DEATH NOTE Review

“I’m for truth, no matter who tells it. I’m for justice, no matter who it’s for or against.”

 

 

Sebagai seorang full-pledged nerd ada tiga hal yang kuidam-idamkan di dunia ini; surat undangan masuk Hogswart, kostum Iron Man, dan buku Death Note. Tapi kutebak, setiap dari kita pasti pernah berada di dark place of our live sehingga begitu pengen punya Death Note supaya bisa menghapus ‘masalah’ dengan gampangnya. Konsep seseorang bisa membunuh orang lain semaunya, hanya dengan mengetahui nama dan wajah diolah ke dalam perang prinsip dan mental yang sangat menantang pikiran. Aku enggak ngikutin anime ataupun manganya, but I do nonton adaptasi orisinal Jepang yang tayang tahun 2006, dan aku ngefan berat sama film tersebut. Mengenai adaptasi Amerika yang tayang di Netflix ini, aku excited sekaligus ngeri. Aku menganut kepercayaan bahwa adaptasi adalah interpretasi, demi kreativitas dan penyesuaian, sudah sebaiknya adaptasi berbeda dari source materialnya. Tapinya lagi, aku ngeri film ini jadi beda banget hingga hancur seperti Dragonball: Evolution (2009).

Anime adalah media entertainmen yang paling sering disepelekan oleh penonton. Kita kalah keren deh di depan cewek kalo ngaku suka anime, dibandingkan kalo kita bilang suka film action. Padahal anime punya pengaruh yang sangat gede buat perfilman dunia, apalagi perfilman Amerika. The Matrix aja berkiblat ke Ghost in the Shell. Maka, ketika anime-anime itu disadur ke layar lebar, mereka akan mendapat penyesuaian supaya ide cerita dan konsep yang menarik dapat diterima oleh masyarakat yang lebih luas. Jadi, ya aku mengerti serta sudah mengharapkan bakal menjumpai banyak perubahan; latar, peatau mungkin sudut pandang, antara Death Note versi Netflix dengan versi orisinalnya.

Cowok SMA jenius bernama Light Turner (versi Light yang lebih ‘cengeng’ dimainkan oleh Nat Wolff) memungut buku hitam yang jatuh bersama air hujan dari langit. Buku yang bisa membunuh siapapun yang namanya tertulis di sana. Light lantas disapa oleh Shinigami Ryuk si empunya buku. Ryuk (suara Willem Dafoe adalah salah satu hal terbaik di sini) menggebah Light untuk menggunakan kemampuan buku ajaib tersebut demi ‘kebaikan’. Dengan kemampuan ini, Light eventually menjelma menjadi persona yang dikenal orang sebagai Kira; anonim yang membunuhi penjahat-penjahat tak tersentuh hukum di seluruh dunia. Kira boleh saja dipuja sebagai dewa, namun pembunuhan tetaplah pembunuhan. Seorang detektif muda yang sangat brilian muncul dan menangani kasus Kira. Dan mind games kucing-kucingan di antara Kira melawan L (Lakeith Stanfield sebagian besar memainkan mannerism eksentrik tokoh ini) pun dimulai.

Setiap orang yang berpikir benar akan melakukan tindakan yang benar. Implikasi di balik cerita buku yang bisa membunuh orang dengan hanya menuliskan nama sambil mengingat rupa si target sesungguhnya adalah bahan pemikiran yang benar-benar menarik. Kira dan L sama-sama berjuang demi kebenaran. Tapi kebenaran yang mana? Masing-masing percaya bahwa kebenaran versinya lah yang hakiki. Tidak ada hitam dan putih di dunia yang penuh oleh orang-orang jahat.

 

Sukurnya, film ini enggak separah Dragonball: Evolution. Kita bisa merasakan usaha dari sutradara Adam Wingard, ia tidak sekadar memasukkan elemen-elemen signature Death Note ke dalam satu jam empat puluh menit. Film ini masih kompeten meski memang beberapa pilihan style, artistik, juga musik terasa aneh dan benar-benar di luar karakteristik cerita yang dark seperti begini.  Aku mengerti mereka ingin membawa cerita yang kompleks ini menjadi lebih ramah buat ke pasar Amerika. Oleh karena itu, pilihan castingnya bisa dimaklumi. Sayangnya, pengertian lebih ramah buat pasar Amerika itu berarti  menyederhanakan sehingga malah merubah drastis beberapa hal yang justru adalah kekuatan dari konsep Death Note.

Light merancang episode Final Destination

 

 

Perbedaan yang bisa langsung kita dengar adalah Death Note kali ini SANGAT ‘RIBUT’. Menjelang akhir  banyak sekuens kejar-kejaran yang sama sekali tak terasa lagi bobot drama ceritanya. Ada perbedaan signifikan antara elemen kematian. Merasa meninggal mendadak oleh serangan jantung enggak serem-serem amat buat penonton, film ini malah membuat setiap korban Kira meninggal dengan sangat brutal. Darah muncrat dan potongan tubuh jadi andelan. Kira adalah yang paling menderita. Mereka basically membagi dua karakter Kira orisinal ke dalam dua tubuh; Light dan Mia (padanan Amane Misa diperankan oleh Margaret Qualley). Dan ini benar-benar melemahkan Light sebagai tokoh utama. Tokoh ini tidak lagi kompleks. Dia berubah menjadi remaja tipikal film-film Hollywood. Light dalam film ini diajarkan oleh Ryuk, baik dari penggunaan buku maupun cara menjadi persona ‘Kira’. Keputusan yang dibuat Light semuanya kalah kuat dibandingkan dengan keputusan-keputusan Mia regarding penggunaan Death Note. Reaksi Light saat pertama kali melihat Ryuk konyol banget, dia seperti seorang yang penakut dan no business megang title Kira. Dan oh ya, sepertinya aku lupa bilang kalo Light di sini menggunakan Death Note supaya dia bisa pedekate sama Mia.

Yea, aku bisa mendengar teriakan protes kamu-kamu semua. Death Note ngeskip begitu banyak adegan-adegan penting yang integral dengan kehidupan Light. Kita hanya dapat montase sekilas. Bahkan jika kalian belum pernah denger tentang Death Note, ataupun baru sekali ini nonton Death Note, kalian akan mendapati perubahan Light dari yang tadinya anak sekolahan menjadi Kira sang Dewa Penghukum yang punya pengikut tak-sedikit sangat abrupt. Film pun tidak pernah benar-benar memperlihatkan intensnya mind games antara L dengan Kira. Sebagai perbandingan; Dalam versi Jepang, Light dan L pertama kali duduk ngobrol sambil mereka main catur, percakapan mereka berdua sangat subtil, L berusaha menebak apakah Light adalah Kira dan sebaliknya, Kira ingin membongkar nama asli L. Percakapan mereka sangat tenang, namun kita bisa merasakan ketegangan. Adegan tersebut diakhiri dengan Light ngskak mat L. Dalam film Death Note kali ini, L dan Light bertemu di meja kafe. Perbincangan mereka penuh emosi, tuduh dan sangkal-sangkalan dengan nada-nada tinggi. Berakhir dengan L menyapu piring-piring di atas meja ke lantai. Benar-benar berbeda dengan karakter asli mereka, dan sesungguhnya ini adalah perubahan yang enggak perlu.

Aku lebih suka dengan Mia, dia membuat pilihan cerdas dan beraksi lebih seperti Kira dibandingkan si Kiranya sendiri. L memberikan warna berbeda dari segi penampilan, dengan karakter yang kurang lebih sama: introvert nyentrik yang suka banget makan permen. Namun, menjelang akhir L lepas kontrol emosi dan tidak lagi seperti L. Ada konflik yang digali mengenai dia yang enggan membunuh, tapi tetap saja tidak membuat kita lebih peduli lantaran bobot drama yang tidak mampu bertahan oleh keputusan penceritaan. Penyelidikan L di sini juga relatif gampang, karena Kira diberikan background keluarga yang berbeda. Dari latar belakang tersebut, sesungguhnya L  (atau bahkan kita, jika disuruh jadi detektif) bisa dengan gampang menebak siapa Kira hanya dengan menyimak korban pertama. If anything, Ryuk adalah tokoh yang membuat kita bertahan. Jika versi aslinya, Ryuk adalah Shinigami yang bosan sehingga dia ‘main-main’ ke dunia manusia, maka Ryuk dalam film ini sudah seperti Jimmy Jangkrik bagi Light. Wujudnya juga awesome, kita harusnya melihat tokoh ini lebih banyak.

“We could change the world.” “We? Maksudnya kita berdua?” cue suara cie cieeeee

 

 

 

Seharusnya ini adalah cerita yang gelap dengan tema moral yang kaya. Adaptasi memang perlu untuk melakukan perubahan sebab adaptasi adalah interpretasi yang baru terhadap suatu sumber. Hanya saja ada perbedaan tegas antara mengambil sudut pandang ataupun mengubah angle dengan menyederhanakan materi sehingga kehilangan esensinya. Film ini melakukan yang kedua. Pilihan musik yang gak cocok, adegan dansa, plus slow-motion, mengubah dari apa yang mestinya cerita kucing-kucingan menjadi drama romansa yang melibatkan buku aneh pencabut jiwa. Bahkan ketika kita ingin menganggap film ini lepas dari universe Death Note pun, film tidak bekerja dengan baik lantaran menggunakan montase ngeskip-skip bagian yang semestinya diperlihatkan kepada kita. Yah, kupikir apel pun akan susah segar lagi jika dibawa dari Jepang ke Amerika.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEATH NOTE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

My Dirt Sheet Top-Eight Favorite Studio Ghibli Movies

 

Oke, ini daftar delapan-besar TERSUSAH YANG PERNAH AKU SUSUN. I mean, gimana milihnya coba kalo semua disuka, like ah aku suka Mononoke, eh tapi Laputa gakalah seru, Kiki juga lucuuu, belum lagi Poppy Hill yang sweet banget, aaaaa please let me just rewatch them all again and again and again. Tadinya aku sudah nyelesaiin draft pertama, dan kemudian aku ingat belum masukin Totoro, jadi aku merombak ulang nulis susunan daftar ini. Pheeewww!

Studio Ghibli, sepanjang waktunya berdiri, konsisten menyuguhkan cerita yang sangat loveable dan grounded, enggak peduli dia sedang berkisah tentang petualangan, fantasi, maupun kehidupan sehari-hari. Buat yang belum familiar dengan Studio Ghibli, gini deh: bayangin film-film dari Pixar, hanya saja mereka kental oleh budaya Jepang, digambar dengan animasi buatan tangan yang sangat jelita dan very fluid, dan senantiasa menjaga idealisme tanpa harus repot-repot mikirin keuntungan komersil. Film-film Ghibli selalu sukses menyedot setiap yang menonton berkat karakter dan kedetilan penceritaan. Kekuatan film ini mampu membuat anak-anak dan orang dewasa terinvest secara emosi, dan semuanya kerasa real. Setiap mudik, aku selalu muterin di rumah dalam rangka meracuni adik-adik dan para sepupu dengan film yang bukan hanya menyenangkan melainkan juga sarat isi dan punya hati. Visi pendirinya, Hayao Miyazaki, bercerita dengan respek terhadap penonton terus dipertahankan hingga kini. Dan sedihnya, Studio Ghibli benar-benar berjuang untuk itu.

Tahun 2015 kemaren adalah perayaan 30 tahun berdirinya Studio Ghibli. Mereka meluncurkan When Marnie was There yang meski masuk daftar favoritku tahun itu, namun pendapatan box officenya kurang memuaskan. Film tersebut dikabarkan sebagai film terakhir dari Ghibli. Pait pait manis gak sih, mereka harus mundur di anniversary hanya karena film yang bagus bukan berarti harus selalu laku. Dan kalo ada yang cerita mengenai sebuah anime yang bagus, tidak akan ada yang menganggapnya serius. Anime statusnya kayak buku komik dan manga, media penceritaan yang paling underrated dan underappreciated.
Tapi kemudian di tengah-akhir 2016 Ghibli kembali dengan The Red Turtle, mereka menemukan ‘jodoh’ bikin film, bekerja sama dengan sineas Belanda. Dongeng magis yang indah sepertinya masih berlanjut. Malahan, di tahun 2017 ini, diawali oleh Spirited Away, kita-kita yang di Indonesia akan dihibur oleh penayangkan film Ghibli di beberapa bioskop. It’s so wonderful that we could experience those fantasies on big screen (finally! Indeed). Aku terutama ingin sekali liat adegan perang Princess Mononoke dan adegan tsunami Ponyo di bioskop. Dan katanya, Agustus nanti, Ghibli akan membuka eksibisi di Jakarta. So yea, see you guys there! 😀

Tadinya aku mau bikin HONORABLE MENTIONS seperti biasa, but I just can’t decide haha.. Jadi ya, langsung saja, inilah Delapan Film Ghibli Favoritku:

 

 

 

8. GRAVE OF THE FIREFLIES (1988)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 8.5/10
“Why do fireflies have to die so soon?”

Bakal bikin mata sembab kayak habis ngupas bawang. Ini adalah cerita survival yang sederhana tentang dua anak korban perang, yang hidup sebatang kara. Seita dan adiknya yang masih lima tahun, Setsuka, enggak punya rumah. Mereka lalu tinggal dalam sebuah gua di bukit pinggir desa. Seita harus mencari uang untuk makan, sekaligus menenangkan pertanyaan adiknya soal orangtua mereka yang tewas. Film ini adalah cerita perang paling sedih yang pernah aku tonton.
Banyak film animasi yang berani membahas tentang kehilangan, namun Grave of the Fireflies stands out lantaran ia juga membahas tentang penyesalan. Rasa bersalah seorang yang selamat, fakta bahwa mereka justru kalah oleh rasa lapar akan menjadi perasaan sedih yang bakal terus menghantui. Membuat tidak ada lagi keinginan untuk hidup. Kematian memang menyedihkan, tapi tidak ada yang lebih sedih daripada membuang keinginan untuk hidup.
Perjalanan emosi adalah bagian terkuat film ini. Memang sih, rasanya film ini dibuat untuk tujuan dramatis semata – itulah makanya kenapa aku meletakkannya di peringkat kedelapan. Karakternya dibangun untuk membuat kita menitikkan air mata, sehingga kadang pancingan emosinya terasa terlalu diatur. But the way they told it was so beautiful, timing sunyi dieksekusi dengan sangat precise, dan animasinya in some ways, mengerikan karena feeling yang dikeluarkan terlampau kuat.

My Favorite Scene:

Ketika mereka menangkap kunang-kunang dan menggunakannya untuk menerangi gua. Single momen yang simbolis dan sangat cantik.

 

 

 

 

 

7. MY NEIGHBORS THE YAMADAS (1999)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.3/10
“The reason the Yamadas get along fine is because all three adults are nuts. If one of you were normal it would unbalance the rest”

Film pertama Studio Ghibli yang menggunakan animasi komputer seluruhnya ini memang lain daripada yang lain. Gaya animasinya disesuaikan dengan gimmick cerita yang quirky, and kita bisa langsung melihat perubahan style ini actually work in favor of the storytelling. Straightforward dan enggak neko-neko. Ghibli membuat keputusan yang berani dan hasilnya adalah sebuah tontonan unik yang meriah dan mengasyikkan untuk dinikmati. Sekali lagi, Ghibli menekankan bahwa film animasi secara visual enggak selalu harus mirip dengan realita, perasaan yang dideliverlah yang mestinya harus disajikan dengan nyata.
Struktur cerita Yamadas ini pun sesimpel animasinya. Ketimbang cerita panjang, film ini lebih seperti gabungan sketsa komedi yang disusun membentuk satu kesatuan. Enggak ada antagonis, enggak ada big final action sequence. Kita bisa menemukan sesuatu untuk difilmkan di mana saja, bahkan jika materinya lebih dekat maka akan lebih baik. Dari awal sampai habis kita akan melihat kegiatan sehari-hari keluarga Yamada yang katrok. Ada Ayah, Ibu, Nenek, Kakek, Abang, Adik, petualangan mereka adalah petualangan keluarga sehari-hari yang juga bisa terjadi sama keluarga kita. Gimana keluarga tradisional dihadapkan kepada tuntutan dunia modern. Nature ceritanya masih sangat relevan, karena memang selalu itulah masalah yang akan dihadapi oleh sebuah keluarga. Makanya, meskipun drama lucu ini kental oleh budaya Jepang (setiap ‘episode’ diakhir dengan haiku yang kocak), film ini tetap akan terasa sangat relatable dan setiap keluarga akan merasa terwakili olehnya.

My Favorite Scene:

Ketika Ayah dengan nekat (tepatnya dinekat-nekatin) keluar untuk berurusan dengan preman bermotor yang udah ganggu ketentraman kompleks tempat tinggal mereka. Tanggung jawab ayah itu berat dan dia harus berani, namun berani bukan berarti tidak merasa takut!

 

 

 

 

 

6. PONYO (2008)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 7.7/10
“So what’s your Mother like, then? / She’s big and beautiful, but she can be very scary. / Just like my Mom. “

Inilah apa yang terjadi kalo kita memberikan sedikit twist anak-anak kepada cerita Putri Duyung. Instead, Ponyo adalah tentang seekor ikan emas gemesh yang pengen menjadi bocah manusia karena di daratan sana dia berteman dengan Sosuke. Enggak banyak yang dibicarakan oleh film ini di luar persahabatan dan relationship mereka. Dan sedikit concern soal lingkungan hidup, dalam kasus ini perairan, yang by the way adalah salah satu dari kekhasan karya Hayao Miyazaki. But oh wow, kalo ada satu kata yang terlintas begitu orang menyebut film Ponyo, maka kata itu pastilah: AJAIB!
Animasinya kreatif luar biasa. Dunia bawah air, adegan tsunami, makhluk-makhluk laut yang aneh dan lucu-lucu itu, film ini adalah ajang ‘pamer’ buat talenta animator Ghibli. Ponyo adalah film favorit adekku yang saat pertama kali kuputerin, dia masih berumur 5 tahun – sama ama usia tokoh Sosuke dalam film ini. Dan memang sepertinya tokoh tersebut sangat relatable buat penonton usia muda. Petualangan Sosuke dan Ponyo bener-bener cute, it is a lighthearted movie yang juga mengajarkan kemandirian. Tapi terutama film ini mengajarkan kepada anak-anak bahwa mereka juga manusia, you know, mereka punya keinginan, mereka punya pemikiran, dan they should be able buat menyuarakannya. Bahwa mereka juga berhak untuk membuat pilihan. Ponyo mengajarkan itu semua dengan cara yang sangat magical, memukau, dan penuh dengan imajinasi!

My Favorite Scene:

Adegan Ponyo berlari mencari Sosuke bersama ikan-ikan itu adalah adegan yang kami putar-putar terus di rumah hahaha, animasinya keren banget, Ponyonya juga imut

 

 

 

 

 

5. ONLY YESTERDAY (1991)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.7/10
“Rainy days, cloudy days, sunny days… which do you like?”

Wanita 27 tahun memutuskan untuk pergi ke kampung kelahirannya, yang dia inginkan bukan semata suasana pedesaan; dia ingin bekerja di sawah, namun sebenarnya yang ia butuhkan adalah mencari tahu apa yang ia inginkan dari dirinya sendiri. Dia ingin merasa berguna. Dia ingin menambah sesuatu ke dalam hidupnya. Dan sepanjang perjalanannya naik kereta api ke desa, dia teringat tentang kejadian di masa kecil, dia bernostalgia ke saat-saat dia merasakan berbagai pengalaman untuk pertama kalinya.
Salah satu yang paling remarkable dari film ini adalah ke-innocent-annya. Akan ada banyak bagian ketika tokoh utama menelaah kembali saat-saat dia tumbuh dewasa, dan enggak pernah film membuatnya terasa awkward. Menonton film ini justru yang ada adalah perasaan hangat. Arahannya, vibenya, tone, dan animasi, semua terasa sangat pleasant di dada. Ada dua teknik animasi yang digunakan; gambar yang detil dan jelas untuk masa kini, dan grafik dengan frame yang blur dan kurang detil ketika kita melongok ke masa kecil tokoh. Dan ini actually jadi gimmick yang integral banget sebab memang begitulah pikiran kita ketika mengenang kembali masa lalu; kabur dan enggak detil.
Di jaman saat semua film merasa butuh untuk menjadi serius, dark, dan keren, coba deh tonton Only Yesterday. Karena film ini akan membawa kita dalam perjalanan flashback yang, at times memang skalanya terlalu kecil, tapi paling enggak sangat menyenangkan.

My Favorite Scene:

Lucu sekali ngeliat mereka pertama kali makan nenas ahahaha

 

 

 

 

 

4. SPIRITED AWAY (2001)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 8.6/10
“Once you do something, you never forget. Even if you don’t remember.”

Naah, mungkin kalian pada heran kenapa masterwork, storytelling kelas dewa begini malah aku letakin di posisi ke empat. Well, ya, Spirited Away enggak perlu diperkenalkan lagi. Kerja Hayao Miyazaki dalam membangun dunia fantasi sangat luar biasa. Rumah pemandian beserta penghuninya yang ajaib-ajaib itu sangat vibrant dan well-realized. Konsep dunia baru dan tradisionalnya pun tersampaikan dengan mencengangkan. Hal paling asik dinikmati adalah saat tokoh kita Chihiro – yang di sini adalah cerminan dari remaja Jepang masakini – mesti belajar mengenai etika kerja dan superstition, dan kita turut belajar bersamanya.
Di saat dunia film ini terbangun dengan gempita, aku tidak merasakan ketertarikan yang sama kepada Chihiro. I mean, di antara sekian banyak tokoh cerita dari Ghibli, Chihiro ini yang kurang paling relatable bagiku. Spirited Away adalah film Ghibli yang paling sering aku tonton, karena ia punya banyak detil dan visual simbolism yang niscaya enggak bakal ketangkep semua dalam sekali panteng. Aku enggak bilang bosen, tapi setelah beberapa kali, menonton film ini sampai habis jadi tidak semenyenangkan awalnya. Mungkin karena pacing, setelah Chihiro keluar dari rumah pemandian, cerita agak tersendat sedikit. Dan aku gak pernah bener-bener suka elemen kembarnya.
Tapi tak pelak, ini adalah salah satu film animasi terpenting yang pernah ada. Spirited Away udah sukses menjelma menjadi semacam culture yang bikin nama Ghibli melambung lebih tinggi. Menonton ini di bioskop jadi satu pengalaman yang bikin aku berharap saat itu adalah kali pertama aku menyaksikannya.

My Favorite Scene:

Kita enggak bisa nyeritain Spirited Away tanpa nyebutin soal momen Chihiro mandiin Dewa Sungai

 

 

 

 

 

 

3. MY NEIGHBOR TOTORO (1988)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 8.2/10
“Trees and people used to be good friends. I saw that tree and decided to buy the house. Hope Mom likes it too. Okay, let’s pay our respects then get home for lunch.”

To-to-ro, To-to-ro, to-to-ro~!
Film anak-anak mestinya begini nih. Meski ada monster, tapi enggak menyeramkan, enggak ada tokoh jahat dan tokoh baik. Meski sisi dramatis enggak pernah dipancing-pancing, film ini tetap tidak melupakan esensi dari kehidupan. Bahwa selalu ada kemungkinan sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi. Dan Totoro akan ngajarin kita bagaimana menghadapi itu semua.
Totoro mengisahkan problem kehidupan lewat simbolisme dan sangat tersurat. Saat anak-anak menunggu ayahnya yang tak kunjung pulang di derasnya hujan, sebenarnya itu adalah elemen ‘tragedi’ tapi arahan film ini tidak pernah fokus ke bikin sedih semata, karena yang kita ingat dari adegan tersebut adalah Totoro datang dan mereka basah bersama lantaran Totoro senang kejatuhan tetes air. Enggak salah memang kalo ini jadi film favorit keluarga, karena memang penulisannya tidak pernah memojokkan pihak tertentu. Di sini fantasi dan imajinasi anak-anak dihormati. Tokoh Ayah ditulis sangat dekat dengan anak-anaknya, dan saat dia mendengar cerita anaknya tentang Totoro, orangtua dalam film ini enggak bersikap seperti orang tua dalam cerita Goosebumps; langsung menepis dan enggak percayaan.
Jarang sekali ada film yang berhasil membangun cerita, tidak berdasarkan konflik dan ancaman, melainkan berdasarkan eksplorasi dan kejadian seperti yang dilakukan oleh Totoro. Elemen ibu yang sakit tidak pernah dijadikan sebagai semacam rintangan yang harus diluruskan. Sama seperti yang dikeluarkan oleh animasinya yang lincah, everything about this movie are treated as a fact of life. Itulah sebabnya kenapa film ini akan selalu terasa menyenangkan.

My Favorite Scene:

Sampai sekarangpun aku masih enggak bisa untuk enggak tersenyum melihat adegan Mei dan Saksuki numbuhin pohon ajaib bareng Totoro dan teman-temannya.

 

 

 

 

 

2. THE TALE OF THE PRINCESS KAGUYA (2013)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 8.1/10
“Teach me how to feel. If I hear that you pine for me, I will return to you.”

I love this film. Tampilannya sungguh unik dan orisinil. Artworknya tampak sangat bold dan penuh warna, dan sangat hidup tanpa memakai teknologi komputer sama sekali. Seperti di Only Yesterday, Takahata juga menggunakan visual ini sebagai gimmick yang sangat integral dalam penceritaan. Kita melihat grafik yang semakin detil seiring bertambahnya usia Putri Kaguya.
Ceritanya sendiri diangkat dari kisah rakyat lokal tentang petani yang menemukan seorang bayi mungil di dalam batang bambu. Dia juga menemukan emas bersamanya. Bersama sang istri, bay tersebut mereka rawat. Tentu saja bayi tersebut adalah bayi ajaib, ia tumbuh dengan cepat. Tak perlu waktu lama ia sudah jadi gadis jelita. Kemakmuran si petani juga tumbuh pesat, namun masa lalu Kaguya yang misterius pun kemudian datang menjemputnya.
Film ini punya pandangan yang dewasa terhadap kehidupan. Kita lihat Kaguya senang banget hidup di alam bebas, tetapi ketika dia harus menjadi Puteri dengan segala aturan, dia mulai enggak betah. Dan kita bisa melihat tema film ini adalah tentang cewek yang enggak benar-benar mengerti di mana tempatnya di dunia. Sangat realistis karena memang hidup bisa jadi sangat membingungkan bagi orang dewasa. Penuh oleh emosi, yang tak terasa dibuat-buat, dengan animasi yang sangat cantik. Ini adalah salah satu film terbaik yang dibuat oleh Studio Ghibli.

My Favorite Scene:

Aku benar-benar tercengang melihat Kaguya berlari ke luar rumah dengan penuh amarah dan emosi. Animasinya impresif sekali!!!

 

 

 
Oke, aku punya dua kandidat untuk film Ghibli paling favorit, dua film ini punya tema yang sama; tentang manusia dan alam dan betapa getolnya manusia untuk merusak alam. Tapi keduanya punya arahan dan pendekatan yang berbeda. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, they are not perfect movies, Spirited Away is the better one technically speaking. Tapi aku lebih suka ama kedua film ini dibanding yang lain. Jadi makanya aku bikin memutuskan di antara mereka untuk jadi lebih sulit karena yang enggak kepilih enggak akan masuk delapan besar, alih-alih jadi runner up. Dan setelah bersemedi tujuh hari tujuh malam sambil ngemil kembang tujuh rupa yang dipetik di tujuh sumur yang berbeda, aku menetapkan film ini menjadi posisi nomor satu:

1. POM POKO (1994)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.4/10
“They used their balls as weapons in a brave kamikaze attack.”

Penggalan kutipan dialog di atas mestinya udah bisa ngasih gambaran betapa absurdnya film yang satu ini. And yes, aku memilih film ini over Princess Mononoke (1997), yang mana adalah film fantasi paling epic yang bisa jadi adalah pelopor pemakaian violence dalam dunia film animasi modern. Jadi kenapa aku milih film tentang kelompok anjing-rakun (hewan keramat dalam mitos Jepang) yang berusaha mempelajari kembali seni berubah wujud demi mengusir manusia yang meratakan gunung buat dijadikan kompleks perumahan ini menjadi film Ghibli paling favorit?
Karena dia menelaah masalah konservasi lingkungan dan ekologi melalu pendekatan yang bijak sekaligus penuh humor.
Kita akan melihat dari sudut pandang para anjing-rakun, tapi tidak berarti mereka adalah pihak yang baik dan manusia adalah pihak yang jahat. Film ini dengan penuh kebijakan dan keberanian mengambil satu sisi tanpa sekalipun merasa perlu untuk berpihak. Inilah yang membuat film terasa lebih menarik, meskipun memang secara penceritaan, ia jauh di bawah Princess Mononoke yang secara emosi dan experience lebih kuat. Kelemahan Pom Poko adalah narasinya yang sering menjadi repetitif dan kurang efektif alias terlalu panjang.
Ada sense of tragedy tersamarkan di balik kekonyolan. Film ini bertindak sebagai pengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial namun tidak ada yang lebih kita sukai daripada bertentangan dengan apapun. It’s thought provoking, kita bisa melihat film ini dalam suara filosofis. But yea, kita bisa menontonnya untuk murni hiburan. Dan film ini bekerja dengan sangat baik on both ways.

My Favorite Scene:

Film ini juga ada seremnya, liat deh taktik para anjing-rakun dengan menjadi parade hantu untuk menakuti-nakuti manusia, tapi enggak ada yang takut.. hihihi…

 

 
Jadi sekali lagi, ini bukan daftar dari yang baik ke yang terbaik. Ini adalah pure preference ku aja. Aku akan senang sekali kalo daftarku berbeda dengan daftar kalian, sehingga kita bisa saling diskusi mengenagi kesukaan masing-masing. Oiya, salah satu permasalahan dalam nonton anime Jepang ini adalah: mendingan nonton bahasa Jepang atau yang disulih ke bahasa Inggris sih? Kalo buatku, sama aja sih, bukan masalah yang gede. Toh bagi kita dua-duanya sama-sama bahasa asing. Lagian, film bukan hanya soal audio. Aku sendiri lebih suka nonton yang pake bahasa Inggris karena aku enggak perlu lagi membaca subtitlenya, sehingga bisa fokus ngeliat visual yang kadang bercerita dengan lebih lancar.
Sebagai penutup

Please, Studio Ghibli, keep making movies!

 

 

 
That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

GHOST IN THE SHELL Review

“Eyes are the window to the soul”

 

 

Film adaptasi dari anime — yang actually saduran dari manga klasik – ini punya beban yang berat bertengger di pundaknya. Elemen filosofis dan pencapaian teknikal membuat versi originalnya yang keluar tahun 1995 dinobatkan sebagai salah satu anime terbaik yang pernah dibuat. Banyak film-film sci-fi yang membahas tentang artificial intelligence dan sebagainya openly admit dipengaruhi oleh elemen dalam cerita Ghost in the Shell. Jadi, garapan Rupert Sanders ini bener-bener has a lot to live up to. Sehingga sampai detik pantatku mendarat mulus di kursi bioskop, aku masih terombang-ambing antara gembira dan ragu-ragu. But mostly aku takut, lantaran aku gak mau Hollywood merusaknya sehingga ini menjadi Dragon Ball kedua. Dan serius, jika kalian mengaku penggemar sinema, hobi nonton film, dan peduli sama film yang bagus, sempatkanlah buat menonton anime Ghost in the Shell; for the film is so influential, aku tersinggung ketika tadi di bioskop ada ignoramus yang nyeletuk “niru Matrix, ya.”

Dunia dalam film ini sudah begitu modern, sampai-sampai teknologi dan manusia sudah nyaris menjadi satu. Tren masyarakatnya adalah masang hologram gede sebagai cara iklan, nyambungin diri ke net yang bahkan lebih canggih dari internet yang kita punya, dan memodifikasi sebagian tubuh – atau malah seluruhnya – dengan bagian robot. Tokoh utama kita, Mira Killian, adalah Mayor di pasukan elit Section 9 yang khusus menangani kasus kriminal, terutama kriminal siber yang sedang berkembang dengan pesat. Diciptakan sebagai ‘weapon’, Mira tidak punya unsur tanah di tubuhnya. Dia diberitahu bahwa dia adalah yang pertama dari progam penginstallan kesadaran manusia yang disebut ghost ke dalam tubuh-tubuh buatan yang istilahnya adalah shell. Namun apakah setiap yang punya ghost diyakini sebagai manusia? Mira mengenali kenangan di dalam dirinya. Dan sembari berusaha menangkap teroris siber berinisial Kuze yang menimbulkan kekacauan dengan ngehack ghost robot dan orang-orang, Mira sets out buat mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Ghost in the Shell termasuk jejeran film yang membuat kita mempertanyakan tentang eksistensi, tentang kesadaran,tentang apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Apa yang memisahkan kemanusiaan dengan teknologi? Apa yang terjadi jika keduanya bersatu? Apakah sesuatu yang diciptakan bisa menyebut dirinya sebagai manusia karena dia punya kesadaran? Dan bagaimana dengan kenangan, apakah kemampuan mengingat kenangan adalah bagian dari kesadaran? Well, ada banyak benda-benda yang bisa menyimpan kenangan, dan mereka enggak hidup. Apakah Major Mira Killian termasuk salah satu di antara benda-benda tersebut.

 

 

Sebagai adaptasi live-action, film ini sukses mengemban predikatnya. Dia tetap setia dengan versi orisinil. It has the same formula, dengan beberapa penambahan yang signifikan pada beberapa elemennya. Jadi, yaah, kupikir aku akan berusaha mengulas film ini sebagai sebuah cerita yang berdiri sendiri, aku akan coba untuk enggak nyangkut pautin dengan film buatan Mamoru Oshii.

Peningkatan yang pertama kali langsung bisa kita rasakan adalah pada visualnya. Film ini sangat GLORIOUS OLEH PENAMPAKAN EFEK-EFEK VISUAL. Adegan ‘pembuatan’ shell Major bener-bener indah sekaligus surreal dengan bentrokan warna merah disusul putih. Kota masa depan tempat mereka tinggal terlihat meriah. Desain kotanya yang semarak oleh teknologi mentereng mencerminkan kebutuhan manusia untuk tampil ‘mengkilap’, seperti yang dijadikan tema cerita. Sehingga kita bakal mengharapkan ada sedikit saja jejak kemanusiaan dari penghuninya. Ketika itu beneran kejadian, ketika tokoh setengah robot kita ngelakuin hal sesederhana memberi makan anjing jalanan, ataupun pergi berenang tengah malem, kita bakal ngerasain hentakan euphoria tanda cerita berhasil mengenai saraf berpikir kita.

Scoringnya juga sukses bikin film terasa dark dan bikin uneasy.
Ghost in the Shell menyuguhkan beberapa sekuen aksi tembak-tembakan yang seru. Robot geisha itu creepy banget. Pertempuran melawan robot laba-laba bakal menghujani kita dengan peluru-peluru emosional. Sekuen aksi yang paling captivating adalah ketika Major menyimpan senjata apinya, membuka mantel, mengaktifkan kamuflase optik, dan mulai menghajar orang yang dikendalikan oleh Kuze. Adegan berantem ini difilmkan dengan menarik; lokasinya, koreografinya, kerja kameranya, semuanya terlihat mulus dan engaging. Dengan pace yang cepet, porsi aksi lumayan mendominasi film ini as kita dibawa dari konfrontasi satu dengan konfrontasi lain. Dan di antara aksi-aksi tersebut kita akan dibawa melihat Mira lebih dekat sebagai seorang karakter, kita akan ngikutin inner journeynya, kita akan melihatnya berinteraksi dengan tim serta partnernya, Batou. Kita akan melihatnya membuka misteri di balik Kuze dan belajar apa faedah dia ada di dunia, entah sebagai robot atau manusia.

“doakan saya yaaa”

 

Masalahnya adalah, segala kelebihan yang kutulis di atas (selain robot geisha yang sepertinya bakal hadir di mimpi burukku malam ini) actually berasal dari elemen orisinil yang dimasukkan kembali ke dalam versi live-action ini. Film ini just recreating them all seperti yang dilakukan oleh Beauty and the Beast (2017) terhadap animasi klasiknya. It’s a great job, aku tepuk tangan karena mereka berhasil melakukannya dengan baik. Namun tidak seperti Beauty and the Beast, penambahan elemen yang dilakukan oleh Ghost in the Shell actually terasa ngedeteriorating eksistensi ceritanya secara keseluruhan. Sebagaimana kita sudah setuju untuk menghormati film ini sebagai unit yang berdiri sendiri, I have to point out beberapa poin dan elemen baru di dalamnya yang enggak benar-benar bekerja dengan baik. Dan yea, aku harus melakukan beberapa perbandingan untuk mempertegas poinku.

Enggak semua sekuen aksi benar-benar berbobot. Misalnya pada bagian di klub, kebanyakan memang terasa sebagai filler buat manjang-manjangin waktu. Karena adegan tersebut pun tidak digunakan untuk ngeflesh out karakter-karakter sampingan. Anggota tim Major tidak mendapat sorotan yang berarti. Malahan ada satu tokoh, pada cerita original dibuat ‘penting’ bagi Major karena dia satu-satunya yang masih seratus persen manusia, namun di film ini trait tersebut hanya disebut sepintas sahaja.

Major lah yang mendapat permak backstory yang signifikan. Dia bisa mengingat sedikit hal dari kehidupannya saat masih manusia. Major clearly galau mengenai, bukan identitas, melainkan ‘apa’ dirinya. Tapi penulisan karakternya di sini terlihat cengeng, I mean, dia come off lebih sebagai manusia yang enggak mau dipanggil seorang robot. Dia meminta belas kasihan kita. Scarlett Johansson adalah ‘shell’ yang tepat untuk tokoh ini. Penampakan wujudnya mirip banget sama yang anime. Namun, ‘ghost’ karakternya agak enggak klop. Cara berjalannya enggak pernah tampak natural, kayak dibuat-dibuat, walaupun memang enggak ada masalah dalam adegan aksi. Ketika, katakanlah, momen berkontemplasi, pembawaan Scarlett membuat Major tidak seperti robot dengan perasaan; dia terlihat seperti manusia yang menyembunyikan perasaan. Dalam versi anime, karakter ini diarahkan sehingga kita merasa terdiskonek dengannya; Major malah tidak berkedip, tapi dari gambaran ekspresi dan visual storytelling kita bisa memahami apa yang ia rasakan, kita bisa rasakan betapa intriguednya Major kepada setiap aktivitas manusia. Dalam film ini, tidak ada arahan supaya Scarlett enggak ngedip, perasaan Major terlampiaskan semua lewat kata-kata yang ia lontarkan, tanpa pernah terasa dalem dan filosofis.

Identitas mereferensikan aku, atau saya. Di mana otak mengenalinya sebagai ‘diri’. Tapi apakah sebenarnya aku itu? Apakah personality? Apakah aku adalah perasaan – apakah aku adalah jiwa? Well, orang bilang mata adalah jendela jiwa. Ada alasannya kenapa Major di sini memiliki mata yang hidup, tidak seperti pada versi anime.

 

 

Dosa terbesar yang menyebabkan FILM INI DANGKAL ADALAH KARENA DIA MEMBERIKAN JAWABAN. Baik itu jawaban terhadap apa yang terjadi; bahkan tulisan pembuka di awal memaparkan secara gamblang, tidak seperti opening teks di versi anime yang lebih kiasan. Maupun jawaban terhadap pertanyaan filosofis yang diajukan oleh tema ceritanya. Ini membuat Major menjadi karakter generik, kita bisa melihat ke arah mana arcnya berlabuh. Jadi gampang melihat apa yang terjadi selanjutnya. Setelah Major ketemu Kuze, film menjadi biasa saja dan kehilangan semua hal yang engaging. Ini berubah menjadi ‘kebaikan’ melawan ‘kejahatan’. Kuze, meskipun keren, tidak pernah menggugah kita dengan pertanyaan apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Kita sudah sering melihat elemen ‘melawan sang pencipta’ dan ‘menciptakan dunia sendiri’ sebelumnya. Major menjadi seperti Alice di Resident Evil. Padahal jika dibiarkan terbuka tanpa-jawaban, maka tentu cerita akan menjadi lebih menantang, membuat kita merasakan euphoria memikirkan jawaban, seperti yang sudah dibuktikan oleh film orisinilnya.

Apakah robot ada gendernya hanya karena dibuat menyerupai cowok atau cewek?

 

 

They go with a different goal this time, yang mana masih bisa kita apresiasi. Para fans lama pun mestinya bisa dibuat menggelinjang dengan revelation di akhir cerita yang mengambil referensi kepada cerita anime. But I think they should’ve not tampering too much with the formula. Ini adalah film full-action dengan kontemplasi dan nostalgia saling berbagi ruang di antaranya. Bahkan meniliknya sebagai film yang berdiri sendiri pun, penilaianku tetap sama. Sukurnya enggak separah, malahan jauh lebih bagus daripada Dragon Ball Evolution sih. Meski begitu, film harusnya bisa menjadi lebih berbobot lagi. Tidak banyak karakter dengan penampilan yang memorable. Dan lagi, sulit untuk tidak membandingkan karena hal yang bagus dari film ini adalah hal-hal yang sudah pernah kita lihat pada film tahun 1995. Mereka seperti memindahkan ghost cerita ke dalam shell yang lebih mentereng belaka. Dengan banyak hal bagus dan filosofis yang tertinggal saat proses perpindahan tersebut.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOST IN THE SHELL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Tamiya: Everyone Needs Their Hobby

tamiya

 

Kalian tau mainan Tamiya Mini 4WD? Untuk kalian yang lahir di era akhir 80 sampai 90an pasti ga asing lagi dengan mainan yang satu ini. Yup! Mainan mobil balap yang bisa dimodifikasi ini bisa dimainkan oleh berbagai kalangan umur. Bahkan sampai saat ini permainan mobil balap ini masih eksis di tengah gempuran mesin gadget. Kompetisinya ramai diikuti kalangan penggemar. Yang profesional bisa ngeluarin budget hingga jutaan loh!

Resep lebih populernya adalah, Tamiya menggandeng Shogakukan, perusahaan penerbitan Jepang, untuk membuat seri TV anime bertema mobil Mini 4WD. Judul-judul serinya antara lain: Dash! Yonkuro (1989), Let’s & Go (1996), Let’s & Go WGP, Let’s & Go MAX, dan akhirnya Let’s & Go!! Tamiya The Movie

Gambar Ki-Ka : Dash! Yonkuro (1989), Let’s & GO (1996), Let’s & Go Max, dan Let’s & Go WGP

 

 

 

Oke kali ini yang akan kita bahas tentang sejarah Tamiya itu sendiri.

Tamiya Incorporated (Kabushiki gaisha Tamiya) adalah sebuah perusahaan yang memproduksi mainan yang demikian dikenal sebagai Tamiya. Produk dari perusahaan ini sebenarnya bukan hanya model mainan mobil tetapi meliputi mainan (model) lain seperti mobil bertenaga baterai, mainan mobil bertenaga matahari (solar cell), mainan kapal, dan aneka model mainan lainnya.
Perusahaan ini didirikan oleh Yoshio Tamiya di Shizuoka, Japan pada tahun 1946. Model mainan Tamiya diproduksi dengan suatu perencanaan dan dalam konsep “mudah dipelajari dan dibangun, bahkan oleh seorang pemula”. Konsep ini diterapkan secara sungguh-sungguh dalam semua lini produk yang diluncurkan. Setiap bagian dari model diproduksi dengan tingkat ketelitian, akurasi, dan detil yang tinggi.

Perusahaan Tamiya memperoleh reputasi dari para penggemar mainan miniatur karena kualitas serta akurasi skala pada model-model mainannya, sesuai dengan slogan yang pada logo perusahaan “Kualitas Pertama di se-antero Dunia”. Hal ini terbukti dengan telah dimenangkannya penghargaan bergengsi sebagai Modell des Jahres (Model tahun ini) yang diselenggarakan oleh majalah Berbahasa Jerman Model Fan, selama beberapa tahun.

Selain Tamiya, perusahaan lain juga ikut meramaikan pasar mini 4WD, di antaranya Tokyo Marui, Kyosho, Academy, Auldey, Okami, Gokey, HJH, Twink, dan AA. Masing-masing dari mereka memperkenalkan rancangan tersendiri, Sementara beberapa produk masih berupa tiruan dari Tamiya. Tiruan tersebut menjadi alternatif bagi produk Tamiya yang mahal, namun tentu saja dengan kualitas yang tidak setara.

Sebagai penutup, berikut beberapa inovasi yang sudah Tamiya lakukan sejak pertama kali diciptakan:

  • Tahun 1960 membuat model plastik pertama Battleship Yamato.
battleship-yamato
Battleship Yamato
  • Tahun 1964 membuat model plastik pertama jenis Tank dengan skala 1:35
tamiya-panther-tank
Panther Tank 1:35
  • Tahun 1967 bekerjasama dengan Honda membuat model Honda F-1 (1:12) yang dipamerkan pada Nuremberg Fair Toys di Jerman. Dan Tamiya menjadi partisipan dari Jepang pertama pada event itu.
military-miniatur-set
Military Miniatures Set

 

  • Tahun 1968 membuat Tank Soldier Set, ini adalah produk miniatur seri militer pertama.
  • Tahun 1976, Tamiya sebenarnya membeli Porsche 911, dibongkar, dan dibangun kembali itu dalam rangka untuk lebih memahami mobil. Tamiya membuat mobil radio kontrol (RC mobil) versi Porsche 934. Meskipun penjualan model plastik dari 1/12 Porsche 934 kurang bagus, versi mobil RC sukses besar. Pada tahun 2006, Tamiya memilih 934 Turbo RSR sebagai produk yang memperingati ulang tahun ke-30 dari seri mobil RC Tamiya ini.
tamiya-porsche-934
Porsche 934 (1:12)
  • Tahun 1986, tahun ini adalah kelahiran seri Mini 4WD, dengan produk Pertama Hot Shot Jr. Seri ini sangat populer di Jepang sampai dengan sekitar tahun 2010an.
tamiya-hot-shot-jr
Mini 4WD Hot Shot Jr (1986)

 

“Mudah dipelajari dan dibangun, bahkan oleh seorang pemula”