh ini. Hal ini bisa saja benar, karena memang backstory tidak harus ada ditampilkan – bisa secara subtil – dan film pun tidak mesti bolak-balik ngerem demi menghantarkan dialog ‘basa-basi’ untuk development karakter. Semuanya memang bisa dikerahkan lewat aksi-aksi yang terpapar lewat visual. Akan tetapi, kedekatan emosional itu harus ada, supaya kita bisa lebih peduli secara personal kepada karakter. Sehingga apapun yang ia lalui dapat kita empatikan – kita benar-benar ingin dia sukses. Tak sekalipun aku merasa berada di belakang John dalam Tenet, ingin melihat dia berhasil ataupun merasa ikut ‘sakit’ ketika dia gagal atau salah perhitungan. Dan itu karena film memang sama sekali nihil dalam soal mengembangkan tokoh ini. Dialog-dialog yang ia tampilkan akan sebagian besar berupa eksposisi. John, posisinya sama dengan kita, bingung atas apa yang terjadi – apa yang harus ia lakukan. Maka sebagian besar percakapan akan berisi informasi-informasi mengenai Tenet, Temporal Pincer Movement, Algorithm, dan segala macam istilah sains-film ini. Yang hanya terdengar seperti omongkosong buat kita karena kita tidak diberikan kesempatan untuk melihat apa artinya itu semua bagi pribadi si John. Heck, tokoh ini bahkan tidak punya nama. Dia hanya disebut Protagonist, as to remind us bahwa segala kejadian ada sangkut pautnya dan berada di bawah aksi dan pilihan si tokoh. Persahabatannya dengan Neil juga tidak benar-benar menyentuh – walau sudah diperkuat dengan musik-musik volume maksimal – karena kita melihatnya dari sudut pandang si Protagonis yang datar.

Sekali lagi, Nolan menitikberatkan kepada pengalaman-menonton yang kita rasakan. Epic action scenes! Kita bandingkan saja dengan Dunkirk (2017) , dalam film itu Nolan juga melakukan hal yang sama. Meletakkan kita begitu saja mengikuti karakter yang tidak punya motivasi personal selain mereka gak gugur dalam perang. Dalam Dunkirk, konteks ini berjalan dengan efektif. Karena kita sudah paham bahwa ini cerita di medan perang. Kita tidak perlu tahu siapa musuhnya, siapa patriot-patriot itu, kita bisa bersimpati karena mereka sedang berperang. Mempertaruhkan nyawa. Belum lagi, secara konstan mereka dibom, diberondong peluru. Kita otomatis akan mendukung protagonisnya. Konteks yang serupa diterapkan kembali di Tenet, dan jelas tidak bisa efektif karena film ini punya kebutuhan untuk menjelaskan aturan-dunia. Aturan yang sangat ribet, sehingga kita tersedot ke sana. Saat menonton kita hanya ingin mengerti, tapi Nolan seperti bicara sendiri di sini – sibuk menjelaskan. Kita bosan dan berpaling ke karakter, dan guess what, karakternya tidak terbentuk. We don’t know him. Dan jadilah kita tidak punya pegangan apa-apa saat menonton film ini. Sekalipun kita bertahan, maka itu either karena kita fansnya Nolan, atau memang terpesona sama gimmick time inverted action-nya saja.

 

 

Orang-orang mengamini Nolan sebagai pembuat film bermutu yang setiap filmnya akan membuat kita merasa pintar, karena selalu sukses mengajak kita berpikir. Tapi kali ini, yang terasa adalah kita berusaha keras berpikir di depan seseorang yang begitu ambisius. Ini seperti mendengar racauan teori seseorang yang ingin nunjukin dia pintar, tapi lupa untuk memberikan alasan yang bisa bikin kita peduli sama teorinya. Jika kalian suka lihat spectacle unik, film ini jelas akan wah, pencapaian teknisnya toh tidak bisa dipandang sebelah mata (meski aksi dan ngomong terbalik buatku sudah tidak lagi seunik sewaktu aku melihat adegan Twin Peaksnya David Lynch). Jika kalian lebih menghargai film dari karakter, maka kalian akan menemukan film ini sebagai karya Nolan yang paling hampa. Bingung dan seru, tapi hambar. Tentu, film ini akan jadi lebih mudah dimengerti dan diikuti setelah menonton ulang. Lagi dan lagi. Namun toh, semua film memang begitu. Dalam second viewing, pasti akan ada hal yang lebih kita pahami. Gak harus sengaja beribet-ribet buat ditonton ulang. 12 Angry Men yang isinya orang debat aja ditonton lagi dan lagi akan tetap memberikan pengalaman serupa kita nonton film baru. So yea, buatku film ini tidak sespesial itu. Karakternya generik laga. Hanya gimmicknya saja yang lumayan unik dan ambisius.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TENET.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bahas teori dan kejadian sebenarnya niscaya akan panjang, gak cukup seribuan kata. Jadi, lebih baik kita diskusi di komen saja. Bagaimana menurut kalian, apakah kalian punya teori sendiri tentang Tenet? Apa pendapat kalian tentang teori yang menyatakan Neil secretly adalah anak Kat versi sudah dewasa dan inverted back thru time?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Survivor Series 2020 Review

23 Monday Nov 2020

Posted by arya in Wrestling

≈ 3 Comments

Tags

2020, action, analysis, drama, funny, Music, result, review, spoiler, sport-entertainment, thought, wwe, wwe network

 

 

Yang spesial dari Survivor Series tahun ini adalah bukan saja ini merupakan acara yang semua pertandingannya adalah champion melawan champion – mempertandingkan juara-juara dari brand Raw melawan juara-juara dari Smackdown – melainkan juga acara yang bertepatan dengan tiga puluh tahun karir Undertaker bergulat di WWE. Acara ini adalah perayaan bagi Undertaker yang resmi menutup kiprah legendarisnya.

Undertaker, tak pelak, adalah salah satu karakter dengan karir tersukses seantero dunia gulat hiburan. Bagaimana tidak. Karakter supernatural yang penuh gimmick seperti itu tentu saja susah untuk dipertahankan, apalagi dikembangkan menjadi sesuatu yang dipedulikan banyak orang. Namun Mark Calaway mampu. Dia mendedikasikan diri kepada karakter yang dipercayakan kepadanya, no matter how over the top it might be. Taker mendapatkan respek besar karena kiprahnya menghidupkan karakter yang ‘mustahil’ tersebut. Benar kiranya, Undertaker adalah survivor dalam artian yang sebenarnya. 

 

Sayangnya, acara Survivor Series 2020 ini seperti tidak mampu merangkul dua kekhususan tersebut. Baik itu perayaan tutup-karir Undertaker maupun pertandingan-pertandingan tim dan juara antarbrand, tidak ada yang berhasil diperlihatkan benar-benar spesial, secara maksimal. WWE melakukan banyak pilihan-pilihan yang aneh. Dan juga penulisan atau booking yang, seperti standar acara mingguan mereka yang biasa, terasa seperti digarap mendadak. Acara selebrasi Undertaker itu dilakukan di akhir, setelah semua pertandingan selesai, sehingga terasa terpisah dari acara. Serupa dengan ekstra pada sebuah dvd/bluray film yang baru saja kita tonton. Penyelenggaraannya pun awkward sekali. Beberapa legend yang bersangkut paut dengan Undertaker datang berkumpul ke atas ring, mulai dari The Godfather, Savio Vega, hingga ke Shawn Michaels, Triple H, dan tentu saja Kane. I wonder if they would wanna bring all of the Streak’s victims tho, karena pastilah menarik kalo ada Randy Orton, Brock Lesnar, dan Batista. Dan CM Punk, anyone? lol..

Balik lagi ke acara, para legend yang berkumpul di atas ring itu tau-tau hilang semua setelah pemutaran video; digantikan posisinya oleh Mr. McMahon yang memanggil Undertaker. Taker datang dan ngasih speech, lalu berlutut, berpose untuk terakhir kalinya bareng hologram Paul Bearer. Kemudian acara berakhir, tidak satupun dari para legend tadi kelihatan lagi, tidak ada interaksi mereka dengan Undertaker. Which is weird, dan tampak pointless, buat apa mereka semua muncul kalo begitu. Buatku, tampak seperti ada perubahan rencana/acara yang dilakukan oleh WWE.

Semoga WWE gak lupa mereka pernah menggunakan lagu Katy Perry untuk entrance Undertaker dalam sebuah klip rekap Wrestlemania resmi.

 

 

Daya tarik yang dijual pada event perang-antar-brand seperti Survivor Series kali ini tentu saja adalah ketika juara masing-masing brand diadu. Superstar lain dari brand tersebut membentuk tim, lalu turut bertanding melawan brand saingan. WWE sudah sering melakukan ini. Dan pada setiap kali gimmick acara seperti ini dilakukan, WWE selalu kesusahan untuk membangun sesuatu yang benar-benar spesial. Seperti pada pertandingan-pertandingan kali ini. Yang paling terasa adalah kurangnya stake alias pertaruhan. ‘Best of the Best’ yang jadi tagline itupun hanya seperti ucapan basi. Mereka harusnya menciptakan sesuatu yang kongkrit untuk bisa dimenangkan oleh brand yang berhasil unggul atas brand lain. Brand supremacy sebagai hadiah tertinggi, katanya, tidak lagi menarik karena tahun demi tahun kita melihat kemenangan brand di Survivor Series tidak pernah berarti banyak. WWE harusnya membangun cerita yang lebih bermakna bagi para superstar yang bakal bertanding. Paling tidak bangun alasan kenapa mereka harus mau bekerja sama memenangkan brand mereka, kenapa mereka harus menang bareng, ciptakan kerugian atau kehilangan ketika mereka gagal. Seperti pada cerita film. Harus ada motivasi, harus ada ganjaran kalo gagal mencapai keinginan, harus ada dorongan yang membuat aksi mereka urgen. Semua itu tidak dapat kita temukan pada match-match di sini.

Padahal dengan adanya momen 30 Tahun Karir Undertaker, WWE bisa saja mengaitkan kemenangan brand tersebut. Like, mereka bisa bikin brand yang menang bakal dapat hak untuk mengirim delegasi sebagai ngasih tribute ke Undertaker. Atau sekalian saja, brand yang menang bakal dapat kehormatan mengirimkan salah satu superstarnya untuk melawan Undertaker di pertandingan terakhir sang Legenda. Seharusnya ada banyak hal/stipulasi kreatif yang bisa WWE lakukan untuk membuat pertandingan di Survivor Series punya lapisan, therefore menjadi jauh lebih menarik lagi.

Tapi nyatanya Survivor Series tahun ini justru semakin membosankan. Karena pertandingan antarjawara yang dihadirkan oleh WWE tidak punya dinamika face-v-heel. Baik melawan jahat. WWE seperti lupa bahwa juar-juara pada dua brand yang mereka punya ternyata pula formula yang sama. Juara Tag Team sama-sama face. Juara papan tengah sama-sama antagonis. Juara cewek juga sama-sama tokoh-baik. Tim di Tradisional Tag Teamnya juga gak ada yang bulet karakternya. Para superstar yang bertanding bisa jungkir balik berkali-kali, bisa ngeSuperkick ratusan kali, bisa ditimpuk ke meja ampe patah-patah pun, tapi tanpa dinamika karakter protagonis-antagonis, tanpa ada drama dan psikologi pada alur, semua yang mereka lakukan akan tetap terasa hambar. Karena bagi kita yang nonton, pertandingan mereka jadi bukan soal siapa yang menang dan kalah. Kita tidak bisa peduli kepada hal tersebut. Ketika yang kita tonton hanya aksi demi aksi, maka acara itu akan terasa garing, tidak ada naik turun. Tidak ada hasil dan konsekuensi. Apa bedanya bagi kita kalo yang menang New Day dan bukan Street Profits? Apa ngaruhnya ke greget kita kalo Smackdown berhasil menyusun Raw, kalo nantinya poin itu akan tetap disusun susul menyusul – karena WWE tidak mau ada brandnya yang kelihatan jadi benar-benar lemah; bisa-bisa mereka diprotes sama network penyiar yang namanya udah jadi bagian dari seragam masing-masing brand.

Bukan pekerjaan gampang, memang, menulis cerita pertandingan untuk partai yang sama-sama baik atau yang sama-sama jahat. Masalahnya, WWE di acara ini sama sekali tidak tampak berusaha maksimal. New Day melawan Street Profits, misalnya. Kedua tim sama-sama face. Persona karakter mereka buatku annoying semua, tapi mereka berempat punya in-ring work yang fantastis. Untuk ngasih bumbu pertandingan ini, WWE bisa saja memasukkan Big E ke dalam equation. Bikin Street Profits datang bersama Big E, untuk kemudian bisa dibikin Big E entah itu membantu mereka sebagai sesama Smackdown, atau malah balik membantu New Day; yang merupakan mantan rekan satu tim. Hal seperti demikian tidak akan merusak karakter, melainkan membantu memberikan lapisan kepada match dan kepada karakter superstar itu sendiri. Yang Intercontinental lawan U.S champion, lebih parah lagi. Juara yang satu suka main curang, yang satunya lagi suka main keroyokan. WWE ninggalin kita untuk bengong gak tahu mau jagoin siapa di antara dua karakter heel tersebut.

Mungkin kita harus jagoin ‘si anak bawang’ aja?

 

 

Melihat itu, aku jadi berpikir jangan-jangan WWE memang gak mikirin soal pemasangan juara ini sedari awal. Mereka gak ada rencana, dan hanya tersadar juara mereka ‘sama’ semua saat sudah masuk acara. The only working pair is Sasha Banks dan Asuka, itupun karena Sasha so good mainin karakter abu-abu (antara heel dan face) dan terutama karena Asuka dan Sasha sudah punya ‘sejarah’. Jadi saat menonton mereka, kita seperti melanjutkan babak baru. Pilihan finish yang dilakukan pun menurutku relatif aman, dan bisa jadi memang beginilah seharusnya. Ini satu lagi masalah yang bakal muncul ketika membuat match juara-lawan-juara; Para juara tersebut haruslah ‘dilindungi’. Naturally, semua pemegang sabuk harus di-book supaya terlihat kuat. Karena kalo tidak mereka jadi gak believeable, atau yang parah malah bisa-bisa sabuknya jadi turun prestise. Melindungi itulah yang sulit. Gak semua superstar berada dalam posisi serupa karakter Sami Zayn, yang masih bisa come out okay setelah dibuat terlihat lemah sebagai juara.

Satu lagi yang mestinya diperhatikan oleh WWE jika mereka memang ingin mempertahankan gimmick perang-brand adalah brand itu sendiri; Raw dan Smackdown, haruslah punya ‘karakter’ juga. Coba kita bedakan keadaan sekarang dengan keadaan saat baru-baru ada brand-split sekitar 2002-2003an. Raw dan Smackdown terasa sangat distinctive, udah kayak dua acara yang berbeda jauh. Punya manager yang beda visi, punya set panggung yang berbeda, punya daftar superstar dengan keahlian yang berbeda – Raw more of a hardcore, sedangkan Smackdown lebih ke cruiserweight. Karakterisasi khusus brand tersebut memudahkan kita untuk memilih favorit; kita lebih suka dan peduli sama brand yang mana, dan ketika mereka beradu kita akan mati-matian menjagokan salah satunya. Brand yang sekarang, selain warna dan musik pembuka, tidak ada lagi perbedaan yang mencolok. Semua sama, dari set hingga ke ‘kelakuan’ superstarnya.

Maka ketika mereka beradu dalam Traditional Tag Team, kita tidak benar-benar melihat mereka sebagai kubu yang berbeda. Partai Traditional Tag Team Cowok adalah match yang paling parah. Kelihatan hanya seperti random superstar yang dikumpulkan. Yang punya cerita cuma Seth Rollins dan Jey Uso. Keduanya berada di Smackdown, tapi kita tetap susah untuk mendukung Smackdown karena karakter mereka berdua berada pada titik yang membingungkan; kita tidak yakin mereka baik atau jahat at that point. Sehingga easily, match yang paling menghibur adalah Traditional Tag Team Cewek. Kedua kubu terasa sangat berbeda, dan mereka punya cerita masing-masing. Ada Bayley yang ngasih karakter ke Smackdown, dan – ya I hate it too – ada Lana untuk tim raw. Tonton dan perhatikan booking membuat Bayley yang heel tersingkir duluan; ini effectively membuat Smackdown tim face di sini, as opposed to Shayna dan Nia Jax, dan Lana. Dan meskipun kita bisa melihat ending yang bau-baunya bakal either menarik atau jengkelin, match ini tetap terasa lebih menarik di antara partai-partai sebelumnya.

“It doesn’t have to be pretty. It just have to be hurt” Exactly

 

 

On the paper, sure it is fun. Acara yang menampilkan adu-brand. Yang terbaik dari masing-masing brand saling berhadapan satu sama lain. Hanya saja pada praktiknya, para superstar just have less things to work with karena WWE enggak menyediakan ruang untuk dinamika karakter pada match-matchnya. Perayaan Undertaker pun seperti terpisah dari acara, padahal mestinya bisa dimasukin dan dijalin mulus ke dalam rangkaian acara. Diberikan weight lebih ke acara.

Bukti mutlak WWE gak punya cerita jangka panjang dan just scrap everything on the go adalah mengganti Orton sebagai juara WWE, dengan Drew McIntyre. WWE sebenarnya tentu paham menulis face-lawan-face atau heel-lawan-heel itu susah dan matchnya bakal ngebosenin, maka khusus untuk main event, mereka terpaksa untuk mengganti pemain. Randy Orton yang heel, meski baru saja jadi juara, tidak akan menarik jika ditandingkan dengan Roman Reigns yang lagi hot-hotnya setelah bertukar peran menjadi antagonis. Mengganti karakter Orton jadi face akan makan lebih banyak waktu. Maka WWE mengembalikan sabuk kepada Drew McIntyre yang sudah jadi salah satu babyface terbesar di Raw. Dengan efektif menunjukkan mereka jadiin Orton juara itu tanpa pemikiran sedari awal, tanpa kesadaran bahwa sebulan setelah itu mereka butuh partai seru juara melawan juara. Dan aku senang WWE comes to their senses pada match ini. Karena McIntyre lawan Reigns – udah kayak battle antara dua kepala suku – easily baik secara teori maupun eksekusi adalah MATCH OF THE NIGHT. Terbaik. Terseru. Endingnya make sense. Semua itu karena ada dinamika, ada drama, psikologi karakter mereka berjalan. Dengan baik pula.

 

 

 

 

Full Results:

1. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw (AJ Styles, Matt Riddle, Braun Strowman, Keith Lee, dan Sheamus) menyapu bersih Tim Smackdown (King Corbin, Jey Uso, Seth Rollins, Otis, dan Kevin Owens)
2. CHAMPIONS VS. CHAMPIONS Street Profits (Smackdown Tag Team Champions) ngalahin New Day (Raw Tag Team Champions)
3. CHAMPION VS. CHAMPION Bobby Lashley (United States Champion) bikin tap out Sami Zayn (Intercontinental Champion)
4. CHAMPION VS. CHAMPION Sasha Banks (Smackdown Women’s Champion) merebut kemenangan dari Asuka (Raw Women’s Champion)
5. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw menang dengan Lana sebagai sole survivor (Shayna Baszler, Nia Jax, Peyton Royce, Lacey Evans) mengalahkan Tim Smackdown (Bianca Belair, Liv Morgan, Ruby Riott, Natalya, Bayley)
6. CHAMPION VS. CHAMPION Roman Reigns (Universal Champion) unggul atas Drew McIntyre (WWE Champion)

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

RUN Review

21 Saturday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2020, action, disability, drama, family, horror, life, mother, review, spoiler, thought, thriller, violence

“The rescuer needs the victim as much as the victim needs the rescuer.”

 

 

 

 

Seumur hidupnya, gadis muda bernama Chloe itu duduk di atas kursi roda. Dunianya adalah rumahnya. Dengan Diane, sang ibu, sebagai pusat tata suryanya. Kata ibu Chloe harus sering minum obat yang banyak di lemari. Karena jantung Chloe lemah. Dia mengidap Arrythmia — sekaligus Hemochromatosis (kelainan zat besi di dalam darah sehingga membuat tubuh gampang lemas), Diabetes (Chloe gak boleh banyak-banyak makan coklat), Asma (Chloe gak boleh jauh dari inhaler), dan Paralisis yang membuatnya benar-benar bergantung pada kursi roda. Chloe tidak bisa berjalan, apalagi berlari. Yang berarti Chloe tidak bisa ke mana-mana. Bahkan tidak bisa kabur ketika di usianya yang menginjak tujuh-belas ini, Chloe mulai bisa melihat ada yang tidak beres dengan ibu yang selalu bilang senantiasa melindungi dan tak akan membiarkannya terluka tersebut.

Run menjadi bukti bahwa sutradara dan penulis Aneesh Chaganty memang piawai menyajikan thriller yang bikin kita geregetan sendiri di tempat duduk. Kiprahnya di film Searching (2018) bukan one-hit semata. Dalam Run kali ini, Chaganty juga menonjolkan hubungan antara anak dengan orangtua, bedanya dikemas dalam dunia yang lebih ‘sempit’ dan memfokuskan kepada hubungan ibu dengan anak perempuan. Dinamika hubungan yang saling berkegantungan antara ibu dengan anak perempuan ditampilkan dalam sebuah gambaran yang menyesakkan. Run adalah horor tentang kodependensi yang tak-sehat, yang oleh Chaganty dibikin lebih menegangkan lagi. Seperti yang ia lakukan pada Searching, Chaganty juga ke dalam cerita ini memasukkan lapisan misteri yang berkutat kita pecahkan. Setiap menit ceritanya didesain untuk membuat kita mempertanyakan siapa sebenarnya siapa. Obat-obatan itu sebenarnya untuk siapa?

Apa mungkin itu obatnya si Beth Harmon yang nyasar?

 

Menyandarkan cerita ini kepada dua tokoh sentral, Chaganty hit the jackpot dengan mempercayakan kedua tokoh itu kepada Sarah Paulson dan Kiera Allen. Jika biasanya film cenderung untuk memilih aktor normal untuk memerankan tokoh penyandang disabilitas, Run berani memasang Kiera Allen – yang menggunakan kursi roda dalam keseharian – dan menaruhnya sebagai lead untuk sebuah thriller yang benar-benar menuntut fisik. Hasilnya toh memang lebih dari sekadar gimmick, melainkan film ini berhasil memberikan respek dan memperlihatkan representasi terbaik seorang karakter disabilitas di dalam dunia yang mengerikan. Karena perjuangan mereka tidak bisa dianggap remeh, dan dalam film ini terasa demikian otentik walaupun arahan yang diincar lebih condong ke arah genre, atau thriller hiburan.

Kita menonton film karena ingin menyimak perjuangan karakter yang tak-sempurna, berkembang menjadi lebih kuat sebagai seorang pribadi. Dalam diri Chloe semua itu terwakili. Sebab Chloe ditulis sebagai tokoh utama yang kuat,pintar, dan mandiri – jauh dari ekspektasi dan keinginan ibunya. Kita melihat Chloe mampu menciptakan gadget-gadget sederhana seperti capitan yang memungkinkan dirinya mengambil benda yang ada di rak lemari paling atas. Kita melihat Chloe tidak mengeluh menjalani keseharian di rumah, di atas kursi roda, karena dia sangat resourceful. Namun juga kita bisa merasakan semangat optimisnya untuk keterima di universitas dan meninggalkan rumah. Inilah yang jadi konflik cerita, karena keinginan Chloe ternyata bentrok dengan keinginan ibunya. Aku menyebutnya ‘ternyata’ karena film tidak benar-benar memperlihatkan konflik tersebut secara langsung, melainkan bagian dari elemen misteri yang harus kita ungkap. Ketegangan cerita naik seiring kita menemukan berbagai keganjilan, bersamaan dengan Chloe menyadari keganjilan tersebut. Intensitas aksi yang diberikan kepada tokoh ini pun semakin meningkat. Skala aksi yang harus ia lakukan semakin membesar. Mulai dari menyelinap diam-diam ke apotek untuk nanyain soal obat pada awal babak dua, hingga ke menjatuhkan diri dari kursi roda dan merayap keluar lewat jendela tingkat dua saat dikurung di kamar di penghujung babak. Constant peril dan intensitas yang gak pernah kendor ini sukses membuat kita peduli kepada Chloe.

Dalam menciptakan ‘rintangan’, film ini cukup kreatif. Arahan thriller hiburan yang dipilih, membuat cerita bisa bebas menghadirkan kondisi. Namun tetap terkontrol untuk kejadian-kejadian tidak menjadi terlalu over-the-top. Yang buatku menarik adalah cara film meniadakan kemudahan dunia modern seperti telepon atau internet bagi masalah tokoh utamanya. Komunikasi canggih tidak lantas dijadikan jawaban pada film ini – tidak ada adegan karakter menemukan jawaban yang mudah dari internet – melainkan tetap harus melewati perjuangan terlebih dahulu. Inilah yang membuat kita semakin terpatri menonton filmnya; si tokoh utama benar-benar tidak dikasih kendor. Untuk kebutuhan itu pulalah, maka penyempurna dinamika protagonis kita ini – alias antagonisnya – digambarkan penuh muslihat. Sarah Paulson, sekali lagi, adalah pilihan yang tepat untuk tokoh ibu Chloe. Sekali lihat, dia mungkin tampak seperti ibu-ibu pada umumnya, tapi karakter ini punya sisi gelap. Punya kegilaan mental tersendiri. Dan Paulson yang banyak makan garam meranin karakter-karakter sinting dan kelam (pentolan American Horror Story dan baru-baru ini seliweran sebagai Suster Ratched) tahu kadar yang pas untuk menampilkan apa yang diniatkan oleh sutradara.

At heart, Run menampilkan sebuah dinamika kodependensi yang secara mengejutkan relatable pada banyak keluarga. Ibu yang ngegaslight putrinya, dengan fatwa mutlak “Ibu tau yang terbaik” cukup sering kasusnya kita jumpai. Film ini menghighlight penyebab dari semua itu bisa jadi karena kedua pihak sama-sama terluka.  Ibu dan anak saling membutuhkan, itu normal, namun menjadi berbahaya – jadi kodependensi yang toxic jika sudah kelewat batas. Film ini hadir memperlihatkan salah satu bentuk batas itu.

 

Ketika ‘kasih ibu sepanjang masa’ berubah menjadi kalimat horor

 

 

Jika film konsisten menyorot dua karakter sentral ini dalam cahaya yang sudah diniatkan, maka film ini niscaya menjadi thriller popcorn yang lain daripada yang lain. Sayangnya, permulaan film ini tidak demikian. Chaganty seperti masih belum yakin dengan arahannya di awal, baru mantap ketika di pertengahan. Aku bilang begitu karena di awal, cerita seperti disajikan dalam dua perspektif. Pembukaan film menyorot Diane, seolah ingin memberikan bobot dan porsi kemanusiaan yang seimbang, atau sama besar, dengan Chloe yang baru mencuat jadi protagonis setelah ‘prolog’. Kita seolah diniatkan untuk merasakan simpati kepada Diane karena dia adalah ibu yang harus seorang diri membesarkan anak yang terlahir cacat. Diane juga diperlihatkan bertekad berjuang hidup normal bersama anaknya. Menurutku, jika film konsisten di arah ini; dalam artian perspektif Diane dipertahankan, maka film bisa jadi lebih powerful daripada kondisinya sekarang ataupun daripada jika ia konsisten sebagai thriller popcorn. Namun ternyata sudut pandang Diane di awal itu hanya ‘kedok’, build up buat twist yang disiapkan di akhir, dan ini membuat film sedikit tidak konsisten dengan sudut pandang dan arahan di awal-awal cerita tersebut.

 

 

 

 

Jadi, film ini punya dua pilihan posisi yang kuat – either menjadikan Diane antagonis sedari awal, atau membuat sudut pandang manusiawi Diane seimbang dengan Chloe – tapi film memilih untuk menjadi di antara kedua posisi tersebut. Masalah film ini hanya memang di permulaannya saja. Dan ini cukup ‘minor’ sehingga tidak benar-benar mengganggu thrill ataupun ketegangan seru kita dalam menontonnya. Karena film ini menggali dari tempat yang dekat. Penampilan aktingnya juga nomer wahid. Dan penulisan karakternya benar-benar paham bagaimana untuk membuat karakternya kuat dan bisa kita pedulikan dalam bahaya yang konstan mengancam. Elemen misterinya juga berhasil menahan kita tetap menyaksikan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for RUN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menjadi seorang ibu itu sepertinya susah ya. Diane bisa saja tetap menjadi ibu yang baik walau dia mencuri anak. Tapi ini adalah soal dia sebenarnya melindungi luka emosional dirinya sendiri. Menurut kalian, bagaimana sih gambaran ibu dan anak yang diperlihatkan oleh Chloe dan Diane? Bagaimana pendapat kalian soal ending ‘dark’ yang diperlihatkan film ini – apakah Chloe membalas air susu dengan air tuba, atau apakah dia hanya membalas mata dengan mata?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE NEW MUTANTS Review

08 Sunday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2020, action, comic, drama, horror, psikological, review, sci-fi, spoiler, superhero, teen, thought

“The difference between a hero and a villain is that they just make different choices.”

 

 

 

Dari The New Mutants kita belajar bahwa sesuatu yang diundur-undur itu mungkin sebaiknya memang tidak usah dikeluarkan, jika tidak dilakukan pembenahan. Karena diundur itu sendiri sejak awalnya adalah tanda kebelumsiapan. Film The New Mutants ini tadinya ingin ditayangkan pada April tahun 2018. Karena ada beberapa reshot yang entah kenapa tidak pernah kejadian, film ini terus mundur. Lima kali, sebelum akhirnya tayang begitu saja di tengah pandemi di tahun 2020 ini. To be honest, film ini bisa mundur lebih lama lagi, suka-suka studionya, and it wouldn’t make any difference jika memang perubahan/perbaikan tersebut tidak dilakukan. Keadaan yang ironisnya sesuai dengan gagasan yang diangkat di balik cerita film ini sendiri.

Yakni cerita soal setiap manusia punya kekuatan dan ketakutan, dan tergantung masing-masing untuk terus meringkuk atau bertindak – dan tindakan yang dipilih tersebut ultimately akan menentukan apakah kita superhero atau villain. Orang baik atau orang jahat.

 

Sutradara Josh Boone menempatkan lima anak muda dalam sebuah fasilitas tertutup sebagai panggung cerita. Tapi tentu saja, lima anak muda itu bukan geng Breakfast Club yang sedang kena detensi sekolah. Melainkan, kelimanya adalah remaja dengan kekuatan super yang dianggap membahayakan, sehingga mereka dikurung di gedung penelitian itu. Dikurung dalam rangka untuk mengenali kekuatan mereka dan mempelajari penggunaannya. Namun bagi mereka itu bukan hal mudah. Karena masing-masing punya trauma di masa lalu. Misalnya tokoh utama cerita ini, Danni Moonstar; gadis keturunan Indian ini dibawa ke facility itu setelah kota tempat tinggalnya hancur oleh ‘badai’ misterius – effectively menewaskan sang ayah. Danni, tidak seperti empat remaja lain, belum mengetahui apa pastinya ke-mutant-annya. Sehingga ekstra susah bagi dirinya untuk escape dari trauma masa lalu, sekaligus untuk ikut teman-temannya escape dari tempat itu. Karena kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi di sana tanpa diketahui penyebabnya.

Among Us versi mutant

 

Yang fresh dari film ini memang genrenya. Boone membuatnya sebagai horor superhero. Mutant-mutant remaja dalam cerita ini akan berhadapan dengan monster-monster mengerikan dari masa lalu mereka. Masa lalu yang enggak jauh-jauh amat, karena mereka masih muda. Masih belum bisa mengendalikan kekuatan mereka; dari situlah mimpi buruk mereka berasal. Ada yang enggak sengaja membakar pacarnya sendiri. Ada yang mengakibatkan kecelakaan sehingga menimbun ayahnya hidup-hidup. Yang paling menarik buatku adalah karakter Illyana alias Magik yang diperankan oleh Anya Taylor-Joy. Cewek rusia ini, bersama boneka naga, sedari belia sudah membunuh 18 orang pria dewasa. Terdengar bad-ass banget, tapi sesungguhnya juga memilukan mengingat yang ia alami saat masih kecil tersebut. Boone memvisualkan trauma-trauma ini ke dalam bentuk-bentuk menyeramkan, seperti hantu dan monster yang bukan saja mengerikan tapi juga bisa benar-benar melukai mereka. Jika elemen ini diekplorasi lebih giat, dengan pengembangkan karakter yang dilakukan maksimal, tentulah film ini bisa benar-benar nendang.

Karena situasi seperti mereka ini jarang kita dapatkan dalam cerita superhero. Sudah terlalu sering cerita superhero membahas belajar menggunakan kekuatan dalam nada yang ringan dan lucu, dan kemudian si superheronya langsung menghadapi ujian berupa menyelamatkan orang tersayang. Dengan pembelajaran mereka disebut pahlawan bukan dari kekuatan supernya. Cerita The New Mutants sebenarnya mengincar jalur yang berbeda. Sebelum menyelamatkan orang-orang, Danni dan teman-temannya diberikan satu film khusus untuk belajar menyelamatkan diri mereka sendiri. Dan actually diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidup mereka, sebagai superhero atau villain. The only other times aku menemukan bahasan seperti ini adalah pada serial anime My Hero Academia dan One Punch Man yang memang membahas lebih dalam filosofi pengkotak-kotakan ‘superhero’ dan ‘villain’. Aku berharap dapat pembahasan lanjutan pada film ini.

Namun film ini malah membuatku frustasi karena mereka bersikap ngawang-ngawang terhadap hal tersebut. Permasalahan mengemban kekuatan di usia remaja dapat membawa banyak derita dan pengalaman mengerikan, dan setiap orang punya dua pilihan berbeda untuk menyingkapinya, hanya dicuatkan di akhir  Jika hal tersebut ditunda untuk menonjolkan hal lain semisal interaksi karakter-karakter yang unik ataupun bagaimana mereka menyelidiki gedung facility itu (aneh sekali hanya ada satu dokter yang menjaga mereka), atau apapun lah untuk memanfaatkan talenta-talenta muda itu secara maksimal, maka kita sejatinya tidak akan menemukan titik jemu saat menonton film ini. Sayangnya, justru hal itu juga tidak mampu dilakukan oleh film. Para mutant remaja tersebut hanya berinteraksi klise yang ala kadarnya; sok tough di depan dokter, lalu sok saling menjahili saat dokter gak ada. Karakter Illyana yang supposedly digambarkan layaknya mean girl bagi Danni, tidak pernah berkembang lebih ‘hidup’ daripada sekadar melontarkan hinaan rasis. Tokoh cowoknya either just want to hook up or playing hero. Semuanya terasa datar dan terasa kurang diperhatikan. Karena memang perhatian nomor satu film ini adalah memasukkan elemen ‘kekinian’ — memperlihatkan hubungan romansa antara Danni dengan mutant cewek bernama Rahne (Maisie Williams meranin karakter paling annoying dalam film ini) 

Nonton mutant-mutant ini bikin kita menguap sampai pipi kesemutan

 

Dahulu sewaktu belajar menulis, aku diberitahu bahwa sebenarnya perkara menulis adalah perkara menanyakan pertanyaan yang tepat. Menilik dari sana, aku pikir sepertinya itulah penyebab kenapa The New Mutants tidak bekerja maksimal memenuhi potensi yang dimiliki oleh ceritanya. Mau berapa lama pun diundur, mau berapa kali retake yang mereka lakukan (kalo jadi dilakukan) sepertinya tidak akan ngaruh banyak. Karena film ini melakukan kesalahan pada hal yang paling fundamental dalam penulisan bangunan ceritanya. Kesalahan itu berupa simply salah mengajukan pertanyaan.

Keseluruhan cerita film ini dibangun dari pertanyaan ‘apakah kekuatan mutant yang dimiliki oleh Danni’. Jawaban dari itu akan diungkap di babak akhir. Menjelma kepada kita sebagai adegan final fight dengan penyelesaian paling receh dalam universe superhero; tokoh utama gak ikut berantem (gak bisa karena praktisnya kekuatan si protagonislah yang jadi musuh) dan kemudian dia bangkit dan semuanya selesai begitu saja. Dan jujur saja, siapa sih dari kita yang saat nonton ini belum bisa mengerti kalo kekuatan Danni itu sebenarnya apa, saat sudah sampai di babak tiga? Aku yakin gak ada. Aku yakin semua itu udah begitu jelas arahnya kemana. ‘Kekuatan macam apa yang dimiliki oleh mutant A’ akan otomatis muncul di kepala kita saat menonton film superhero.  Film tidak perlu menyimpan jawaban pertanyaannya tersebut. Film tidak perlu mengstretchnya sepanjang tiga babak. Pertanyaan itu tidak bisa dijadikan sebagai pertanyaan utama untuk majunya cerita. It just doesn’t work. Pertanyaan yang seharusnya diangkat sebagai cerita oleh film ini adalah soal bagaimana si tokoh remaja ini hidup dengan berurusan dengan kekuatannya tersebut.

Makanya Illyana begitu menarik buat kita. Mencuri perhatian, kita bilang. Itu bukan sekadar karena Illyana literally karakter paling keren, atau karena Anya Taylor-Joy cantiknya memang unik. Kita lebih tertarik dan bersimpati kepadanya karakternya lebih cepat kita mengerti – kita tahu kekuatannya apa, traumanya dari mana, apa luka personalnya. Sehingga pembahasan tentang karakter itu pun lebih kompleks lagi, langsung ke emosional tentang bagaimana dia mengambil sikap dan bergerak seperti di garis batas antara superhero dengan villain. Kita bersamanya saat dia melawan ketakutannya dan ketika dia memilih untuk menjadi superhero. Coba kalo Danni ditulis dan dikembangkan seperti begini. Pertanyaan kekuatan dia tidak dijadikan pamungkas. Melainkan yang diangkat adalah persoalan bagaimana dia menyingkapi kekuatan dengan segala konsekuensinya, path mana yang akan dia pilih. Niscaya film akan jadi lebih menarik. Danni akan belajar mengenai dealing with her power selama dua babak, alih-alih dalam lima belas menit dia tak sadarkan diri saat teman-temannya bersusah payah.

 

 

Dari film ini mestinya film-film Indonesia yang tertunda jadwal tayangnya di bioskop mengambil pelajaran. Bahwa waktu tunda itu bisa dijadikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Film ini sendiri punya begitu banyak waktu, hype dan segala macam terhadapnya sudah terbendung tinggi. Hadir dengan ala kadar seperti begini – cerita horor superhero yang gak jor-joran, elemen remaja yang cuma fokus ke agenda saja, akting yang juga hanya sedikit lebih bagus daripada level televisi (kecuali Anya!), dan writing yang perlu banyak pembenahan – hanya akan membuat filmnya jadi semakin jatuh karena ekspektasi terhadapnya sudah terlampau tinggi. Jika Danni berkata sesungguhnya adalah pilihan kita untuk membesarkan yang mana, maka film ini telah memilih untuk tetap berusaha gede sebagai medioker.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE NEW MUTANTS

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Danni percaya dalam setiap manusia hidup dua ekor beruang, would you like to share kira-kira beruang mana yang paling subur hidup di dalam diri kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE CRAFT: LEGACY Review

01 Sunday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, action, comparison, drama, family, fantasy, friendship, magic, mystery, review, sequel, spoiler, supernatural, teenager, thought

“They (women) want power over themselves”

 

 

 

Berhubung masih dalam suasana dongkol abis ngereview Rebecca (2020) ngobrolin seputar remake yang justru jadi lebih jelek dari versi aslinya, ini ada film yang bilangnya merupakan sekuel dari film yang keluar tahun 1996, tapi yang actually mereka bikin ternyata adalah semacam soft remake atau soft reboot menilik arahan film ini yang seperti mengincar ke sekuel berikutnya. The Craft: Legacy karya sutradara – yang sendirinya juga seorang aktor – Zoe Lister-Jones basically menceritakan ulang kisah pada film The Craft (1996), dengan tokoh-tokoh baru, dan tentu saja agenda woke kekinian yang dijejelin begitu saja ke dalam cerita tersebut.

Ada anak baru di kota. Lily namanya. Dia dan ibunya pindah ke sana, untuk tinggal bersama keluarga baru; ayah tiri dan tiga orang saudara laki-laki. Di sekolah, Lily mendapat teman baru berupa tiga orang cewek yang punya kekuatan sihir. Lily diajak gabung karena melengkapi formasi sihir (utara, timur, selatan, barat) sehingga kekuatan mereka semua kini sempurna. Mereka kini bisa banyak hal, termasuk menyihir seorang cowok bully di sekolah. Lily menjadikan si bully itu seorang yang lebih ramah dan gak kasar ke semua orang, terutama kepada dirinya. Di bawah pengaruh si cowok jadi berani untuk jujur kepada mereka berempat, perasaannya ditumpahkan. Rahasia dibeberkan. Namun kemudian si cowok ditemukan tidak bernyawa. Ada seseorang di kota yang gak suka saat cowok menjadi ‘lemah’. Ada seseorang yang memaksakan maskulinitas sebagai sebuah kekuatan untuk memerintah. Lily dan teman-teman superhero, eh maksudnya, teman-teman penyihir dengan kekuatan elemen harus menghentikan orang ini dengan segera.

 

Mereka avatar deng. Avatar pengendali CGI burik

 

Permasalahan tentang toxic masculinity itu sebenarnya enggak jadi masalah. Justru bagus, film ini punya ide tersendiri yang coba disampaikan lewat lingkungan sihir-sihiran yang selama ini dianggap sebagai dunia eskapis bagi wanita. Konon sejak dulu kala, penyihir wanita ditakuti di negara sana. Mereka diasingkan, dipenjara. Dibakar. Cerita penyihir wanita itu sebenarnya adalah simbolik bagi diskriminasinya sikap pria. Wanita gak boleh pinter-pinter, harus nurut, untuk voting aja mereka harus diperjuangkan. Nah, ketika film ini mengusung bentrokan antara dua kubu tersebut – cewek yang beneran penyihir dengan pria yang percaya kekuatan adalah milik mereka, dengan si cowok bully itu jadi berada di tengah-tengah mereka; sebenarnya film ini punya hal menarik untuk dibahas. Namun entah bagaimana – aku merasa jahat kalo menyebut pembuatnya gak capable – film ini menceritakan hal tersebut dengan seadanya. Film memasukkan konflik sekenanya. Sesimpel kayak mereka tinggal nambahin bagian-bagian itu ke dalam cerita film yang lama.

Film ini enggak peduli sama karakter-karakter. Oh, Lily punya tiga saudara tiri yang dibesarkan di lingkungan maskulin? Nope, film tidak pernah membahas mereka sebagai suatu karakter khusus. They are just there. Salah satu aspek yang membuat The Craft original begitu populer sehingga menyandang status cult 90an adalah karena film tersebut menggelora oleh personalitas. Setting dan karakter dan stylenya begitu membekas. Keempat penyihir di film itu semuanya diberikan backstory dan karakter. Ada yang tinggal di rumah yang abusive, ada yang dibully oleh teman yang rasis, ada yang sekujur tubuhnya luka bakar sehingga ia menderita setiap kali pengobatan, tokoh utama cerita itu sendiri harus berjuang mengarungi hidup di tempat baru, dengan dealing with kehilangan ibu dan segala macam. Maka mereka berempat punya alasan untuk beralih atau percaya kepada sihir. Mereka bonding over this, mereka belajar menggunakan kekuatan sihir, ada semacam mentor dan tokoh sihir yang mereka kunjungi, dan nantinya sihir itu akan mempengaruhi pribadi mereka dengan cara yang berbeda-beda. Tidak ada hal tersebut dalam film The Craft: Legacy. Tokoh-tokohnya tidak diberikan cerita latar ataupun kehidupan. Sihir di film ini tidak memiliki bobot apa-apa kepada para karakter. Hanya suatu hal spesial yang mampu mereka lakukan. Dan mereka seketika jago gitu aja, hanya lewat sekali montase. Kita tidak tahu siapa teman-teman baru Lily. Hanya Lily (yang diperankan dengan natural oleh Cailee Spaeny) seorang yang diberikan cukup banyak hal untuk kita pegang. Namun bahkan Lily itu tidak punya sesuatu yang paling penting yang harus dimiliki oleh tokoh utama.

Motivasi.

Untuk dua babak penuh, kita tidak tahu Lily ini maunya apa. Dia hanya bersekolah, unjuk kekuatan sihir dengan teman-teman, dan malam hari di rumah mendengar/mengalami hal-hal ganjil. Film ini sendiri tidak berniat untuk menggagas apa-apa selain pertarungan cewek melawan cowok (karena yang jahat harus cowok) yang ditambahkan begitu saja di babak akhir. Ya, kalo empat sentral aja gak ada development dan karakter, gimana tokoh jahatnya bisa dapat kesempatan untuk ditulis lebih baik. Satu-satunya pertanyaan yang disematkan oleh film – dan tampaknya jadi penggerak cerita karena cuma ini yang jadi bahasan di akhir – adalah soal hubungan Lily dengan tokoh-tokoh di film yang pertama. Keseluruhan film seperti bergerak dengan motivasi untuk memberikan kita jawaban terhadap hal tersebut. Dan meskipun mungkin memang itulah hal yang paling penting dari eksistensi film ini; jawaban yang mereka sediakan juga tidak memuaskan. Tokoh lama yang muncul sebagai koneksi terhadap Lily hanya diperlihatkan beberapa detik, dengan hanya sepenggal dialog. Seakan ingin ngehook kita supaya meminta sekuel. Pede sekali, memang.

Kebanyakan pria menginginkan kekuatan supaya bisa memegang kendali atas hal lain. Power for order, kata tokoh jahat di film ini. Namun wanita-wanita seperti Lily, ingin untuk jadi kuat tapi tidak pernah menginginkan kekuatan tersebut demi berkuasa atas orang lain. Mereka justru ingin kuat supaya bisa memegang kendali atas diri mereka sendiri. Power yang seperti inilah yang memang harus diperjuangkan.

 

CGI di momen revealing begitu jelek, bagusan CGI di film lamanya malah

 

Dengan karakter dull, ditambah efek-efek yang sekelas efek film televisi, film ini jadinya memang boring sekali. Sekali lagi coba kita bandingkan dengan The Craft yang lama. Dunia cerita tersebut menarik dan hidup. Bukan sekolah biasa yang jadi panggung cerita, melainkan sekolah katolik. Ini menciptakan kontras luar biasa menarik untuk digali; karena tokoh utama kita berpraktek sihir di lingkungan keagamaan tersebut. Film pertama kuat oleh penanda zaman, setting katolik dan tema penyihir itu dimanfaatkan untuk menampilkan aksesoris dan fashion-fashion gothic yang membuat gaya film ini 90an banget. Referensi ke tahun itu enggak dijejelin masuk, melainkan natural mendarah daging di cerita. Pada The Craft: Legacy, bahkan visual dan tempatnya juga hampa. Bincang-bincang soal sihir terasa datar karena lingkungannya tak beridentitas. Fashion dan penanda tahun generasi Z mereka tak tampak unik, malah cenderung maksa. Empat penyihir ini udah kayak power rangers, pake pakaian dengan corak warna yang sesuai dengan warna aura mereka. Tidak menarik, warna-warni itu justru hampa dan gak vibrant jika dibandingkan dengan hitam-putih yang dikenakan The Craft yang lama.

The Craft yang pertama juga jatoh saat babak ketiga yang konfliknya seperti hadir terlalu mendadak. Seolah film itu butuh durasi lebih banyak supaya development bisa lebih enak. Namun jatohnya film itu bukan apa-apa dibanding begonya film The Craft: Legacy yang datar ini pada babak ketiga. Terutama menjelang ending; itu penulisannya bukan cuma kurang cakap, tapi juga luar biasa males. Setelah konfrontasi yang melibatkan tokoh dengan peran gede meninggal, adegan berikutnya dibuat begitu normal – dengan para karakter lain ngebecandain keadaan tersebut. Seolah kejadian yang mereka alami sebelumnya bukan apa-apa. Gak ada efek terhadap mereka semua. Tidak ada aftermath, tidak ada apapun, karena film ingin buru-buru menjawab pertanyaan penting mereka; Lily anak siapa??

 

 

 

 

Film ini sukses, dalam membuat sihir menjadi seboring ini. Mereka punya agenda sebagai bumbu untuk cerita lama yang mereka perbarui, tapi tidak punya keahlian dalam crafting agenda tersebut ke dalam cerita yang benar-benar utuh, dan enak untuk diikuti. Kekuatan sihir bagi film ini sama aja kayak kekuatan superhero; orang yang jarinya bisa berapi, orang yang bisa mengendalikan elemen. Horor bagi film ini cuma adegan-adegan mimpi di malam hari, adegan misterius bagi film ini adalah momen-momen yang kelupaan dibahas seperti ketika saudara tiri Lily diceritakan hobi jalan dalam tidur, tanpa dijelaskan kenapa maupun pengaruhnya ke cerita. Karakter bagi film ini, ya, sekadar tokoh-tokoh pengisi dialog aja tanpa ada pengembangan atau penokohan yang membuat mereka manusiawi. Mereka pikir bisa menarik sekuel dari cerita lama seperti menarik kelinci dari topi, but really they should have about how to craft first.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE CRAFT: LEGACY

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Berhubung masih suasana Halloween, apa film tentang penyihir yang paling berkesan bagi kalian – selain Harry Potter loh ya hihi.. Kenapa menurut kalian kita begitu fascinated terhadap sihir?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • NOMADLAND Review
  • MINARI Review
  • PROMISING YOUNG WOMAN Review
  • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
  • TARUNG SARUNG Review
  • SHADOW IN THE CLOUD Review
  • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
  • ANOTHER ROUND Review
  • SOUL Review
  • ASIH 2 Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • RT @aaronrift: Triple H vs. Cactus Jack was one of my favorite #WWE Title matches at a #RoyalRumble PPV. https://t.co/IacHUR9HJh 10 hours ago
  • Di #MyDirtSheetAwardsPerfect10 kategori ini juga hadir kembali. Dan inilah, nominasi Best Children Character (kare… twitter.com/i/web/status/1… 13 hours ago
  • -Best Child Character- Tadinya kategori ini adalah spesial untuk #MyDirtSheetAwards Hexa-six (2016), tapi jadi ket… twitter.com/i/web/status/1… 13 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Create a free website or blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
%d bloggers like this: