SEARCHING Review

“Google knows your true self”

 

 

 

Belakangan ini cuma dua hal yang dibahas orang-orang di timeline twitterku – Soal Asian Games 2018 yang pembukaan, pertandingan, dan penutupnya sama-sama heboh. Dan tentang betapa ‘recommended’nya film Searching. Dalam sehari, message-ku bisa penuh sama semacam yang nanyain “Mana nih review Searchingnya?”, “Searching keren loh, Kak”, “Ditunggu Searchingnyaaa”. Aku membaca komentar-komentar bagus tentang film itu, sampe-sampe bisa dinobatkan sebagai film yang mendapat resepsi terbaik tahun ini. Hypenya luar biasa. Tentu aku penasaran. Aku sempat nyalahin dompetku. Jika bukan karena isinya yang mengering, aku pastilah sudah menonton film ini sedari kemaren-kemaren. Namun kemudian logika kewaspadaan menghampiri, HARUSKAH KITA PERCAYA KEPADA APA YANG DIKATAKAN ORANG-ORANG DI INTERNET?

Tepatnya, pertanyaan itulah yang menjadi ide dasar dari  cerita Searching. Gagasan yang lebih jauh lagi lantas dibentrokkan dengan hubungan orangtua yang semakin renggang dengan anaknya.

Dalam Searching kita akan melihat David Kim (yang dulunya MILF-Guy, John Co kini menjadi bapak yang mencoba move on sepeninggal kematian istrinya) yang mencari anak gadisnya yang hilang, dengan hanya berbekal pertimbangannya dalam mempercayai informasi yang ia dapatkan dari internet. Malam itu David yang udah tertidur gagal mengangkat telefon dan voice-call dari putrinya, Margot (Michella La memperlihatkan permainan akting kuat lewat ekspresi). Siangnya, David mulai cemas, Margot tidak bisa dihubungi balik. Padahal biasanya, Margot selalu menyempatkan utnuk mengangkat panggilan. David pun kemudian nekat melakukan hal paling tabu yang bisa dilakukan orangtua terhadap anak remajanya; menghubungi teman-teman si anak. Tapi nihil, tidak ada yang tahu di mana Margot. Apakah dia diculik, atau sudah mati. Apa dia sedang dalam bahaya, atau sengaja minggat dari rumah. Sembari ketakutan kita juga terhimpun, David menghubungi polisi. Seorang detektif menjawab permintaan tolong David. Penyelidikan orang hilang dilakukan, David diharapkan membantu hanya dengan satu cara: memberikan informasi apa yang dilakukan oleh Margot, siapa teman-temannya. Sesuatu yang simpel yang tak ia duga menjadi halangan paling berat; David tidak tahu siapa anaknya.

Gak kebayang kalo Papa menghubungi daftar temanku di facebook “Halo, teman Arya?…. Loh, gak kenal tapi kok…ooh, dia yang add kamu duluan”

 

 

Jauh dari golongan film jelek, Searching ini – however – bagus tapi bukan karena seperti yang aku baca dikatakan oleh orang-orang di twitter. Kebanyakan berkata Searching keren di konsep dan pada pengungkapan twist di akhir cerita. But really, temanya yang begitu menantang pikiran, yang membayangi konflik di dalam hati si Davidlah, yang sejatinya menjadi kekuatan film Searching. Kita punya seorang bapak yang harus menyelami dunia internet yang penuh keanoniman sebagai satu-satunya sumber yang mau tak mau harus ia percaya dalam upaya mencari tahu siapa sebenarnya anaknya. Sebelum bisa menemukan keberadan Margot, David harus belajar dulu tentang hubungannya dengan sang anak, kenapa anak itu mendadak seperti orang asing baginya. Bentrokannya adalah kita tahu internet adalah tempat paling tak-dapat dipercaya regarding pengguna-penggunanya, gimana internet adalah tempat orang melakukan pencitraan, namun internet juga adalah tempat menuai simpati paling mujarab bagi remaja yang butuh perhatian seperti Margot. Banyak yang menggunakan internet sebagai buku harian, hanya saja rahasia yang kita tulis di sana bakal dibaca oleh orang-orang asing. Bayangkan menuangkan dirimu ke dalam buku harian Voldemort – tidak ada hal baik yang datang dari sana,.. ataukah ada?

Pernahkah kalian nge-google sesuatu yang segan untuk ditanyakan kepada teman-teman atau orang tua? Kita terkadang justru ikut-ikutan berlindung dibalik keanoniman. Kita lebih suka dan lebih nyaman untuk curhat kepada orang tak dikenal dibanding saudara sendiri, untuk menghindari tuduhan dan prasangka. Di dunia maya, kita akan mendapat simpati – jikapun dinyinyirin, tinggal nulis status yang nyurhatin ini, dan dijamin bakal banyak yang membela. Dalam hitungan detik. Kita lebih nyaman ngeconfirm atau ngefollow balik akun-akun ‘admin’ yang digerakkan oleh banyak orang tak-dikenal yang semuanya dipanggil “mimin” dibandingkan ngefollow balik sebuah akun pribadi milik teman lama yang udah beranikan diri menyapa. Tentu, kita takut akun palsu – namun apa bedanya? Dan akun orangtua atau keluarga, hahaha.. seperti sudah ada undang-undang tak tertulis; Orangtua jangan sekali-kali merekues pertemanan dengan akun anaknya.

Keanoniman sering dilihat sebagai aspek negatif yang muncul dalam komunikasi dunia maya. Karena penggunanya bisa menggunakan identitas apapun tanpa ada reperkusi. Kita bisa curhat dengan siapapun, kita bisa berdebat dengan lapisan usia manapun. Di saat yang bersamaan, penting untuk kita menyadari betapa kuatnya peran komunikasi seperti demikian; di mana yang dilihat bukan siapanya, melainkan adalah topik yang dibicarakan – informasi dan ide. Searching membuat kita sadar akan semua ini, bahwa komunikasi online sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan sosial manusia. Dan yang paling dalam komunikasi adalah kita perlu tahu ‘lawan bicara’ kita adalah seorang yang bisa dipercaya, tuangkan hatimu hanya kepada mereka. Sebab, baik maya atau nyata, orang sudah terbiasa untuk berpura-pura.

 

 

Searching mengeksplorasi semua itu. Bagaimana kita menggunakan internet sebagai pelarian karena kita tidak merasa nyaman untuk benar-benar terbuka dalam komunikasi langsung. Itulah masalah terbesar yang harus dihadapi. Ketika ada masalah, kita menutupinya. Kita tidak langsung membicarakannya. Kita bisa lihat sendiri gimana David sebenarnya marah kepada Margot yang ia sangka pergi naik gunung gak bilang-bilang, namun semua uneg-uneg hatinya itu ia hapus, emosinya ia telan kembali, dan mengirimkan hanya satu baris kalimat pesan instead. Kita melihat gimana satu orangtua rela melakukan hal di luar nalar demi menutupi perbuatan anaknya, yang sebenarnya tinggal dibuka dan dibicarakan baik-baik. Film ini dalam kapasitas netralnya juga tidak lantas melarang internet, dia memperlihatkan betapa dunia nyata juga penuh  muslihat dan topeng. Orang-orang beneran pada berahasia dengannya. David mendapat petunjuk dari internet, bukan dari penggunanya, melainkan dari detil yang ia perhatikan sendiri.

Finding Nemo dengan twist ala M. Night Shyamalan. Dengan internet!

 

 

Mengatakan film ini hanya konsep dan twist sesungguhnya mengecilkan sekali. Justru konsep dan twistnya yang mestinya bisa film ini lakukan dengan lebih baik lagi.  Twistnya, buatku, mengalihkan kita dari isu yang sedang dibicarakan. Seperti ketika Asuka menang di Royal Rumble 2018 dan kemudian Ronda Rousey debut mengalihkan spotlight. Atau ketika kita akhirnya bisa backflip di kolamrenang, tetapi kemudian ada anak bule yang dilepas renang di kolam yang dalam sama bapaknya. Kita jadi enggak benar-benar memperhatikan hal yang diniatkan. Tentu, ada keparalelan yang ingin diperlihatkan antara David dengan ‘tokoh jahat’. Twist di film ini tidak exactly untuk menipu penonton, melainkan cara satu-satunya cerita yang disampaikan untuk dapat berjalan. Hanya saja, kita tidak seharusnya melihat film ini dari “Oh ternyata si anu”. Ada gagasan penting yang sedang dibicarakan, tapi di akhir film hanya tampak sebatas merangkum perjalanan David, bahwa dia benar sedari awal dan dirinya  hanya perlu belajar untuk bicara dengan hati kepada anaknya, jangan mentang-mentang facetime-an dan ngobrol lewat internet bicaranya kayak robot tanpa hati dan tanpa rasa. Pembahasan seputar gimana dunia memandang kasus Margot; ketika banyak yang jadi sok kenal, banyak yang jadi sok peduli – sok pahlawan padahal hanya untuk naikin status sosial sendiri, jadinya terlihat sepintas saja.

Apa yang kita lakukan di internet mencerminkan siapa kita. Betapa mengerikannya fakta seseorang bisa belajar banyak tentang siapa diri kita jika mereka cukup persistent untuk stalking, melacak cookies dan web history komputer kita.

 

 

Konsep menarik yang dipunya sebenarnya enggak spesial, karena sudah digunakan di Unfriended (2015). Bahkan film ini mengacknowledge persamaan itu dengan ngasih easter egg nama Laura Barns sebagai salah satu topik di halaman facebook, kalian pada lihat enggak?  Storytelling menggunakan desktop ini memang cara yang unik untuk bercerita, asalkan ada alasan yang tepat untuk menggunakannya. Unfriended misalnya, film tersebut adalah cerita real-time saat geng sahabat yang lagi grup chat. Searching punya jangkauan waktu yang panjang, Margot hilang satu minggu, dan selama itu juga cerita kita saksikan datang dari layar komputer. Film menemukan cara untuk mengakomodasi ini. Layar yang kita lihat actually enggak berasal dari satu komputer yang sama. Saat dibutuhkan, film akan membawa kita melihat cerita dari layar GPS, dari layar berita, namun kadang peristiwanya sudah seperti tidak cocok ataupun enggak mesti-banget lagi diperlihatkan lewat kamera diegetic (kamera yang benar ada di cerita).

Also, arahan film ini enggak benar-benar membuat konsep itu jadi unik. Kita seharusnya melihat layar komputer, tapi sering layarnya itu di-zoom, menunjukkan betul apa yang perlu kita lihat – yang perlu kita baca. Ini mengurangi kekayaan-pengalaman menontonnya. Lebih terasa seperti kita memelototi eksposisi alih-alih melihat sesuatu cerita. Seharusnya mereka setia aja ngeframein satu layar komputer kayak Unfriended, biarkan penonton menyimak sendiri. Karena jadinya sudut pandangnya aneh. Misal, ketika adegan David video call dengan orang, layar akan dizoom memperlihatkan window berisi muka David, kemudian zoom out lagi. Kenapa perlakukannya begini? Kita harusnya bisa melihat ekspresi David tanpa harus di-in-the-face seperti demikian. Jikalau soal sudut pandangpun – kita diniatkan melihat apa yang David lihat, tetep aneh. I mean, saat ngobrol dengan orang lewat aplikasi video call, aku akan melihat wajah orang yang sedang kutelfon. Bukan fokus ke wajahku sendiri. Jadi mestinya kalo mau ngezoom, yang dizoom harusnya wajah lawan bicara David, dong.

 

 

 

Tidak ada yang bicara soal gagasan dan cerita yang film ini sampaikan. Semua yang kudengar hanyalah pujian perihal konsep desktop storytelling dan twistnya. Padahal justru di dua tersebut film ini melemah. Ada lapisan yang lebih dalam yang harus kita lihat, tapi cover yang cerita lakukan sedikit terlalu mengalihkan. Penulisan yang baik – kita mampu dibuat mencemaskan tokoh-tokohnya, konsep yang (masih) menarik, tak benar-benar diimbangi dengan arahan bertutur yang tepat. Ini film bagus yang disebut bagus pada elemen yang salah. Garis bawahnya, ini film yang bagus. Memang, kata-kata di internet itu harus dibuktikan sendiri. Termasuk kata-kata reviewer dan kritikus. Even me. Karena boleh jadi kita punya pandangan dan pendapat lain.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SEARCHING.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017