KOKI-KOKI CILIK 2 Review

“You decide… who you want to become.”

 

 

Nyanyian, petualangan di alam terbuka, dan banyak teman-teman untuk bermain sekaligus berkompetisi, bisa jadi adalah bahan-bahan utama untuk ‘memasak’ film anak-anak yang menarik. Sebagaimana sudah dibuktikan oleh Koki-Koki Cilik (2018) yang angka raihan jumlah penontonnya tidak bisa disebut mengecewakan. Ditulis oleh orang yang sama – Vera Varidia – dengan yang menulis film sebelumnya, ‘resep’ Koki-Koki Cilik 2 kembali berusaha menempatkan bahan-bahan tersebut setepat guna mungkin sehingga sekali lagi dapat membawa kita berhaha-hihi-huhu mengikuti perjalanan anak-anak yang hobi memasak, yang actually punya bobot emosi lantaran berakar kepada permasalahan keluarga yang dijamin lekat sama target penontonnya. Tapi bahkan dengan bahan yang sama dan resep yang familiar pun, rasa masakan bisa berbeda karena sejatinya cita rasa tergantung dari sang koki, dalam kasus film; sutradaranya. Koki-Koki Cilik 2 yang kali ini diaduk oleh Viva Westi, buatku memang meninggalkan kesan dan pengalaman menonton yang secara drastis berbeda dengan film pertamanya.

Bima dan teman-teman geng Kolik (Koki Cilik) bermaksud menghabiskan masa libur dengan pergi reunian ke Cooking Camp, tempat pertemuan dan awal persahabatan mereka. Tapi tidak ada cooking camp musim panas ini. Yang dua tahun lalu perbukitan hijau yang terawat, kini hutan dan rerumputan yang mulai menggersang. Kandang kambing pun ikut-ikutan kosong tak terawat. Bima cs menemukan Chef galak yang dulu jadi mentor mereka, Chef Grant, dalam keadaan awut-awutan. Beliau kehilangan semangat untuk memasak, sama seperti anak-anak calon pengunjung camp yang tak lagi berniat untuk mendaftarkan diri. Cooking camp mereka sudah di’bury’ oleh pernyataan salah satu chef restoran top di televisi. Masa kemah masak tapi yang ngajarinnya entah-siapa yang gak punya restoran sendiri? Tapi Bima dan teman-teman tetap semangat. Dengan menyalurkan energi, mereka mendorong Grant untuk membuka sendiri cooking camp. Mereka jualan pake food truck untuk menggalang dana. Semangat mereka pun semakin menyala dengan bergabungnya Adit yang jago banget masak sandwich. Tapi Adit yang datang bersama tantenya yang cakep punya masalah sendiri yang membuatnya jadi terlalu fragile dalam urusan masak-memasak. Keutuhan tim mereka pun senantiasa terancam.

kalo enggak, pilihannya cuma antara buka warteg atau makan mi mentah

 

Film sekuel ini selain menyiapkan sejumlah tokoh baru, juga actually menyiapkan daging yang lebih tebal untuk diolah. Ada lebih banyak hal yang dilakukan geng Kolik dalam film kali ini. Mereka membangun kembali Camp yang hampir nyatu lagi ama hutan di sekitar. Kita melihat anak-anak itu belajar cara jualan. Menghadapi sepi-pelanggan, dan ketika lagi rame harus belajar caranya bekerja dengan efisien sehingga tidak kelimpungan. Juga sedikit ada bahasan mengenai menanggapi kritikan. Dan sebaliknya – bagaimana ternyata perkataan yang kita lontarkan terhadap seseorang atau sesuatu dapat berdampak lebih besar dari yang kita niatkan. Di atas semua itu, ada pelajaran berharga soal membuat bangga dan menyenangkan hati orangtua sekaligus tetap melakukan pekerjaan yang kita sukai.

Semua pelajaran hidup yang tak dapat ditemukan di sekolah tersebut – menjadikan film ini cocok sekali sebagai tontonan bermanfaat di kala liburan – dikemas dengan tidak berat. Tapi tetap tidak kehilangan hatinya. Salah satu adegan paling menyentuh dan menghangatkan dalam film ini adalah ketika tante Adit berusaha menenangakn Adit yang emosi karena masakan yang buat Adit sangat personal dikatain enggak enak. Koki-Koki Cilik 2 sangat respek dan catering kepada penonton cilik. Permasalahan keluarga, adegan-adegan emosional selalu diimbangi dengan keriangan. Misalnya; sebelum Adit dipaksa pulang dari camp, anak-anak itu sedang bercanda-canda ngejodohin Grant sama tante Adel. Atau Adit yang pendiam diberikan ‘kekuatan’ kocak yakni mampu meramal hujan lewat bersin. Kita melihat anak-anak tersebut dihadapkan kepada persoalan dewasa, dan film membiarkan mereka menjadi anak-anak yang berusaha menyingkapi dan memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Sikap riang dan tingkah lucu para tokohnya menjadikan film ini seringan popcorn yang kita makan sembari menonton.

Untuk penonton dewasa, on the other hand, film ini dapat terasa terlalu menyuapi lantaran terlalu berusaha melayani penonton anak-anak. Ada beberapa dialog yang ditulis terlalu gamblang sehingga film jadi banyak cakap-cakap eksposisi. Buatku, film terasa agak kurang percaya sama pemahaman anak-anak. I mean, film-film kayak Toy Story 4 (2019) juga dibuat untuk anak-anak tapi tidak tampil terlalu literal. Dialog Koki-Koki Cilik 2 seharusnya juga tidak perlu terlalu menyuapi. Karena sering juga hal tersebut membuat pemeran anak-anaknya jadi terlihat kaku dan enggak lepas – mereka jadi ada ‘beban’ untuk menjelaskan alih-alih berakting sesuai imajinasi mereka. Perpindahan tone cerita dari yang riang menjadi lebih serius tersebut juga kadang terlalu cepat sehingga emosi yang diniatkan tidak mampu benar-benar tersampaikan. Dengan bahasan sebanyak yang film ini miliki, seharusnya diberikan alokasi waktu yang lebih panjang supaya emosi terbangun dengan lebih baik, supaya kita bisa lebih terinvest ke dalamnya. Tapi malahan editing pun tampak terburu-buru. Sering kita melihat adegan yang berakhir dengan mulut satu tokoh terbuka seolah hendak bicara, namun langsung dicut oleh pindah adegan. Adit di kala sendirinya suka berbicara dengan kalung; kebiasaan tersebut mustinya diperlihatkan cukup sering, tidak hanya dalam satu atau dua adegan. Begitu pula dengan pertunjukan boneka bayangan dari tantenya. Aku merasa seharusnya kita dapat adegan anak-anak menonton yang beneran dulu sebelum datang adegan boneka bayangan yang sebenarnya berfungsi untuk paparan informasi mengenai backstory Adit. Jadi elemen shadow puppet itu tak sekadar tampil sebagai aksesoris.

Kalian mungkin memperhatikan kenapa malah lebih banyak pembahasan tentang Adit (diperankan dengan susah payah oleh M. Adhiyat) yang anak baru dalam geng Bima. Itu karena memang sebenarnya menu utama dalam film ini adalah tentang persoalan Adit dengan ayahnya. Faras Fatik yang memainkan Bima, yang di film pertama jadi tokoh utama harus rela dikurangi perannya. Bima actually jadi ‘bergabung’ dengan teman-teman yang lain; tokoh utama film ini adalah geng Koki Cilik yang bergerak sebagai satu unit bareng-bareng

perannya sepiring bertujuh

 

Di sini kelemahan pengembangan cerita dapat terlihat. Dengan membuat para geng pemain lama tetap sebagai sorotan utama – besar kemungkinan karena mereka-mereka inilah yang membuat penonton jatuh hati, jadi film ingin seketika mempertemukan penonton dengan mereka – cerita menjadi berantakan dan terlihat gak fokus. Tokoh utama yang satu geng itu tampak ‘lemah’. Maksudku ini kayak cerita tentang anak-anak koki cilik yang pengen cooking camp kembali ada, tapi untuk mencapai itu mereka harus membantu membereskan persoalan Adit. Hanya saja mereka tidak melakukan, atau membantu, banyak untuk hal tersebut. Adit dan tokoh yang diperankan oleh Christian Sugiono seperti meresolve sendiri masalah mereka; mereka berdua yang setuju untuk cook off, mereka yang saling berkonfrontasi baek-baek.

Seharusnya sedari awal, Adit lebih ditonjolkan sebagai tokoh utama. Karena dia yang punya stake; anak-anak Kolik pada awalnya tidak punya stake apa-apa – sekiranya mereka gagal dalam membangkitkan kembali Cooking Camp, tidak ada yang ‘terluka’. Stake mulai muncul ketika kita sudah mengerti apa yang terjadi seputar karakter Adit. Dan itu munculnya cukup terlambat. Karena film memperlakukannya sebagai ‘rahasia’ yang berangsur terungkap. For a while, kejadian di film ini lempeng saja, tidak ada intensitas. Padahal jika dari awal langsung fokus sudah di Adit, kita akan lebih cepat ter-hook kepada cerita. Bayangkan jika film dibuka dengan langsung memberikan informasi keluarga Adit, siapa ayahnya, kenapa ia tinggal sama tantenya. Jika kita tahu Adit pengen masuk cooking camp tapi dilarang oleh ayahnya. Maka ia diam-diam ke sana ama tantenya. Sampai di camp, dia mengetahui bahwa tidak ada camp lagi karena ulah ayahnya sendiri. Ini memberikan konflik dramatis yang menarik, lantaran Adit justru pengen masuk camp karena ingin membuat bangga ayahnya. Adit memilih berusaha menghidupkan lagi cooking camp bersama Chef Grant. Para pemain lama bisa masuk setelah ini; Adit dan tante dan Grant butuh kru. Dari sini cerita bisa berlanjut sebagaimana yang film tampilkan; mereka bikin food truck, Adit ketahuan ayahnya, dan seterusnya. Efek yang sama akan tercapai, tapi dengan narasi yang lebih tight dan tokoh utama yang jadi lebih jelas dan kuat jika diarahkan seperti demikian.

Kadang ketika mengejar impian, kita lupa kenapa kita menginginkannya in the first place. Ayah Adit tidak lagi ingat kenapa dia pengen jadi chef. Tercemar oleh faktor orang lain, ia melupakan cintanya dan hanya mengingat pembuktian diri. Makanya dia yang udah sukses tak pernah memasak lagi. Adit lebih menyedihkan lagi; dia tak lagi peduli sama kesukaannya terhadap memasak karena yang ia pedulikan adalah bagaimana caranya dia bisa merasakan cinta sang ayah. Sesungguhnya semua itu memang tergantung Adit ataupun Ayahnya.

To cook or not cook. Lewat hubungan emosional antara anak-ayah, film menyugestikan bahwa tidak salah jika kita ingin berubah atau terpacu karena orang lain hanya saja harus ingat bahwa semua itu adalah keputusan kita. Dan untuk memutuskan suatu putusan kita perlu mengingat kembali segala yang kita cintai darinya.

 

Ketika mereview film pertamanya aku bilang Bima mengingatkanku kepada Deku di anime My Hero Academia karena kedua tokoh ini sama-sama perwujudan dari skenario cerita underdog yang baik. Di film kedua ini, aku pun masih teringat sama My Hero Academia lantaran Adit terlihat mirip sama tokoh yang bernama Todoroki. Mereka berdua sama-sama pendiam dan sok cool. Adit dan Todoroki sama-sama kehilangan ibu yang sangat mereka cintai, dan ayah menjadi motivasi terbesar buat mereka. Adit dan Todoroki sama-sama punya orangtua yang jago dalam pekerjaan mereka, yang kemudian diikuti jejaknya oleh sang anak. Adit dan Todoroki sama-sama mewarisi ‘kekuatan’ kedua orangtuanya – perbedaan mereka terletak di sini; Jika Todoroki lebih suka sama kekuatan ibu – dia membenci kekuatannya yang mirip sama kekuatan ayah dan sebisa mungkin tidak menggunakannya kecuali kepepet, maka si Adit justru menjadikan resep ayah sebagai masakan signaturenya, dan tidak menggunakan resep ibu hingga klimaks di akhir cerita. Dan menariknya lagi, nama Ibu Adit adalah Levi – nama tokoh dari anime lain; Attack on the Titan. Aku tahu ini kemungkinan besar hanyalah long reach, yang gak ngaruh juga di penilaian film, tapi aku gemar sama dua anime tersebut maka seneng aja ketika ada persamaan yang ternotice haha. Dan mungkin, pembuat film ini beneran juga penggemar anime.

 

 

 

Sekuel ini berhasil menyajikan diri sebagai tontonan anak-anak dengan permasalahan personal antara anak dengan orangtua yang lumayan kompleks – tidak sekadar mengantagoniskan satu pihak – sembari tetap menghibur dan terasa ringan. Sangat pantas untuk ditonton oleh anak-anak. Dan anak-anak tentu saja tidak akan peduli dengan kritikan atau kelemahan yang dipunya oleh film. They would love this movie more than us. Jadi aman untukku mengatakan bahwa film ini kalah rapi dibandingkan film pertamanya. Pengembangan-pengembangan pada cerita jatohnya malah seperti tempelan. Pacing ceritanya agak keteteran karena film enggak mau menjadi terlalu lambat demi anak-anak. Padahal sesungguhnya emosi yang dihadirkan bisa saja jadi lebih kuat disampaikan. Film ini bisa jadi lebih baik jika ‘dimasak’ lebih lama lagi, dan benar-benar menonjolkan main coursenya. Tapi anehnya, film ini kadang lebih milih yang instan – kayak jenggot Chef Grant yang keliatan banget kurang maksimalnya.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for KOKI-KOKI CILIK 2

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Siapakah yang menunjukkan gambaran ayah yang baik di film ini; Chef Grant atau papanya Adit? Menurut kalian apa sih resep menjadi orangtua yang baik?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

KOKI-KOKI CILIK Review

“Don’t do something just because you ‘should’”

 

 

 

Daftar menu perfilman tanah air bertambah lengkap berkat kehadiran Koki-Koki Cilik. I mean, film anak-anak aja jarang kita dapatkan, film tentang masak memasak apalagi. Dan Koki-Koki Cilik ini berani dan kreatif sekali menggabungkan keduanya. Enggak sekadar hadir sebagai alternatif penggembira dalam industri perfilman kita; sendirinya Koki-Koki Cilik adalah sajian film yang lengkap dan bergizi tinggi! (Hmmm.. psst… sekiranya ada produser ataupun filmmaker yang baca ulasan ini, aku punya dua cerita yang belum nemu ‘jodoh’ loh; satu  tentang anak-anak, dan satu lagi tentang masakan, bikin juga yuk ahayyy)

Dua hal yang dibutuhkan oleh anak kecil adalah dianggap ‘bisa’ oleh orang dewasa dan mendapatkan kebebasan untuk bermain menyalurkan hobi mereka.  Berdasarkan inilah cerita Koki-Koki Cilik dibangun. Tokoh utamanya, Bima, sudah dikenal sama orang-orang di kampung tempat tinggalnya sebagai anak baik yang suka memasak. Makanya, begitu tabungan Bima dan ibunya ternyata tidak cukup untuk membayar biasa masuk sebuah kemah memasak khusus untuk anak-anak, para tetangga di rumah patungan untuk membantu. Bima senang. Hatinya riang. Di cooking camp yang berlokasi di perbukitan hijau itu, Bima bertemu dengan dua-puluh anak-anak lain yang juga hobi memasak. Mereka bermain bersama, beraktivitas sehubungan dengan memasak bareng-bareng, dan ya berkompetisi. Gol di perkemahan itu adalah memilih juara pertama, yang paling jago masak. Untuk menentukan ini, akan ada babak-babak seleksi segala macem. Buat Bima yang masuk karena murni kecintaannya pada memasak, keadaan di kemah dapat menjadi sangat menekan.  Bima tidak bisa membuat menu-menu modern ala masakan hotel, dia belum pernah makan sushi, dan dia diledek dan dimarahi karenanya. Dia hanya tahu masakan yang tertulis dalam buku resep warisan almarhum ayahnya.  Stress sempat membuat Bima pengen pulang saja, tapi ia tetap berusaha belajar. Dan demi mentor yang ia kagumi di camp, Bima berjuang untuk menjadi koki jawara.

bentuknya boleh gak cantik, tapi masakan Bima punya kepribadian yang bagus

 

Since kita bicara tentang anak-anak dan kompetisi, maka aku akan membandingkan film ini dengan satu lagi film anak yang baru saja tayang, dan sudah kureview; Kulari ke Pantai (2018). Kedua film ini sama-sama menyenangkan, sama-sama sarat pelajaran berharga; mereka melaksanakan misinya sebagai tontonan yang bisa dinikmati oleh anak-anak bareng keluarga. Bukan hanya keceriaan dan tawa yang dibawa pulang oleh penonton cilik sehabis keluar dari bioskop. Akan tetapi, penulisan Koki-Koki Cilik jauh lebih baik. Perspektif tokoh utamanya terhampar kuat. Sekuen-sekuen yang tersusun dalam tiga babak film ini mengalir dengan rapi. Tokoh utama pada Kulari ke Pantai tidak benar-benar merasakan rintangan, kita lebih gravitate ke arah karakter yang lain; Happy lebih relatable buat penonton anak-anak kekinian dibandingkan Sam. Sedangkan Bima pada Koki-Koki Cilik, man, anak ini digempur habis-habisan. Untuk alasan entah apa, kepala koki di kemah itu galak kepadanya. Dia dipandang remeh karena masakannya sederhana.  Dia juga digalak-galakin sama mentornya, Chef Rama (Morgan Oey tampak sudah terestablish sebagai aktor kawakan di sini).

Kita akan konek instantly kepada Bima. Bukan karena dia anak miskin yang perlu menabung setahun untuk bisa sampai di sana, tapi karena dia adalah underdog yang menempuh banyak halangan bahkan untuk terdaftar sebagai peserta saja.

 

 

Film bijaksana sekali dalam membangun tokoh Bima.  Kita begitu peduli saat anak ini menangis dan merasa tidak sanggup melanjutkan, dan kita kembali turut ceria melihat teman-teman camp, yang sudah tersentuh oleh pribadi Bima yang elok, berusaha untuk membuat Bima bersenang hati. Diberikan range emosi yang jauh, enggak gampang buat anak cowok berakting nangis dan merasakan banyak hal menyerangnya dari segala arah, Faras Fatik gemilang memainkan tokoh ini. Bima memang dibuat sebagai anak yang menyebalkan dengan kebawelannya, tapi dia tidak pernah terasa annoying buat kita. Dia adalah anak yang mau belajar. Dia bikin catatan sendiri mengenai masakan. Dia mendengarkan apa yang diajarkan. Dia membuat keputusan yang menguarkan kreativitasnya sendiri. Salah satu kait emosi pada film ini adalah hubungan yang terjalin antara Bima dengan Chef Rama, yang awalnya menolak untuk mengajari Bima – pada dasarnya, Rama menolak untuk terlibat, dia merahasiakan kemampuan masaknya kepada semua orang. Kita diperlihatkan backstory antara Bima dengan almarhum ayahnya. Juga backstory tentang siapa Rama sebenarnya. Dan keduanya akan bertemu, menambahkan kedalaman terhadap kedua karakter ini. Aku suka gimana di babak final Bima membuat keputusan yang menunjukkan dia benar-benar bergerak sesuai pilihan hatinya dan it means a lot karena gentian, kini Bima yang ngajarin Rama suatu hal tentang kemenangan di dalam hidup. In the end, Bimalah yang pulang dengan membawa ‘hadiah’.

Jika ini “Kulari ke Pantai”, maka chef-chef di kamp itu akan menyuruh anak-anak untuk memasak masakan tradisional, mengatakan masakan indonesia akan punah jika tak ada yang memasak. Koki-Koki Cilik, sebaliknya, tahu untuk lebih baik tidak melarang anak-anak melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Film ini paham cara untuk menghargai budaya nasional. Masakan tradisional buatan Bima dinilai paling enak, dan Bima pun tidak segan untuk belajar gimana cara membuat makanan modern. Tidak ada pengguruan secara subtil di dalam film ini. Actually, kita akan menemukan adegan di mana Audrey, juara bertahan yang jadi ‘saingan’ Bima, diminta untuk ngobrol berbahasa Indonesia. Aku juga membahas masalah ini dalam review “Kulari ke Pantai” karena ada adegan yang mirip. Hanya saja,  Koki-Koki Cilik memainkan adegan ini dalam konteks yang enggak menggurui. Bimalah yang meminta Audrey untuk tidak berbahasa Inggris, dan itu karena Bima memang tidak bisa bahasa Inggris. Bima bukan bule ataupun anak yang ngerti Inggris. Jadi adegan ini enggak come-off sebagai ngejudge dan menyuruh, melainkan untuk memberi tahu sedikit-banyak tentang toleransi; kepada bukan saja anak kecil, melainkan kepada kita semua. Mengajarkan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.

sebelum dipake pastikan dulu enggak ada kepala emak-emak di dalam rice cookernya ya, Dek

 

 

Lebih baik memang untuk membuat hal simpel supaya enggak menyulitkan dan gak bikin bosen anak-anak. Film ini enggak melakukan banyak, namun cukup untuk membuat tokoh-tokoh yang ada pada ceritanya hidup dan sukses menghibur kita. Ada anak yang difungsikan untuk total ngelawak dengan lagaknya yang kecentilan sok kayak orang dewasa. Ada anak yang saat tidur juga masih meluk snack. Yang kocak, ada anak yang mengecek data diri peserta lain di internet, dan di layar kita bisa lihat data yang ditampilkan tidak hanya sebatas nama dan umur, bahkan sampai sifatnya “cool, bully” benar-benar tertulis di sana hahaha…  I mean, dari mana yang bikin data tersebut tahu sifat anak itu suka ngebully.

Audrey, si penyendiri,  digambarkan membawa headphone ke mana-mana sebagai bagian dari karakternya. Anak-anak ini, bersama Bima, akan melakukan kegiatan polos khas anak-anak, entah itu membebaskan kambing yang mereka curigai bakal dijadikan bahan pelajaran masak selanjutanya ataupun menransfer kegembiraan lewat telapak tangan. Dan hal yang mereka lakukan itu sangat menyenangkan untuk diikuti. Hubungan antara Audrey dengan Bima juga berkembang menjadi persahabatan yang manis. Semua orang tersentuh oleh pribadi Bima, dari situlah kehangatan cerita ini hadir. Film juga mengeksplorasi bagaimana anak-anak ini berinteraksi dengan orang dewasa di sekitar mereka. Sebagian besar memang ditampilkan polos sehingga menjadi lucu. But on a slightly serious note, film juga memperlihatkan gimana BERBEDANYA ANAK-ANAK DAN ORANG DEWASA DALAM MEMANDANG SEBUAH AJANG KOMPETISI. Pun, cerita tidak berpaling dari konsekuensi. Film tidak punya masalah untuk menghukum anak kecil, demi mengajarkan mereka tanggung jawab. Misalnya ketika ada anak yang ketahuan berbohong dan nyaris membuat Bima dikeluarkan dari perkemahan, anak tersebut dihukum dengan dipulangkan ke rumah.

Kita tidak selalu harus menang untuk ‘menang’. Melakukan sesuatu karena hal tersebut adalah pilihan kita, actually akan berdampak sangat berbeda dengan ketika kita melakukan sesuatu karena kita diharuskan untuk melakukannya. Perbedaan di antara keduanya itulah yang membuat Bima menjadi labih ‘jago’ dibandingkan teman-temannya.

 

 

Aku enggak merasa pengen makan saat menonton film ini. Aku justru jadi kangen bekerja di dapur kafe dibuat olehnya. You know, bereksperimen membuat menu-menu baru dan berusaha untuk menjualnya ke orang. Karena dalam film ini, kita akan melihat anak-anak tersebut masak dan menyiapkan hidangan-hidangan menggugah selera. Well, sort of. Karena yang kita lihat actually adalah proses penyajian makanan secara close-up. Pernah lihat foto-foto makanan cantik di instagram? kurang lebih kayak begitulah masakan dalam film ini. But we do get to see anak-anak tersebut beraktivitas memetik bahan-bahan makanan, menyirami sayuran, ini seperti metafora bahwa mereka perlu memupuk persahabatan sebelum dapat menikmati indahnya.

Bima harus, dan rela, bekerja lebih keras daripada yang lain. Membuat kita ngecheer perjuangan dia. Persis kayak formula cerita serial anime My Hero Academia. Tokoh utama yang justru gak punya kekuatan superhero, ia dipinjami kekuatan, dan dengan itu ia berusaha keras mengejar ketinggalannya daripada yang lain, demi mencapai keinginannya untuk menjadi superhero terhebat. In turn, teman-teman di akademi terkena bias semangat dan kegigihan hatinya. Bima juga begini. Dia yang paling kurang dalam pengetahuan dan teknik memasak, dia butuh banyak bantuan, namun dia tidak berleha-leha dengan bantuan tersebut. Bima yang baik hati justru yang belajar paling giat, memberikan pengaruh positif kepada orang di sekitarnya. Bahkan, hubungan Bima dengan anak cewek bernama Niki juga sama kayak Deku dan Uraraka di “My Hero Academia”. I’m not saying film ini mengopi, kemungkinannya tipis sekali Ifa Isfansyah dan tim di balik film ini menonton anime tersebut. Aku ingin menunjukkan bahwa film ini berhasil menemukan resep cerita yang sama, karena memang beginilah cerita tentang underdog yang menarik ditulis.

Tapi toh ada juga beberapa elemen cerita yang membuatku teringat sama Harry Potter. Seperti pada saat Lima Besar sebelum penyisihan ke Semifinal, Bima dan peserta lain ditantang untuk membuat sushi. Bima membalik-balik halaman buku resepnya, dan dia come out dengan membuat lemper. Seperti Harry Potter yang disuruh membuat penawar racun, dia mencari-cari di buku ramuan si Half-Blood Prince, only to come out dengan lancang menunjukkan bezoar kepada gurunya. Bagian ini mungkin cukup ‘jauh’ dan kelihatan lebih seperti kebetulan ketimbang disengaja. Namun kemudian di menjelang akhir, kita akan lihat ada anak – si Bully – yang berpura-pura tangannya patah supaya Bima berada dalam masalah. Sama seperti Malfoy membuat cedera tangan berkali lebih parah pada film ketiga Harry Potter. Patah tangan di sini adalah insiden yang bisa diganti, mereka tidak harus melakukan ini. Like, ada banyak cara untuk membuat tokoh ini nyalahin Bima, dan mereka memilih insiden yang pernah terjadi di Harry Potter. Sengaja atau tidak, buatku, sudah strike two.

 

 

 

 

Kalo ini adalah makanan, maka ini adalah paket komplit dengan minuman sekalian. Lucu, hangat, musiknya catchy, tidak merendahkan anak-anak, seru karena memberikan kepada kita pandangan dari dunia kuliner. It is a very good movie, dengan skenario yang kuat. Lebih baik daripada Kulari ke Pantai. Saat berurusan dengan anak-anak, kita bisa menjadi sedikit lunak. Aku harap aku bisa ‘lunakkan’ aturan penilaian angkaku karena ini film anak anak, but I won’t. Aku tidak ingin membedakan mereka dengan film orang gede. Dengan script sengelingker ini, cukup disayangkan juga kenapa di akhir cerita hanya Bima yang kelihatannya bener-bener berakhir sebagai koki. Judulnya toh jamak, aku pengen melihat teman-teman Bima mendapat arc yang menutup seperti Audrey. Juga ada elemen-elemen yang membuat film ini tak-terasa terlalu orisinil, meski memang dia mengekspan menu perfilman kita dengan sukses. Semoga filmmaker yang lain jadi ngiler dan kepancing untuk bikin lebih banyak film anak-anak yang berani berkompetisi dengan naskah film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KOKI-KOKI CILIK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017