DEADPOOL Review – [2016 RePOST]

 

“If you can’t love crudeness, how can you truly love mankind?”

 

 

 

 

Bagi kalian yang tumbuh dengan membaca komik, just like myself, salah satu hal yang paling menggelinjang di dunia pastinya adalah menyaksikan tokoh pahlawan kesukaan masa kecil kita beraksi melawan tokoh-tokoh jahat yang juga kita favoritkan sewaktu masih kanak-kanak. Rasanya exciting banget, terlebih karena film superhero komik identik dengan aksi seru, cool stuff, dan siapa sih yang enggak jejingkrakan melihat kekuatan baik dan jahat itu saling beradu? Tapi bahkan buat penggemar berat superhero komik, film-film adaptasi media hiburan geek tersebut sudah menjadi sedikit terlalu banyak. Hampir tiap bulan nongol pahlawan super baru yang bisa ditonton. Beberapa dari mereka memang bagus, dan kemudian kita ditonjok oleh Fantastic Four. Dan meski tampil variatif – belakangan lagi ngehits film komik dibuat dengan origin yang beraura dark-dark gitu (pelototin Fantastic Four lagi!) – setiap cerita superhero basically selalu sama. Kita jadi sudah terbiasa dengan mereka sampai-sampai kita sudah tahu apa yang harus diharapkan dari genre film ini. Di antara penggemar komik atau bukan, sekarang sungguh gampang untuk menyukai setiap film superhero komik karena aksi-aksi keren nya.

Namun bukan sepak terjang, aksi dahsyat, ataupun efek sempurna yang membuat aku terpana menonton Deadpool. Tentu, film ini punya adegan-adegan seru yang super-fun. Deadpool kan dikenal dengan julukan Spider-man Ninja, jadi kita bisa ngarepin bakal terpuaskan oleh aksi-aksi cepet yang keren abis. Bukan itu yang paling menarik dari film ini. PENULISANNYA LAH YANG MEMBUAT FILM DEADPOOL BERADA SETINGKAT DI ATAS REKAN-REKAN FILM KOMIK YANG LAIN. Deadpool setia pada komiknya, itu nilai plus yang pertama kali kita kasih buat film ini. Berpedoman dari situlah, penulis dan sutradaranya mengembangkan naskah yang menuntun film menjadi salah satu film superhero dari komik paling keren dan kocak yang pernah dilihat oleh dua mataku.

 

Film Deadpool adalah si Deadpool itu sendiri.

Dia kurang ajar, kasar, suka ngatain orang, selera humornya seringkali keterlaluan, seksual innuendo nya kentara sekali, enggak baik buat anak-anak deh pokoknya. Deadpool bisa dibilang anti-hero dalam dunia Marvel, kita tahu dia aneh, mentalnya seperti agak terganggu, protagonis yang ngelakuin hal-hal tercela, tapi kita cinta. Thus, membuat filmnya menjadi kurang ajar juga. Berbeda dengan film dari komik lainnya yang penuh rasa kebajikan. Mungkin banyak yang belum kenal betul siapa si Deadpool, aku sendiri belum pernah megang komik aslinya. Tapi tentunya kita sudah tahu cukup banyak tentang tokoh yang satu ini. Karena Deadpool termasuk yang terpopuler di budaya-pop masa kini.

Dalam film ini kita akan melihat proses perubahan Wade Wilson menjadi sosok Deadpool, yang dijelaskan dengan – yup, you guessed it! – flashback. Kita akan dibuat mengerti terhadap apa yang ia alami. Kenapa Wade begitu menolak disebut sebagai pahlawan. Dua anggota X-Men aja sampai berkali-kali ngajakin Wade bergabung. Wade tahu dia spesial namun he spits on idea of being a superhero.

liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

Liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

 

At the heart, dan percayalah sekasar dan sekurangajarnya Deadpool, film ini masih punya hati kok, MEMBAHAS TENTANG BALAS DENDAM, JUGA CINTA. Wade Wilson berbuat kasar karena dia gamau orang lain suka padanya karena dia tahu persis rasanya kehilangan yang dicinta. Makanya dia nyaman temenan sama orang cuek atau orang buta. Motivasi Wade adalah dendam kepada Ajax, keseluruhan film adalah tentang Deadpool yang mencari keberadaan si objek dendam kesumatnya tersebut. Si tokoh jahat sendiri memerankan perannya sebagai baik, yaah seharusnya Ed Skrein bisa lebih sedikit meyakinkan sebagai penjahat utama, but he did just enough. Negasonic Teenage Warhead dan Colossus turut memberikan nuansa familiar dan memperheboh aksi. Kisah pun dibumbui oleh pertemuan Wilson dengan Vanessa (cakep banget, doncha wish your girlfriend was cool like Morena Baccarin?) yang akan mengubah hidup Wade. Ooo tapi jangan kira mentang-mentang keluar bulan Februari, romansa dalam Deadpool hanya sebatas plot device semacam ‘damsel-in-distress’. Vanessa memang ada sebagai ‘kelemahan’ dari si Deadpool. Serunya, kisah cinta Wade dan Vanessa juga diberlakukan sama dengan semua hal di dalam film ini, tak luput dari kekasaran dan sarkasme. Deadpool buruk rupa memperlihatkan dunia kita yang juga buruk rupa, dan yang kita bisa adalah melakukan yang terbaik dari apa yang kita punya. Jauh di dalam Wade Wilson meyakini semua itu.

Kurang ajar adalah seni dalam film ini.

 

 

Quick question: jika jadi pahlawan super, satu kekuatan yang ingin kalian miliki adalah: Menyembuhkan diri dengan cepat; Master beladiri; Immortality; atau Skill assassin yang tak-tertandingi ?

Deadpool enggak perlu repot-repot memilih. Dia menguasai semuanya. Malahan ada satu lagi ability nya yang tidak dimiliki oleh superhero lain. Di dalam cerita komik, salah satu kekuatan spesial Deadpool adalah keSELF-AWARENESSan nya yang unik; ia sadar kalo dia berada dalam dunia komik. Dalam film, kemampuan tersebut juga dipertahankan. Dan inilah yang membuatnya paling menarik. Deadpool tahu dia berada di mana. Dunianya adalah dunia film yang sedang kita tonton. Dia sungguh-sungguh sadar akan kondisi itu, dia mengerti persis seperti gimana kondisi dunia film komiknya di mata dunia kita. Dan dia enggak sungkan-sungkan untuk nunjukin hal tersebut. Secara konstan Deadpool akan break the fourth wall. Aku enggak tahu istilah indonesianya apa, tapi breaking fourth wall itu sejenis melanggar aturan film dengan si tokoh ngomong langsung kepada penonton, menghadap lurus ke kamera. Deadpool sekonyong-konyong menyeletuk kepada kita, menyuarakan dengan tepat apa yang kita pikirkan selama ini tapi enggak pernah kita ungkapkan. Adegan sehabis kredit penutup nya adalah adegan ekstra yang paling kocak dan straight-to-the-point. Buat yang udah keburu kebelet, tahan bentar lagiiiiii aja, it’ll worth it.

‘Kesadaran’ yang sama juga diperlihatkan filmnya terhadap peran sang aktor, Ryan Reynolds. Kita sama-sama pernah menyaksikan Deadpool sebagai penjahat dalam film X-Men Origins: Wolverine (2009). Dalam film terbarunya ini, Ryan Reynolds juga kembali memerankan Wade Wilson, sosok di balik topeng Deadpool. Film ini menyinggung gimana jelek dan enggak pentingnya Reynolds di Wolverine, ataupun di film-film gagalnya yang lain. Kali ini, Reynolds, dan juga penulisan tokohnya, sangat menghormati karakter yang sedang mereka persembahkan. Kemampuan Reynolds memainkan karakter ‘gila’ semakin terasah setelah tahun lalu pun dia memukau sebagai pembunuh schizophrenia dalam film The Voices (2015). Lucunya kebangetan sebagai Deadpool yang banyak omong!

Namun film Deadpool tidak pernah menyuguhkan diri sebagai eksposisi. Malahan film ini tidak akan membosankan karena memang tidak ada momen-momen yang bikin kita menguap. Sedari pembukaan kita sudah dikasih liat kebolehan Deadpool. Fast-paced actions yang ditangkap dengan sangat jelas oleh camera work yang sama dinamisnya. Kameranya tidak diarahkan untuk goyang-goyang gak jelas. Cut antaradegan nya tidak terlalu over. Pengarahan yang luar biasa dari sutradara. Pun film ini mampu memanfaatkan CGI, yang terlihat minimal dari segi budget, semaksimal mungkin. Lihat saja karakter Colossus, tampak meyakinkan sebagai makhluk hidup yang beneran ada. Pemakaian CGI yang banyak memang tidak terelakkan untuk film semacam ini, untungnya Deadpool sukses memanfaatkannya sebagai alat penunjang yang fresh.

*slow-clap*

*slow-clap*

 

Kekurangajaran film ini mungkin terasa cukup mengganggu, terlebih jika tidak terbiasa dengan humor-humor jorok. Ada nudity juga, meski di bioskop sini kena potong. Film Deadpool mendorong batasan Rating R sampe poll-pollan. Di Indonesia filmnya jadi Dewasa 17+. While it is good and I give nod to sistem rating di Indonesia yang lebih menenangkan, in a way lebih menghormati penonton, tapi dalam kenyataannya justru terasa paling munafik. Rating bertujuan untuk membatasi jumlah penonton sesuai umurnya, and yet prakteknya mereka menambah studio tayang dan membiarkan anak-anak berseragam sekolah menonton film kategori dewasa. Soal sensor adegan film ini,  sebenarnya tidak banyak berdampak, kita selalu bisa mengandalkan imajinasi. Yang lebih mengganggu buatku adalah subtitle Indonesia yang seringkali tidak bisa menerjemahkan lelucon dengan tepat. Akan lebih baik jika mereka menyediakan teks dalam dua bahasa.

Apakah film ini ditujukan buat remaja? Iya. Apakah film-film remaja leluconnya harus vulgar selalu? Tidak. Akan tetapi Deadpool adalah film komik superhero, yang tiap-tiap mereka punya karakter tersendiri. Enggak lucu kalo film ini sesuram Dark Knight. Enggak kocak kalo film ini sepatriotis The Winter Soldier. Sudah dari sono nya sifat si Deadpool begitu dan film ini dengan tepat menggambarkan buku komik itu ke layar. This movie is everything what it should have been. Film ini menolak untuk berlambat-lambat dengan drama, film ini relentless dalam bersuara, film ini enggak pake sensor apapun. Film Deadpool lebih mirip dengan Kick-Ass (2010), malah; luarnya sadis, tapi sebenarnya lebih grounded ke reality.

Dunia yang kita tinggali adalah semesta yang kejam. Dan Wade Wilson sadar akan hal itu. Jalur kebenaran bagi Wilson tidak mesti berbalut santun. Dia memang bukan yang paling baik. Wilson cuma seseorang yang cakap dalam pekerjaannya – yang kebetulan adalah membunuh orang. Film ini mengangkat hal tersebut dengan sudut pandang yang lebih nyeleneh lagi. 

 

 




Dipresentasikan dalam bentuk aksi cepat, extremely funny, pemilihan musik yang asik dan menggebu. Lagu Mr.Sandman sukses bikin aku ngakak, I was so not expecting that! Yea, film ini mungkin bukan pencapaian yang benar-benar baru, mungkin gak bakalan menang award. mungkin bukan masterpiece, tapi filmmakers berhasil membuat suatu tontonan yang luar biasa menghibur. Such a killer filmThe Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL.

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in ife there are winners
and there are losers.

 

 

 

We be the judge.



ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA Review

 

“It’s a small world after all”

 

 

Phase kelima dari Marvel Cinematic Universe dibuka oleh petualangan Ant-Man yang feels a lot like a Sunday-morning cartoon adventure episode. Petualangan keluarga di dunia yang… sedikit lebih grounded ketimbang multiverse, tapi toh tetap fantastis juga. Dunia yang diperkenalkan sutradara Peyton Reed di sini adalah dunia kuantum, dunia-kecil di dalam semesta. Yang konsepnya memang enggak asing dalam cerita kartun. Like, di kartun Rick & Morty kita ngelihat Rick dengan sengaja menciptakan civilization di dalam baterai mobilnya (supaya dapat energi gratis). Atau lebih mundur lagi, kita telah melihat gimana dalam salah satu episode The Simpsons, Lisa gak sengaja membuat gigi dalam larutan soda untuk science project sekolah jadi punya kehidupan manusia-mini dengan peradaban lebih maju di dalamnya. So yea, Quantumania punya resep untuk jadi wacky dan fun. Tapi tentu saja, being a Marvel movie, film ini punya keperluan untuk ngeset something yang bahkan lebih besar. Memperkenalkan Kang the Conqueror, orang yang menaklukkan begitu banyak universe, sebagai main villain Avengers nantinya. Sehingga film ini jadi starter yang cukup solid buat ke depan, namun bukan jadi cerita keluarga yang benar-benar mulus untuk dinikmati.

Padahal at heart, Quantumania bercerita tentang Scott Lang yang berusaha kembali ‘normal’ sebagai seorang ayah. Setelah semua aksi dan pertempurannya bareng Avengers, Scott Lang siap to put those all in the past, cukup dengan mencatat semua petualangannya di dalam sebuah buku. Kayak kita yang baru beres ‘survive’ dari era pandemi, Scott juga pengennya percaya semua sudah sudah kembali ke kehidupan normal. Dia lupa bahwa waktu terus berjalan. Putrinya kini sudah beranjak dewasa. Cassie (direcast jadi Kathryn Newton) tanpa sepengetahuan Scott jadi semacam aktivis, melakukan kegiatan ‘kepahlawanan’ behind his back. Bahkan momen pertama kita bertemu the-new Cassie, adalah ketika Scott disuruh menjemputnya di penjara. Di mata Scott, Cassie masih anak kecil – his little peanut – tapi toh aslinya Cassie dengan bantuan Hank berhasil membangun peternakan semut-pintar, dan mengirim sinyal ke dunia kuantum. Cassie juga bakal melakukan aksi yang gak diduga Scott, saat nanti mereka semua ‘terdampar’ di dunia kuantum dan berurusan dengan Kang. Memang, relasi antara Scott dan Cassie diikat pada konflik utama dengan Kang, oleh tema ‘jangan remehkan orang kecil’.  Karena di dunia kecil itu, Kang yang membangun dinasty, mendapat perlawanan dari rakyat yang ia taklukkan.

Oh wow, sekarang aku bisa officially bilang “twitku pernah direply ama superhero Marvel”

 

It’s a small wold, after all. Tapi bukan in sense of, dunia sempit jadi sering ketemu. Dunia kecil pada film ini merujuk pada dunia sesungguhnya penuh dengan rakyat-rakyat kecil, hal-hal kecil, yang seringkali dioverlook. Disepelekan. Kayak semut-semut, aja. Di film ini semut-semut itu memang diberikan teknologi super, tapi kita juga sering lupa bahwa semua di dunia nyata memang membangun dunia mereka sendiri dengan sistem koloni dan sebagainya. Di semesta yang tiada batas ini, kita sebenarnya juga sama kayak semut-semut itu. 

Kalo diliat-liat, Quantumania ini mirip-mirip ama Black Panther: Wakanda Forever (2022). Protagonis protege, dunia baru yang khusus (yang bukan multiverse), contained story/episode, dan tokoh jahat yang punya bala tentara. Tapi penulisan Quantumania terasa lebih koheren dibanding Wakanda Forever yang berpindah terlalu banyak dari Shuri (dan seperti kesulitan sendiri ngepush karakter ini sebagai protagonis utama) Quantumania juga punya banyak karakter, tapi perspektifnya terjaga. Narasi voice-over yang melingkar di awal dan akhir juga sukses ngasih kesan ceritanya yang menutup pada Scott Lang. Sekilas karakter ini jadi agak kurang lucu, tapi aku melihat bahwa itu karena di cerita ini karakter yang diperankan Paul Rudd ini sudah setingkat lebih dewasa. Aku juga suka gimana film ini tidak buru-buru menjadikan Cassie sebagai superhero. Dia gak langsung jago walaupun punya kostum Ant-Man. Kita melihat proses dia belajar menjadi superhero, kita melihat hal yang belum cakap ia lakukan, dan hal yang jadi strenght dirinya – yang in turn, tidak dimiliki oleh Scott. Cara film ini ngebuild up Kang sebagai calon penjahat utama Avengers ke depan juga sesistematis itu. Memperkenalkan dia awalnya sebagai pria yang tampak butuh bantuan, dan direveal sebagai siapa dia sebenarnya. Kita melihat itu bukan saja dari cerita Janet tapi juga dari gimana masyarakat di dunia kuantum berdesas-desus terhadap namanya. Kita melihat pengaruh kekuasannya dari gimana kehidupan orang kecil di dunia kuantum.

Sebagai karakter, Kang benar-benar menacing. Jonathan Majors berhasil deliver aura dan kharisma yang bikin kita percaya karakternya ini memang sepowerful dan semengerikan itu, di balik kesan awal yang tampak kayak orang baik. Dengerin aja ceramahnya soal waktu, ketika sedang mengintimidasi Scott. Relasi hero dan villain antara Scott dan Kang memang tak se’naik turun’ relasi antara Shuri dan Namor, tapi simplicity itu akhirnya work out lebih nicely. Apalagi bagi Scott di sini stake-nya adalah keselamatan putrinya, ancaman di balik negosiasi mereka jadi kontan terasa nyata. Satu lagi karakter yang mencuri perhatian di sini adalah M.O.D.O.K. Yang actually merupakan seseorang dari masa lalu Scott dan Cassie (alias dari film Ant-Man pertama) Sehingga dia dengan wujud uniknya sekarang ini bakal punya banyak interaksi menarik dengan karakter-karakter protagonis.

Ya, sebenarnya karakter-karakter superhero dan villain yang muncul di film ini menarik. Begitu juga dengan karakter di dunia kuantum dan dunia kuantum itu sendiri. Vibenya Star Wars banget. Mereka kayak alien-alien dengan desain yang unik dan konyol, dan kita menyaksikan mereka terlibat perang galaksi dengan emperor penguasa. Tapi tone alias nada film ini tidak pernah terasa benar-benar tepat dalam memuat mereka. Semuanya terasa terlalu dull, bland, terlalu beban, dan serius amat. Penonton yang ngarepin quirky khas yang biasa nongol di film Ant-Man sebelumnya akan merasa kehilangan. Dan kehilangan tersebut bakal terasa jadi missed opportunity ketika kita bisa melihat potensi fun yang semestinya dipunya oleh cerita. Dunia kuantum yang unik itu tidak tampak mengundang untuk dijelajahi. Tidak ada sense of wonder melihatnya. Dunia itu cuma… tempat. Semua ‘mekanik’ cerita di dalamnya juga tidak dibangun dengan terperinci. Singkatnya, alih-alih membuat dunia unik yang imersif, film ini kayak gak mau luangin waktu dan hanya bikin dunia itu ya, unik yang random aja.

Aku masih gak ngerti gimana minuman goo penerjemah itu bisa bekerja dua arah; membuat Scott dkk juga bisa dimengerti oleh orang kuantum.

 

Penggemar Hope (dan otomatis Evangeline Lilly) bakal dapat kecewa ekstra, karena gak begitu banyak yang dilakukan oleh The Wasp di sini. Basically dia cuma ada di sana sebagai anak Janet. Ibunya, lebih banyak dapat sorotan karena Janet, as we know it, pernah tinggal di dunia kuantum dan dia statusnya semacam figur terkenal di dunia itu. Karakter yang diperanin Michelle Pfeiffer itu memegang kunci soal siapa sebenarnya sosok Conqueror yang ditakuti para ‘kuantumers’ sehingga di sini Janet dapat porsi lebih besar. Namun sayangnya hanya sebagai ‘juru bicara’. Ya, film ini terbebani sekali oleh penjelasan-penjelasan. Memang penjelasan soal Kang jadi build up yang membuat karakter tersebut jadi semakin mencekam, hanya saja film ini tidak cuma memuat tentang Kang. Melainkan juga banyak penjelasan lain. Tentang teori dunia kuantum. Tentang senjata yang digunakan Kang. Tentang apa yang dilakukan Janet dulu saat di sana. Tentang pengaruh kejadian di sini dengan multiverse ke depan. Banyak sekali, dan film enggak bisa menemukan cara penyampaian yang enak. Karakter-karakter yang menarik itu hanya lebih banyak diam mendengarkan penjelasan, basically kayak kita yang cuma bisa manggut-manggut karena paruh awal itu beneran bergerak dari eksposisi ke pengungkapan ke eksposisi lagi. Interaksi antarkarakter itu jarang. Makanya M.O.D.O.K. bisa mencuri perhatian. Banyakan celetukan dia kok ketimbang Hope bahas masalah mereka secara personal dengan ibunya. Paruh pertama itu boring, paling sesekali kita ‘melek’ karena ada cameo ataupun sejumput aksi-aksi.

Bicara soal aksi, film ini punya sekuen final battle yang cukup epic – serangan berontak kuantumers jelata kepada pasukan Kang, also Scott jadi kayak Titan menjebol tembok pertahanan Kang – tapi karena warna yang bland (film ini bisa dibilang full CGI sehingga mereka gak mau main banyak di visual demi cost) aksi itu juga jadi gak maksimal serunya. Tidak terasa imersif. Arahan actionnya juga jadi kayak terbatas. Bakal ada adegan saat tiga superhero kita dibantu oleh bala bantuan buzze–eh salah, bala bantuan semut, dan itu adegannya ‘lurus’ aja. Mereka cuma berdiri di tengah jalur semut dan everything’s just sort of happen. Editing saat berantem juga aneh. Choppy. Kayak kalo di bioskop kita nonton film yang ada sensornya. Karakter yang abis dilempar, di frame berikut sudah ngumpul bareng karakter lain. Hal ini tentu saja mengganggu keseruan aksi, yang jelas-jelas bagian penting dari sebuah film superhero.

 

 




Buat yang nonton sekadar ingin tahu apa yang terjadi di phase kelima, siapa Kang yang bakal jadi musuh-akhir Avengers nanti, film ketiga dari Ant-Man ini kayaknya gak bakalan bermasalah. Karena kayaknya memang untuk itulah film ini dibuat. Cerita keluarga Scott Lang, petualangan mereka di dunia kuantum yang ternyata seluas itu, hanya jadi bumbu pemanis. Supaya info tadi itu ada karakternya haha.. Mungkin itu cara paling negatif untuk menggambarkan film ini. Petualangan keluarga yang terbebani oleh ambisi membangun bigger story untuk film-film berikutnya. Padahal materi cerita kali ini ya cocoknya dijadikan over-the-top kayak kartun. Dengan dunia dan karakter sewacky itu. Tapi karena justru digarap dengan banyak eksposisilah nonton film ini jadi tidak pernah total menyenangkan. Dan menurutku ini mengecewakan karena film ini sesungguhnya punya penulisan dan karakter yang koheren. Tapi ya jadi terkerdilkan oleh ‘machination storytelling’ tersebut, 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian film ini jadi pembuka phase lima yang kuat? Apa yang paling ingin kalian lihat di phase lima ke depannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BLACK ADAM Review

 

“Sometimes it’s better to let people handle their own problems”

 

 

The Rock dijuluki sebagai The People’s Champion. Di sisi lain, The Rock menyuguhkan penampilan terbaik saat berperan sebagai heel/antagonis. Bahkan, sebagai babyface/protagonis pun, The Rock adalah seorang heel yang dahsyat untuk para antagonis. Kenapa aku malah mengungkit peran Dwayne Johnson di jaman dia masih bergulat di atas ring?  Karena dalam Black Adam garapan Jaume Collet-Serra, Dwayne seperti dikembalikan ke akar WWEnya tersebut. Karakter Black Adam originally adalah seorang penjahat, dan dia juga adalah Champion di antara bangsanya. Makanya, karakter ini dan Dwayne Johnson tampak begitu klik. Aku pergi menonton film superhero DC ini dengan sedikit harapan melihat Dwayne kembali ke persona lamanya, seenggaknya barang sedikit. You know, sudah mulai jenuh gak sih melihat Dwayne dapat peran template cowok jagoan berbadan kekar yang gitu-gitu melulu, yang rumornya bahkan dikontrak untuk tidak boleh tampak lemah apalagi kalah. Black Adam, memang memberikan aktor ini sesuatu yang bisa dibilang keluar dari kebiasaan yang belakangan. Hanya saja film ini kelupaan mengembalikan satu hal yang juga merupakan trait The Rock. Kharisma.  Di film ini, Dwayne sebagai Black Adam is all about action, tapi diberikan karakterisasi yang minim perkembangan, selain cuma “ternyata dia begini”

Jadi Black Adam aslinya bernama Teth-Adam. Juara Shazam pilihan para Wizard lima ribu tahun yang lalu. Dia ditunjuk setelah berani mengobarkan semangat revolusi pada bangsanya, bangsa Kahndaq, yang diperbudaq. Fast forward ke masa sekarang, bangsa negara fiktif itu ternyata masih belum merdeka. Tanah mereka kini dijajah oleh sindikat kriminal yang disebut Intergang yang mencari mahkota Sabbac, relik berkekuatan super yang disembunyikan oleh Teth-Adam di masa lalu. Makanya, supaya bangsanya selamat, Adrianna dan kelompok kecilnya berusaha menemukan mahkota itu terlebih dahulu. In the process, Adrianna membebaskan Teth-Adam. Bangsa Kahndaq modern yang mengenal Sang Juara lewat legenda, langsung mengelu-elukan makhluk super itu sebagai pahlawan yang bakal membebaskan mereka semua. Teth-Adam memang pelindung bangsa, hanya saja dia menegakkan keadilan dengan caranya sendiri. Cara yang membuat pasukan Justice Society pimpinan Hawkman harus datang dari jauh untuk campur tangan mengamankan Teth-Adam yang justru dianggap sebagai monster perusuh.

Si Adidaya yang selalu ikut campur urusan tetangga

 

Kepada genre superhero, film ini sebenarnya menawarkan cerita yang tak biasa. Mengangkat penggalian baru dengan sedikit mengubah Black Adam yang aslinya total villain menjadi lebih seperti anti-hero. Hero, tapi aksinya bikin gerah superhero yang lain.  Jadi si Adam ini punya sense of justice sendiri. Dia percaya yang namanya penjahat, penjajah, ya mestinya dibunuh. Kinda like ketika masyarakat udah geram ama hukum yang bertele-tele, terus lebih milih penghukuman ‘netijen’. Teth-Adam sendiri sebenarnya gak pernah mengakui dirinya pahlawan. Dia hanya mau bangsanya gak tunduk dan pasrah lagi. Dia maunya revolusi.  Seteru paling seru di film ini justru datang dari konflik antara Adam dengan Hawkman, pemimpin geng Justice Society yang datang untuk menangkap dirinya jika tidak mau bekerja sama. Jika Teth-Adam masih terus membunuh. Basically Hawkman di sini bertingkah seperti polisi moral, yang mencoba mengatur bagaimana cara menjadi pahlawan yang benar. Cara film ini menampilkan ‘cara’ Teth-Adam menghukum penjahat versus reaksi Hawkman seringkali jadi kocak. Walaupun konteksnya cukup dark, film berhasil menampilkan dalam nada yang cukup ringan sehingga menghibur melihat konflik paham antara Adam dengan Hawkman. Teth-Adam bukan saja tidak suka diatur, dia juga tidak suka melihat ada bangsa lain yang datang mengusik tanah airnya. Bagi Teth-Adam, Justice Society tak ada bedanya ama Intergang, sama penjajah yang mau ikut campur.

Bangsa Kahndaq cuma ingin merdeka. Mengatur sendiri urusan mereka. Menyelesaikan sendiri masalah mereka. Namun sejarah bangsa ini mencatat, sedari dulu mereka dijajah dan dicampuri oleh penguasa ataupun pihak dari luar yang lebih kuat. Makanya ketika Justice Society datang ke sana untuk menangkap sosok pahlawan bagi bangsa Kahndaq, keadaan menjadi semakin kacau. Inilah yang mestinya diperhatikan. Bahwa seringkali sebaiknya kita tidak mencampuri urusan pihak lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita.

 

Menurutku tema cerita Black Adam ini menarik sekali, terutama karena datang dari negara yang terkenal suka ikut campur urusan negara orang lain. Bukan satu dua kali Amerika mengirimkan bala tentara ke negara-negara yang tengah berkonflik, untuk berperang dengan agenda membantu perdamaian. Bukan satu dua kali pula, Teth-Adam di film ini balas ngotot ke Hawkman untuk tidak ikut campur dan membiarkan dirinya dan bangsa Kahndaq mengenyahkan sendiri masalah mereka. Tadinya kupikir film ini sendiri akan memihak kepada Teth-Adam dan bangsa Kahndaq. Kupikir pembuat film ini akan berani menyentil negara mereka. Namun makin  ke sini dinamika itu tidak diubah. Hawkman dan Justice Society tidak mengubah pandangan mereka soal mencampuri urusan, mereka tetap memandang Adam sebagai monster yang harus dikerangkeng. Sekalipun akhirnya film menunjukkan Black Adam sadar dirinya memang pahlawan di balik segala dosa-dosa personal dan Adrianna beserta para rakyat Kahndaq diberikan kesempatan untuk berjuang membela tanah mereka, tapi tetap diperlihatkan mereka harus dibantu oleh pihak asing, yakni si Justice Society. Dan meskipun film menyebut Black Adam adalah white knight yang dibutuhkan, tapi pada kenyataannya cerita film ini literally membuat Doctor Fate dari Justice Society, dengan helm super, seolah kesatria berbaju zirah yang menggiring mereka kepada taktik keselamatan. Yang lucunya, tidak perlu dilakukan; Masalah tidak akan menjadi segede di akhir itu – mahkota Sabbac tidak akan jatuh ke tangan penjahat – jika Justice Society tidak pernah datang dan ikut campur dan membiarkan Adam membereskan urusan dengan caranya tersendiri sedari awal.

Setidaknya kali ini The Rock jauh-jauh dari template lingkungan hutan

 

Itulah tanda film ini punya masalah pada naskah. Alih-alih fokus mengembangkan bagaimana Teth-Adam di dunia modern, berusaha mengsort out urusan personalnya – pilihannya di masa lalu, membuat Teth-Adam belajar apa itu arti menjadi pahlawan,  film malah membagi perhatian kita kepada karakter superhero dari luar. Tau-tau kita dijejalin banyak karakter superhero. Ada Hawkman, Dr. Fate, Cyclone, Smasher. Karakter-karakter yang di atas kertas otomatis lebih menarik dibanding Adrianna dan putranya. Relationship antara Teth-Adam dengan kelompok Adrianna – relasi antara leluhur yang dianggap pahlawan dengan rakyat jadi terpingkirkan. Bahasan relasi itu masih ada, sebagai benang utama cerita, tapi tidak diceritakan dengan pengembangan. Melainkan hanya lewat revealing demi revealing, ‘ternyata’ demi ‘ternyata’. Karena film membagi porsi tadi. Progres cerita terutama datang dari pilihan Hawkman and the gank, dan Adam bereaksi terhadap itu. Poin-poin film jadi bergantung kepada karakter luar. Buatku menonton film ini jadi persis seperti yang dirasakan rakyat tertindas bangsa asing. Kenapa yang ditonton jadi malah disetir oleh orang-orang ini?

Mungkin masih bisa dimaafkan jika mereka-mereka itu benar-benar digali. Mind you, mereka ini bukan karakter yang pernah muncul di film lain sebelumnya, melainkan yang sama sekali baru. Yang juga butuh introduksi solid. Masalahnya, dengan begitu banyak karakter, semuanya jadi terasa instan saja. Para karakter superhero punya trait  dan kekuatan khusus, dan hanya dimensi itulah yang ditampilkan. Tak membantu pula beberapa di antara mereka mengingatkan kita kepada karakter superhero DC lain, bahkan kepada karakter superhero sebelah. The Rock jadi kena imbasnya. Sisi komedi hingga sisi humanis yang tampak diniatkan untuk karakter ini jadi tidak bisa mencapai maksimal karena cerita terus saja membawa kita kembali kepada seteru Hawkman dengan Teth-Adam. The Rock di sini jadi hanya marah dan berguyon di sela-sela menghajar musuh. Padahal yang sebenarnya dibutuhkan lebih banyak adalah The Rock bersama anak Adrianna, Teth-Adam menyelami fungsinya hadir di sana. Jadi tidak ada di antara mereka yang konek ke kita secara emosi. Film ini hanya aksi dan eksposisi, dengan sedikit komedi untuk mengikat kita kepada karakter. Kita tidak nyambung ke mereka melainkan hanya lewat unsur-unsur luar yang artifisial. Oh, si Cyclone cakep. Oh, si Smasher lucu. Oh, si Adam ngeyel kalo dibilangin. Actionnya juga sebenarnya imersif, bangunan-bangunan yang hancur karena ulah Teth-Adam ‘menyelamatkan’ dunia dijadikan integral ke dalam plot, namun karena ke karakter-karakter sendiri kita gak masuk, maka ya jadinya kita hanya sebatas melihat aksi saja.

 

 




Padahal dengan tema yang menarik, karakter anti-hero dan superhero yang menantang pemahaman terhadap konsep kepahlawanan, film ini harusnya bisa jadi sesuatu yang diperbincangkan. Teth-Adam yang tampak dibuild untuk menjadi penjahat besar seharusnya bisa dibuat benar-benar dramatis. Marvel sejauh ini baru Civil War yang benar-benar menggali di daerah moral antar-pahlawan itu sendiri. Sedangkan, film-film DC kalo kita lihat sepertinyalebih sering bermain-main dengan perspektif hitam-putih. Pahlawan-penjahat. Mereka lebih sering menjadikan cerita dengan villain sebagai perspektif utama. Bahkan superheronya saja juga diberikan pilihan yang menantang moral (we’re looking at you, Wonder Woman 2) Eksekusinya saja yang seringkali melempem. Film The Rock ini juga salah satu yang kurang nendang. Film ini malah menyesakkan diri dengan superhero lain. Tidak benar-benar membuat karakter judulnya mendapat eksplorasi yang mendalam. Batman lawan Superman, Justice League lawan ‘dark’ Superman, aku hanya berharap jika nanti Black Adam lawan Superman benar-benar terasa seperti clash epic alih-alih pertemuan yang ‘main aman’ seperti sebelumnya. Dan to be honest, harapanku itu mengecil melihat film ini belum apa-apa sudah mengesampingkan banyak penggalian karakternya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BLACK ADAM




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian Hawkman dan Justice Society di film ini memang telah lancang mencampuri urusan negara orang?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 



DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS Review

 

“To be content doesn’t mean you don’t desire more, it means you’re thankful for what you have and patient for what’s to come”

 

 

Bukankah sudah kubilang bahwa cerita seorang ibu paling baik diapproach sebagai horor? I mean, toh memang di antara horor-horor bagus yang beredar, cukup banyak mengangkat tema bagaimana sih psikologis atau perasaan perempuan sebagai ibu. Bahkan mungkin setengah dari horor yang kita bahas di blog ini adalah horor tentang ibu. Marvel Studio pun tampaknya sependapat. Begitu sudah jelas sekuel Doctor Strange (2016) akan melingkupi saga Wanda Maximoff yang merasa kehilangan keluarga/anaknya, Marvel lantas mendapuk Sam Raimi untuk duduk di kursi sutradara.

Raimi terkenal lewat trilogi The Evil Dead (1981-1992). Gaya horornya yang seram-dan-menghibur-secara-bersamaan (gak percaya? coba tonton salah satu horor modernnya; Drag Me to Hell) cukup banyak jadi panutan oleh filmmaker. Namun begitu, ini bukan kali pertama Raimi menangani proyek superhero. Film Spider-Man Sony tahun 2002 yang punya dua sekuel itu kan, Raimi yang garap. Dia telah sukses mengimplementasikan gaya horornya ke dalam format superhero, sesuai kebutuhan. Tapi proyek tersebut terhenti setelah Raimi merasa gak puas oleh campurtangan studio di film ketiga. Makanya sekuel Strange kali ini jadi big deal. Marvel pastilah ngasih kebebasan yang luas bagi Raimi untuk mengkreasikan gayanya, sehingga sutradara ini mau aja untuk kembali ke ranah superhero. Setelah kutonton (akhirnya! yang nyebelin dari masa liburan ialah kupasti telat nonton sebab bioskop penuh), benar saja. Kita udah dapet film superhero dengan rating Dewasa yang penuh adegan sadis, tapi Doctor Strange in the Multiverse of Madness ini menawarkan sesuatu yang lain. Benar-benar ngepush PG-13 dengan cerita ibu yang jadi jahat hanya demi bersama anaknya, lengkap pake zombie, orang terpotong dua, dan kepala meledak!

Multiverse of Madness literally jadi MOM (ibu) kalo disingkat!

 

 

“Was there any other way?” adalah kalimat yang jadi kunci tema pada narasi. Apa ada cara lain, tanya Wanda kepada dirinya sendiri yang terus memimpikan dua putra ciliknya, cara lain untuk bisa bersama mereka. Multiverse yang jadi judul film inilah cara tersebut. Jadi cerita film ini intinya adalah tentang Wanda yang berusaha mendapatkan kekuatan untuk pindah-semesta. Wanda memburu satu-satunya makhluk di seluruh alam semesta yang bisa menyebrang semesta sesuka hati. Makhluk berupa perempuan remaja bernama America Chavez. Nyawa remaja tersebut ada dalam bahaya karena Wanda yang semakin gak sabar menjadi semakin terbenam dalam kejahatan.  Di dalam tidur melihat Chavez dikejar monster bersama dirinya yang tampak agak lain, Strange awalnya mengira itu cuma mimpi buruk. Tapi kemudian Chavez beneran muncul. Strange kini harus melindungi Chavez, yang tentu saja membuat Wanda jadi menganggapnya musuh. Wanda ngamuk, Kamar-Taj diporakporanda, orang-orang jadi korban, Strange dan Chavez terpaksa kabur ke semesta lain guna mencari kitab yang bisa mengimbangi kekuatan Wanda yang udah total jadi Scarlet Witch dengan buku sihir jahat DarkHold!

Dari sinopsis singkat tadi itu aja udah kelihatan. Berlawanan dengan kalimat kunci tadi, there is no other way, cerita seperti ini didirect bukan oleh Raimi. Dia adalah orang yang tepat untuk menghidupkan dunia penuh sihir, karakter berkekuatan aneh, dan segala universe yang ajaib. Aku suka gimana Raimi tampak gak tertarik sama cameo-cameoan. Mungkin fans akan berpikir liar melihat ada kata Multiverse, you know, kebanyakan mungkin akan berpikir bahwa ini bakal jadi kesempatan emas untuk memunculkan banyak surprise character. Sialnya bagi mereka, Multiverse menurut Raimi adalah sebuah lapangan bermain yang luas. Tempat dia bisa memasukkan gaya bercerita horor ringan-tapi-seramnya. Raimi memilih fokus kepada memvisualkan hal yang grounded dari cerita fantastis yang dipercayakan kepadanya. Dan dia gak tanggung-tanggung dalam visualisasinya. When it moves, semua bergerak cepat tapi kita bisa merasakan sensasi horor di sana sini. Gak ragu dia memasukkan elemen jumpscare; eksistensi jumpscare di superhero ada sudah cukup ngagetin! Adegan aksinya walau gak frontal pakai darah, tapi tetap bikin ngilu karena brutal datang secara subtil. Kamera akan ngezoom ke wajah untuk nunjukin intensitas karakter. Elizabeth Olsen yang jadi Wanda dapat banyak momen untuk menunjukkan permainan akting dan dialog ekspresifnya, dan semuanya dimanfaatkan maksimal. Dari Avenger terkuat yang bikin kita merasa aman dia berubah jadi bikin kita merasakan teror. Adegan Wanda nyerang Kamar-Taj intens banget. Asap yang datang menyelimuti pasukan good guys, ngasih kekelaman yang langsung kerasa sunyi-sunyi berbahaya kepada kita. Voldemort harusnya konsultasi ke Wanda dulu sebelum dia menyerang Hogwarts. Olsen could go dari bikin kita simpati, ke ‘njir gila lo ye?’, ke bikin kita pengen ikutan kabur (bayangin dikejar penyihir ngamuk yang lari terseok berdarah-darah dengan rambut terurai!) ke bikin kita merasa kasihan lagi dengan amat sangat mulus.

Arahan Sam Raimi membuat film ini lebih dari sekadar watchable, berkat sensasi superhero-tapi-horornya itu. Arahannya justru mengangkat film dengan naskah yang sebenarnya agak minimalis ini. Multiverse of Madness paling kompleks dalam membahas Wanda alias Scarlet Witch. Sementara tokoh utamanya, si Doctor Strange itu sendiri, pembahasannya sama minimalisnya seperti protagonis dalam The Northman (2022) yang baru kureview sebelum ini. Untungnya memang Strange enggak segabut Newt Scamander di film kedua Fantastic Beasts (2018). Keberadaan Strange di dalam cerita masih tampak penting. Dia gak cuma buat nolong si Chavez. Melainkan ada keparalelan yang coba ditarik antara dirinya dengan Wanda. Mereka sama-sama orang yang punya kehilangan di semesta mereka. Jika Wanda pengen hidup bersama anaknya lagi, maka Strange ini, well untuk gambaran; kita melihat dia datang ke nikahan mantan. See, orang yang udah move on pasti gak bakal ke nikahan mantan (padahal karena gak diundang hihihi) kan? eh atau karena udah move on makanya datang?..  Stephen Strange datang. Inilah yang sepertinya mau dijadikan konflik dirinya sepanjang cerita. Sepertinya ingin ditunjukkan bahwa Strange berlagak nyante dan udah move on padahal belum. Keberadaan Multiverse yang bisa dikunjungi dengan cara tertentu jadi nawarkan kemungkinan baru bagi hidupnya. Dia bisa saja seperti Wanda, pindah hidup ke universe yang lebih bahagia. Ke universe yang ia lihat di mimpi-mimpi indahnya, maybe. Nah minimalisnya naskah adalah konflik Strange yang diniatkan itu tidak pernah tercuatkan maksimal. Tentu, konfrontasi dia dengan mantan di universe lain ada, tapi resolusi dirinya tidak tampak memuaskan. Bilang “aku cinta kamu di semua semesta” gak benar-benar ngasih perkembangan yang berarti kepada karakternya. Apalagi jika dibandingkan dengan development Wanda di akhir cerita; saat dia menyadari yang ia lakukan kepada anak-anaknya di semesta lain sebenarnya.

Konsep bahwa mimpi sebenarnya adalah jendela ke kehidupan kita di semesta yang lain, memang menggiurkan. Honestly, aku langsung merasa relate dan sempat mendukung Wanda demi mengenang mimpi-mimpi indah. Kalo bisa, akupun mau pindah hidup ke semesta where ‘you’ still talk to me, atau ke semesta aku punya teman gaib, atau ke semesta Max masih hidup dan kucing-kucingku semua bisa ngomong. I don’t blame Wanda for wanting that life. Tapi kemudian di akhir, film ini hits me hard. Film ini bicara tentang bagaimana merasa content walau kita merasa ada yang kurang dari hidup. Bahwa cukup itu bukan berarti puas dengan yang kita punya. Bukan pula harus berjuang mengejar untuk mendapatkan apa yang gak kita punya. Melainkan, merasa cukup berarti juga berdamai dengan kesalahan yang kita lakukan dan lantas optimis untuk perbaikan.

 

Plot Wanda tetap terasa lebih kuat menghidupi cerita sementara plot yang lain struggle untuk relevan kepada tema. Yang paling disayangkan jelas plot si anak baru, America Chavez. Diperankan dengan energik dan pesona tersendiri oleh Xochitl Gomez, karakter ini jarang dieksplor. Backstorynya hanya dipaparkan di satu momen, lalu persoalan dia gak bisa mengendalikan kekuatan pindah-universenya beres dengan nasihat/semangat singkat dari Strange. Sayang banget. Apalagi jika kita menoleh ke Wanda, kayak, semuanya udah ada di sana padahal. Anak yang nyari ibunya – ibu yang mau anaknya; seharusnya ada sesuatu yang bisa dipantik dari Chavez dan Wanda. Tapi interaksi manusiawi antarmereka aja nyaris gak ada, let alone ada percakapan personal. Mereka sebagian besar tergambar sebagai pemburu dan buruan. Hanya di penyelesaian saja seperti ada pengertian antara kedua karakter ini.

Stephen Universe lol “Scarlet, America, and Wong, and Stephen!~”

 

 

Maka kayaknya bener juga sih kalo ada yang bilang cocoknya ini jadi WandaVision 2 aja. Multiverse of Madness selain berat ke Wanda, juga kurang stabil untuk bisa berdiri sendiri. Penonton yang gak nonton serial WandaVision mungkin bisa mengerti keinginan seorang ibu untuk bersama anaknya, tapi keseluruhan konteks Wanda-jadi-jahatnya gak bakal utuh didapat. Soal konsep Multiverse, juga sama. Aku sendiri gak nonton serial What If dan Loki. Alih-alih itu, modalku mengerti multiverse di sini adalah nonton serial kartun Rick & Morty yang juga punya bahasan multiverse yang sama kompleks. Bahwa berbagai versi diri kita ada, exist di dunia. Ada kita yang jahat, ada yang baik, ada yang mirip, ada yang mukanya beda, ada yang versi makhluk lain. Kemungkinan versi masing-masing orang tak terbatas. Di satu sisi memang jadi tontonan yang menarik, bikin penasaran melihat versi-versi itu. Namun di sisi lain, konsep multiverse juga bisa jadi bumerang. Salah satunya adalah soal kematian.

Kematian satu karakter gak akan jadi persoalan lagi jika ada multiverse. Satu karakter yang mati, tapi dia itu masih hidup (dan banyak versi) di semesta-semesta lain. Di episode Rick & Morty malah kedua karakter utamanya membunuh versi diri mereka gitu aja, karena mereka udah messed up di semesta sendiri jadi mereka pindah hidup ke semesta yang paling mendekati kenormalan versi mereka. Pada akhirnya, stake film jadi gak ada lagi. Kita bakal casual aja melihat karakter mati karena toh nanti ada versi lain yang muncul di film/serial lain. Para karakter bisa diperankan oleh aktor yang sama, bisa juga tidak, di setiap semesta. Ini bukan teori atau gimana ke depan, loh. Melainkan langsung terasa buktinya di film Multiverse of Madness ini.

Dalam satu rangkaian adegan (yang aku yakin ini adalah permintaan studio, karena tone di sini benar-benar berbeda dari keseluruhan film) diperlihatkan Doctor Strange bertemu sama tim Illuminati. Ada Captain Marvel universe lain, Captain Carter, Mordo, Richards Fantastic Four, Black Bolt, dan Prof. X! (satu-satunya waktu saat penonton yang menanti cameo bersorak hihihi) Karakter-karakter yang sebenarnya berperan besar dalam universe atau cerita masing-masing, di film ini kayak muncul seadanya saja. Nantinya, mereka akan bertarung dengan Scarlet Witch. And they just dead. Matinya seru sih, cuma ya itu. Mati. Gak banyak pikiran di baliknya. Mereka mati gitu aja karena sudah dalam multiverse plot armor. Setiap karakter kini mati pun tak apa. Mereka bisa ‘direvive’ kapan saja sesuai kemauan studio. Kita yang nonton melihat kematian mereka pun jadi datar aja, demi menyadari itu semua. Nonton keseluruhan film jadi gak ada greget. Strange mati pun kupikir gak bakal ngaruh banyak karena toh ada infinite number of him yang bisa dimunculkan oleh studio. Satu-satunya yang bikin kita bisa peduli adalah si Chavez (dia cuma satu-satunya di semesta) dan melihat development si Wanda (itupun bagi penonton yang ngikutin serialnya).

 

 

 

Visi dan gaya unik sutradara adalah hal yang benar-benar dibutuhkan oleh sinematik universe yang sudah berjalan begitu lama seperti MCU. Kita bisa membuktikan itu pada film ini. Terasa benar bagaimana arahan Sam Raimi yang bermain kreasi horor di ranah superhero, mengangkat film ini jadi pengalaman seru yang berbeda. Aku benar-benar suka pada apa yang ia lakukan dalam menghidupkan naskah yang kurang balance dan cukup minimalis ini ke layar lebar. Ya, weakest part dari film ini sebenarnya bukan arahan Raimi yang di luar kebiasaan Marvel. Melainkan pada naskahnya. Karakter utamanya kalah solid penulisannya dibandingkan dengan karakter antagonis. Karakter baru yang dihadirkan juga tidak didalami. Dan juga, naskah film ini ngasih kita pe-er yang banyak kalo mau mengerti dan lebih enjoy menonton. Beruntung arahannya tadi sangat keren. This is truly ketika yang horor-horor jadi pahlawan!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang multiverse? Apakah konsep multiverse bikin satu film lebih menarik, atau malah membingungkan? Apakah kalian gak keberatan sama untuk mengerti satu film kita harus nonton sejumlah serial dan film lain dulu?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE Review

“Acceptance is the first step to unity”
 

 
Dalam Justice League diceritakan para pahlawan super bersatu untuk menghidupkan kembali Superman. Siapa sangka keadaan di dunia nyata seputar film Justice League itu sendiri ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang diceritakan. Visi sutradara Zack Snyder-lah pahlawan yang gugur itu. Para penggemar DC bersatu, mengampanyekan supaya visi tersebut hidup kembali. Meminta supaya film Justice League yang sebenarnya; yang tidak dicampuri oleh Studio – dan tidak diwarna-warni oleh Joss Whedon, film yang seutuhnya dari kreasi Zack Snyder bisa dibuat dan ditayangkan. Sekarang, empat tahun setelah film Justice League (2017) tayang di bioskop, perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Zack Snyder’s Justice League yang berdurasi empat-jam lebih akhirnya mendarat dengan dramatis di internet!
Ini adalah fenomena yang menarik. Karena kita semua tahu, term ‘Director’s Cut’ sendiri sebenarnya sudah mulai mengalami peyorasi berkat iklim industri film. Director’s Cut pertama kali dipopulerkan oleh Ridley Scott, yang mengeluarkan Blade Runner (1982) versi orisinil kreasinya. Misi mulia merestorasi visi seniman itu tentu saja langsung disambut oleh industri sebagai langkah untuk menjual-ulang kepada penonton film yang udah pernah mereka tonton. Director’s Cut lantas menjadi gimmick sales semata. Director’s Cut The Warriors ternyata hanya berisi tambahan satu menit ekstra, plus transisi dengan gaya visual ala komik. The Exorcist hanya memasukkan kembali adegan-adegan yang udah dicut, plus perbaikan visual efek, namun menjual-ulangnya sebagai versi never-before-seen di tahun 2000. Jangan tanya soal contoh di Indonesia. Aku belum punya rasa percaya yang cukup besar terhadap industri film di sini sehingga mau menonton versi director’s cut dari film-film Indonesia. I mean, film yang disebut sekuel aja, di perfilman kita yang konon udah maju ini, ternyata tak lebih dari potongan shot dan cut film sebelumnya yang digodok jadi satu (tunjuk idung Milea: Suara dari Dilan). Langka sekali ada Director’s Cut yang benar-benar terbukti memberikan pengalaman baru dan menambah banyak bagi film itu sendiri. Maka, melihat begitu hangatnya respon, dan mengingat actually memang cut ini sangat diinginkan oleh penonton, Snyder Cut Justice League kali ini boleh jadi merupakan titik balik yang mengembalikan Director’s Cut kepada tujuan mulianya semula.

Film revisi sebagai pemuas hati

 
 
Cerita film ini secara keseluruhan masih sama dengan versi Whedon 2017 yang lalu. Superman telah meninggal. Pasukan demon yang dipimpin Steppenwolf jadi berani datang ke Bumi, mencari tiga Mother Box yang kalo digabungkan bisa membuat Bumi jadi di bawah kendali Steppenwolf. Maka Batman berusaha mengumpulkan para manusia berkekuatan super; Wonder Woman, Aquaman, The Flash, dan Cyborg untuk bekerja sama membela Bumi. Tapi mereka tetep kalah tenaga. Jadi mereka bermaksud untuk menghidupkan kembali Superman. Aku gak akan bahas banyak dari segi cerita. Yang ingin kufokuskan di review Justice League kali ini adalah soal perbedaan-perbedaan signifikan di antara versi Snyder dengan versi Whedon. Dan yang kumaksud dengan ‘signifikan’ adalah bagaimana perbedaan tersebut berpengaruh; membuat film versi Snyder ini lebih baik (atau bahkan bisa jadi lebih buruk) ketimbang versi Whedon.
Aku mau pointed out dulu bahwa ternyata yang kukira di review Justice League 2017 itu salah. Kukira elemen kematian Superman dan konflik moral para superhero terkait menghidupkannya kembali itu adalah kreasi dari Snyder. Setelah nonton film yang empat jam ini, aku baru tahu kalo elemen tersebut justru adalah kreasi Whedon. Justice League 2017 menempatkan soal moral dan etik menghidupkan Superman sebagai tindak terakhir itu sebagai gagasan utama cerita. Persatuan yang dibicarakan oleh film tersebut adalah persatuan yang bersumber dari harapan yang dipicu oleh tekanan ketakutan. Superhero Justice League di sana menunjukkan kekuatan dari harapan, sementara lawan mereka kalah karena menggunakan ketakutan untuk mengendalikan persatuan. Harus kuakui, bahasan Whedon tersebut menarik. Sayangnya, si sutradara itu sendiri tidak punya pijakan dan posisi yang kuat. Gagasan itu timbul bukan karena dia purely ingin bercerita soal itu, melainkan dari pemikiran bahwa dia harus menyatukan materi cerita superhero yang padat ke dalam durasi yang berbatas. Aku tetap mengapreasiasi Whedon yang berhasil pulled off this theme, dia berusaha menyatukan banyak elemen ke dalam narasi sekonsisten mungkin, walaupun penceritaannya sendiri sloppy, terburu-buru, dan enggak ‘do justice’ terhadap karakter-karakter superhero yang terkandung di dalamnya.
Sementara Snyder, ternyata memang tidak berniat menceritakan soal moral sebuah resurrection. Snyder tetap berkutat pada soal yang lebih fundamental. Yakni soal keluarga. Justice League yang kita tonton selama empat jam ini adalah tentang karakter yang terpisah dari keluarga, dan kemudian menemukan tempat di kelompok, tapi sebelum itu mereka harus berjuang untuk acceptance, baik itu dari kelompoknya maupun acceptance dari diri mereka sendiri. Dengan durasi yang dua kali lebih panjang, Snyder punya ruang yang lebih banyak untuk mengeksplorasi setiap karakter, dan dia memainkan masing-masing mereka dengan konsisten pada tema tersebut. Batman yang yatim piatu, dialah yang jadi pencetus persatuan para superhero, dan di akhir cerita dia dapat nice closure berupa mendapat pujian tindakannya akan membuat orangtuanya bangga. The Flash kali ini mendapat backstory yang lebih solid perihal hubungannya dengan ayah yang berada di dalam penjara. Wonder Woman mendapat penggalian soal keluarga karena actually keluarga Amazonnya yang bersentuhan langsung dengan bahaya sebagai salah satu klan penjaga Mother Box.
“Cyborg mestinya dikasih kerjaan lebih banyak selain baca petunjuk dan menyatu dengan teknologi. Steppenwolf mestinya bisa dibuat lebih meyakinkan. Mestinya film bisa memberikan kedalaman yang lebih pada hubungan antartokoh, memberikan stake yang lebih mengena, memberikan ketakutan dan bahaya yang lebih kuat.” Itulah tiga kalimat terakhir yang aku tulis pada review Justice League 2017. Dan apparently, Snyder setuju bahwa tiga itulah aspek yang paling butuh untuk dikembalikan dan diperbaikin dalam film kali ini. Cyborg yang awkward dan tampak paling sepele itu kini jadi hati bagi film ini. Dia yang arc superhero-nya paling ngelingker di antara semua. Dia berkembang dari yang tadinya cowok setengah-robot angsty yang boring menjadi pahlawan super yang benar-benar menguar oleh konflik keluarga dan acceptance. Kalau tidak dipersembahkan sebagai sebuah ensemble story, maka Cyborg inilah yang paling pantas jadi tokoh utama. Aku bukannya mau memantik api ataupun bukannya mau memancing di air butek, tapi, menurutku Cyborg di sini sukses menjadi karakter yang lebih menarik daripada Iron Man di cerita akhir hayatnya. Steppenwolf di sini pun dibuat lebih besar. Bukan hanya dari desainnya, melainkan juga dari karakter. Di Snyder Cut ini, motivasi Steppenwolf lebih dieksplor. Di balik perburuan Mother Box, antagonis ini sedang dalam journey ngeredeem dirinya sendiri di mata Darkseid. Journey-nya tersebut dikontraskan dengan geng superhero Justice League; Steppenwolf juga mencari acceptance tapi sayangnya keluarga yang ia pilih tidak seperti ‘keluarga’ protagonis kita.

Bersatu berarti kita harus menerima kekurangan masing-masing. Dan untuk dapat saling menerima itu, kita tidak mesti berangkat dari satu keluarga. Banyak cerita yang mengobarkan semangat persatuan, memperlihatkan kubu yang berbeda mengesampingkan perbedaan untuk menjadi keluarga. Tapi Justice League dan Cyborg menunjukkan semua itu dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu.

 
Dengan karakter yang lebih ter-flesh out, maka final battle pun otomatis menjadi lebih seru. Kalian tentu masih ingat satu keluarga rusia yang diselamatkan oleh The Flash di Justice League Whedon? Tidak ingat? Bagus, karena itulah the worst part dari film tersebut. Keluarga rusia random itu adalah tambahan supaya final battle dramatis. Snyder tidak perlu dan sama sekali tidak pernah meniatkan mereka ada. Final battle Snyder berisi aksi brutal (earning them that R-rating) dan konflik cerita yang menutup arc para tokoh. Singkat kata, final battle Snyder lebih garang dan lebih padat. It is the best part of this movie. Semua karakter dapat kesempatan bersinar; unjuk kekuatan dan unjuk drama personal. Semuanya memenuhi fungsi.
Perbedaan-perbedaan lain yang dilakukan oleh film ini tidak termasuk ke dalam kategori ‘signifikan’ tapi bukan berarti tidak penting. Setidaknya bagi para penggemar, dan bagi penonton yang benar-benar menunggu kelanjutan film ini, hal yang dilakukan oleh Zack Snyder di sini akan bisa bikin ‘terwoah-woah!’ Snyder caters to the fans. Dia membuat Superman yang baru saja dihidupkan itu berkostum hitam, sama dengan di komik. Dia memasukkan karakter baru seperti Darkseid, dan juga Martian Manhunter. Keduanya tentu saja berperan penting dalam Justice League saga. Kemunculan pertama keduanya dalam medium film-panjang live-action ini tentulah surprise yang menyenangkan. Tak sampai di sana, Snyder juga memanfaatkan sisa durasi untuk menampilkan lebih banyak lagi fans-service berupa penampilan singkat-tapi-berkesan dari karakter favorit semacam Deathstroke ataupun Joker.

Parademon. Parade demon. Get it?

 
Selesai nonton, kita semua kompak kalo harusnya film ini aja yang ditayangkan di bioskop kemaren. Durasi empat jam film ini toh tidak terasa. Kalopun terasa, filmnya bisa dibagi menjadi dua. Tapi benarkah sesimpel itu? ‘Kasus’ dua Justice League ini tentu saja tidak sesimpel soal durasi. Melainkan soal bagaimana memanfaatkan durasi tersebut. Snyder Cut punya ruang yang lebih gede untuk eksplorasi dan development ketimbang versi Whedon. Pertanyaannya adalah apakah dia benar-benar memanfaatkannya dengan efektif? Versi Whedon serba terburu-buru, kurang development, cringe oleh dialog dan adegan yang abrupt, karena dia berusaha meringkas materi ke dalam dua jam. Belum lagi tuntutan untuk tampil ringan/menghibur. Usaha Whedon jelas bukan terbaik, tapi sesungguhnya begitu juga dengan Snyder di film ini. Tentu, ceritanya jauh lebih berbobot, tapi terasa tidak benar-benar perlu untuk menjadi empat jam. Snyder Cut ini mestinya bisa lebih dipadetin lagi. Struktur narasinya bisa lebih padu lagi. Fans service dan adegan extend di beberapa puluh menit setelah konflik film beres itu sebenarnya tidak perlu karena practically berfungsi sebagai adegan teaser untuk next film yang panjang sekali.
Film ini menggunakan chapter-chapter yang terasa seperti episode-episode. Setiap kali pindah chapter, atau malah setiap kali pindah fokus dari bahasan karakter satu ke karakter lain, film ini terasa terputus. Narasinya bersambung tidak mulus, tidak lebih baik dari yang alur penceritaan yang dilakukan oleh Whedon. Aku mengharap sesuatu yang lebih baik, tapi Snyder ternyata juga mempersembahkan urutan kejadian terlompat-lompat, seperti dari teroris pemboman ke penyerangan Amazon ke The Flash menyelamatkan cewek dari kecelakaan lalu lintas. Aku mengharapkan narasi yang lebih kohesif dari ini. Tapi Snyder memang lebih fokus ke nampilin aksi sebagai bentuk bercerita. Dan bicara tentang aksi, setiap chapter punya aksi-aksi seru. Yang kita dapatkan di Whedon, hanya sepersekian dari aksi sebenarnya di film ini. Tapi sekali lagi; episodik. Semuanya punya tempo dan treatment yang sama. Sehingga jadi monoton. Salah satu treatment favorit Snyder dalam nampilin aksi adalah menggunakan slow-motion. Bayangkan melihat slow-motion setiap kali adegan bertempur. Setiap kali Wonder Woman mau beraksi selalu ada musik dewa-dewi yang pelaaaann. Jadinya ya bosan dan terasa unnecessary. Slow-motion ini bahkan dilakukan pada karakter yang bukan The Flash. Jadi akibatnya, jika setiap karakter ternyata bisa bergerak cepat, maka kecepatan The Flash itu jadi tidak spesial lagi. Slow motion bisa jadi efek yang bagus pada adegan aksi, memberikan ketegangan atau semacamnya, tapi ketika dilakukan konstan, jadinya ya tidak spesial lagi. Dialog cheesy ala Whedon boleh saja sudah disingkirkan jauh-jauh oleh Snyder yang prefer tone dan warna gelap. Namun kecheesy-an itu kali ini terisikan perannya oleh slow-motion yang berlebihan.
 
 
Dengan senang hati sekali aku menunggu kalo ada filmmaker lain yang pengen membuat Cut versi dirinya; cut yang merangkum empat-jam film ini menjadi narasi yang lebih mulus dan tidak terasa terfragmen seperti ini. Dalam urusan memanfaatkan durasi, sebenarnya Snyder tidak melakukannya lebih baik daripada Whedon. Namun memang tak bisa dipungkiri, versi Snyder ini punya cerita yang lebih berbobot, punya final battle yang lebih seru, punya karakter yang lebih manusiawi. Director’s Cut yang dilakukan Snyder benar-benar bertindak sebagai pemuas hati. Sutradara senang karena filmnya sudah terestorasi sesuai visi. Kita senang karena akhirnya dapat film superhero yang antisipasi dan hypenya sesuai dengan yang disuguhkan. Mungkin inilah Justice yang disebut pada film ini. Keadilan bagi pembuat dan penikmat. It’s a win-win!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Jadi bagaimana? Apakah menurut kalian film ini berhasil membuat penonton bakal kembali peduli sama yang namanya Director’s Cut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE OLD GUARD Review

“The key to immortality is first living a life worth remembering”
 

 
 
Jika ada yang bisa mengalahkan sensasi surprise dikasih tahu oleh raksasa bahwa kita sebenarnya adalah penyihir, maka itu adalah sensasi mengejutkan saat Charlize Theron datang ke hadapan kita dan memberitahu bahwa kita sesungguhnya adalah immortal. Kalian yang tidak bisa membayangkannya, silakan tonton film aksi-fantasi terbaru, The Old Guard di Netflix. Karena peristiwa itulah yang persisnya terjadi kepada tokoh Nile di film tersebut.
Nile adalah tentara wanita yang sedang bertugas menangkap teroris di Afganistan. Dia terluka parah saat menjalankan misi tersebut. Namun ajaib, dia sembuh total. Luka tebas di lehernya hilang. Kini yang membekas pada diri Nile adalah selayang mimpi tentang sekelompok orang. Kelompok yang keesokan hari datang menjemput dirinya. Dipimpin oleh Andy, cewek berambut bondol yang tangguh banget, kelompok yang beranggotakan empat orang itu memperkenalkan diri sebagai sesuatu yang sukar dipercaya oleh Nile. Mereka semua tidak bisa mati, meski dalam kondisi luka yang paling fatal sekalipun. Dan kini Nile, somehow, menjadi sama seperti mereka. Nile diajak bergabung ke dalam barisan mereka, yang selama beratus-ratus tahun ini mendedikasikan diri untuk memberantas kriminal, secara rahasia. Dan sementara Nile memutuskan untuk menerima ajakan Andy dan kawan-kawan, seorang bos perusahaan farmacy gede di London ternyata telah mengendus keberadaan mereka. Andy dan teman-teman dijebak, mereka hendak ditangkapi untuk dijadikan subjek penelitian. Keabadian mereka akan diteliti, diekstrak kalo bisa, dan tentu saja diuangkan dengan dalih demi kebaikan seluruh umat manusia.

Basically mereka adalah Deadpool, tanpa rasa humor.

 
 
The Old Guard garapan Gina Prince-Bythewood ini ditulis langsung oleh penulis komik/graphic novel yang jadi sumber adaptasinya. Jadi film ini menjanjikan hal yang selalu ditagih oleh fans komik/buku yang diadaptasi ke layar lebar; kesetiaan dengan sumbernya. Aku belum pernah membaca komik The Old Guard, tapi begitu selesai menonton film ini aku bisa menebak cerita ini punya banyak penggemar, dan penggemar tersebut sepertinya bakal puas luar biasa dengan film ini. Karena The Old Guard bukan sekadar tontonan dengan karakter yang menarik dan punya aksi stylish yang berwarna merah oleh darah. Melainkan juga sebuah cerita yang mau meluangkan waktu untuk mengembangkan tokoh-tokoh tersebut, mengeksplorasi drama yang dimiliki oleh karakternya.
Sementara Nile si anak baru yang diperankan dengan matang oleh KiKi Layne bertindak sebagai perpanjangan kita yang awam terhadap dunia cerita, pusat cerita ini ini sebenarnya ada pada Andy. Si tentara immortal paling tua di antara mereka. Wanita ini sudah melewati begitu banyak pertempuran. Begitu banyak kehilangan. Begitu banyak luka. Sehingga konflik dan emosi cerita sebagian besar berasal dari tokoh yang diperankan dengan sangat badass oleh Charlize Theron ini. Kamera akan sigap menangkap momen-momen berharga tersebut. Lingering ke wajah Theron setiap kali tokoh Andy terdiam, entah itu terkenang akan kesedihannya terhadap seorang sahabat jauh di masa lalu, atau berkontemplasi mengingat waktu-waktu yang telah ia lalui dan kebimbangan akan waktu yang akan datang. Dengan muatan drama karakter yang sudah eksis begitu lama, serta dunia yang punya mitologi dan aturan main sendiri, film ini punya banyak paparan yang harus dibeberkan kepada kita. Sutradara Prince-Bythewood menghandle ini dengan cukup bijak. Ia tidak melakukannya dengan terburu-buru. Eksposisi tidak dihadirkan sekaligus. Akan tetapi, dia mengungkap semua dengan perlahan. Menggunakan momen-momen tenang di antara aksi-aksi untuk membuat kita sedikit lebih dekat dengan para tokoh.
Ketika berbicara, film ini memang tidak banyak berbeda dari film-film sebelum ini yang mengusung konsep karakter yang tak-bisa-mati. Permasalahan yang diangkat enggak jauh dari seputar beban moral hidup melampui orang-orang tersayang. Yang dibahas adalah pertanyaan apakah keabadian itu adalah kutukan atau anugrah. Dan jika itu anugrah, apakah tidak lebih baik untuk dibagikan kepada orang lain. Dalam keadaan terbaiknya, film dapat menantang penonton dengan persoalan tersebut. Keadaan terbaik ini tentu saja dapat tercapai dengan menghadirkan antagonis yang berbobot; yang punya lapisan dan tidak berlalu satu dimensi. Sayangnya, The Old Guard belum mampu mencapai keadaan terbaik tersebut. Karena tokoh penjahat utama yang dimiliki oleh cerita actually adalah bagian terburuk dari film ini. Pemimpin Pharmacy yang diperankan oleh Harry Melling (Dudley Dursley!) ditulis terlalu komikal, bahkan untuk villain cerita buku komik seperti ini. Elemen menangkap manusia untuk dijadikan subjek percobaan alias untuk disiksa terasa tidak terlalu klop dengan permasalahan emosional yang ditanamkan kepada tokoh-tokoh protagonis. Membuat film jadi sedikit terlalu klise. Pembicaraan yang cukup baik dilakukan oleh film ini adalah ketika memasukkan bahasan tentang LGBT; yang agendanya tidak terasa annoying melainkan pure diversity karakter.

Lewat Nile yang belajar banyak dari Andy, film membawa obrolan soal pilihan dalam mengisi hidup. Dengan umur sepanjang itu, sepenuhnya keputusan mereka untuk mau ngapain aja. Yang lantas membuat kita berpikir; bahwa sesungguhnya setiap manusia, bahkan kita, bisa menjadi abadi. Persis seperti Andy. Ya, melalui apa yang kita kerjakan. Jika kita hidup dengan berguna bagi banyak orang, jasa kita akan tetap hidup bersama mereka hingga generasi ke depan. 

 
 
Ketika berbicara lewat aksi, film ini menjadi semakin menarik. Pertarungan favoritku adalah pas adegan berantem di dalam pesawat. Di situ Andy bener-bener kelihatan ‘dewa’ banget. Kemampuan berakting action Theron sepertinya memang sudah demikian terasah, dan film mengetahui ini. Menggunakan talenta Theron dengan maksimal. The Old Guard punya desain aksi yang unik untuk keempat tokoh mercenary immortal tersebut. Karena mereka sudah bertempur bersama selama berabad-abad, bukan saja mereka jago pakai senjata apapun, mereka sendiri juga bertindak seperti satu senjata. Koreografi adegan penyerbuan oleh mereka terasa fresh untuk dilihat karena menghadirkan banyak kombo atau kerja sama unik. Serangan grup mereka begitu taktis dan efektif. Namun sayangnya kerja kamera seringkali tidak seefektif itu. Hampir seperti kamera tidak sanggup mengimbangi ataupun memenuhi konsep yang dituju oleh koreo. Karena yang kita lihat adalah seringkali shot yang terlalu goyang dan berjarak terlalu jauh. Sehingga alih-alih kita seperti berada in-the-moment, kita malah terasa seperti mengintip dari kamera bystander yang memfilmkan keributan yang mereka lihat.
Pemilihan musik latar juga tidak membantu untuk menguatkan suasana yang imersif. Bukan karena musiknya jelek. Melainkan karena gak cocok. Film ini menggunakan musik pop elektronik pada adegan-adegan yang intensitasnya krusial. Misalnya, tokoh yang sedang bingung atas apa yang terjadi pada tubuhnya, dia lantas pasang headset dan kita mendengar musik pop itu. Atau ketika tokoh kita bersembunyi siap menyergap rombongan penyusup, lagu pop elektro itu lantas diputar oleh film. Yang membuat kita terlepas dari adegan itu sendiri karena suasananya memang gak cocok.

Pengen immortal membuat kita jadi immoral

 
Tensi dan intensitas cerita turut melonggar ketika kita sudah mengestablish tokoh-tokoh ini enggak bisa mati. Berkali-kali kita melihat mereka tewas mengenaskan, lalu hidup lagi. Tidak ada lagi ancaman bagi mereka. Film menyadari hal ini dan cerita kemudian berbelok dengan menyebut bahwa para immortal itu sesungguhnya bisa mati. Keabadian mereka ada batasan, hanya saja terjadi dengan random. Dan itulah masalahnya; random. Tentu, kini kita jadi lebih greget menonton karena sudah ada yang dikhawatirkan dari mereka. Tapinya juga terasa jadi jalan yang mudah bagi film. Mitologi immortal mereka ini mestinya bisa dieksplorasi lagi. ‘Aturan’nya mestinya bisa diperjelas. Karena mengundang banyak pertanyaan selain kenapa random. Seperti; apa mereka masih bisa hidup kalo dibom dan hancur berkeping-keping, apa mereka bakal jadi membelah diri – dari setiap serpihan muncul sosok baru, atau mereka kayak Buu – serpihannya menggumpal membentuk tubuh mereka kembali. Atau apakah Nile baru sekarang jadi immortal, atau apakah sudah dari dulu dan dia baru tau. Actually, film ini mempertanyakan hal tersebut lewat salah satu tokoh. Namun tidak ada jawaban. Aku yakin mitologi immortal ini, pertanyaan-pertanyaan yang dibiarkan ngambang di film ini, semua ada penjelasannya. Hanya saja karena ini diniatkan sebagai film seri petualangan, alias bakal ada sekuel, maka pembuatnya sengaja gak membahas banyak dan ini membuat film ini jadi kurang tight penceritaannya.
 
 
 
Waktu, berharga karena ada batasnya. Tokoh-tokoh dalam film ini pada akhirnya belajar akan hal tersebut. Sementara film ini sendiri memang berusaha mengisi durasi dua-jam miliknya yang berharga itu dengan semaksimal mungkin. Mereka berhasil membuat ini jadi tidak membosankan. Tidak menjadi berat oleh eksposisi. Namun juga jadi kurang nonjok karena ada beberapa hal yang kurang dieksplorasi. Dengan dugaan sengaja untuk jadi bahasan di film berikutnya. Membuat film menjadi tidak sespesial yang seharusnya ia bisa. Untungnya film ini cukup menyenangkan, karakter-karakternya bisa kita pedulikan, sehingga aku cukup penasaran sama kelanjutan ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE OLD GUARD.

 

 
 
That’s all we have for now.
Jika kita tidak bisa mati, akankah kalian akan berlaku reckless atau malah jadi lebih berhati-hati daripada biasanya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BIRDS OF PREY Review

“Freedom is the emancipation from the arbitrary rule of other men.”
 

 
Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Begitu mungkin – dan memang seriang lagu itulah – kata hati Harley Quinn setelah cintanya bersama Joker kandas. Sama seperti kita semua, supervillain yang super kece dan super gokil; yang membuatnya jadi superkeren ini juga bisa patah hati. Galau. Namun kisah yang ia sebut dalam narasi sebagai emansipasi dari Harley Quinn akan mengingatkan kepada setiap cewek di dunia bahwa cewek sebenarnya jauh lebih hebat lagi ketimbang cowok yang kata pepatah berdiri di depannya.
Birds of Prey sempat dinyinyirin penggemar DC karena harusnya (kalo fans komik udah ngomong “harusnya” itu berarti “yang benernya di komik adalah”) Birds of Prey merupakan nama kelompok superhero cewek. Tapi dalam versi film yang disutradarai oleh Cathy Yan ini (sutradara wanita Asia pertama yang ngegarap film superhero? might wanna check on that...), Harley Quinn yang bandit memasukkan dirinya ke dalam cerita. Sebegitu unik dan gokilnya tokoh ini. Film is actually, totally, about her. Judul aslinya aja “The Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn”. Bercerita tentang Harley yang udah gak lagi di bawah perlindungan Joker sehingga ia diburu oleh penegak hukum dan juga para penjahat-penjahat di sudut-sudut gelap Kota Gotham yang dendam dan geregetan pengen menjitak kepalanya. Salah satunya adalah si Black Mask, hanya saja ketua geng ini pengen menguliti wajah Harley – seperti yang sudah jadi cap-dagang kejahatannya. Harley membuat perjanjian dengan Black Mask; ia akan menemukan berlian inceran Black Mask yang hilang sebagai ganti nyawanya. Perburuan berlian yang ada pada pencopet cilik membawa Harley pada sebuah persahabatan baru. Bukan saja sama si anak kecil, Harley juga bergabung dengan tiga wanita tangguh Gotham. Yang tadinya saling bermusuhan dan punya agenda masing-masing, menjadi satu grup jagoan cewek yang memberantas geng jahat yang didominasi oleh pria.

Harley pasti berani ke kondangan sendirian

 
Agenda feminism jelas merupakan misi utama dari film ini. Sungguh sudut pandang yang jadinya menarik karena Harley Quinn bermula dari seorang penjahat. Jadi film ini awalnya ingin memperlihatkan dunia kejahatan bukan sebatas milik kaum pria. Dalam banyak film modern, narasi feminis seringkali jadi sandungan sebuah penceritaan. Tokoh utama ceweknya akan jatoh sebagai karakter mary-sue alias karakter sempurna yang cakap akan apa saja dan tokoh-tokoh lain – bahkan dunia cerita – mengalah untuk membuatnya terlihat mandiri, kuat, capable. Program cewek harus unggul dari cowok membuat film jadi annoying. Masalah ini tidak berlaku pada Birds of Prey. Harley Quinn enggak seketika menjadi ratu jalanan. Film akan memperlihatkan proses. Zona nyaman Harley adalah berada di balik nama Joker – di awal cerita dia merahasiakan sudah putus dari Joker hanya supaya dia masih bisa menangguk keuntungan dan keselamatan sebagai ‘pacar Joker’. Lalu ketika semua orang sudah tahu, setiap sudut kota menjadi tempat mengancam nyawa bagi Harley. Vulnerability-nya sebagai wanita di tengah sarang penyamun dijadikan stake dan kita peduli padanya karena kita juga mengakui betapa bahaya dunia tersebut bagi wanita, as in, cewek semenarik Harley gak akan survive di sana. Yea, I said it. Margot Robbie sangat memukau sebagai Harley Quinn. Ketawa cekikikan badutnya saja udah bikin terpesona.

Tips setelah putus buat cewek-cewek ala Harley Quinn: Jangan mengurung diri, go out. Ledakkan kenangan akan mantan sampai lenyap. Dan carilah teman; entah itu hewan peliharaaan, ataupun… makanan!

 
Tentu, Harely Quinn bisa macam-macam. Mulai dari berkelahi tangan kosong hingga bertarung dengan senjata, baik itu senjata api maupun tongkat baseball, ataupun berkelahi sambil bersepatu roda. Adegan Harley berantem pake baseball bat terlihat sangat seru dan menyenangkan. Namun bukan karena itu semata dia berhasil selamat dan mengalahkan musuh yang mengejarnya. Film benar-benar mengeksplorasi kekuatan Harely Quinn, juga kelemahan-kelemahannya. Aku suka film ini enggak melupakan basic ilmu yang dipunya oleh Harley. Ia sebenarnya adalah psikiater, dan kemampuan menganalisis orang akan sering kita temui ia gunakan dalam film untuk berbagai keperluan seperti membujuk, negosiasi, atau keluar dari situasi sulit. Keabsurdan Harley Quinn juga tergambar dengan baik; sangat kocak meskipun gak masuk akal. Tokoh ini exactly kayak tokoh kartun yang bisa menarik benda begitu saja. Film merecognize hal ini, seperti ketika ada tokoh yang mempertanyakan Harley Quinn yang tiba-tiba sudah memakai sepatu roda untuk bertarung.

Film ini, lewat pembelajaran yang dilalui oleh Harley Quinn, memperlihatkan kepada kita makna emansipasi dan kemandirian wanita yang enggak dibuat-buat atau dipaksakan. Emansipasi berarti kemandirian dari aturan orang lain yang mengekang. Namun independen bukan berarti harus sendirian. Bukan berarti enggak butuh bantuan. Cewek yang dibantu bukan semata lemah. Bekerja sama adalah jalan keluar bagi Harley dan tokoh-tokoh wanita jagoan dalam film ini. Mereka mengalahkan para geng pria dengan independen menjadi diri mereka sendiri, bersama-sama.

 
Harley Quinn yang dikejar-kejar penjahat satu kota mengingatkan kita pada John Wick. Ia juga punya hewan peliharaan yang jadi semangat juang, tapi bukan anjing melainkan hyena! Adegan berantemnya pun semenyenangkan itu. Dari attitudenya sendiri, film ini mirip dengan Deadpool. Film ini juga ‘cerewet’ oleh narasi yang crude sambil sesekali breaking the fourth wall. Birds of Prey berjalan dengan diceritakan oleh voice-over Harley Quinn. Hal ini dijadikan alasan bagi film untuk tampil sangat unpredictable. Dari sekuen animasi hingga montase backstory, semuanya dikisahkan cepat keluar mulut tokoh utama kita. Tau dong gimana karakter ini kalo ngomong? Ngasal, gokil, dan kadang melompat-lompat bahasannya. Penceritaan seperti begini jadi gimmick yang bagus, meskipun memang menjadikan film jadi berantakan. Ada empat cewek lain yang nantinya jadi pasukan Birds of Prey, plus satu tokoh jahat, dan di babak pertama Harley Quinn akan serabutan menceritakan backstory mereka masing-masing. Akan cukup sering kita dibawa mundur dari alur karena Harley mau menjelaskan satu tokoh saat sedang menceritakan kejadian yang berlangsung. Ini bisa jadi melelahkan, karena cerita utuh jadi seperti terpotong-potong dan disusun acak.

also, there will be a lot of ‘kick to groin’ fighting moves.

 
Dan bahkan semua latar itu belum cukup dijejelkan di babak satu. Film masih punya tanggungan satu tokoh lagi, yang sengaja dibiarkan jadi rahasia hingga setelah pertengahan film. Birds of Prey terasa jadi kayak set up yang berkepanjangan, meskipun secara struktur; film berusaha memakai narasi yang maju-mundur supaya strukturnya bener. Mereka menggunakan cara ini sebagai alternatif penceritaan biasa yang membosankan. Namun sebenarnya akar masalah Birds of Prey ini sama dengan permasalahan film-film superhero DC; terlalu rame oleh karakter. Bahkan untuk film yang seharusnya adalah solo, film ini masih merasa perlu untuk menggabungkannya dengan grup lain. Basically ini adalah dua film yang digabung jadi satu; Harley Quinn dan Birds of Prey, dengan perspektif Harley Quinn dan tema feminis sebagai pengikat. Konsep yang berani, hanya saja pada film ini DC masih dalam tahap mencari cara mengintroduce segitu banyak sekaligus. Birds of Prey lebih solid dan berhasil melandaskan karakter-karakter dibandingkan Suicide Squad atau Justice League, tapi memang masih belum sempurna. Tokoh-tokoh selain Harley masih terasa lebih seperti gimmick ketimbang tokoh franchise. Antagonis di film ini, si Black Mask, juga masih satu-dimensi – karakternya jahat karena dia bos geng yang pengen memonopoli dunia kejahatan dengan uang.
 
 
 
Film ini seperti Harley Quinn itu sendiri. Unik, cerewet, tak tertebak. Gokil. Adegan aksinya juga seru, violencenya menyenangkan. Musik dan set piece di battle akhir itu keren dan asik punya. Darah dan tulang patah bergabung dengan warna-warna ngejreng, ini mungkin sekalian menunjukkan tone cerita film. Dengan berani tidak menampilkan sosok Joker sama sekali, maka film ini benar telah mengemansipasi Harley Quinn yang originally hanya sebagai sidekick/pasangannya. Kini kita bisa menyebut nama Harley Quinn dan hanya membayangkan aksi-aksinya tanpa bayang-bayang sang mantan. Karakter dan tema feminis dalam cerita enggak hadir menyebalkan dan seperti dijejalkan, melainkan berjalan dengan cukup berbobot. Hanya saja film ini punya banyak untuk diestablish. Alih-alih memberi ruang untuk pengembangan, film memilih bercerita cepat dan resiko bolak-balik untuk mengakomodir banyaknya elemen dalam cerita. Kisah emansipasi di dunia jahat ini pack quite a punch, dan kupikir hal terbaik dari film ini bagi cowok-cowok adalah gak bakal terlalu kesusahan lagi ngajak pacar nonton film dari buku komik, bahkan mungkin kalian yang diajak duluan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for BIRDS OF PREY: AND THE FANTABULOUS EMANCIPATION OF ONE HARLEY QUINN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Pelajaran apa yang kalian ambil dari putusnya Harley Quinn dengan Joker? Apa hal tergokil yang pernah kalian lakukan demi lepas dari bayang-bayang mantan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

JOKER Review

“Smile even when it hurts”
 

 
Cerita origin Batman sudah kita dengar lebih sering dari yang kita pedulikan. Tapi cerita musuh abadinya, si Joker; well, beberapa orang – termasuk aku tadinya – lebih memilih untuk membiarkan asal-usul Joker tetap misterius. Sepertinya memang lebih ‘menantang’ jika latar tokoh yang kompleks ini dibiarkan terselubung kabut. Plus, rasanya lebih aman dibiarkan begitu ketimbang tokoh ini ‘dirusak’ oleh backstory maksa yang mengakibatkan dirinya menjadi overdramatis – atau malah membuat kita merasa pantas untuk membenarkan segala tindakannya. Karena Joker memang orang ‘gila’. Dia ‘sakit’. Dan beruntung sekali, Todd Phillips ternyata mengerti letak menariknya Joker. Dia membuat kita bersimpati kepada Joker, secukupnya saja, karen kita tahu Joker ‘masih’ jahat. Memang, Phillips justru menantang kita dengan berbagai pertanyaan lewat film yang diniatkan sebagai character-studi – Joker dibuatnya bukan lagi sekadar tokoh penjahat di buku komik. Joker dan Gotham tidak terasa begitu jauh; boleh jadi di dunia kita bakal muncul yang seperti Joker dalam waktu dekat.
Joker tadinya adalah seorang pria bernama Arthur Fleck; yang merasa dilecehkan oleh orang-orang karena dia miskin dan bekerja sebagai badut. Menghibur orang walaupun orang tak pernah peduli sama keadaan hatinya. Di rumah, dia menghibur dan merawat ibunya yang sakit keras – bahkan ibunya tersebut lebih perhatian sama surat-surat yang tak kunjung dibalas oleh calon walikota Gotham. Yang dilakukan Arthur di luar shift kerjanya gak jauh-jauh dari kerjaan badut, yakni memasang senyum palsu. Di dunia yang semakin keras dan beringas, Arthur berusaha untuk tidak melahirkan kekerasan dari kekerasan. Dia tetap tertawa, berusaha membuat orang tertawa, meskipun tidak lucu. Oh, Arthur yang menahan sisi gelap tidak pernah lucu. Ketika diundang jadi bintang tamu acara televisi, Arthur tahu penonton dan orang-orang kaya itu tidak tertawa bersamanya. Mereka menertawakan dirinya.

tikus super yang susah untuk dibunuh

 
Tokoh Joker sendiri memiliki banyak variasi. Semenjak kemunculan perdana di layar lebar, Joker muncul di berbagai film dan serial televisi Batman, dimainkan oleh aktor-aktor yang sebagian besarnya adalah aktor top Hollywood. Masing-masing mereka punya pendekatan yang berbeda dalam memerankan Joker. Sebegitu kompleksnya tokoh ini. Yang paling ramai dibicarakan tentu saja versi Heath Ledger yang berhasil menghantarkan sang aktor kepada Oscar. Hanya satu kesamaan di antara semuanya; Joker itu edan. Dan yang dilakukan oleh Joaquin Phoenix pada Joker kali ini; benar-benar pendekatan yang unik. Inilah yang paling aku suka dari film ini. Jokernya menyayat hati sekaligus mengerikan. Dalam film Joker ini, si Arthur punya kondisi medis yang membuatnya tertawa tak-terkontrol ketika sedang mengalami gejolak emosional. Arthur akan mendadak tertawa, misalnya saat mendapat penolakan dari orang, yang membuat orang semakin menganggap dirinya aneh.  Ini sejalan dengan gagasan utama yang diangkat film yakni orang yang tersenyum terlalu keras sehingga sakit. Meskipun sakit. Dan kita benar-benar melihat sesakit apa tawa itu bagi Arthur. Secara fisik maupun emosional. And it’s up to Phoenix memainkannya dengan begitu meyakinkan. Dia tertawa sambil memegang tenggorokan. Dia seperti tertawa dan batuk bersamaan. Namun tawa sedihnya itu masih tergolong normal. Coba deh dengerin ketika dia beneran tertawa karena hatinya girang. Dijamin bikin gak enak alias merinding. Setiap kali Arthur tersenyum, aku merasakan ada sesuatu yang berbahaya.
Jadi, iya, pujian-pujian yang kita baca di internet seputar penampilan Phoenix dalam film Joker; itu semuanya benar. Akan enggak lucu jika Phoenix enggak masuk nominasi Oscar – heck, dia mungkin bakal menangin Oscar. Jika itu terjadi, itu bakal jadi kali pertama peran adaptasi komik mendapat perhargaan sebagai tokoh utama.  Joker versi Phoenix seperti menari di garis simpati dan mengerikan. Ini sesungguhnya sangat susah untuk dilakukan. Karena jika kita lihat pada naskah, Arthur memang seperti sosok yang pantas untuk kita pedulikan. Untuk kita dukung. Arthur kehilangan semua yang ia cintai, dia ditertawakan, tidak dipedulikan, dia dilepehin oleh orang-orang yang ia bayangkan akan mendukung dan peduli padanya. Tapi kita enggak boleh ‘jatuh hati’ pada Joker. Penampilan Phoenix-lah yang menjaga kita dari itu. Ada kegelapan di balik tingkah badutnya. Setiap kali dia muncul di layar – dan untungnya ini sering sekali – seisi studio bioskop serasa dialiri energi negatif yang ganas. Misalnya pada saat dia dipanggil menjadi bintang tamu televisi, kita sudah tahu dia akan diledek habis-habisan di depan jutaan pemirsa, sekaligus kita juga merasa ngeri sesuatu yang sadis bakal terjadi di sana. Gestur, kata-kata, dan gerak gerik Phoenix menghidupkan Joker yang memberi tahu kita semua itu.

Joker tidak lagi menganggap hidupnya sebagai tragedi. Melainkan sebagai komedi. Tariannya bukan berarti dia berusaha melucu, melainkan sebagai simbol dia menerima kegilaan dan bercanda dengannya. Sebuah mekanisme pertahanan yang tanpa sadar kita ikuti ketika kita melihat ketidakadilan orang-atas di dunia nyata, dan kita berkata “alangkah lucunya negeri ini”

 
Tantangan terbesar film ini memang terletak di tokoh Joker itu sendiri. Bagaimana membuat dia tak justru tampak sebagai pahlawan. Karena aku bisa melihat film ini bakal dihajar gelombang kontroversi. I mean, It Chapter Two (2019) aja kemaren sempat diprotes oleh serikat badut beneran karena membuat imaji yang buruk terhadap profesi tersebut. Bayangkan apa yang bakal mereka katakan ketika melihat badut di sini dijadikan semacam simbol anarki. Arthur menjadi ‘juru selamat’ bagi kaum tertindas yang dianggap sampah oleh pejabat dan konglomerat di kota Gotham. Mereka memakai slogan “kita semua badut” dan mulai melakukan pengrusakan, penjarahan, pembakaran dan segala kriminalitas di akhir cerita. Aku bisa melihat orang-orang bakal memprotes ini, karena memang secara alami ini adalah seorang penjahat yang dijadikan tokoh utama. Namun menurutku film bekerja sangat baik dalam membuat semua hal tersebut tak tersampaikan sebagai sebuah glorifikasi. Joker ‘hanya menampilkan’ seseorang seperti Arthur bisa tercipta – dia hanya beringas ketiak pengobatan dihentikan; ini adalah metafora soal kepedulian sosial. Pemberontakan seperti pada film ini bisa beneran terjadi jika situasi dipertahankan berjalan ke arah sana.
Film seperti ingin menyentil; jika film ini terasa relatable, maka dunia memang sedang kacau. Jika kita nge-cheer Arthur dan persona Jokernya, maka dunia memang butuh sosok seorang pahlawan. Di sinilah letak mengerikannya film ini. Anarki dianggap sebagai jawaban. Sebagai keteraturan di dalam sebuah kekacauan. Tidak ada superhero yang datang dan mengatakan kepada kita bahwa Joker itu salah. Ini relevan sekali dengan keadaan Indonesia baru-baru ini. Bentrok antara pelajar dengan aparat kepolisian.

Apakah ada pahlawan di sana? You be the judge.

 
Ketimbang adaptasi, film ini lebih tepat disebut terinspirasi dari buku komik. Karena sama seperti Gundala (2019) bulan lalu, Joker terasa terlalu kelam untuk sebuah sajian tokoh di komik superhero. Film ini terasa lebih sejajar dengan film-film kriminal seperti The House that Jack Built (2018) ataupun Dragged Across Concrete (2019) yang membuat kita mendalami pemikiran seorang pembunuh ataupun kriminal. Yang diceritakan perlahan sehingga membuat kita mengerti alasan mereka memilih jalan kriminal. Sudah cukup sering kita melihat cerita seseorang yang menjadi lebih buruk daripada dirinya sebelumnya. Di titik ini, Joker tetap masih terasa mencuat berkat penampilan akting yang disuguhkan. Juga didukung oleh sinematografi yang terlihat detail dan cantik oleh pemilihan warna
Dalam pengadeganan, Joker mulai berkutat untuk tak tampak tampil seperti film yang belum-pernah-dilihat. Lalu kemudian berhenti sepenuhnya dalam melakukan hal tersebut. Joker lebih memilih untuk memasukkan banyak referensi  dan terinspirasi dari film Taxi Driver (1976). Aku bukannya mau bilang film ini nyontek, tapi memang terlihat jelas mereka tidak menyembunyikan kenyataan bahwa beberapa gerakan dan pilihan shot yang diambil membuat kita teringat pada Taxi Driver. Film itu juga diserang kotroversi, tokohnya juga tampak ‘edan’ seperti Joker. Seringnya shot-shot yang mirip itu muncul menjadikan referensi-referensi tersebut tidak ‘lucu’ lagi. Dan sebaiknya mereka tidak membuatnya terlalu gamblang seperti demikian.
 
Itulah yang menahanku dari memberikan bintang delapan kepada film ini. Meskipun begitu, ini tetaplah sebuah character studi yang menarik untuk ditonton. Karena menantang kita dengan banyak pertanyaan. Lagipula, yang belum nonton Taxi Driver enggak akan ngeh dan tidak akan mempermasalahkan kesamaan tersebut. Atau mungkin enggak akan sempat untuk membahas hal tersebut lantaran film terasa sangat ganas sedari awal. Dan tidak sekalpun kita merasa ingin menoleh dari layar. Menurutku, sejauh ini, film ini adalah pencapaian tertinggi yang bisa dicapai oleh drama-drama manusia yang terinspirasi dari kisah komik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JOKER.

 
 

DARK PHOENIX Review

“The kids who need the most love will ask for it in the most unloving of ways.”

 

 

Dengan segala kesemrawutan X-Men Cinematic Universe, paling tidak ada dua hal yang kita ketahui tetap kontinu. Pertama; Jean Grey tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Dan kedua; masalah tersebut dapat membuat cewek ini menjadi jahat.

Hidup selama lebih dari sembilan-belas tahun, sebelas film X-Men dibuat secara estafet dari pembuat satu ke pembuat lain. Sayangnya, film-film ini tampaknya hanya dibangun oleh harapan masing-masing pembuat tersebut untuk menghapus ‘jejak’ yang terdahulu. Karena, apparently, membuang sesuatu toh memang lebih gampang daripada mengikatnya ke sesuatu yang baru. Makanya, cerita X-Men kemudian begitu bernapsu untuk membahas ‘kembali ke masa lalu’; mereka ingin me-reboot secara halus. Hasilnya tentu saja kita yang bingung dengan segala ketidakkonsistenan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak-terjawab oleh logika. Dark Phoenix actually mengeksplorasi ulang cerita Jean Grey yang sudah pernah diceritakan pada X-Men: The Last Stand (2006). Jean Grey punya kekuatan begitu besar, namun dia sendiri begitu insecure dengan kemampuan dan statusnya sebagai mutant, sehingga kombinasi dua hal tersebut menjadi luar biasa berbahaya. Mengancam keutuhan dunia beneran. Serta keutuhan dunia impian Profesor X, di mana manusia dan mutant hidup saling bekerja sama. Visi sutradara Simon Kinberg dalam debut film panjangnya ini adalah menjadikan Dark Phoenix sebagai penutup franchise yang benar-benar intriguing dan kelam.

Sayangnya, perwujudan dari visi tersebut sungguh datar dan tidak benar-benar menarik karena Dark Phoenix ternyata enggak jauh lebih dalem dari Last Stand dalam mengeksplorasi cerita ini. Narasi yang diucapkan oleh Jean Grey tentang evolusi yang membungkus cerita ini terdengar out-of-place dan gak benar-benar nyambung sama tema dan apa yang menjadi journey dari Grey. Seharusnya film ini mengangkat pertanyaan lebih kompleks dari keadaan Jean Grey. Apakah dia bisa tetap bersama dengan orang-orang yang ia cintai dengan kekuatan yang ia miliki jika ia memilih untuk menerima kekuatan tersebut. Film seharusnya menekankan kepada keadaan jiwa Grey sendiri yang bertanya kepada dirinya apakah dia masih bisa menganggap rekan-rekan sebagai keluarga setelah semua kenyataan yang ia ketahui. Opening film ini tampak seperti sudah akan mengambil jalan yang benar. Film membahas soal baik dan jahat sebenarnya cuma masalah pilihan, bukan masalah kemampuan yang kau punya. Kita bisa saja hanya punya pulpen, dan tetap melakukan hal keji seperti membunuh orang dengan pulpen tersebut jika kita memilih begitu. Yang film ini tawarkan kepada kita adalah tokoh utama yang harus memilih untuk berbuat baik atau berbuat jahat dengan ‘hadiah’ yang ia terima – ini ultimate choice banget, pilihan yang harus dibuat oleh Jean Grey personal dan dalem sekali. Tapi film memilih untuk lebih mengedepankan serangan alien. Tidak benar-benar banyak melakukan sesuatu yang baru dan berbobot dari kondisi psikologi Grey. Kita hanya melihat dia menangis meringkuk berhujan-hujan, kemudian curhat ke berbagai orang, dan meledak marah, menyebabkan kemalangan secara tak-sengaja, dan membuat marah lebih banyak orang – same old basic stuff.

Menonton ini aku memutuskan untuk tidak memikirkan kontinuitas, karena sesungguhnya justru kontinuitas itu yang paling mengancam dunia film ini – ketimbang alien, ataupun kekuatan Jean Grey. Aku bermaksud menikmati film ini sebagai cerita solo. Dan bahkan melihatnya seperti demikian pun, film ini lemah karena dangkalnya pengeksplorasian tersebut.

franchise X-Men tidak peduli soal kesinambungan, and so should you.

 

Momen-momen bersinar datang dari sekuen-sekuen aksi. Favoritku adalah bagian di awal ketika para anggota X-Men menggunakan masing-masing kemampuan mereka untuk bekerja sama menolong pesawat ulang-alik di luar angkasa. Mungkin film menyadari bahwa appeal X-Men terletak pada kemampuan khusus yang berbeda-beda pada setiap mutant. Sehingga film tidak benar-benar menjadikan sisi drama psikologis sebagai fokus utama. Mereka ingin mengakhiri semua ini dengan ledakan dan pertempuran di sana sini. Adegan pertarungan terakhir di kereta api yang seru itu kelihatan banget ditambah/direshoot – Grey dan tokohnya Chastain melakukan interaksi yang merupakan pengulangan dari adegan sebelumnya – karena film merasa masih kurang seru.

Dilihat dari jajaran penampil akting, film ini solid. Aku gak bisa bilang metode yang dilakukan James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence, dan banyak nama beken lain pendukung film ini, untuk menghidupkan peran mereka jelek. Hanya saja naskah tidak banyak memberikan ruang gerak. Dialog mereka terlalu gamblang. Jessica Chastain memberikan kemampuan terprofesionalnya menghidupkan karakter alien kayu yang ingin memanfaatkan kekuatan Jean Grey, tapi tokoh ini begitu standar sehingga kita tidak punya niat untuk peduli lebih jauh terhadap dirinya.

Sophie Turner sebagai Jean Grey juga sebenarnya enggak jelek. Dia menunjukkan kemampuan berpindah rentang emosi yang cukup jauh dengan begitu singkat. Film menuntutnya sering melakukan hal tersebut, dan Turner beneran terlihat menyeramkan dengan CGI yang membuat uratnya tampak seperti kabel-kabel merah yang siap meledak. Akan tetapi naskahlah membuatnya tampak lebih seperti robot korslet ketimbang manusia yang sedang berkecamuk ya pikiran, ya kekuatannya. Jean Grey yang menyeberang ke sisi jahat harusnya adalah soal emosi yang powerful, yang relatable, kegalauan paripurna tentang keberadaaan dan fungsi diri sendiri. Dark Phoenix berkelit dari membahas itu. Instead, kejadian yang kita lihat bentuknya selalu Jean Grey memilih tindakan dan orang yang berinteraksi dengannya mengambil reaksi terhadap aksinya. Film kemudian fokus pada reaksi orang tersebut. Kejadian dalam film ini kumpulan dari aksi-reaksi tersebut. Kita hanya melihat sedikit pembahasan dari Jean Grey dan fokus ke dampaknya terhadap tokoh lain. Kita tidak melihat Grey memikirkan kembali apa yang baru saja ia lakukan. Tokoh lainlah yang harus mengusahakan penyelesaian, yang memberikan jawaban kepada Grey.

dark twist dari kata-kata motivasi “kau dapat melakukan apapun yang kau pikirkan”

 

Mungkin Jean Grey tepatnya bukan seperti robot ataupun bom waktu. Melainkan lebih seperti anak kecil. Bocah insecure yang memancing perhatian dengan berbuat nakal. Dalam adegan pembuka di mobil bersama kedua orangtuanya, kita melihat ibu dan ayah Grey agak ‘pelit’ menunjukkan kasih sayang kepadanya. Setelah dewasa pun, kenyataan menghantam dan kita tahu apa yang menimpa Grey jelas bukan termasuk ke dalam kategori ‘cinta kasih orangtua’. Jean Grey tampak seperti seorang anak yang kebanyakan dilarang dan diberikan aturan. Jadi dia berteriak, merengek. Ngamuk. Dia pengen dimengerti tapi gak tau bagaimana mempersembahkan dirinya. Tergantung kepada orang tua atau orang dewasalah memikirkan cara yang terbaik untuk mengajak anak seperti ini berbicara; untuk membujuknya. Makanya film ini segimanapun serunya adegan berantem (cuma film ini yang bisa membuat menyeberang jalan sebagai panggung tawuran mutant), penyelesaian masalahnya selalu adalah mengajak Jean bicara baek-baek. Makanya arc yang paling digali secara emosional justru adalah milik Profesor X.

Karena di balik semua itu, film ini bisa kita anggap sebagai tutorial mendiamkan anak kecil yang mengamuk. Ketika kita menginginkan semua aman untuk anak kita – dalam kasus Prof. X; dia mau dunia jadi lebih baik untuk mutant generasi muda – kadang kita melupakan si anak itu sendiri. Ada banyak cara untuk gagal sebagai orangtua, dan orang-orang di sekitar Jean Grey melambangkan beberapa. Pelajaran pertamanya; jangan berbohong kepada mereka

 

Kita lebih konek secara emosi kepada Prof. X, Mystique, dan bahkan Magneto dibandingkan kepada Jean Grey. Kita mencoba untuk menolerir keputusan dan langkah-langkah yang mereka ambil. Sedangkan bagi si tokoh utama sendiri, kita tidak merasakan apa-apa – selain mungkin sedikit geram. Kita tidak mendukung aksinya. Kita tidak merasa kasihan kepadanya. Kita tidak peduli di akhir cerita itu dia berevolusi menjadi apa. Seperti halnya dengan rengekan anak kecil, kita hanya ingin masalah Grey cepat terselesaikan dengan mengharap para tokoh lain segera ‘menekan tombol yang benar’. Demikian hampanya pengembangan tokoh utama kita.

 

 

 

Tidak seemosional yang seharusnya bisa mereka capai. Tidak se-dark yang judulnya cantumkan. Tidak sebegitu banyak berbeda dengan cerita yang pernah mereka sampaikan sebelumnya. Film terakhir dari franchise yang sudah berjalan nyaris dua-puluh tahun ini membuat kita terbakar oleh api kekecewaan. Karena biasa aja, gak kerasa kayak final. Penghiburan berupa jajaran cast dan adegan-adegan aksi boleh jadi membuat kita menyukai film ini, namun secara penceritaan terasa hampa. Pesan dan narasinya terasa dipaksakan. Sungguh pilihan yang aneh yang diambil oleh Kinberg untuk menutup franchise ini. Atau mungkin semua ini adalah siasat, “Kill it with fire!”, supaya para penonton menjadi apatis dan secepatnya melupakan universe ini pernah ada sehingga reboot X-Men yang baru, dari Disney, bisa lantas dibuat.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DARK PHOENIX.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian setuju dengan ‘parenting’ ala Profesor X? Menurut kalian apa maksud X dari X-Men? Menurut kalian apakah X-Men perlu untuk dibuat ulang? Bagaimana kalian akan menyelamatkan X-Men kali ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

CAPTAIN MARVEL Review

“Emotions are what make us human.”

 

 

Berbeda dengan cerita-cerita origin superhero yang biasa, Captain Marvel tidak bercerita tentang gimana Vers mendapatkan kekuatan supernya. Kita melihat Vers sudah jago berkelahi, dia bisa mengeluarkan gelombang photon dari tangannya, namun dia diminta untuk mengendalikan kekuatan tersebut. Alih-alih kekuatan, perjalanan Vers berfokus kepada perjalanan menemukan siapa dirinya yang literally berdarah biru tapi bukan bangsawan, dan untuk melakukan hal tersebut, jagoan cewek ini tampaknya harus menggeliat melawan sistem yang memintanya untuk menahan diri.

Vers adalah bagian dari pasukan bangsa Kree, yang sedang dalam peperangan melawan bangsa Skrull, bangsa ‘kadal’ penipu yang bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka lihat. Atau begitulah yang diajarkan oleh komandan kepada Vers. Vers diminta untuk tidak membawa perasaan ke dalam peperangan mereka. Karena emosi membuat seorang pejuang lemah. Vers, sebagai seorang wanita, tentu saja punya dorongan emosional yang kuat. But also, Vers juga bukan manusia yang lemah-pikir. Dia punya rasa penasaran dan ‘attitude’. Apalagi ketika dia menemukan kepingan-kepingan adegan di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan tersebut mengusik Vers yang enggak ingat siapa dirinya sebenarnya. Mengganggu pikirannya dengan luapan emosi yang tak terjelaskan. Vers mengejar sumber kenangan tersebut, yang bisa jadi merupakan petunjuk tentang siapa jati dirinya, siapa musuhnya sebenarnya, dan seberapa kuat dirinya sesungguhnya. Bagian-bagian awal di mana Vers berlatih bertarung dengan sang komandan, dan Vers secara sengaja ‘menyelipkan’ emosinya dan buff! there goes down her superior – buatku ini keren dan menunjukkan sisi menarik dari tokoh yang acap disebut sebagai superhero terkuat semesta Marvel – dan juga kilasan ingatan yang muncul ketika Vers ngobrol dengan pemimpin bangsa Kree, sesungguhnya merupakan komentar tersembunyi yang dimasukkan oleh film.

Tentang bagaimana perjuangan seorang wanita dalam dunia yang seringkali didominasi oleh pria, bagaimana cewek diremehkan lantaran mereka kebanyakan pake emosi dibandingkan otak. But hey, coba tebak; justru emosilah yang membuat seorang manusia, manusia. Tahukah kalian bahwa emotion adalah singkatan dari energy in motion? Kita tidak bisa berfungsi dengan benar hanya mengandalkan satu, tak peduli kita cowok dan cewek. Inilah yang dipelajari Vers ketika dia terdampar di planet C-53 (alias Bumi); Vers melihat – dan terselamatkan – berkat Nick Fury, Agen Coulson, yang menggunakan emosi mereka.

 

lagi mikir “harusnya aku mampir ke 90an Indonesia aja ya, biar digodain dan bisa ngembat motor plus jaketnya Dilan”

 

Tetap dengan candaan dan one-liner khas film-film superhero Marvel, film inipun mampu membuat kita tersenyum-senyum simpul mengikuti jalan ceritanya. Paling ngakak tentu saja adalah interaksi antara Vers dengan Nick Fury yang masih muda. Film ini boleh saja mengambil tempat di tahun 90an, namun – oh boy – kita hidup di jaman modern, jaman di mana teknologi komputer sudah begitu luar biasa sehingga seperti tak ada bedanya melihat Samuel L. Jackson di film ini dengan melihatnya di film Pulp Fiction (1994). Ini bukan kali pertama Marvel menggunakan CGI untuk memudakan seorang tokoh, tapi yang sudah-sudah, kita hanya melihat ini dalam adegan flashback. Not in the entire movie. Dan kupikir, seperti beginilah contoh pemanfaatan CGI yang baik dan benar. Membuat kita lupa bahwa itu adalah aktor yang sama dengan yang jadi penjahat tua di Glass yang tayang beberapa bulan yang lalu. Penampilan visual yang begitu menyatu dengan bangunan dunia, dan tentu saja ilusi tersebut tak-kan terjual jika tidak dibarengi dengan penampilan akting. Jackson memberikan nyawa tersendiri sebagai Nick Fury muda yang baru saja melihat berbagai macam alien nongol di depan matanya. Seperti yang kutulis tadi, chemistry Brie Larson dengan Jackson sangat kuat, tokohnya Larson – si Vers – juga berakar pada elemen cerita fish-out-of-water ketika dia sampai di Bumi dan melakukan berbagai hal yang dianggap luar biasa oleh penduduk lokal seperti Jackson. Kita melihat komedi ala buddy-cop terpancar dari interaksi mereka berdua; mereka beragumen dengan kocak, dan pinter – leluconnya enggak receh – sungguh terhibur aku melihat mereka berdua.

Kalo dia beneran superhero, kekuatan super Larson agaknya adalah kekuatan ekspresi. Kita bisa melihat dia berjuang untuk menghidupkan tokoh Vers ini. Mimik dan gestur-gestur kecil yang diberikan oleh Larson, seperti ketika dia berteriak “yess!” sambil tersenyum saat gips metal yang membelenggu kedua tangannya akhirnya lepas, benar-benar menambah hidup karakter yang ia mainkan. Sekuen Vers berantem dengan gips metal ini merupakan porsi aksi favoritku, karena memang terasa fresh dan actually adalah momen langka film memberikan kevulnerablean kepada tokoh kita tersebut. Sungguh menghibur melihat Vers berusaha melepaskan metal tersebut dari tangannya dengan membenturkannya ke dinding pesawat, namun gagal. Dia lalu memukulkannya kepada musuh sekuat tenaga, dan metal tersebut masih belum hancur juga, effort dan tantangannya terasa sangat natural. Aku berharap sekuen seperti ini terus hadir, film terus berusaha mencari cara untuk membuat susah superhero yang kekuatannya dahsyat ini, namun sayangnya arahan sutradara dalam mengembangkan cerita sungguh tidak berimbang.

Istilah terburuknya, datar. Hampa. Larson tampak sudah berdedikasi tinggi memainkan tokohnya, hanya saja cerita seperti tidak pasti mau dibawa ke mana. Setelah kita diajak bernostalgia 90an dengan tempat rental video, kita ketawa dengan komedi Vers dengan Fury, cerita berubah menjadi tentang dua sahabat cewek yang sudah lama terpisah; elemen fish-out-of-waternya menguap begitu saja. Vers menjadi tidak lebih dari karakter yang kaku. Penggemar WWE yang menonton film ini pasti menangkap kemiripan antara Vers dengan Ronda Rousey yang hanya seperti disuruh berdiri menunjukkan tampang antara bingung dan marah. Sesungguhnya sebuah kesempatan yang besar untuk mengambil resiko saat kita punya cerita dengan elemen tokoh yang punya masa lalu yang tak mampu ia ingat, dan mereka berusaha menyusun kembali kepingan ingatan tersebut. Lihat apa yang dilakukan Memento (2000). Terlalu jauh? Well, lihat Alita: Battle Angel (2019). Kita belajar bersama tokoh Alita melalu aksi yang ia lakukan, melalui muscle-memory; somehow tubuhnya bisa bereaksi melawan android jahat dan dari aksi tersebut kita paham Alita dulunya seperti apa. Pada film Captain Marvel, masa lalu Vers dibeberkan lewat flashback, lewat dialog, lewat potongan adegan. I mean, enggak gaya amat. Alih-alih membiarkan tokohnya berkembang menjadi disukai dan sejajar dengan penonton, film ini membangun Vers sebagai sosok yang nun-jauh di atas yang lain dan harus didukung karena, lihat guys, dia baik-pinter-cakep-dan-kuat. Aku tidak menemukan alasan kenapa mereka tidak bisa membuat pendekatan dan bangunan cerita dan tokoh menjadi lebih menantang serta accessible. Seperti elemen makhluk pengubah-wujud yang ada dalam film ini; arahan tokoh ini juga hambar, mereka seharusnya bisa dibuat lebih menarik dengan segala misteri dan kebingungan dan muslihat, tapi aku bisa memaklumi kurang penggaliannya karena kita sudah melihat hal yang serupa pada Loki dalam dunia Thor.

sehubungan dengan itu, mungkin aku harus segera mengecek kucingku alien atau bukan

 

 

Marvel Cinematic Universe sudah sering mengambil penulis dan sutradara dari film indie dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan sinarnya. Lucunya, Anna Boden dan Ryan Fleck yang dipilih untuk menangani film ini lebih kayak tamu yang masih malu-malu padahal udah dipersilahkan masuk dan makan-minum apapun, ngapain aja sama yang punya rumah. Mereka seperti terpaku pada gaya Marvel. Sehingga gaya mereka sendiri enggak keluar sama sekali. Tengok betapa vibrant dan penuh warnanya Thor: Ragnarok (2017) di tangan Taika Waititi. Atau kerja James Gunn memvisualkan dua film Guardians of the Galaxy. Mereka membuat apa yang sudah punya gaya, menjadi lebih bergaya lagi. Captain Marvel mendapat perlakuan dan arahan yang begitu standar sehingga pada beberapa titik filmnya nyaris terasa seperti berubah wujud menjadi film-film yang pernah kutonton. Adegan memori Vers diacak-acak mengingatkanku pada adegan Harry Potter yang dibaca pikirannya oleh Snape. Adegan kejar-kejaran pesawatnya hampir membuatku merasa lagi nonton Star Wars. Dan adegan berantemnya, well, selain adegan berantem dengan tangan bermetal yang kusebut tadi, Captain Marvel tidak menyuguhkan sesuatu yang membekas di ingatan. Bahkan terkadang perlakuan adegan kelahinya, koreografinya, sukar untuk diikuti.

 

 

 

Film superhero Marvel paling malu-malu kucing yang pernah ada. Untungnya gak sampai malu-maluin, sih. Cuma datar saja. Seperti Vers, film ini butuh untuk menjadi lebih bebas lagi. Karena dia punya potensi, seperti yang terlihat menjelang pertengahan dan menjelang penghabisan. Ceritanya sebenarnya juga enggak datar-datar amat, ada beberapa agenda yang berusaha diselipkan, karena begitulah lumrahnya film superhero masa kini; selalu ada sisipan agenda yang mengomentari keadaan sosial kita dan semacamnya. Film ini masih bisa menghibur penonton; baik itu penonton biasa, penonton anak-anak, maupun penonton nerd kayak aku. Jarang-jarang ada cerita pahlawan super yang tokoh utamanya cewek, kan. Hanya saja memang inner beauty yang dipunya kurang tergali, lantaran pembuat film ini tidak berani mengeluarkan suaranya sendiri. Cuma seperti mereka ditugaskan membuat film untuk memperkenalkan siapa Captain Marvel untuk episode terakhir Avengers, dan mereka melakukannya. Hanya itu. Dan kita bisa sesegera mungkin move on nungguin tanggal tayang film berikutnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for CAPTAIN MARVEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih emosi dilibatkan dalam tindakan atau pekerjaan kita? Apakah memang ada pekerjaan yang sama sekali enggak perlu melibatkan emosi? Apakah ada logika dalam menggunakan perasaan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.