PENYALIN CAHAYA Review

“If he cannot silence her absolutely, he tries to make sure no one listens”

 

 

As of right now, people are just projecting their hate onto this movie. Kebencian yang memang layak sekali untuk dikoarkan karena bersumber dari dugaan kekerasan seksual yang ditutupi, yang ironisnya jadi tema dalam cerita. Sehingga orang-orang sekarang either mengasihani korban, atau mengutuk pelaku yang malah dapat penghargaan dengan menuliskan cerita ini. Like, hampir semua orang yang kulihat di timeline Twitter, yang memilih untuk menonton film ini, menyaksikannya supaya bisa membuktikan dosa itu benar tercermin ke dalam cerita. Menontonnya supaya bisa mengutuknya. Menonton tanpa apresiasi – apalagi memuji dan menikmati – sebagai bentuk solidaritas dan pembelaan kepada penyintas-penyintas yang didramakan. Mengutuk kekerasan seksual dan mengutuk pelakunya jelas adalah perbuatan yang benar. Tidak akan ada yang meragukan di sisi mana kita berpihak when it comes to case like this. Everyone should condemn it. Namun, film tentu bukan persoalan satu orang. Hanya untuk menilai salah-benar adalah alasan yang ‘kurang tepat’ untuk menonton film. Karena menonton harusnya pertama-tama untuk personal.

Aku gak meminta kalian untuk berhenti menyuarakan kebenaran dan berhenti membenci kasusnya. Aku hanya meminta untuk sejenak kita memisahkan film ini dari pelakunya. Toh film hanya ‘mesin fotokopi,’ bukan satu orang yang menyalinkan sesuatu di atasnya. Aku ingin meminta waktu sebentar untuk kita memikirkan apa yang diomongkan Penyalin Cahaya kepada kita, masing-masing. Seperti apa kira-kira dialog kita dengan film ini. Jika kita bukan korban, jika kita bukan pelaku, maka siapa kita, kata film, di cerita ini. Di mana posisi kita. Apa yang kita lakukan di cerita ini. 

penyalinmedia
Kenapa di akhir itu cuma dua cewek yang mendorong mesin fotokopi ke atas gedung? Karena yang cowok Tariq

 

Penyalin Cahaya bercerita tentang mahasiswi berprestasi bernama Suryani. Perempuan yang aktif di kegiatan teater kampus, sekaligus sibuk membantu usaha warung makanan milik orangtuanya. Selain sedikit masalah dengan ayahnya yang keras, things seem going well untuk Sur. Permohonan beasiswanya hampir tembus. Pertunjukan teater mereka sukses berat. Namun semua itu sirna ketika Sur menemukan dirinya terbangun kesiangan esok hari. Beredar foto-foto dia lagi mabok dan berpesta pora di acara sukuran klub teater tadi malam. Permohonan beasiswanya lantas ditolak. Sur diusir dari rumah. Sur yang sama sekali tidak ingat apa-apa kini berusaha membersihkan namanya. Mencari tahu siapa yang telah mengambil foto dan menguploadnya, hanya untuk menemukan perbuatan mengerikan lain yang malam itu terjadi kepadanya. Dan mungkin kepada banyak lagi teman lainnya.

Jadi, di mana aku dalam cerita Sur Menuntut Kebenaran dan Keadilan ini? Aku ngikutin perjuangan Sur menyibak misteri. Aku melihat ketika Sur malah balik dipersalahkan. Dia bicara dan mempertahankan diri tapi, aku menyaksikannya, jadi malah berbalik dituduh melempar fitnah dan meminta maaf walaupun di sini dialah yang paling dirugikan. Hidupnya hancur. Dan apa yang kulakukan? Aku hanya bisa merasa malu. Sedih dan marah juga sih, tapi yang paling nyesek kurasakan adalah malu. Karena film ini memperlihatkan kepadaku kesusahan yang harus dilalui Sur saat speak up sebagai korban. Diperlihatkan dengan emosi yang sangat mendetil, dalam teknis visual yang terlihat begitu luwes bermain close up dan warna-warna, sehingga kadang seperti realm fantasi tapi terasa menampar saking realnya semua terasa. Film ini dihadirkan ringan, tapi karena itulah justru terasa semakin menohok. Karena aku yang sama sekali gak tahu sesusah apa bagi korban seperti Suryani, yang merasa semua bisa selesai dengan enteng, jadi benar-benar merasa tersadarkan dengan tamparan. Malu karena ternyata sesusah itu bagi Suryani, dan Suryani-Suryani lain di luar sana. Malu karena kita gak doing enough to help them

Film ini paham bahwa awareness terhadap itu harus ditingkatkan. Jadi mereka membuat Sur menempuh semua yang kita jatuhkan kepada korban pelapor setiap kali ada kasus seperti ini. Sur akan dicurigai berbohong. Sur dipersalahkan karena ceroboh. Sur dianggap mencemarkan nama baik. Semua itu ditampilkan film dalam gambaran yang begitu naas, bukan semata demi dramatisasi ataupun glorifikasi penderitaan korban. Melainkan untuk ngeshame kita yang entah kenapa selalu takut untuk mempercayai korban. Kita malah lebih suka mempertanyakan mereka. Akhirnya membuat mereka senewen sendiri, merasa diri merekalah yang salah. This is the worst feeling. Film dengan berani mengangkat itu. Konflik personal Sur dieksplorasi. Dia merasa bersalah melanggar aturan ayahnya. Dia merasa bersalah nuduh temannya. Telah ngebajak hape mereka. Adegan Sur dan teman-teman nonton rekaman CCTV dan kemudian tuduhannya berbalik menjadi Sur malah disalahin teman-teman, duduk terdiam di sana, dengan pikiran berkecamuk antara apa ia dia salah dengan masih ada satu hal yang gak kejawab baginya, merupakan salah satu yang paling menohok. Menciptakan intensitas, dan karakter building yang kuat. Sur tidak digambarkan tak-bercela, dia tidak selalu benar, dan ini jadi menambah lapisan konflik. Ke kita, yang selalu failed mengenali urgensi korban. Bahwa sekalipun korban tampak bersalah, itu tidak mengurangi kenyataan bahwa dia adalah korban kasus kekerasan. It still happened to her. Help her.

Dengan begitu, ironi yang digambarkan film ini jadi semakin kuat. Sur, untuk speak up, terpaksa harus bertindak sendiri. Tanpa dukungan. Dia harus melanggar hukum untuk membuktikan dirinya tak bersalah dan adalah korban dari ini semua. Arahan untuk perjalanan karakter ini terasa begitu kuat. Mantap mengarah kepada efek yang diniatkan. Thriller bergaya misteri whodunnit dipilih untuk semakin mengontraskan. Kenapa? karena whodunnit biasanya simpel. Everybody is suspect tapi ujungnya selalu siapa yang salah, siapa yang benar. Sur pikir dia tinggal menemukan siapa yang upload. Siapa yang membiusnya. Sayangnya, urusan kasus kekerasan seksual di kita belum bisa jadi sesederhana itu. Tidak dengan relasi kuasa dan ketimpangan gender masih merajalela. Padahal seharusnya ya sederhana, orang yang berbuat salah, ya harus dihukum. Tapi kenapa Sur yang jadi semakin susah dan sendirian. Di pilihan bercerita inilah gagasan film sesungguhnya juga berada.

Bahkan penampilan akting Shenina Cinnamon sebagai Suryani tampak dikawal sangat ketat. Seperti misalnya ada beberapa dialog yang diucapkan dengan sedikit belibet olehnya, tapi oleh cara film ini mempersembahkan, belibet itu jadi tampak sesuai dengan konteks. Bahwa karakter ini memang sedang mengalami kejadian yang emosionalnya harus ia pendam sendiri. Sehingga ia ‘bergetar’ menahan semua itu.

Yang ditunjukkan dengan begitu emosional oleh film ini adalah bahwa pilihan satu-satunya bagi korban kekerasan  adalah untuk diam. Bukan karena mereka mau diam. Melainkan karena diam berarti pilihan yang paling aman. Karena keignorance kita-lah mereka memilih itu. Angkat bicara menjadi sulit. Bukan saja membuka trauma, tapi juga sebab kita masih lebih cenderung tidak mempercayai korban. Sementara pelaku dengan gampangnya memainkan kuasa untuk mendiamkan, bahkan balik menuding mereka. 

 

Mitologi medusa jadi alegori yang tepat. Dalam adegan revealing yang dibuat sangat teatrikal, mendadak realm fantasi tadi mendobrak kesan realism yang dibangun, kita diperlihatkan pelaku yang sebenarnya beraksi kayak wayang orang di tengah asap, berdialog soal medusa dan perseus. Di depan korban-korban yang dibekep. Adegan ini memang terlihat aneh dan over the top. Tapi masih berfungsi efektif dalam memuat gagasan. Karena beginilah gambaran korban-korban kekerasan seksual di dunia nyata. Mereka dibungkam. Mereka jadi terdiam. Membatu, kayak korban Medusa. Pelaku di cerita ini bilang dirinya Perseus, but really, pelaku sebenarnya lebih cocok dikatain medusa. Karena udah bikin korban membatu. Pelaku bebas bergerak. Terus beraksi ke sana kemari, menepis tudingan sana-sini, dan balik menyalahkan korban. Memastikan tidak ada yang mendengarkan mereka. Dan kita simply tidak melihat itu.

penyalininopsis-Film-Penyalin-Cahaya-Angkat-Cerita-Tentang-Kekerasan-Seksual
But now we know, dan kita kasih cermin ke Medusa. Mereka kini yang diam membatu.

 

Menjadi whodunnit ternyata punya lubang jebakan sendiri. Dan penulisan film ini enggak seanggun arahannya, sehingga film kecemplung juga beberapa kali. Dalam pengembangan misteri misalnya. Untuk membuat penonton tetap engage ke misteri, film paham harus mengungkap perlahan. Hanya saja, misteri ini terlalu dielaborate. Dari siapa pelaku upload, hingga ke pelaku pelecehan yang lebih besar, film terlalu sibuk mengembangkan seolah ini adalah kejahatan cerdas. Terselubung, terencana dengan matang. The crime keeps getting bigger. Hingga jadi kayak mustahil. Ya mustahil terjadi, mustahil gak ketahuan, mustahil ada yang bantuin. Kasusnya sendiri, jadi kayak ngada-ngada. Di sini aku bisa lihat penonton yang udah tahu kasusnya bakal ilfeel lagi saat menonton. Karena film tampak seperti mau ngepush kehebatan pelaku. Yang berlawanan dengan gagasan dan sasaran dialog film. Kita. Penyalin Cahaya harusnya ngepush narasi dari perspektif Sur untuk menegur kita yang gak melakukan apa-apa melainkan mempersulit korban. Bukan untuk memperlihatkan soal rencana sinting dan rapi si pelaku. 

Sehingga film terasa jadi lebih panjang daripada seharusnya, untuk urusan kasus yang tidak perlu terlampau digayain. Seharusnya waktu dipakai untuk ngeresolve beberapa hal. Terutama dari sudut pandang korban seperti Sur dan yang lain. Turn around mereka perlu dieksplorasi lagi karena berkenaan dengan kesukaran membuka suara. Aku sendiri sebenarnya pengen banget konflik Sur dan ayahnya diresolve, seperti Sur dengan ibu. Terutama karena ayahnya yang paling keras tidak mau mempercayai Sur, sementara dia juga ada benarnya – kalo ayah gak nyuruh Sur pake baju dalam, Sur gak akan pernah menyadari satu kejanggalan kunci yang membuatnya yakin dirinya ‘dikerjai’. Yang paling kurang greget sebenarnya adalah karakter Amin (Chicco Kurniawan di sini mirip John Cho ya haha) sahabat Sur yang tukang fotokopi dan menampung/memfasilitasi usaha Sur. Kalo kita balik ke kasus, menurutku ke dalam karakter inilah co-writer menuangkan dirinya. Pelaku in the past, dan kini berusaha meredeem diri dengan membantu Sur. Tapi yang dilakukan Amin tidak cukup. Hanya sebatas memberi mesin fotokopi. Sikapnya tidak pernah diselesaikan. Pengkhianatannya dirasakan oleh Sur, sebesar ‘pengkhianatan’ yang penonton rasakan sehingga banyak yang akhirnya memilih untuk tidak lagi mendukung film penting ini.

 

 

With all of that being said, pendapatku terhadap film ini – dan kasusnya –  ada dua. Pertama untuk filmnya sendiri. Aku masih menganggap film ini layak menang Terbaik FFI. Karena pesan dan relevansinya. Karena arahan dan teknis dan permainan aktingnya. Tapi tidak untuk sebagian lagi, terutama untuk penulisan. Yang memang terlalu bombastis, seringkali tidak sesuai dengan niat filmnya sendiri. Kedua, mengenai tujuan film dan kasus itu sendiri. I feel like, keberadaan film ini penting karena menyadarkan kita bahwa korban-korban itu susah mendapat keadilan, maka permudahlah. Bantu mereka sebarkan suara, karena itulah justice yang paling mungkin bisa mereka dapatkan. Akan tetapi, kalo dengan keberadaan film ini malah membuat korban semakin merasa tak diperlakukan adil, membuat mereka makin susah mendapat justice, maka menurutku hate it if we must. Sebaiknya film ini bertindak tegas dan merestore itu. Jangan sampai film ini hadir tapi jadi bertentangan dengan makna keberadaannya sendiri. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PENYALIN CAHAYA

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kebanyakan orang masih begitu sulit mempercayai korban?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2021

 

Pertama-tama (biarin deh kayak orang pidato) aku mau ucapin maaf dulu karena tahun 2021 aku cuma sedikit sekali ngereview film. Total hanya 110 film yang terulas, padahal banyak yang rekues review beberapa film, ampe beberapa kali. Tapi aku selalu nontonnya telat, dan kemudian ketinggalan lantaran mulai banyak film yang keluar.  Sementara bioskop, di tengah tahun sempat buka, lalu tutup, dan rame lagi di akhir. Dan aku honestly gak bisa langsung ikut kembali ke bioskop karena paling males harus install-install aplikasi. Jadi, ya maaf kalo kalian yang bolak-balik ngecek ke blog ini untuk bahas soal film terbaru, dan kecewa ngeliat gak ada reviewan.

But also, aku mau terima kasih sama kalian-kalian yang masih mau-maunya ngecek ke blog ini. Meskipun reviewnya tidak hadir secepat biasanya, tidak sebanyak biasanya. Terutama sih, terima kasih karena masih peduli sama film. Masih tertarik untuk membahas dan ngomongin film, for the sake of the movies themselves. Bukan sekadar untuk asik-asikan atau keren-kerenan diri sendiri. Masih hobi berbondong-bondong meramaikan bioskop. Ataupun begadang demi nonton special screening di komputer.

Jadi, untuk tidak memperpanjang mukadimah (tuh kan jadi beneran kayak pidato Pak RT!), langsung saja disimak list delapan film teratas pilihan My Dirt Sheet. Walaupun sedikit, kompetisi kali ini tidak kalah ketat. Honorable Mentions kukurangi lagi dari 15 kini menjadi hanya 12 untuk membuat daftar ini tetap menarik. Dan perlu diingat, teratas di sini maksudnya memang terbaik, tapi bukan ‘terbaik’ terbaik. Melainkan ‘terbaik’ according to me, baik itu sebagai tontonan hiburan, tontonan bergizi, ter-relate ke diri sendiri, dan bahkan sebagai komposisi list yang menarik. Yea, singkatnya, subjektif. Film kesukaan kalian gak kesebut? Well, kalo ternyata aku sudah nonton, ya tinggal kita obrolin di komen. Kalo aku belum nonton? you can convince me untuk menyaksikannya segera. (Kecuali favorit kalian itu adalah Eternals atau Penyalin Cahaya; alias yang ada rilis di Januari. Mereka kubikin bersaing di 2022 saja).

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • Censor (psikologikal horor yang dibikin sebagai tribute untuk film-film horor jadul yang gore dan nasty abis. Disturbingnya lipat dua!!)
  • Last Night in Soho (horor penuh gaya, dengan duo pemain yang cakep. Aku merasa relate banget karena pernah bikin film pendek dengan konsep cermin yang serupa)
  • Minari (drama keluarga yang ingin sukses di rantau ini sangat menyentuh, dan somehow menginspirasi)
  • Saint Maud (begini nih kalo halu sama iman dan kepercayaan!!)
  • Spider-Man: No Way Home (experience nonton paling gila yang bisa kita rasakan!)
  • Stillwater (meski diwarnai kontroversi, tapi ini adalah drama dengan konteks karakter dan politik sangat kuat. Plus ada relationship figur ayah dan anak yang sangat heartwarming)
  • The French Dispatch (film tapi sebenarnya adalah majalah! bingung kan?)
  • The Green Knight (dongeng ksatria pengecut yang diceritakan lewat visual yang magis dan breathtaking)
  • This Is Not a Love Story/Bukan Cerita Cinta (hidden gem di perfilman Indonesia. Dimainkan dengan sangat natural)
  • tick, tick…BOOM! (penampilan akting keren Andrew Garfield di musikal paling relate; siapa sih yang gak galau sama umur?)
  • Till Death (ku sangat surprise sama Megan Fox dan film ini)
  • Titane (Kucumbu Tubuh Indahku versi cewek, dan versi lebih brutal)

Serta, Special Mention marilah kita panjatkan ke hadirat The Medium, yang pada 2021, ulasannya paling banyak dibaca di My Dirt Sheet. Dan kepada The East yang mecahin rekor view video ulasan terbanyak di Youtube My Dirt Sheet.

 

Dan, inilah TOP-EIGHT MOVIES 2021!!

 

 

 

8. THE SUICIDE SQUAD

the-suicide-squad-2021-banner-art-8k-du-1366x768

Director: James Gunn
Stars: Idris Elba, John Cena, Margot Robbie
MPAA: Rated R for strong violence and gore, language throughout, some sexual references, drug use and brief graphic nudity
IMDB Ratings: 7.3/10
“Rats are the lowliest and most despised of all creatures, my love. But if they have purpose, so do we all.”

James Gunn actually did the impossible: Ngasih perspektif dan development kepada segitu banyak karakter! Dan dia melakukan itu tetap dengan penuh gaya.

Gak ada karakter yang gak berguna, sekalipun mereka mati, film memberikan sesuatu kepada mereka sehingga kita mengingatnya. Gunn actually memulai dengan swerve, tapi itu sama sekali tidak menghambat ataupun terasa seperti kecohan yang ngebecandain kita. Melainkan dilakukan dengan bersenang-senang dan efektif sebagai pengeset mood pada naskah. 

The Suicide Squad jadi salah satu film paling rame seantero 2021. Aksi-aksinya brutal (karena Gunn enggak shy away dari kenyataan bahwa protagonis ceritanya adalah orang-jahat semua), karakternya unik (grup protagonisnya menarik semua, tidak ada satupun yang satu dimensi, tidak ada satupun yang cuma ‘receh’), dialog-dialog kocak, dan visual yang benar-benar tepat mengenai estetik komik.

My Favorite Scene:
Dari Rat Girl yang steal the show hingga ke Polka Dot Man yang melihat ibunya di mana-mana, film ini berjalan cepat dengan nampilin begitu banyak adegan memorable. Favoritku adalah adegan ketika the squad menyerbu Jotunheim. Berantem dengan latar hujan itu sungguh ngasih intensitas dan jadi panggung yang menarik. Kreativitas Gunn kayaknya keluar semua di situ!

the-suicide-squad-rain

 

 

 

 

 

 

7. BLOOD RED SKY

AAAABdZVhCiwnfZ0fJKLgSYtsGUgJ2KE9OoYPQW7QzR1PdpiHsMbSJFPleDByWj7fCWs-8cdvUFE5ns2OoIkWcHBg8dl8LJREa4gFLKwIsZhvK028a3g0K8EbyTqrSa5fg

Director: Peter Thorwarth
Stars: Peri Baumeister, Carl Anton Koch, Alexander Scheer
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 6.1/10
“Did you drink blood?”

Criminally. Underrated.

Blood Red Sky adalah campuran dari thriller pembajakan pesawat, teror di ruang tertutup, drama seorang ibu, dan juga cerita tentang vampir. Dan walaupun si ibu itu adalah vampir yang berusaha menolong anaknya dari teroris, cerita tidak pernah membuat semuanya mudah. Intensitas selalu naik pada setiap adegan, karena film terus saja memberikan rintangan-demi rintangan. Semua itu berkumpul menjadi sajian mendebarkan, horor yang paling aku ingat sepanjang tahun, sementara juga menyentuh lewat perjuangan ibu terhadap anaknya.

Dewasa ini, horor udah jarang yang berimbang kayak gini. It’s either terlalu artsy, atau terlalu campy dengan jumpscare dan segala macam kekonyolan. Blood Red Sky tampil seperti horor dari era yang lalu. Yang bisa bikin kita duduk tegang, meringis oleh kekerasannya sangat eksplisit, jengkel setengah mati oleh villain yang over-the-top, sambil memikirkan psikologi di baliknya. Dan akhirnya terenyuh oleh hatinya. Coba deh ajak ibumu nonton bareng ini di Hari Ibu

My Favorite Scene:
Hubungan ibu dan anak jadi denyut emosi film ini. Momen paling sedih buatku saat Elias berusaha ngasih comfort dengan sesantai mungkin ke ibunya, menjaga dari matahari, ibunya yang sudah hampir kalah dalam perjuangan melawan naluri zombie, fully knowing bahwa berkat perjuangan berat ibunya itulah mereka masih hidup pagi itu

1ca4bf_f45e2b496622447b8da679b6db4aa851_mv2

 

 

 

 

 

6. THE FATHER

The-Father

Director: Florian Zeller
Stars: Anthony Hopkins, Olivia Colman, Imogen Poots
MPAA: Rated PG-13 for some strong language, and thematic material
IMDB Ratings: 8.3/10
“There’s something doesn’t make sense about this. Doesn’t make sense.”

Dari ibu dan anak laki-lakinya, kita beralih ke cerita tentang ayah yang bikin bingung anak perempuannya. Karena si ayah ini mengidap alzheimer, yang perlahan semakin parah. Membuatnya lupa bukan hanya letak jam tangannya, melainkan siapa dirinya, di mana dan kapan dia berada sekarang.

Tahun lalu ada film Relic, yang juga masuk Delapan-Besarku, yang juga bercerita tentang penyakit mengerikan ini. Tapi dengan elemen horor. The Father bercerita lewat drama dan dialog, tapi tetep terasa sama seramnya. Dan bahkan lebih menyayat hati. 

Film ini unggul bukan saja berkat penampilan akting Anthony Hopkins – living legend – yang luar biasa. Tapi juga berkat penceritaan yang benar-benar membuat kita berada di dalam sepatu karakter Anthony. Yang bisa lupa semua hal begitu saja sedari dia bangun tidur. Film akan menampilkan ruangan yang berbeda (furnitur dan letaknya), memperlihatkan karakter anak yang diperankan oleh artis yang berbeda-beda setiap adegan, sehingga kebingungan itu benar-benar kita rasakan. Maka kita menjadi semakin peduli dan semakin termasuk ke dalam cerita, dan juga kepada meluluhlantakkannya akibat dari penyakit ini.

My Favorite Scene:

Lihat betapa drastisnya perubahan si ayah seiring percakapan seringan kenalan ama pengasuh baru, dan bagaimana sang ayah tampak asing bagi anaknya.

 

 

 

 

 

 

5. YUNI (versi festival)

3350885204Director: Kamila Andini
Stars: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 8.0/10
“Mending makan cilok!”

Yuni suka warna ungu, nyanyi, makan cilok, silat. Yang tidak Yuni suka adalah dilamar. Karena Yuni masih sekolah, dia ingin ke perguruan tinggi. Yuni adalah cerita yang efektif sekali menggambarkan perempuan muda yang merasa terkurung pribadinya oleh pandangan sekitarnya terhadap perempuan beserta segudang pamali. Membahas perkawinan anak lewat sudut pandang remaja perempuan dengan cara yang sangat tenang tapi menyanyat hati.

Ada dua versi film Yuni. Tapi menurutku, hanya versi untuk tayang di festival saja yang benar-benar pantas disebut sebagai film Indonesia terbaik di tahun 2021. Versi festival benar-benar terstruktur untuk kita menyelami perasaan Yuni yang semakin merasa sendirian. Kuatnya, tidak seperti Lady Di di film Spencer, Yuni tidak pernah mengantagoniskan. Dia berusaha memahami pamali. Konflik seringkali hadir dari tindakan ‘perlawanannya’ tersusul oleh rasa cemas kalo dia telah melanggar ‘aturan-tak-tertulis’ tersebut.

Meskipun gagal di Oscar, dan meskipun versi bioskopnya lebih disukai karena ada nyanyi-nyanyi dan berakhir dengan soften the blow, aku rasa kita semua sepakat Yuni telah menyentuh hati kita. Seperti puisi.

My Favorite Scene:
Penolakan pertama yang dilakukan Yuni udah kayak adegan karakter yang harus membunuh untuk pertama kalinya untuk bisa survive dalam film-film thriller/horor. Perhatikan gimana sedari awal Yuni berjalan, terus mengkonfrontasi si cowok, dan bagaimana Yuni mengulangi kalimat menolak lamaran itu. Great acting, great writing, great directing!

maxresdefault (1)

 

 

 

 

 

 

4. THE MITCHELLS VS. THE MACHINES

AAAABSYF6Rln4hC-Aj5mdZIvmyGIOv4_E3Zoitx0VpDN7kan5rqvyhVIzXnjE-q0mQ8s9GpZee9FOm-3-3HPo_P40AcAfUD-YK-6OQmIlD-wruf-viRwOdSN9io9co4n5g

Director: Michael Rianda, Jeff Rowe
Stars: Abbi Jacobson, Danny McBride, Maya Rudolph
MPAA: Rated PG for action and some language
IMDB Ratings: 7.7/10
“My parents haven’t figured me out yet. To be fair, it took a while to figure myself out.”

Katie Mitchell adalah kita, hobi banget ama yang namanya film. Sampai-sampai dia giat membuat film pendek lucu-lucuan dari berbagai kreasi sendiri. Dan ya, Katie Mitchell adalah kita, yang hobinya tidak disetujui orangtua. In that way, film ini adalah cerita yang langsung gampang kita pedulikan. Hebatnya, film ini menomorsatukan kreasi penceritaan, kehebohan visual. Dan dapatlah kita animasi petualangan super konyol yang bakal terus menghibur dan menyentuh, sedari awal hingga akhir.

Visualnya dibikin sebagai karakter tersendiri. Film ini menggunakan estetik internet dan dunia sosmed, yang tidak hanya sebagai gimmick. Melainkan benar-benar menyatu ke dalam cerita. Kadang film ini terasa terlalu cepat, sehingga kita merasa perlu untuk mempause dan mengulangnya kembali. Bahkan jika kita benar-benar melakukan itu, film tidak akan menjadi bosan. Berkat humor dan dialog yang cerdas di atas karakter-karakter eksentrik yang menyerempet over-the-top itu.

Elemen petualangan bareng keluarga menambah keseruan film ini ampe pol! Tema yang diangkat adalah seputar teknologi, yang actually responsible dalam memperlebar jarak antara anak dengan orangtua. Membuat mereka semakin susah berkomunikasi. Dan walaupun musuh mereka memang robot-robot, film berimbang, tidak benar-benar menjadikan teknologi itu sebagai mutlak antagonis. Ada momen-momen menyentuh ketika orangtua berusaha memahami hobi anaknya dengan nekat mencoba masuk ke dunia teknologi. Bahkan ada adegan ketika ayah Katie harus bisa komputer dulu demi menyelamatkan anaknya

 

My Favorite Scene:
Begitu banyak komedi-komedi dan momen konyol di film ini. Film pun sempat-sempatnya masukin komentar kocak soal perilaku manusia yang telah jadi tergantung sama internet.

 

 

 

 

 

 

3. ANNETTE

c4f5dbff4b44f77ebde5790a94bf515acb4f34fc1df4cf953213db300f706e04-rimg-w523-h296-gmir

Director: Leos Carax
Stars: Adam Driver, Marion Cotillard, Devyn McDowell 
MPAA: Rated R for sexual content including some nudity, and for language
IMDB Ratings: 6.4/10
“Now you have nothing to love.”

Keanehan The French Dispatch hanya bisa disaingi oleh karya Leos Carax ini. Urusan cinta memang rumit dan aneh. Annette menceritakan cinta ‘palsu’ antara dua selebriti panggung yang menghasilkan anak berupa boneka kayu, dengan gaya teater musikal. And I love, every second of this movie.

Dialog-dialog yang dinyanyikan, dengan pengadeganan yang sureal dan hampir semua hal di layar itu tampak artifisial. Awalnya tampak seperti kisah romansa yang manis, tapi kemudian berubah menjadi rencana pembunuhan yang elaborate, ke eksploitasi anak. Karakter pun makin membuat dirinya tak disukai. Dan memang itulah yang diniatkan. Yang dirancang. Memang, akibatnya film ini tidak gampang untuk disukai banyak orang. Tapi dengan begitu, dia sukses menyampaikan gagasan yang dikandungnya. Bahwa manusia adalah makhluk yang tragis ketika kita menganggap hidup adalah panggung. Mungkin paling tepat jika kita menyebut Annette sebagai sebuah opera horor.

Dengan konsep dan konteks seperti demikian, film menjelma menjadi sebuah sajian yang cantik. Aneh iya, tapi cantik. Carax terus ngepush quirk filmnya tersebut. Penampilan para aktor pun jadi ikut terdorong. Akting-akting di sini begitu intens, dan kadang memang membuatku sedikit ngeri juga. Melihat Adam Driver semakin berpusar turun as a human, seiring dengan rash di wajahnya membesar, kadang membuatku takut, tapi kemudian kasian. Benarlah film superaneh, sukar dimengerti kalo terlalu fokus cerna nyanyiannya, ini mampu bikin kita turun naik.

 

My Favorite Scene: Banyak orang akan mengingat adegan ML sambil nyanyi, ataupun adegan baby annette melayang sambil nyanyi. Tapi buatku, yang paling ngena adalah adegan terakhir di penjara. Annette yang udah jadi manusia, dialog sama bapaknya. Feels so unreal. Sampai sekarang pun kalian masih akan mendengarku menyenandungkan lirik dan irama nyanyian mereka.

 

 

 

 

 

 

2. CODA

CODA-1

Director: Sian Heder
Stars: Emilia Jones, Troy Kotsur, Marlee Matlin
MPAA: Rated PG-13 for strong sexual content and language, and drug use
IMDB Ratings: 8.1/10
“You know why God made farts smell? So deaf people could enjoy them too.”

Coda pada dasarnya punya cerita yang sama seperti The Mitchells vs. The Machines. Bakat Ruby gak bisa didengar oleh orangtuanya. Tapi itu karena keluarga Ruby literally gak normal. Ibu, ayah, dan abang Ruby tuli. Dan setting keluarga tersebut eventually membuat Coda menjadi drama keluarga, cerita remaja, yang sama sekali berbeda.

Film ini mengembangkan karakter-karakter tulinya dengan hormat. Dan itu bukan dalam artian karakternya dijaga dan gak dikasih apapun yang negatif. Tidak. Melainkan hormat karena mereka dibuat tidak meminta simpati. Tidak malu dengan kekurangan mereka dalam hal apapun. Drama film ini datang dari Ruby yang gak lagi bisa terus menjadi telinga bagi keluarganya, karena dia sekarang harus mulai membangun hidupnya sendiri. Problematika yang dipersembahkan film ini lewat Ruby, terasa real dan relate. Makin real dan hormat karena film ini melakukan hal yang benar dalam merepresentasikan karakternya.

Perspektif juga dijaga sekali oleh film ini. Tahu kapan harus menarik semua suara dan membuat kita merasakan sepenuhnya yang dirasakan oleh karakter. Selain permasalahan keluarga yang menyentuh hati, film ini juga punya adegan-adegan musik yang indah, adegan khas remaja yang sweet, there are just so many lovable and enjoyable things di film ini.

My Favorite Scene:
Adegan Ruby duduk bersama ayahnya, kemudian dia bernyanyi kepada ayahnya, dan ayahnya mengerti. Truly momen ayah-anak paling kuat seantero film 2021. 

 

 

 

 

Cerminan ideologi, refleksi kasih sayang ibu, gambaran suram penyakit, potret opresi perempuan, perwakilan tunarungu, simbolisme kehidupan keluarga modern, keluarga public figur. Jika representasi adalah hal yang penting untuk dilakukan oleh film, maka aku pun mulai berpikir film apa yang kira-kira cocok untuk melambangkan perjuangan kita semua di era pandemi. Memang dua tahun belakangan ini, ada banyak film yang mencoba untuk menceritakan kehidupan kita tersebut.

Film yang kunobatkan sebagai terbaik tahun ini adalah film yang mencuat karena telah menjadi sindiran yang sangat telak kepada kita semua. Film terbaikku tahun ini adalah sebagai penanda jaman, yang kuharap sepuluh tahun lagi kita bisa menontonnya. Dan barulah saat itu kita semua benar-benar tertawa dibuatnya. Karena kita telah berhasil survive dari yang ia gambarkan.

 

 

1. DON’T LOOK UP

dont-look-up

Director: Adam McKay
Stars: Leonardo DiCaprio, Jennifer Lawrence, Meryl Streep
MPAA: Rated R for language throughout, some sexual content, graphic nudity and drug content.
IMDB Ratings: 7.3/10
“You guys, the truth is way more depressing. They are not even smart enough to be as evil as you’re giving them credit for.”

Lucunya, film ini sama sekali tidak bicara tentang pandemi virus.

Dan itulah yang jadi bukti bahwa satir dan sindiran film ini bekerja dengan sangat efektif. Dua astronom yang menemukan komet hendak menabrak bumi, malah disepelekan, dijadikan alat politik, Presiden lebih mendengar kata bisnisman dan berusaha mengambil keuntungan dari bencana yang sedang otw ketimbang mengambil tindakan pencegahan yang aktual. Ada begitu banyak kemiripan untuk dianggap sebagai kebetulan. Film ini pastilah meniatkan. Film ini pastilah sedang mengutarakan sikap dan pandangan. 

Sindiran itu bukan hanya untuk pemerintah. Untuk kita juga. Karena dari dua astronom itu, yang satu dijadikan bintang televisi sementara yang satu dianggap gila. Kita masih tertarik pada hal-hal yang gak perlu. Pada kecantikan/kegantengan, pada gosip, pada konser-konser dan selebrasi lainnya. Kita mudah kemakan media, yang memang lebih peduli sama rating. Kegocek pengalihan isu dari pemerintah. Tapi bukan hanya sindiran saja, sebenarnya film memperlihatkan kekuatan dan kelemahan kemanusiaan dengan imbang. Hanya manusianya saja yang lebih cenderung memilih yang bego.

Semua itu dilakukan McKay lewat penulisan yang sangat cerdas. Bukan hanya menyindir kita, dia juga mampu membuat cerita dua astronom ini legit dengan struktur skenario yang solid. Gerak kamera dan editing juga efektif dalam menampilkan tone. Tidak sekalipun film tergagap menangkap dan menghidupkan banyak karakter, yang dimainkan oleh ensemble cast yang luar biasa. Bintang-bintang itu bukan di atas sana, tapi di layar kita.

My Favorite Scene:
Buatku inilah film penanda jaman yang tepat. Era pandemi dan era idiocracy digambarkan dengan telak. Ada satu scene yang membuatku ngakak banget, yaitu ketika presiden Meryl Streep ngingetin Leonardo bahwa dia sekarang di lingkaran penguasa di atas. Presiden ngewhip out rokoknya, dan di latar kita melihat mereka berada di ruangan inflamable. Sungguh komentar yang ngena terhadap pemerintah.

kogprogdfd - Copy

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Demikian daftar Top Movies 2021 ini kami tulis. Apabila ada salah-salah kata, lebih dan kurangnya kami ucapkan maaf dan terima kasih.

Apa film favorit kalian di tahun 2021? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2022?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…


Tambahkan judul - Copy

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

My Dirt Sheet Awards PERFECT10

 

 
Seperti semua cerita memalukan lainnya, awarding ala-ala ini juga bermula dari Facebook.
Nun jauh sebelum aku punya blog khusus ngulas film, dulu aku suka nulis semacam ‘personal-literatur’ di notes Facebook. Dan di akhir tahun 2009, aku bikin cerita rangkuman kejadian-kejadian yang terjadi dan menimpaku tahun itu. Baru di 2011-lah, konsep rangkuman tersebut berubah menjadi per-kategori. Kayak award show. Terpengaruh heavily oleh segmen The Dirt Sheet milik Miz dan John Morrison di WWE. So yeah, itulah cikal bakal atau origin dari awarding serta blog ini sendiri.
Konsep The Dirt Sheet di WWE yang tahun berikutnya itulah yang kuadopsi saat melebarkan diri dari FB ke blog beneran. Mulai dari catchphrase “winners and losers” hingga ke acara award yang ngasal dan suka-suka aja. Seiring waktu, aku jadi pencinta film dan mulai giat menonton dan nyari pengetahuan tentang film. Sehingga blog ini pun lebih fokus ke ulasan, dan ‘yang dinilai’ di award pun ikut bergeser; Dari yang tadinya berasal dari hal-hal yang kualami, kuamati, di manapun, sekarang jadi lebih banyak nyerempet tentang film dan sosial media.
Dan gak kerasa, sekarang ternyata udah yang ke-10 kalinya (tahun, iye, tahuun!) aku bikin awarding kayak begini di blog yang aku juga gak nyangka masih ada – dan ngelewatin cukup banyak evolusi. Aku sendiri juga kaget, excitement aku nulis dan ngerangkum kaleidoskop-yang-nyaru-sebagai-awarding ini masih sama kayak pas pertama kali bikin. Rasanya masih superseruu!! Padahal tahun 2020 gak exactly tahun yang ramah…
Ya, selain sebagai penanda full-circlenya sepuluh tahun Award ini, fokus kali ini juga tentu saja kepada 2020 itu sendiri. Tahun yang bagi sebagian besar manusia normal adalah tahun yang mengerikan. Merenggut kita dari kebiasaan normal. Membuat kita bertempur dengan penyakit yang menyebar lewat satu-satunya yang membuat manusia itu manusia; sosialisasi. Bagaimana dengan kalian, berapa menurut kalian angka yang sudah dicetak oleh tahun 2020?
Karena, inilah skor tahun 2020 menurut My Dirt Sheet!
 
 
 
 

TRENDING OF THE YEAR

Oke, menurutku kita semua tahu, tahun 2020 itu tahun milik siapa. Jadi gak usah basa-basi, inilah pemenang The Dirty untuk Trending of the Year:

Ilustrasi di atas (credit buat siapapun yang bikin) benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Bermula dari kalelawar yang dijadiin sup, Covid-19 udah mengambil alih dunia. 2020 praktisnya bagi kita hanya berlangsung tiga bulan – cuma sampai Maret. Karena setelah itu semuanya hanya tentang survival kita dari corona. Virus ini mengubah gaya hidup, menguak sisi buruk, dan memercikkan banyak pengaruh lain – positif dan negatif – ke dunia yang kita kenal.
Tapi, kalo kalian masih penasaran sama tren apa aja pernah nongol di 2020, berikut mention buat para nominasinya:
1. #Blacklivesmatter
Seolah dunia gak bisa lebih horor lagi, hashtag ini jadi viral setelah insiden polisi bertindak semena-mena terhadap warna kulit di Amerika, yang memicu gerakan yang melawan praktik rasisme yang masih senantiasa ada di masyarakat nyaris di seluruh dunia.
2. Bu Tejo
Sosok yang memungkinkan film pendek Tilik menjadi viral. Karakter ini dibahas dari segala sudut oleh beragam warna netijen. Whether Bu Tejo adalah stereotipe atau gambaran nyata, yang jelas ibu bermulut tajam ini sudah sukses jadi idola
3. Dancing Pallbearers
Gak heran meme pembawa peti jenazah yang menari ini jadi viral. After all, komedi adalah mekanisme terbaik manusia. Dan 2020 memang adalah tahun dengan angka kematian yang tinggi
4. Kekeyi
Selegram dan bintang Youtube yang terkenal karena… ah katakanlah, karena keahlian tutorial make up dan video clip musiknya. Tengah 2020 aja, subscribernya udah nyampe satu juta
5. Kopi Dalgona
Bulan-bulan pertama masa karantina atau PSBB, kopi dalgona jadi pengalih perhatian yang trendi, saat semua orang berusaha untuk menyajikan sendiri kopi campur krim yang katanya enak ini
6. Parasite
Film yang paling banyak dibicarakan oleh sinefil. Menang gemilang di Oscar, mendobrak begitu banyak pintu rekor dalam catatan sejarah penghargaan film bergengsi di dunia itu sendiri.
7. Sepedaan di Tengah Jalan
Di masa pandemi, semua orang pada pengen sehat. Jadi beberapa ada yang merogeh goceknya, membeli sepeda termutakhir, dan merasa memliki separuh jalan raya!
 
 
 
 
Sepertinya aku gak perlu mengingatkan berapa persisnya angka kasus dan kematian karena Covid-19 di akhir tahun, karena semua itu masih berlanjut hingga sekarang. Begitu banyak korban. Belum lagi bencana-bencana yang lain. Di Januari itu ada banjir di Jakarta, lalu disusul oleh kebakaran hutan gede-gedean di Australia, bahkan katanya sempat mau ada Perang Dunia Ketiga! Gak heran jiwa yang menuju Great Beyond di film Soul itu jumlahnya banyak banget. Atuk dan Oomku ada di antara mereka.
Maka, mari kita Mengheningkan Cipta,
kita panjatkan do’a-do’a kepada mereka – mungkin kalo bisa juga sedikit kata maaf karena menyepelekan kematian mereka karena kepala kita terlalu keras untuk percaya Corona itu ada.
Kita dedikasikan

MOMENT OF SILENCE

ini untuk mereka-mereka, serta para tenaga kesehatan yang baik yang telah gugur maupun yang masih terus berjuang tanpa kenal lelah.
Mengheningkan Cipta
….
….
Mulai!
….
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
 
 
 
 
With that being said, aku gak akan biarkan Award ini jadi gloomy karena bencana dan trauma yang dibawa oleh Covid. Karena penyakit itu, bukan dia-lah yang kuat sebenarnya, melainkan karena kekonyolan kita yang menghadapinya. Sikap dan reaksi kitalah yang memberikan kesempatan besar kepada pandemi tak-kenal ampun itu untuk terus eksis.
Sehingga, lewat kategori spesial berikut ini, aku ingin mengajak kita semua untuk merayakan reaksi-reaksi beragam manusia dalam menghadapi si trend 2020.

BEST REACTION TO CORONA


 
Nominasinya adalah:
1. Bebasin Napi
Sementara rangorang diharuskan mengurung diri di rumah, para napi yang tadinya udah aman di dalam sel, malah dibebaskan menuju rumah masing-masing. Dengan efektif menambah calon korban – either korban pandemi atau korban kriminal-yang-diulangi-lagi
2. Bikin Tugu
Emangnya siapa sih yang gak mau selfie bersama makhluk paling terkenal seantero 2020?
3. Dangdutan
Kalo Taylor Swift bilang “shake it off”, maka orang-orang di negara kita beda lagi. Mereka bilangnya “jogetin aja!” 
4. Diskonin Turis
Alih-alih menghentikan penerbangan, pemerintah di Indonesia yang jago melihat peluang malah menggenjot pariwisata dengan ngasih diskon untuk turis asing berkunjung ke Indonesia. Rasakan langsung sensasi hidup di tengah Corona!!
5. Jadi Pocong
Untuk mastiin penduduk daerah mereka disiplin ber-PSBB, dua orang penduduk sebuah desa di Lamongan nekat berjaga sambil cosplay jadi Pocong. Bercandanya memang level Halloween di April Mop
6. Jualan Kalung
Ada gula ada semut. Ada penyakit, ada obat. Maka para petinggi di Kementan jualan kalung yang katanya anti-corona.
7. Ngarang Teori
Nyiptain film dan lagu tentang corona udah biasa. Di antara pemusik, ada yang namanya disebut sebagai jerinya oleh anak gaul sosmed, ngarang sesuatu yang lebih kreatif. Teori konspirasi di balik bencana pandemi.
6. Nimbun Masker
Setara dengan jalan pikiran pemimpinnya yang, beberapa penduduk yang punya jiwa bisnis tinggi, dengan sigap memborong masker, tisu toilet, hand sanitizer, dan beberapa perlengkapan esensial lain untuk dijual kembali dengan harga tinggi

 
Seringkali aku jadi mikir, jangan-jangan penanganan corona gak pernah terlalu serius karena memang ada peluang bisnis yang gede dibawa oleh pandemi ini? But anyway, inilah pemenang The Dirty untuk Reaksi Terbaik:

At least, reaksi mereka memang berdasarkan untuk pencegahan virus yang lebih baik

 
 
 
Setali tiga uang dengan itu, kategori yang berikutnya diumumkan adalah penghargaan untuk kebegoan paling hakiki yang pernah dilakukan umat manusia di tahun 2020. Marilah kita sambut para nominasinya dengan elu-eluan yang dahsyat.
“Elu! Elu! Elu!!!”

BEGO OF THE YEAR

 
1. Buku Film Kemendikbud
Jenius dan dogol mungkin jaraknya memang hanya ‘sebenang’. Tapi jika kalian – dan begitu juga dengan sejumlah penulis lain – membaca buku yang penuh typo, ungkapan aneh, kalimat yang kayak terputus, dan istilah yang salah, maka jelas tidak akan salah menempatkan buku ini ada di kotak yang mana
2. Covidiot
Terms untuk orang-orang yang bego dalam menghadapi covid-19. Entah itu karena gak percaya, atau ngambil kesempatan, atau malah ngejelekin orang yang mengutamakan kesehatan ketimbang keviralan.
3. Hamil Karena Berenang
Komisioner KPAI mengaku menemukan sesuatu di jurnal ilmiah. Yakni jenis sperma super yang bisa hidup dan berenang mencari mangsa di kolam renang. Penemuan yang saking ‘jenius’nya aku sampai gak yakin si Ibu kesandung hoaks di bagian mana; supersperma atau jurnal ilmiahnya…
4. Karen
‘Spesies’ ini terlahir di Amerika yang lagi krisis sosial, dalam lingkungan gabungan dari salah kaprah feminis dan salah kaprah masalah rasis. Mind you, spesies ini bisa lebih berbahaya daripada covid, karena selain membawa senjata api, perempuan-perempuan itu juga selalu benar.
5. Penonton Film Milea
Filmnya sendiri pintar. Culas, lebih tepatnya. Kita-kita yang nontonnya-lah yang udah sukses dibego-begoin. Sekian jumlah orang telah tertipu beli tiket film untuk nonton cuplikan-cuplikan no effort. Dan banyak yang ngaku suka pula sama ‘film’nya!
6. Pertandingan Money in the Bank
Konsep MITB kali ini cukup unik. Cowok ama cewek digabung. Arenanya bukan ring, melainkan satu gedung. Namun nyatanya yang kita dapatkan adalah pertandingan konyol – semacam food fight dan komedi sketch, dengan editing yang poor. Way to waste such a good concept.

 
Dan anugerah yang lebih malu-maluin ketimbang Razzie ini jatuh kepadaa..

Basically, nyaris semua nominasi Best Reaction to Corona tadi masuk ke dalam istilah Covidiot

 
 
 
Semoga gak ada yang berantem karena dua kategori di atas. Karena, bukannya apa-apa, tapi kategori Feud of the Year kami sudah punya daftar nominasi yang lengkap dan tinggal nunggu keputusan pemenang. Jadi kalo mau berantem, tahun depan saja ya. Jangan kuatir, Corona juga dipastikan oleh Pemerintah untuk tetap ada, kok!

FEUD OF THE YEAR

Nominasinya adalah:
1. Amerika vs. TikTok
Salah satu deklarasi di masa-masa akhirnya menjabat presiden, Trump mendeklarasikan perang terhadap TikTok, buatan Cina yang diyakininya menjual data-data pengguna Amerika
2. Geprek Bensu vs. I am Geprek Bensu
Seteru branding antara dua franchise ayam geprek (so last year!) yang setelah dipikir-pikir lebih cocok masuk Shocker of the Year. Karena, serius aku baru tahu, ternyata keduanya berbeda!! 
3. Habib Rizieq vs. Nikita Mirzani
Atau lebih dikenal dengan pertengkaran tukang obat melawan wanita tunasusila. Mungkinkah seteru mereka ini akan mewakili seteru gender-role yang kian ngehits di kalangan SJW?
4. Jefri Nichol vs. Falcon Pictures
Single-handedly nyingkirin WWE vs. Twitch dari daftar nominasi, karena yang dihadapi Nichol di sini actually adalah apa yang terjadi kalo WWE benar-benar mempermasalahkan penampilan superstarnya di media/platform lain. Seteru kontrak yang kedua belah pihak sama-sama punya poin ‘benar’
5. Joe Exotic vs. Carole Baskin
Nah kalo ini, baru, seteru yang kedua belah pihaknya sama-sama ‘mencurigakan’. Musuh bebuyutan yang sama-sama merasa lawannya bukan penyayang biantang yang baik. Pertengkaran mereka dikipas menyala lagi oleh serial dokumenter Tiger King di Netflix. 
6. Sasha Banks vs. Bayley
Klasik dari teman jadi lawan. Build up Sasha lawan Bayley udah dari setahun sebelumnya, dan di 2020 kita baru dapat klimaksnya. Yang dimainkan dengan character-work sangat bagus dari kedua superstar.
7. Telkom vs. Netflix
Siapa di sini yang pake Indihom, pas streaming Netflix kualitas gambarnya cetek? Nah, ditengarai penyebab itu adalah kesirikan Telkom kepada Netflix yang gak kunjung usai sepanjang tahun
8. Ukhti vs. Kawat Berduri
Di Twitter ada yang ngumpulin kumpulan klip-klip para ukhti yang berjuang dengan motor mereka di jalan raya. Enggak jelas juga mereka berjuang melawan apa, aturan lalu lintaskah, atau keignoran sendiri terhadap cara mengemudi yang baik dan benar. Melawan kawat berduri inilah yang paling bikin aku ngakak karena seperti puncak dari ‘perjuangan’ tersebut.

 
The Dirty jatuh kepadaaa…

Mereka berdua salah, aku gak mau memihak tapi tbh aku masih yakin kalo Carole memang memberi makan suaminya kepada harimau

 
 
Orang berantem biasanya dibumbui oleh trash talks, sebagai penyedap pertengkaran mereka. Membuat kita betah menyimak ketubiran mereka. Tapi, ada juga talks atau omongan yang justru bikin kesel. Gak semua komen atau quote atau meme lucu untuk terus diulang-ulang.
Kategori berikut ini akan memberikan penghargaan buat Quote paling annoying, yang sukur-sukur setelah dikasih piala, mereka menghilang dari muka bumi. Dan membawa Covid serta bersamanya

MOST ANNOYING QUOTE


Nominasinya adalah:
1. “Ikan hiu makan tomat”
2. “Iri bilang, Boss!”
3. “Karena pembahasannya agak sulit”
4. “Ku menangiiisss membayangkan..”
5. “Si kecil mulai aktif ya, Bun!”
 
Dan jeng-jeng-jenggg, pemenangnya a-da-laaaaah..

Pemerintah yang benar-benar tone deaf. Dan malas. Mendengarnya bikin aku… menangisss membayangkaaannn

 
 
Yea, I know mungkin si ‘ku menangis’ itulah yang harusnya kumenangin. Paling enggak, sebenarnya dia bisa menang sebagai Adegan Terbaik, jika kategori tersebut masih seperti di tahun 2013 saat pertama kali dimunculkan. Karena saat itu, kategori Best Movie Scene masih untuk lucu-lucuan. Tapi sekarang aku ingin lebih kritikal terhadap film. Dan lagi, penghargaan beneran untuk adegan terbaik memang masih kurang di luar sana.
Jadi, marilah kita simak nominasi Adegan Film Terbaik sepanjang tahun 2020

BEST MOVIE SCENE

 
Para nominasinya adalah:
1. City tracking – (“The Vast of Night”)

2. Dancing Drunk – (“Another Round”)
https://www.youtube.com/watch?v=J5jZTO92ZVk
3. Escaping House – (“The Invisible Man”)

4. Kitchen Fight – (“The Hunt”)

5. Police Station Fight – (“Birds of Prey”)

6. Reunion – (“Da 5 Bloods”)
https://www.youtube.com/watch?v=DqIy8ywpvKI
7. The Interview – (“Borat Subsequent Moviefilm”)
https://www.youtube.com/watch?v=voTC3VEZ054
 
And The Dirty goes to…..

The power of filmmaker yang beneran bikin film dengan berani dan punya suara

 
 
 
Selain nonton film, selama lockdown kita menghabiskan waktu di rumah paling banyak di antaranya adalah dengan main video game. Sebelum masuk ke pengumuman kategori berikutnya, aku mau umumin perihal My Dirt Sheet sekarang udah aktif juga ngereview di Youtube, dengan konsep yang agak berbeda. Yakni ngereview sambil main game! Dan game-game berikut ini boleh jadi bakal dimainin berikutnya.

GAME OF THE YEAR


 
Nominasinya adalaaaaaaa —– loading —— aaah:
1. Among Us

 
2. Animal Crossing: New Horizons

 
3. Crash Bandicoot 4: It’s About Time

 
4. Final Fantasy VII Remake

 
5. Resident Evil 3

 
 
Game udah mulai kayak film aja, banyakan sekuelnya… Tapi at least, sekuel game ngasih sesuatu yang benar-benar harus jelas berbeda dari originalnya.
Oke, inilah, pemenang The Dirty sebagai Game Tahun Ini:

Di masa pandemi, everybody is a SUS (alias dicurigai OTG)

 
 
 
Bahkan di dalam game kayak Among Us pun kita bertengkar satu sama lain. Kayak kurang belajar PPKN aja. In fact, segala kekacauan reaksi dan kekeraskepalaan orang-orang berhadapan dengan situasi seperti pandemi ini seperti ya karena memang kurang edukasi. Level negara aja lebih percaya kata influencer ketimbang kata-kata scientist.
Untuk itulah, maka My Dirt Sheet kali ini memberikan penghargaan khusus untuk guru-guru atau pendidik yang udah menghibur dan somewhat mendidik kita dengan ilmu dan kepandaian mereka

TEACHER OF THE YEAR


 
Nominasi untuk kategori ini adalah….
1. Frank Tassone (“Bad Education”)
Diadaptasi dari tokoh nyata, Frank adalah guru yang populer di sekolah, terkenal ramah dan bijak. Bagaimana kita menyingkapi jika ternyata guru seperti ini ketangkap basah korupsi?
2. Joe (“Soul”)
Joe begitu sibuk mengejar mimpi sehingga ia sendiri gak sadar betapa banyak orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik berkat didikan dan bimbingannya.
3. Martin (“Another Round”)
Guru yang satu ini gokil banget; karena merasa dirinya udah jadi membosankan, maka dia menerapkan salah satu penelitian tentang alkohol. Dia minum sebelum ngajar!
4. Mr. Shaibel (“The Queen’s Gambit”)
Kita bisa belajar dari siapapun. Mr. Shaibel membuktikan hal tersebut. Karena meskipun dia ‘cuma’ janitor, tapi berkat ajarannyalah Beth Harmon jadi punya mental dan attitude seorang juara catur.
5. Taat Pribadi (“Guru-Guru Gokil”)
Guru gokil versi Indonesia. Tadinya dia benci banget ama guru, tapi begitu ngerasain berada di tengah murid-murid saat menyamar jadi guru, Taat jadi menemukan cinta.

 
Dan, guru yang akhirnya jadi pahlawan dengan tanda jasa karena punya The Dirty adalaahh

 
 
 
 
Di tangan pendidik kayak Mr. Shaibel itulah masa depan anak-anak bisa cerah. Kalo di film, di tangan penulisan naskah lah, karakter anak-anak bisa punya modal kuat untuk masa depan yang cerah. Karena jadi bisa dimengerti dan dimainkan perfect oleh aktor cilik nantinya.
Kali ini pun, kategori Karakter Anak Terbaik dihadirkan kembali

BEST CHILDREN CHARACTER


dengan nominasi sebagai berikut:
1. Becky – “Becky”
Becky adalah Home Alone dengan tingkat violence maksimal!
2. Christmas – “Troop Zero”
Christmas ngingetin kita untuk jadi diri sendiri dan tidak conform ke standar buatan sosial.
3. David – “Minari”
David yang terlahir Amerika, tapi tetap tak melupakan jiwa Korea-nya. 
4. Flora – “The Haunting of Bly Manor” 
Flora boleh jadi creepy dan aneh, tapi semua itu ia lakukan demi melindungi orang-orang yang ia cinta
5. Mary – “The Secret Garden”
Mary menunjukkan kepada kita kekuatan dari memupuk imajinasi dan harapan.
6. Miles – “The Haunting of Bly Manor”
Miles adalah peringatan untuk tidak berkubang dalam kehilangan dan terbujuk rayu setan.
7. The Willoughby Children – “The Willoughbys”
Anak-anak Willoughby sangat unik, karena bermain dalam imajinasi gelap anak-anak yang menyangka mereka gak suka dengan orangtua sendiri

 
Dan The Dirty diberikan kepadaaa…

Perfectly splendid!!

 
 
 
Dari anak-anak, kita beralih ke calon ibu anak-anakku…haiayaaassssaphambyaarr XD Unyu op the Year, salah satu kategori original My Dirt Sheet Awards, dari tahun ke tahun selalu jadi kategori yang paling susah untuk ditentuin pemenangnya. Karena semuanya cakep-cakeeepppp hihihi

UNYU OP THE YEAR


Dan inilah para nominasi yang udah malang melintang di internet dan perfilman sepanjang 2020:
1. Alexa Bliss
Dari Goddess, Alexa berganti menjadi karakter yang unyu tapi creepy. Ini adalah kesekian kalinya Alexa masuk nominasi, mungkinkah penampilan barunya ini membawa berkah?
2. Anya Taylor-Joy
Dari Mak Comblang ke juara catur ke mutant petarung, Anya Taylor-Joy yang juga udah sering nongol sebagai nominasi, kini punya tiga penampilannya itu sebagai jurus pamungkas untuk mendapatkan piala!
3. Joey King
Dari remaja yang menyimpan rahasia hingga remaja yang memendam cinta menggelora, Joey King siap menjadi penantang kuat berkat aktingnya yang natural
4. Kathryn Newton
Dari remaja tak-populer kemudian berubah menjadi seorang pembunuh berantai, semua itu dilakukan Kathryn Newton dalam satu film yang sama. Penampilan dual aktingnya merupakan salah satu tantangan unik di tahun 2020
5. Millie Bobby Brown
Dari yang awalnya dikenal sebagai gadis cilik misterius dengan kekuatan psikis, Millie Bobby Brown berevolusi menjadi gadis muda yang enerjik, supel, dan cerdas dalam membongkar misteri.
See, semua nominasi ini membekas di hati. But there’s only one true winner. Dan inilah pemenang yang membawa pulang The Dirty berhias pita pink…

Checkmate!

 
 
 
 
Selagi aku membayangkan punya pasangan kayak mereka, mari kita rayakan cinta beneran yang udah membuat 2020 menjadi tahun yang hangat, di tengah segala keterbatasan akibat pandemi. Tapi awas, jangan sampai baper!

COUPLE OF THE YEAR



1. Abby & Harper
Menjadi pasangan berarti harus saling mengerti dan memahami, seperti Abby dan Harper yang tadinya udah mau putus tapi berakhir happy ending
2. Baskara & Sherina
Kita pikir kita dan pasangan yang paling uwu? Well, look at them and think again
3. Hinode & Miyo
Suka sama orang pasti ada alasannya. Dan alasan Hinode dan Miyo saling cinta ini akan membuat kita klepek-klepek sendiri
4. Jake & Amy
So happy akhirnya Jake dan Amy akhirnya dikasih momongan
5. Jamie & Dani
Kisah cinta Jamie dan Dani yang akhirnya harus terpisah dunia, memang sehangat dan semenyayat romansa yang dibalut horor!

6. Lars & Sigrit
Menjadi pasangan juga berarti harus saling dukung. Tengok saja perjalanan cinta Lars dan Sigrit di atas panggung karir menyanyi mereka
7. Otis & Mandy
Romansa klasik ‘beauty & the beast’ selalu punya pesona tersendiri, khususnya ketika dibawa ke dalam ring WWE

8. Zayn & Gigi
Satu lagi pasangan seleb real-life yang sukses bikin netijen ber-uwu uwu ria
 
Dan inilah The Dirty sebagai simbol cinta untuk pasangaaannn….

Tadinya kirain bakal cringe, tapi ternyata jadi salah satu dari sedikit sekali storyline yang kocak dan berbeda dari WWE di 2020

 
 
 
Di tengah kondisi yang semakin memprihatinkan, kita memang perlu mengisi dunia dengan lebih banyak cinta dan… musik!
Kategori berikut ini dijamin akan membuat kita terhibur dengan penampilan musik yang lain dari yang lain

BEST MUSICAL PERFORMANCE


 
Nominasinya adalaaah
1. Aubrey Plaza “Get Ready for Judgment Day”

2. Baby on Twitter “Killing in the Name of”

3. Baby on Twitter II “I Wonder What’s Inside Your Butthole”

4. Class 1-A “Hero Too”

5. Fire Saga “Double Trouble”

6. Miz & Morrison “Hey Hey”

7. Slashstreet Boys “Die by My Knife”

 
8. Troop Zero “Space Oddity”

 
Dan dengan bangga The Dirty kami berikan kepadaaa…

Gagal sebagai Couple of the Year, Lars dan Sigrit justru berhasil merebut hati kita dengan penampilan musik yang konyol dan menghibur!

 
 
 
 
Sebelum aku jadi keterusan mengkhayal, kayak beberapa teman kita yang masih bahagia dengan menganggap semua baik-baik saja dan Covid akan hilang dengan sendirinya sehingga tetap berkeliaran dengan masker yang dijadiin sebagai bagian dari gaya, baiknya aku segera balik menghadap realita. Menatap apa-apa saja yang sudah kukerjakan di tahun 2020.

MY MOMENT OF THE YEAR

Sebagai seorang Cancer yang memang lebih senang menyendiri, nyaris sepanjang tahun berdiam di rumah – untuk pertama kalinya lebaran sendirian (cuma sama kucing) – memberi aku banyak waktu untuk reinventing self. Dengan kebiasaan menonton yang juga semakin longgar karena pindah ke platform, aku akhirnya bisa mengejar untuk bikin konten di channel My Dirt Sheet yang Alhamdulillah sudah diaktifkan tahun 2020 ini. Awalnya berisi main game, yang kemudian ditambah dengan segmen ngereview sambil main game! Yang belum subscribe silakan subscribe yaa. Blog ini gak akan kutinggalin, channel itu hanya untuk perpanjangan ulasan dan penyaluran hobi bermain-main aja hehehe
Awalnya sih karena memang aku sempat diundang ngereview bareng oleh CineCrib. Aku jadi ngerasain juga keluwesan yang bisa didapat dari menyampaikan langsung, yang gak bisa sepenuhnya tersampaikan lewat review tulisan. Jadi, review di channel itu akan berfungsi sebagai pelengkap saja. Selain itu, aku juga diberi kesempatan untuk menjadi juri di kompetisi film pendek. Lumayan, aku jadi sempat juga dimention satu twit barengan Jokowi dan orang-orang penting. Dan kalo ada satu kejadian yang bikin aku gak tidur semaleman, maka itu adalah kejadian berpayung-payung ria (padahal malamnya mencekam) bersama Gadis Sampul.
Namun begitu, kejadian paling mengesankan buatku di tahun 2020 – jauh lebih mengesankan daripada pencapaianku dapat King of Games 10 kali di Duel Links, adalah ketika….
Menang Liga Komik (kuis-kuis tentang film) Kompasiana!

Serius deh, ini perjuangannya berdarah-darah, timku harus benar-benar ngatur strategi!

 
 
 
Dan sampailah kita ke penghargaan terakhir. Penghargaan paling greget yang bisa ditawarkan oleh My Dirt Sheet.
Aku gak yakin setelah melihat semua yang dikerjakan Pemerintah di tahun 2020 kita masih bisa kaget, tapi inilah kategori puncak

SHOCKER OF THE YEAR

Sebelum sampai ke pemenangnya, simak dahulu para runner-ups ini:
1. Parasite dari Korea menang empat Oscar, dan mencetak sejarah!
2. Edge kembali berlaga di atas ring!!
3. Utang Temon ke Muklis nyampe 250 juta!!!
4. Valentino Rossi cheated death! Twice!!
5. Undertaker main TikTok!
6. Everything is cake!!!
7. Mudik beda ama pulangkampung!?!
8. The Dirt Sheet Miz and Morrison is back!!
9. Es Krim Viennetta juga comes back!!
10. Tapi es krimnya beda ama yang dulu!!?!
11. Video UFO Pentagon!!
12. Monolith kayak film 2001: A Space Odyssey ditemuin di beberapa tempat!!!

 
Oke, tarik napas dalam-dalam…
Udah?
Inilah yang paling mengejutkan di antara semuanya…:

Di saat aku baru bikin youtube karena lockdown, orang di luar sana udah mecahin kode serial killer paling rumit abad ini!!!

 
 
 
 
Jadi, begitulah.
Semoga sebagian besar juara di 2020 ini enggak jadi juara bertahan di tahun depan nanti. Dan untuk itu memang keignorant kita semua harus cepat-cepat dienyahkan. Jangan sampai ada lagi selebrasi-selebrasi gak penting. Jangan dipelihara lagi denial-denial hanya untuk mempercantik citra diri. Kita semua punya banyak waktu untuk merenung sendiri di rumah.
I hope you all have wonderful year ahead.
Jaga kesehatan, dan selamat Tahun Baru!!!
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners.
And there are 

 
We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.

NOMADLAND Review

“Not all who wander are lost”
 

 
Meskipun manusia purba sekarang telah berubah menjadi manusia modern cakap-teknologi semua, tapi kebiasaan hidup nomaden mereka tidak begitu saja hilang. Bedanya, kalo dulu manusia purba nomaden karena hidup tergantung musim dan iklim. Kini, nomaden udah berevolusi menjadi gaya hidup modern. Ada orang-orang yang lebih senang hidup tak-menetap alias traveling, dari satu tempat ke tempat lain, dari negara satu ke negara lain. Nomaden udah sama kayak hobi bagi mereka. Namun ada juga orang-orang yang terpaksa – dan akhirnya – hidup di jalan. Mereka hidup di dalam mobil van yang merangkap menjadi hunian. Menetap untuk bekerja sementara kemudian pindah lagi ke lokasi lain, mencari kerjaan yang lain. Nomadland karya Chloe Zhao adalah tentang para nomaden modern yang ‘tipe B’ ini. Nomaden yang tidak punya lagi tempat tinggal, sehingga mereka menjadikan jalanan panjang, berbatu, dan berdebu sebagai rumahnya.
Ini adalah film yang tergolong pendiem. Yang lebih banyak berekspresi lewat visual. Persis seperti protagonisnya. Fern, adalah perempuan baya yang lebih suka untuk mendengarkan nasihat dan cerita dari para ‘senior’ nomaden, ketimbang bicara terlampau banyak mengenai dirinya sendiri. Itu karena Fern memang ‘anak baru’ dalam kehidupan jalanan ini. Setelah Resesi hebat yang melanda Amerika, kota tempat Fern dan mendiang suaminya membangun rumah tangga seketika menjadi kota hantu. Semua pabrik mata pencaharian di sana tutup. Jadi Fern membawa hidupnya ke jalanan, di dalam van yang ia beri nama Vanguard. Berpindah dari satu kerjaan ke kerjaan lain. Berpindah-pindah dan selalu hadir ke tempat komunal nomad. Fern bermaksud belajar menjalani gaya hidup ini. Gaya hidup yang walaupun ada komunitasnya, tapi tetap saja sebagian besar akan berarti sebuah kesendirian.

Ku berjalan seorang diri, sebagai seorang kelana

 
 
Sekali lihat saja, kita langsung tahu bahwa ini adalah film yang spesial. Penempatan dan pergerakan kamera tampak simpel tapi sungguh bermakna. Menambah banyak sekali ke dalam penceritaan. Antara di awal memperlihatkan Fern bekerja di pabrik dengan di momen-momen berikutnya yang bertempat di lingkungan terbuka, film ini bukan hanya menyuguhkan pemandangan fenomenal. Ya, tentu kita akan terperangah melihat lokasi yang menjadi panggung cerita. Tempat-tempat eksotik wilderness khas Amerika (tampak seperti film koboi!), seringkali dipercantik dengan warna-warna yang mendukung mood, akan menjadi menu santapan utama mata kita. Bahkan sense geologi-ku yang udah lama tertimbun sempat menggelinjang manja melihat penampakan singkapan formasi batuan yang disinggahi oleh Fern. Tapi film ini bukan cuma soal pemandangan visual yang ‘wah’. Melainkan juga soal bagaimana perilaku kamera dalam menampilkannya. Bagaimana Fern – karakternya manusia – ditempatkan; dengan skala yang menggiring pemahaman kita bahwa ada dunia yang either mengukung atau luas pada Fern. Yang kaitannya ada pada soal kapitalisme yang digaungkan sebagai gagasan film. Bahwa tidak ada satupun yang dari gurun atau dataran atau pabrik atau tempat parkir itu yang milik Fern. Semua dimiliki oleh korporasi/manusia lain. Dan ini menciptakan rasa tidak adil.
Kita tak pernah dilepaskan dari apa yang dilihat – dan apa yang dirasakan – oleh Fern, sebab kamera akan terus mengajak kita mengikutinya. Zhao mempercayakan sepenuhnya visinya ini kepada Frances McDormand yang menyambut kamera dengan penampilan aktingnya sebagai Fern. Dan pilihan Zhao ini, tak pelak, adalah pilihan yang akurat. Jikalau dimainkan oleh aktor dengan permainan less dari McDormand, Fern akan jadi karakter yang annoying dan unlikeable. Emosi manusiawi yang menghidupi karakter ini gak akan nyampe kepada kita. But McDormand, dia paham bahwa karakternya ini adalah seorang yang berusaha kuat dan mandiri, pada saat dirinya paling tidak yakin pada dirinya sendiri. Pada saat dirinya justru percaya sebenarnya dia butuh bantuan orang lain. Kita bisa melihat bagaimana Fern tersenyum tipis saat mendengar perbincangan mengenai ‘ide-untuk-pergi’ dari sahabat sesama nomaden yang ia jumpai, dan instantly kita paham Fern saat itu sedang teringat kepada mendiang suaminya.
Selain lewat masalah kapitalisme, film menunjukkan betapa kecil Fern merasa juga melalui momen-momen saat dia ditinggal. Para kaum/society nomaden yang ditemui Fern, yang tinggal bersama dirinya beberapa hari di suatu lokasi, akan menjadi teman bagi Fern. Betapapun kaku tampaknya, tapi Fern ini memang selalu nyari teman. Dia bahkan bacain puisi untuk seorang pemuda yang ia kenal di jalanan. Dan kita paham apa yang dirasakan Fern saat para nomaden itu akhirnya pergi; Saat masing-masing mereka dengan cueknya cabut, Fern tinggal. Kamera akan memfokuskan kepada Fern yang memandangi mobil-mobil itu pergi. Emosi subtil yang ditunjukkan McDormand sebagai Fern justru ternyata bicara banyak kepada kita. Aku rasa aku bahkan gak perlu musik untuk dapat tersentuh oleh apa yang Fern rasakan. Metoda akting McDormand ini cocok sekali dengan niatan/visi sutradara yang membuat luapan emosi film tidak dalam ekspresi yang menggelegar. Tidak ada orang teriak-teriak marah di sini. Tapi yakinlah, kita akan merasakan luapan emosi saat melihat adegan setenang Fern berenang di sungai pada saat menjelang babak akhir film.

Fern belajar banyak dari komunitas nomaden. Dan yang ia pelajari itu akan lantas membuat kita lebih menghargai gaya hidup ini. Karena tidak semua yang berkelana tanpa arah itu tersesat. Bagi kaum nomaden itu, mereka dengan bebas dan bangga mengenali dunia sebagai rumah. Mungkin kita semua sesekali harus nyobain berkelana.

 

Enggak, nonton The Avengers sendirian gak sedih kok

 
Komunitas nomaden ini memang yang bikin film semakin terasa unik. Zhao melepas McDormand ke tengah-tengah kaum nomaden beneran. Ada tiga tokoh nomaden yang berperan sebagai diri mereka sendiri, difungsikan untuk bercerita – sebagai supporting – untuk karakter Fern. Aku gak yakin apakah istilahnya tepat, tapi berkat campuran karakter cerita dengan tokoh asli ini film jadi terasa seperti semi-dokumenter buatku. Dan unfortunately for this film, bagiku porsi bincang-bincang dan gaya hidup nomaden beneran itu tampak lebih menarik dan otentik. I kinda wished cerita film ini ada versi dokumenternya. Aku mau tahu tentang para nomaden itu lebih banyak. Fern-nya McDormand tampak hidup, dengan emosi yang manusiawi, dengan penampilan akting level dewa. Tidak akan ada yang mengecilkan karakter ini. Hanya saja, dibandingkan dengan keotentikan yang ditawarkan para nomaden asli yang bukan aktor tersebut, aspek melankoli yang jadi karakter Fern membuat dirinya jadi kalah menarik. Fern ini jadi kayak spirit-artifisial; semua kesedihan ada padanya, sementara yang bahagia-bahagianya ada pada para nomaden asli. Film seperti enggan memperlihatkan kesedihan di balik hidup nomaden yang sebenarnya sehingga Fern ini dijadikan sebagai perwujudan dari itu. Yang nantinya si sedih ini akan belajar untuk lebih menghargai dan merayakan gaya hidup ini.
Sehingga pada akhirnya, film ini meninggalkan kesan yang bercampur aduk. And not exactly dalam artian bagus. Kalimat “bukan homeless tapi houseless” itu lebih cocok diucapkan Fern di akhir. Karena dengan mengucapkan di awal, jadi tidak jelas. Kalo ini adalah story tentang orang awalnya terpaksa kemudian jatuh cinta sama life on the road, maka apakah itu berarti di awal itu Fern sudah complete arc-nya? Tapi ini juga menunjukkan film hanya mengangkat rintangan dari desain karakter Fern. Film tidak benar-benar menilik dari rintangan hidup di jalan itu sendiri. Semua tampak mudah bagi Fern. Jadi jika cerita ini sedari awal adalah selebrasi dari kehidupan nomad, apa berarti filmnya hanya tok menggali dari sisi yang bagus-bagus aja? Soal kapitalis juga tidak benar-benar tergali dari sini. Aku tidak merasa ada sikap yang kuat dari film ini. In the end, aku tidak benar-benar merasa terkonek dengan ‘apa sesungguhnya’ film ini.
 
 
 
Tidak ada sangkalan film ini tampaknya bakal jadi powerhouse di Oscar tahun ini. Teknis dan arahan, serta penampilan aktingnya luar biasa. Istimewa semua. Jika film adalah ‘show, don’t tell’ maka film ini menjuarai apsek ‘show’ tersebut. Adegan demi adegannya bicara banyak dengan apa yang ditampilkan. Aspek yang paling menarik adalah menggunakan non-actor sebagai karakter pendukung. Namun untukku, aspek ini sedikit menjadi bumerang. Karena menyebabkan protagonis cerita yang manusiawi itu bagaimanapun juga jadi tampak artifisial jika dibandingkan dengan mereka. Kalah menarik. Narasi yang merayap subtil di balik itu semua pun jadi tampak mixed.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for NOMADLAND
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apa yang paling kalian khawatirkan jika hidup di jalanan, di dunia yang luas, tanpa-rumah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

MINARI Review

“The ultimate goal of farming is not the growing of crops, but the cultivation and perfection of human beings”
 

 
 
Land of opportunity itu bernama Amerika. Tempat yang katanya semua orang boleh bebas mengais rejeki di sana, siapapun mereka. Termasuk satu keluarga Korea, yang ayahnya punya cita-cita lebih besar daripada jadi pengamat kelamin anak ayam profesional seumur hidup. Si ayah pengen punya ladang sendiri. Supaya bisa ia tanami dengan berbagai sayuran khas korea. Maka si ayah membeli tanah luas di pinggiran kota. Mereka sekeluarga pindah tinggal ke sana. Hidup dalam sebuah trailer alih-alih rumah hunian yang biasa. Tentu saja hidup baru keluarga ini tidak lantas mudah. Ayah dihadapkan oleh berbagai tantangan. Mulai dari menumbuhkan tanaman-tanamannya, menyuburkan, dan kemudian berusaha untuk menjual hasilnya. Belum lagi kondisi anak bungsu yang punya jantung lemah. Dan Ibu yang terus mengkhawatirkan sang anak, sehingga lebih suka mereka tinggal di kota saja, di dekat banyak orang.
Begitulah set up film Minari ini. Begitu sederhana dan simpel. Film ini memang bertindak selayaknya semi-otobiografi karena ceritanya berdasarkan masa kecil sang sutradara. Sutradara Lee Isaac Chun adalah David, si anak bungsu, dalam cerita ini. Sehingga film ini pun dibuatnya bernuansa sangat real. Tidak akan kita jumpai karakter yang comically jahat, ataupun keajaiban-keajaiban seperti sihir – apalagi supernatural. Yang paling dekat sebagai pihak antagonis adalah keadaan. Mengejar ‘american dream’ memang gak gampang, kita akan melihat begitu banyak permasalahan yang muncul seputar usaha keluarga ini untuk hidup berkecukupan di ladang tersebut. Yang jawaban atau solusinya sebenarnya justru ada di dalam mereka semua. Menyaksikan para karakter – keluarga ini – menyadari hal tersebut, belajar darinya, berkompromi dengan keadaan; inilah yang membuat film Minari menjadi menyenangkan dan sangat heartwarming untuk disimak.
Film menjadi semakin hangat lagi dengan nunjukin relasi antara si bungsu David dengan Nenek yang dipanggil tinggal bersama mereka untuk menjaga si bungsu dan kakaknya saat Ayah dan Ibu bekerja. Relasi David dengan nenek adalah salah satu inti dari cerita. Banyak adegan interaksi mereka yang bikin hati kita meremang. Membuat emosi kita teraduk-aduk. Ada yang lucu, yang sedih, yang bahagia. Semuanya bakal bercampur menjadi satu membentuk perasaan hangat di hati. Kalo gak percaya lihat saja adegan di dekat ending. Ketika si Bungsu yang tadinya karena keadaan jantungnya membuat ia percaya dia tidak mampu untuk berlari, akhirnya – oleh buncahan kasih sayang yang meluap di dada – berlari mengejar… ah, aku enggan melanjutkan karena sebaiknya memang film kayak gini ditonton sendiri supaya emosinya bisa benar-benar terasa.

Menceritakannya terlalu banyak nanti malah jadi kayak review yang isinya spoiler nyeritain semua itu

 
 
Serius deh, kurasa ulasan kali ini bakal jadi salah satu ulasan yang paling membosankan di blog ini. Karena gak banyak yang bisa kita bahas tentang film yang memang menggelora dari pengalaman dan perasaan yang film ini berhasil hadirkan. Aku nekat ngespoiler-pun, percuma. Emosi dan rasanya gak akan bisa mewakili atau menggambarkan sebenar-benarnya yang diberikan oleh film ini dengan menontonnya langsung. Not even 50%-nya. Minari ini adalah film yang sayang banget kalo dilewatkan. Aku harap film ini masuk ke bioskop Indonesia kapan-kapan. Enggak mesti sekarang. Bisa nanti setelah pandemi, atau kapan deh, pokoknya tayang. Sebab film kayak gini udah jarang kita dapatkan. Dengan industri yang semakin kebut-kebutan, terlebih karena pemulihan setelah kosong di pandemi, aku pikir akan semakin jarang lagi ada yang membuat film seperti Minari ini. Film yang ‘cuma’ nyeritain kehidupan satu keluarga. Film yang gak bermuatan agenda atau political, selain nunjukin sesuatu untuk mengangkat harapan kita semua.
‘Berbeda’ itu salah satunya membuat film ini jadi tidak tertebak. Bukan dalam artian tidak ada twist, melainkan dalam artian kita tidak bisa melihat ke mana poin-poin plotnya akan berujung. Dan ini juga bukan dalam artian naskahnya gak clear, karena poin-poin itu – tersusun dalam struktur naskah dengan benar – dan kita akan melihat itu dengan jelas di akhir film. Tema besar filmnya pun kita dapat mengerti sembari menonton, yang menunjukkan naskah berhasil melandaskannya sedari awal. Tidak tertebak tadi itu maksudnya adalah datang dari cerita yang terasa begitu besar. Kita tidak tersesat di dalamnya, tapi kita justru terasa seperti benar-benar ikut mengarungi cerita film ini. Kita mengarunginya sama seperti dalam kehidupan yang nyata; kita tahu path yang kita pilih, tapi kita tidak tahu ke depan bakal ada apa. Kita hanya berjuang untuk tetap berjalan pada path yang kita yakini. Makanya film ini terasa so wonderfully real.
Aku menunggu film ini untuk membuat kesalahan. Untuk menjadi overdramatis. Aku menunggu ada obstacle yang dihadirkan annoying dan maksa. Tapi tidak pernah itu semua terjadi. Film stays in it’s glorious storytelling. Memainkan perasaan kita tanpa berlebay-lebay. Bahkan ketika dalam momen pertengkaran – di tengah-tengah suasana yang paling emosinal untuk dua karakter film ini menjelang babak akhir cerita – film tidak lantas jadi tearjerker kacangan. Masalah dan bincang-bincang debat itu masih tetap terasa real. Kita mengerti kebimbangan kedua belah pihak. Kita paham bahwa yang satu bukan hanya ingin keluarganya bahagia, tapi baginya perjuangan mereka itu personal; baginya ini pembuktian kemampuan, sementara yang satunya lagi seperti tercabik; bukan karena tidak percaya tapi karena dia yang lebih conform tinggal di kota punya nilai tinggi terhadap hubungan sosial. Konflik ini menjadi puncak yang membuat perjuangan hidup menanam mimpi itu kian terasa bagi kita.

Hidup bukan soal memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Seperti merawat tanaman yang tentu saja bukan soal menyiram. Melainkan ada soal tanah dan segala macam. Tanah, berkenaan dengan tempat kita hidup. Di mana kita bertumbuh. Keluarga Korea dalam film ini berada di tanah Amerika. Untuk bertahan hidup, tidak cukup dengan mandiri, melainkan selalu akan ada asimilasi sosial yang juga harus dipupuk. Pada akhirnya film ini menunjukkan perjuangan itu tidak harus sendiri. Jadilah seperti tanaman minari yang bisa tumbuh dengan beradaptasi dengan jenis tanah ia ditanam.

 
Momen-momen yang memperlihatkan interaksi antara keluarga ini dengan penduduk asli, baik secara individu seperti Ayah dengan rekan kerjanya yang penganut agama yang ‘kelewat’ taat maupun secara bersama-sama seperti saat mereka pergi ke gereja, tidak dimasukkan hanya untuk menambah durasi cerita. Justru momen inilah yang jadi salah satu poin vokal oleh film. Ketika Korea dan Amerika saling ‘belajar’. Film membuatnya sangat menarik. Kita melihat betapa kebiasaan yang satu tampak aneh bagi pihak satunya. Dan bahkan bisa saja terjadi semacam pembullyan kecil-kecilan – subtil ditampakkan oleh film – tapi kemudian mereka lanjut menjadi teman. Momen-momen sosial yang indah seperti ini membuat film menjadi semakin menyenangkan untuk ditonton.
Akting para pemain tampak luar biasa natural. Sealami pemandangan hijau nan cerah yang kita lihat pada layar (Oh I’ll be damned kalo itu ternyata ada CGI-nya… it is not! Hmmph!) Steven Yeun sebagai Jacob (Ayah), Yeri Han sebagai Monica (Ibu); mereka berdua dapat bagian merasakan gejolak emosi yang tertahan kemudian meluap, dan keduanya berhasil dengan mantap menghidupkan karakter masing-masing. Aktor-aktor cilik juga gak mau kalah. Alan S. Kim yang jadi David dan Noel Cho yang jadi kakaknya, Anne, juga berhasil memperlihatkan permainan emosional yang subtil maupun yang lebih lepas. Mereka adalah anak Korea yang lahir dan berjiwa Amerika, tapi film tidak terjebak membuat dua karakter ini seperti stereotipe anak-gak-hormat-ama-budaya-sendiri. Ada layer dalam karakter mereka, yang berhasil dihidupkan. Yang mencuri perhatian adalah karakter Nenek Soonja yang diperankan Youn-Yuh-jung. Karakter ini menarik banget karena punya moral kompas sendiri, dia juga bukan tipikal nenek-nenek biasa yang cenderung grumpy. Justru Nenek yang seperti free-spirit dengan sikapnya yang bicara apa adanya. Karakter ini penting banget untuk development keluarga mereka.

Nenek juga suka nonton gulat!!

 
Meskipun diisi dengan banyak dialog yang mewakili perbedaan dua pihak, tapi film ini berhasil menghindar untuk menjadi ceramah. Ayah di film ini sama kayak protagonis di Tarung Sarung (2021) dan Levee di Ma Rainey’s Black Bottom (2021); yakni sama-sama jauh dari agama. Ayah lebih percaya pada kemampuan sendiri. Akan ada banyak adegan ketika Ayah berada di lingkungan agamis, dan kita melihat reaksinya seperti apa. Kita akan menemukan ada perbedaan – ada eskalasi – dari reaksi-reaksi tersebut – dari di awal dengan seiring cerita berjalan. Eskalasi reaksi itulah cara film ini untuk memperlihatkan Ayah belajar sesuatu tanpa terlihat seperti karakter ini diceramahi. Sehingga kita pun merasa tidak diceramahi.
 
 
Such a lively and lovely experience. Film yang mengandalkan gambar-gambar natural dan atmosfer cakep, dengan dikontraskan oleh musik yang cukup menghantui perasaan, ini benar-benar terasa seperti kehidupan berjalan. Dihidupi oleh karakter-karakter yang sama natural dan realnya. Pacing yang excellent dan interaksi yang menarik membuat film ini tidak terasa membosankan untuk disimak. Perjuangan keluarga yang diperlihatkan terasa akrab, kita ingin mereka berhasil. Kita ingin jadi teman bagi mereka. Sepanjang durasi, kita akan dibungkus oleh perasaan hangat. Dan diikat oleh film dengan rasa pengharapan yang benar-benar menguatkan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MINARI
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apa tantangan terbesar bagi kalian ketika pindah dan hidup berjuang di tempat yang baru?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020


 
Kita sudah pernah survive hidup di masa film-film impor telat bahkan dilarang masuk ke bioskop. Malah, abang atau kakak atau orangtua kita pernah ngalamin zaman bioskop yang film-filmnya gak ada yang terpuji. Dan siapa sangka, tahun 2020 ternyata datang beserta ancaman baru bagi para pecinta film; bioskop seluruh dunia harus ditutup demi memutus rantai pandemi! Bukan hanya film impor, film Indonesia pun tak ada yang bisa tayang di bioskop. Bukan hanya film-film bagus, film-film jelek juga harus terpisah dari penggemarnya.
Gak ada lagi yang namanya premier-premier. Gak ada lagi yang bisa nonton bareng. Tempat pemutaran alternatif juga perlahan tutup. Tapi untungnya kita hidup di masa internet yang terbilang cukup jaya. Masa di mana televisi sudah tergantikan oleh platform-platform streaming. Di era bioskop-tutup ini, streaming mencuat sebagai jawaban bagi dunia perfilman. Sebelum pandemi, kehadiran streaming memang sudah banyak, namun Studio/PH masih menomorsatukan bioskop. Karena di situlah pengalaman sinematik yang sebenarnya bisa terasa. Hanya saja, keadaan di 2020 membawa mereka terpaksa harus ‘menyerah’. Daripada film mereka mundur dan tak-tahu kapan bisa rilis karena kondisi pandemi yang tak kunjung menentu, kan. Film Trolls World Tour-lah yang pertama kali  alih-alih memundurkan tanggal tayang, memilih untuk tayang di platform. Dan praktisnya, memulai ‘new normal’ kebiasaan menonton.
Blog ini tentu saja merasakan pengaruh cukup drastis dari perubahaan ini. Pertama, tahun ini aku tidak mengeluarkan daftar ‘Kekecewaan Bioskop’; karena hanya caturwulan pertama yang film-filmnya masih di bioskop. Film-film yang tayang di platform juga banyak yang mengecewakan, sebenarnya, but I don’t feel right menyebut mereka sebuah kekecewaan – karena at least, mereka membuat industri film bisa bertahan, dan karena nonton di platform tidak terasa se-wah dan se-berjuang nonton di bioskop. Kedua, karena nonton di platform, aku jadi kebawa santai. Nonton jadi gak seurgen saat tayang di bioskop, yang perlu ngejar-ngejar sebelum filmnya turun, atau buru-buru beli tiket sebelum kehabisan atau simply sebelum spot kursi favorit diambil orang. Makanya reviewku mulai dari caturwulan kedua kemaren mulai telat-telat. Gak lagi se-on time biasanya. Malah saking banyak dan beragamnya tontonan yang bisa ditonton kapan saja, beberapa film jadi tak terulas. Tahun ini aku hanya mereview 119 film.
On the bright side, waktu nonton yang lebih senggang itu bisa kuisi dengan membuat review video. Ya, mulai tahun ini, youtube My Dirt Sheet sudah aktif ngereview film – dengan konsep sambil main video game! Ahahaha biar gak usah ribet ngurusin copyright tampilan trailer. Jadi yang belum subscribe, silakan lakukan hihihi…
Sisi positif lain dari new-normal nonton ini adalah kualitas yang kureview relatif meningkat. Karena filmnya sedikit, maka tak lagi rame oleh film-film medioker. List tahun ini sangat ketat!
 

HONORABLE MENTIONS

  • 1917 (jika film adalah sebuah experience, maka film ini nawarin experience perang terbaik di tahun ini)
  • Borat Subsequent Moviefilm (Borat kembali menyentil lewat komedi ‘pura-pura udik’, yang benar-benar sebagai reality check buat kita semua. Plus narasinya kini lebih berdrama. Very nice!!)
  • His House (persoalan hidup imigran dijadikan horor nyeni yang luar biasa manusiawi!)
  • Little Women (begini nih bikin film feminis yang gak agenda-ish; cantik dan respek!!)
  • Mank (penggemar sinema bisa belajar banyak dari film ini)
  • Nocturne (horor yang ngasih audio secreepy visual, menguatkan konflik psikologisnya)
  • Soul (film Pixar paling dewasa yang membahas filosofi keberadaan dengan ringan, lewat world-building yang kreatif!)
  • Sound of Metal (sound design luar biasa, cerita dan karakter manusiawi, akting juara, ending powerful — film ini punya semua!!)
  • Swallow (cara bertutur yang deep creep membuat cerita wanita memperjuangkan otonominya ini menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan)
  • The Assistant (pendekatan berceritanya realistis sekali sehingga film ini jadi luar biasa efektif menyampaikan gagasannya)
  • The Invisible Man (fenomenal opening dan fenomenal akting bikin thriller ini menjuarai caturwulan pertama film 2020)
  • The King of Staten Island (Kuat oleh sense of realism, film ini berhasil sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi)
  • The Science of Fictions (film ini harusnya dikirim ke Oscar, harusnya menang Citra. Yang banyak!)
  • The Vast of Night (horor fenomena UFO dengan arahan yang sangat menarik dan menginspirasi buat filmmaker muda)
  • The Willoughbys (animasi dengan cerita yang unik, aku suka film ini mainly karena ada Alessia Cara ngisi suara karakter sentralnya!)

Tak lupa pula, Special Mention dihaturkan kepada film Vivarium yang ulasannya paling banyak dibaca tahun 2020 di blog ini.
 
Bersama dengan spoiler warning buat film-film yang masuk delapan-besar ini, aku juga ngingetin kalo daftar ini completely subjective. Ini not-exactly daftar film terbaik. Ini adalah delapan-besar film 2020 versi ku. Kesukaan-ku. Jadi isinya bisa berbeda dengan daftar versi kalian. Akan berbeda dengan daftar terbaik di web atau blog lain. Malah, daftar ini akan berbeda dengan Rapor Film My Dirt Sheet – karena penilaian rapor tersebut berusaha kubikin seobjektif mungkin.
So yea, inilah TOP-EIGHT MOVIES ANGKATAN CORONA!!
 
 

8. EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA

Director: David Dobkin
Stars: Will Ferrell, Rachel McAdams, Dan Stevens, Pierce Brosnan
MPAA: PG-13 for crude sexual material including full nude sculptures, some comic violent images, and language
IMDB Ratings: 6.5/10
“IT WILL NEVER BE ENOUGH! I ONLY WANT TO HEAR JA JA DING DONG!”
Totally hiburan di tengah pandemi!
Ketika baru nonton ini, aku tahu ini bakal jadi cerita underdog dalam sebuah kompetisi. Seperti film-film serupa; ia ringan, formulaic, tapi bisa sedikit menginspirasi. Yang aku tidak tahu adalah… bahwa film ini ternyata luar biasa asik dan menghibur!
Ini film yang paling banyak aku tonton sepanjang. Bengong mau nulis apa lagi saat ngulas film? Aku berhenti dan setel film ini. Lagi pengen ngemil? Aku putar film ini sebagai teman ngunyah. Boring nunggu render-an video? Aku mainkan film ini dan dijamin tak akan bosan lagi. Well, sebenarnya filmnya sendiri banyak kekurangan. Ada bagian gajelas banget, yang gak aku suka di tengah, yakni adegan nyanyi bareng para juara eurovision beneran. Tapi bisa diskip dan nonton yang ada Lars dan Sigritnya aja. Karena memang keasikan film ini datang dari dua karakter sentral tersebut. Mereka lucu, mereka awkward, penampilan akting Rachel McAdams dan Will Ferrell kocak banget – and they sure can perform!
My Favorite Scene:
Adegan nyanyinya keren dan kocak semua. Aku suka Double Trouble, aku suka Ja Ja Ding Dong, aku bahkan suka lagu Running with the Wolves. Namun sebagai puncak, I’ll give the cake to Husavik.

“Gra-med-DIAAAA!!!”
 
 
 
 

7. THE TRIAL OF THE CHICAGO 7

Director: Aaron Sorkin
Stars: Eddie Redmayne, Joseph Gordon-Levitt, Sacha Baron Cohen, Michael Keaton
MPAA: R for language throughout, some violence, bloody images and drug use
IMDB Ratings: 7.8/10
“Let us make sure that if blood is going to flow, let it flow all over this city.”
Makjaaaaaangg!! Adegan persidangan di film ini adalah sidang terheboh yang pernah aku lihat di dalam film. Bahkan lebih bikin geram dibandingkan sidang yang pernah kutonton di televisi – dan aku udah lihat sidang kopi sianida dan sidangnya Steven Avery!
Film ini memang sukses mengaduk-aduk emosi. Debat sidang yang ada di film ini begitu sensasional. Dan begitu kita sadar bahwa adegan-adegan dalam sidang ini tuh beneran kejadian di dunia nyata karena film ini diangkat berdasarkan peristiwa beneran. Yah, meskipun yang namanya film, ada beberapa hal yang diubah alias didramatisasi. Namun demikian, film ini berhasil tampil tidak seperti parodi ataupun lebay. Malahan powerful dan mampu membuat kita berefleksi terhadap masa kini.
Aaron Sorkin berhasil membuat film ini sebagai tontonan yang seru, meskipun sebagian besar isinya adalah orang ngomong aja.
My Favorite Scene:
Punchline film ini di ending itu kuat banget. Tapi paling terbayang-bayang itu, yang paling bikin geregetan bahkan ketika filmnya udah beres, adalah kelakukan hakimnya.

 
 
 
 

6. BLACK BEAR

Director: Lawrence Michael Levine
Stars: Aubrey Plaza, Christopher Abbott, Sarah Gadon 
MPAA: R for language throughout, sexual content, drug use and some nudity
IMDB Ratings: 6.5/10
“Hey, I think feminism is fucked up.”
Aku suka nonton film. Aku suka nulis. Aku selalu ingin tahu bagaimana satu film itu ditulis – bagaimana film itu dibuat. Black Bear memuat hal tersebut. Karena film ini memvisualkan proses penulisan sebuah film – bagaimana ide-ide personal bisa ditarik untuk menjadi sebuah cerita, yang menghormati penonton dan penulisnya sendiri.
Film ini punya banyak kesamaan dengan film terfavoritku sepanjang masa, Mulholland Drive. Sama-sama aneh. Sama-sama nunjukin adegan syuting film (this is my soft spot for movies), sama-sama dihidupi oleh karakter yang nanti direveal sebagai orang yang bukan kita kenal sebelumnya. Sama-sama bikin bingung, tapi bingung yang membuat kita peduli karena ceritanya berakar pada konflik personal. Bedanya, Black Bear actually adalah berakhir dengan nada yang positif. Karena karakternya adalah penulis, dia menulis, maka yang ia lakukan sebenarnya adalah sebuah proses healing.
Black Bear disangga oleh penampilan akting yang luar biasa natural dari tiga aktor sentralnya. Kalo kalian belum ngefans sama Aubrey Plaza, kalian bakal jadi ngefans sama aktor ini. She’s weird, she’s funny. Dia nunjukin range emosi yang menakjubkan. Kalian perlu melihat Aubrey pada adegan ketika dia disuruh berakting pada bagian kedua cerita film ini. Tapi, untukku,
My Favorite Scene adalah:
Pas dialog debat soal feminis di cerita bagian pertama. Dialog film ini memang berisi banyak argumen yang menantang kita untuk diskusi, dan salah satunya – dialog dengan argumen paling menarik dan relevan – adalah ketika Aubrey harus memilih sikap di antara seorang suami yang berpikiran lebih tradisional dengan istri yang lebih ‘woke’, namun kedua orang ini sama-sama annoying.
 
 
 
 
 

5. RELIC

Director: Natalie Erika James
Stars: Robyn Nevin, Emily Mortimer, Bella Heathcote
MPAA: R for some horror violence/disturbing images, and language
IMDB Ratings: 5.9/10
“Do you ever get lonely out here by yourself?”
Dari sekian banyak horor bagus yang tayang di tahun 2020, aku memilih Relic sebagai favorit. Relic bukan hanya superseram, tapi juga sarat oleh makna. Dan ceritanya gampang untuk relate kepada siapa saja, karena kita semua punya orangtua – dan sendirinya akan menjadi orang tua.
Seluruh kejadian dalam film ini dirancang sebagai perumpamaan dari dampak demensia kepada si pasien, sekaligus juga kepada keluarganya. Nonton film ini akan bikin kita takut tua dan tinggal sendirian, sebegitu berhasilnya metafora itu diwujudkan oleh film. Perasaan mengerikan seperti ketika orang yang kita kenal berubah menjadi orang lain karena tidak lagi mengingat siapa kita, ataupun ketika kita mulai kehilangan ingatan itu satu persatu, inilah yang jadi bahan bakar horor cerita.
Dan semua itu berhasil berkat arahan yang visioner dari sutradara yang baru sekali ini bikin film. Cerita ini seperti personal baginya. Ending film ini juga jadi salah satu ending paling powerful yang bisa kita tonton di 2020. Tepuk tangan untuk Australia sekali lagi menelurkan sutradara horor yang hebat. I can’t wait to see Natalie Erika James’s next projects.
My Favorite Scene:
Ketika karakter dalam film ini mulai tersesat di dalam rumah mereka sendiri! Gila ini adegannya serem karena terasa banget panik dan mengukungnya rumah yang dibikin ‘bertambah ruangan’ itu.

 
 
 
 
 

4. THE PLATFORM

Director: Galder Gaztelu-Urrutia
Stars: Ivan Massague, Zorion Eguileor, Antonia San Juan
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 7.0/10
“There are 3 kinds of people; the ones above, the ones below, and the ones who fall.”
Perfect banget ditonton saat awal pandemi kemaren. Nonton ini tuh jadi kejawab kenapa orang-orang pada sibuk menimbun masker (atau menimbun tisu toilet di luar negeri sana). Lebih universal lagi, menjawab kenapa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat.
Film ini berhasil menjelaskan itu lewat konsep dunia-cerita yang diciptakan dengan baik. Perlambangan di balik mekanisme platform dan lantai-lantainya itu benar-benar terasa mewakili keadaan di dunia kita. Ini adalah film yang penting bagi kemanusiaan, tapi sekaligus menjadikan film ini sangat susah untuk ditonton.
Darah, muntah, kotoran, kerakusan dan moral bobrok; itulah lima elemen dasar film ini. Secara simbolik maupun literal, film ini sungguh akan membuat kita mual.
My Favorite Scene:
Adegan yang menabrakkan persiapan masak sebegitu banyak dan enak makanan, dengan bagaimana makanan tersebut akhirnya dimakan

 
 
 
 
 
 

3. I’M THINKING OF ENDING THINGS

Director: Charlie Kaufman
Stars: Jesse Plemons, Jessie Buckley, Toni Collette, David Thewlis, Guy Boyd
MPAA: R for language including some sexual references 
IMDB Ratings: 6.6/10
“Other animals live in the present. Humans cannot, so they invented hope.”
Satu lagi film 2020 yang ngingetin sama Mulholland Drive, dan bahkan punya general-idea yang mirip. Film ini secara konflik juga mirip dengan Black Bear – tentang orang yang memutar ulang cerita hidup di dalam kepalanya. Tapi film ini menohok karena memperlihatkan kegagalan.
Aku lebih suka film ini karena lebih aneh, pengadeganannya lebih menekankan kepada hal sureal. Film ini juga banyak dialog, tapi gak akan bikin bosan karena surrounding dialognya itu yang menarik. Kita melihat tokoh-tokoh yang berubah namanya, bajunya — begitu unsettling, random, dan sedikit mengerikan.
Awalnya memang film ini terasa distant. Kita gak yakin tentang apa sebenarnya. Di sinilah letak pesona film. Kaufman merangkai dialog, karakter, adegan, dan penyimbolan dengan luar biasa detil sehingga tanpa disadari film ini akan berakhir dengan terasa begitu dekat. Begitu nyata. Kenapa jadi kayak iklan provider…
My Favorite Scene: Adegan balet di menjelang akhir itu sampai sekarang bikin aku kepikiran. Apakah ini kejadian yang sebenarnya? Apakah ini harapan si tokoh? Yang jelas begitu weird dan beautiful

 
 
 
 
 

2. JOJO RABBIT

Director: Taika Waititi
Stars: Roman Griffin Davis, Thomasin McKenzie, Scarlett Johansson, Taika Waititi
MPAA: PG-13 for mature thematic content, some disturbing images, violence, and language
IMDB Ratings: 7.9/10
“Not everyone is lucky enough to look stupid.”
Film yang berada di posisi limbo sebenarnya; keluar tahun 2019, tapi berkat Indonesia yang gak mau masukin film ini ke bioskop, aku baru bisa nontonnya di tahun 2020. Sering sih kondisi gini terjadi. Biasanya film-film limbo palingan hanya kumasukin ke ‘honorable mentions’. Namun Jojo Rabbit ini begitu bagus, sehingga sayang rasanya untuk tidak mencatatkan namanya di daftar top-eightku.
Bahkan, objectively, film ini tetap dengan nilai tertinggi di antara film-film 2020. Naskahnya keren banget. Mengadaptasi cerita ‘muram’ menjadi komedi satir, yang enggak pretentious. Film ini tetap terasa sangat penting, bicara tentang ‘sebarkan cinta, bukan kebencian’ di balik nada konyolnya itu. Ini menunjukkan permainan hati dan komedi yang sangat presisi dari pembuatnya.
Progresi ceritanya benar-benar menyenangkan untuk diikuti. Membuat film terasa padat, dan membuat kita merasa sayang ketika film berakhir karena gak mau berpisah dengan karakter-karakternya.
My Favorite Scene:
Film ini punya banyak adegan top. Kita minta sedih, ada. Lucu, ada (Yorki paling bikin ngakak!). Sweet pun ada. Weird, apalagi! Tapi seperti biasa, the best part adalah ending. Dan adegan di ending Jojo Rabbit seperti mewakili semua perasaan yang sudah memuncak dari filmnya.

 
 
 
 

Pandemi memang telah sukses mengubah skena nonton kita. Beda dengan bioskop, nonton streaming-an di hp atau laptop atau tv masing-masing membuat nonton terasa lebih spiritualis lagi.  Film-film pun ternyata banyak yang menggali eksistensi, merefleksi diri, dan sebagian lagi mengajak kita untuk menikmati hidup walau dalam keadaan tak-biasa.
Perubahan yang tampak jelas di daftar ini adalah, sudah sejauh ini tapi belum ada film superhero. Padahal biasanya, film superhero pasti nongol – setidaknya mengisi di ‘honorable mentions’. Dalam kondisi dunia di mana kita butuh pahlawan, apakah superhero malah absen dalam daftar tahun ini?

Siapkan terompet tahun baru kalian – karena inilah, FILM NOMOR SATU PILIHANKU DI TAHUN 2020!
*tiup terompet: “teteteret-teret-tenettereneett!!”
 
 
 
 
 

1. DA 5 BLOODS

Director: Spike Lee
Stars: Delroy Lindo, Jonathan Majors, Melanie Thierry, Chadwick Boseman
MPAA: R for strong violence, grisly images and pervasive language
IMDB Ratings: 6.5/10
“We fought in an immoral war that wasn’t ours for rights we didn’t have.”
In the wake of #BlackLivesMatter, Spike Lee menghadirkan film ini ke tengah-tengah kita.
Da 5 Bloods menggambarkan bagaimana persisnya menjadi serdadu kulit hitam yang disuruh berperang di Vietnam. Horor perang yang seumur idup gak ilang itu dipotret oleh Lee, disebar ke lima perspektif karakter, dan kita melihat seperti apa perang membekas ke dalam hidup mereka. Selipan flashback adegan perang, ditambah cuplikan klip perang yang nyata, membuat film ini dapat jadi disturbing untuk ditonton. Aku merinding sendiri nonton ini, bahkan lebih merinding daripada nonton film-film horor yang bagus-bagus itu.
Tapi jangan bayangkan arahan Lee kaku dan one-tone seperti film-film agenda-ish. Film ini tidak tampil murni mengerikan. Juga tidak murni menuding siapa-siapa. Ada hati yang begitu menguar soal persahabatan dan keluarga. Ada kelucuan yang dihadirkan. Film ini punya segalanya. Ia bermula dari petualangan dan berakhir ke action menegangkan.
Di film ini kita bisa melihat salah satu penampilan terakhir dari Chadwick Boseman (rip) – nonton film ini sekarang akan membuat Boseman semakin fenomenal lagi karena karakternya di sini begitu kharismatik, perfectly mirroring him in real life.
My Favorite Scene:
Monolog Delroy Lindo. That’s it. Aku angkat kupluk banget. Beautiful, daunting, kita takut dan kasihan melihatnya saat bersamaan. Jika aku yang punya, aku akan ngasih Oscar untuk Delroy di adegan ini.

 
 
 
 
 
So, that’s all we have for now.
Akhir 2020, bioskop mulai menggeliat bangun. Semoga pandemi segera berakhir. Semoga perfilman segera pulih. Semoga Indonesia gak terjebak dan ikut-ikutan dalam perang platform, karena pada titik ini perfilman kita belum sanggup untuk bersaing di sana – platform tidak banyak membantu perfilman kita dalam jangka panjang, melainkan hanya membuat film-film jadi cenderung seperti ftv. Semoga tahun 2021, kita sudah bisa menikmati ngejar-ngejar film di bioskop kembali!
Apa film favorit kalian di tahun 2020? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2021?
Share with us in the comments 
 
Remember, in life there are winners.
And there are…
… karena tahun 2020 ini gak ada Kekecewaan Bioskop, maka aku mau paradein losers lain. Ya kalian; Mulan, Tenet, Milea, dan…

We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

My Dirt Sheet Awards CLOUD9

 

 
Ketika bersenang-senang, waktu akan terasa cepat sekali berlalu. Coba deh bandingin satu jam di dalam kelas mandangin papan tulis ama satu jam di rental ps mandangin layar, supaya bisa terasa jelas perbedaannya. Hidup pun begitu. Masa kanak-kanak yang menyenangkan itu ternyata sudah bertahun-tahun ditinggalkan meskipun rasanya baru kemaren berlalu. My Dirt Sheet enggak kerasa udah mau memasuki tahun kaleng alias tin tahun depan. Aku kaget ternyata udah punya sepuluh juara film tahunan, yang berarti ngeblog sudah aku lakukan hampir genap satu dekade. Tahun 2019 terasa semakin spesial karenanya; tahun yang asik, terutama untuk film. Pop culture juga berkembang pesat. Dan walaupun banyak juga kejadian konyol ataupun mengenaskan, aku pikir kita semua senyum ceria, senang mengiringi kepergian 2019. Kenapa aku bisa berpikir demikian? Karena di My Dirt Sheet kita punya catatan. Prestasi, kebodohan, kemajuan, kemunduran; semuanya kita kumpulkan dan kita beri penghargaan.
My Dirt Sheet Awards CLOUD9 mengacu kepada istilah ‘cloud-nine’ yang memiliki makna perasaan euforia akibat perasaan senang dan gembira yang begitu besar sehingga seolah terbang ke awan. Penghargaan ini adalah persembahan untuk 2019 yang sudah mengirim kita ke ‘awan’ tersebut. Tahun yang terasa begitu singkat dan bagi banyak orang merupakan penutup dekade fase penting hidup mereka.
Memang, persis seperti kata Gilderoy Lockhart kepada Harry Potter yang ‘tersandera’ bersama dirinya menjawab surat-surat penggemar sepanjang malam; “Waktu berlalu bagai terbang, ya!”
 
 

TRENDING OF THE YEAR

Ngetren berarti sudah berhasil menjadi hits, ramai diperbincangkan. Namun ngetren tidak berarti semua itu dicapai karena punya skill atau karena prestasi. Pada masa kini, jadi terkenal adalah soal punya cerita yang bisa dijual. Ini nominasi terngetren 2019:
1. Baby Yoda
Serial The Mandalorian memberikan kepada dunia sesosok CGI paling menggemaskan. Malah ada orang yang nonton serial ini cuma demi ngikik gemes ngelihat si baby ini
2. Billie Eilish
Debut albumnya di 2019 udah sukses menyemen legacy penyanyi muda nyentrik ini sebagai The Reigning Queen of Electropop. Lagunya bahkan jadi soundtrack buat acara NXT Takeover.
3. Kasus Lem Aibon 
Kasus penyimpangan anggaran ini merupakan salah satu kasus ‘kesalahan’ pemerintah yang paling hot sepanjang tahun. Susah untuk gak ngangkat alis dan bertanya soal anggaran beli lem mencapai 82 milyar rupiah, toh
4. KKN di Desa Penari
Cerita horor ini sukses menghebohkan sosial media. Khususnya di twitter. Literally menjadi trending topic, orang-orang excited menebak lokasinya, apakah cerita ini beneran. Ternyata, cuma promo untuk film horor terbaru
5. Lucinta Luna
Publik figur paling heboh di Indonesia 2019. Tadinya ia laki-laki, eh maaf tabu, maksudku; tadinya ia penyanyi dan penari. Setelah meroket, ia pun turut menjadi pemain film.
6. Marie Kondo
Pahlawan bagi orang-orang berantakan di seluruh dunia. Acaranya yang disiarkan di Netflix yang menunjukkan keahlian beberes luar biasa benar-benar menjadi inspirasi.
The Dirty pertama 2019 jatuh kepadaa:

Internet loves baby. Internet loves Yoda. It’s a simple math. Maka Baby Yoda – meskipun bukan si Yoda yang itu – dengan segera jadi meme di mana-mana

 
 
Anak-anak adalah masa depan. Kadang orang dewasa lupa itu. Kita hanya ingat indah dan cerianya masa kecil yang sudah kadaluarsa. Makanya, My Dirt Sheet memberikan penghargaan khusus untuk penulisan karakter anak kecil. Merekalah simbol bagaimana orang dewasa memandang penerus dan memperlakukan masa depan.

BEST CHILD CHARACTER


Adek-adek yang masuk nominasi untuk adalaaahh
1. Abra – “Doctor Sleep”
Enggak banyak anak kecil yang sanggup perang mental satu-lawan-satu dengan Rose the Hat. Abra did it.
2. Andy – “Child’s Play”
Hubungan Andy dengan Chucky seperti mencerminkan perasaan kita terhadap hal yang kita minta, yang sebenarnya tidak kita perlukan.
3. Jojo – “Jojo Rabbit”
Semua orang sok gagah dalam perang. Karakter Jojo mengajarkan sebaliknya, jadilah seperti kelinci.
4. Judy Warren – “Annabelle Comes Home” 
Karakter Judy seperti menyimbolkan ketidakmengertian seorang anak terhadap pekerjaan orangtuanya.
5. Max – “Good Boys”
Anak yang mencoba menjelajahi dunia orang gede, Max literally adalah antitesis dari kategori ini.
6. Trudy – “Once Upon a Time… in Hollywood”
Siapa lagi yang lebih tepat untuk menjadi personifikasi kegalauan aktor tua selain karakter aktor cilik berbakat yang attitudenya berkebalikan drastis dari sebuah old-school.

 
Dan The Dirty jatuh ke tangan kecil siiiii…

Kebayang temannya si Yorki ngomong “Oooh a trophy, good for you, Jojo”

 
 
 
Anak-anak itu, biarkan mereka tumbuh. Berikan semua waktu untuk berkembang, dan kita niscaya akan kaget. Berapa banyak waktu mengubah seseorang. Penghargaan khusus pertama CLOUD9 diberikan kepada proses perubahan paling mengejutkan. Sebuah transformasi diri. Masih ingat Reza Rahadian berubah total menjadi Habibie Tua? Penghargaan ini kurang lebih seperti itu, hanya saja diberikan untuk yang masih menjadi diri mereka namun dengan evolusi yang membuat kita semua pangling.

MAKEOVER OF THE YEAR


Nominasi untuk kategori ini adalah….
1. Bray Wyatt
Dari cult-leader, Wyatt berubah menjadi host ramah acara anak-anak. Namun gak sampai di sana, si suka senyum berubah lagi menjadi setan mengerikan begitu ditantang berkelahi 
2. Chucky
Dulu Chcuky adalah boneka sadis karena ia jiwa seorang kriminal satanis, kini Chucky adalah A.I. polos yang jadi beringas karena salah asuhan
3. Rara
Transformasi Rara di film Imperfect adalah suatu perjuangan yang patut disyukuri
4. Shun
Shun tadinya adalah cowok kemayu, cinta damai. Di Saint Seiya Netflix terbaru, Shun berubah menjadi cewek tulen jagoan. Mungkin Shun-nya main genre swap di aplikasi handphone
5. Sonic
Perubahan wujud Sonic di teaser film barunya dihujat oleh warganet sedunia hihihi
6. Thor
Dalam Avengers: Endgame ada masa kala Thor yang dewa berperawakan atletis, tegap, gagah, pejantan tangguh berubah menjadi Thor si pejantan tambun.

 
Dan yang hidupnya bakal berubah lagi karena dapat piala adalaahh

Yow-wie, Wow-wie! Ini kayak dari Kak Seto menjadi Seto as ain Setan Narako!

 
 
 
Bicara tentang perubahan, kita gak bisa enggak bicara tentang film. Tempat para tokoh berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Film mengakomodasi perubahan karakter lewat sekuens, yang terdiri dari beberapa adegan. Kategori ini memberikan penghargaan untuk adegan terkeren yang pernah kita saksikan sepanjang tahun 2019.

BEST MOVIE SCENE


Simak para nominasinya:
1. Couple Fight – “Marriage Story”

2. Flamethrower Send Off – “Once Upon a Time… in Hollywood”
http://www.youtube.com/watch?v=5fVaNpn4CRM
3. Motorball Battle – “Alita Battle Angel”
http://www.youtube.com/watch?v=lZSRgvIKZLo
4. Opening Terror – “Perempuan Tanah Jahanam”

5. Stairs Dance – “Joker”

6. UKS – “Dua Garis Biru”
7. Uuuuuh Aaaahhh – “Midsommar”

 
And The Dirty goes to…..

Bukan semata karena long takenya, melainkan karena penggunaan yang tepat sehingga terus membekas di benak dua juta lebih penontonnya

 
 
 
Dari yang keren, kita beranjak ke yang ngeselin. Kadang, dalam film atau dalam lagu atau internet kita menjumpai kata-kata yang jadi mantra motivasi. Namun gak sedikit juga yang jadi celoteh menjengkelkan – yea because we heard them in just literally everywhere!. Berikut adalah penghargaan bagi mereka.

MOST ANNOYING QUOTE

Nominasinya adalah:
1. “Entah apa yang merasukimu” – lirik lagu yang ada suara gagaknya
2. “I love you three-thousand” – Tony Stark yang bikin semua orang nangis, pffft
3. “Jutaan orang bahkan tidak menyadari” – iklan di youtube yang rambut yang ngucapin berhak diganjar satu award lain 
4. “Li’l bit of bubbly” – Chris Jericho
5. “Scopa tu mana” – tren twitter yang seriously, apa sih artinya ini!
6. “Seyeeeengg” – meme dari adegan anak kecil pacaran di sinetron
 
Dan pemenangnya adalaahhh… – jangan khawatir, mereka gak bakal ngasih speech kok

…nuff said.

 
 
 
Di tahun 2019 kita mengenal istilah bucin, dan teman-teman seangkatannya seperti fakboi dan sadboi. To hell dengan toxic-toxic semacam itu. Semuanya punya pasangan. Di langit sudah digariskan siapa jodohnya siapa. Jadi ya, cinta memang kudu diselebrasi.

COUPLE OF THE YEAR

Siap-siap baper dengan nominasi:
1. Aladdin & Jasmine
Pasangan yang membuktikan cinta dapat membuka satu dunia baru, a whole new world~~
2. Columbus & Wichita
Kalo pasangan ini; ngasih tau kalo cinta bukan berarti harus terlalu attach ke yang dicintai
3. Hydro Coco & Susu Bear Brand
Jadilah pasangan seperti mereka; persatuan yang membahagiakan semua orang
4. Minke & Annelies
Pasangan yang mengajarkan jika cinta, maka kejar dan perjuangkanlah sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya
5. Seth Rollins & Becky Lynch
Jika cinta, dunia seperti milik berdua. Kalimat itu jadi beneran bagi Rollins dan Lynch yang menemukan cinta dan sama-sama jadi juara dunia.
6. Spider-Man & MJ
Yang bisa kita petik dari mereka adalah cinta berarti siap menerima dan berbagi rahasia terbesar masing-masing, dan saling mendukung. 
 
Dan The Dirty diberikan kepadaaa..

oih yesss beibeeh!

 
 
 
 
What? Dua produk minuman bisa menang pasangan terkeren ngalahin manusia? Enggak ada yang bego soal persatuan, kalo cocok ya cocok. Yang bego itu justru adalah para nominasi di kategori berikut.

BEGO OF THE YEAR


Marilah kita sambut para nominasi dengan tepuk tangan:
1. Game WWE 2K20
Niat gak sih mereka ngerilis video game ini? WWE 2K20 berisi banyak glitch, mulai dari objek yang seperti masuk ke lantai, gerakan yang absurd, superstar yang melayang, hingga gamenya mati total saat pergantian tahun
2. Genie Will Smith
Aladdin live-action bermaksud meredakan nyinyiran fans soal jin yang gak biru dengan merilis footage Will Smith sebagai Genie biru. Namun promosi tersebut semakin sukses diketawain karena begonya visual kepala Smith di badan jin blau.
3. Nia Ramadhani gak bisa ngupas salak
Beneran deh ini, sebagai manusia yang punya dua jempol tangan aku benar-benar heran ada orang yang seperti Nia Ramadhani
4. Rambut si Jutaan-Orang-Bahkan-Tidak-Menyadari
Jutaan orang bahkan tidak menyadari bahwa rambut mereka terlihat bego.
5. Rey… Skywalker!
Penulisan arc terkonyol se-2019. Ending film ini begitu bego sehingga adegan di tengah yang Rey bilang namanya “Just Rey” aja terasa jauh lebih powerful.
6. Si Dobleh
Kadang orang saking begonya, sehingga orang lain jadi bingung dia sengaja ngetroll atau memang bego. Adegan penangkapan si Dobleh ini dengan jelas menggambarkan hal tersebut.

 
Anugerah malu-maluin ini jatuh nimpuk kepalaaa…

sebenarnya yang menang ada dua, yang satu si dobleh, yang satunya lagi… kabur!

 
 
 
 
Bukan cuma Superbowl yang punya half-time show. Awards ini juga punya. Actually half-time kita adalah parade nominasi untuk kategori penampilan musik terheboh. Jadi, mari kita persilakan waktu dan tempat bagi mereka untuk jingkrak-jingkrak!

BEST MUSICAL PERFORMANCE

 
Nominasinya adalaaah
1. Bray Wyatt & Huskus the PigBoy – “Muscle Man Dance”

2. Chucky – “Buddy Song”

3. Jasmine -“Speechless”

4. Meisha – “Bukan Taman Safari”

5. Simba – “I Just Can’t Wait to Be King”

6. Vanesha Prescilla – “Digaruk Salah”

 
 
Hahaha oke, sepertinya kategori ini cukup jelas siapa pemenangnya. Dan dia adalaaahh

it feels so wrong, yet so right

 
 
 
Gak salah memang tahun lalu Vanesha masuk nominasi Unyu op the Year, karena dia memang beneran asik. Gak banyak loh, yang berani untuk gak-jaim dan menampilkan sesuatu yang out-of-the-box. Apalagi cewek. Bicara Unyu op the Year, setelah aku merangkum nominasi award ini, aku menemukan satu kesamaaan di antara mereka; Semuanya punya bibir yang amazing! So yea, selain brain, beauty, dan behavior, kali ini ada satu konstanta lagi yang jadi penilaian.

MOST AMAZING LIPS (OR FORMERLY KNOWN AS UNYU OP THE YEAR)

Dan aku susah nyortir karena semuanya bagus-bagus, maka kumasukkan saja banyakan. Inilah nominasinya:
1. Adhisty Zara
Breakout star di perfilman Indonesia 2019. Hampir semua film yang ia bintangi box office.
2. Alexa Bliss
Sejak turn jadi babyface, Bliss tampak semakin unyu aja. Gerakan gulatnya pun semakin luwes. Apakah third time is a charm buatnya di penghargaan ini?
3. Anya Taylor-Joy
Jarang nongol, tapi setiap kali selalu membekas. Anya mencuri spotlight pada film Glass 
4. Florence Pugh
Nah kalo ini breakout star di perfilman internasional. Pugh, entah badass  jadi Paige, atau nangis jadi Dani, atau ngeselin jadi Amy, selalu total dan berhasil memenuhi tantangan perannya
5. Isabela Moner
Film live-action Dora the Explorer benar-benar menaruh kita dalam posisi yang awkward saat mereka nge-cast si bubly berbibir seksi ini sebagai Dora, yang seharusnya adalah anak-anak
6. Maya Hawke
Nominee yang ini hadir dengan satu plus: freckless yang kece. Maya Hawke begitu cool di Stranger Things, dia instantly jadi salah satu favorit orang-orang dalam serial tersebut
7. Naomi Scott
Salah satu nyanyian paling menawan keluar dari bibirnya yang juga menawan. Selain jadi Jasmine, Scott juga bermain sebagai Charlie’s Angels hanya saja aku gak peduli sama film itu.
8. Samara Weaving
3B Samara beda dari yang lain. Yakni beauty, badass, dan bibir. Penampilannya jadi bride yang harus survive dari kegilaan di Ready or Not benar-benar keren, with wedding dress, shotgun, and everything

 
Beneran susah milihnya. Bahkan sampai ngetik ini aku kebayang kiss-bye Zara di Keluarga Cemara. But finallly, The Dirty goes to…

oke ini lumayan personal karena bibir Samara mirip sama…, ah sudahlah….

 
 
 
 
Aduh, kapan ya cewek-cewek itu bisa kuajak…. main video game bareng! Sayangnya meski ada juga yang suka ngegame, sebagian besar cewek lebih suka main tiktok daripada main game beneran. Padahal game semakin bagus loh.

GAME OF THE YEAR


Selain semakin sinematik, video game juga semakin adiktif. Berikut adalah nominasinya:
1. Kingdom Hearts 3

Petualangan ala Final Fantasy di dunia-dunia Disney, kali featuring Toy Story, Frozen, Big Hero 6, dan banyak lagi upgrade yang bikin ngiler
2. Resident Evil 2 (the remake)

Banyak orang gak sabar memainkan ulang Resident Evil 2 dengan environment yang jauh lebih nendang
3. Saint Seiya: Awakening

Meski gamenya pelit ngasih petarung yang kuat, tapi RPG mobile phone ini asik dan menuhin dahaga nostalgia banget
4. Untitled Goose Game

Lihat betapa cute, random, dan originalnya game ini. Main sebagai angsa dan porak porandakan semua? yes, please
5. Yu-gi-oh! Duel Links
http://www.youtube.com/watch?v=Gf787DOSyLM
Real Yugioh menjadi terlalu rumit, Duel Links hadir di hape sebagai versi yang lebih simpel, tradisional, dan lebih seru karena punya banyak unlockable dan misi. 
 
Daripada nunggu loading kelamaan, inilah pemenangnyaa

Duel lawan duelist dari bagian manapun di seluruh dunia, kapan saja! Adiktif banget nih game

 
 
 
Kompetisi di game memang seru. Tapi kompetisi di dunia nyata, selain mengerikan, kadang juga bisa konyol. Karena kita orang Indonesia yang demen nonton keributan, maka sambutlah kategori ini:

FEUD OF THE YEAR

Nominasinya adalah:
1. Andy vs. Chucky
Pertengkaran anak cowok dengan mainannya adalah pertengkaran sahabat sejati yang sebenarnya
2. Joko Anwar vs. Livi Zheng
Dua sutradara beradu gengsi, yang satu gak ngincer Oscar melawan satu yang bangga-banggain eligible untuk Oscar  
3. Jokowi vs. Prabowo part II
Iklim Pemilu yang bisa dibilang paling kisruh yang pernah aku rasakan. Sebenarnya yang seru ribut sih, sama seperti jilid satu lima tahun lalu, para pendukung masing-masing sampai-sampai ada Kerusuhan 22 Mei  
4. Polisi vs. Anak STM
Perlakuan rasis menyulut keributan ini. Anak STM datang begitu saja sebagai tenaga sukarela untuk kakak-kakak mahasiswa yang dikasari oleh polisi  
5. Rusev vs. Lana
Dua orang ini tadinya pernah dapat nominasi Couple of the Year. Drama marriage story jika dibawa ke dalam ring memang lebay, menjengkelkan, dan lebih berlarut-larut. 
6. WWE vs. AEW
Pesaing WWE hadir dalam bentuk perusahaan gulat yang dikawangi oleh Cody Rhodes, Chris Jericho, Dean Ambrose, dan pegulat-pegulat yang merasa diri mereka terlalu tinggi untuk standar WWE
 
Pemenangnya, dan plis rebutan pialanya di luar aja, adalah…

Sebelum di antara kedua sineas ini ada yang bikin film bernilai 8.5 oleh MyDirtSheet, feud ini sebaiknya terus aja berlanjut

 
 
 
Kita memang suka pertentangan. Dua Garis Biru yang baru tayang teasernya doang aja udah ditentang kok. Namun yang mesti disadari adalah tiap tahun kita berduka. Ada aja kerusuhan, terorisme. Penembakan di mesjid New Zealan itu, sampai divideoin oleh pelakunya. Sakit gak sih orang-orang. Orang rasis juga semakin terang-terangan, mungkin semuanya harus kena sambit telor dulu oleh anak muda di Australia biar sadar. Dunia berduka ketika orang-orang baik seperti Pak BJ Habibie tutup usia. Ada banyak kematian yang ditangisi. Bahkan lampu aja mati tiga hari di pulau Jawa. Buatku, tahun ini pertama kalinya aku merasakan ditinggal oleh anggota keluarga yang dekat. Kakekku yang udah mengenalkanku kepada dunia cerita dan warna meninggal dunia karena sakit ginjal. Maka aku mengajak kita semua untuk mengheningkan cipta, mengenang duka yang telah terjadi di dunia. Mengirimkan doa untuk Habibie, Toro Margens, Mean Gene, Agung Hercules, dan banyak lagi yang gak tersebut namanya.
Mengheningkan cipta,
Mulai!
….
….

MOMENT OF SILENCE

….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
 
 
 
Award spesial kedua tahun 2019 kuberi nama – kudedikasikan – untuk kucing-kucing korban kejahatan Luka Magnotta seperti yang kita tonton di serial Netflix. Ini adalah penghargaan khusus buat kucing-kucing yang hadir sepanjang 2019, surviving the world.

DON’T F**K WITH CATS AWARD


Nominasinya adalah:
1. Church
Kucing paling serem
2. Goose
Kucing paling alien
3. Jellicle Cats
Kucing paling blo’on
4. Jerry’s Talking Cat
Kucing paling misterius, not in a good way 
5. Max
Kucing paling manjaaa
6. Simba
Kucing paling besar – well, lion is a big cat!
 
King of Meow jatuh kepadaa..

That’s my cat!

 
 
 
Selain membesarkan kucing yang pintar, patuh, dan taat beribadah, aku juga membesarkan adiknya. Hahaha. Maksudku, aku juga melakukan beberapa kerjaan yang ada manfaatnya. Kurang – lebih.

MY MOMENT OF THE YEAR

So yeaa di 2019 aku dilangkahin adek nikah duluan, hapeku rusak, lalu crosspath kembali with Cool Lil Sis setelah sekian tahun but she doesn’t even recognize me, tapi itu gak membuatku berhenti mengembangkan diri. Aku berhasil pansos jadi King of Games di ranked duel Duel Links tiga kali, dengan gak sekalipun beli kartu pakai duit beneran. Melangkah pertama kali ke kantor Starvision seperti merangkum bahwa tahun 2019 adalah tahun masuk ke ‘ruangan baru’ bagiku. My Dirt Sheet mulai tahun 2019 buka rubrik baru; Readers’ Neatpick, untuk ngereview bareng teman-teman/pembaca yang mengusulkan film untuk diulas. Rubrik ini kubikin untuk menumbuhkan keyakinan pada kita semua bahwa semua orang bisa mereview, we just have to ask the right questions. Aku juga membuat channel youtube. No, aku belum pede ngereview langsung. Instead, yang aku buat adalah channel Oblounge (Obrolan Musik Lounge) bareng teman-teman di FFB, isinya berbagai hal tentang film. Kami ngereview, meliput, main game seru, apapun yang berhubungan dengan film. Kami pun sukses mengadakan Festival Film Bandung 32 yang banyak suka-duka. Yang paling membuatku senang adalah film pendekku, Gelap Jelita, diputar untuk umum, di Indicinema dijadikan diskusi tentang perempuan, dan aku jadi salah satu pembicaranya.
Jadi ya, tahun 2019 buatku adalah tahun yang banyak bicara, dan banyak juga bekerja.

 
 
 
 
 
 
Penghargaan terakhir, seperti biasa, diberikan untuk kejadian paling tak-terduga, paling heboh, paling greget, paling ngagetin yang terjadi di 2019

SHOCKER OF THE YEAR

Nominasinya paling banyak, bahkan lebih tepat disebut runner-ups, karena pemenangnya ada di bawah
1. Ibukota negara Indonesia mau dipindahin ke Kalimantan Timur!!
2. Prabowo bisa bahasa hewan!!!
3. Barbie Kumalasari dulunya pembantu Lala Ibu Peri!!
4. CM Punk nongol lagi di WWE!!!
5. RUU Permusikan ngambil daftar pustaka dari makalah anak SMK!!
6. Ada Hari Dilan! HARI – motherf’kn – DILAN!!!
7. PUBG diharamkan!
8. Skandal prostitusi artis di Indonesia dan Korea!!
9. Avengers ditayangin di bioskop mulai dari jam lima subuh! and it’s not even lagi sahur!!
10. Black Hole akhirnya berhasil difoto!!!
11. Indomi bisa betulin barang yang rusak!!
12. “Eh, kok gak ada, anjing! Ilang, goblok!!!!”

 
Sukar dibayangkan di saat Maudy Ayunda dalam pertimbangan milih kuliah di Stanford atau Harvard, segala kejadian di atas juga terjadi di dunia. Dan inilah yang paling mengejutkan di antara semuanya…:

Kalo orangtuaku tahu Teletubbies aja udah punya anak, bisa-bisa aku ditodong nikah lagi! Alamak!!

 
 
Jadi, begitulah. Seperti yang dikatakan Asmara Abigail di film Perempuan Tanah Jahanam; “Kerasa gak?”
Semoga awards ini bisa jadi pengingat yang membantu kita semua merasakan kesenangan-kesenangan ikonik, unik, sekaligus pointless duniawi tahun 2019 sebab cepatnya waktu berlalu memang membuat kita tidak merasa sama sekali.
I hope you all have wonderful year ahead.
Selamat Tahun Baru, dan untuk menyambut satu dekade My Dirt Sheet Awards, apa kalian punya usulan untuk tema berikutnya? 10 – My Dirt Sheet Awards Tenet, or sumting? Atau ada usulan kategori baru?
Share with us in the comment below. Who knows if in the next year Awards there’d be a ‘Best Comment’ category — with actual prize, maybe?
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners.
And there are 
“We don’t create lame stories and stupid excuses at The Palace of Wisdom”

 
 
Yang jelas, we still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2019


 
Selamat tahun baru, semuanya!
Sebelum kita digempur oleh reboot-reboot yang bakal bikin ribet saat menyebutkan nama judul karena harus menyertainya dengan angka tahun pembuatan (“Film A yang mana, yang jadul apa yang 90an?” / “Bukan, A yang 2020”), dihebohkan oleh superhero-superhero lokal, dan dikecewakan oleh lebih sering lagi animasi-animasi yang di-live action-kan tahun ini, aku ingin ngasih tahu bahwa sebenarnya 2019 adalah tahun yang cukup mengesankan dalam bahasan film.
Bagai mesin yang panasnya lama, 2019 dimulai dengan relatif adem ayem. Rapor film cawu I My Dirt Sheet aja boringnya luar biasa. Enggak ada yang spesial. Menjelang pertengahan tahun, baru mulai kelihatan riak-riaknya. Akhir tahun buatku yang paling mengejutkan. Emosi benar-benar diaduk oleh banyaknya film-film bagus, dengan film-film jelek dan film produk gak mau kalah. Genre-genre film mainstream hadir dengan berisi. Film-film art tampil dengan merakyat. Secara objektif, sebaran yang bagus enggak banyak peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Film-film yang dapat skor 8 masih sedikit, meski 7 lumayan banyak. Namun ada lebih banyak film yang menyenangkan, menghibur; ada lebih banyak film yang dapat .5 yang berarti aku dapat begitu banyak favorit untuk bisa dimasukkan ke daftar yang bias dan subjektif kali ini.
Untuk membuat semakin menggelinjang, tahun ini aku mengupdate rule dalam menyusun daftar top-8. Bukan hanya sudah ditonton (bioskop atau bukan), sekarang aku hanya akan memasukkan film-film yang sudah kureview saja – hanya film-film yang masuk di rapor film cawu I,II,III (rapor ini kupos empat bulan sekali, look out for these). Tahun 2019 aku telah mereview 136 film. Aku gak nonton semua film yang beredar, tentu saja, aku bukan manusia super haha. Dan itu bukan jumlah yang banyak – apalagi 15 di antaranya sudah masuk daftar Kekecewaan Bioskop 2019. Jadi untuk top list kali ini, aku harus membatasi honorable mentions supaya persaingan semakin ketat dan daftarnya bisa lebih seru lagi.
 

HONORABLE MENTIONS

  • 27 Steps of May (film Indonesia terbaik; salah satu yang terpenting sepanjang tahun 2019)
  • Crawl (horor efektif manusia melawan buaya, tanpa ada twist dan political agenda ribet di antara mereka)
  • Dolemite is My Name (biografi komedi panutan buat yang mau nekat bikin film sendiri)
  • Imperfect (semua cewek harus nonton ini!)
  • Instant Family (drama keluarga menyenangkan yang mengingatkan cinta tak melulu datang dari rantai DNA)
  • Knives Out (misteri pembunuhan dengan twist unik dan bobot keren soal masalah ketakutan terhadap imigran)
  • Marriage Story (observasi proses perceraian yang sebenar-benarnya, dan ini melibatkan proses hukum dan perasaan yang sama getirnya)
  • My Dad is a Heel Wrestler (dengan indah dan penuh hati mengajarkan kepada anak-anak semua pekerjaan sama pentingnya)
  • Pretty Boys (kalo film ini mengajarkan semua pekerjaan sama pentingnya kepada orang dewasa; personal look pria terhadap dunia televisi)
  • The Farewell (terenyuh sekali nonton drama komedi yang berurusan dengan cara mengucapkan selamat tinggal ini)
  • The Irishman (kita tahu ini salah satu terbaik Scorsese saat begitu terinvest kepada tokoh utama yang kriminal)
  • The Peanut Butter Falcon (tontonan yang menghangatkan jiwa membuat mikir dua kali sebelum meremehkan mimpi orang lain)
  • Toy Story 4 (mainan-mainan ini sekali lagi akan bermain dengan perasaan kita)
  • Us (Jordan Peele kembali menakuti kita dengan komentar sosial, kali ini tentang privilege)
  • Weathering with You (salah satu pencapaian visual terindah di 2019; cara terbaik ketika bicara tentang cuaca!)

Special shout out buat Avengers: Endgame yang ulasan filmnya mendapat jumlah view terbanyak di My Dirt Sheet tahun 2019.
 
 
Top-8 yang bakalan kalian baca di bawah, aku menganggap semua sudah menonton filmnya, jadi spoiler, beware. Penjelasannya pun bisa jadi bakal sangat subjektif, jadi jangan tanya lagi kenapa jika ada satu film enggak ada, atau soal urutan yang ‘bagusan yang nomor 6 deh dibanding yang nomor 2’. Bagi yang pengen membaca penilaian lengkap filmnya yang lebih objektif, kalian bisa klik masing-masing judul film untuk membuka halaman ulasan film tersebut.
 
 

8. JOKER

Director: Todd Phillips
Stars: Joaquin Phoenix, Robert De Niro, Zazie Beetz, Frances Conroy
MPAA: R for strong bloody violence, disturbing behavior, language and brief sexual images
IMDB Ratings: 8.7/10
“I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a fucking comedy.”
Saking manusiawi dan mengenanya emosi yang dikeluarkan, Joker menjadi film yang paling polarizing di tahun 2019. Beberapa penonton menyukainya, beberapa lagi takut akan kenyataan film ini banyak yang suka.
Joker adalah orang jahat. Dia membunuhi orang. Dia menginginkan dunia kacau. Film ini dengan hebatnya menempatkan kita di sepatu Joker, sampai kita merasa kasihan kepadanya. Inilah yang membedakan Joker dengan Taxi Drivernya Scorsese. Joker actually memang meminta kita melihat dari sudut pandang si jahat. Ada satu adegan Joker membunuh teman yang mengonfrontasi dirinya perihal pistol, dan kita malah bersimpati pada Joker karena segaris dengan sudut pandangnya bahwa ia dijebak oleh si teman. Padahal tidak. Joker adalah orang sakit di dunia yang sakit.
Buatku ini adalah tanda dari film yang bagus. Berbahaya, ya, tapi hanya bagi penonton yang tidak cakap dan salah mengenali. Selain sudut pandang, film ini juga punya banyak adegan bernada sureal yang semakin menguatkan humanisasi gelap dari manusia yang seluruh hidupnya adalah tragedi.
My Favorite Scene:
Setiap kali Joker menari, di momen-momen emosi yang sebenarnya enggak cocok untuk dipakai berjoged.

 
 
 
 
 

7. READY OR NOT

Director: Matt Bettinelli-Olpin, Tyler Gillett
Stars: Samara Weaving, Adam Brody, Mark O’Brien, Henry Czerny
MPAA: R for violence, bloody images, language throughout, and some drug use
IMDB Ratings: 6.9/10
“Maybe we deserve to burn.”
This is a pure blast! Ingat sejak dua tahun belakangan narasi wanita kuat dan pemberdayaan wanita atas tradisi jadi tren? Yah, film ini menceritakan itu dengan lebih simpel tapi tetap dramatis dan penuh gaya.
Grace bukan hanya melawan orang-orang yang memburunya. Grace melawan tradisi. Berusaha survive dari gagasan dirinya harus sesuai – memenuhi syarat – masuk ke satu ‘keluarga’. Sebagai horor film ini bekerja dengan baik karena punya aksi-aksi berdarah sebagai wujud dari simbol betapa mengerikannya pengaruh sebuah tradisi atau kepercayaan. Sebagai komedi, film ini bekerja terbaik, karena sajiannya yang menghibur penuh oleh kelucuan. Bahkan adegan orang terbunuh saja dibuat lucu.
Samara Weaving benar-benar jagoan di sini. Aku benar-benar suka pada penampilannya, dan itu mungkin karena bibirnya mengingatkanku kepada… ah sudahlah.
My Favorite Scene:
Gaun pengantin yang dikenakan Grace actually adalah karakter tersembunyi. Gaun itu menyimbolkan sesuatu yang tadinya harus ia kenakan, menjadi sesuatu yang ia kendalikan. Adegan favoritku adalah ketika Grace merobek gaunnya, menggunakannya sebagai bagian dari survival.
http://www.youtube.com/watch?v=6JDugxhF_cg
 
 
 
 

6. THE NIGHTINGALE

Director: Jennifer Kent
Stars: Aisling Franciosi, Baykali Ganambarr, Sam Claflin 
MPAA: R for strong violent and disturbing content including rape, language throughout, and brief sexuality
IMDB Ratings: 7.3/10
“”It’s the law”, cried the thief.”
Jennifer Kent baru membuat dua film. Yang pertama adalah The Babadook yang jadi film juara satu-ku di tahun 2014. Dan yang satunya lagi adalah thriller sejarah Australia ini. Film ini kayak Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, tapi lebih ganas, menakutkan, dan bikin kita lebih geram kepada kemanusiaan. Ada begitu banyak adegan kekerasan disturbing karena melibatkan anak kecil dan wanita, sampai-sampai tokoh-tokoh film ini – penampilan mereka seperti udah bukan akting – semuanya diberikan konseling kejiwaan.
Gagasan yang ingin diangkat oleh sutradara Jennifer Kent tidak sesederhana kejahatan akan mendapat balasan. Tidak, karena kekerasan yang akan berbuntut pada kekerasan hanya akan membentuk lingkaran setan kehancuran manusia yang akan terus bergulir. Kent justru mengangkat pertanyaan ‘bagaimana jika ada cara lain di luar balas dendam’. Dan terutama, ‘masihkah kemanusiaan itu akan ada di dunia yang penuh dengan kekerasan’.
Film ini keras, susah untuk disaksikan karena kontennya yang no holds barred, namun merupakan salah satu film terpenting bagi siapapun yang ingin merasakan kemanusiaan.
My Favorite Scene:
Revenge story semacam ini biasanya selalu menampilkan adegan pembunuhan pertama oleh tokoh utama sebagai sesuatu yang amat pahit, berkesan, menyayat, powerful. Dalam film ini, first kill tokohnya sangat luar biasa. Sayang, aku gak nemu potongan klipnya – sepertinya karena terlalu graphic.
 
 
 
 
 

5. FORD V FERRARI

Director: James Mangold
Stars: Matt Damon, Christian Bale, Josh Lucas, Noah Jupe
MPAA: PG-13 for some language and peril
IMDB Ratings: 8.3/10
“We’re lighter, we’re faster, and if that don’t work, we’re nastier.”
Kita gak suka balap? Who cares! Film adalah soal manusia-manusianya dan Ford v Ferrari menghadirkan dua tokoh yang begitu dekat. Bukan karena mereka tokoh asli yang pernah hidup di bawah mentari yang sama dengan kita. Melainkan karena mereka juga berjuang supaya bisa mengerjakan hal yang mereka cintai. Sama ,kan, kayak kita.
Kalian gak suka biografi karena berat dan lambat? Who CARES! Film ini akan membuktikan bahwa biografi enggak melulu berkaitan dengan cerita berat. Malahan film ini akan sangat crowd-pleaser. Percakapannya enggak pernah membosankan, karena penampilan yang total dari para pemain. Humornya juga lucu dan gak receh. Dramanya gak lebay melainkan penuh emosi yang terasa fully-earned, gak dibuat-buat.
Dan balap mobilnya? Man, gak suka balap juga pasti akan duduk sambil jingkrak-jingkrak deh melihat serunya balapan dan konflik yang melatarbelakanginya.
My Favorite Scene:
Sepanjang film aku mencubit-cubit lenganku karena geram melihat si tokoh korporat penjilat. Aku kasian sama si Miles yang disuruh mengalah tapi kemudian malah ditipu oleh timnya sendiri. Tapi film memasukkan sekilas, hanya beberapa detik adegan Miles kontak mata dengan bos Ferrari, lawan tandingnya. Dan ini buatku adalah adegan yang sangat powerful.
http://www.youtube.com/watch?v=E1Uvet8wbmA
 
 
 
 
 

4. ONCE UPON A TIME… IN HOLLYWOOD 

Director: Quentin Tarantino
Stars: Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, Margot Robbie, Al Pacino
MPAA: R for language, some strong graphic violence, drug use, and sexual references
IMDB Ratings: 7.8/10
“It’s the actor’s job to strive for one hundred percent effectiveness. Naturally, we never succeed, but it’s the pursuit..that’s meaningful.”
Aku selalu ‘lemah’ sama film-film yang menunjukkan tentang pembuatan dan bisnis film, dan karya ke-9 dari Quentin Tarantino ini buatku too much to handle. Aku menonton ini hampir-hampir pingsan kelelahan karena menahan diri begitu kuat untuk enggak loncat-loncat menahan girang. That’s how good this movie is for me.
Kata orang, ini adalah surat cinta Tarantino buat cinema. Dan memang sedemikian kuat passion sang sutradara terasa. Ia mereka ulang salah satu hari gelap dalam sejarah Hollywood, dan memasukkan fantasi sendiri. Lewat dua tokoh – bintang film dan stuntman-nya – kita meliha cerita pahlawan di tanah rekayasa yang begitu menyentuh dan lumayan pahit. Meskipun overall film ini amat sangat kocak.
Film ini nyaris tiga jam, tapi aku gak masalah menyaksikannya berulang kali. Malahan katanya tahun ini bakal rilis versi uncut empat jam; AAAAA, I CAN’T WAIT!
My Favorite Scene:
Adegan dengan flamethrower di akhir adalah yang langsung terpikir kalo mengingat film ini. Tapi actually ada banyaaak adegan keren sepanjang durasi. Dan kalo dipikir-pikir lagi, buatku adegan Rick Dalton berusaha tampil prima berakting saat hatinya ragu dan insecure-lah yang mencuri piala sebagai adegan paling favoritku di film ini
http://www.youtube.com/watch?v=E6nGlUGnfQ4
 
 
 
 
 

3. PARASITE

Director: Bong Joon Ho
Stars: Kang-ho Song, Sun-kyun Lee, Yeo-jeong Jo, So-dam Park
MPAA: R for language, some violence and sexual content
IMDB Ratings: 8.6/10
“If I had all this I would be kinder.”
Dalam Parasite ada adegan hujan deras, di rumah orang kaya yang letaknya agak tinggi di atas hujan itu tampak begitu indah, romantis, sejuk. Namun di rumah orang miskin yang letaknya nyaris di bawah tanah, hujan itu menenggelamkan, ganas. Dingin.
Kejeniusan dari Parasite adalah mengontraskan dunia kaya dan dunia miskin, membuat tokoh-tokohnya berjuang merebut kekayaan dengan cara yang hanya Bong Joon-Ho yang bisa. Tone yang kontras dihandle dengan baik sebagai perbandingan yang satir. Tidak satupun tokohnya yang satu-dimensi berkat dialog-dialog yang ditulis dengan cerdas. Film juga berani dengan visualnya. Menangani segala macam kaya-dan-miskin dalam lingkupan semua indera kita, termasuk bau – sesuatu yang jarang sekali dilakukan dengan berhasil oleh film-film lain.
My Favorite Scene: Semakin ke belakang, Parasite menjadi semakin fantastical. Ada satu adegan yang sekilas kayak konyol, namun sarat oleh pesan dan komentar sosial yang subtil. Yakni saat dua keluarga miskin berkelahi mati-matian berebut tempat di rumah orang kaya, aku suka sekali ini.
http://www.youtube.com/watch?v=jI_Gx5B46UE
 
 
 
 
 

2. THE LIGHTHOUSE

Director: Robert Eggers
Stars: Robert Pattinson, Willem Dafoe, Valeriia Karaman
MPAA: R for sexual content, nudity, violence, disturbing images, and some language
IMDB Ratings: 8.0/10
“He believed that there was some enchantment in the light. Went mad, he did.”
Film terbaik yang kutonton sepanjang 2019. Pencapaian teknisnya luar biasa. Penggunaan warna serta rasio layarnya amat mendukung rasa terkukung yang ingin disampaikan. Editingnya sangat precise, sampai-sampai kita seolah merasakan langsung kegilaan ikutan merayap ke dalam diri kita. Ini adalah film tentang dua orang yang perlahan menjadi gila berada di pulau terpencil berdua saja untuk waktu yang lama. Dan semakin mereka tumbuh rasa curiga, rasa takut, merasa semuanya enggak beres, kita juga turut merasa begitu. Pada satu titik kita enggak tahu lagi mana yang benar.
Meskipun dialognya aneh dan ‘kuno’, namun tidak sekalipun film ini terdengar kaku. Yang menjadi bukti film ini punya arahan dan penampilan akting yang meyakinkan dan sangat kuat. Horor yang dihadirkan di sini adalah horor psikologis. Ada misteri yang berjalan di dalam dunia film, tapi kita bahkan enggak yakin dari mana kengerian dan misteri itu berasal.
Ini adalah jenis film yang jika ditonton lima orang, maka lima-limanya akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Ada begitu banyak adegan simbol dan kiasan yang memiliki makna berbeda tergantung masing-masing yang menonton. Di atas semua itu, film juga gak sok penting dan sok ribet, dia masih bisa bercanda dengan fart jokes di sana-sini. Aku menunggu-nunggu karya Robert Eggers berikutnya setelah The Witch yang jadi runner-up Top-8 ku di 2016, dan tahun ini dia kembali dengan tak mengecewakan.
My Favorite Scene:
Serius, aku tanya. Kapan lagi. Kita melihat adegan. Robert Pattinson dimarahi Willem Dafoe. Karena gak suka lobster yang ia masak?
http://www.youtube.com/watch?v=WBZwUdJFnhw
 
 
 
 
 
Kita beruntung masih bisa menyaksikan film dari master-master kayak Tarantino, Joon-Ho, bahkan Scorsese. Kita juga dapat comeback dari director-director muda yang ‘baru’ menghasilkan karya kedua, and it’s amazing! Seperti Jordan Peele yang debut Get Out dan sekarang Us – walaupun keduanya masih berkutat di ‘honorable mentions’/. Ada Jennifer Kent yang pernah jadi juaraku, dan sekarang muncul kembali masuk di Top-8 posisi 6. Ada Robert Eggers yang kembali menempati runner up. Sebenarnya tahun ini ada lagi yang comeback, yakni Ari Aster, yang tahun kemarin di posisi puncak dengan film debutnya; Hereditary. Bisakah Ari Aster dapat juara berturut-turut?
Atau mungkin tahun ini giliran film Indonesia? Dua sutradara master kita juga bersaing dengan film masing-masing. 2019 juga diisi oleh banyak film dari sutradara-sutradara debutan, apakah salah satu dari mereka yang bakal menempati posisi pertama dan mengukir sejarah My Dirt Sheet?
Jawabannya setelah iklan meme Joker dengan lagu WWE dariku berikut ini!
 


 
 
 
Oke, film nomor satuku di 2019 adalah:
 

1. FIGHTING WITH MY FAMILY

Director: Stephen Merchant
Stars: Florence Pugh, Vince Vaughn, Nick Frost, Dwayne Johnson
MPAA: PG-13 for crude and sexual material, language throughout, some violence and drug content
IMDB Ratings: 7.1/10
“Dick me dead, and bury me pregnant”
Jika kalian bisa nonton dan suka film balap, padahal gak suka balap, maka you’d definitely watch and like this movie too.
Dan aku bukan sekadar bias hanya karena suka gulat dan actually memfavoritkan Paige sebagai pegulat wanita revolusioner yang jadi tokoh utama cerita ini. Film bertema gulat secara mengejutkan ada tiga di tahun 2019. Tiga-tiganya bagus. Dua di antaranya nongkrong di Honorable Mentions. Fighting with My Family adalah yang paling grounded dan ringan dan menyentuh. Film ini digarap oleh Stephen Merchant, yang juga baru dua kali nyutradarain film panjang, dan dia bukan penggemar gulat. Namun dia berhasil menangkap esensi cerita dan punya gagasan sendiri yang sangat beresonansi dengan penonton.
ini adalah film crowdpleaser dengan formula yang sama kayak film-film tinju ataupun film tentang kompetisi. Tapi penampilan dan naskahnya tergarap dengan luar biasa baik. It is really inspiring. Drama keluarga dan konflik-konfliknya akan sangat menyentuh. Bayangkan kita dan saudara kita punya mimpi yang sama, tapi hanya satu dari kita yang dapat kesempatan – dan kita menyadari kita justru dapat kesempatan itu dari saudara yang kita ‘kalahkan’ tadi. Inilah yang dibicarakan oleh film ini. Bukan glorifikasi dunia gulat, melainkan fokus pada hubungan manusia yang semuanya punya keinginan untuk menang namun dunia simpelnya tidak butuh setiap orang untuk jadi pemenang.
Aku nonton ini sudah berulang kali. Tapi aku gak sanggup untuk melihat adegan Paige ‘diabaikan’ oleh abangnya karena cemburu saat mereka bertanding di arena keluarga. Sebegitu mengenanya emosi di adegan tersebut. Aku benar-benar gak nyangka film yang bahkan gak masuk di bioskop Indonesia ini, yang bersetting gulat yang sering diremehin orang, bisa mengandung cerita keluarga yang semenyentuh dan sehangat ini.
My Favorite Scene:
Film ini juga sangat lucu. Meskipun kadang lucunya awkward dan gak untuk semua orang. Favoritku adalah adegan The Rock menelfon keluarga Paige untuk memberikan suatu kabar. Reaski Nick Frost sangat kocak. Dan lihatlah ekspresi Florence Pugh saat menatap The Rock, seperti menatap idola sungguhan!

 
 
 
 
 
That’s all we have for now.
2019 tidak berlanjut sebagaimana yang kuharapkan di akhir 2018. Tapi ternyata masih menyiapkan kejutan menyenangkan. Aku pun masih optimis perfilman akan semakin mendekati nilai keseimbangan antara industri mainstream dengan ideal dan ala arthouse. Yang jelas, semoga cerita-cerita bersambung yang sengaja dipotong segera enyah dari dunia sinema.
Bagaimana dengan kalian, film 2019 apa yang menjadi favorit kalian? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2020?
Share with us in the comments 
 
Oh ya, untuk merayakan satu dekade My Dirt Sheet; nantikan artikel khusus Champion of Champions: My Dirt Sheet Top Movie of a Decade (2010-2019) segera!!
Remember, in life there are winners.
And there are…

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

My Dirt Sheet Top-Eight ‘KEKECEWAAN BIOSKOP’ OF 2019


 
 
Akhir tahun adalah waktu yang biasanya kita gunakan untuk meratapi resolusi-resolusi yang tak jadi tercapai (lagi!), keinginan-keinginan yang kandas tak terwujud, dan harapan-harapan yang berbuah kekecewaan. List ini adalah salah satu perwujudan dari harapan-harapan itu.
Ketika film disebut mengecewakan, bukan lantas seketika berarti film itu jelek, pembuatnya bego gak ngerti bikin film. Film yang bagus juga bisa saja tetap membuat kita merasa kecewa. It’s just mewujudkan sebuah film berarti membuat pilihan. Mau ngambil resiko atau tidak. Mau jadi nyenengin hati fans, atau hati semua orang, atau hanya hati produsernya. dan pilihan yang diambil film kadang enggak sejalan – enggak sefrekuensi, kalo kata Ainun – dengan harapan dan ekspektasi kita. Yang menurut kita penting, belum tentu begitu bagi pembuatnya.
Jadi, ya, daftar ini akan sangat subjektif. Kalian boleh jadi tidak menemukan film yang kalian benci. Sebaliknya, kalian bisa saja menemukan film yang kalian suka atau mungkin malah film yang menurut kalian bagus nampang di sini. Dan aku yakin memang ada. Tahun ini actually lebih banyak film yang populer, yang bisa dibilang bagus – at least yang kukasih skor lumayan tinggi – yang menurutku mengecewakan. Karena ekspektasi dan pilihan tadi. Also, daftar ini hanya akan mengcover film-film yang kutonton di bioskop, sebab dikecewakan oleh film yang kita harus berangkat dari rumah, meluangkan waktu untuk menempuh perjalanan, mengeluarkan uang, terasa lebih nyesek. Apalagi kalo ternyata yang ditonton di layar gede itu tak lebih dari glorified-ftv.
Setiap tahun aku beresolusi bisa menonton film-film di bioskop tanpa harus meratapi duit yang sudah keluar dan bertanya keras-keras ke tembok ala Adam Driver di Marriage Story “why did they do that?”, tapi nyatanya aku masih mendapati delapan film ini:
 
 
 

8. AVENGERS: ENDGAME


Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Robert Downey Jr, Chris Evans, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
Duration: 3 hour 1 min
Ya, ini bakal kontroversial, aku bahkan bisa mendengar mouse kalian bergerak cepat mau menutup halaman ini haha.. Jika kalian ngarahin mousenya ke judul setiap nomor, instead, maka kalian akan diarahin ke halaman ulasan, dan bisa dilihat di sana aku ngasih film ini skor 7 dari 10 bintang emas. Avengers: Endgame dibuat dengan sangat kompeten. Final fight yang kita tunggu-tunggu digarap dengan seru, menghibur sekaligus berhasil memenuhi tujuan ‘politik’ era SJW sekarang ini.
Posisinya ada di atas menunjukkan bahwa film ini tergolong bagus. Kekecewaanku timbul dari mereka memperkenalkan time-travel dan actually membuat babak kedua membahas mengenai aturan time-heist. Mereka menyusunnya dengan klop. Hanya saja, aku tidak mengharapkan itu. Infinity War berakhir dengan kemenangan Thanos, film membangun ekspektasi kita terhadap cara apa yang bakal dilakukan Avengers untuk well, to avenge their loss. Dan time-heist ini adalah cara yang paling standar untuk membahas soal serangan balasan tersebut. Film seperti punya agenda ingin membuat kita bernostalgia, maka ceritanya pun tidak move on. Malahan membawa kita ke semacam highlight.
Dan ini bukan cara yang paling aman pula. Avengers: Endgame meninggalkan kita dengan banyak plothole. Mungkin kalian adalah salah satu yang ikut membahas soal plothole dan implikasi kocak dari time-travel beda timeline di kolom komen review. It’s hilarious. Pembelaan pembuat film ini terhadap kekonyolan itu  adalah – seperti yang bisa kita tebak – penjelasannya bakal ada di film phase berikut. Ini membuat Avengers: Endgame less of a film dan lebih seperti produk. Aku setuju sama kata Martin Scorsese.
My Breaking Point:
Fans berkampanye betapa Tony Stark pantas untuk dapat Oscar. Ugh…. Bercanda haha.
Breaking point-ku yang benar adalah saat menyadari para Avengers sebenarnya berkelahi dengan orang yang berbeda. Thanos yang mereka lawan bukanlah Thanos yang mengalahkan mereka di Infinity War. Dan ini membuat pertarungan terakhir itu jadi hampa bagiku. Aku mau melihat mereka mengalahkan orang yang sudah bikin mereka kalah; Thanos dengan kekuatan Infinity Stone penuh. Bukan Thanos yang gak tahu apa-apa, yang cukup dikalahkan oleh Scarlet Witch seorang.
 
 
 
 
 

7. HABIBIE & AINUN 3


Director: Hanung Bramantyo
Stars: Reza Rahadian, Maudy Ayunda, Jefri Nichol, Diandra Agatha
Duration: 2 hour 1 min
Untuk merangkumnya, ini adalah cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang.
Film ini kayak pengen menceritakan tentang Ibu Ainun, tapi sendirinya tidak percaya bahwa cerita Ibu Ainun semasa muda tidak akan menjual. Maka mereka membuatnya sebagai sekuel Habibie & Ainun dan fokus tetap pada Habibie. Ditambah Bapak Habibie berpulang (salah satu momen menyedihkan bagi Indonesia tahun ini) dan film bergerak lebih cepat daripada lariku saat ditagih hutang untuk menguangkan kematian tersebut.
Cerita Ainun yang tentang wanita enggak kalah dari pria – manusia bukan soal gender lucunya malah seperti nomor dua, meskipun penulis tampak bersusah payah membuatnya Ainun seperti dokter wanita pertama dengan segala kesulitannya di dunia yang masih memandang wanita nantinya bakal balik ke dapur. Bagaimana film akhirnya menjual cerita ini? Dengan elemen romansa tak-sampai dan tokoh antagonis dibuat satu-dimensi demi Ainun kelihatan menarik.
My Breaking Point:
Ketika si senior antagonis masih diperlihatkan menyiapkan pidato perpisahan, dia dibuat gak logis banget masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Ainun gak terlihat pintar dan selfless hanya dengan menampilkan tokoh senior ini sebagai ‘lawannya’.
 
 
 
 
 

6. FROZEN II


Director: Chris Buck, Jennifer Lee
Stars: Idina Menzel, Kristen Bell, Josh Gad, Jonathan Groff
Duration: 1 hour 43 min
Ini adalah contoh sekuel yang buru-buru diadakan karena film pertamanya laku. Ia dibuat sebagai brand ketimbang dibuat karena mereka punya cerita segar untuk dibagikan. Karena Frozen II hadir dengan cerita yang mirip Avatar Legend of Aang, penuh eksposisi dan throwback, yang ironisnya mereka tetap berhasil melepehkan perjalanan Elsa di film pertama.
Elsa yang sudah belajar untuk berani menjadi diri sendiri di tengah keramaian dalam film ini diharuskan belajar untuk menemukan dirinya sendiri dan di akhir memilih untuk sendirian karena dia begitu berbeda dengan orang-orang. Pesan seperti apa ini? Kita pengen karakter cewek yang mandiri tapi gak gini juga caranya.
Petualangan film ini tidak terasa seru, karena diberatkan oleh narasi eksposisi. Drama antar-saudari tidak lagi simpel dan mengena, melainkan terasa begitu jauh oleh cerita perang-fantasi yang ribet. Fantasinya pun terasa usang meski memang visualnya teramat indah.
My Breaking Point:
Olaf. Serius deh, Olaf sangat menjengkelkan. Dan film terus ngepush manusia salju sampai-sampai kita melihat adegan Olaf menceritakan – eng, MENGADEGANKAN ULANG! kejadian di Frozen pertama. What. An. Annoying. Waste. Of. Time.
 
 
 
 

5. X-MEN: DARK PHOENIX


Director: Simon Kinberg
Stars: Sophie Turner, James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Duration: 1 hour 53 min
X-Men seharusnya bisa dijadikan contoh gimana hancurnya cerita superhero jika bermain-main dengan time-travel. Namun tetap saja elemen itu bakal dipilih karena dengan begitu universe lebih mudah untuk diekspansi. Masalah logika nomor dua.
Dark Phoenix bukan saja berurusan dengan masalah kontinuitas – banyak aspek yang enggak masuk dengan dunia dalam franchise X-Men sebelumnya. Ia juga harus berurusan dengan pengaruh SJW – sekali lagi ini adalah cerita wanita yang berusaha menjadi dirinya sendiri -, dinyinyirin mirip dengan Captain Marvel yang sudah lebih dulu tayang dengan jarak yang tak begitu jauh, dan beban sebagai penutup X-Men. Well, setidaknya sebelum dibeli oleh studio dagang yang lebih gede.
Hasilnya sungguh berantakan. Dark Phoenix terlihat jelas mengalami banyak shoot ulang. Ada yang bagus, seperti final battle di kereta api. Namun secara keseluruhan, setiap babak film ini terasa kayak film yang berbeda. Mereka enggak menyatu dengan kohesif, tone ceritanya beda, motivasinya beda. Film juga pengen nampil sangat serius sehingga enggak ada lagi kesenangan menontonnya.
My Breaking Point:
Ketika mereka memperkenalkan alien sebagai musuh utama. Alien yang sangat miskin eksplorasi. Bangsa alien tersebut bahkan gak sempat disebutkan namanya. Aku hanya menyebutnya…; Peran-yang-disesali-oleh-Jessica Chastain.
 
 
 
 
 

4. AVE MARYAM


Director: Robby Ertanto
Stars: Maudy Kusnaedi, Chicco Jerikho, Tutie Kirana, Joko Anwar
Duration: 1 hour 25 min
Oh betapa ekspektasiku tinggi sekali mendengar pujian-pujian bagi film ini dari penayangannya di berbagai festival. Temanya pun berani, kisah cinta seorang biarawati. Tapi begitu ditonton di bioskop… maan, kenapa rasanya ada yang bolong.
Selain sinematografi yang keren, art yang memanjakan mata, dan adegan manis berdialog di kafe, tidak ada yang bisa dinikmati dari Ave Maryam. Perjalanan tokoh utamanya terasa abrupt. Konfliknya yang berani itu gak terasa. Film ini seperti kisah cinta biasa. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Aku seperti menonton film yang berbeda dengan orang-orang di festival. I mean, filmnya benar-benar kosong, kita hanya baru akan mengerti konflik dan backstory dan segala macemnya setelah membaca sinopsis. Sungguh sebuah karya menyedihkan jika harus mengandalkan sinopsis sebagai komplementer – sebagai sarana untuk menampilkan yang tidak bisa ditampilkan.
Kemungkinan terbesar adalah akibat penyensoran. Dan jika benar, maka sangat disayangkan sekali perfilman kita masih belum berani menghidangkan cerita yang bertaji.
My Breaking Point:
Maryam memandangi Romo Yosef bermain musik, kamera fokus kepada si Yosef seolah dia konduktor terkeren di dunia, padahal tidak ada sama sekali rasa di adegannya.
 
 
 
 

3. BEBAS


Director: Riri Riza
Stars: Maizura, Marsha Timothy, Sheryl Sheinafia, Baskara Mahendra
Duration: 1 hour 59 min
Bebas diadaptasi dari film Korea yang berjudul Sunny. Sunny sendiri merupakan cerita persahabatan cewek remaja Korea yang kental sendiri dengan lokalitas orang sana, film itu menggambarkan sistem pendidikan yang keras dan hubungan sosial remaja yang membentuk geng sekolah.
Kupikir akan menarik, bagaimana Riza akan membawa cerita ini ke dalam lokal Indonesia. Tokoh yang tadinya cewek semua, diganti dua menjadi cowok. Setting waktu yang diambil adalah 90 akhir, saat Indonesia lagi krisis-krisisnya. Ternyata, tidak ada hal lokal yang signifikan yang dijadikan daging oleh film saduran ini. Film berpuas diri dengan lagu-lagu 90an dan gak melakukan banyak terhadap cerita. Semua kejadian dalam film ini sama persis dengan yang di film asli. Hingga ke dialog-dialognya. Latar hanya sekadar tempelan. Soal cowok main dalam geng cewek pun tak dijadikan fokus utama. Seharusnya yang diganti jadi cowok, tokoh utamanya aja sekalian.
Salah satu produk film paling malas tahun ini, minim visi original, dan hanya mengandalkan nostalgia musik, jejeran cast, dan cerita dari material aslinya.
My Breaking Point:
Sesama-samanya dengan Sunny, tapi film berhasil untuk membuatku kecewa karena entah mengapa mereka mengurangi porsi Suci (Su-ji pada Sunny) dan tidak ada adegan Suci menyelamatkan Vina
 
 
 
 
 
 
 

2. RATU ILMU HITAM


Director: Kimo Stamboel
Stars: Ario Bayu, Hannah Al Rashid, Putri Ayudya, Adhisty Zara
Duration: 1 hour 39 min
Film ini juga punya jejeran cast yang yahud, tapi bahkan mereka lebih enggak banyak berguna lagi ketimbang cast Bebas. Ratu Ilmu Hitam harusnya jadi film favoritku tahun ini – horor, ada efek praktikal body horor, sadis, digarap oleh kombo maut pada genre ini (film ini ditulis dan dipromosikan secara keras oleh Joko Anwar). Aku memang menyukainya. Hanya saja, ini jauuuuuh banget untuk jadi film yang memuaskan.
Mainly karena penulisannya yang sangat mengecewakan. Cast yang berjubel itu tidak mampu diberikan penulisan yang berbobot, let alone berimbang. Si Ari ‘Wage bacanya Weij’ Irham malah hanya dikasih satu adegan penting. Bayangkan. Hampir seperti film ini enggak peduli soal mengarahkan akting. Mereka hanya fokus membangun keseraman dan twist bergagasan moral berbau politis. Buktinya lagi, film gak mau repot-repot ‘maksa’ pemainnya mainin adegan dengan kelabang asli. Hewan-hewan kecil itu masih pakai efek komputer dan terlihat gak meyakinkan. Dan menjadi menggelikan ketika di kredit penutup kita melihat still foto adegan-adegan seram – menggunakan kelabang asli – dari Ratu Ilmu Hitam original.
Yang kuharap adalah horor sadis sederhana, memanfaatkan banyaknya cast mumpuni. Namun yang didapat adalah kejadian ribet dengan sok berada di batasan moral abu-abu, yang tidak didukung oleh penulisan dan struktur cerita yang bener. Tokoh utamanya aja gak jelas siapa. Kenapa gak sekalian aja judulnya Ratu Kulit Hitam kalo memang mau dapat pujian filmnya punya isu, siapa tau bisa menang Oscar.
My Breaking Point:
Dialog-dialog film ini yang sibuk menjelaskan, ngobrol ringan, dan berusaha mengomentari banyak hal, benar-benar menjengkelkan buatku. Gak cantik penulisannya. Puncaknya adalah ketika tokoh yang diperankan Zara dan tokoh anak panti yang tadinya akur, tau-tau berantem adu mulut lantaran si cowok mau nembak tikus di dalam rumah. WTF.
 
 
 
 
 
Sebelum masuk ke posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions yakni film-film bioskop 2019 yang dapat skor 1. Ironisnya, mereka memenuhi ekspektasiku; Jelek, dan ternyata beneran jelek!

Dishonorable Mentions:

11:11 Apa yang Kau Lihat,

Roy Kiyoshi the Untold Story,

47 Meters Down: Uncaged,

Pariban: Idola dari Tanah Jawa

Sekte,

Kelam

 
 
 
Dan juara paling mengecewakan tahun ini jatuh kepadaaa

1. STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER


Director: J.J. Abrams
Stars: Daisy Ridley, Adam Driver, John Boyega, Oscar Isaac
Duration: 2 hour 22 min
Ketika Force Awakens munculin tokoh yang practically ‘mary sue’ aku masih bisa memaafkan; at least, sudut pandang baru dan revealingnya bakal keren. Ketika Last Jedi membuang semua teori fans ke laut dan nge-swerve kita setiap kali kesempatan, aku juga masih oke – malah excited mau dibawa ke mana sebenarnya trilogi ini, apa jawaban besar yang menanti di Episode 9. Lalu, akhirnya tibalah Rise of the Skywalker. Dan jelas sudah mereka tidak punya rencana apa-apa untuk trilogi ini selain untuk menjual mainan saat natal dan tahun baru.
My Breaking Point sudah mulai mendidih di menit-menit pertama mereka munculin kembali Palpatine. Menghapus semua kejayaan prophecy Anakin yang menjadi motor di Star Wars terdahulu. Dan sepanjang durasi, aku merasa terus menggelegak karena film ini tidak melanjutkan, melainkan merevisi sesuka hati. Tidak lagi peduli pada apa yang sudah dibangun – baik atau buruk – dan just go with apapun yang sekiranya bisa bikin fans bersorak “hey itu dari episode ke anu!”
Out of nowhere mereka membuat Poe sebagai kurir scroundel galaksi – seperti Han Solo – padahal di episode sebelumnya dia anak pilot biasa, dan sudah ikut berperang sejak muda. Mereka begitu saja membuat Finn punya ‘feeling’ dan ada banyak Stormtrooper seperti dirinya, meskipun di episode sebelumnya arc Finn adalah satu-satunya mantan militer yang berusaha rise up dari komanda-komandannya dahulu. Kisah cinta Finn pun seperti tak-eksis di sini. Dan kalo aku punya popcorn, maka semua popcornnya pasti sudah kulempar-lempar ke layar ketika hantu-force Luke mengangkat pesawat yang mestinya sudah rusak dan gak bisa dipakai. Kerusakan pesawat X-Wing ini penting, karena itulah yang menyebabkan Luke mengerahkan tenaganya sendiri hingga mati untuk muncul dalam bentuk energi menolong Resistance di Episode VIII
Nonton ini aku antara nyengir seru nonton aksinya dan nyengir blo’on melihat elemen-elemen yang gak kohesif.
Aku mengerang keras di bioskop pada momen ketika Rey menyebut dirinya Rey Skywalker di akhir. AARRGGHH!
 
 
 
 
That’s all we have for now.
Bisa dilihat sebagian film di daftar ini adalah box office, dan ini merupakan pertanda tak menyenangkan industri film semakin mengarah ke produk dan wahana. Sekalinya ada film yang berbeda, film tersebut ditakutkan akan begitu kontroversial sehingga dijinakkan. Tiga dari empat film impor di sini adalah buatan Disney, dan ini aku gak menyebut film-film live-action mereka yang semuanya sudah diantisipasi bakal jelek. Kalolah yang aku bikin adalah list film terburuk, film-film Disney tahun ini akan berkumpul di sana. Magic mereka hanya visual sekarang, dan aku benar-benar takut tren ini terus berlanjut.
Untuk Indonesia, tren yang mulai muncul adalah ‘film’ yang bersambung. Dan ini sedapat mungkin kubasmi dengan tidak menyebutnya sama sekali meskipun kesalnya luar biasa dapat yang jenis ini di bioskop.
Juga noticed dong kalo kebanyakan film di list ini bertokoh utama perempuan, yang ditulis dengan kurang baik. Ini actually satu lagi tren yang menakutkan; tokoh-tokoh perempuan sekarang diharapkan kuat, mandiri, berdaya, gak butuh cowok, dan ini salah kaprah menjadikan tokoh itu sebagai poster girl SJW dan feminism, padahal mereka seharusnya jadi tokoh yang relatable dan belajar untuk menjadi kuat.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Jangan lewatkan Top-Eight Movies of 2019 yang akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, juga awards tahunan My Dirt Sheet Awards CLOUD9 di 2020.
Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~
 
 
 
 
Because in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE FAVOURITE Review

“Without honesty, love is unhappy”

 

 

Dalam The Favourite kita akan melihat Emma Stone dan Rachel Weisz memperebutkan hati Olivia Colman. Siapa di antara Lady Sarah dan rakyat jelata Abigail yang akhirnya menjadi orang kepercayaan, dan kekasih-rahasia sang Ratu Inggris. Kita bisa bilang ini kisah cinta-segitiga yang benar-benar ganjil. Agaknya, lewat komedi dengan sudut pandang unik, pemandangan sejarah – sebuah period piece – yang bahkan gak benar-benar peduli sama keakuratan, dan dengan cueknya menggeser posisi laki-laki menjadi sebatas hiasan ruangan dengan wig dan dandanan heboh, sutradara Yorgos Lanthimos berusaha menyentil dinamika dunia politik kontemporer di sekitar kita, hingga ke lapisan yang paling kecil. I mean, betapa sering kita nemuin kasus – atau bahkan mungkin mengalami sendiri – seorang yang posisinya terancam oleh kedatangan seorang baru yang lebih charming dan pintar menarik hati? Berapa sering kita terlena antara dusta dan cinta?

Permulaan film ini seolah mengeset cerita biasa tentang keberhasilan orang-susye memanjat tangga sosial dan menuai hasil keringat, darah, dan air matanya. Abigail yang diperankan Emma Stone memang dengan gampang sekali menarik simpati kita. Dia orang yang baik hati, yang bersedia kerja apa saja. Abigail sudah cukup makan garam perihal perlakuan dunia terhadap orang-orang miskin seperti dirinya, walaupun dirinya masih ada hubungan keluarga dengan tokohnya Rachel Weisz, Lady Sarah yang gede di lingkungan istana. The Favourite benar-benar menunjukkan beda kelas sosial tersebut dengan ekstrim – tetap, dalam undertone yang kocak. Selama ini kita mungkin hanya menerka apa sih yang dikerjakan orang-orang kaya di jaman dahulu. Setelah nonton film ini, imajinasi kita terhadap mereka akan semakin liar. Balapan bebek alih-alih kerja rodi di dapur?

well, tentu saja Abigail lebih memilih berjuang untuk mengukuhkan posisi ketimbang menjadi sasaran berikutnya dari lemparan jeruk.

 

 

Kerja menakjubkan film ini adalah gimana backstory dan motivasi setiap tokoh berhasil tersampaikan kepada kita, secara tersurat maupun tersurat. Kita hampir mengasihani Abigail lantaran dia diberikan masa lalu traumatis, namun itu semua ‘hanya’ alasan supaya kita paham roda gigi macam apa yang bergerak di dalam kepalanya. Kita jadi mengerti tidak ada yang lebih diinginkan Abigail selain kenyamanan istana, tidak lagi berada di kelas bawah. Dan semakin kamera membawa kita mendekatinya, ini bukanlah cerita keberhasilan. Inilah yang aku suka dari The Favourite, ceritanya berani menunjukkan kegagalan. Boleh saja begitu dia pertama kali menginjakkan kaki ke istana, masuk ke lingkungan Ratu Anne, Abigail memang wanita baik-baik, akan tetapi lambat laun bahkan dirinya sendiri seperti enggak percaya pada hal-hal yang ia lakukan demi mengukuhkan diri di atas sana. Abigail seperti meyakinkan dirinya sendiri ketika berulang kali dia menyebut dirinya punya hati yang baik. Di balik dinding istana, betapapun dekat jarak yang ia ciptakan antara sang Ratu dengan dirinya, Abigail tidak pernah merasa secure. Tokoh Abigail adalah peringatan kepada kita semua bahwa dalam lingkup sosial yang tidak seimbang antara kaya dan miskin menciptakan kompetisi yang bar-bar. Miskin gak mau semakin miskin, dan yang kaya tentu saja tidak mau jatuh miskin.

Dan tidaklah gampang untuk keluar dari lingkungan sosial seperti demikian. Film menggambarkan kekangan yang dirasakan oleh kaum aristokrat itu lewat wide shot yang dapat kita temukan di sepanjang durasi. Menggunakan lensa fish-eye, film menyuguhkan  jangkauan luar biasa lebar. Kita akan melihat tokoh-tokohnya sendirian di ruangan yang besar, persis kayak lukisan-lukisan jaman dulu, dan sekaligus kita merasakan kesendirian – bahkan ketika mereka berada di court room dengan banyak orang, dan kungkungan yang menyangkut dalam perasaan mereka. Sekalipun mereka berjalan, wide shot tersebut beralih fungsi untuk menunjukkan jauhnya perjalanan yang mereka lakukan untuk sampai di sana. Sekali lagi, sama seperti Abigail, film mengeset pemahaman kita bahwa semua orang di dalam sana tidak mau kembali ke muasal mereka di jalanan. Berbeda dengan wide-shot yang dilakukan oleh Roma (2018), saingan film ini di Oscar, kamera The Favourite enggak ragu untuk bergerak aktif. Kita bakal sering dibawa berayun oleh kamera, yang kemudian melesak maju bersama karakter, untuk menimbulkan kesan para tokoh ini berjuang keras bergerak di dalam sana. Film juga memilih untuk menggunakan cahaya-cahaya yang natural. Yang terbukti efektif sekali saat shot di malam hari, sebab cahaya lilin itu benar-benar menangkap kecemasan Abigail yang tak tenang seberapapun tinggi statusnya, dia masih khawatir akan ‘ketahuan’ sebagai orang yang seharusnya tidak berada di sana.

Apa yang tadinya dimulai dari cerita underdog yang sederhana – I mean, siapasih yang enggak bakal terpikat sama Abigail yang feminim dan sopan dibandingkan Lady Sarah yang tegas dan kaku – berubah menjadi sesuatu yang lebih dalem lagi. Film dengan berani menunjukkan perubahan Abigail, dia semakin nekat melakukan berbagai cara. Sensasi nonton yang luar biasa saat kita menyadari bahwa Abigail yang hanya memikirkan diri sendiri tidak lebih baik dari orang yang berusaha keras untuk ia gantikan. Lady Sarah yang melarang ratu makan coklat, yang meledek dandanan sang ratu kayak luak, yang ogah membelai kelinci-kelinci peliharaan Ratu, yang terang-terangan mengaku cintanya pada ratu ada batasnya namun tidak demikian buat negara, adalah orang yang lebih baik karena dirinya berada di sana bukan untuk kepentingan pribadi. Sarah punya tujuan yang jauh lebih mulia daripada memuaskan kenyamanan dirinya sendiri. Tidak seperti Abigail, Sarah tidak sekalipun menganggap Ratu Anne sebagai hadiah yang harus dimenangkan. Adegan Abigail menari bersama Ratu, at one point kita mendengar suara letupan senjata, dan Ratu terjatuh – sambil tertawa – melambangkan siapa sebenarnya yang ‘pembunuh’ alias oportunis. Dan tentu saja bukan tidak ada maksudnya ketika film memperlihatkan Abigail lebih ahli menembak ketimbang Sarah. Sarah tidak pernah berpura-pura, dia mempersembahkan dirinya apa adanya. Dia tidak peduli orang menganggapnya kejam dan berhati dingin. Malahan faktanya, dibanding Abigail yang sepanjang waktu membuat ‘rencana’ dan bergerak sembunyi-sembunyi, hanya satu kali diperlihatkan Sarah berusaha bikin surat buat ngeblackmail Ratu, namun pada adegan berikutnya kita melihat surat tersebut dia bakar. Karena seperti yang diperjelas oleh dialog Sarah dengan Abigail; dia tidak memainkan permainan yang sama dengan Abigail.

Dan Sarah-lah yang mengungkapkan kalimat terpenting yang menjadi pesan dalam film ini. Bahwa kejujuran adalah cinta. Mencintai dan tetap bersikap jujur ternyata adalah hal yang luar biasa sukar dibandingkan berbohong demi menyenangkan orang.

 

Tentu saja sikap Sarah tersebut dipandang sebagai ketidaksetiaan oleh Ratu. Yang membawa kita ke tokoh terakhir dalam cerita segitiga ini. Olivia Colman dinobatkan sebagai pemenang Aktris Terbaik dalam Peran Utama Oscar 2019, mungkin membuat kita bertanya-tanya kenapa tokoh yang diperebutkan ini yang disebut sebagai peran utama. Buatku, tokoh utama cerita ini memang Abigail. Namun aku mengerti kenapa Anne juga bisa dipandang sebagai tokoh utama. Walaupun tokohnya annoying dan konyol sebagai penguasa (mengingatkanku pada persona Vickie Guerrero di WWE), keputusan Ratu Anne-lah yang menjadi penentu cerita. Dan jika kita tilik karakternya, dialah yang paling manusiawi di antara semua. Anne yang paling menderita. Dia bahkan enggak tahan mendengar musik karena membuka luka emosional yang selama ini menderanya. Ratu kita ini telah kehilangan tujuh-belas anaknya. Implikasinya adalah dia tidak bisa punya anak. Film dengan hebat menetapkan bahwa sosok ini sangat mendamba cinta, dia ingin ada yang menunjukkan cinta kepadanya. Kelinci-kelinci yang ia pelihara; merupakan wujud pengganti anak baginya. Menjadi ratu, penguasa, adalah siksaan ekstra bagi pribadi semacam ini karena dia tidak pernah tahu pasti siapa yang tulus mencintai dirinya dan siapa yang hanya ingin mengeruk keuntungan darinya. Lebih mudah baginya untuk mempercayai dan menerima Abigail yang terus memuja-muja dirinya – menjilat kalo boleh dibilang – ketimbang Sarah yang menyuruh-nyuruh dirinya.

Sang Ratu ultimately dihadapkan pada pilihan antara orang yang bersikap manis dengannya dan orang yang ketus. Abigail memanfaatkan kelemahan Anne, sedangkan Sarah berusaha mengeluarkan Anne dari kelemahan tersebut. Dan pada akhirnya memang Abigail yang menang. Namun film menembak kita dengan pertanyaan, apa yang ia menangkan? Apa yang ia dapatkan sebagai anak emas si Ratu kalo kenyataannya hati Abigail semakin tidak tenang. Abigail malahan hanya jadi sasaran kegelisahan sang ratu yang dibuat oleh film ini menyadari bahwa dirinya baru saja mencampakkan satu-satunya orang yang beneran peduli kepada dirinya, yang menganggap dirinya manusia alih-alih tukang ngasih makan.

apa bedanya Abigail sama kelinci-kelinci itu?

 

Menjadi yang teratas tidak serta merta membuat kita bahagia. Malahan ratu dalam cerita ini justru adalah yang paling nelangsa di antara semua. Di balik nada komedi yang membuat kita tertarik mengikuti ceritanya, film ini menunjukkan bahayanya dinamika kuasa yang bisa terjadi antara si kaya/si kuat dengan si miskin/si lemah dalam sistem kekuasaan tertutup seperti begini. Sebab yang atas akan melampiaskan ke yang bawah, dan begitu seterusnya melingkupi semua lapisan.

 

 

Berusaha menyentil masalah kontemporer lewat gambaran sejarah yang dengan nekatnya melanggar banyak aturan sebuah film period piece. Film ini menilik dinamika antara kelas, cinta, dan politik – membalutnya dalam busana komedi, sehingga menjadi tontonan yang enggak malu-maluin dan enggak malu menunjukkan apa yang bisa terjadi – dan mungkin sedang terjadi di sekitar kita. Semua penampilan di sini luar biasa, kita sudah melihat pencapaian film ini pada musim award yang lalu. Film ini memberanikan kita untuk mempertimbangkan pilihan, untuk tidak memilih yang termudah, dan mengingatkan kadang memang selalu ada udang di balik batu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold star for THE FAVOURITE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian menjadi raja/ratu itu asik? Apakah cinta itu ada batasnya? Pernahkah kalian merasa lebih aman dan sejahtera bagi diri kalian untuk berbohong ketimbang mengatakan yang sebenarnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.