“The battle line between good and evil runs through the heart of every man.”
Kancah superhero dikuasai oleh pasukan-pasukan super dari dunia Marvel dan DC. Adik-adik kita lebih familiar sama Batman, Superman, Iron Man, Spider-Man, Captain America berkat gencarnya invasi komik-komik tersebut ke berbagai media pop-culture, salah satunya tentu saja sinema. Padahal Indonesia, yang punya beragam budaya, tentu berarti juga punya segudang materi cerita super yang gak kalah imajinatif. Cuma memang belum tergali aja. Salah satunya adalah kisah pewayangan. Epos hasil asimilasi budaya Jawa dan India itu tentulah sangat cocok untuk dijadikan cerita superhero. Kita gak usah capek-capek membayangkan, karena sekarang memang beneran sudah ada yang mengangkat itu menjadi franchise superhero. Mulai dari komik, mereka siap merambah ke sinematik universe ala superhero barat. Dan kini film pertama dari Satria Dewa Studio sudah resmi tayang. Sutradaranya gak tanggung-tanggung, Hanung Bramantyo! Mengadaptasi kisah Gatotkaca ke dalam setting yang lebih modern. Aku punya harapan besar sama film ini, terlebih karena sebelumnya sudah ada superhero lokal yang diangkat sebagai sinematik universe studio lain. Menurutku film Gundala (2019) itu terlalu gelap dan ambisius. Aku mengharapkan Gatotkaca ini bisa hadir dengan lebih grounded, lebih fokus ke cerita kepahlawanan, yang secara umum lebih bisa diterima. Kalo Gundala dari BumiLangit diibaratkan versi DC dari superhero Indonesia, maka kompetisi ini barulah lengkap jika Satria Dewa dengan Gatotkacanya menjadi padanan Marvel bagi superhero Indonesia. Turns out, kedua jagat superhero lokal ini adalah DC. And not even the good version of DC!
First of all, SU yang jadi kategori umur film Gatotkaca ini gak benar-benar cocok karena di sepuluh menit pertama kita melihat anak kecil dibacok dan dilempar hingga tewas. Adegannya basically terjadi on-screen jika bukan karena warna yang gelap dan editing yang buruk, Dari menit-menit pembuka yang crucial bagi sebuah film itu, Satria Dewa: Gatotkaca melandaskan dirinya sebagai cerita yang kelam, dengan pembahasan yang tak kalah kompleks dan dewasa. Kesan pertamaku saat menyaksikan film ini adalah bahwa dirinya terasa seperti tidak dibuat dengan niat menjadi SU, tapi baru kemudian film utuhnya disesuaikan supaya bisa tayang untuk kategori Semua Umur. Dan buatku, ini jadi sinyal S.O.S pertama. Bahwa film ini mungkin punya masalah’ tidak benar-benar punya power untuk berdiri sesuai dirinya sendiri.
Origin Gatotkaca diceritakan sebagai kisah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya. Yuda (Rizky Nazar sebenarnya tampak fresh dan sangat cocok untuk dijadikan idola baru anak-anak) dan ibunya sedari kecil buron, untuk alasan yang Yuda belum tahu sepenuhnya. Yang ia tahu adalah mereka berpindah-pindah (sempat tinggal di hutan), dan kini ibunya mulai kehilangan ingatan akibat dari kehidupan yang chaos dikejar-kejar oleh kelompok orang yang gak ia tahu siapa. Bukan hanya hidup Yuda, tapi film memberikan dunia yang benar-benar di ambang kerusuhan sebagai panggung cerita. Pandemi, serta kematian orang-orang pintar nan berprestasi nyaris setiap hari. Sahabat Yuda jadi korban terkini. Dibunuh saat acara wisuda di kampusnya. Saat mengusut jejak yang ditinggalkan oleh sahabatnya itulah Yuda bertemu beberapa teman yang membuatnya jadi mengetahui benang merah dari semua kejadian. Bahwa beberapa manusia punya gen Pandawa dan Kurawa. Bahwa gen-gen tersebut melahirkan kekuatan super, dan peperangan Kurawa dan Pandawa sudang di ambang mata. Dan bahwa dirinya ternyata memegang kunci rahasia kekuatan pusaka yang diburu oleh Kurawa. Yuda ‘cuma’ harus belajar menggunakan kekuatan dan menguak misteri sang ayah.
Aspek yang menonjol dari Gatotkaca adalah word-buildingnya. Cerita mengeksplorasi sehingga threat yang merundung Yuda bisa benar-benar terasa personal, sekaligus juga terasa sebagai permasalahan global yang mengancam dunia. Berita orang-orang jadi korban senantiasa menjadi latar, membuat Yuda yang harus terus bergerak merasakan bahaya di mana-mana. Downside dari cerita dengan dunia-khusus dan karakter utama yang sama gak taunya dengan kita tentu adalah soal eksposisi. Film butuh banyak adegan eksposisi, karena ada banyak yang harus dijelaskan. Apa itu Pandawa. Apa itu Kurawa. Apa yang diinginkan para penjahat. Apa legenda di balik semua. Banyak pokoknya, durasi dua jam film ini sebagian besar akan terasa padat oleh adegan-adegan eksposisi. Film actually berjuang untuk menyampaikan masing-masingnya. Penyampaian eksposisi tersebut dilakukan cukup variatif. Ada yang langsung diobrolkan oleh karakter. Ada yang lewat flashback. Ada yang lewat animasi bergaya komik. Sebagian ada yang efektif bercerita, tapi sebagian ada juga yang konyol. Misalnya kayak penjelasan dari karakter yang tak bisa bicara; dilakukan lewat adegan flashback, dengan narasi audio dari si karakter! Hihihi lucu kita mendengar suara hatinya. Penggunaan banyak eksposisi ini ultimately memang membuat film menjadi jenuh, dan pasti akan sangat memberatkan untuk ditonton oleh anak-anak. Which is why aku bilang film ini tampak seperti tidak diniatkan untuk rating Semua Umur in the first place.
Juga, bagian-bagian eksposisi itu sangat berpengaruh kepada tempo cerita. Babak kedua akan terasa sangat ngedrag karena kita akan berselang-seling dari aksi, montase interaksi karakter, dan paparan-paparan. Membuat film jadi tersendat. Padahal, interaksi karakter Yuda dengan teman-teman seperjuangannya itulah satu-satunya yang bikin hidup film ini, maka harusnya ini yang difokuskan oleh film. Bagaimana Yuda dan teman-teman akhirnya bekerja sebagai tim, bagaimana mereka mengungkap semua. Karakter mereka toh memang menarik. Jadi di tengah nanti Yuda akan bertemu dengan geng superhero yang markasnya menyamar di balik toko barang antik. Ada jagoan pemanah, ada anak kecil yang pinter gadget and stuff, ada ibu-ibu yang punya kekuatan ajaib. Ada juga perempuan bernama Agni yang tak kalah jagoan, dan temannya yang comedic relief (namun annoying). Serta profesor, yang sayangnya sebagian besar porsinya juga untuk eksposisi. Sebagai kompensasi dari tempo cerita yang lambat, film menggunakan dialog yang cepat-cepat. Yang justru jadi problem berikutnya. Karena penyampaian yang cepat-cepat itu membuat sebagian besar dialog film ini tak-tertangkap. Mau itu obrolan ringan untuk bercanda, hingga ke dialog yang membawa plot, semuanya terasa terucap begitu saja. Jangankan untuk perkataan itu meresap, para aktor saja kayaknya tidak punya waktu untuk benar-benar menunjukkan rasa sesuai dengan yang mereka ucapkan. Alhasil, karakter mereka semua tampak awkward. Tampak sibuk sendiri. Ngeluh sendiri, curhat sendiri, ngelucu sendiri. Tidak banyak yang bisa ditangkap untuk bisa diresapi.
Konsep Pandawa dan Kurawa yang diciptakan film ini sebenarnya menarik. Setiap orang bisa terlahir dengan gen Pandawa atau gen Kurawa; gen yang jadi blueprint sikap melindungi atau merusak/mengambil. Tapi itu tidak lantas membuat seorang Kurawa pasti orang jahat, maupun sebaliknya. Membuatku sedikit teringat sama Zootopia (2016) dengan karakter berupa hewan predator dan hewan mangsa tapi tidak lantas mengotakkan mereka menjadi mana yang jahat, mana yang baik. Melalui konsep ini, film Gatotkaca seperti ingin menyampaikan bahwa pada manusia yang terpenting adalah pilihannya. Pilihan untuk menjadi orang baik atau orang jahat, despite desain yang digariskan untuknya. Perang besar itu mungkin bukan Baratayuda, melainkan perang di dalam masing-masing orang dalam menentukan ke arah mana ia hendak melangkah. Kebaikan atau kejahatan.
Walaupun diceritakan dalam perspektif yang kuat, dibalut romansa yang benar-benar diberikan alasan kenapa pada akhirnya si karakter jadi jatuh cinta (enggak instantly fall in love karena sama-sama cakep), tapi karakter utama kita tidak benar-benar punya perkembangan. Yuda kebanyakan hanya bereaksi. Dia belajar tentang Pandawa Kurawa, dia belajar menggunakan kekuatan, dia mencoba menyelamatkan Agni, dia mendengar kejadian yang sebenarnya. Kejadian yang terjadi juga terus dibikin personal, dibikin berkaitan langsung dengan dirinya. Hanya saja tidak terasa membawa perubahan dari pandangan dia ataupun dari bagaimana dia bersikap terhadap suatu nilai tertentu, atau apapun. Selain jadi jagoan, Yuda gak punya perkembangan yang berarti. Dia cuma literally dari orang yang kalah berantem mulut sama influencer menjadi orang yang berhasil menyelamatkan dunia dengan menunda kebangkitan jenderal Kurawa. Tadinya kupikir persoalan ada Pandawa yang jahat dan ada Kurawa yang baik itu akan langsung berkaitan dengan dirinya. Like, biasanya kan karakter utama yang mengalami krisis identitas. Namun ternyata permasalahan itu diangkat untuk membangun reveal mengejutkan; oh penjahatnya ternyata si anu. Ngomong-ngomong soal penjahatnya itu, ya, penokohannya jadi lemah. Karena diniatkan untuk surprise, kita gak melihat perspektif penjahatnya. Kita tahu misi dan tujuan mereka dari eksposisi. Film harusnya membuat karakter Yayan Ruhian lebih menonjol sebagai penjahat utama, alih-alih ‘bos kedua’. Karena actually karakter yang diperankan Yayan ini lebih compelling dan beneran tampak cocok menghidupi cerita.
Ada dua jenis adegan berantem dalam film ini. Berantem CGI, saat Yuda sudah bisa beneran berubah menjadi Gatotkaca (which is happened di bagian terakhir film, kasian banget anak kecil nungguinnya pasti lama hihihi). Agak sedikit gelap, tapi CGI-nya looks good, gerakannya tampak mulus. Gatotkaca dan musuhnya kelahi sambil terbang, mirip banget ama adegan berantem di udara dalam Dragon Ball Z. Serang, teleport, kejar dengan kecepatan tinggi. Berantem yang kedua adalah adegan dengan jurus yang lebih grounded. Adegan berantem yang seperti ini yang paling banyak. Sayangnya, aku gak tahu apakah untuk memfasilitasi gerakan terbatas dari aktornya, atau karena apa, tapi berantem film ini disyut dengan cara yang membuat kita mustahil mengikuti apa yang terjadi di layar. Mau itu tempatnya gelap atau terang, berantem ini diambil film dari berbagai sudut dan disatukan dengan editing yang supercepat. Gak kelihatan lagi siapa mukul siapa. Beberapa adegan juga tampak keskip-skip, kayak ada tonjokan yang gak diliatin melainkan langsung ke efek pukulannya, dan sebagainya. Ini mengganggu sekali. Koreografi berantem yang aku yakin seru itu jadi sia-sia karena sama sekali jadi gak keliatan.
Demi memperkuat tema perwayangan, selain menyebut istilah-istilah cerita dalam dunia wayang, film juga actually menggunakan Punakawan (karakter Petruk, Bagong, Gareng, Semar) sebagai transisi cerita. Hal yang sebenarnya sangat fresh (membuatku jadi teringat sama film-film jaman dahulu yang pada pakai adegan transisi sebagai ‘rehat’ durasi yang panjang), kalo saja bagian ngelawak ini tidak difungsikan sebagai iklan yang sangat-sangat in the face. Honestly, sepanjang film memang banyak shot-shot yang berupa product placement. Jadi aku mencoba maklum. Hey, ini adalah film pertama dari proyek universe gede, mereka pasti butuh banyak sponsor. Lagian, film luar pun banyak yang masukin produk. Ya, asalkan masih tampak natural, ini masih bisa dioverlook. Namun tidak lagi saat film benar-benar menyisihkan waktu beberapa menit untuk membuat adegan iklan, yang mereka lakukan ke dalam transisi Punakawan tadi. Ini amat sangat melukai film yang bahkan sudah gak enak pada temponya sedari awal. Adegan yang mestinya bisa gampang dicut dari keseluruhan film ini, membuat kita benar-benar terlepas dari cerita. Benar-benar tampak seperti tempelan yang mengganggu. Dan ini jadi bukti mutlak bahwa Gatotkaca sebagai film gak punya power. Diatur oleh iklan. Aku sedih mikirin sebuah karya harus merendah seperti ini hanya karena mereka mau jadi universe. I mean, harusnya kalo Gatotkaca memang berkaca pada superhero luar seperti Marvel, mereka harusnya bisa melihat kesuksesan sinematik universe bergantung kepada film-film pertama yang grounded dan sederhana. Yang kuat di bangunan cerita dan karakter, sehingga penonton pengen lebih dan mengharapkan ada lanjutan yang lebih bagus. Inilah yang harusnya dipentingkan, alih-alih menempatkan iklan sebanyak-banyaknya untuk menjamin universe itu beneran bisa dibuat.
Cerita film dengan word-building yang menarik ini sebenarnya dramatis. Penuh kehilangan, tantangan dan segala macam. Namun karena disampaikan lewat dialog yang cepat, pengadeganan yang cepat, dan editing yang brutal, feeling dari adegan-adegannya gak ada yang kena ke kita. Gak ada yang nyampe. Pace film yang sering tersendat oleh paparan, dan iklan-iklan, membuat semakin susah untuk merasa enjoy dalam menonton film ini. Dan no, it is not materi untuk tontonan semua umur. Gak peduli gimana kerasnya usaha mengedit untuk membuatnya ringan dan harmless. Ini cerita fantasi dengan konsekuensi naas, membahas dunia hitam dengan cara yang kelam. Aku berharap besar sama film superhero Indonesia, tapi sekali lagi aku merasa kecewa. Akankah ada film superhero yang benar-benar bisa menyelamatkan genre superhero di perfilman Indonesia?
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SATRIA DEWA: GATOTKACA
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah film superhero itu harus Semua Umur? Atau apakah itu hanya salah kaprah penonton dan pembuat film di Indonesia? Kenapa orang-orang masih banyak yang menganggap film superhero adalah untuk anak-anak?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA