“Our history is not our destiny”
Bahkan sutradaranya sendiri gak nyangka filmnya yang tentang karakter terpaksa harus menghabiskan libur natal di sekolah asrama ini ternyata begitu menyentuh bagi banyak orang. Alexander Payne, dalam wawancara media, menyebutkan bahwa dia sampai agak dongkol juga ketika banyak yang menyebut film ini ‘menghangatkan’. Lucu sih, kayaknya baru kali ini ada sutradara yang ‘protes’ filmnya dibilang bagus. Tapi aku yakin itu bukannya dia gak suka sama sambutan penonton, bukan karena Payne gak berniat bikin film bagus, But, terakhir kali Payne bikin film itu adalah tahun 2017, dan antara tahun itu hingga sekarang, dia mungkin gak sadar betapa relatenya penonton sekarang dengan keadaan ‘terkurung di suatu tempat’. The Holdovers buatannya actually delivered salah satu perasaan tergenuine, termanis, ‘terhangat’ yang bisa hadir dari situasi tersebut. Karena film ini memang bukan drama komedi tentang guru dan anak murid bandel yang biasa. Karater-karakternya yang masing-masing punya ‘sejarah’ ditulis dengan demikian bernyawa.
Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Paul Giamatti jadi Paul Hunham, guru sejarah galak yang bukan saja killer di dalam kelas kepada murid-muridnya, dia juga nyebelin di luar kelas, bahkan kepada kolega-koleganya. Pokoknya orangnya unpleasant-lah, baik itu ketika diajak ngobrol ataupun sekadar dipandang. Kelainan pada matanya bikin lawan bicara canggung harus melihat ke mana. Bahkan naskah menambahkan satu lagi, muridnya gak suka deket-deket karena si bapak ini punya kelainan bau badan! Menjelang natal di sekolah asrama Katolik khusus cowok itu, Paul disuruh tinggal di sekolah – sebagai bentuk hukuman. Paul disuruh jadi pengawas bagi murid-murid yang juga gak pulang ke rumah, karena berbagai alasan orangtua masing-masing tidak atau belum bisa menjemput mereka ke sekolah. Murid-murid Pak Paul juga gak kalah ‘parodi’nya. Mereka anak-anak orang kaya, yang dengan cepat dijudge oleh Paul sebagai anak-anak manja tapi sok begajulan (dengan nilai akademik pas-pasan, kalo ini fakta!) Dan memang mereka semenyebalkan itu. One of them adalah Angus Tully (diperankan oleh newcomer Dominic Sessa) Actually, Tully-lah yang jadi satu-satunya anak yang beneran tinggal di sekolah sampai liburan usai. Satu-satunya anak yang harus mendekam bersama Paul yang sudah bulat tekad untuk menjadikan liburan itu sebagai gak ubahnya sebuah jadwal semester pendek.
Kalian tahu-lah yang terjadi sesudahnya. Paul dan Tully yang bisa dibilang saling antipati, perlahan jadi semakin dekat. Proses mereka menjadi udah kayak ayah kepada anak yang tak pernah ia punya dan sebaliknya itulah yang wonderful sekali dilakukan oleh film ini. Karakter-karakter itu tidak lagi seperti karikatur atau parodi stereotipe begitu film perlahan membuka sisi humanis mereka. Selapis demi selapis. Karena ini cowok yang sedang dibicarakan. Cowok gak main duduk dan saling curhat bicarakan masalah emosional mereka. Cowok mengubur sisi vulnerable mereka ke balik tembok yang menurut mereka paling keras. Dari situlah datangnya sikap tak menyenangkan mereka. Sementara sisi vulnerable yang tersimpan tersebut didesain oleh film ke dalam tema yang mengait kepada identitas cerita dan karakternya. Yaitu sejarah. Paul yang guru sejarah, tentu paham bahwa apa yang terjadi di masa sekarang sebenarnya sudah pernah terjadi di masa lampau. Bahwa masa sekarang hanyalah cerminan dari masa lalu. Paham teori sejarah bukan lantas ngerti mengarungi kehidupan. Justru itu yang dibuat oleh film sebagai false-believe Paul. Karena dia percaya dia sekarang harus bertindak sesuai dengan yang dilakukan di masa sekolah dulu. Bahwa dia terperangkap di keadaannya yang sekarang karena tuduhan yang ia terima di masa lalu. Juga, pemahamannya tentang bagaimana sejarah bekerja membuat dia salah menilai para murid seperti Tully. Enggak semua anak orang kaya jadi menyebalkan di asrama karena mereka dimanjakan oleh kenyamanan di rumah. Justru sebaliknya. Tully punya masalah yang sangat gak enak untuk dialamin oleh seorang anak, kaya atau miskin. Enggak diinginkan di rumah! Berkenaan dengan sejarah/masa lalu, Tully juga dibuat oleh naskah punya false believe dia percaya dia akan tumbuh menjadi ‘rusak’ seperti ayah kandungnya.
Dalam perkembangannya, kedua karakter akan jadi saling belajar. Sebagaimana Tully belajar bahwa pelajaran sejarah sebenarnya tidak semembosankan yang diajarkan di kelas, dia juga jadi sadar bahwa dengan mengetahui cerita siapa gurunya di masa lalu, dia melihat sang guru jadi sosok yang bukan saja menarik untuk dikenal lebih dalam, melainkan juga relate dan ya, akrab. Paul bahkan belajar dari Tully bagaimana menjadi guru yang lebih baik, di dalam maupun luar kelas. Bagaimana menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mau ‘membaca’ cerita masa lalu mereka tanpa judgment. Stake mereka gak muluk-muluk. Tapi seru, karena kontras. Meskipun mereka sebel harus habisin liburan di sekolah yang dingin dan televisinya cuma satu dan basically penjara, mereka pengen bertahan di sekolah itu. Paul merasa hanya sekolah itu yang mau mempekerjakan orang sepertinya. Tully gak mau dikirim ke sekolah militer. Jadi mereka harus menjaga sikap, sementara kebutuhan mereka untuk dealing with ‘sejarah’ masing-masing bakal membuat mereka mempertaruhkan itu semua.
Ada cerita di balik setiap orang. Her story, his-tory. Apapun itu. Semua orang punya kisah yang menjadi alasan kenapa mereka menjadi seperti diri mereka yang sekarang. Kita tidak untuk menjudge mereka berdasarkan kisah masa lalu tersebut. Karena sejarah itu bukanlah takdir. Tully bukan lantas jadi bapaknya. Paul bukan lantas harus terus bersikap berdasarkan kesalahannya di masa lalu. Kita punya pilihan untuk tidak mengulangi sejarah. Kita punya pilihan untuk meneruskan kisah hidup kita sendiri.
Kekuatan arahan dan tentu saja akting dari kedua karakter sentral ini membuat perjalanan karakter mereka tersampaikan dengan sangat mengalir. Kita melihat mereka sebagai human being, alih-alih sebagai parodi ataupun karakter yang berkembang dengan formulaic. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. I think this is the best dari Paul Giamatti sejauh film-filmnya yang sudah kutonton dan kuamati. Selalu bukan hal gampang bikin protagonis orang yang tak disukai, serta tak muda, Giamatti berhasil memberikan hati kepada karakternya. Ketika dia berjuang membuka diri untuk sebuah potensi hubungan romantis, kita peduli, aku bahkan ikut was-was gimana nanti dia mengakali masalah bau badannya supaya semua lancar. Dominic Sessa, dalam film panjang debutnya ini, sanggup toe-to-toe dengan aktor sekelas Giamatti. Penampilannya di sini bakal certainly put him on the Hollywood map!
Soal sejarah adalah cerminan ini juga terpampang nyata pada desain film. Salah satu yang paling sering jadi keluhanku buat film-film modern yang berniat memotret masa lampau entah itu 80an atau 90an adalah, feeling pada masa itu sering meleset. Film-filmnya sering belum berhasil mengemulate vibe periode yang ingin ditampilkan. Istilah singkatnya, film-filmnya masih terasa modern, tidak terasa seperti film yang dibuat pada tahun tersebut. Layarnya masih jernih. Suasananya masih kekinian. Cara karakternya bersosialisasi masih kayak orang yang berusaha tampil oldies. The Holdovers berhasil tersulap seperti beneran film yang dibuat tahun 70-80an. Cara karakternya membawa diri. Suara mereka. Musiknya. Suasana asrama dan kotanya. Bangunan-bangunannya. Semuanya terasa benar punya vibe klasik. Bahkan layarnya tampak grainy, dengan saturasi yang tepat, plus musim salju. Secara ‘luar’ film ini tampak dingin, distant. Tapi begitu kita memasuki ceritanya, karakternya, ada suatu kehangatan. Harus ada yang ngasih tahu Payne bahwa misi dia ngehasilin vibe dingin itu sebenarnya toh memang berhasil, tapi kehangatan dari journey karakternya bikin penonton ikut meleleh.
‘Kasih sayang’ memang berhasil digambarkan oleh film, terhampar lewat perasaan. Merayap tanpa sadar pada karakter-karakternya. As in, mereka tanpa sadar telah menjadi keluarga. Film ini actually punya hal yang membedakannya dari film-film sejenis. Like, kalo tentang guru dan murid saja, apa bedanya dia sama Dead Poets Society (1989), kan? Film ini punya ‘pihak ketiga’ yang bukan saja berfungsi sebagai penengah, tapi juga sebagai ‘mother figure’ yang menjembatani dua karakter sentral dengan cinta dan kasih sayang yang keduanya sama-sama kekurangan dalam hidup (Paul belum pernah menikah, Tully terabaikan oleh ibunya). Pihak ketiga itu adalah karakter Mary yang diperankan juga tak kalah luar biasanya oleh aktris kulit hitam Da’Vine Joy Randolph. Tukang masak di asrama. Ibu-ibu yang baru saja kehilangan putra, keluarga satu-satunya, di medan perang. See, lapisan dunia cerita semakin bertambah dengan kehadiran karakter ini. Kaki ketiga yang jadi fondasi kokoh dalam bangunan penceritaan film. Karena bahasan personal film jadi merambah ke tragedi masa lalu kolektif rakyat. Tragedi perang yang mengorbankan anak-anak muda. Film ini juga berusaha men-tackle persoalan ‘sejarah’ itu lewat karakter Mary. Karakter yang benar-benar telah kehilangan cinta yang pernah singgah kepadanya, tapi tidak sekalipun dibikin sebagai karakter putus asa.
Ini benar-benar di luar dugaan remehku. This is no raunchy coming of age comedy tentang anak muda dan guru galak kayak, The Inbetweeners, misalnya. This is not even a quirky inspirational drama kayak Dead Poets Society. Karya terbaru Payne ini somewhat seperti di tengah-tengahnya. Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE HOLDOVERS
That’s all we have for now.
Cerita keluarga di sekolah asrama Katolik, di liburan natal. Basically film ini adalah film ‘religi’. Hanya saja pembahasannya tidak lewat ayat-ayat melainkan melalui sudut kemanusiaan. Kenapa film kita belum banyak yang seperti ini, like kita belum nemu film berlatar pesantren yang ‘ajaran agamanya’ ada di dalam permasalahan manusiawi aja, tanpa perlu ceramah ayat-ayat dan sebagainya?
Share pendapat kalian di comments yaa
Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL