ETERNALS Review

“Love is the capacity to take care, to protect, to nourish.”

 

Bayangkan awal tahun bikin film yang menang Oscar, lalu di penghujung tahun yang sama bikin superhero yang paling membosankan se-cosmic raya, lol that’s some range. Eternals adalah jawaban kenapa Taika Waititi bisa demikian sukses saat menggarap superhero dewa dalam balutan full-komedi receh. Karena cerita tentang ultimate being yang mendalami makna menjadi manusia memang harus mendaratkan karakter-karakternya menjadi pada level yang sama dengan penonton. Membuat mereka berlaku komedi adalah salah satu caranya. Dengan begitu kita akan lebih mudah melihat mereka sebagai bagian dari kita. Sehingga kita jadi peduli menyelami kompleksnya konflik dan karakter mereka. Eternals yang menunjuk Chloe Zhao sebagai sutradaranya, however, pengen tampil sebagai cerita pahlawan dengan muatan filosofis. Eksistensi dan kemanusiaan. Dengan bahasan yang ‘berat’ dan karakter yang ditampilkan sebagai dewa di atas kita, Zhao berusaha mendaratkan Eternals dengan tema cinta. Tapinya lagi menonjolkan cinta-cinta sementara pada sepuluh karakter kompleks itu ada bahasan menarik yang dibahas harus sekilas karena bakal ‘ketinggian’, hanya berujung membuat film ini jatuh sebagai drama bucin antara karakter-karakter kaku yang ingin mencegah kiamat terjadi di dunia.

Jadi jauh sebelum Avengers terbentuk, jauuuh sebelum peradaban manusia terbentuk, bumi kedatangan sepuluh makhluk abadi buatan Celestial. Makhluk-makhluk ini dikirim untuk melindungi bumi dari makhluk monster bernama Deviant yang memangsa manusia. Sersi adalah salah satu dari makhluk pelindung bumi itu, dan dialah karakter utama kita. Sersi instantly jatuh cinta sama planet dan kehidupan di dalamnya. Dan setelah sekian lama hidup di bumi, Sersi dan teman-teman memang ngajarin manusia dan punya pengaruh besar dalam peradaban (sebagian mereka kayfabe-nya jadi origin kisah dewa-dewi), meskipun mereka punya aturan enggak boleh mencampuri urusan ‘pribadi’ makhluk bumi. Mereka hidup bersama di antara manusia, sehingga jadi tumbuh rasa peduli. Kepedulian ini lantas jadi konflik personal, berbenturan dengan purpose yang dirancangkan buat mereka. Maka perpecahan pun terjadi. Sersi dan teman-teman berpisah dan hidup masing-masing. Namun sekarang, Deviant yang lebih kuat dan mampu menyerap kemampuan Eternals. Membunuh pemimpin Sersi. Para Eternals harus berkumpul kembali untuk melenyapkan ancaman ini, hanya untuk mengetahui bahwa ancaman sebenarnya justru adalah diri mereka sendiri. Karena kenyataan pahit terkuak untuk Sersi; Eternals sebenarnya dikirim ke Bumi untuk memastikan kehancuran planet tersebut sesuai pada waktunya.

eternals1593996-9-fakta-tentang-sosok-sersi-di-eternals
Sersi sampai di kita jadinya Dewi Padi

 

Yea, sepuluh karakter diperkenalkan sekaligus dalam satu movie memang udah red flag. Sudah begitu banyak contoh cerita ‘team’ yang gugur dan berakhir sebagai nilai merah karena gagal mengeksplorasi karakter tersebut dengan berimbang. Baru-baru ini ada satu yang berhasil, James Gunn, tapi itupun lagi-lagi karena penggunaan komedi untuk mendaratkan. But hey, Eternals hadir dengan durasi yang jauh lebih panjang dari cerita ‘team’ sebelum ini. Dua jam setengah durasi seharusnya bisa menghimpun perspektif, development, dan range masing-masing karakter. Seharusnya…

Buatku yang menarik adalah karakter Kingo, Phastos, dan Druig. Kingo ‘menyamar’ hidup sebagai legenda Bollywood, dia punya kecintaan sama film, dan for some reason Kingo sepertinya adalah superhero pertama yang menolak muncul dalam final battle. Kumail Nanjiani udah jadi berotot gitu tapi karakternya malah gak mau bertarung di akhir, it is really weird. Phastos really conflicted saat manusia mulai berperang antarsesama, karena dia merasa bertanggungjawab; dialah yang membantu manusia menciptakan alat-alat sederhana. Sementara Druig, benar-benar benci melihat manusia berperang. Druig yang bisa mengendalikan pikiran straight up melanggar aturan, membentuk komunitas masyarakat sendiri sesuai kehendaknya. Tiga karakter menarik ini nyatanya dipinggirkan karena tokoh utama kita adalah Sersi. Yang konflik utamanya adalah cinta. Sersi jatuh cinta sama manusia. Sersi dicintai sama Ikarus, Eternal yang bisa terbang. Sementara Ikarus dicintai sama Sprite, Eternal yang gak bisa gede. Mereka juga punya teman Eternal yang sering menggila, dan Eternal yang bersedia selalu melindunginya karena cinta. Film Eternals menonjolkan segala drama kebucinan ini, sebagai usaha untuk membuat para karakternya ‘manusia’

Chloe Zhao ingin mengeksplorasi gagasan soal melindungi hal yang kita cinta. To protect; itulah yang membuat manusia, manusia. Para karakter Eternal menyadari mereka ingin melindungi karena mereka punya rasa cinta, dan itu membuat mereka menjadi manusia yang sama dengan yang mereka lindungi. Itu memberikan tujuan yang sebenarnya bagi eksistensi mereka yang menyedihkan. Furthermore, Chloe memastikan para karakter benar-benar diverse. Sehingga aksi saling melindungi, saling cinta itu semakin bermakna karena melalui berbagai perbedaan dan menyatukannya.

 

Dengan pesan kemanusiaan di balik narasi klise kehancuran bumi, Eternals sesungguhnya cerita yang punya bobot dan penting untuk kita tonton. Bukan sekadar aksi-aksi flashy superhero. Hanya saja Zhao tidak benar-benar memanfaatkan karakternya selain sebagai boneka penyambung pesan. Dia tidak berhasil membuat karakter tersebut hidup. Harusnya Zhao menonton serial kartun Steven Universe. Serius. Eternals ini sama persis plotnya dengan kartun anak-anak tersebut. Baru tahun kemaren aku melahap kelima season Steven Universe, aku juga bikin playthrough lengkap video gamenya di channel Youtube. Sehingga plotnya masih segar teringat, dan saat nonton Eternals, aku merasakan deja vu. Para Eternal adalah Crystal Gem di kartun Steven. Pasukan yang dikirim ke bumi untuk mengalahkan monster, tapi kemudian merasa betah dan tertarik hidup bersama manusia bumi. Celestial adalah Diamond, higher entity yang mengirim mereka. Bahkan senjata/kekuatan mereka pun mirip sama Crystal Gem. Long story short, Crystal Gem ini juga akhirnya mengetahui rencana penghancuran bumi, dan seperti Eternal mereka juga harus melawan sesuatu yang bakal bangkit dari dalam inti bumi. Druig adalah Steven, yang punya kemampuan pikiran untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk yang bakal bangkit tersebut. Tema di balik plot itupun sama. Tentang cinta yang dirasakan. Eksplorasi eksistensi diri, melindungi yang dicintai, kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Steven Universe bahkan memuat tema LGBT dengan lebih mendalam daripada Eternal yang hanya sekadar menyebut dan nunjukin ciuman. Kartun tersebut menyimbolkannya sebagai kekuatan (fusion).

Inilah yang kumaksud ketika Zhao harusnya nonton serial ini terlebih dahulu. Karakterisasi dan penyampaian tema dilakukan oleh serial tersebut lebih mendetil dan dalam dan menyentuh ketimbang yang ia lakukan pada Eternal. Karakter-karakter seharusnya tidak didefinisikan oleh aksi bucin mereka saja. Mereka harus hidup. Sersi menjadi boring karena teman-temannya yang lain memasak, main film, jadi orangtua. Sersi sibuk tenggelam sendiri. Film fokusnya malah ke karakter-karakter seperti Sersi ini. Namun bahkan karakter yang menarik pun kalo udah ngumpul bareng mereka cuma berbaris, menatap sok keren ke satu titik. Dalam cerita soal merayakan emosi dan vulnerability manusia, para karakternya gak pernah sepenuhnya tergambar seperti manusia.

eternals-richard-madden-gemma-chan-2
To be fair, Steven Universe punya lima season untuk ngembangin karakter. Maka film Eternals ini cocoknya jadi serial juga.

 

Walau durasi sudah ekstrapanjangpun, film ini tetap terasa sesak dan penuh berjejelan oleh informasi dan eksposisi. Timeline dalam narasi actually melintang sepanjang sejak awal waktu. Kejadian mereka tersebar dalam periode-periode peradaban manusia. Film ini menggunakan alur bolak-balik antara kejadian di masa sekarang untuk memajukan plot, dengan kejadian di masa lalu untuk mendalami backstory kejadian (mereka pisahnya gimana, mereka ada masalah apa, dsb) Dengan cara memuat seperti begitu, praktisnya tidak ada lagi tempat untuk benar-benar mengembangkan kehidupan karakter. Akibatnya lagi, karakter ‘setua’ itu kayak sama aja mau itu kita melihat mereka di periode tahun berapapun. Yang paling gak bertumbuh itu adalah karakter Makari. Ini sayang sekali. Superhero deaf pertama MCU, berkekuatan bisa lari secepat kilat, tidak diberikan apa-apa oleh film. Dia hanya nunggu di ‘pesawat’. Hanya dimunculkan di menjelang akhir. Dia di masa lalu ama yang sekarang benar-benar gak ada bedanya. Kalo anak sekarang bilangnya ‘nolep banget’

Film ini tenggelam dalam filosofis dan pembicaraannya sendiri sehingga gagal melihat hal-hal menarik yang bisa diangkat dari karakter. Mereka punya Angelina Jolie sebagai Goddess of War – Angelina-frickin’-Jolie!! Dan hal menarik bagi film ini buat karakternya cuma namanya Thena, bukan Athena. Nama itu terus diulang-ulang. Film tidak tertarik menggali personal karakter ini – fungsi dia sebagai wakil karakter mental illness sudah dipenuhi dengan just exist there. Film tidak tertarik ngasih adegan aksi yang memfokuskan Jolie kembali beraksi. Film tidak tertarik ngasih adegan aksi. Period. Kenapa aku bilang begitu? Karena adegan-adegan berantem film ini basic banget. Gak ada yang wah. Sepuluh kekuatan special itu gak pernah jadi terasa seperti experience berantem yang out-of-the-world, yang seru. Zhao kayak sebodo amat ama template aksi superhero yang udah disiapkan studio. Hanya ada satu kayaknya, satu adegan berantem yang memperlihatkan kerja sama efektif, like, combo kekuatan super karakter mengalahkan lawan. Padahal mereka ini digambarkan gak benar-benar kuat on their own. Mereka harus bekerja sama. Ini seharusnya kesempatan ngerancang kombo-kombo spektakuler. Tapi film ini cuma kayak ‘hmm meh..!”

Satu-satunya hal menarik di film ini adalah bagaimana sepertinya Marvel telah membuka ‘pintu terlarang’. Seperti WWE yang tau-tau ngajak superstar dari perusahaan gulat sebelah (Impact) untuk tanding di acara mereka, Eternals tau-tau menyebut Batman dan Superman – dua karakter superhero dari studio sebelah – di dalam narasi. Nyebut nama-nama Avengers kan udah biasa tuh, film-film Marvel selalu ‘ngiklanin’ mereka, terutama kalo si film ini gak langsung bersangkut paut banget dengan kejadian Avengers. Nah menariknya kali ini, Batman dan Superman juga disebut dengan gamblang. Marvel mengacknowledge keberadaan superhero lain di dunia mereka. Apakah ini mengisyaratkan Marvel sudah open untuk crossover yang lebih menggemparkan? Bagaimana menurut kalian? Share pendapat kalian di komen yaa

 

 

Seharusnya dengan adanya sepuluh karakter superhero dewa berarti ada sepuluh kali kesempatan lebih banyak bagi film ini untuk menghasilkan sajian yang sepuluh kali lebih dahsyat daripada biasanya. Tapi nyatanya, film ini jadi kayak sepuluh kali lebih membosankan. Karakter-karakternya cuma baris berpose sok keren. Karakter utamanya bucin, maka melodrama cinta-cintaan itulah yang jadi fokus utama.Total bleergh buatku adalah adegan Ikarus dibikin memenuhi takdir namanya, dengan konteks dia malu udah berbuat jahat dan gak dicintai lagi sama kekasihnya. Hal-hal semacam ini yang mengesampingkan hal-hal menarik yang actually dipunya oleh beberapa karakter lain. Udah dikasih durasi panjang, tapi tetap saja film ini tidak terisi dengan efektif. Film bahkan lupa punya monster antagonis yang bisa meniru kemampuan dan berkembang jadi lebih kuat dan manusiawi. Karakter itu lenyapnya dengan gampang aja. Dikembangkan dengan tidak imbang. Ini superhero yang gak tertarik sama aksi, melainkan lebih kepada filosofi eksistensi. Mending nonton kartun Steven Universe aja deh. 
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ETERNALS

 

 

 

 

That’s all we have for now

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BLACK WIDOW Review

“I am not what happened to me, I am what I choose to become.”

 

Black Widow bukanlah superhero terkuat. Dia bahkan bukan jagoan cewek paling kuat. Natasha Romanoff tidak punya kekuatan super. Dia ini kayak Yamcha di kartun Dragon Ball. Manusia bumi biasa, tanpa kekuatan super, tapi begitu terlatih sehingga serba-bisa. Yamcha yang dulunya perampok, dan sempat jadi pacar Bulma, bisa Kamehameha, Bola Semangat, on top of that dia punya jurus berantem tersendiri. Begitu jualah dengan Natasha alias Black Widow. Dari seorang assassin, ke sempat (nyaris) jadi love interest Hulk, yang jelas Natasha dapat diandalkan oleh teman-teman Avengers karena banyaknya variasi kemampuan yang ia miliki – meskipun gak jago-jago amat. Nasib kedua karakter ini pun sama. Gugur; bukan dalam sengitnya pertempuran personal, melainkan karena cerita mengharuskan seorang karakter untuk mati.

Jadi kenapa karakter jack-off-all-trade sepert itu bisa digemari sehingga fans terus meminta Black Widow punya film tersendiri? Well, first; Natasha Romanoff dimainkan oleh Scarlet Johansson. People love her intensity. Kedua, karena kehebatan cerita superhero tidak diukur dari seberapa dahsyat superpowernya. Melainkan dari seberapa besar perjuangan si pahlawan ini mengatasi kelemahan-kelemahannya, berapa dahsyat yang harus ia tempuh dalam membuat pilihan. Black Widow adalah pahlawan cewek yang punya masa lalu kelam sebagai pembunuh, jelas punya modal untuk sebuah cerita-sendiri yang menarik. Namun sayangnya, ketika film ini benar-benar kejadian, Marvel dan Disney masih menganggap Natasha Romanoff sebagai Yamcha at worst, dan sebagai simbol feminis at best.

Black Widow bukan film superhero ‘terkuat’ di antara film-film superhero MCU yang lain. Dalam film solo yang harusnya adalah waktu untuk menjelaskan lebih banyak suara dari karakter ini, yang seharusnya jadi proper send-off untuk karakter ini, Natasha Romanoff itu sendiri ternyata hanya jadi batu loncatan untuk projek superhero berikutnya.

Black-Widow-trailer-1-1280x720
Kalo Scar-Jo meranin Yamcha, niscaya Yamcha juga bakal jadi favorit

 

Cerita mengambil tempat di antara event Civil War dengan Infinity War. Tapi sebelum mulai, film mundur dulu. Memperlihatkan masa kecil Natasha bersama keluarga-palsunya. Bagaimana ayah-ibu-kakak-adik itu kini harus berpisah karena mereka dikirim kembali oleh bos ke Rusia untuk mendapat pelatihan dan misi lebih lanjut. Semua itu dikemas sebagai kredit pembuka – lengkap dengan lagu opening, kayak kalo kita lagi nonton opening acara televisi.

Ironisnya, kredit pembuka tadi itu adalah satu dari dua hal bagus yang dimiliki oleh film garapan Cate Shortland ini. Karena setelah itu, Natasha Romanoff yang sedang dalam pelarian, tidak benar-benar melakukan apa-apa. Babak pertama film ini bosenin karena yang kita ikuti adalah karakter yang motivasinya adalah untuk lay-low. Masalah dengan ‘keluarga’ Avengers? Gak dulu deh. Sekitar 30-40 menit kayaknya, barulah film ini jelas arahannya ke mana. Natasha ‘dikontak’ oleh keluarganya yang satu lagi. Adik bo’ongannya dulu, si Yelena, punya informasi tentang masalah personal bagi mereka berdua. Bahwa progam Red Room yang menciptakan Pasukan Widow tak-berhati dari wanita-wanita malang seperti mereka ternyata masih berjalan. Boss Rusia, si Dreykov, yang telah dibunuh oleh Natasha beberapa tahun yang lalu, ternyata masih hidup.

Serius. Film ini bener-bener baru terasa berjalan saat Yelena masuk cerita. Dan Yelena Belova inilah satu lagi (dari dua tadi) hal terbaik yang dimiliki oleh film. Dia punya motivasi dramatis yang lebih jelas. Seperti Natasha, Yelena yang selama ini sudah tercuci otak oleh program Dreykov, mencoba untuk mengembalikan kendali atas hidupnya. Dia juga paham pentingnya memberangus proyek tersebut dan membebaskan semua orang. Tapi tidak seperti Natasha yang telah lelah ‘main keluarga-keluargaan’, Yelena ini percaya akan hubungan yang mereka bentuk sebagai keluarga-palsu. Yelena-lah yang seperti tertantang dengan pemikiran Natasha, alih-alih sebaliknya, padahal yang tokoh utama adalah Natasha. Itu juga dikarenakan Yelena inilah yang lebih banyak menunjukkan emosi yang grounded. Dan untuk fungsi itu, Florence Pugh benar-benar menyuguhkan penampilan yang oke punya. Rentang emosi yang luas itu dia lalap dengan natural. Vulnerable, tangguh, bahkan saat bercanda. Kita merasakan satu-persatu yang ia rasakan, tidak pernah kesemuanya sekaligus – seperti yang ditampilkan oleh Natashanya si Scar-Jo. Timing dan penghayatan Pugh begitu ngena, sampai-sampai lelucon konyol soal pose Black Widow aja berhasil mencuat sebagai running-joke yang menyenangkan.

Dan harus kuperingatkan, film ini penulisan tonenya mentok sekali. Film Marvel selalu berusaha melucu untuk menjaga supaya tetap ringan, itu kita semua udah tahu. Udah rahasia umum. Tapi pada film ini, blending serius dengan komedinya itu kayak trying too hard. Kita akan bertransisi dari adegan yang mencoba untuk terlalu dramatis ke adegan komedi berupa orang gendut kesusahan memakai kostum. Ada Natasha yang mewakili tone keren dan serius, ada Red Guardian yang dibikin total untuk lucu-lucuan, si Yelena ini seperti jembatan untuk menghubungkan keduanya. Makanya Yelena berhasil mencuri perhatian kita. ‘Aksi’ dia praktisnya lebih banyak, menggendong berbagai elemen film seperti yang dijelasin itu.

Meskipun benar kendali adalah milik pribadi, tapi kita tidak bisa lepas dari peranan orang-orang di sekitar. Dari orang-orang yang kita sebut keluarga. Dan orang-orang yang kita sebut keluarga itu bisa datang dari mana saja, tidak terbatas dari ‘darah’ semata. Merekalah justru pengingat bahwa kita punya pilihan. 

 

Romanoff bukannya gak punya motivasi personal, tapi film gak benar-benar follow up sama masalah personal dirinya ini. Melainkan masalahh tersebut dikecilkan. Yang dieksplorasi dari Black Widow ini adalah ada suatu perbuatan kelam yang dulu ia lakukan, sehingga kini saat dia dikenal sebagai pahlawan, peristiwa tersebut jadi berkali lipat membebani nuraninya. Sepanjang durasi film ini, Natasha bergulat dengan hal tersebut. Pergulatannya itu ditunjukkan oleh film lewat karakter Taskmaster. Musuh bertopeng yang bisa meniru semua yang ia lihat. Karena Taskmaster di sini sebenarnya adalah perwujudan Natasha zaman dulu. Zaman saat dia masih pembunuh berdarah-dingin. Jadi Taskmaster adalah musuh yang tepat untuk Natasha, karena dia memang harus mengalahkan dirinya yang dulu. Apalagi karena lebih lanjut, film memperlihatkan Taskmaster sebagai, katakanlah, produk dari ‘dosa’ Natasha yang terus menghantui.

Ini harusnya adalah cerita pengukuhan Black Widow sebagai seorang superhero. Cerita bagaimana dia benar-benar berhak menyematkan diri sebagai pahlawan. Akan tetapi, nilai perjuangannya sebagai perempuan yang berusaha membebaskan nurani itu dikurangi oleh film yang lebih memilih untuk membuat Black Widow mengalahkan pria misoginis yang berbuat tak-manusiawi kepada perempuan. Keberadaan Dreykov yang jadi master dari si Taskmaster ini seperti mengatakan cewek gak salah, cowok yang salah. Black Widow hanya perlu minta maaf untuk menenangkan hati. Taskmaster itu jahat ya karena sudah terdoktrin oleh kepercayaan Dreykov. Ingin mengecilkan, bukan hanya Black Widow, tapi juga si Taksmaster yang karakternya diubah drastis menjadi jadi seserpihan dari karakternya di komik. Shortland mengulangi kesalahan yang sama dengan Deadpool di film Wolverine.

black-widow-sb
Ternyata ini adalah kisah origin dari Rompi Berkantong Banyak

 

Yang konyolnya adalah, bahkan di akhir itu bukan Natasha yang membunuh Dreykov – Yelena did it. Tanpa kesulitan berarti. Padahal Natasha butuh banyak dialog, dan taktik, saat berdua saja di dalam ruangan sama si antagonis. Kekuatan si Dreykov benar-benar bikin aku ngakak. Dia punya pheromon spesial; siapapun yang berada cukup dekat sehingga bisa membaui bau tubuhnya, tidak akan bisa melukai dirinya. Jadi, Black Widow kemudian sengaja menyuntikkan virus corona ke dalam tubuh supaya hidungnya enggak bisa mencium. Enggak ding! Tapi yang beneran dilakukan oleh Black Widow di film ini kurang lebih sama konyolnya. Karena ngapain repot-repot harus deket-deket dulu, padahal tinggal tembak dari jauh atau lempar pake pedang aja, tewas tuh si Dreykov! Hahaha aneh banget pake adegan indra penciuman segala…

Kembali ke bahasan serius, film seperti enggan memperlihatkan karakter yang harus benar-benar struggle dengan masalah dalam inner, sehingga harus menampilkan ‘musuh bersama yang lebih nyata’. Kuharap ini cuma masalah sebagai film superhero aja, kayak, karena superhero gak boleh terlalu berat. Kuharap ini bukan soal protagonis cewek yang harus dibuat sempurna, karena belakangan memang film-film cenderung untuk terpaku pada agenda seperti itu. Dan bicara tentang superhero dan moral, film Black Widow inipun sesungguhnya enggak lurus-lurus amat. Penulisan film masih ambigu banget secara moral. Banyak karakter yang melakukan hal-hal, tapi tidak lanjut ke konsekuensinya. Karakter yang telah mengesampingkan anak yang look up to them, pada akhirnya teredeem dan jadi pembela kebenaran. Dan bagaimana dengan salju longsor di penjara itu? Hohoho…film dengan cepat ngegloss over fakta bahwa Black Widow dan Yelena telah membunuh banyak orang saat insiden kabur dari penjara. Film ini seperti dengan entengnya seolah mengestablish penjara itu isinya orang jahat semua, termasuk penjaga yang semena-mena, padahal mereka yang di sana berada pada posisi yang lebih ngenes daripada ‘collateral damage’ – dan sepanjang film Black Widow galau sama ‘collateral damage’ yang dengan sengaja dia lakukan beberapa tahun yang lalu. Moralnya gak masuk banget.

Tapi tentu saja, aksi gede perlu untuk dilakukan karena ini adalah film laga berbudget mahal. Malu dong kalo sekelas Disney dan Marvel gak pake acara hancur-hancuran dan ngebut-ngebutan. Persetan dengan logika. Orang-orang tanpa kekuatan super itu yang penting bisa tampak keren meluncur jatuh, ataupun berkali-kali terguling dalam kecelakaan mobil. Perkara mereka bisa selamat, itu urusan yang seharusnya gak usah repot kita pikirkan saat mencari hiburan, kan. Lagipula mungkin film ini ngasih petunjuk bahwa Natasha bisa selamat dari begitu banyak kecelakaan, dan terjun dari stasiun angkasa, jadi mungkin dia belum benar-benar mati saat jatuh dari tebing itu. Ngarep! Anyway, begitulah adegan-adegan aksi dalam film ini. Secara koreografi, kerja kamera, dan teknis-teknis begitu, tidak ada yang spesial. There are lot of CGIs, editing, and stunt double – standar rutinitas film aksi yang biasa.  Kalo ada yang diingat orang, maka itu adalah beberapa kualitas CGI yang kurang kece, adegan yang gak grounded-grounded amat, dan betapa “such a poser”nya film superhero ini.

 

 

 

Setelah menontonnya, aku masih menganggap mereka sebenarnya masih gak pengen-pengen amat membuat film ini. Kayak, film ini akhirnya ada karena tuntutan, dan waktu yang tepat. Karena Marvel ingin mendorong proyek-proyek berikutnya. Ada karakter yang harus diperkenalkan. Apa yang mestinya merupakan swan song dari superhero yang difavoritkan banyak orang ternyata tak lebih dari sekadar roda gigi kecil pada mesin yang besar. Film ini hanyalah another spectacle featuring hal-hal yang bikin kita excited. Tanpa benar-benar utuh menyelami kepada karakter dan dunianya sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK WIDOW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Untung mengenang Black Widow yang gugur, apa momen Natasha Romanoff favorit kalian di seluruh film MCU?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

 

 

 

 

GUNDALA Review

“We must preserve our humanity.”

 

 

Indonesia juga punya komik superhero. Coba tanya deh ke ayah, paman, atau kakak kalian yang remaja di tahun 70-80an saat komik-komik tersebut lagi berjaya. Siapa tahu mereka masih menyimpan dan kalian bisa membaca dan membandingkan dengan superhero dari luar. Jika tak punya, jangan khawatir. Karena Joko Anwar bersama Screenplay Pictures dan Bumilangit Komik berniat menghidupkan para pahlawan super lokal – dibranding ulang sebagai ‘Jagoan’ – dalam jagat sinema tersendiri. Bumilangit Cinematic Universe namanya.

Gundala adalah film pembuka franchise yang menjanjikan delapan film untuk Jilid I jagat sinema ini. Ini adalah origin story tentang ‘kelahiran’ pahlawan berkekuatan petir tersebut. Bahkan jauh sebelum si tokoh mendengar nama Gundala. Bingung? Seperti yang ia lakukan pada Pengabdi Setan (2017), sutradara Joko Anwar membuat sesuatu yang benar-benar baru dari materi asli yang ia adaptasi. Tidak seperti di komik, Gundala dalam film ini bukan Sancaka sang ilmuwan. Melainkan Sancaka hanya seorang anak pinggiran yang takut kesamber petir. Di waktu kecil, Sancaka menyaksikan ayahnya tewas ditusuk oleh kelompok sendiri saat berdemo. Kemudian Sancaka ditinggal oleh ibunya yang tak kunjung pulang ke rumah. Sancaka terpaksa pindah hidup ke jalanan. Kerasnya keadaan di kota yang nyaris tak menyisakan manusia bermoral, membuat Sancaka memegang teguh prinsip hidup ‘jangan percaya siapapun dan jangan mencampuri urusan orang’. Dia survive hingga dewasa dengan prinsip tersebut. Namun setelah mendapat kekuatan dari petir yang selama ini ia takuti, Sancaka diberikan pilihan untuk bangkit dan menjadi penyelamat bagi rakyat tertindas.

“Jangan percaya orang kaya karena Batman dan Ironman cuma ada di komik”

 

Gersang. Berdebu. Panas. Ganas. Begitulah dunia tempat tinggal jagoan kita digambarkan oleh film. Kehidupan rakyat jelata benar-benar keras. Penuh ketakutan dan persaingan. Gundala bukan film pahlawan super yang meriah oleh fantasi. Tone ceritanya malah sangat depressing. Bukan kurangnya air yang membuat kehidupan mereka kering, melainkan minusnya rasa kemanusiaan. Rating 13+ yang dicapkan bahkan menurutku tidak benar-benar sesuai dengan yang digambarkan oleh film. It should be higher. Sancaka sebagai anak kecil sungguh menderita hidupnya. Dia dikejar-kejar, dipukuli, diiris telinganya. I mean, at least Bruce Wayne punya banyak duit, kan. Dia mungkin punya banyak mainan dan elektronik untuk membantunya melewati hari. Sancaka tidak punya apa-apa. Bahkan dalam momen terdamai hidupnya – dalam tidur – dia terus bermimpi tragedi. Jika kalian punya masalah melihat kekerasan pada anak kecil, kalian bakal menemukan film ini cukup susah untuk disaksikan. Karena semuanya ditampilkan tanpa ditahan-tahan. Gebukan ke kepala di-close up. Hamparan darah di-zoom. Kalopun ada tusukan yang disembunyikan oleh kamera, itu hanya karena film ingin membuat pelakunya ambigu.

Tingginya level kekerasan, banyaknya adegan yang menunjukkan pembunuhan, pengeroyokan, penipuan, pengazaban, membuat film ini lebih pantas disebut sebagai thriller-aksi realis. Karena keadaan dunia yang dinampakkan sesungguhnya adalah komentar pembuat film terhadap keadaan dunia kita yang tampak baik-baik saja. Ada tusuk menusuk setiap hari, meski tidak berdarah. Ada orang berantem setiap hari, meski cuma di twitter. Ada saling hasut, saling menebar benci, di berbagai media. Menanamkan politik ketakutan. Dan juga tidak sedikit yang memilih untuk diam seperti Sancaka. Yang sedapat mungkin menjauh dari urusan orang, daripada ntar terseret ke dalam bahaya. Perjalanan Sancaka dalam film ini adalah perjalanan untuk menjadi oase di tengah kekeringan kemanusiaan. Naskah menggempor Sancaka habis-habisan. Abimana Aryasatya memberikan kegugupan yang tepat dalam menghidupkan tokohnya, ia menyambung estafet emosi dari Muzakki Ramdhan yang jadi Sancaka cilik, untuk kemudian meluaskan kembali jangkauan emosi tersebut. Dia diletakkan dengan segera di posisi paling naas yang mengharuskan dia untuk belajar survive. Dia belajar berkelahi. Namun pelajaran yang paling susah yang harus ia lewati adalah cara menumbuhkan keberanian untuk peduli kepada orang lain. Setelah itu tercapai, barulah dia bisa fokus belajar mengendalikan kekuatan petir yang ia punya.

Untuk tujuan itu, cerita memasangkan Pengkor sebagai lawan – antitesis – dari Sancaka. Pengkor, yang separuh tubuhnya penuh luka bakar dan berjalan pincang, adalah bos dari ratusan anak-anak jalanan yang menyimpan dendam terhadap kemanusiaan. Pengkor menyusup ke lapisan atas, menanamkan orang-orangnya, dan berusaha mengatur negara sesuai dengan idealismenya. Dengan masa lalu yang mirip, bahkan lebih tragis. Pengkor adalah Sancaka jika ia tidak pernah sadar dari prinsip hidup jalanan yang ia pegang. Jika Sancaka memilih untuk menjadi hero untuk alasan yang salah. Karakter Sancaka dan Pengkor dikembangkan dari teori ‘wounds and lie’. Mereka sama-sama punya trauma yang menyebabkan mereka percaya pada satu hal yang salah. Namun Sancaka yang menyadari kesalahannya, dengan segera menjadi oposisi dari Pengkor. Pendekatan yang diambil film terhadap dua karakter ini mirip sama hubungan antara Joker dan Batman. Begitu miripnya, aku sebelum film dimulai bertaruh dengan temanku bahwa monolog “harapan bagi rakyat adalah candu” (dibawakan oleh Bront Palarae dengan nada rendah khas tokoh penjahat utama saat mengintimidasi protagonis) pada trailer sesungguhnya terjadi pada adegan Pengkor ngobrol dengan Sancaka – seperti monolog Joker kepada Batman di dalam sel di The Dark Knight (2008). Dan saat menonton aku menyesal tidak mempertaruhkan hal yang lebih signifikan, karena ternyata tebakanku benar.

Gundala mengajarkan penontonnya, yang sepertinya banyak orang dewasa, untuk tidak memelihara antipati terhadap sekitar. Karena saat kita memutuskan untuk tidak menolong siapa-siapa, kita sebenarnya juga tidak menolong diri kita sendiri. Kemanusiaan adalah satu-satunya hal yang dapat membuat zaman panas yang edan ini menjadi sejuk. Maka, jangan biarkan sikap itu mengering.

 

Gundala memang seperti superhero luar. Kekuatan Gundala original basically adalah gabungan dari Thor dan The Flash (dalam film ini hanya Thor, walaupun film sempat seolah membuild up kemampuan lari Sancaka lewat beragam adegan yang menunjukkan dirinya dikejar-kejar). Tokoh-tokoh jagoan legendaris di komik-komik lokal kita memang banyak kemiripan dengan tokoh Marvel maupun DC. Aku sebenarnya tidak ingin membanding-bandingkan, tetapi toh filmnya sendiri yang seperti memohon untuk kita bandingkan dengan film-film superhero yang lebih superior, dengan jagat sinema dan segalanya itu. Gaya dan arahan Joko Anwar klop sama gaya kelamnya DCEU. Yang menurutku bisa saja bekerja dengan maksimal. Tone gelap dapat menutupi kelemahan CGI. Aksi-aksi fantastis dari kekuatan superhero simply bisa disubsitusi dengan aksi pertarungan berbasis martial arts; serupa aksi yang pernah membuat film laga Indonesia mendapat pengakuan dari penonton mancanegara. Film melakukan porsi aksinya dengan baik. Meski ada beberapa efek CGI yang mestinya tidak perlu nekat dilakukan karena hasilnya memang tidak tampak meyakinkan. Ngaku deh , masa sih kalian gak tertawa melihat efek Sancaka jatuh dari atas gedung.

Daerahnya sering hujan tapi kenapa tetep terlihat kering dan gersang ya?

 

Dialog yang terdengar lebih ‘tinggi’ daripada tokoh yang mengucapkannya adalah khas Joko Anwar. Dalam film ini kita akan melihat anak kecil ngobrol soal dewan legislatif, yang seketika bikin aku ngakak terlebih karena teringat anak kecil di Pengabdi Setan nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’. Namun ‘ketinggian’ dialog itu pas dengan tone cerita. Jika film komit ke arah gelap dan gritty itu, maka akan tidak ada masalah. Namun sepertinya keinginan mereka untuk menjadikan film ini sebagai langkah awal – seperti Ironman sebagai pembuka MCU – malah berbalik menjadi bumerang. Karena tentu saja studio butuh jaminan film bakal laku. Jadi, Gundala yang semestinya bakal bekerja dengan baik di ranah dark and violentnya harus ada sedikit humor dan appealing buat lebih banyak orang. Maka film ini memilih untuk mencampurkan tone ala DCEU dengan sisipan guyon ala MCU. And it doesn’t mesh well together.

Lelucon-lelucon yang dimasukkan ke dalam dialog dan adegan menyebabkan film terdengar canggung. Terkadang memaksa kita untuk tertawa, padahal seharusnya kita meresapi subteks yang dikoarkan. Selain itu, lelucon ini membunuh karakter. Karena semua tokohnya jadi terdengar sama. Mereka ngomong singkat-singkat. Saling menjawab cepat-cepat. Dan pada satu titik, campuran tone cerita ini, membuat kita tak yakin kejadian penting di film harus dianggap serius atau tidak. Aku gak enak ngasih spoiler banyak, tapi pada poin muncul serum perusak moral (yea you read that right), aku benar-benar gak tahu harus ketawa atau tidak. Karena dampak dan semua yang berhubungan dengan kejadian serum itu tampak obviously make no sense, tapi film tetap lanjut karena itu adalah bagian dari rencana super jahat. Tega sekali film menggambarkan rakyat sebego itu, tapi mungkin memang di situlah letak kritikan tajam film ini terhadap keadaan sosial yang gampang terpancing. Lagian, karena semua penduduk film ini ditampakkan sudah rusak moralnya sedari awal, aku merasa susah untuk peduli dan menganggapnya serius.

Cerita bergerak terlalu cepat untuk dapat memberikan arti pada masing-masing tokoh yang muncul. Ada banyak yang seperti tokoh penting – dimainkan oleh aktor mumpuni – namun ternyata terbang menghilang begitu saja. ‘Algojo-algojo’ Pengkor itu hanya tubuh saja. Karakterisasi mereka ya hanya gimmick masing-masing. Peduli apa sama nama mereka, atau apakah mereka ada di komik atau enggak, film hanya memperkenalkan mereka sebagai Si Jurus Nari, Si Mahasiswi Bersenjata Tas, Si Dua Golok Gede. Atau mungkin nama mereka memang seperti itu, kayak tokoh-tokoh di cerita silat Wiro Sableng. Aku gak tahu. Kepedulian film memberi karakterisasi pada mereka toh juga cukup sampai di sana.

Kupikir itu semua berkaitan dengan keinginan film untuk membangun jagat sinematik. Mereka memperkenalkan tokoh, hanya untuk memancing kita nonton film berikutnya. Karena kemungkinan tokoh tersebut bakal dijelasin di sana. Dan menjamin kepada studio banyak orang bakal nonton terus karena penasaran. Kapitalis sekali, sih. Tapi memang seperti itulah industri film mainstream bekerja. Mengekor cara sukes MCU. Jangankan tokoh-tokoh seperti Ghazulnya Ario Bayu yang tampak meta sekali karena mengetahui seluk beluk cerita Gundala, atau tokoh Sri Asih yang muncul hanya sekelebat untuk mengingatkan kita kepada Wonder Woman, atau tokohnya Tara Basro yang sepanjang film menuntut untuk ditolongin, penjelasan kenapa petir mengincar Sancaka sedari kecil aja tidak dapat kita temukan dalam cerita origin ini. Karena disimpan untuk film berikutnya. Kalo film pertama ini laku. Dan kita harus membuat film ini laku untuk menjawab pertanyaan yang sengaja dibiarkan menganga tersebut. Pace film tampak tergesa-gesa seolah filmnya sendiri pengen cepat-cepat sampai ke sepuluh menit terakhir. Ke bagian yang menggoda penonton untuk episode selanjutnya.

 

 

Joko Anwar’s attempt at superhero franchise is dark, violent, and really gritty. Rasa lokal yang dihadirkan mampu memberikan warna baru yang membuatnya berbeda. It is a Jagoan movie, after all. Tapi di saat bersamaan, gaya yang diambil dalam usahanya untuk tetap berada di ranah mainstream demi menjual lebih banyak film-film berikutnya, membuat film ini terasa seperti memirip-miripkan diri dengan gaya film pahlawan super yang lebih sukses. Karakter-karakternya tak tampak benar-benar hidup. Mereka hanya melanjutkan adegan demi adegan yang berpindah-pindah dalam tempo cepat. Sancaka dan Pengkor cukup maksimal – malah Pengkor sempat bertindak kayak John Kramer si Jigsaw dengan death trapnya – tapi ada banyak lagi yang tampak penting ikut ditampilkan. Aku ingin melihat mereka lebih banyak, mendengar mereka lebih banyak. Pada akhirnya kejatuhan bagi film ini adalah mereka juga mengerahkan tenaga untuk membangun universe di depan membangun satu cerita ‘kecil’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GUNDALA

SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE Review

It is our choices, that show what we truly are, far more than our abilities.

 

 

 

 

Bayangkan kamu dan beberapa orang teman lagi ngumpul-ngumpul di rumah. Kemudian bel pintu depan berbunyi. Satu orang dari kalian beranjak untuk membuka pintu. Kalian yang tidak membuka pintu tetap mengobrol sementara si pembuka pintu akan bersiap untuk ‘obrolan’ baru dengan tamu yang memencet bel. Kepikiran gak, jika kalian mengundi – dengan suit atau melempar dadu – siapa yang bakal membuka pintu; skenario seputar apa yang kalian obrolin, apa yang terjadi di pintu depan, semua itu tergantung oleh siapa yang pergi untuk membuka pintu? Misalnya jika aku yang bukain pintu, obrolan kalian tidak lagi seputar film, dan aku yang ngegreet tamu bisa saja tidak balik lagi ke dalam malah pergi jalan dengan tamu yang ternyata cewek kece itu. Akan sangat berbeda kejadiannya jika yang pergi membuka pintu adalah adik bungsumu yang pemarah.

Kejadian di alam semesta ini kompleks seperti demikian. Ilustrasi yang kusebutkan barusan aku ambil dari episode 3 pada season 4 serial Community (2011) yang memeriksa berbagai kemungkinan yang dapat terjadi jika keputusan tokoh-tokohnya diundi dengan dadu. Serial TV, film, komik, video game, memang sudah sedari dulu bermain-main dengan teori chaos seperti demikian; yang bersumber pada ide ada dunia lain yang berbeda dengan dunia kita. Bahwa dunia kita bukan hanya dunia absolut di mana hanya angka satu yang keluar pada dadu. Melainkan di saat bersamaan, ada dunia lain yang mata dadunya menunjukkan angka lima, ada dunia yang mata dadunya angka enam, yang masing-masingnya menghasilkan kejadian dan outcome yang berbeda-beda. Teori ini dikenal dengan TEORI MULTIVERSE.

“Kita tidak berada pada satu semesta tunggal yang unik, (tapi) temuanku menyiratkan ada pengurangan signifikan multiverse ke kisaran yang lebih kecil dari alam semesta yang mungkin.” Bukan Rick dari serial Rick & Morty yang mengatakan hal tersebut. Kalimat itu aku kutip dari artikel wawancara The Washington Post dengan Stephen Hawking. Ya, menarik sekali bahwa paper terakhir salah satu orang terpintar di dunia membahas tentang multiverse, yang biasanya hanya diomongin di kisah fiksi. Tulisan Hawking ini dipublish pada Mei 2018 – beberapa bulan setelah kematiannya, membahas bahwa ada kemungkinan ide-ide cerita film yang selama ini terdengar gila, memang sedang terjadi di dunia nyata. Bahwa mungkin ada dunia lain di mana ada aku-yang-bukan-tukang-review lagi ngedirect Jennifer Lawrence. Ada universe lain yang aku-nya yang lagi panas-panasan nyari singkapan batuan karena di dunia itu aku masih belum berani untuk bilang enggak dan mengejar cita-cita. Ada dunia di mana kalian mungkin saja jadi presiden planet Bumi, alih-alih sedang membaca tulisan ini. Atau malah ada dunia di mana pada waktu yang bersamaan, kita versi dunia tersebut sudah tiada. Ada kemungkinan tak-terhitung. Ada diri kita yang tak-terhingga.

jika kalian tak tahu Stephen Hawking, baiknya kalian pergi ke dunia di mana dia masih hidup sehat wal’afiat dan sungkem meminta maaf

 

 

Multiverse yang serumit jaringan sarang laba-laba inilah yang menjadi panggung dalam usaha terakhir Sony menghidupkan Spider-Man ke layar lebar. Untuk pertama kalinya tampil dalam wujud animasi, Spider-Man terbaru ini meruntuhkan anggapan bahwa Spider-Man hanyalah Peter Parker seorang. Ada seorang anak muda, Miles Morales, yang terkena gigitan laba-laba radioaktif seperti pahlawan super dalam buku komik yang dikoleksinya. Sehingga beban berat penyelamat umat manusia itu pun kudu hinggap di pundaknya. Kerlebih karena di dunia tempat Morales tinggal, Peter Parker sudah mati. Penjahat bernama Kingpin merajalela, berbuat onar demi tercapainya tujuan membuka gerbang antar-universe. Morales yang masih remaja baik umur maupun sebagai ‘webslinger’ harus bekerja sama mengagalkan rencana Kingpin dengan berbagai macam Spider-Man, cowok maupun cewek maupun…umm binatang?, yang ditarik masuk dari timeline universe yang lain.

Membacanya mungkin sedikit rumit. Tapi film ini tidak pernah menjadi ribet. Karakter yang bejibun, backstory yang saling antri untuk diceritakan itu, tidak pernah hadir tumpang tindih. Karena film punya cara bercerita yang amat sangat unik. Menonton film ini terasa seperti membaca buku komik tanpa perlu membuka halamannya, karena gambarnya udah bergerak sendiri. Gaya animasi, pewarnaan, bahkan kotak-kotak panel dan kotak-kotak dialog – terutama muncul saat tokoh sedang berbicara dalam hati – udah komik banget. Kotak dialog tersebut jadi alat yang efektif untuk membuat cerita memiliki kedalaman, membuatnya serius dengan tokoh yang punya gejolak di hati, tanpa mengurangi pace penuturan. Ada begitu banyak yang terjadi di layar yang membuat kita tersedot untuk memperhatikan, dan semuanya berjalan dengan begitu mulus. Saat aku menonton memang ada sedikit mengganjal perhatianku; garis-garis gambarnya yang tidak tegas, yang ngeblur seolah film ini diniatkan untuk tiga-dimensi, tetapi bioskopnya menayangkan di teknologi dua-dimensi. Aku gak tahu apa itu cuma terjadi di studio pas aku nonton saja, yang jelas bahkan kelamuran itu enggak berarti banyak untuk mengganggu keasyikanku menikmati animasi yang begitu kreatif itu. Tunggu sampai kalian menyaksikan sendiri adegan aksinya, wuihhhh!!!

Dan film ini juga punya selera humor yang benar-benar kocak, enggak receh. Film selalu bisa menyelipkan humor yang mendorong adegan menjadi lebih pecah. Yang membuat cerita menjadi lebih kerasa. Setidaknya ada enam versi Spider-Man yang muncul di sini, dan masing-masing mereka mendapat bagian pengenalan yang serupa-tapi-tak sama yang disebar di titik-titik berbeda sepanjang narasi. Mereka masing-masing akan bercerita ‘origin’ dan apa yang mereka lakukan lewat komik versi dunia mereka – ada konsistensi di sini, namun akan ‘dihancurkan’ dengan gimmick tertentu dari Spider-Man yang sedang diceritakan. Ini menciptakan humor kreatif yang bukan saja bikin kita terbahak, melainkan juga semakin peduli dengan karakternya karena kita langsung tahu apa sih kekhususan dari Spider-Man yang satu itu.

ada gak ya universe di mana aku yang jadi Spider-Man?

 

 

Pada lapisan permukaan, kita bisa melihat keuntungan menghadirkan banyak Spider-Man dalam rangka menarik minat penonton dan menciptakan pengalaman yang berbeda. Secara kreatif ini juga merupakan cara yang gampang; mengolah humor-humor meta dengan konsep tokoh film yang memiliki self-awareness terhadap semesta dan sejarah komik dan versi-versi dirinya sendiri. Di sisi yang lebih dalam, penulisan film yang dibuat begini – yang mengeksplorasi banyak dunia – sebenarnya adalah cara yang pintar untuk membahas tema utama, inti hati yang jadi bangunan utama cerita. Yakni tentang pilihan. Tokoh utama kita, Miles Morales, berjuang dengan hal mana yang sebenarnya menjadi pilihan buatnya. Dia yang lebih suka ngegambar grafiti bareng pamannya, dikirim oleh ayahnya yang polisi ke sekolah asrama, dan Morales sama sekali tidak merasa nyaman berada di sana. Hubungan Morales dengan ayahnya tidak begitu baik karena hal tersebut, karena ia merasa ayah yang membuat ia jadi tidak punya pilihan. Bahkan ketika dia nantinya punya kekuatan Spider-Man, Morales tidak langsung lancar dan enjoy menggunakan kekuatannya tersebut. Dia kesulitan untuk belajar cara berayun dengan jaring. Dia tidak bisa mengontrol kekuatan spesial yang hanya dirinya bisa lakukan. Karena di dalam hati, dia tahu ayahnya ‘membenci’ Spider-Man. “Siapapun bisa memakai topeng. Beraksi di baliknya” cela sang Ayah.

Kemunculan para Spider-Man dari dunia berbeda membuat Morales bisa melihat bahwa pilihan kita membentuk hasil yang berbeda-beda pula. Ada Peter Parker yang gendut oleh depresi di salah satu universe yang ia temui! Multiverse memainkan peran yang begitu besar ke dalam topik cerita karena menunjukkan kepada Morales, kepada kita, bahwa superhero bukan menjadi superhero karena mereka orang yang spesial. Setiap orang, siapapun itu, bisa kena gigit laba-laba radioaktif. Bahkan Morales, anak abg kulit hitam yang bahkan tidak sanggup ngomong lebih dari dua kalimat kepada cewek seusianya tanpa terdengar awkward. “Siapapun bisa memakai topeng” menjelang akhir cerita kata-kata ayah terngiang kembali dalam kepala Morales, hanya saja kali ini ia mendengarnya dengan nada yang berbeda. Tidak semua orang mau bertahan dihajar berkali-kali, menembuh bahaya dan memikul tanggung jawab seperti yang dilakukan oleh Peter Parker. Tidak semua orang mau menghadapi masalah dengan kemampuan mereka. Tidak semua orang memilih untuk optimis, seperti yang dilakukan oleh Peter, dan juga oleh Morales.

Teori Multiverse mengajarkan kepada kita bahwasanya ada spektrum-spektrum yang begitu beragam muncul dari pilihan yang kita lakukan. Ada banyak versi dari kita, tidak ada kita secara khusus, kita bukanlah the absolute one. Pilihan kitalah yang membuat diri kita spesial. Melebihi dari apa kemampuan kita, karena yang dihitung adalah apa yang actually kita pilih untuk kita lakukan. 

 

 

 

Ada banyak hal hebat yang dihadirkan oleh film ini, dari awal hingga akhir. Penampilan voice akting yang dahsyat, animasi serta gaya humor yang kreatif, aksi yang seru dan bikin nagih. Bahkan mulai dari cameo hingga adegan-sehabis-kreditnya aja sudah cukup mampu membuat kita berderai. Oleh tawa dan air mata. Menggunakan konsep rumit multiverse, film ini sendiri tidak pernah bikin kita mengerutkan kening, malahan semuanya begitu menyenangkan. Segi drama dan hiburan, semuanya didorong dengan maksimal. Kadang ada begitu banyak informasi dan karakter yang bermunculan sekaligus, jadi film bisa dengan gampang menjadi sesak jika mereka tidak melakukan sedikit pengurangan di beberapa aspek. Aku mengerti kenapa mereka kurang banyak menggali Kingpin, juga hubungan antara ayah dengan paman Morales; Film baru saja melakukan pilihannya sendiri, that’s all, folks!
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian percaya dengan teori multiverse yang berakar pada teori Big Bang tersebut? Apakah kalian penasaran untuk melihat versi diri sendiri, atau malah takut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

VENOM Review

“Love is a positive, symbiotic, reciprocal flow between two or more entities.”

 

 

Eddie Brock menjadi jurnalis investigasi terkenal tidak dengan berobjektif-ria melaporkan fakta yang bisa dibaca orang di tempat lain. Dia mengungkap sesuatu yang (mungkin) disembunyikan, membangun pendapat dan penilaian pribadinya, melakukan riset terhadap suatu cerita, kemudian mempersembahkannya sebagai berita. Brock ‘memeras’ urusan orang demi keuntungannya, begitulah cara dia menegakkan kebenaran. Jurnalis kayak Brock ini pasti punya banyak musuh, bahkan orang terdekat pun bisa terluka olehnya. “You’re pathologically self absorbed!” pungkas pacarnya ketika Brock membawa dirinya ikutan dipecat lantaran Brock melanggar batas dalam suatu sesi wawancara dengan ilmuwan ternama. Ternyata, pathologically self absorbed tersebut sungguh foreshadowing apa yang bakal terjadi kepada Brock. Sebuah (atau seekor?) parasit luar angkasa terserap masuk ke dalam dirinya, mengubah Brock menjadi monster mengerikan; sesuatu yang selama ini hanya dikatakan orang mengenai dirinya.

Dunia lebih butuh jurnalis-jurnalis monster seperti Eddie Brock, yang menghadirkan berita yang menggigit disertai dengan investigasi rumit sehingga data-datanya kumplit, as opposed to berita yang hanya nyari sensasi – untuk kemudian diketahui ternyata hoax

 

Kita suka Venom lantaran tokoh ini brutal, ya selera humornya yang terkadang aneh, ya aksi berantemnya sangar. Jadi keputusan membuat film ini dengan rating PG-13 cukup membuatku menjulurkan lidah. Tapi, ya, bisalah kita pahami karena boleh jadi mereka ingin mengolaborasikan Venom dengan Spider-Man dan superhero Marvel yang lain di kemudian hari. Jadi, tone-nya harus diseragamin ringan. Dan demi memikirkan kemungkinan ini, kedua mataku terbelalak lebar. Mungkinkah mereka bisa bersatu – Venom actually adalah yang pertama dari Marvel Universe garapan Sony, sedangkan Spidey sudah bersarang di Marvel Cinematic Universe milik Disney? Venom dan Spider-Man tidak bisa untuk tidak tampil bersama, but how they could pull it off – apakah bakal ada dua Spider-Man?? Skenario terburuk adalah franchise Spidey versi Andrew Garfield yang failed dihidupkan kembali oleh Sony karena film Venom ini atmosfernya deket banget dengan film Amazing Spider-Man tersebut.

kurang lebih begini juga tampangku memikirkannya

 

 

Kekhawatiranku itu harus ditunda dulu karena film ini sudah dimulai. Tapi enggak lama sih, karena dari adegan pembukanya saja kita langsung bisa menerka betapa plotnya bakal se-basic yang bisa kita dapatkan dari cerita superhero – meskipun Venom sebenarnya tidak benar-benar pahlawan, dia lebih dekat sebagai antihero. Perusahaan jahat membawa organisme alien ke Bumi untuk suatu rencana pemusnahan umat manusia, yang tentu saja menjadi senjata makan tuan lantaran organisme itu gagal untuk mereka kendalikan. Eddie Brock berusaha mengungkap tindak yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Yang membawanya langsung kepada salah satu organisme yang disebut Symbiote. Brock dan si Symbiote yang menjadikannya inang belajar untuk bersatu. Atas nama para pecundang alam semesta, mereka berusaha mengalahkan rencana jahat dan menyelamatkan dunia.

Ada banyak bualan dan berbagai bentuk pseudo-science yang tidak pernah tampak menarik barang satu kali pun. Kita tidak perlu berlama-lama dibuai oleh cerita origin. Mereka punya kesempatan untuk mengarang cerita origin baru yang menarik, yang berbeda dari komik, tapi yang berhasil mereka rangkai merupakan cerita yang begitu usang yang bahkan anak kecil yang sudah nonton superhero dua tahun terakhir bisa mengarang cerita lebih bagus dari ini. Karena yang kita ingin lihat sebenarnya adalah bagaimana Eddie Brock belajar untuk kompakan dengan Venom di dalam tubuhnya. Dan bahkan aspek tersebut pun terasa cukup biasa, lantaran baru-baru ini kita sudah disuguhkan pengalaman serupa tentang bagaimana manusia berkompromi dengan chip komputer yang mengendalikan tubuhnya dalam film Upgrade (2018)

pada akhirnya aku hanya ingin melihat apakah Brock jadi memberi makan si kucing atau tidak

 

Elemen Brock melihat dengan ngeri saat Venom mengambil alih tubuhnya, menyerang dan bahkan menyelematkan dirinya dengan sulur-sulur berotot, that’s one fun element yang sayangnya tidak mendapat perhatian lebih dari pembuat film. Tidak benar-benar menggali sesuatu yang baru, terlebih karena kita baru saja menonton Upgrade. Film Venom hanya mengandalkan CGI untuk menghasilkan efek pertempuran yang fantastis. Sementara pada Upgrade kita melihat permainan kamera, yang disertai dengan koreografi yang benar-benar diperhatikan; film ini biayanya gak gede. Lucunya, membandingkan dua film tersebut, kita justru melihat Venom yang seperti murahan – semuanya tampak gampangan pada Venom karena simply mereka punya budget yang gede. Tidak ada usaha untuk menampilkan pengalaman yang melampaui batas. Dan ya, Venom itu hitam, menampilkan aksinya dalam langit malam bukanlah usaha yang menarik. Taruh dia sebagian besar berantem di siang hari, kontraskan wujudnya dengan sekitar, nah itu baru menarik.

Tom Hardy adalah aktor yang hebat, gak ada yang bakal mendebat kalo kita bilang begini. Hanya saja sebagai baik sebagai Eddie Brock ataupun Venom sekalipun, tidak banyak hal spesial yang ia lakukan. Hardy membawakan dengan meyakinkan transformasi Brock dari sebelum kenalan ama Venom ampe dia bergabung dengan parasit itu. Kita bisa melihat pengaruh Venom mengonsumsi tubuhnya. Kita juga mendengar mereka menjalin hubungan ‘kerja sama’ antara sesama pecundang. Tapi elemen cerita ini hanya berlaku satu arah. I mean, susah untuk melihat monster sekeren itu sebagai pecundang di planetnya tanpa membayangkan betapa kocaknya pem-bully-an yang mungkin terjadi di planet asal mereka. Yang bisa bikin kita percaya adalah betapa ‘jinak’nya Venom di film ini terasa. Salah satu adegan paling manis film ini datang dari Venom mengingatkan Brock untuk minta maaf kepada pacarnya. Namun terkadang, Venom yang jinak ini seperti penantian yang tak memuaskan. Baru pada mid-point kita melihat Brock embracing hidupnya sebagai inang Venom. Alih-alih melihat yang ganas-ganas dari struggle Brock berkompromi dengan Venom – belajar mengenainya, mereka bisa saja membuat Venom menyantap apapun, apa aja dehyang membuat Brock dan kita semua trauma, namun yang kita dapatkan adalah adegan Brock dan Venom, dengan cara yang konyol, menakut-nakuti tetangga yang main musik dengan keras karena dia membuat Venom lemah.

Cinta mestinya adalah hubungan simbiosis yang positif. Kita tidak harus merasa tak lengkap, kehilangan identitas, atau bahkan menyalahkan pasangan karena setelah bersama kita merasa bukan diri kita yang sebenarnya. Memang, kadang kita perlu untuk mengattach diri kepada tumpuan hati, so to speak. Yang harus diingat adalah ketika kita merasa ada kebutuhan emosional yang tak terpenuhi, tetaplah dependen terhadap diri sendiri, toh it’s not like your other half suck the life out of you.

 

Sudah lama kita enggak melihat keseluruhan wajah Tom Hardy dalam film, you know, biasanya dia akting kelihatan mata doang. Mungkin ini cuma aku, tapi di film ini aku melihat Hardy kalo ngomong dan membangun ekspresi mirip-mirip Reza Rahadian haha. Bicara soal kemiripan dengan Reza, aku pikir meskipun ini gak separah Reza dan Benyamin Biang Kerok (2018), tapi apa yang terjadi sama Tom Hardy di Venom ini adalah taraf yang cukup rendah baginya; Diambil menjadi bagian dari universe yang mengincar nama dan tidak benar-benar memanfaatkan potensinya, ini bukan simbiosis yang menguntungkan bagi Hardy.

 

 

 

 

Eddie Brock dan symbiote Venom akhirnya memang bisa bersatu, manusia ini bisa berkompromi dengan monster pelahap kepala manusia. Tapi bukan mereka saja yang harus diseimbangkan. Tone kekerasan dan komedi brutal dari fitrah karakter Venom, dimaksudkan untuk merasuk mulus dalam tubuh yang PG-13.  Hubungan emosional dan koneksi efek visual juga mestinya disejajarkan. Namun, untuk dua pasangan tersebut, film gagal meraih titik seimbang. Film ini mestinya ambigu untuk menjadi menarik, karena itulah yang membuat tokoh Venom sendiri begitu digemari sebagai antihero dari Spider-Man. Hanya saja, selain interaksi yang menyenangkan, kita akan lebih banyak melihat ketidakjelasan dalam bentuk adegan berantem.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for VENOM.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa dirugikan dalam suatu hubungan; baik pacaran ataupun pertemanan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WONDER WOMAN Review

“Wars will remain while human nature remains.”

 

 

Udah kodratnya manusia demen berantem. Cuma kita, loh, spesies yang berperang karena sedikit perbedaan aja. Dan film Wonder Woman actually adalah suara yang kita butuhkan untuk mengatasi tabiat buruk penuh prasangka dan kebiasaan mengotak-ngotakkan. Wonder Woman, bukan saja merupakan film DC Universe pertama sejak trilogy Batmannya Christopher Nolan yang legitimately bagus, film ini juga punya kepentingan yang begitu besar untuk ditonton hari-hari sekarang banget. Film ini worked on so many level. Dia punya relevansi dan kedalaman emosi yang menggapai kita semua, lewat karakter-karkaternya berbicara dengan lantang tentang kebutuhan kita akan harapan dan keyakinan. Buat penggemar komik atau serial originalnya pun, Wonder Woman melampui apa yang diharapkan. Tentu saja, melampaui dalam cahaya yang positif.

Pertama dan terutama sekali, ini adalah cerita asal muasal Diana sebagai seorang superhero. Film yang panjang, tapi enggak akan jadi masalah karena kita perlu untuk melihat darimana dia berasal, literally dan figuratively. Kita perlu untuk bisa melihat kenapa Diana menjadi the way she is. Kita akan berkunjung ke kampung halamannya, sebuah pulau bak surga, yang dihuni oleh kaum Amazon yang seluruhnya adalah wanita. Di sana Diana sedari kecil sudah enggak sabar untuk dilatih bertempur menjadi seorang pejuang. Oleh ibunya, dia diceritakan kisah tentang dewa-dewa dan manusia, gimana Dewa Perang, Ares, menanam bibit kebencian dan prasangka demi membuat para manusia saling berperang. Ares terasing oleh Zeus, dan kaum Amazon dititah untuk berlatih sebagai persiapan bertempur melawan Ares. Kemudian seorang pria manusia terdampar di pulau Diana, sepasukan tentara Jerman mengekor di belakang puing pesawatnya. Dari pria tersebut, Diana menjadi tahu akan keadaan dunia luar; Perang Dunia I lagi hits. Percaya ini ada kaitannya dengan Ares, Diana tergerak untuk pergi membantu perang melawan Jerman.

Pulau Surga banget

 

Cerita superhero semestinya tidak berpuas menuhin misi sesak oleh adegan-adegan aksi dan komentar-komentar talk trash ataupun yang konyol. DC Universe melakukannya dengan benar kali ini. Wonder Woman punya skrip yang ketat, pengkarakteran tokoh-tokohnya ditulis sangat kuat. Semua elemen digunakan untuk membangun karakter Diana, really catering into her upbringing. Ada warna kebanggaan dan harapan yang melekat erat. Dan film ini melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Captain America: The First Avenger (2011); kita benar-benar melihat seting perang, lantaran Diana terlibat langsung di dalam perang tersebut. Film ini juga punya serangkaian lelucon, actually sangat kocak. Film ini paham untuk memerah canda dari trope-trope klasik Wonder Woman. Tidak seperti film-film DC sebelumnya, Wonder Woman tidak mengubah perspektif kita terhadap sang superhero. Film ini embrace the nature dan membuat kita merasakan sensasi wonder dunia dan karakter si Diana. The movie knows how to make fun of the whole origin concept, bagian mana yang konyol, dan mengolahnya menjadi dialog yang ringan dan menghibur.

Dan Gal Gadot, tak pelak, adalah keajaiban – the wonder woman – yang berhasil ditemukan oleh tim casting. Cewek ini adalah hal terbaik dari film Batman v Superman (2016). Dalam film ini kita melihat lebih banyak darinya, tentunya. Untungnya. Dia memainkan Diana penuh oleh asa, joy, dan tanpa kesinisan. GAL GADOT OWNS THE ROLE seperti Hugh Jackman owned Wolverine. Mulai sekarang, setiap kali ada yang nyebut Wonder Woman, kita akan teringat Gal Gadot. Meskipun ini adalah film yang tokoh utamanya wanita, kisah Diana bukan semata cerita tentang pemberdayaan perempuan. Diana bukan cewek sempurna yang benci pria, dan pria-pria di sekitarnya adalah pribadi yang tercela. Wonder Woman, malahan, adalah cerita yang membawa rasa setara. Manusia adalah equal, sama rata baiknya-sama rata cacatnya. Tidak seperti Jyn Erso dalam Rogue One (2016) yang self-sufficient gitu aja, Diana akan diperlihatkan banyak belajar. Dia sangat naïf dan film memberikan kita kesempatan untuk berjalan bersamanya. Kita akan merasakan semua gejolak naik-turun emosi Diana.

Diana tumbuh dengan percaya akan keperluan untuk bertempur, dia ingin memenuhi takdir sebagai seorang Amazon untuk membela dunia dari kacau dan kehancuran perang. Dia pejuang yang gigih dan gak sabar untuk unjuk kebolehan mengalahkan musuh, tetapi tujuannya berperang hanyalah untuk mengakhiri perang itu sendiri. Semakin banyak dia melihat sendiri keadaan para korban perang, semakin yakinlah ia akan kepentingan untuk menghentikan perang, dan hal tersebut membuatnya semakin ‘mengamuk’ sekaligus enggak pasti serta ketakutan untuk melepaskan kekuatan sejatinya. Misi Diana berubah dari yang tadinya enggak personalpersonal amat – dia ‘hanya’ melaksanakan apa yang ditugaskan oleh Dewa – menjadi lebih pribadi dan rasa kebenaran dirinya semakin bertumbuh. Kerja permainan peran Gadot sangat luar biasa dalam menghidupkan emosi dan motivasi Diana, sembari dia menyaksikan peradaban dan kemanusiaan yang menderita.

Dalam perang akan selalu ada pengorbanan dan penderitaan; kehilangan yang amat besar. Di saat-saat seperti itulah, di saat kita tidak bisa lagi melihat alasan untuk percaya. keyakinan menjadi hal yang paling penting. Kemampuan kita untuk percaya tanpa alasan untuk percaya, ditambah dengan kemampuan kita untuk berbuat baik di tengah-tengah penderitaan dan resiko kehilangan nyawa sendiri, adalah dua hal yang membantu kemanusiaan untuk bangkit. Sehingga bukan tidak mungkin, memberikan kesempatan kepada kita untuk sebuah penebusan.

 

 

Gadot juga sukses berat mengimplementasikan keahlian krav maga nya ke dalam sekuen-sekuen aksi Diana. Hand-to-hand combat film ini sangat keren, kebanyakan adalah wide shot yang sangat aktif, dengan koreografi yang, mungkin saja, mengeset standar baru dalam action superhero. Ada sejumlah momen aksi kecil-kecilan, namun aksi gedenya ditawarkan dalam tiga kali kesempatan oleh film ini, satu pada masing-masing babak. Dan setiap kali sekuen aksi itu berlangsung, maaaan, rasanya puas banget. Aku beneran ikut goyang-goyangin pergelangan tangan niruin Diana menangkis peluru di bagian zona perang, persis kayak orang yang masa kecilnya kurang bahagia. Pertempuran kaum Amazon di pantai itu bener-bener instant classic! Karena terlihat sangat berbeda dan baru. Dan tentu saja, intens. Porsi aksi finalnya lumayan berat oleh CGI, namun bisa dimengerti karena Wonder Woman bukanlah manusia normal. Begitu juga dengan musuhnya. Dan lagipula at that point, kita sudah begitu terinvest dan peduli terhadap karakternya, sehingga CGInya yang mirip-mirip final battle di Batman v Superman, kali ini dapat termaafkan.

and not to be confused sama film lokal jadul Darna Ajaib

 

Bukan hanya Diana yang belajar pelajaran berharga, film ini punya dua tokoh yang belajar di luar ‘kenyamanan’ dunianya. Tadi aku sempat menyinggung soal equality, dan yang kumaksud adalah tokoh Steve Trevor, pria yang terdampar di pulau Diana. Steve adalah peran terbaik kedua dari Chris Pine setelah Hell or High Water (2016). Babak pertama film actually adalah tentang Steve yang belajar tentang dunia dan motivasi Diana. Pria ini sudah lelah berperang, dia ingin menghentikan perang secepatnya dengan sedapat mungkin tidak menjatuhkan lebih banyak korban. Aksinya sekarang terbatas hanya yang mungkin-mungkin saja. Namun kehadiran Diana dan segala desirenya, membuat Steve jadi punya alasan baru untuk percaya, untuk mengambil resiko yang lebih besar. Dia merasa lebih optimis terhadap kemanusiaan, dan terhadap cinta. See, relationship Diana dan Steve adalah sangat compelling. Chemistry keduanya turut terasa genuine. Aku sangat tersentuh di bagan akhir film karena aku sudah begitu peduli. Mereka berdua belajar terhadap masing-masing. And it’s not like, Steve adalah si lemah yang harus diselamatkan. Steve memberikan banyak untuk pengembangan karakter Diana, dan begitupun sebaliknya.

Film ini berani menyisihkan waktu untuk momen-momen kecil, yang tak jarang melibatkan tokoh-tokoh minor. Semuanya demi kepentingan menambah layer dan pengembangan terhadap karakter Diana. Seperti adegan Steve ngajarin Diana berdansa. Jarang loh, ada film superhero yang tipikalnya penuh aksi kayak gini yang mau ngerem sebentar untuk momen-momen kecil yang sebenarnya merefleksikan luka, yang membiarkan tokohnya menjadi manusia biasa. Tapi dalam film ini, bukan hanya adegan tersebut exist, namun juga berarti banyak untuk karakter mereka. Dan membuat relationship keduanya jauh lebih terflesh out. Bahkan tokoh jahatnya diberikan cerita dan motivasi yang membantu karakter Diana lebih jauh.

Kekejaman bisa menyamarkan kelemahan dan ketakutan, kejahatan bisa menyamarkan keputusasaan dan kematian, dan apa yang ingin kita salahkan sebagai penyakit di dunia kadang-kadang tidak sepenuhnya bersalah dan hanya bertanggung jawab bukan dengan cara yang semula kita duga.

 

Ada tiga tokoh jahat dalam film ini, dan masing-masing berbicara hal berbeda yang penting buat pertumbuhan cara pandang Diana. Namun tetap aku merasa tokoh jahat ini terlalu ‘lemah’. Sebagian dari mereka tidak terlalu terdevelop baik, sebagai seorang karakter. Ada adegan ketika Letnan jahat mengunci beberapa perwira Jerman di dalam ruangan berbom asap dan dia melemparkan satu masker ke dalam ruangan tersebut. Kemudian si jahat ini tertawa terbahak-bahak bersama dokter asistennya, dia bilang “biar pada rebutan, padahal maskernya juga enggak ngefek kok hauhahahaha!!” Terkadang tokoh-tokoh jahat ini terasa terlalu over dan enggak masuk ke dalam nuansa ceritanya, dan ini membuatku sedikit kecewa. Aku suka melihat tokoh jahat yang benar-benar ‘kuat’ dan menacing. Mungkin adegan rada-konyol tersebut disengaja, aku enggak tau, tapi di akhir ada lagi adegan yang bikin aku ngakak out-of-place, yaitu ketika Diana mau ngelawan Ares, namun pedangnya ketinggalan di atap, menciptakan momen awkward di tengah-tengah bantering kata-kata antara mereka.

 

 

 

 

Ini bukan film DC terbaik, but hell yea, this is what a superhero movie supposed to look like. Adegan aksinya fenomenal, seru, epic bangetlah pokoknya! Dan actually digunakan untuk mengembangkan karakter yang diberikan ruang untuk belajar banyak. Diana enggak sekonyong-konyong perfect, enggak ada yang selevel ama dia. Kita melihat dia belajar, kita malah belajar bersamanya. Sinematografinya benar-benar wah, dan kerasa banget perpindahan set mengiringi tema ceritanya. This film actually really colorful. Musiknya juga, setiap kali musik tema khas itu terdengar, aku merinding girang. Penampilan akting yang keren dari pemain yang beragam bangsa, sesuai dengan kepentingan film ini yang berkomentar soal bias sosial dan persamaan derajat. Meski tokoh-tokoh jahatnya bisa lebih dikembangin, sih.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for WONDER WOMAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LOGAN Review

“Fuck yeah give it to me, this is heaven, what I truly want; It’s innocence lost”

 

logan-poster

 

Di tahun 2029, Wolverine jadi supir limosin. Dengan nama samaran, dia nganterin penumpang-penumpang yang kebanyakan dari kelas atas, ke tempat tujuan mereka, demi uang yang digunakannya bakal obat buat Profesor X. Masa depan Logan tampaknya memang enggak begitu ceria, semuanya sekarat. Profesor sakit-sakitan. Mutan-mutan punah. Begitu juga dengan kekuatan yang bersemayam di dalam dirinya. Tapi Logan lebih suka begini. Dia selesai dengan ‘permainan’ jadi superhero. Dia letih melihat satu persatu temannya meninggal. Logan dan Charles Xavier sama-sama sudah siap menghadapi takdir mereka, yang membuat mereka deep inside bilang “Alhamdulillah bakal datang juga”. Tapi sebelum kesempatan beristirahat itu tiba, Logan musti kembali mengeluarkan kuku adamantiumnya. Kali ini buat ngelindungin gadis cilik misterius yang diburu oleh sekelompok pasukan. Logan, enggak begitu yakin siapa dan ada apa dengan bocah ini, sekarang harus ngetake care dua orang. Jadi sembari Wolverine mencincang dan menyayat anggota tubuh orang-orang jahat, dia juga harus belajar tentang siapa anak ini – yang tentu saja juga membuat Logan belajar lebih banyak tentang dirinya sendiri, dan hal tersebut menyayat hatinya. Sementara gadis cilik ini, well, dia mungkin enggak butuh pertolongan sebanyak itu sebab ia sendiri punya trik khusus di balik lengan bajunya.

Keputusan-keputusan yang diambil oleh film ini sukses membungkus ceritanya menjadi PERJALANAN YANG MEMUASKAN. Dalam Logan kita akan melihat Wolverine memegang komik X-Men, menunjukkannya kepada Prof X, membaca tentang petualangan mereka, untuk kemudian melemparnya begitu saja. Like, “Hey Prof, lihat nih.. petualangan kita” *balik balik halaman* “Pfft ngarang banget!”

Elemen komik X-Men yang secara fisik eksis dalam dunia cerita film ini bener-bener adalah sebuah ide yang sangat fresh dan cerdas. Komik tersebut bukan hanya sebagai tempelan humor, melainkan eventually menambah layer terhadap plot dan karakter. Cerita ini mengambil setting waktu jauh di masa depan, tentu saja dalam rentang Days of Future Past sampai ke ‘sekarang’ itu, sudah banyak petualangan yang mereka lalui. Orang-orang bersyukur atas kehadiran X-Men sampai-sampai mereka menulis buku komik tentang para pahlawan tersebut. Namun superhero juga manusia, bersama kekuatan hebat turut serta pula tanggungjawab yang gede. Komik hanya tahu tidak lebih dari seperempat apa yang mereka beneran hadapi. Reaksi Logan terhadap cerita fiksi dirinya berkostum spandek kuning-biru mencerminkan gimana kontrasnya dia dan orang lain dalam memandang eksistensinya sebagai Wolverine itu sendiri.

Memang, film Logan berada di barisan yang sama dengan apa yang dilakukan Christopher Nolan terhadap Batman alih-alih terasasejajar dengan apa yang kita dapat dari film-film Avengers dari Marvel.

 

Ini adalah sajian DRAMA SERIUS DENGAN LEDAKAN AKSI yang menyertainya. Logan adalah film kejam bertone kelam yang nunjukin karakter yang sembilan-puluh-sembilan persen udahan dengan yang namanya harapan. Meski begitu, kita tidak akan melihat Wolverine ataupun Prof X berkeliling bermuram durja dan depresi sepanjang waktu. Karakter-karakter ini belum kehilangan selera humor sepenuhnya. Ada banyak fun dan lelucon yang bisa kita nikmati dari interaksi antara para tokoh, terutama dari Wolverine dan Prof X yang hubungan mereka sudah terestablish dari film-film X-Men terdahulu. Aku suka dialog di meja makan saat Logan menyebutkan kepada orang-biasa bahwa pria botak tua di seberang meja itu dulunya pernah mengelola sekolah. Ada secercah diri mereka yang dulu hadir dalam pandangan mata dua karakter ini. Hal inilah yang membuat tokoh film Logan begitu hebat dan menarik; Melihat tokoh yang sudah kita kenal dan cintai diletakkan dalam posisi yang nian gelap dan mengukung dan nyaris terlupakan, sehingga kita ingin melihat sosok mereka yang sebenarnya keluar. Perasaan yang sangat fantastis melihat mereka, apalagi gadis cilik yang baru gabung itu, saling menumbuhkan rasa percaya dan saling mengapresiasi, saling belajar untuk menjadi pahlawan bagi satu sama lain.

“kapan gue ngelawan Pteranodon berkolor pink?”
“kapan gue ngelawan Pteranodon berkolor pink?”

 

Memainkan penampilan terakhirnya sebagai tokoh Wolverine, Hugh Jackman sekali lagi menunjukkan kekerenan yang luar biasa. Kita akan merindukan orang ini jika Wolverine masih muncul di film-film berikutnya. Hugh Jackman, sudah memerankan Wolverine dalam sepuluh kali kesempatan, dan portrayalnya dalam film ini adalah yang terbaik. Karena memang karakternya di sini adalah yang terdalem. Melihat Wolverine begitu ‘terluka’ menyibak kembali masa lalunya, membuat hati kita terasa tersayat juga. Hugh Jackman sangat fantastis memainkan karakter ini. Dia lelah. He’s broken down. Dia babak belur secara fisik dan secara emosi. Maksudku, Logan yang ini adalah bayang-bayang dari siapa yang he used to be. Jadi, ketika ada yang’ menantang’nya, rasanya menakjubkan sekali melihat persona Wolverine yang lama menerjang keluar. Satu kata untuk mencerminkan Logan adalah brutal.

Patrick Stewart juga sukses luar biasa memainkan perih karakternya. Beliau sakit, dia sering ngalamin episodes of seizures. Kebayang dong, dampaknya apa jika manusia dengan otak paling ‘berbahaya’ di muka bumi ngalamin seizure. The fact is, Profesor X sudah begitu tua, dia tidak mau apapun selain keselamatan orang-orang dan rumah. Karakter ini akan menambah lapisan emosi buat tokoh utama kita. Mengenai tokoh Laura, gadis cilik misterius yang harus dilindungi Wolverine, aku gak akan beberin banyak. Yang kudu aku katakan adalah Dafne Keen bermain sangat bagus. Ekspresinya enggak pernah gagal menyampaikan sesuatu kepada kita. Elemen utama film ini adalah rage, dan di tangan Dafne, tokoh Laura menjelma menjadi begitu lovable. She’s kind of terrifying actually, namun siapa sih yang enggak suka ama karakter cute yang capable nendang bokong dengan ganas?

ngeliat Logan dan Laura membuatku teringat sama Zaraki Kenpachi dan Yachiru dari anime Bleach
ngeliat Logan dan Laura membuatku teringat sama Zaraki Kenpachi dan Yachiru dari anime Bleach

 

Untuk bener-bener mencapai tingkatan emosional yang diincer, film tidak-bisa tidak tampil dengan rating Dewasa. Oh Tuhan, film ini sadis banget. Ingat Deadpool (2016) yang juga enggak nahan-nahan dalam nampilin adegan kekerasan? Well, seenggaknya Deadpool masih bertone komedi. Dalam Logan, tidak ada yang lucu saat Wolverine ngamuk. Memotong kaki dan tangan, menghujamkan belati adamantiumnya ke tengkorak orang. Darah muncrat di mana-mana. Potongan kepala menggelinding di tanah. Anak balita yang dibawa serta nonton sama pasangan muda di barisan di depanku nangis kejer, and I was like “selamat, kalian udah bikin anak sendiri trauma!”. Dari segi action, ini adalah film superhero yang paling sadis. I love it so much. Sudah lama kita berkelakar soal gimana efek tajamnya kuku Wolverine di berantem real life, di film inilah kita akan beneran melihatnya. Dan memang, rating Dewasa film ini turut andil menghantarkan cerita emosional yang powerful. Karena ada elemen dari penokohan yang enggak akan maksimal jika ditahan-tahan. Cuma inilah jalannya. FILM INI PERLU UNTUK JADI SADIS, KEJAM, DAN BRUTAL.

It might be kind of long reach buat dimengerti, namun saat menonton aksi dan emosi si Logan yang begitu lepas bebas di film ini, serta merta penggalan lagu Gods and Monstersnya Lana Del Rey bergaung di telingaku. Wolverine sudah begitu banyak melihat orang yang ia peduli berguguran. Setelah Prof X, dia sudah siap untuk ‘pensiun’ di tengah laut. Dia sudah siap untuk kehilangan semua. Tapi Logan’s deepest desire is to protect anyone. Kehadiran Laura dan anak-anak itu membuatnya sadar dia tinggal di dunia penuh ‘tuhan’ dan ‘monster-monster ciptaan mereka’, tempat di mana tidak ada keinosenan. Dan sungguh heartwrenching melihat Logan mendapatkan rumah yang ia cari.

 

Babak pertama dan ketiga adalah bagian yang terbaik dari film ini. Menarik dan terasa sangat intens. Porsi action memang mostly terletak pada kedua babak tersebut. Aku perlu menekankan bahwa action dalam Logan tidak terasa seperti fantasi ala film-film superhero yang lain. Aksi di sini lebih berfokus kepada koreografi dan penyampaian cerita, disyut dengan in-the-moment sehingga setiap ayunan tangan Wolverine begitu compelling. Sedangkan, babak kedua film – yang lebih ke road trip movie featuring mutants – agak sedikit goyah. Tidak ada yang terasa dramatis dan penting banget hadir di babak ini. Pemanfaatannya lebih ke buat pengembangan karakter. Untuk membuat Laura dan Wolverine tumbuh, hanya saja tidak ditulis semenarik apa yang harusnya bisa dibuat lebih. Selain itu, kadang sorotannya pindah ke karakter-karakter yang tidak punya banyak pengaruh buat keseluruhan film. Kita ingin cerita tetep fokus kedua karakter yang ingin kita lihat lebih banyak, akan tetapi film kerap ngasih liat karakter-karakter yang kurang menarik.

Aku enggak baca semua komik X-Men, jadi mungkin aku salah, tapi rasa-rasanya ada tokoh penting dalam film ini yang completely dikarang oleh scriptwriter. Untungnya sih, tokoh ini dihandle dengan lumayan baik, perannya mostly cukup bekerja for this movie. Ya kita memang harus bisa menerima fakta bahwa enggak semua yang difilmkan wajib banget persis niruin komik. Toh namanya juga adaptasi. I mean, seriously, enggak ada satupun dari kita yang pengen liat Hugh Jackman pake kostum persis Wolverine versi komik.

 

 

 

 

Terlepas dari rating R-nya, visi James Mangold tergambar sangat cantik lewat film ini. It was very well edited as it was very well acted. Pace ceritanya yang cepet enggak akan bikin bosen meski filmnya sendiri lebih sebuah drama dengan selingan aksi ketimbang aksi dengan bumbu drama. Ada sense western diberikan oleh Mangold, yang terintegral sempurna ke dalam cerita. Film koboy klasik Shane (1953) bukan sekedar tontonan selingan para tokoh, melainkan juga punya kepentingan di dalam narasi. Semua elemen dan putusan yang dibuat pada akhirnya terbungkus memuaskan, meski memang film ini tidak lantas sempurna secara emosional. Ada bagian ketika kita merasakan nothing dramatic atau apapun yang menambah bobot cerita. Kadang tone film terasa timpang. Film ini bekerja baik saat dia menjadi brutal dan menakutkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOGAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.