NO ONE WILL SAVE YOU Review

 

“It is the confession, not the priest, that gives us absolution.”

 

 

Bekal-diri, atau pengalaman, alias juga referensi saat kita menonton film ternyata memang ngaruh ke tangkapan kita terhadap film tersebut. Makanya film yang kita sukai pada masa kecil mungkin akan terasa berbeda jika ditonton saat sudah dewasa.  Aku ngerasain ini saat nonton No One Will Save You, horor karya Brian Duffield. I feel like aku gak bakalan ngerti film ini kalo aku menontonnya sebelum nonton Sleep Call (2023). Loh kok Sleep Call? Diskursus soal literally ‘gak bakal ada yang nolongin kamu’ dibuka di film itu. Lewat pembahasan film itu soal jakarta/hidup itu keras, aku bisa lebih mudah menangkap bahasan yang juga diangkat di sini – hanya lebih tegas sebagai perspektif personal. Lebih mudah karena memang film No One Will Save You dibuat oleh Brian Duffield dengan desain yang cukup aneh. Asing. ‘Alien’, kalo boleh dibilang. Horor alien, tapi juga teror home-invasion. Penuh aksi menegangkan, tapi juga sunyi dengan nyaris tak ada dialog. Kejadiannya memang merupakan penyimbolan, tapi sekaligus juga literal.

No One Will Save You merupakan tipe film yang keren karena penceritaannya. Penonton yang hanya melihat outer journey alias urutan kejadian bakal missed hal yang membuat film ini spesial. Karena memang peristiwa filmnya simpel saja. Seorang gadis muda bernama Brynn, tinggal sendirian di rumahnya yang terletak di pinggir hutan cukup jauh dari pusat kota kecil. Suatu malam rumahnya kedatangan tamu jauh dari angkasa luar. Survive dari kejar-kejaran malam itu, paginya Brynn mencoba lapor polisi. Tapi dia punya masalah dengan salah satu polisi, serta ternyata beberapa penduduk sudah dikendalikan oleh alien. Sehinga minta tolong sudah bukan lagi opsi. Malamnya, Brynn bersiap di rumah, mencoba mengcounter serangan alien berikutnya.

Sampai gak bisa berkata-kata

 

Storytelling arahan sutradaranya lah yang membuat film jadi begitu rich dan efektif. Konsep unik yang ia jadikan penentu adalah tidak ada dialog, kecuali satu baris kalimat yang esensial sebagai penanda resolusi pada development karakter utama. Film ini bakal banyak momen-momen personal Brynn di ruang-ruangnya sendiri, hingga ke kucing-kucingan melawan alien, tapi semua itu diceritakan tanpa banyak berkata-kata. Semua informasi disampaikan lewat penceritaan visual. Kita kenalan dengan karakter si Brynn lewat menyimak tingkah lakunya. Bahkan namanya saja kita tahu dari tulisan. Film seolah selalu berhasil menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu tanpa menyebut hal tersebut. Sehingga nonton film ini jadi change of pace yang menyegarkan, di tengah sumpeknya film-film jaman sekarang yang meledak-ledak, lagi cerewet ngasih eksposisi di sana sini. No One Will Save You menampilkan karakter – backstorynya, konflik personalnya, hingga nanti tantangan fisik dan emosional journeynya  – lewat pengadeganan yang terukur. Semua aspek teknis seperti kamera, suara, punya treatment khusus untuk mendukung penceritaan visual ini.

Walau nyaris tanpa dialog, toh film ini bukan bisu. Kita tetap mendengar suara-suara. Dengung sinar UFO, suara tapak kaki alien yang jari-jari kakinya udah kayak kaki-kaki kecil sendiri. Dan desain suara-suara itu tuh keren banget! Film ini benar-benar memanfaatkan suara untuk menghasilkan efek horor yang maksimal. Setiap pekik tertahan, suara derit, semuanya itu ngebuild up kepada tensi yang jadi urat hidup film ini. Pun diselaraskan dengan kerja kamera. Momen di babak awal saat pertama kalinya Brynn menyadari ada alien di lantai bawah rumahnya, benar-benar momen yang menegangkan. Cara film ‘memperkenalkan’ alien itu juga precise dan terukur sekali. Kadang Brynn hanya melihat sosok blur alien dari balik kaca, kadang dia hanya melihat kaki mereka. Sudut pandang yang kuat, pembangunan adegan yang tepat, sukses bikin kita ikut menahan napas. Seiring berjalan durasi, sosok alien semakin ditampilkan dengan jelas oleh film. Desain mereka juga luar biasa. Meskipun tampilan dasar mereka cukup klise ‘alien abu-abu bermata besar, berbadan kecil’  tapi film menyimpan banyak kejutan. Cara mereka bergerak saja selalu berhasil bikin kita bergidik. Yang menurutku paling seram adalah alien besar seperti laba-laba, sekuen kejar-kejaran Brynn dengan makhluk ini juga seru dan ngeri sangat.

Sementara aliennya memang pencapaian teknis, keseluruhan film sebenarnya bertumpu pada delivery Kaitlyn Dever sebagai perspektif utama. This is practically film dengan satu karakter. Cerita menempel erat pada sudut pandang Brynn, dan Kaitlyn Dever mengerti tugasnya dan kupikir ini adalah yang terbaik dari penampilan aktingnya so far. Raut wajahnya bicara, matanya bicara, dan dia gak ragu untuk meraih ke dalam sisi emosional karakternya. Dan semua itu dia lakukan sambil dikejar-kejar oleh alien! Sisi emosional dan inner karakter, inilah yang bikin film ini dalem. Dan spesial. Karena bagaimana pun juga horor bukan semata soal survive dari makhluk mengerikan, bukan sebatas soal mengalahkan mereka. Melainkan juga mengenai apa ‘arti’ survive tersebut bagi si karakter utama. Mengalahkan momok itu berarti dia mengalahkan apa di dalam hidupnya. Refleksi terhadap karakter inilah yang jarang dipunya oleh horor kita, tapi di film ini ada. Malah itu yang benar dijadikan urusan utama, merayap di balik persoalan invasi alien. Semua treatment storytelling yang digunakan film ini – seperti yang sudah kusebutkan tadi – membangun kepada tema yang berasal dari galian inner journey karakter Brynn.

Kalo dibikin tahun 2000an, pasti Amanda Seyfried yang dicast jadi Brynn haha

 

Ketika pertama kali kita melihat Brynn, gadis ini tampak damai di ‘dunia’ kecilnya. Di rumahnya. Dia menari, bermain dengan diorama kota yang dikumpulkannya sendiri, dengan riang menulis surat untuk sahabatnya yang bernama Maude. Vibe bimbang baru nampak ketika dia hendak ke kota. Brynn berlatih senyum di depan cermin. Tampak menguatkan diri sebelum berinteraksi dengan orang lain. Saat dia beneran berinteraksi, kita merasakan ada hubungan yang dingin antara warga dengan Brynn. Seorang polisi dan istrinya malah tampak dihindari oleh Brynn. Menghindar seperti saat dia dengan sengaja ‘tidak menjawab’ telfon.  Aku mengenali gelagat itu. Waktu kecil, aku pernah gak sengaja bikin tangan temanku patah saat kami bermain Benteng Takeshi-Takeshian, dan setelah itu aku gak berani main ke rumahnya, gak berani ketemu sama orangtuanya. Aku tahu walaupun gak sengaja, aku harusnya minta maaf, tapi tetap saja itu sungguh hal menakutkan untuk dilakukan. Jangankan minta maaf, mau ngomong aja takut. Film dibuat tanpa dialog karena Brynn juga merasa bersalah terhadap sesuatu. Later deep within the story, kita dikasih tahu apa yang dulu terjadi pada Brynn dan temannya, Maude. Dan aku langsung, damn, aku yang gak sengaja aja dulu bisa takut sampai segitunya, gimana Brynn ini yaa..

Rasa bersalah. Guilt. Inilah yang sebenarnya dimaksud film ini ketika menyebut tak akan ada yang bisa menyelamatkan kita. Gak ada yang bisa menyelamatkan kita dari rasa bersalah, kecuali diri kita sendiri. Gimana caranya? Dengan gak mangkir dari perbuatan. Dengan mengakui. Dengan meminta maaf. Kesempatan meminta maaf bagi Brynn datang secara tak sengaja melalui invasi alien, dan adalah up to her untuk menggunakan itu. Pada pilihannya itulah tercermin perkembangan Brynn sebagai karakter utama cerita.

 

Jadi ‘dunia kecilnya’ itu ternyata juga adalah penjara sosial. Tokoh utama kita ternyata ‘di-shun’ warga akibat perbuatannya di masa lalu. Dikucilkan. Invasi alien justru berbuah kesempatan buat Brynn untuk resolve urusan personalnya tersebut. Dalam salah satu ‘serangan’ alien, Brynn justru mendapat kesempatan untuk meminta maaf; hal yang selama ini tidak bisa dia dapatkan karena keadaan dan dirinya sendiri. Di bahasan ini, sendirinya film punya pilihan. Menjadi kisah manis penuh harapan dengan happy ending Brynn akhirnya dimaafkan masyarakat. Atau menjadi kisah miris, bahwa Brynn tidak bisa mengharap maaf, bahwa memaafkan diri sendiri adalah satu-satunya healing yang bisa ia terima, dan itu sesungguhnya cukup.

Pada pilihan krusial itulah film menunjukkan keistimewaan. Jujur, saat menonton aku mengharapkan pilihan yang pertama. Aku berharap film ngasih lihat Brynn mendapat pengampunan yang layak karena dia selama ini menyesali perbuatannya dalam diam. Brynn has suffer so much, meski tak kelihatan dari luar. Aku berharap seenggaknya ada adegan Brynn openly bicara kepada keluarga Maude, meminta maaf, eventho it’s too late. Pilihan ini aku yakin lebih memenuhi struktur skenario terkait aksi dan development karakter. Tapi film enggak mau benar. Film menunjukkan kecintaan mereka terhadap karakter Brynn dengan memilih untuk tetap ‘real’ alih-alih benar sesuai aturan. Dan ini yang bikin ending film mengejutkan dan sangat kuat. Dengan membuat ‘alien aja kasihan sama Brynn’, tema dan gambaran yang menyentil kehidupan sosial kita (balik lagi ke Sleep Call’s “hidup itu keras”) terasa lebih menohok. Alien yang awalnya ditampilkan misterius, seiring durasi menjadi lebih fokus dan malah tampil close up adalah paralel dari gimana masyarakat seharusnya melihat Brynn, for she is an alien among them. Seorang berbeda – berdosa – yang dianggap berbahaya dan tak punya tempat di antara mereka. Apapun yang keluar dari mulutnya gak bakal dipercaya. Brynn tidak dikasih kesempatan.

 

 




Makanya film ini pun hadir dengan tidak banyak berkata-kata. Itu jadi pembuktian betapa kuatnya treatment dan perspektif penceritaan. Semuanya dilakukan untuk mewakili yang dirasakan oleh Brynn, sang karakter utama. Kejadian invasi alien ke rumah mungkin tampak biasa, tapi penceritaan di baliknya, semuanya kuat dan didesain dengan sangat terukur. Kerja kamera, desain suara, penampilan akting. Film ini sukses berat baik itu dalam menampilkan horor dikejar-kejar alien maupun kejadian-kejadian yang lebih sureal setelahnya. Pilihan endingnya merupakan salah satu yang paling mencengangkan. Film ini gak ragu untuk sedikit berbelok dari yang seharusnya. Dan memilih untuk tampil dengan gambaran dan pesan yang lebih real dan menohok.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NO ONE WILL SAVE YOU

 

 




That’s all we have for now.

Dina di Sleep Call gak punya Rama, sedangkan Brynn di film ini punya alien. Menurut kalian kenapa alien-alien itu membiarkan Brynn hidup di antara koloni yang mereka kendalikan?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 10 (WAKTU MAGHRIB, THE PASSENGER, HOME FOR RENT, BIRD BOX: BARCELONA, ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD, RUBY GILLMAN TEENAGE KRAKEN, COBWEB, THEY CLONED TYRONE)

 

 

Edisi kesepuluh Mini-Review ini isinya udah kayak pesta di musim panas. Mulai dari zombie hiu ke cewek laba-laba, dari mermaid jahat ke kloningan korporat, dari orang kesurupan ke psikopat hingga ke sekte-sekte sesat. Meriah! I’ve had fun nontoninnya, dan sekarang saatnya mengulas merekaa!!

 

 

BIRD BOX: BARCELONA Review

Bird Box: Barcelona adalah sekuel, yang tidak banyak memberikan jawaban baru atas fenomena khusus yang ia angkat sebagai cerita. Dunia masih tetap ‘kiamat’ oleh keberadaan sesuatu yang membuat setiap orang bunuh diri jika mata mereka melihat cahaya di luar. Sehingga film ini memang bisa bikin penonton yang ingin tahu kelanjutan atau penyelesaian masalah itu jadi kecewa.

Aku pun pastinya bakal menutup mata juga loh kalo saja sutradara Alex dan David Pastor benar-benar tidak punya tawaran baru. But they did have one. Enggak gede, memang, namun buatku sudah cukup untuk membuka sesuatu yang baru dalam experiencing dunia cerita mereka. Hal yang beda kali ini itu adalah perspektif. Kali ini bukan tentang seorang ibu yang memegang teguh harapan dan kepercayaan untuk membawa anak-anaknya ke tempat keselamatan. Melainkan tentang seorang ayah yang ingin melihat keluarganya lagi. Protagonis kali ini bukan orang baek-baek yang pengen survive. Melainkan salah satu anggota cult yang percaya tugas mereka adalah membimbing sebanyak mungkin orang untuk melihat ‘keindahan’ mematikan. Journey protagonis dalam menyadari kesalahannya yang bikin film ini menarik. Gimana nanti dia berinteraksi dan belajar dari calon korbannya.

Mungkin lebih tepat kalo kita menganggap film ini bukan sebagai sekuel, tapi sebagai companion saja dari film pertamanya. Elemen-elemennya memang berulang dan gak banyak development baru. Tapi kalo dibandingkan dengan film pertamanya, journey protagonis kali ini lebih menarik dan menantang.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIRD BOX: BARCELONA

.

 

 

COBWEB Review

Horor ‘makhluk yang tinggal di dalam dinding rumah’ selalu punya pesona tersendiri. I think it’s because kita semua setidaknya pernah sekali seumur hidup kebayang yang enggak-enggak ketika mendengar bunyi derit rumah. Perfect banget buat jadi elemen cerita horor. Melihat ke belakang, film kayak Housebound (2014) atau The Boy (2016), cerita tentang seseorang di balik dinding ini bisa sukses karena faktor surprise di dalam ceritanya, tapi sekaligus juga punya kendala yang sama; bagaimana memasukakalkan orang bisa hidup sekian lama di balik tembok. Mari kita lihat cara sutradara Samuel Bodin menghandle soal itu dalam Cobweb

Again, film ini punya langkah awal yang bagus dari perspektif utama. Anak kecil yang mendengar suara di balik dinding rumah, tapi orangtuanya gak percaya. Dari sini drama horornya berjalan. Enggak dibuat ambigu dan menantang, tapi horornya dirancang untuk hiburan mainstream yang efektif, dari sikap orangtua yang mencurigakan. Membangun ke arah pengungkapan siapa di balik dinding, untuk kemudian diubah film menjadi sajian horor kedua, yakni horor creature. Yang di sinilah buatku film jadi kayak kesangkut sendiri pada jaring horor yang mereka buat.

Walau memang paruh akhirnya jauh lebih seru, tapi bagian itu juga lebih generik. Aku gak tahu apakah karena itu film jadi berusaha membuat si makhkluk jadi bombastis, atau mereka cuma pengen beda, tapi hasilnya film ini jadi konyol dan mungkin lebih tepat kalo dibuat sebagai horor komedi. Film seperti tidak bisa memilih makhuk horornya, apakah manusia atau hantu. Jadi mereka membuatnya basically kayak gabungan keduanya. Perspektif karakternya pun jadi tidak terpakai lagi, padahal diceritakan makhluk itu adalah saudara dari si karakter utama. Maka endingnya pun terasa jadi flat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for COBWEB

 

 

 

HOME FOR RENT Review

Tiga tahun belakangan aku gak terkesan sama horor Thailand. Dua yang tayang, dengan hype besar dan populer itu, actually melempem dari segi cerita karena hanya dibuat sebagai wahana jumpscare. Ekspektasiku buat horor Thailand lagi agak rendah, makanya karya Sophon Sakdaphisit menarik telak buatku!

Ini sudah bukan lagi soal ekspektasiku. Home for Rent memang punya cerita yang kuat di balik sajian horor tentang sekte misterius. Cerita orangtua yang berkubang duka begitu dalam, sehingga rela melakukan sesuatu di luar nalar dan bahkan membahayakan keluarganya. Berkisah tentang film ini actually agak susah, karena satu lagi ‘fitur’ yang dipunya oleh film ini adalah mencacah ceritanya ke dalam beberapa sudut pandang. Kita akan berpindah melihat satu kejadian yang sama, dari sudut karakter yang berbeda. Fitur storytelling yang beresiko, tapi juga punya kelebihan yakni membuat pengungkapan misteri jadi berbobot karena ditambatkan kepada perspektif karakter.

Home for Rent terbukti menggunakan cara bercerita seperti itu tidak untuk menutupi dangkalnya bahasan. Melainkan ya ketajaman naluri sutradara untuk membuat cerita dramatis, sekaligus memperkaya cerita dan misteri lewat lapisan sudut pandang. Perpindahan sudut pandang itu juga tak membuat siapa karakter utama jadi tidak jelas. Naskah tetap tegas, Development dan journey dramatis tetap pada Ning, si ibu, sebagai karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HOME FOR RENT

 

 

 

RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN Review

Jika kraken adalah makhluk laut dengan lengan atau tentakel banyak, maka Ruby Gillman, Teenage Kraken adalah film dengan banyak sekali cabang-cabang yang mengingatkan kita kepada film lain. Yang bikin aku sedikit kecewa adalah kisah tentang makhluk mitos yang menyamar jadi manusia, hidup seperti manusia, ini harusnya kisah yang benar-benar original. Namun sutradara Kirk DeMicco dan Faryn Pearl seperti tidak bisa memutuskan.

Beberapa dari kalian mungkin akan menyebut ini kayak Turning Red (2022). Mungkin ada juga yang memiripkan ini seperti Luca, atau malah Harry Potter. Mungkin film ini memang mengincar kemiripan itu. Karena to be honest, Ruby Gillman bekerja paling kocak saat menjadi parodi. You know, gimana mereka membalikkan status jadi kraken baik dan mermaid jahat. Gimana mereka menggambarkan sosok si jahat itu. Desainnya yang playful dan ngasih komedi tersendiri. Kekecewaanku memang akhirnya terobati dari gimana film ini membentuk para karakternya. Mereka semua terasa mencuat di balik cerita yang not really interesting dan berjuang untuk mengapung sebagai sesuatu yang berbeda. Sebagai tontonan untuk keluarga, tentu saja film ini merupakan alternatif yang baik. Dengan segala pesan ibu-anak perempuan dan persahabatannya. Selain itu, film ini juga punya elemen action yang bikin penonton cilik semakin betah menanti akhir kisahnya

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN

 




THE PASSENGER Review

Terlalu sering kita mendengar nasehat untuk tidak melihat siapa orangnya, tapi lihatlah apa yang dikatakan olehnya. Nasehat yang jelas agak ganjil karena bayangkan kalo kita dilarang menyerobot antrean oleh seorang koruptor, misalnya. Nonton The Passenger karya Carter Smith akan terasa ganjil seperti begitu karena di film ini kita akan melihat protagonis yang sedang dibantu untuk membereskan masalah personal di dalam hidupnya, oleh seorang ‘teman’ yang baru saja membunuhi orang-orang di diner tempat mereka bekerja.

The Passenger adalah road trip intens, bukan oleh aksi-aksi, melainkan oleh dinamika karakternya. Seorang pria muda yang begitu helpless dan terguncang oleh yang ia perbuat di masa lalu sampai-sampai seseorang yang berbahaya, meledak-ledak, tergerak untuk membantunya. Tahun lalu, ada film Piggy (2022) yang mirip seperti ini, cewek korban bully dan body shaming, dikasihani oleh pembunuh psikopat. Tapi film tersebut berkembang jadi thriller bunuh-bunuhan generik. The Passenger mengembangkan ceritanya dengan lebih berfokus kepada drama. Dua karakter sentral dimainkan dengan sangat meyakinkan, emosi mereka terasa raw, rough, tapi memang itulah yang dibutuhkan oleh cerita. Film ini berhasil membuatku bercakap-cakap dengan layar, berusaha ngobrol dengan para karakter. Di satu sisi, kita ingin Bradley melarikan diri dan selamat, tapi di sisi lain kita juga ingin dia menemukan keberanian untuk mengkonfrontasi masa lalunya, dan satu-satunya cara ya lewat Benson yang tak pernah jauh dari pistolnya.

Bukan siapa yang benar-siapa yang salah, siapa yang jahat-siapa yang baik yang ingin dicapai oleh film. Karena dua karakternya itu akan menjadi sesuatu yang lebih dekat dari sahabat tapi juga begitu berjarak seperti musuh paling bebuyutan. Jalinan kuat dan unik yang perlahan terbentuk inilah yang bikin kita betah nonton sampai beres.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PASSENGER

 

 

 

THEY CLONED TYRONE Review

Nah ini baru unik, seru dan kocak juga! Cara mereka ngambil judul aja udah demikian menarik, jika kita lihat konteks ceritanya. Dari luarnya, They Cloned Tyrone seperti cerita ala Groundhog Day, hanya lebih ‘gila’. Jadi si Fountaine ngerasa hidupnya rada-rada berulang gitu. Tapi bukan karena dia masuk time loop. Fountaine sebenarnya telah tewas, tapi dia terbangun seperti biasa di kamar, dan kembali menjalani rutinitasnya sebagai drug dealer seperti gak ada apa-apa. Aslinya, Fountaine sudah dikloning, dan dia baru tahu akan apa yang sebenarnya terjadi dari interaksinya dengan unlikely allies.

Di dalam, They Cloned Tyrone sebenarnya sebuah komentar sosial. Juel Taylor dalam debut penyutradaannya ini bikin sesuatu yang bisa berdampingan dengan horor-horornya Jordan Peele. Karena sesungguhnya film ini juga punya concern terhadap eksploitasi warga kulit hitam. Bukan cuma Fountaine yang dikloning, hampir semua orang di lingkungan mereka ternyata jadi bahan percobaan perusahaan kulit putih yang punya markas di bawah tanah. Waralaba ayam goreng, produk pengecat rambut, hal-hal yang mereka tonton iklannya di TV ternyata adalah alat untuk ‘mengendalikan’ mereka. Semua itu dibikin oleh film sebagai simbol bagaimana stereotipe yang tersemat pada warga kulit hitam sebenarnya tak lebih dari sebuah eksploitasi

Bibit misteri dan komedi tumbuh dengan asik. Trio sentral (John Boyega, Jamie Foxx, dan Teyonah Parris) bikin cerita makin seru dengan enerji dan personality mereka masing-masing. Film ini bisa sangat menghibur. Problem sedikit ada pada pacing pada cerita yang secara natural punya beberapa pengulangan, juga karena bentukannya yang berupa pemecahan misteri. Film pada beberapa kesempatan masih terlihat struggling untuk menjaga pace, menurutku kalo film bisa lincah dalam tempo dan komedi, tentu penceritaannya lebih nonjok lagi.

The Palace of Wisdom gives 6.5  gold stars out of 10 for THEY CLONED TYRONE

 

 

 

WAKTU MAGHRIB Review

Untuk beberapa waktu, horor karya Sidharta Tata ini jadi film Indonesia paling laris di 2023. Dan setelah ditonton, aku bisa paham kenapa film ini menghasilkan kesan dan pembicaraan yang baik. Waktu Maghrib dengan cerdik menjadikan ceritanya berpusat pada karakter anak, tapi dengan horor yang tetap brutal. Konteks ceritanya pun diambil yang ‘dekat’ dengan penonton, kepercayaan bahwa waktu maghrib adalah waktu tabu untuk keluar rumah.

Saat nonton ini, aku kepikiran Forbidden Siren, game horor tentang warga di sebuah desa yang dilarang keluar rumah saat sirine berbunyi di malam hari, yang tetap nekat ya berubah jadi zombie berdarah-darah. Desain horor film ini mirip dengan itu (I think it would be cool kalo suara sirine diganti suara adzan maghrib). Bahasan tentang orang takut ke mesjid karena setan maghrib tentu bakal menarik jika digali. Tapi Waktu Maghrib ternyata hanya memperlihatkan soal itu sekilas. Naskah dan arahannya seperti bergelut pengen menceritakan apa, dan akhirnya memilih jalan yang generik. Waktu Maghrib tak lagi membahas ketakutan tersebut, melainkan jadi literally sosok setan yang membuat anak-anak bunuh diri. Jadi tebak-tebakan misteri siapa yang sebenarnya jahat.

Ketika satu anak mati, cerita pindah ke anak lain. Perspektif berpindah-pindah yang dilakukan Waktu Maghrib tidak sebaik yang dilakukan oleh Home for Rent. Karena di Waktu Maghrib, tokoh utamanya gak pernah jelas. Tidak ada karakter yang mengalami development, karena cerita hanya tentang selamat dari hantu. Plotnya hanya tentang ‘oh ternyata’. Motivasi dan mitologinya enggak berkembang dengan baik. Suasana desanya tidak pernah tergambar detil, padahal set upnya sebenarnya menarik. Kita tahu film ini not follow through idenya sendiri, saat film bahkan gak mampu gambarin suasana maghrib itu dengan genuine.

The Palace of Wisdom gives 3 gold star out of 10 for WAKTU MAGHRIB

 

 

 

ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD Review

Yang aku gak suka dari film ini cuma judulnya. Selebihnya, film ini such a blast! Idenya segar banget. I know for a fact, kalo ini dibikin oleh Hollywood, maka judulnya pasti adalah Zombie Shark, atau Zombie Shark Hero.

Sutradara Yusuke Ishida sebenarnya ngambil setting zombie apocalypse cuma untuk perumpamaan. Karyawan yang kerja pagi pulang malam, nurut-nurut saja sama bos yang toxic berlindung di balik istilah keluarga, atau terus ‘ngedoktrin’ mereka bahwa mereka bukan apa-apa tanpa kerjaan ini, dianggap sebagai zombie. Kalo sedang tidak dikejar zombie, maka si Akira Tendo, karakter utama kita itulah yang jadi zombie korporat. Dia justru tampak lebih hidup saat membasmi zombie-zombie beneran, karena cuma di saat itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri. Akira sampai bikin list sendiri, kegiatan-kegiatan yang ingin dia lakukan mumpung sempat karena dia bisa gak masuk kerja sebab dunia dilanda wabah zombie. Akira dan listnya jadi kontras yang menarik pada genre zombie yang biasanya karakter utama justru si kikuk yang harus jadi jagoan dan punya list berupa aturan yang gak boleh dilanggar kalo mau selamat di dunia zombie. Akira dan listnya malah hidup bersenang-senang saat ada zombie. Yang paling ngakak ya ketika film ini gambarin siapa lawan Akira sebenarnya. Siapa musuh karyawan-karyawan kecil. Ya, corporate shark. Film menggambarkannya jadi literally hiu zombie, Hiu dengan kaki-kaki zombie. Design makhluk horor yang sungguh jenius hahaha. Vibe over-the-topnya masuk dan gak pernah jadi annoying ataupun bikin film jadi bablas receh

Film ini bekerja terbaik ketika mengumpamakan hal tersebut. Vibe cerianya di saat horor sebenarnya jadi ironi yang lucu. Stake di cerita ini bukan dari nyawa Akira yang bisa menghilang kalo dia kena gigit zombie. Melainkan, kita lebih khawatir kalo Akira kembali jadi budak di kantor. Journey Akira juga dipenuhi oleh karakter-karakter manusia yang bakal membantunya menyadari bahwa dia jadi zombie begitu urusan kerjaan dan bosnya tiba. Bagian serunya buatku ya di babak awal, dan di babak akhir. Babak keduanya sedikit generik, meski memang perlu untuk ngebuild up relasinya dengan karakter lain. Kalo film fokus di perumpaman, cerita tidak dipanjang-panjangin oleh kejadian Akira dan gengnya di luar sana dengan zombie-zombie generik, maka film ini akan lebih enak ditonton.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD

 

 





That’s all we have for now

Kita sudah di paruh akhir 2023, dan aku sudah mulai bisa melihat calon-calon yang bakal masuk Top-8 ku untuk tahun ini. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM Review

 

“Do it from love, not for love”

 

 

Bagiku Teenage Mutant Ninja Turtles adalah sebuah fase. Jauh sebelum suka Power Rangers dan pasukan superhero lain, aku yang masih balita suka sama empat kura-kura yang jago berantem ini. Aku gak ingat apa yang exactly kusuka dari Kura-Kura Ninja, aku bahkan gak ingat jalan cerita serial kartunnya di TV, tapi pokoknya waktu kecil saking sukanya sampai-sampai setiap jajan, aku selalu minta dibelikan pernak-pernik Kura-Kura Ninja mulai dari mainan hingga topeng. Saat gedean, tentu saja aku coba ngikutin Kura-Kura Ninja – yang ternyata memang franchise yang gede dan selalu dibuat ulang – soalnya penasaran kan, kok kata ortu dulu aku suka banget. Aku mengenal karakter-karakternya, jalan ceritanya, tapi ya ternyata aku gak suka-suka amat. Biasa aja sama kartun nya yang baru. Benci banget malah sama film live-action versi Michael Bay.  Looks like I grow up out of them, kecuali satu hal; game Kura-Kura Ninja. Always love them now and then. Baru-baru ini banget aku namatin game terbaru Kura-Kura Ninja (go check YouTube My Dirt Sheet untuk playtroughnya!) Selebihnya ya, Kura-Kura Ninja adalah fase masa kecil yang sudah kutinggalkan. Sampai, film karya Jeff Rowe yang diproduseri oleh Seth Rogen ini tayang! KKN: Mutant Mayhem adalah jawaban terdekat yang bisa kudapatkan kenapa waktu kecil aku suka Kura-Kura Ninja. Karena saat menonton ini, aku merasa seperti bocil yang baru saja menemukan jagoan favoritnya untuk pertama kali!

Can’t believe Seth Rogen restored my childhood just like that

 

Backstory karakter dalam film ini diubah sedikit dari cerita original KKN. Seperti karakter mutant yang aslinya adalah manusia, tapi di film ini diubah menjadi berasal dari hewan demi menyesuaikan dengan tema cerita. Ada juga karakter villain populer yang diubah jadi baik. Perubahan-perubahan ini bakal sedikit-banyak terasa aneh oleh hardcore fans, tapi percayalah tidak mengganggu. Karena film KKN kali ini memang berfungsi sebagai reboot, yang menghasilkan cerita baru tapi dengan ruh yang tetap terjaga. Di sini gak ada (belum ada!) Shredder. Permasalahan di film ini lebih ke konflik prejudice antara manusia dan hewan-hewan mutant. Sekilas konfliknya memang mengingatkan kita kepada cerita X-Men. Superfly, (mutant lalat, bukan nama pegulat hihihi) villain utama di cerita ini, punya plead yang sama dengan Magneto. Membasmi manusia dan membuat dunia yang lebih baik untuk para mutant. Yang bikin beda adalah cerita KKN yang ditujukan untuk penonton muda ini dibikin lebih hopeful dan mengutamakan kepada feel good moment, alih-alih politik kekuasaan.

Protagonis cerita, Leo, Ralph, Don, dan Mikey, kura-kura remaja yang ingin hidup bersama manusia, makhluk yang menurut mereka keren, tapi harus dijauhi, karena kata ayah mereka, mutant tikus bernama Splinter, manusia itu berbahaya. Manusia akan definitely melukai mereka karena mereka berbeda. Running joke yang diangkat dari sini adalah gimana manusia bakal memerah mutant sampai kering. Jokes yang kuakui sedikit kekanakan, tapi itu hanya karena ku sudah di luar target umurnya hahaha.. But hey, sekali lagi, ‘milking until dry‘ mungkin adalah joke yang paling jinak, tapi tetep berhasil, yang bisa diperah dari otak Seth Rogen yang biasanya ngehasilin komedi urakan. Jadi empat kura-kura jagoan kita ingin merebut hati manusia dengan jadi pahlawan. Mereka membantu membasmi kejahatan yang dilakukan oleh geng Superfly, dan dijadiin berita oleh April, gadis wartawan media sekolah. Masalahnya adalah ketika para KKN tatap muka dengan geng Superfly. Mereka sama-sama makhluk mutant. Mereka sama-sama punya keinginan hidup lebih baik, tidak lagi di dalam bayang-bayang. Jadi para KKN harus memilih; ikut Superfly membasmi manusia, atau tetap jadi pahlawan meskipun itu buat orang-orang yang gak menerima mereka.

Para Turtles menjadi pahlawan kota supaya mereka bisa diterima oleh manusia. Tapi mereka belum nyadar bahwa penerimaan itu berasal dari cinta. Menjadi pahlawan juga harusnya merupakan tindakan yang tulus. Jadi itulah yang harus dipelajari lebih dulu oleh mereka. Belajar menerima diri sendiri, belajar mencintai kekurangan sendiri, belajar untuk berbuat baik tanpa harus berharap disukai dan dianggap sebagai pahlawan.

 

Tema acceptance serta merta akan beresonansi dengan penonton muda. Pada generasi Z yang memang persoalan identitas jadi persoalan yang pelik. Tema tersebut membuat animasi hiburan ini jadi punya bobot. Namun memang tak bisa dipungkiri yang ngesold out penonton muda buat betah nonton ini sampai akhir adalah suara – literally dan figuratively- dari karakter-karakternya, Terutama para Kura-Kura Ninja. Para jagoan bertempurung itu benar-benar berjiwa dan bersemangat remaja, ditambah pula voice aktor yang memang anak-anak remaja. Jadi mereka kayak anak remaja beneran. Yang cablak, kadang sedikit angkuh, energik, ceroboh, dan ada sisi polos yang natural. Gimana mereka saling berinteraksi, udah persis kayak kakak adik sodaraan beneran. Kalian tahu dialog celetukan ala Marvel yang sering out of nowhere gak tepat sikon disebutkan oleh superhero dewasa? Nah, dialog para KKN juga seperti itu, namun karena mereka kerasa genuine seorang remaja, maka dialog celetukan seperti itu lebih mudah untuk kita maklumi.  Personality masing-masing Turtle benar-benar terflesh out. Leonardo yang sering diledek tukang ngadu, karena berusaha jadi pemimpin yang baik, Ralph yang pengen ngerasain sekolah, Mikey yang jago improv, Donatello yang hobi K-Pop dan anime. Yang mereka obrolin juga referensi yang kekinian banget. Bahas Marvel lah, Attack on Titan lah. Film ini memang menggila soal referensi, baik untuk generasi muda ataupun penonton yang lebih ‘uzur’, tapi walau ada juga referensi ke produk Nickelodeon,  gak sekalipun terasa cringe dan ganggu penceritaan.

Sampai sekarang aku masih gak percaya film ini bener-bener masukin versi meme dari lagu What’s Going On; meme kocak yang udah beredar enam-belas tahun di internet itu dijadikan musik latar saat adegan kejar-kejaran mobil! So wild!!

Kura-Kura jadi kambing hitam

 

As an older fan, aku turut mengapresiasi voice work dari aktor-aktor seperti Natasia Demetriou yang jadi Wingnut – mutant kelelawar, serta Jackie Chan yang meranin Splinter, dan Ice Cube yang jadi Superfly. Mereka terdengar begitu fun menghidupkan karakternya. Malah di sini Jackie Chan kayak gak hanya menyumbang suara, karena adegan Splinter berantem itu udah kayak adegan-adegan Jackie Chan dalam film-film laga. Berantem kocak dengan properti di sekelilingnya. Splinter dan Superfly sendiri memang punya keparalelan yang menarik, karena basically mereka sama-sama membenci manusia. Development karakternya-lah yang nanti bakal membedakan keduanya. Mendengar Jackie Chan dan Ice Cube di sini membuatku pengen melihat film Friday dibikin sekuel baru, dibintangi Ice Cube dan Chris Tucker dan Jackie Chan sekaligus hahahaha!

Untuk gaya visual, man, aku seneng banget di tahun-tahun belakangan ini kita dapat film animasi yang gaya gambarnya itu enggak seragam. Yang enggak kayak berusaha bikin yang sesuai standar tertentu. Mungkin semua ini memang pengaruh dari kesuksesan Spider-Man: Into the Spider-verse (2018), tapi aneka ragam gaya animasi memang perlu kita rayakan. KKN: Mutant Mayhem menggunakan gaya animasi unik yang konsepnya tuh kayak coret-coretan atau arsiran. Ada objek-objek seperti asap, lampu, bahkan bulan, yang terbentuk dari garis-garis berulang yang semrawut. Estetik tersebut actually menambah banyak untuk karakter dan vibe film ini. Terutama dari sisi latar tempat. Garis corat-coret itu seperti menghidupkan kesan rough dari kota New York. Personality kota itu penting, karena di situlah tempat prejudice manusia berbahaya, mutant berbahaya itu tumbuh. Film ini berhasil menggambarkan itu semua ke dalam  desain komposisi wujud dan warna yang fresh. Dan ngomong-ngomong soal desain, satu yang tampaknya mencuat pada penggemar Kura-Kura Ninja, yaitu desain karakter April. April di sini bukan lagi perempuan pirang, langsing, dan seorang jurnalis yang pede. Menurutku yang dilakukan oleh film ini selangkah lebih respek daripada sekadar meng-race swap. April dibikin seperti our everyday friend bukan lagi perempuan muda dengan standar kecantikan mainstream. Karakternya kini punya kelemahan yang semakin manusiawi (dia gak pede di depan kamera), meski tetap mandiri dan cerdas dan tak lantas jadi orang yang perlu diselamatkan.

Aku pengen bilang film ini hiburan yang perfect, kalo bukan karena satu hal kecil. Flow penceritaan di babak awal. Babak pengenalan film ini actually kurang mulus, dengan tempo yang agak tercekit-cekit, karena film menggunakan banyak flashback perspektif. Aku gak tau apakah itu istilah yang benar atau bukan, tapi yang kumaksud adalah banyak flashback dari sudut pandang karakter tertentu, guna menceritakan apa yang terjadi dari sudut pandang lain sebelum jagoan-jagoan kita exist di dunia. Sebenarnya ini cara yang lumrah, tapi untuk film ini aku tidak melihat alasan kenapa harus melakukannya seperti itu. Karena toh cerita bisa saja berlangsung dengan linear. Keputusan film mengskip langsung lima belas tahun kemudian, tapi lalu enggak lama setelah itu malah balik untuk flashback, buatku agak aneh dan kurang efektif. Membuat sampai ke plot poin pertama rasanya jadi lama banget, dan berjalan agak ngambang mau ke mana. Tapi memang hanya di 20-30 menit pertama itu saja. Selebihnya, KKN: Mutant Mayhem adalah suguhan seru dan bisa dibilang liar, yang asyik lagi berbobot.

 

 




Lapisan kebahagiaan dan kepuasaanku memang banyak banget setelah nonton film ini. Senang karena akhirnya ada lagi film KKN yang proper (Kura-Kura Ninja, loh, bukan KKN yang satu lagi). Senang karena terhibur oleh aksi dan keseruan dan akting suara yang dilakukan. Senang karena film animasi masih punya banyak ruang untuk berkembang dan gak melulu tampil dengan gaya yang sama.  Duh, sepertinya akhir tahun bakal susah nih milih film animasi yang terbaik di antara yang terbaik! Aku gak ngerti kenapa film ini malah berkurang layarnya di bioskop, padahal mestinya film ini jadi hiburan yang paling ‘aman’ dan respek buat keluarga. Meski diremajakan untuk penonton kekinian, isi film ini beresonansi dengan berbagai generasi. Dan karena ini basically reboot atau cerita baru, maka enggak perlu tahu film atau cerita lamanya. Penceritaan film ini bekerja baik dalam menghantarkan backstory setiap karakter. Setiap keinginan dan pembelajaran mereka bakal terbungkus seru. Mungkin akan sedikit mengingatkan kepada X-Men, tapi tone dan vibe dan developmentnya certainly one of a kind. Justru melewatkan ini bakal kowabunga, eh salah.. kebangetan!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apa yang berhasil dilakukan oleh film ini, yang gagal dilakukan oleh versi live-action Michael Bay?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



THE FLASH Review

 

“We are products of our past, but we don’t have to be prisoners of it.”

 

 

Flash akhirnya punya film-panjang setelah sekian lama ikut ‘bantu-bantu’ di Justice League, dan padahal punya serial sendiri. Dan keberadaannya ini bukan tanpa diwarnai masalah. Superhero dengan kekuatan supercepat ini hadir saat DC mau merombak ulang keseluruhan sinematik universe mereka, yang entah bagaimana sepertinya selalu kurang memuaskan. Aktor yang meranin si Flash, Ezra Miller, pun sedang dalam belitan kasus. Mungkin karena filmnya berada di posisi demikianlah, maka sutradara Andy Muschietti menggodok cerita yang membahas tentang menyikapi kesalahan di masa lalu. Ironisnya, bahasan ‘harus move on’ tersebut harus ia bicarakan di balik konsep multiverse penuh nostalgia yang sepertinya sudah jadi senjata utama produser film superhero untuk menggaet penonton. Sehingga, dengan konteks demikian, di balik petualangan lintas-waktunya The Flash memang lantas jadi punya inner journey yang tuntas dan kuat. Tapi film ini serta merta memberikanku sesuatu untuk dipikirkan ulang.  Karena selama ini, aku selalu berpikir bahwa yang terpenting dari sebuah film adalah inner journey karakternya. Dan sepertinya itu membuatku jadi punya kesalahan di masalalu; kesalahan dalam menilai film. Sebab film The Flash, dengan kelemahan-kelemahan outer journeynya, justru membuktikan bahwa kulit luar cerita ternyata juga sama pentingnya.

Si Supercepat yang suka telat

 

Jangan menoleh ke belakang. Jangan pertanyakan kenapa hal bisa salah. Jangan menyesali kesalahan lalu lantas terus-terusan meratapi sampai lupa untuk meneruskan hidup. Karena tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain belajar dari kesalahan tersebut. Menerima bagaimana kesalahan itu membentuk kita dan jadikan itu pengalaman berharga. Sebenarnya, ini adalah tema yang cocok sekali sebagai konflik untuk seorang superhero yang bisa berlari begitu cepat sampai-sampai bisa menembus waktu. Karena kita selalu bilang, andai kita bisa balik ke masa lalu, maka kita akan memperbaiki kesalahan. Well, guess what, Flash bisa ke masa lalu, dan di film ini dia akan belajar bahwa walaupun kita bisa ke balik, kita tetap tidak bisa memperbaiki kesalahan itu.

 

Ada banyak sekali yang ingin diperbaiki oleh Barry Allen di dalam hidupnya. Dia ingin ayahnya melihat ke kamera cctv supermarket supaya bisa jadi bukti ayahnya tak-bersalah atas kematian ibunya. Dia ingin ibunya tidak lupa membeli sup tomat yang jadi sumber masalah itu. Dia ingin bisa melindungi keluarganya. Sekarang, seusai another mission ngeberesin kerjaan Batman, kita melihat Flash menemukan fungsi baru dari kecepatan supernya. Yakni dia bisa travel back in time. Barry merasa inilah kesempatan baginya memperbaiki hidupnya. Tapi dia salah. Kedatangannya ke masa lalu memang menyelamatkan ibunya dari maut, namun efek dari perbuatan itu ternyata jauh lebih parah. Tindakan Barry Allen jadi membuat timeline dunia yang baru. Dunia tanpa Justice League. Dunia yang Batman dan Superman nya sangat berbeda dari yang ia kenal. Ketika General Zod datang ke Bumi, Barry Allen harus membentuk tim superhero di dunia tersebut, dan salah satunya dia harus melatih versi remaja dari dirinya di dunia itu untuk menjadi Flash yang baik dan benar.

Film ini ngasih sudut yang unik dari cerita origin superhero. Berbeda dari kebanyakan origin yang mengawali bahasan dari bagaimana si karakter punya kekuatan superhero, kita telah mengenal dan tahu kekuatan Flash saat cerita film ini dimulai. Yang belum kita kenal betul adalah siapa sosok Flash di balik topeng; sosok Barry Allen yang sebenarnya. Dukanya apa. Konflik personalnya apa. Sehingga walaupun sebagai Flash dia sudah kuat, tapi pembelajaran karakter ini terus bergulir. Lapisan inner journey inilah yang buatku cukup berhasil dipersembahkan oleh film. Bersama dirinya kita ditarik mundur melihat backstory Barry Allen sebagai seorang anak muda, serta juga origin dari kekuatannya ternyata seperti apa. Penceritaan dengan time travel ke masa muda karakter utama membuat kita melihat sang superhero dari sisi yang lebih berlayer. Dengan kelemahan personalnya sebagai human being yang jadi fokus utama dan terus digali. Ini mendaratkan karakternya. Hubungan Barry dengan ibunya, bagaimana perasaannya terhadap sang ibu, di situlah lajur film ini menyentuh hati para penonton.

Musuh yang harus dihadapi Barry sebenarnya memang bukan General Zod, melainkan dirinya sendiri. Film memang menyimbolkan ini dengan menghadirkan surprise villain yaitu si Dark Flash. Makhluk paradoks produk dari pilihan Flash untuk pergi ke masa lalu in the first place. Secara konteks, masuk akal kalo Flash harus mengalahkan Dark Flash karena menyimbolkan dia yang sekarang sadar untuk move on dan belajar dari kesalahan, harus mengalahkan dirinya yang masih ingin memperbaiki masa lalu. Namun anehnya, film tidak benar-benar membuat Barry Allen ‘kita’ menghadapi Barry Allen dunia lain itu. Film malah membuat Barry muda-lah yang ‘mengalahkannya’. Menurutku, film sebenarnya gak perlu membuat sampai ada tiga Barry Allen. Dua saja cukup. Supaya ‘pertarungan’ inner Barry itu terasa benar terefleksi pada pertarungan outernya. As in, biarkan Flash mendapat momen mengalahkan ‘antagonisnya’.  Film ini anehnya gak punya momen yang penting tersebut. Keseluruhan babak dua adalah tentang Barry Allen berusaha membentuk tim superhero (sekaligus mendapatkan kembali kekuatan supernya), konsep multiverse kicks in, kita melihat Batman-nya Michael Keaton, Superm..ehm, Supergirl-nya Sasha Calle, Kita melihat interaksi Barry berusaha menjalin persahabatan dengan mereka. Kita juga of course melihat interaksi Barry dengan dirinya versi lebih muda, yang sangat kocak. But there’s nothing beyond those characters dan keseruan melihat merkea, karena bisa diibaratkan kejadian di dunia mereka itu adalah kejadian Alice di Wonderland – kejadian untuk membuat Barry Allen ‘kita’ mempelajari kesalahannya. Hanya saja di film The Flash ini, Barry Allen sadar di tengah-tengah, dan tidak lagi bertarung mengalahkan siapa-siapa. I mean, bahkan Alice saja harus mengalahkan Queen of Hearts, Dorothy harus mengalahkan The Wicked Witch. Di film ini, final battle si Flash ada pada ketika Barry berdialog dengan ibunya. Yang sebenarnya memang menyentuh dan bagus, tapi meninggalkan kesan datar bagi penonton tatkala pertarungan dengan Zod dan Dark Flash sudah dibuild. Momen ‘kemenangan’ itu tidak terasa bagi penonton. 

Kayaknya ini film superhero pertama yang ada adegan hujan bayi ya?

 

Jadi aku sadar di situlah pentingnya outer journey. Inner dan outer harus dikembangkan berimbang karena jika hanya outernya saja, film akan jadi hiburan kosong. Dan sebaliknya, jika hanya innernya saja, maka seperti yang kita rasakan saat beres nonton film ini, kesannya jadi datar. Semua petualangan itu kesannya jadi buang-buang waktu. Setelah semua interaksi lucu Barry dengan dirinya versi muda, tanpa ada tensi yang dicuatkan, kita hanya melihat karakter itu sebagai tontonan si Barry. Koneksinya dengan Batman Keaton dan Supergirl juga kayak throw-away moment saja. Momen outer yang dikembangkan balance dengan inner journey cuma ada pada penutup, saat kemunculan satu karakter membuat Barry menyadari bahwa dia masih belum berada di dunia yang benar. Menurutku ini ending yang tepat sekali sebagai cara film ini mengomunikasikan bahwa semesta DC memang sudah sekacau itu. Bahwa there’s no going back. Melainkan mereka hanya bisa move on bikin ulang yang baru.

Dan ngomong-ngomong soal outer, ada satu yang paling terluar yang tak-bisa tak kita perhatikan dan mempengaruhi pertimbangan kita suka film ini atau tidak. Visual. CGI yang digunakan. Banyak dari adegan aksi di film ini, tampak kasar dan konyol. Raut wajah karakternya. Jurus-jurus berantemnya. Bayi-bayi itu! See, aku sebenarnya gak peduli sama efek realistis atau enggak. I mean, kita yang nonton film Indonesia biasanya udah maklum soal efek visual. Asalkan menghibur dan konsisten, tak jadi soal. Tapi jangan bilang kalo bad CGI itu adalah pilihan kreatif, semacam visual style ala Spider-Verse misalnya. Dan itulah yang menurutku terjadi di film ini. Mereka sebenarnya ingin membuat efek yang konyol untuk adegan-adegan kekuatan Flash saat sekitarnya jadi seperti melambat. Bad CGI itu pada akhirnya hanya alasan karena film gak mampu untuk bikin efek yang diniatkan dengan meyakinkan. Like, kalo memang mau cartoonish, maka tone film secara keseluruhan harus dibikin lebih selaras lagi untuk membangun efek tersebut. Pada film ini, konsep dan eksekusinya terasa belum klop. Sebagian besar film terasa seperti serius, maka pada adegan-adegan yang visualnya mestinya ‘bermain’ jatohnya tetap tampak sebagai CGI yang jelek.

 

Dinamika Flash dan Batman ngingetin ama Spider-Man dan Iron Man. Flash yang masih muda dan kocak memang sering dianggap padanan Spidey dari Marvel. Personally, Tom Holland menurutku lebih lucu sih daripada Ezra. Buat penggemar Tom Holland, di Apple TV+ ada serial baru yang ia bintangi loh. Judulnya The Crowded Room. Thriller psikologis, gitu. Yang pengen nonton bisa subscribe langsung dari link ini  https://apple.co/3NgkhiF

Get it on Apple TV

 

 




Di balik visualnya yang bisa bikin orang males nonton, sebenarnya film ini cukup unik, ngasih origin story dalam bentuk berbeda, dan punya muatan drama keluarga yang manis dan menyentuh – mengalir kuat di balik cerita multiversenya. Dari bingkisan luarnya, film ini memang parade nostalgia dan reference dan petualangan yang didesain untuk menghibur. Tapi kulit luarnya ini punya kelemahan pada bagian penyelesaian, yaitu tidak dibikin seimbang dengan isi di dalamnya. Sehingga kesannya jadi datar, dan seperti menghabis-habiskan waktu karena solusinya sebenarnya tidak perlu pakai petualangan sepanjang itu jika petualangan dan musuhnya yang sudah dibuild tidak lagi jadi penting di akhir. Tapinya lagi, jika film ini benar adalah terakhir dari DC sebelum dirombak ulang, kupikir film ini berhasil menyampaikan itu lewat ending yang cukup bergaya. Terlihat gak tuntas, tapi sebenarnya sudah menutup rapat-rapat.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE FLASH

 




That’s all we have for now.

Jika kita dibentuk oleh masa lalu dan kita berkembang dengan belajar darinya, apakah itu berarti kita yang sekarang pasti hanya akan dianggap jadi ‘kesalahan’ bagi kita di masa depan?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE Review

 

“You are your own worst enemy”

 

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Miles Morales menyadari itu tatkala dia bertemu dengan Spider-Man – Spider-Man lain dari entah berapa banyak universe berbeda. Orang-orang yang basically adalah dirinya sendiri. Yang punya kekuatan yang sama. Punya garis hidup dan masalah yang sama. Tentu it’s all fun and games kalo mereka sedang akur. Masalahnya, Miles gak bisa diam saja mengetahui dirinya dan juga Spider-Man lain bakal ngalamin kehilangan orang tersayang. Apalagi karena Miles masih punya unresolved conflict dengan ayahnya tersebut. Maka Miles pun mulai bergerak sendiri. Melawan ‘canon’ cerita Spider-Man. Melawan Spider-Society yang berusaha menjaga ‘canon’ tersebut. Ya, bagian kedua dari trilogi Spider-Verse ini didesain oleh sutradara Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K. Thompson sebagai perjuangan seseorang melawan takdir yang telah dituliskan.

Karena memang, meskipun telah digariskan, tapi kesempatan mengubah nasib masing-masing itu sebenarnya masih terbuka. Kita menulis cerita hidup kita sendiri. Kita cuma perlu mengalahkan diri sendiri untuk bisa melakukannya.

 

Kehadiran film animasi Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) lalu mengubah pandangan banyak orang terhadap apa yang bisa dilakukan oleh film animasi. Film tersebut bukan cuma punya cerita yang grounded yang berhasil mengikat soal pilihan hidup dengan konsep multiverse, tapi juga memperlihatkan potensi gila yang dipunya medium ini, jika punya kreativitas dan cukup nekat untuk melakukannya. Estetik buku komik yang dihadirkannya membuat nonton film itu serasa baca komik yang bergerak sendiri! Visual fluid lagi unik yang begitu groundbreaking tersebut lantas diadaptasi oleh berbagai film animasi sukses lain setelahnya, named Puss in Boots terbaru  yang berestetik anime dan The Mitchells vs. The Machines yang pake gaya kultur internet. Itulah, ketika film berlomba-lomba untuk ngasih kualitas yang bagus (bukan cuma berlomba ngejar ‘sekian penonton telah beli tiket di bioskop’) maka yang akan kita dapatkan ya kualitas yang bakal terus meningkat. Animasi Spider-Verse ini, contohnya.

Supaya gak kalah sama yang terinspirasi oleh film pertamanya, Across the Spider-Verse up the ante. Di film ini gambar-gambarnya meriah oleh berbagai macam estetik yang digabung menjadi satu. Estetik atau gaya animasi yang dipakai dikaitkan menjadi identitas karakter. Jadi, berbagai karakter dari bermacam semesta itu akan hadir lebih konsisten dengan estetik masing-masing. Spider-Punk yang dari Inggris, misalnya. Karakternya akan digambar dengan gaya grafiti anarki jalanan, sejalan dengan sifat karakternya yang punk abis. Salah satu musuh mereka, si Vulture, diceritakan datang dari Eropa jaman dulu, dan bentukannya juga klasik banget. Seperti coretan di kanvas kuning, gitu. Kalo penjahat utamanya, estetiknya lain lagi. Di sini kita berkenalan dengan karakter villain yang tadinya kayak harmless. Miles malah menjulukinya “Villain of the Week”, yang maksudnya sih meledek kemampuan anehnya yang tak seberapa. The Spot yang bentukannya item-putih tanpa wajah itu ‘cuma’ bisa bikin lubang-lubang yang bertindak semacam portal. Fight scene Spidey dan Spot awalnya tampak konyol, tapi karena portal-portal tersebut, adegannya jadi seru dan sureal. Unpredictable. Apalagi The Spot ternyata punya motivasi dendam yang cukup kuat terhadap Miles, sehingga kemampuannya tersebut berkembang menjadi lebih ‘menyeramkan’. The Spot-lah yang membuat anomali pada Spider-Verse karena dia bisa berpindah semesta seenaknya, dan ngambil kekuatan dari sana. Anomali yang akhirnya bikin rusuh seantero multiverse.

Aku masih ngakak dengar Nick New Girl jadi Peter Parker

 

Kita juga akan dibawa ‘verse’nya si Spider-Gwen, yang dunianya mungkin adalah yang paling ‘romantis’. Karena tergambar seperti ledakan warna cat air, yang warna backgroundnya seringkali berubah, meredup atau mencerah, sesuai mood cerita saat itu. Actually cerita Gwen sebagai (sepertinya) satu-satunya Gwen Stacy, the other love interest, yang jadi Spider-(Wo)man jadi salah satu perspektif pilar film ini. Film ini justru dibuka dari bahasan tentang Gwen dan dunianya. Tadinya kupikir film dibuka dari Gwen hanya sebagai device eksposisi, yang fungsinya menyegarkan ingatan kita kembali pada cerita film yang lalu. Tapi ternyata bahasan di situ cukup mendalam. Bumi-65 tempat Gwen tinggal akan disorot cukup banyak, kita akan lihat story si Gwen dan apa yang terjadi dengan Peter Parker di dunianya itu. Kita akan diperlihatkan juga relasi Gwen dengan ayahnya, yang kapten polisi. Dan di dua puluh menit pertama itu aku mulai merasa seperti punya spider-sense yang ngasih tahu ada sesuatu yang kurang beres pada naskah film ini.

Karena setelah dua-puluh menit, cerita lantas berpindah ke dunia Miles Morales. Kita akan diperlihatkan masalahnya dengan ibu dan ayah. Masalah yang grounded seperti Gwen dan ayahnya tadi. Bahwa anak-anak yang jadi superhero ini punya jarak dengan ayah mereka yang polisi. Meskipun memang buatku ini jadi pondasi drama yang kuat – karena biasanya dalam cerita superhero, protagonis justru punya masalah karena mereka harus mencari father figure, lantaran banyak superhero yang tidak tumbuh dengan sosok ayah, entah itu ayah kandungnya entah itu mati atau jadi jahat – tapi tetap saja film ini jadi aneh karena terasa seperti punya dua babak pertama. Dua babak set up. Untuk dua karakter utamanya, yang sepertinya film ini bingung mau nonjolin yang mana. Kedua karakter akan bertemu di babak kedua, yang involve banyak adegan aksi superseru. Salah satunya kejar-kejaran antara Miles dengan para Spider-Man. Yang menurutku inilah alasan kenapa para sutradara ‘gak jadi’ bikin film ini jadi perspektif cerita Gwen. Yang membuat mereka kembali ke Miles. Bayangkan John Wick dikejar-kejar satu kota, tapi ini adalah Spider-Man, dikejar oleh berbagai macam versi Spider-Man dengan berbagai macam kekuatan dan visual. Mereka pasti merasa sayang melewatkan ini. Cerita mulai memisah lagi antara Gwen dan Miles di babak ketiga. Gwen meresolve konfliknya dengan ayah. Sementara Miles, babak ketiganya belum berakhir karena dibikin sebagai cliffhanger. Dengan tulisan ‘bersambung’ pada layar!

Pengen nangis rasanya.. Damn you, Sony, for putting me on this tough spot!!

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Dan saat nonton film ini seperti ada pertarungan dalam diriku. Antara aku yang nonton untuk enjoy things, dengan aku yang nonton untuk mengulas tontonan tersebut sebagai film. Karena memotong film di tengah tidak akan pernah jadi penciri film yang bagus. It was a corporate move, to sell products! Bahkan dalam sebuah episode trilogi, ‘bersambung’ mestinya hanya dipakai untuk memancing minat penonton ke episode berikutnya setelah episode yang ini selesai. Or at least, ada sesuatu arc yang selesai. Jika film ini tetap pada Gwen sebagai tokoh utama, ‘bersambung’nya tadi akan bisa dioverlooked. Karena memang bahasannya dengan ayah, menemui penyelesaian di akhir. Contohnya film bagian kedua dari Trilogi Fear Street (2021). Secara picture triloginya, film itu memang episode flashback untuk pembelajaran karakter utama trilogi terhadap kekuatan musuh. Namun kita juga bisa melihatnya sebagai film utuh, sebagai cerita tentang seorang perempuan yang dibully dan relasinya dengan kakaknya di perkemahan musim panas. Sebuah cerita tertutup yang juga bertindak sebagai bridge ke bagian terakhir trilogi. Spider-Man: Across the Spider-Verse mestinya bisa bertindak seperti itu dengan menjadikan Gwen tokoh utama. Menjadikan ini sebagai closed story Gwen.  Story Gwen memang berakhir, tapi film membagi dua, dengan tetap memberatkan pada Miles. Memfokuskan action-action pada Miles, dan mengangkat banyak bahasan juga dari sana. Itu yang akhirnya bikin film ini tidak bisa berdiri sendiri. Tidak seperti film pertamanya yang masih mengangkat pertanyaan, sembari menuntaskan soal Miles dengan pilihannya. Film kedua ini bahkan tidak benar-benar berusaha memparalelkan kedua perspektif utamanya, sehingga kita jadi dapat dua babak satu dan dua babak tiga (yang satunya lagi dipotong). Gak heran durasi cerita bisa sangat molor, padahal pace cerita dan aksinya cepat-cepat semua.

 

 




Ini jadi satu lagi film yang membuat aku menangis. Karena aku memang sudah sangat suka. Gaya visual yang beragam, begitu unik dan ngasih sensasi magic of movies yang kuat. Seseorang di Twitter bilang “film ini membuat kita seperti melihat warna untuk pertama kalinya”, and somewhat aku setuju. Karakter-karakternya juga sukses bikin aku terpesona. Mereka semua menarik, dan tentu saja sangat kocak (karena mereka semua adalah Spider-Man yang memang harus lucu!) Aksinya superseru. Romance Gwen dan Miles cute dan sweet. Dan selera humor film ini juga cocok buatku. Referensi dan nostalgianya mungkin memang agak rapet. Mungkin gak semua penonton casual bisa menangkap. Karena seringkali jokes di sini membutuhkan ‘pengetahuan’ terhadap perkara Spider-Man, baik itu komik, film, atau media lain, yang sudah ada bukan dari kemaren sore melainkan bertahun-tahun. Favoritku adalah ketika Donald Glover interaksi dengan Miles Morales. Ini kocaknya layered banget, bukan saja karena Donald jadi Prowler versi live-action, tapi juga karena karakter Miles sendiri aslinya terinspirasi dari Donald Glover yang pengen jadi Spider-Man, dan kreator Spider-Man simply melihat Donald pakai kostum Spider-Man dalam salah satu episode serial komedi Community. Tapi in the end, aku tahu as much as I love it, aku gak bisa ngasih skor yang tinggi untuk film ini. Karena ini cerita yang tidak tuntas. Dan cerita tersebut tidak harus dilakukan dengan seperti ini. Ada opsi lain, yang mungkin memang lebih risky. But hey, seperti Miles yang menghadapi Spider-Man lain, kita semua harus bertarung dengan diri sendiri. Film harus bertarung melawan sisi korporatnya. Aku, well, I’m done fighting untuk film ini. Perkara sisi baik atau sisi jahat yang menang, itu lain cerita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE

 




That’s all we have for now.

Kira-kira apakah kalian akan akur dengan versi kalian dari universe lain? Atau apakah kalian punya versi dark sendiri, bagaimana kalian bisa mengalahkannya jika kalian harus bertarung?

Share di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 9 (SISU, RENFIELD, DEAR DAVID, GUY RITCHIE’S THE COVENANT, AIR, A MAN CALLED OTTO, KNOCK AT THE CABIN, CREED III)

 

 

Masa liburan memang biasanya blog ini kosong. Apalagi pas mau-mau lebaran. Wuih, jangankan nulis di depan komputer, menonton film aja aku jarang. Pengennya main video game sepanjang waktu hehehe… Alhasil seringkali aku balik ke realita, dengan pe-er seabrek. Kayak sekarang ini. Begitu banyak film yang dianggurin. Sebagian belum ditulis, sebagian belum kelar ditonton. Jadilah sepanjang bulan Mei ini aku kayak anak sekolah yang ngebut belajar sampai larut malam. Delapan film inilah yang akhirnya terpilih untuk ku kompilasi jadi mini-review volume ke-sembilan!

 

 

 

AIR Review

Sebagai anak nongkrong 90an, kata ‘Air Jordan’ memang cukup familiar buatku, walau aku bukan penggemar sepatu ataupun olahraga basket. Karena waktu itu, Air Jordan memang terkenal banget. Sepatu paling keren di dunia. Sehingga dijadikan guyon. Kalo anak-anak kampung seperti kami beli sepatu baru, pasti tuh sepatu langsung diinjak di tempat sama teman-teman yang lain sambil mereka bersorak “Wuih, sepatunya Air Jordan!!”

Baru di umur seginilah, berkat film Air karya Ben Affleck, aku paham ‘kekerenan’ Air Jordan. Bahwa itu adalah sepatu yang khusus dibuat Nike untuk Michael Jordan. Sepatu yang benar-benar diperjuangan supaya bisa dikenakan oleh calon mega atlet basket itu. Film ini dirancang memang bukan untuk membahas gimana Michael Jordan menciptakan kerjaan endorse, tapi lebih kepada cerita tentang Nike yang mengambil resiko besar. Gambling dengan stake yang begitu besar. Matt Damon’s Sonny, tokoh utama cerita, bahkan mempertaruhkan rumahnya, keluarganya. Stake, itulah yang benar-benar jadi kunci pada film ini. Kita melihat para karakter terus mengorbankan something yang terus membesar, karena mereka percaya pada si Michael Jordan. Film yang arahannya tidak cakap, akan ngelantur kemana-mana, tapi Air tetap pada jalur. Film ini sendirinya mengambil resiko dengan tidak ngecast Michael Jordan. Dalam film, karakternya cuma disorot dari belakang – tanpa dialog berarti dan tidak pernah jadi fokus kamera. Supaya ceritanya tetap pada perjuangan Sonny, pada gambling yang ia lakukan demi perusahaan.

Kekuatan Air berikutnya ada pada akting. Monolog si Sonny saat membujuk Jordan, jelas jadi highlight. Viola Davis juga jadi presence yang dominan meski screen timenya gak banyak. Dan aku juga terhibur sama Chris Tucker, ni orang kocak tapi jarang banget main film! Air dengan mudah jadi cerita dengan drama yang menghibur dan satisfying. Meskipun, dari segi penulisan, aku pengennya film ini lebih menggali Sonny sebagai person lagi. Plot karakternya yang sering ditegor kurang olahraga lebih dipertegas. Karena menurutku film ini kadang agak ‘rancu’ sudut utama di sini adalah Sonny, atau perusahaan Nike secara keseluruhan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AIR

.

 

 

A MAN CALLED OTTO Review

A Man Called Otto karya Marc Forster ini semacam kebalikan dari Air. Karena film justru berangkat dari gak ada stake. Otto ceritanya udah mau mengakhiri hidup. Tanpa teman dan kerabat, dia yang baru saja pensiun merasa urusannya di dunia udah rampung semua. Menyusul istrinya yang udah duluan ‘pulang’. Tapi kemudian tetangga barunya menggedor pintu. Kerap minta bantuan, menginterupsi  Otto yang hendak bunuh diri dengan segala macam urusan sepele.

Perlahan, dramatic irony dan emotional feeling itu terbendung. Kita yang tadinya ngerasa cerita ini gak ada stake, akan terattach dengan Otto sehingga kini kita gak pengen dia bunuh diri. Kita bisa melihat bahwa Otto yang kesepian itu ternyata sangat berarti bagi tetangga-tetangganya (dan juga seekor kucing gelandangan). Bahwa masih ada alasan untuknya hidup di dunia. Journey emosional film ini terletak pada kita ingin Otto melihat alasan itu juga, Kita ingin pria tua penggerutu ini melihat bahwa dia sebenarnya gak kesepian. Film gak berhenti sampai di situ karena babak ketiga film ini bahkan bakal lebih kerasa lagi. Feeling serene, peaceful tapi tak pelak sedih, berhasil tercapai, membungkus film jadi perjalanan manis. Tom Hanks juara banget jadi Otto. Clearly, kisah adaptasi ini lebih tepat untuknya karena akhirnya kita yang muda-muda ini bisa lihat bukti betapa legendnya akting drama Tom Hanks. Sesekali film akan membawa kita ke masa muda Otto – untuk memperdalam bahasan cinta – dan karena aktornya beda, kadang akting di bagian flashback ini kerasa jomplang. Membuat kita pengen cepat-cepat balik lagi ke masa Otto yang sekarang.

However, yang paling menarik dari film ini tentu saja adalah gambaran kehidupan bertetangganya. Dan kupikir film ini bakal punya dampak esktra buat penonton modern yang gak ngalamin lingkungan tempat tinggal seperti ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A MAN CALLED OTTO

 

 

 

CREED III Review

Ketika Michael B. Jordan bilang dalam menggarap aksi film ini dia terinspirasi banyak anime, dia enggak bohong. Dan dia melakukan itu bukan hanya untuk gaya-gayaan, tapi karena dia tahu bahwa Creed III butuh pengadeganan yang khusus untuk mendeliver pukulan-pukulan emosional yang didera oleh karakternya.

Mana lagi coba film tinju yang bikin adegan saat bertinju, dua karakternya tau-tau ada di tengah ring dalam arena kosong melainkan oleh kabut-kabut psikologis. Dan suara yang kita dengar cuma suara mereka bertinju. Sungguh adegan antara dua orang yang sangat personal dan ngasih banyaklayer ketimbang bikin mereka bertinju seperti biasa. Creed III memang gak main-main soal film ini mau memfokuskan kepada karakter Adonis. Masa lalunya memang benar-benar dikonfront lewat banyak hal, yang puncaknya ya menjelma sebagai sahabat yang dulu pernah ia tinggalkan. Dengan kata lain, dalam Creed III terada ada banyak pertarungan, saking berlapisnya cerita.

Yang jadi permasalahan banyak orang dari film ini, termasuk bagiku adalah, mereka sama sekali tidak menampilkan Rocky. Padahal cerita Adonis berkaitan erat dengan Rocky. Heck, perjuangan Damian basically sama dengan perjuangan Rocky, bedanya Damian ini dipenuhi rasa cemburu. Bisa dibilang, Damian adalah Dark Rocky. Aku mengerti kenapa film memutuskan untuk gak menampilkan karakter Rocky dalam kisah yang pure tentang background Adonis. Alasannya sama dengan ketika Air memutuskan untuk gak full nampilin Michael Jordan. Supaya fokusnya tetap pada Adonis. But come on, bahkan Air saja bisa nemuin cara ‘cantik’ dalam menampilkan Michael Jordan. Rocky mestinya bisa tetap tampil dalam kapasitas dan treatment seperti demikian. Menge-cut dirinya secara keseluruhan justru bikin aneh cerita, karena hampir tidak terasa seperti kelanjutan normal franchise ini

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for CREED III

 

 

 

DEAR DAVID Review

Dulu pernah ada serial TV berjudul Aliens in America, yang salah satu episodenya tentang si karakter yang ketahuan suka menggambar vulgar tokoh-tokoh di dalam novel tugas sekolah. Sekolah jadi gempar, sampai buku-buku bacaan siswa diperiksa. Si karakter merasa bersalah, merasa ada yang gak beres dengan dirinya yang selalu mikir jorok, sehingga ayahnya akhirnya memberi penjelasan bahwa semua itu normal dan itu bukan salahnya. Penyelesaian dan pembahasan serial konyol dua-puluh-dua menit itu bahkan terasa lebih grounded dan manusiawi ketimbang Dear David karya Lucky Kuswandi.

Kenapa aku sampai tega bilang begitu? Karena Laras yang ketahuan mengarang cerita vulgar tentang teman sekelasnya, dalam Dear David, tidak pernah dibikin berkonfrontasi dengan gairahnya tersebut. Laras tau-tau di akhir film langsung mantap menyebut itu bukan salah dia, karena sebagai remaja dia punya gejolak. Sedangkan bagian tengah film, dihabiskan dengan ngalor-ngidul membahas hal-hal yang gak benar-benar paralel dengan tema tersebut. Tidak ada interaksi yang mengajarkan Laras atas masalahnya. Saking kemana-mananya, banyak penonton yang merasa tersinggung dan menganggap film ini tidak peka. Dengan malah membuat karakter korban jadi bucin pengen pacaran, misalnya. Padahal jika dilihat konklusi di akhir, film ini sebenarnya menunjuk antagonis pada sekolah. Yang tidak pernah mengayomi korban, tidak pernah melindungi murid, tidak benar-benar menganggap serius yang terjadi pada muridnya, melainkan hanya peduli pada citra sekolah. Tapi itu pun tidak pernah dibangun dengan mulus, cerita tidak langsung fokus kepada masalah itu.

Mungkin film ingin seperti slice of life. Menceritakan keseharian anak-anak di sekolah itu, dan bagaimana mereka bertindak saat ada kasus Laras. Antagonis sekolah bisa mencuat dari sana. Tapi kupikir, untuk mencapai ini, film harus meringankan tone-nya sedikit. Dear David took itself very seriously, sehingga sikap-sikap khas remaja karakternya tadi jadi tampak sebagai kekurangpekaan film.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEAR DAVID

 




GUY RITCHIE’S THE COVENANT Review

Utang budi dibawa mati. Drama perang yang diangkat Guy Ritchie dari kisah-kisah tentara selama Perang Afganistan mencoba menggali bagaimana persahabatan yang begitu kuat bisa tumbuh antara tentara dengan seorang penerjemah lokal. Jake Gyllenhaal jadi sersan John Killey yang nyawanya diselamatkan oleh Dar Salim’s Ahmed, penerjemah yang tadinya kurang ia percaya. Jake dan Salim punya chemistry yang kuat, interaksi karakter mereka selalu menarik untuk disimak. Masalah pada film yang banyak shot survival tembak-tembakan keren dan efek psikologisnya kena ini buatku adalah porsi John ‘berhutang’ actually lebih exciting ketimbang porsi dia mencoba membayar kebaikan Ahmed – yang mana harusnya ini yang dijadikan sorotan utama.

Jadi film ini seperti terbagi atas dua cerita. Pertama saat pasukan John dibantai oleh pasukan Taliban, sehingga tinggal John dan Ahmed saja yang berusaha survive. Sampai akhirnya John tertembak, dan Ahmed menggotongnya, berjalan berhari-hari ke markas Amerika terdekat, tanpa ketahuan Taliban. Bagian kedua adalah tentang John – kini sehat wal afiat di rumahnya di Amerika – berusaha mencari keberadaan Ahmed yang jadi buronan Taliban sejak menyelamatkan dirinya. Bagian kedua ini tidak bisa se-wah bagian pertama, meski nanti John memang kembali ke afganistan, dan mereka jadi buron berdua. Bagian pertama, aksi dan interaksi saat elaborate. Intensnya terasa. Sedangkan pada bagian kedua yang lebih emosional, film tidak pernah yakin untuk fokus ke sana, sehingga bagian ini terasa setengah-setengah.

Bahasan film ini relevan dan penting. Menurutku cuma konsep penceritaannya saja yang mestinya bisa lebih dimainkan lagi karena, untuk kasus film ini, menceritakan dengan linear terasa kurang maksimal.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GUY RITCHIE’S THE COVENANT

 

 

 

KNOCK AT THE CABIN Review

Kita selalu kepikiran M. Night Shyamalan setiap kali dengar kata ‘plot-twist’. Kita selalu expect film-filmnya bakal punya somekind of surprise di akhir. Jadi, inilah kejutan yang ditawarkan Shyamalan pada Knock at the Cabin; tidak ada twist! Film ini ‘serius’ berbincang tentang cinta dan pengorbanan, lewat keadaan yang diset untuk terus membuat kita menebak-nebak.

Empat orang tak dikenal menyatroni kabin di tengah hutan, tempat seorang anak kecil dan dua ayahnya berlibur. Empat orang yang dipimpin oleh Batista itu memang berusaha tampak ramah, tapi mereka punya maksud kedatangan yang mengerikan. Mereka menyandera keluarga tersebut. Mereka bilang dunia sedang kiamat, dan cara menyetopnya adalah salah seorang dari keluarga bahagia di kabin itu harus mengorbankan diri. Bayangkan harus memilih antara bahagia tapi orang lain sengsara, atau berkorban – kehilangan satu orang yang kita cintai – supaya semua orang bahagia. Film ini akan memenuhi pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan. Kesanku nonton ini persis kayak waktu dibentak dan ditanya-tanya senior pas ospek kuliah dulu. Stakenya tinggi, kita merasa tahu ke mana arah semuanya, tapi tetap kita terdiam dalam keraguan. Such power yang dimiliki oleh penceritaan film ini.

Batista sekali lagi nunjukin dia bukan sekadar mantan pegulat yang cari nafkah lain. Karena highlight film ini salah satunya ada pada aktingnya. Di sini dia bakal bawain monolog-monolog, serta juga ada aksi-aksi, dengan permainan emosi yang harus ditahan. Secara akting dan isi, film ini keren. Namun menurutku cerita seperti ini kurang mampu bertahan lama sebagai film panjang yang contained, karena hal bisa terasa repetitif di akhir. Poin-poin yang ditekankan dapat menjadi cringe setelah semua yang disangka oleh penonton ternyata tidak terbukti. Apalagi karena memang film kurang menggali protagonis ataupun karakternya – since mereka semua sebenarnya  ‘cuma’ sebagai konsep, sebagai ‘contoh kasus’ saja.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for KNOCK AT THE CABIN

 

 

 

RENFIELD Review

Relasi antara bos dan karyawan memang bisa jadi begitu toxic. Bos akan terus menjanjikan naik pangkat atau semacamnya, tapi gak pernah delivered. Karyawan yang sudah jadi bergantung, mau nuntut juga susah. Malah digaslight. Mau keluar apalagi. Chris McKay menyimbolkan relasi toxic itu ke dalam hubungan antara Familiar dengan masternya, Drakula. Ini jadi kocak, karena memang di cerita vampir-vampiran, jokes biasanya selalu datang dari Familiar – manusia pengabdi selalu dijanjikan bakal dijadiin vampir, tapi mana ada bos yang mau karyawannya jadi bos juga hahaha

Duet dua Nicolas jadi kunci film ini. Nicolas Cage, sekali lagi nunjukin betapa dia begitu komit dalam peran apapun. Di sini, dia ngasih performance yang sungguh menghibur sebagai Drakula. Seram dan jahat, iya. Tapi dia juga paham assignment, bahwa si Drakula ini adalah bos dari karyawan yang berusaha nuntut hak. Satunya lagi, Nicholas Hoult juga tampak simpatik, sebagai Familiar dia terasa familiar. Akrab. Alias gampang relate. Kecerdasan naskah ini ngasih perlambangan, ngarang pengadeganan, membuat film menjadi kocak menghibur. Bahkan ketika adegan aksi yang penuh gore over-the-top datang. Tetap seru.

Sayangnya film ini kebanyakan main-main. Persoalan polisi dan kelompok mafia pada akhirnya terasa jadi pengganggu dalam cerita Drakula dan abdinya. Membuat sudut pandang jadi ke mana-mana, tanpa ada ujung yang benar-benar ngefek ke cerita utama. Karakter polisi si Awkwafina buatku malah jatohnya jadi annoying, film jadi kayak mencoba too hard untuk membuat si polisi dan si Renfield jadi pasangan yang kocak dan sweet.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for RENFIELD

 

 

 

SISU Review

Salah satu aspek menarik dari John Wick original adalah ketika dia dianggap Baba Yaga. Ketika semua orang-orang dunia hitam itu gemetar membicarakan nama dan reputasinya. Sisu karya Jalmari Helander membawa aspek ini ke level berikutnya.

Sisu bisa dibilang istilah Finlandia untuk momok semacam Baba Yaga. Sisu berarti keberanian, determinasi, tak kenal menyerah, tak bisa mati. Karakter utama kita, seorang bapak-bapak, mantan tentara yang kini hidup sebagai penambang emas. Ketika satu-satunya sumber nafkah itu direbut oleh Nazi yang bertemunya di jalan pulang, bisa dipastikan balas dendam gila akan terus terjadi. Bahkan tentara Nazi gemetar ketika tahu siapa sebenarnya bapak, yang bahkan gak pernah bicara, yang terus mengejar mereka itu. Jalmari Helander memang juga sekalian membawa ‘balas dendam gila’ ke level berikutnya.

Luar biasa memuaskan, melihat aksi-aksi gore brutal yang disajikan film. Inilah yang sepertinya diincar; supaya penonton melihat Nazi kocar-kacir secara mengenaskan. Aksi-aksi tak-masuk akal menghiasi adegan-adegan Sisu yang temponya dijaga cepat. Dan memang menghibur. Tapi ketika hal-hal tak masuk akal diletakkan kepada cara-cara si bapak bisa terus hidup walau sudah digantung atau semacamnya, film tak lagi menyenangkan. Malah jadinya lebay yang merampas kita dari stake cerita. Konsep Sisu yang tak-bisa mati membuat film bebas ngadain banyak cara supaya si bapak bisa tetap hidup, akhirnya membuat keseluruhan film jadi mati konyol bagiku. Tone dramatis yang dibangun film jadi seperti terlupakan. Aku malah perlahan jadi lebih tertarik sama karakter pemimpin Nazi, yang motivasi dan tantangan dan stakenya benar-benar ada – tak dilindungi oleh plot nonsense yang bikin karakternya tak lagi manusiawi.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SISU

 

 




That’s all we have for now

Kita sudah mulai masuk caturwulan kedua 2023, tapi ternyata aku belum menemukan film yang pantas mendapat nilai di atas 8. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GUARDIANS OF THE GALAXY VOL.3 Review

 

“All of us are imperfect human beings living in an imperfect world”

 

 

Sekali lagi kelompok misfit penjaga galaksi ini dikapteni oleh James Gunn. Tapi kali ini adalah terakhir kalinya Star-Lord, Nebula, Drax, Mantis, Rocket, Groot, Gamora, dan kawan-kawan bertualang bersama. Ini juga terakhir kalinya bagi pak sutradara berkiprah di jagat sinematik Marvel. Maka pantas saja beliau memastikan semuanya terasa spesial. Guardians of the Galaxy Volume Tiga ini ia bentuk sebagai salam perpisahan yang epik. Yang bukan para karakternya saja yang mendapat akhir perjalanan yang melingker dan benar-benar pengembangan keren dari awal mula mereka. Kita yang nonton pun merasa mendapatkan konklusi memuaskan dari petualangan panjang yang seru, penuh musik dan penuh warna. Film superhero Marvel yang satu ini buatku benar-benar terasa seperti akhir dari sebuah era!

Jalan cerita film ini juga sama seperti beberapa film Marvel belakangan ini. Contained di dunia sendiri, not really meddling around dengan multiverse yang membingungkan, dan terasa seperti episode kartun minggu pagi. Akibat serangan mendadak Adam Warlock ke  Knowhere – kota tempat para Guardians tinggal – Rocket terluka parah. Ini menyadarkan Peter Quill yang masih depresi kehilangan begitu banyak orang yang ia cintai. Gak mau kehilangan Rocket yang ia anggap sebagai bestie, Peter mengajak para Guardians yang lain untuk menginfiltrasi lab tempat Rocket ‘diciptakan’. Tapi aksi penyelamatan oleh Star-Lord dan kawan-kawan itu ternyata adalah jebakan. Karena dalang di balik penyerangan kota mereka adalah si High Evolutionary, orang yang merasa dirinya Tuhan, orang yang ingin menciptakan spesies dan dunia yang sempurna. Orang kejam yang bereksperimen dengan berbagai macam hewan, dan tanpa kasihan membunuhi ciptaannya yang gagal. Rocket actually adalah ciptaannya yang sukses, dan sekarang dia bermaksud untuk mengambil kembali otak cerdas si rakun!

Ketika Guardians of the Galaxy jadi pahlawan super PETA!

 

Cerita petualangan superhero bermuatan seperti yang dipunya film ini seolah ditakdirkan untuk sukses. Gampang disukai. Gimana tidak. Guardians of the Galaxy punya karakter yang begitu colorful sifatnya. Karakter yang sudah matang dimasak dari at least dua film sebelumnya. Interaksi mereka di sini jadi semakin natural. Ketika mereka bertengkar, saling menggoda, mereka terasa seperti keluarga beneran. Relate seperti interaksi antara orang-orang yang sudah sangat akrab. Duo Drax dan Mantis paling banyak mencuri tawa; Batista semakin jago ngelock-on timing komedinya, sementara Pom Klementieff pun semakin ahli membawakan karakternya yang bermata besar jadi adorable kayak cewek anime. Tapi tone ringan dan interaksi segar gak terbatas milik mereka. Volume Tiga actually punya banyak karakter, dan Gunn gak ragu untuk menggali sisi humanis mereka semua. Karen Gillan juga akan membuka sisi-baru karakternya karena di film ini journey Nebula jadi salah satu yang circled-backnya berakhir paling manis. Nebula akan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Dan bicara tentang ‘orang’, Volume Tiga ini melakukan yang dilakukan oleh Taika Waititi kepada karakter utama dua film Thor terakhir, tapi juga kepada karakter anak buah musuh dan ‘NPC’. Menjadikan mereka bertingkah kayak orang normal di keseharian kita. Mereka semua kayak punya cerita dan kehidupan di luar momen mereka nampil di layar. Bahkan Adam Warlocknya si  Will Poulter yang mestinya jadi sub-boss dengan kekuatan mengancam aja, ternyata sayang binatang. Hal ini membuat vibe film ini terasa lebih dekat dan semakin kocak lagi.

Tentunya yang terpenting untuk film ketiga adalah fresh. Keunikan. Atau paling enggak kebaruan yang dimunculkan dari elemen yang familiar. Aspek ini terwujud lewat interaksi antara Gamora dengan para Guardians, khususnya dengan Peter Quill. Gamora yang bareng-bareng mereka, yang pacar si Peter itu, telah tewas, dan Gamora yang diperankan oleh Zoe Saldana di sini merupakan Gamora dari masa lalu yang belum kenal mereka. Gamora yang esentially pribadi yang berbeda. Sehingga dinamika karakter mereka pun jadi berbeda. Peter yang masih belum move on, berusaha terus mendekati Gamora, while cewek-hijau yang kini anggota Ravager itu terus menolak. Chris Pratt on mission kentara lebih menyenangkan untuk disaksikan ketimbang Pratt yang mabuk-mabukan di awal cerita. Development kecil yang dimiliki oleh Gamora dan Peter terkait relasi mereka di sini, jadi salah satu hati yang dipunya oleh cerita. Yang aku suka adalah film ini berani menegaskan diri sebagai ‘salam perpisahan’ yang membuat relasi dua orang ini terasa semakin dewasa. Karena ini basically cerita tentang dua lover yang jadi orang asing – some of us mungkin bisa relate dengan kisah cinta mereka. Film ini bisa membantu mencapai closure yang matang dari gimana Gamora dan Peter berakhir nantinya.

Arahan Gunn pun terasa kian matang. Volume Tiga terasa semakin enerjik lewat aksi cepat, di dunia yang imajinatif. Desain estetik lab biologisnya unik. Pun punya kontras yang chilling ketika film mulai menyentuh elemen cerita yang lebih dark. Yang paling kentara enerjiknya itu adalah gimana lagu-lagu rock populer yang sudah jadi ciri khas Guardians of the Galaxy dimasukkan sebagai suara-suara diegetik (suara yang beneran didengar oleh karakter di dalam cerita). Musik-musik itu selain bikin kita semakin seru menonton aksi yang dihadirkan, juga menambah layer adegan karena keberadaannya berhubungan langsung dengan pilihan karakter. Misalnya, di opening, Rocket berjalan keliling kota sambil muterin lagu Creep. Lagu yang cocok mewakili mood si Rocket yang lagi mengenang masa-masa dia pertama kali punya kesadaran (setelah jadi percobaan di lab High Evolutionary), yang turns out setelah kita sampai di bagian akhir film dan telah menangkap bahwa film ini adalah tentang orang-orang tak sempurna yang membuat dunia jadi terasa sempurna ternyata lagu itu juga mewakili tema dan plot keseluruhan film.

Bertahun-tahun High Evolutionary berusaha menciptakan spesies sempurna. Membangun, dan menghancurkan. Begitu terus. Dia tidak pernah mendapat kesempurnaan itu. Karena memang tidak ada yang sempurna. Hidup penuh oleh hal-hal yang tidak sempurna, oleh orang-orang yang tak sempurna. Justru dari situlah datangnya harmoni yang menjadikan hidup berharga. Guardians of the Galaxy pada akhirnya merayakan ketidaksempurnaan mereka, ketidaksempurnaan keluarga mereka. Salam perpisahan Peter Quill sejatinya adalah salamnya kembali pulang ke rumah, ke keluarganya yang tidak sempurna.

 

Ada banyak Shiragiku!!!

 

Selain sebagai salam perpisahan, film ini tepatnya bertindak sebagai transisi. Era James Gunn dengan Guardians Galaxy-nya memang telah berakhir, tapi seperti yang ditampilkan pada mid-credit scene, akan ada Guardians Galaxy generasi baru. Film Volume Tiga ini dengan baik mengeset perpindahan itu dengan membuat kita lebih dekat mengenal sosok yang berpengaruh nantinya, yakni si Rocket. Masa lalu Rocket sebagai makhluk ciptaan (dari rakun beneran) dieksplor habis-habisan di sini. Cerita akan bolak-balik antara misi penyelamatan oleh Star-Lord dkk dengan flashback masa lalu Rocket. Bagian flashback yang disebar di sana-sini tersebut memang penting dan tak bisa dipisahkan dari film, tapi ada kalanya flashback ini jadi problem bagi keseluruhan penceritaan. Yang jelas, tone jadi aneh. Volume Tiga really juggling dari ekstrim ke ekstrim. Dari ekstrim fun, ke esktrim dark. Gunn toh berusaha menjaga ritme dengan editing dan timing yang precise membangun feeling. Hanya saja sama seperti lirik lagu; gak semua yang ritmenya sama itu make sense. Kayak soal Rocket yang berkata dia gak akan membunuh High Evolutionary karena dia adalah Guardians of the Galaxy, perkataan yang cool kalo saja pada beberapa adegan sebelumnya kita enggak melihat Star-Lord literally membunuh si Mateo Superstore saat mereka terjun bebas kabur dari pesawat. Flashback-flashback itu seperti jadi mengganggu bangunan film.  Kadang flashback itu muncul dengan menyalahi aturan yang sudah disetup oleh film sendiri. Flashback yang merupakan kenangan dari Rocket itu tertangkap basah muncul tanpa ada Rocket – jadi setelah adegan dari karakter lain, tau-tau kita dibawa ke ingatan Rocket. Menurutku film ini mestinya bisa ngerem sedikit, untuk merapikan hal-hal yang seperti ini.

Bagian flashback itu yang bikin penonton banyak terharu. Ngelihat Rocket ternyata dulu punya teman-teman sesama makhluk buatan, dan tentu saja kita tahu ke arah mana nasib teman-teman Rocket itu. Bagus sebenarnya gimana dengan ini berarti ada film superhero yang gak melulu bicara tentang menyelamatkan manusia. Bahwa hewan juga adalah makhluk hidup, dan mereka juga sama pantasnya untuk diselamatkan dengan manusia. Masalahnya buatku adalah penjahat yang hanya cartoonish. High Evolutionary hanya seperti penjahat kartun yang kejam dan jahat. Gampang memancing simpati dan heat penonton dengan nunjukin orang yang bertindak kejam (and really loud) kepada hewan atau makhluk lemah. Menurutku High Evolutionary mestinya bisa diperdalam sedikit. Karena bahkan motivasinya yang pengen nyiptain spesies sempurna untuk dunia sempurnanya itu mirip-mirip sama motivasi Thanos – yang sudah terbukti bisa punya penggalian dan dimensi lebih banyak. Chukwudi Iwuji’s High Evolutionary cuma kejam, melotot, dan berteriak-teriak – masih mending kalo masih terasa kayak penjahat kartun, teriak ngamuk sekali lagi bisa-bisa ngeliat dia jadi berasa sama aja kayak ngeliat mertua galak di sinetron istri tersiksa hahaha

 




Nice send off buat era superhero misfit yang dibesarkan oleh James Gunn. Semua karakter utama mendapat development dan akhir journey yang memuaskan. Sekaligus bikin penasaran untuk film selanjutnya. Energi film ini benar-benar tumpah ruah, membuatnya jadi tontonan super yang menghibur, seru, dan tertawa-tawa. Film-film Guardians Galaxy selalu punya nilai lebih bagi penggemar rock, dan begitu juga dengan film ini. Tapi sama seperti yang dibicarakan naskah, bagiku juga tidak ada film yang sempurna. Penceritaan yang melibatkan bolak-balik antara petualangan dengan eksposisi backstory mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Seenggaknya, bisa dilakukan dengan lebih konsisten pada rulenya sendiri. Secara objektif, flashbacknya masih kurang rapi. Tapi di samping itu, I have a blast watching this. Kayaknya aku bakal lanjut nonton film action barunya si kapten Amerika bareng Ana de Armas di Apple TV+ buat cooling down. Kalian bisa juga dengan subscribe di link ini yaa https://apple.co/3W0emlN

Get it on Apple TV

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 3

 

 

 




That’s all we have for now.

Orang berbuat kejam/kasar kepada hewan juga kerap terjadi di sekitar. Menurut kalian kenapa sih orang-orang bisa setega itu?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE SUPER MARIO BROS. MOVIE Review

 

“Physical bravery attracts most attention. But courage takes many forms”

 

 

Sega punya Sonic, Nintendo punya Mario. Sebagai anak 90an, itu perang-base pertama yang aku ikuti. Perang konsol video game rumahan, dengan maskot game masing-masing. I’m more of a Nintendo boy, tho. Aku lebih suka main Mario – yang menurutku lebih simpel dan lucu ketimbang Sonic. Gamenya juga kulebih menikmati buatan Nintendo (seenggaknya, sampai Sony PlayStation dengan Crash Bandicoot datang haha) Di ranah game-yang-jadi-film, however, kesuksesan Sega mengadaptasi Sonic sehingga dibikin sekuelnya, tampak bikin Nintendo gak mau kalah dan akhirnya mengeluarkan kembali IP game kesayangan mereka ini ke layar lebar!  Yup,  Mario Bros, memang dilindungi banget oleh Nintendo. Setelah live-action yang really cringe tahun 90an dulu itu, Mario hening. Gamenya aja yang terus keluar dengan berbagai variasi, tapi itu pun ekslusif untuk konsol Nintendo. Mulai dari side-scrolling, RPG, 3D Adventure, Balap, Berantem-berantem, bahkan random Sports. Aaron Horvath dan Michael Jelenic punya kesempatan emas dan lapangan bermain yang luas buat bikin film full CGI tukang ledeng bersaudara yang benar-benar compelling, melihat dari ragam dan gedenya IP ini. Jangan mau kalah dong ama Sonic. Tapi nyatanya, duo sutradara kita memang menebar banyak referensi dan merangkai cerita dari sana. Membuat film Mario Bros ini fun bagi kita yang mengenalnya, tapi hati film ini ada di ‘kastil’ yang lain.

Belajar dari kesalahan film live-actionnya dulu – serta kesalahan adaptasi game ataupun animasi yang suka tau-tau masukin karakter manusia yang gak ada di materi aslinya – film Mario Bros. sebenarnya memulai dengan langkah yang lebih mantap. Setidaknya, film tahu sisi unggul Mario Bros. Karakter manusia di tengah Mushroom Kingdom. Dan mereka membuatnya ya animasi semua. Didesain semirip mungkin dengan gamenya. Secara cerita, kubilang, film ini merangkai set up yang cukup bisa mendaratkan karakter. Mario dan Luigi hidup di ‘dunia nyata’, mereka bekerja sebagai tukang ledeng, dan mereka ini diledek oleh keluarga karenanya. Mario dan Luigi di film ini diceritakan sebagai dua orang dewasa yang diremehkan karena mereka kecil, dan kerjaan mereka juga dianggap sepele. Relasi antara Mario dan Luigi juga dibangun. Mario lebih berani dan jago, sementara Luigi orangnya agak penakut dan khawatiran. Sebagai animasi yang persis game, meski karakter mereka manusiawi, toh kita tetap melihat mereka melakukan kerjaan tukang ledeng dengan cara yang cartoonish, sehingga film tetap berjalan lucu dan menghibur. Saat ingin membantu beresin masalah banjir di kota Brooklyn, dua bersaudara ini tersedot pipa aneh yang membuat mereka terpisah. Mario sampai di Mushroom Kingdom, Luigi mendarat di wilayah Koopa yang dipimpin oleh Bowser, yang lagi dalam misi memperluas kekuasaan. Mario nanti akan bekerja sama dengan Princess Peach untuk mengalahkan Bowser, dan menyelamatkan Luigi

Ini bukan tentang Mario mukulin Bowser sampai pingsan, terus direkam, karena disuruh sama Peach loh ya

 

Yup, film ini memang punya kreasi tersendiri sebagai bentuk adaptasi yang mereka lakukan. Karakter Peach disesuaikan dengan masa sekarang, saat cewek gak lagi melulu diselamatkan. Peach di sini, digali sebagai Princess yang punya sisi petualang, yang lincah dan jagoan. Karakter-karakter lain seperti Donkey Kong, dan bahkan si Bowser sendiri juga diperlihatkan dari sisi yang berbeda, tapi kita masih tetap mengenali mereka sebagai karakter yang sudah kita kenal. Soal sedikit perbedaan ini, Mario sendiri juga disorot bahkan sebelum film ini tayang. Yakni soal aksen dan suara Mario yang terdengar berbeda dari versi video game. Chris Pratt yang nyuarain Mario sempat dirujak netijen karena suaranya beda, tapi ternyata film ini punya alasan untuk membuat Mario terdengar seperti ‘normal’. Karena ternyata aksen italia Mario dan Luigi itu, diceritakan sebagai gimmick mereka untuk iklan doang. Aksen itu cuma untuk menarik perhatian. Sehingga, sekarang kita bisa mewajarkan kenapa Mario suaranya seperti Chris Pratt bicara normal – karena Mario supposed to be orang biasa juga, yang masuk ke dunia ajaib di ujung pipa.

Bicara soal pengisi suara, menurutku Pratt menghidupkan Mario dengan baik, suaranya terdengar antusias, bingung, atau lainnya pada momen-momen yang tepat. Terkadang Mario akan bersorak ala game, dan Pratt tidak terdengar maksa ngucapinnya. Voice akting yang menonjol adalah si Jack Black sebagai Bowser. Aku hampir-hampir tidak menangkap itu suara Jack Black saat mendengar suara serak menggemuruh Bowser. Baru saat dia ada adegan menyanyi-lah, ciri khas Jack Black terdengar. Dan itu momen yang tepat, karena kita melihat Bowser dari sisi lain – sisi yang less barbaric. Salut buat Jack Black. Enggak kayak Seth Rogen yang suaranya gitu-gitu melulu. Begitu Donkey Kong ngomong, kita pasti langsung tau pengisi suaranya siapa haha. Seth mainin karakter ini standar. Anya Taylor-Joy juga di sini terdengar kurang nendang sebagai suara Peach. Tidak sememorable Bowser, atau juga Luigi. Charlie Day di sini memang juga cukup surprised buatku; Kupikir bakal annoying tapi Luiginya ternyata terdengar genuine, suaranya cocok sama dinamika karakter Luigi.

Karakter dalam Mario Bros. memakai berbagai item yang dikenal sebagai power ups untuk menjadi kuat. Ada bunga yang membuat mereka bisa menembakkan bola api. Ada kostum kucing yang membuat mereka jadi punya ‘jurus’ kucing. Dan ada jamur yang literally membuat mereka bertambah besar. Mario di sini gak suka jamur, tapi dia lebih gak suka lagi dikatain kecil. Jadi power ups benar-benar membantu. Tapi bukan power ups yang bikin Mario berani. Mario berani, karena dia gak ragu mengakui kelemahan dan memakai power ups. Mario berani, karena dia gak menyerah dan mencoba menyelesaikan tantangan platform terus menerus sampai berhasil.

 

Kreasi seperti pada set up karakter sayangnya tidak dilakukan utuh untuk menggarap cerita. Begitu sampai di Mushroom Kingdom, dan Mario, Peach, dan – di tempat terpisah – Luigi, harus bertualang, film mengganti kreasinya menjadi kreasi memunculkan referensi saja. Alur dan development, journey inner karakter, dijadikan minimal. Film cuma jadi serentetan adegan-adegan yang merujuk pada video game. Belum pernah aku merasa pengen balik buat main game, saat sedang nonton di bioskop, Mario Bros. memang senostalgia itu! Begitu banyak karakter (hampir semua musuh di game Mario hadir!), tempat, platform, dan bahkan musik yang bikin aku teringat sama sensasi main video gamenya. Tapi ini sudah bukan lagi jadi pujian. Karena di balik itu semua, petualangan Mario di Mushroom Kingdom, melawan Bowser, terasa kosong. Efek Mario pisah dengan Luigi sama sekali tidak digali. Pas battle terakhir mereka ketemu, dan penyadaran Mario datang begitu saja. Mario cuma ngikut ke mana karakter-karakter lain membawanya, ke mana naskah mengarahkannya, dia tidak benar-benar ‘memainkan’ petualangan itu. Like, masalah banjir di kota saja terlupakan karena Mario masuk ke Mushroom Kingdom. Dan kesempatan Mario balik ke kota dan menyelamatkan kota datang dari pertarungan dia dengan Bowser. Di tengah-tengah itu, Mario never reflect tentang kegagalan dia di awal atau semacamnya. Dia jadi hero dan diaccept keluarga dengan otomatis, petualangannya tidak terasa earned. Melainkan cuma kayak rentetan kejadian seru seperti pada video game. Film ini cuma punya hal-hal yang pernah kita lihat, dan kita lakukan di dalam video game. Tanpa ada konteks yang kuat – or rather, dengan konteks yang dibangun tapi dilupakan – menyaksikan itu semua ya jadinya kayak ngeliat iklan video game terbaru Mario saja ketimbang melihat film yang menceritakan soal Mario dan teman-teman.

Game- eh film Mario baru, with better graphics!

 

Seolah puluhan referensi game Mario belum cukup, film lantas masukin nostalgia 80an secara umum. Membuat film menjadi semakin tampak seperti cuma bergantung kepada nostalgia. Yang paling mengganggu buatku adalah lagu-lagu populer 80annya. Like, why. Aku sumringah setiap kali nada-nada dari game terdengar, mewarnai adegan sebagai background. Sebaliknya, aku mengernyit kenapa lagu Take On Me yang dimainkan saat mereka masuk ke wilayah Donkey Kong, bukannya muterin lagu theme game Donkey Kong. Apa hubungannya lagu-lagu populer itu dengan film dari game, toh gamenya tidak pakai lagu-lagu tersebut. Dari situ saja kita bisa menyimpulkan bahwa film ini ya benar-benar menyasar gelombang nostalgia semata. Enggak benar-benar punya cerita untuk disajikan. Bekerja terbalik alih-alih membangun cerita dan menghiasnya dengan referensi dan nostalgia, film ini justru ngumpulin referensi dan lantas menghubungkan semua itu dengan apa yang akhirnya mereka sebut sebagai cerita. Gak heran film ini jadi terasa tipis, bahkan kosong seperti tak-berhati.

Sebelum ini, aku nonton satu lagi film yang diangkat dari game populer di Nintendo, yang tokohnya juga pria berkumis (tapi bukan tukang ledeng). Tetris. Cerita pembuatan game itu ternyata udah kayak film aksi mata-mata! Kalian bisa baca reviewnya di sini. Dan yang pengen menontonnya, Tetris tersedia di Apple TV+, kalian bisa mulai berlangganan di https://apple.co/3nhEOdf
Get it on Apple TV

 




Urusan game, aku memang lebih suka Nintendo dengan game-game seperti Mario, Donkey Kong, Metroid, Kirby, dan lain-lain. Tapi untuk urusan game yang diadaptasi jadi film, Sega – saingan Nintendo sejak lama – ternyata masih unggul. Sonic satu. Mario nol. Film ini void, terasa kayak gak ada cerita. Padahal berangkat dari set up yang lumayan bikin film kerasa punya kreasi sendiri sebagai adaptasi. Tapi begitu petualangannya masuk, film ini tancap gas dan hanya berubah menjadi suguhan adegan-adegan seperti game. Dan lagu-lagu populer era lawas. Kalo dibilang menghibur dan menyenangkan, ya memang menghibur dan menyenangkan. Tapi bukan lantas berarti sinema, seperti kata Luigi. Iklan sirup aja bisa menghibur kok. Dan memang baru seperti itulah level film ini. Baru seperti iklan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE SUPER MARIO BROS. MOVIE

 




That’s all we have for now.

Pernah dong main game Mario? Power up favorit kalian dalam seantero game Mario apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MOANA Review – [2016 RePOST]

 

“There’s (should be) more than meets the eyes.”

 

moana-poster

 

Kluk, kluk.

Hei hei, kenalin, namaku Heihei. Kalian tentu sudah menyaksikan petualanganku mengembara samudera dengan Putri Moana, bukan? Wah kalo belum, sayang sekali, kalian tidak melihat betapa keren dan cerdasnya aku di situ.

Wow, aku bisa mendengar sorakan kalian dari sini. Terima kasih, terima kasih. Tadinya kupikir cuma Moana yang bisa melihat kelebihanku. Aku tahu dia suka padaku. Sewaktu remaja dia pernah melarang seseorang untuk menjadikanku ayam goreng. Moana juga sering curhat – bicara padaku. Dan sebagaimana layaknya pendengar yang baik, aku akan mendengar keluh kesahnya tanpa berkedip sampai Moana selesai bicara. Yang biasanya ia lakukan abruptly, yang mana kutahu dia merasa amat terbantu oleh kehadiranku. Dan aku tahu kalian juga suka padaku. Setiap kali aku beraksi di layar, kalian pasti berseri dan tertawa-tawa.

Padahal sebenarnya aku seekor ayam biasa di desa. Well, oke, aku sedikit lebih tampan sih dibandingkan ayam-ayam lain. Mataku indah, sebesar bola pim… tenis! Kerjaanku sehari-hari di pulau ya cari makan, sama kayak penduduk desa yang lain. Aku suka matukin batu, selera makanku cukup gede. Kalian tentu sudah melihat betapa festivenya penduduk desa kami. Kehidupan suku kami memang menyenangkan seperti itu; bikin kerajinan tangan, memanen hasil-hasil alam sambil bernyanyi. Pemandangannya indah. Semuanya pada betah, tidak seorangpun mau repot penasaran terhadap apa yang ada di seberang lautan selepas batu karang sana. Yang kami tahu hanya ada ombak besar. Berbahaya. Lagipula ada legenda yang mengatakan penduduk harus tinggal di pulau.

Ladies and Gentlemen, sambutlaaaahhh: The Rock!!!

Ladies and Gentlemen, sambutlaaaahhh: The Rock!!!

 

Tidak seorangpun yang bermimpi untuk berlayar, kecuali Moana. Anaknya pemberani sekali. Moana adalah putri dari kepala suku kami, jadi tinggal tunggu waktu sebelum Moana diangkat menjadi pemimpin baru. Masalahnya adalah, Moana suka sekali sama air. Beneran. Dia pernah nekat berlayar bareng Pua si babi, dan sampan kayu mereka hancur dengan sukses diterjang ombak. Aku bersumpah untuk tidak akan jadi sebego Pua. Aku akan menjauh sejauh-jauh mungkin dari pantai.
Kemudian seantero desa terkena masalah, kelapa pada menghitam, panen-panen busuk. Legenda mengatakan ini adalah kutukan dari Te Fiti. Satu-satunya cara mencegah ‘wabah’ ini menyebar adalah dengan mengembalikan hati Te Fiti yang dibawa kabur oleh Maui, seorang Setengah-Dewa yang menghilang setelah kalah berantem sama sesosok makhluk kuno.

Langkah kaki mantap membawaku ke naungan sebuah gua yang besar dan tersembunyi. Sepertinya tidak ada penduduk desa lain yang tahu tempat ini. Kupikir jika tinggal di dalam gua leluhur suku Moana dengan banyak perahu-perahu yang ditinggalkan ini, maka aku bisa selamat meski seluruh pulau mati. Bukankah aku sudah bilang bahwa sebenarnya aku ini pinter? Hah! Aku ngendem di dalam salah satu kapal yang berisi banyak benda yang bisa kupatuki. Rencanaku sudah sempurna. Jadi jangan ketawakan aku yang teriak sekenceng-kencengnya begitu kali berikut aku diangkat oleh tangan lembut nan tegap Moana, aku mendapati kami berdua berada di tengah-tengah lautan biru!

Kukuuuuuuuukkkk!!!!

Kalian terkagum oleh ANIMASI LAUT YANG BEGITU REALISTIS sehingga kalian merasa kebawa seger dan ingin menyentuh air kepulauan tropis yang hangat nan indah. Well, aku bisa kasih tau; Airnya Dingin! Setidaknya bagi bulu ayamku. Aku sebenarnya mencoba kabur, namun Moana yang kini sobatan sama lautan berkat kekuatan dari jimat hati Te Fiti, malah mengurungku di dalam perahu. Misi kami adalah menemukan Maui. Moana memang nekat, despite her father’s wishes, dia tetep aja bertualang di lautan to set things straight.

Situasi yang memburuk bukan berarti adalah kesalahan dari orang yang kebetulan lagi memimpin. Akan tetapi, pemimpin kudu berani untuk mengambil resiko, to take on action untuk segera menyelesaikan masalah yang ada demi kebaikan yang lebih besar bagi semua orang.

 

Tapi senekat dan seberaninya Moana, sebenarnya ada satu masalah: cewek itu enggak tahu caranya mengemudikan perahu layar. Petualangan seru kami semakin menjadi kocak setelah Maui beneran bergabung. Mulanya aku agak bete lantaran makhluk sok-jago itu menyebutku sebagai kudapan. Namun ternyata hatinya cukup baik, dia peduli pada kesehatanku di laut, Maui kerap memberi biji-bijian untuk aku makan. Psst, Maui secretly ngefans loh sama aku, terbukti dari ketika ia kelepasan berubah wujud nyamain diriku yang tamvan pakek v. Sebaliknya, yang paling aku suka dari Maui adalah tatonya. Sekujur tubuh Maui ada tato yang bisa bergerak dan punya pikiran sendiri. Tato Maui bisa protes dan bereaksi terhadap tindakan Maui. Dia bicara kepada tato-tatonya, malahan ia sering dibikin jengkel lantaran tato tersebut kerap menyuruh Maui ngelakuin the right things to do; membantu Moana.

Aku terhibur sekali sepanjang perjalanan. Aku pikir kalian juga. Menyenangkan sekali melihat hubungan ombang-ambing antara Moana dan Maui, mereka bertengkar padahal mereka harus belajar bekerja sama. Dwayne Johnson menunjukkan kepawaian skillnya dalam dissing people dan ngomong tinggi terhadap dirinya sendiri. Sebagai tulang punggung cerita, reaksi dan timing dan ekspresi Auli’I Cravalho enggak menunjukkan kalo ini adalah debut voice-actingnya. Petualangan kami hidup oleh interaksi mereka. Aksi-aksi yang kami lewati pun sangat seru. Jangan salah, peranku vital loh! Kemampuanku menelan benda-benda keras jauh lebih bermanfaat dibanding keimutan si Pua. I eventually got hurt dalam pertarungan besar kami di akhir cerita. Meski begitu, aku bersyukur enggak terlibat sekuens di bawah laut saat Moana dan Maui berhadapan dengan seekor karakter ala-ala bajak laut yang sangat original. Soalnya aku masih menggigil akibat sebelumnya nyaris game over di tangan monster-monster Kakamora yang kayak buah kelapa yang mengejar perahu kami.

Mad Max Polynesian Road!

Mad Max Polynesian Road!

 

Semua tropes Disney klasik favorit pemirsa sekalian, hadir dalam kisah kami. Narasinya rada-rada klise; Dua tokoh lead yang saling enggak akur, hero yang beranjak dewasa yang belajar banyak tentang kehidupan – yang ternyata lebih luas dan lebih besar daripada dirinya sendiri. Pesona kisah kami terletak di setting budaya Kepulauan Polynesia yang baru pertama kali diangkat dan dijadikan fokus oleh Disney. Berbalut MITOS YANG FASCINATING. Aku beruntung bisa jadi bagian dari kehidupan sosial di sana. Aku beruntung bisa berada di tengah-tengah kejadian. Aku beruntung bisa kenal Moana. Dan kupikir, just get to watch her blossoms into something beautiful membuat kalian sama beruntungnya sepertiku.

Moana dan Maui juga pandai bernyanyi. Ada lebih dari satu lagu yang bikin buluku berdiri. Adegan musikal yang ada terdengar dan terlihat megah sekali. How Far I’ll Go could be the next Let It Go, catchy dan fun to listen to. Kalo ayam bisa nyanyi pastilah aku juga sudah ikut bernyanyi. Harapanku semoga lagu tersebut tidak jadi annoying, sih, kayak Let It Go yang mentang-mentang bagus, diputerin terus. Untungnya kami tidak punya radio atau internet di pulau. Kalo didenger-denger lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan memiliki arti dan turut berkembang bersama perjalanan mereka.

Memang, petualangan kami bertiga tidak sepadet kisah rekan-rekanku di film Zootopia (2016) yang pake baju dan bisa berbicara. Perjalanan kami lebih mudah diikuti oleh anak-anak karena tidak banyak yang tersembunyi di bawah permukaan. Zootopia yang bertema lebih mature akan membuat penonton tenggelam dalam pikiran demi pikiran yang menantang. Pesan dalam Moana lebih tembak-langsung dan dibumbui oleh banyak humor ringan dan sekuens aksi yang seru. Nilai entertainment petualangan kami jauh lebih tinggi. Kalian bisa bernyanyi, tertawa, dan terkagum oleh animasi tanpa perlu banyak berpikir. Kalian enggak perlu pinter banget dulu untuk ngakak melihat kelakukan dan tampang blo’onku.

Berkat Moana suku kami sukses mengarungi hidup yang lebih baik. Kemandiriannya mengajarkan banyak hal, terutama buat anak cewek. You don’t need to wait to be saved, that you can take the matters to your own hands and save all things you loved yourself. Bahkan mengajarkan hal tersebut kepada pria sekuat Maui yang berhasrat dielukan sebagai pahlawan; kita perlu bergerak untuk mewujudkan yang kita inginkan. Atau malah kepada seekor ayam, a village-idiot, sepertiku. Moana percaya ada sesuatu yang lebih deep, deep inside of me, dan itu membuatku sendiri percaya bahwa mungkin aku memang lebih pintar daripada kelihatannya. There’s more than meets the eyes. There should be. Kukukruyuuk!! #thechickenlives

 




Animasi luar biasa – dari tahun ke tahun Disney terus nunjukin peningkatan yang signifikan dalam urusan visual, voice acting yang benar-benar hidup, musical numbers yang megah, moral yang baik, pesan yang berharga, semua yang bisa kita minta sama animasi klasik Disney ada di sini. Ceritanya sangat exciting dan menyenangkan. At the same time, film ini enggak really punya banyak di dalam benaknya. But that’s not necessarily a flaw. Karena dirinya adalah film yang sangat menghibur, anak-anak akan menyukainya sementara orang yang lebih dewasa akan bisa terpuaskan melihat sorotan budaya yang disuguhkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for MOANA.

 




That’s all we have for now.

Special thanks to Heihei the bantam rooster for typing his pieces.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.



DUNGEONS & DRAGONS: HONOR AMONG THIEVES Review

 

“The only person that was ever holding you back was yourself”

 

 

Dalam budaya ‘nerd’, Dungeons & Dragons – ngetrennya disingkat jadi D&D – adalah legend. Banyak yang menyebutnya sebagai cikal bakal role-play dalam dunia permainan. Menginspirasi begitu banyak game fantasi dengan konsep-konsep seperti job-class, magic, experience point, dan istilah-istilah petualangan lainnya. Padahal aslinya D&D permainan sederhana. Dimainkan oleh sekelompok orang, yang istilahnya mengkhayal menjadi karakter tertentu. Membangun cerita dan kehidupan karakter itu. Lantas melakukan aksi apapun yang ia mau, sesuai kocokan dadu. Petualangan pun dilakukan dengan dipandu oleh Dungeon Master yang menceritakan dunia khayal mereka dengan lengkap. Itulah pesona dari permainan ini; kebebasan storytelling. Petualangan ajaib, powered by our shared fantasies.  Telah banyak yang mengadaptasi D&D dalam berbagai rupa. Diekspand menjadi seri video game khusus, diadaptasi jadi kartu, film seri, konsepnya juga telah berkali-kali muncul dalam pop culture, seperti yang kita saksikan di Stranger Things atau Community, permainan ini jadi hobi atau dimainkan oleh karakter. Karya John Francis Daley dan Jonathan Goldstein kali ini actually adalah kali keempat D&D jadi film layar lebar. Dan ini adalah kesempatan mereka untuk membuat yang unik, yang beda dari yang sudah-sudah. Membuatnya jadi kayak orang main D&D beneran – saat satu karakter tertampil jadi karakter dalam permainan – tampaknya akan jadi mirip dengan konsep di film Jumanji versi The Rock. Jadi, John dan Jonathan harus mikirin cara lain. Guess what? Mereka membuat D&D ini sebagai cerita heist di dunia fantasi, ala Marvel!

Aku suka setting fantasinya, sih. Karakter-karakternya masih sesuai dengan job-class masing-masing. Ada yang penyihir, ada yang warrior, ada druid yang bisa berubah jadi hewan. Protagonis utama kita actually seorang bard, pemusik.  Di sini disebutnya Harper. Tapi perannya dalam kelompok sebagai strategist. Dan kelompok mereka, adalah kelompok pencuri. Dari sinilah tertanam kuat arahan buat jadi cerita heist itu. Jadi setelah kematian istrinya di tangan Penyihir Merah Thay, Edgin si Harper nyari nafkah untuk anak perempuannya lewat nyolong dari orang-orang kaya yang culas. Dia beraksi bersama kelompoknya. Bagaimana mereka bertemu, kita tak tahu karena masalah ini actually disajikan lewat montase eksposisi. Cerita justru mulai berjalan dua tahun setelah Ed, dan rekannya, Holga si wanita perkasa tertangkap dan dipenjara. Ed dan Holga kabur dari penjara, bermaksud menemui kembali putrinya yang dititipkan kepada Forge si Con-man. Tapi yah, namanya juga penipu, Forge sekarang telah menjadi orang kaya culas – telah menjadi musuh. Putri Ed dimanipulasi untuk membenci ayahnya. Maka, Ed dan Holga kini harus ‘mencuri’ dari si Forge, dan it’s not gonna be easy karena Forge punya pasukan dan penyihir.  Ed dan Holga harus mengumpulkan kembali anggota guna menyusup ke kota Forge. Persis kayak cerita film-film heist, kan? Yeah. Ugh.

Bukan role-play yang itu loh yaa

 

Look, I know, ketidaktertarikanku sama genre heist beserta trope-trope usangnya tidak lantas menjadikan film ini auto-jele. Untuk urusan fantasi, kedua sutradara toh memang punya arahan yang seru. Adegan-adegan aksinya tampak berbeda, keunikan karakter dimainkan dengan kuat semua. Mulai dari Holga menghajar orang-orang hingga party protagonis kita bahu-membahu melawan naga overweight, semuanya terhampar penuh energi dan fresh. It also looks very good, efek serta editing gak terlihat choppy. Mulus-mulus aja. Buktinya, adegan panjang ketika Doric si Druid yang lagi nguping penyihir jahat dalam wujud lalat terus ketahuan itu, tampak benar-benar seru dan intens. Dia akan dikejar oleh pasukan dan si penyihir, dan kita melihat dia berusaha kabur dengan berubah menjadi berbagai macam hewan, dan kamera dengan dinamis tetap mempertahankan perspektif kita lekat dengannya, sehingga jadi seolah kita turut kabur bersama. Desain karakter dan makhluk-makhluk pun tampak sama kerennya. Film ini bekerja efektif dalam membangun dunia panggung cerita.

Development karakter dalam ceritanya pun berasa. Seperti tiang penyangga pada sebuah bangunan berdesain unik yang heboh, kokoh membuatnya semuanya tetap berdiri. In a true game D&D fashion, masing-masing karakter di sini dirancang sebagai orang dengan spesifik skill, dan cuma itu yang mereka punya. Cuma skill itu yang mendefine mereka. Rancangan yang sesungguhnya merupakan ground yang risky, karena bisa membuat karakter jadi satu dimensi. Film ini justru mengembrace itu. Keterbatasan kemampuan, membuat karakter jadi harus bergerak dalam kelompok. Tempat di mana masing-masing mereka jadi bersinar karena saling melengkapi. Keterbatasan itu juga dijadikan hook dramatis. Bahwa mereka ini jadi bercela karenanya, beberapa dari mereka merasa worthless karena mereka bahkan belum benar-benar jago dalam melakukan satu hal yang define them. Penyihir yang gak ahli magic. Tukang bikin siasat yang bikin rencana muter-muter. Gagasan film soal seringkali kita terhambat justru oleh diri kita sendiri, masuk dari sini. Ed dan karakter lain akan belajar untuk mengakui kekurangan sendiri, dan bagaimana untuk tidak menjadikannya sebagai kelemahan, justru sebagai kekuatan. Apa yang dilakukan Ed pada benda pusaka, demi putrinya, di akhir cerita benar-benar menutup plot karakternya dengan manis.

Kita menyebutnya overthinking. Kita memilih untuk tidak mengejar sesuatu karena banyak mikir seperti bukan untuk kita, banyak yang lebih jago, waktunya gak tepat, dan sebagainya. Sering kita kalah sebelum bertanding seperti ini karena berpikir kita not good enough. Padahal, seperti yang ditunjukkan karakter film ini, justru pikiran kita itu yang jadi satu-satunya hambatan. Ternyata kita boleh jadi cuma selangkah dari sukses. Kita bisa melakukan apapun, jika percaya kita bisa melakukannya.

 

Gagasan kita bisa melakukan apapun, if we put our mind into it, sepertinya ditelan mentah-mentah bahkan oleh film ini sendiri. Kisah petualangan fantasi seperti ini memang paling cocok diceritakan ringan dan penuh hiburan. Dan film tepat berpikir mereka harus jadi se-ringan superhero Marvel. Yang salahnya adalah, mereka justru menjadi superhero Marvel. Mereka bahkan basically recreated adegan Hulk dan Loki di Avengers. D&D Honor Among Thieves mengakui kelemahan desainnya sendiri, karakter yang satu dimensi; di satu sisi mereka berhasil bikin itu jadi daya tarik karakter, tapi di sisi lain, untuk menjaga supaya film ini menghibur, para karakter tersebut dituliskan mengucap dialog yang seperti diketik oleh mesin-mesin peniru Marvel. Ed, Holga, dan yang lain akan constantly bicara lewat remark-remark one liner yang konyol. Yang completely di luar situasi, hanya untuk humor. Aku ngarepnya sih mereka ditulis lebih baik lagi, lebih original lagi. Apalagi di balik mereka; aktor-aktor di antaranya seperti Chris Pine, Hugh Grant, Michelle Rodriguez, Sophia Lilis, punya kapasitas menghidupkan karakter dengan cara sendiri. Tapi karakter mereka yang kita lihat di sini tuh kayak versi tiruan – bicara, mannerismnya, kayak standar karakter-karakter superhero kocak. Jadi kayak karakter generik petualangan yang fun.

Ketika game role-play, role-playing jadi cerita heist

 

Dan lagi, memang trope-trope heist itu menghambat kreativitas film ini. Batu yang cuma ‘pengganti’ walkie-talkie, atau intercom, ngumpulin kru dan bekerja terbalik dalam memperkenalkan mereka alih-alih menjalin genuine dari awal, turn ternyata karakter ini adalah siapa. Dengan ini keseluruhan film fantasi ini terasa jadi generik. Like, bukankah trope heist sudah jemu. Kenapa cerita petualangan fantasi ini akhirnya harus masuk ke dalam kotak genre yang formulaik dan gak magic-magic amat. Plus, terlalu banyak eksposisi. Game D&D memang bakal banyak eskposisi cerita dari Dungeon Master, tapi ketika sudah jadi film, kebanyakan tell dibanding show, jelas bukan bentuk yang bagus. Untuk memvariasikan eksposisi, film juga menggunakan komedi. Yang buatku juga gak benar-benar bekerja dengan konsisten. Karena beberapa adegan jadinya malah kayak pointless. Misalnya ketika Ed menceritakan masa lalunya untuk pertimbangan dia dibebaskan. Backstory dia, keluarganya, dan kelompok pencurinya diceritakan dramatis di sini, dia bahkan sudah dinyatakan bebas. Dan kemudian film berusaha ngasih punchline komedi dengan membuat Ed kabur needlessly. Momen-momen kayak gitu bukan malah membuat film jadi original, tapi jadi semakin terasa terlalu pengen absurd kayak film superhero itu.

 




Film dari game berkonsep role-play, namun sendirinya role-playing jadi sesuatu yang lain. Taste original yang mestinya masih bisa sedikit dipertahankan jadi sama sekali hilang. Itu sih yang aku sayangkan. Terutama karena di sepanjang durasinya itu kita melihat sendiri film ini bisa hadir genuine fun dan seru lewat aksi-aksi petualangan dan laga yang benar-benar memanfaatkan elemen fantasi sebagai karakter. Bukan sebagai properti, kayak waktu film ini membuat batu sihir jadi alat komunikasi jarak jauh kayak walkie-talkie atau intercom di heist dunia modern. Karakter-karakternya loveable, dan aku percaya mereka bisa melakukan lebih baik daripada jadi tukang nyeletuk lucu doang. Sebagai adaptasi dari board game, however, film ini berhasil masuk ke kotak ‘the better ones’. Mungkin gak akan membuat orang tertarik pengen main D&D beneran, tapi paling enggak bagi yang tahu, film ini cukup berhasil memasukkan elemen-elemen itu ke dalam bangunan yang berbeda. Bangunannya itu saja yang kuharap bisa lebih original lagi ke depan. I mean, masa sih untuk jadi ringan caranya cuma harus ngikutin template Marvel. Dieksplor lagi aja.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUNGEONS & DRAGONS: HONOR AMONG THIEVES

 




Penyihir di film ini buatku teringat kaloseason terbaru serial original Apple TV+, Servant yang penuh vibe mistis dan sihir di balik urusan keluarga kehilangan bayinya, udah tayang! https://apple.co/40MNvdM Kusuka banget misterinya, dan penasaran akhir ceritanya gimana. Beneran sihir atau bukan. Kalian yang belum subscribe platformnya, bisa langsung klik di sini biar gak ketinggalan serial dan konten film original lainnya yaaa
Get it on Apple TV

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian, apa sih appeal dari permainan D&D dan komunitasnya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA