ODDITY Review

 

“The only true voyage of discovery would be not to visit strange lands, but to possess other eyes”

 

 

Kau sendirian malam itu di rumah barumu yang belum selesai direnovasi. Lampu-lampunya bahkan belum terpasang semua. Kesunyian membuat tiupan angin dan derit-derit rumah terdengar mengancam. Sudut-sudut gelap mengundang pikiran macam-macam. Mendadak, pintu depan diketuk dengan lantang. Seorang pria asing berdiri di luar sana, bersikeras supaya kau segera membuka pintu, karena dia bilang tadi dia melihat seseorang masuk ke rumahmu. Akankah kau percaya dengan kata-katanya – maukah kau membuka pintu? Tergantung, mungkin pikirmu. Tergantung siapa yang di balik pintu itu. Maka kau membuka slot jendela di pintu untuk melihat siapa di luar sana. Walau asing, tapi kalo penampilannya cukup meyakinkan, mungkin kau akan percaya. Afterall lebih aman berdua daripada sendirian di rumah yang memang udah bikin senewen sedaritadi. Tapi ternyata orang itu pucat, tampak liar dengan rambut gondrong, terdengar edan dengan kata-katanya yang semakin tidak masuk di akal, matanya cacat sebelah pula. Kau semakin terperosok ke lubang dilema yang bisa-bisa berujung kehilangan nyawa. Itulah opening dari Oddity, horor kedua karya Damian Mc Carthy. Dia langsung membenturkan antara ketakutan kita terhadap sesuatu yang tak terlihat, dengan ketakutan kita terhadap hal di depan mata – yang kita kira kita lihat. Suspens cerita ini begitu kerasa. Karakternya gak tahu harus percaya apa. Kita gak tahu harus percaya apa! Akhirnya, Dani – si karakter – memutuskan untuk membuka pintu. Lantas adegan tersebut dicut, kita pindah ke karakter lain, beberapa waktu kemudian.

Nasib Dani jadi misteri yang menghantui karakter-karakter lain yang dia tinggalkan. Namun buat kita, nasib Dani ‘baru’ set up yang melandaskan betapa hebatnya Oddity dalam bercerita horor. Baru teaser for more great storytellings to come. Karena, hal terbaik pada Oddity ini adalah pembuatnya kentara sekali punya passion yang kuat terhadap cerita horor, dan paham bagaimana menceritakan itu, khususnya lewat editing yang cut to cutnya precise sekali dalam membangun misteri kemudian mereveal, tanpa sedikitpun mengurangi suspens yang terus saja dibangun. Momen-momen di Oddity ini vibenya kayak kumpulan cerita-cerita pendek horor klasik yang dikemas menjadi satu cerita-panjang modern. Ada elemen supernatural dari karakter yang literaly punya kekuatan cenayang, ada elemen mitos yang dipadukan dengan horor creature; dari makhluk yang kayak golem kayu, ada elemen psikologikal thriller, home invasion, bahkan rumah-berhantu, serta juga ada elemen misteri whodunit. See, ini bakal jadi exactly my choice untuk ditonton lagi pas merayakan musim halloween nanti!

Paket komplit banget gak tuh!?

 

Dari elemen-elemen itu, yang mau kuhighlight di sini adalah soal rumah-berhantu dan creature Wooden Man-nya. Aku takjub aja sama gimana film menggunakan elemen tersebut, uniknya film ini lebih mudah kita rasakan jika melihatnya dari sana. Dalam horor, rumah berhantu adalah panggung. Set piece yang bakal jadi tempat karakter lari menyelamatkan nyawa, tempat kamera bermanuver membangun atmosfer atau juga membuild up jumpscare dan penampakan lainnya, juga menjadi latar yang menambah identitas dan karakterisasi ceritanya itu sendiri. Makanya biasanya rumah itu jadi ruang tertutup yang ‘mengunci’ karakter, tapi juga biasanya dibuat besar. Supaya ruang gerak galian horornya lebih luwes. Rumah berhantu di Oddity punya interior yang tidak biasa. Rumahnya gede, tapi yang actually digunakan sebagai panggung hanya sebagian kecil. Dan itu bentuknya basically cuma ruangan yang panjang, dengan balkon di atas. Ruangan yang benar-benar diset supaya sudut pandang karakternya cuma lurus, dan they will always have to turn their back untuk melihat porsi ruangan lainnya. Ini ngasih sensasi seram tersendiri. Ditambah pula posisi pintu masuk yang basically di tengah set, sehingga siapapun yang masuk dan keluar pasti ke-notice, dan untuk mencapai pintu berarti mereka mengekspos diri mereka. Membuat diri mereka terlihat.  Kata ‘lihat’ bakal banyak dijumpai, karena merupakan bagian dari tema besar cerita ini.

Jadi yang dilakukan film ini adalah membalikkan fungsi, menggulingkan ekspektasi -mengsubversi apa yang biasanya kita ketahui dari fungsi rumah sebagai panggung. Bukan lagi untuk survival, melainkan supaya karakter stay in the center, supaya terlihat dan melihat, serta memberikan tantangan karakter dalam proses melihat tersebut. Subversi yang sama kita jumpai juga pada elemen creature horornya. Si Wooden Man yang mirip Golem tanah liat dalam mitos; bisa melakukan apapun jika dimasukkan suatu barang personal ke dalamnya. Enggak seperti makhluk horor lain yang biasanya ‘diumpetin’ dulu atau kayak ‘dispesialkan’, Wooden Man ditarok Oddity gitu aja di tengah-tengah ruangan. Di tengah-tengah cerita. Duduk, diam, bikin takut karakter yang melihat. Ngasih uneasy feelings yang konstan kepada kita, karena kita bakal ‘ngarep’ untuk menangkap momen dia bergerak di latar itu.  Perasaan semacam itu yang terus diincar oleh film; semacam dramatic irony yang kita ngerasa waspada lebih dahulu daripada karakternya, dan juga semacam ekspektasi untuk melihat horor. Bahkan pada adegan terakhirnya pun, ekspektasi kita terhadap gimana makhluk horor hadir sebagai penutup juga dijungkirkan. Aku kinda berharap bakal ada jumpscare, tapi kalo aku udah keburu nutup mata aku gak bakal lihat nada berbeda film ini menutup cerita horornya. Jadi alih-alih membuat kita siap-siap menutup mata, film ini seolah menantang kita untuk meminta horor itu datang.  Meminta makhluk kayu kayak manusia tadi itu bergerak. Film menantang untuk kita membuka mata. Untuk melihat. There goes that word again.

Melihat. Dengan apa? Dengan mata. Mata apa? Soal mata dan penglihatan jadi tema berulang yang hadir di sepanjang cerita. Pria asing yang matanya cacat sebelah (mata yang rusak ia tutup dengan mata porselen). Kembaran Dani, Darcy, yang buta tapi bisa melihat hal-hal beyond normal dengan mata batin. Suami Dani, Ted, seorang dokter di asylum yang – biasalah tipikal man of science gini – hanya melihat hal-hal logis dan menutup diri kepada hal supernatural. Oddity menempatkan karakter-karakternya ke dalam situasi yang mengharuskan mereka memperlebar pandangan. Cerita sebenarnya berpusat pada Darcy yang ingin menyelidiki kematian kakak kembarnya, maka dia – dengan segala perlengkapan cenayangnya, termasuk si Wooden Man tadi – menginap di rumah baru Dani. Rumah yang kini ditempati Ted bersama pacar barunya. Darcy dan Ted punya pandangan, kepercayaan, dan rahasia masing-masing. Cerita suggest harusnya mereka bukan hanya melihat dari sudut lain, tapi juga dari literally mata yang lain.

Bukan soal sejauh apa kita main, memperluas pemahaman terhadap suatu hal bisa jadi justru adalah soal kemauan kita melihat hal yang dekat tapi kali ini coba dari kacamata yang lain.

 

Best quote “I’m a doctor, Yeah, of course, I can be the villain”

 

Sadisnya film ini, para karakter tersebut tidak didorong untuk berubah, untuk sadar, untuk punya journey – bagi Darcy dan Ted, Oddity ini adalah tragedi naas dan cerita kelam antara karakter yang tidak mau dan yang  tidak bisa membuka pandang mereka. I mean, tega banget film ngasih Darcy adegan ‘terjun’ seperti itu. Mata batin bahkan tidak bisa banyak membantu ataupun jadi jaminan kebenaran. Sama lamurnya sama mata dokter Ted yang pongah; Ted juga sepertinya gak jadi selamat karena mata dunianya terlalu sempit.  Maka itu Oddity ini jadi literally keganjilan juga sebagai sebuah film. Oddity gak mau ngasih development buat karakternya. Mereka lebih dekat jadi sebagai cautionary tale – dalam sebuah kisah yang bentukannya persis dongeng horor jaman dulu. Alih-alih development dan journey karakter, sebagai film, Oddity justru hanya seperti terstruktur dari lembaran-lembaran revealing. Ternyata demi ternyata. Aku bahkan gak bisa ngomong banyak tentang karakterisasi ataupun misterinya, karena bakal bikin revealing itu jadi gak istimewa lagi, dan Oddity kinda bersandar ke sana. Tema sudut pandang melihat tadi ditranslasikan menjadi film ini tidak punya tokoh utama yang sejati. Kita melihat cerita dari perspektif berbagai karakter; Darcy, Dani, Ted, pacar Ted, dan bahkan si ‘pelaku’, perspektif mereka yang seperti cerita-cerita pendek itu amprokan membentuk cerita-besar film ini.  Oddity adalah cerita horor yang perfect, but it went on against bentukan film yang kita kenal.

 

 




Oddity adalah keganjilan. Baik itu tentang temanya, maupun juga tentang posisinya sebagai film itu sendiri. Sialnya, ini bikin aku susah menilai hahaha.. Sebagai cerita horor, ini perfect banget buat halloween. Cerita yang benar-benar spooky, dengan arahan yang kerasa banget passionnya ke genre ini. Precisenya editing, desain, set piece, dan timing revealing membuatnya enak banget diikuti. Ditambah elemen-elemen horornya paket komplit. Diangkat pula oleh penulisan yang memuat tema dan gagasan serta konsep yang ganjil di balik pengungkapan-pengungkapan kejadian.  Sebagai tontonan horor, ini favoritku tahun ini; 8.5 out of 10. Love it very much. Tapi ini adalah review film. Keganjilan ataupun resiko yang diambil Mc Carthy dalam mempresentasikan cerita horor ini enggak in-line dengan nilai-nilai plus sebuah film. Teknisnya bagus, teknik berceritanya juara, tapi yang kumaksud adalah cetakannya. Cerita tanpa development, tanpa journey, tanpa perspektif utama yang utuh, bukan cetakan ‘film’ yang selama ini jadi standar penilaian kita. Ah, I wish aku tidak perlu melihat cerita ini sebagai film, lebih baik kalo ini tuh kayak video-video atau klip yang kita tonton di internet – yang so good sampai kita bilang “ah. cinema!” 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ODDITY

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian seharusnya kita memandang/melihat sebuah film? Apakah bisa hanya dari cerita atau faktor hiburannya saja – terpisah dari struktur atau cetakan yang membuat dia berbeda dari video-video tayangan lain yang lebih bebas?

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DI AMBANG KEMATIAN Review

 

“A home renovation can help you make your dreams a reality”

 

 

Di Jawa ada yang namanya pesugihan Kandang Bubrah. Pesugihan yang melibatkan syarat harus merenovasi rumah terus menerus. Bongkar pasang ubin. Bangun-rubuhkan ruangan baru. Pesugihan yang benar-benar ngasih meaning literal bagi kiasan ‘renovasi rumah dapat membantu mewujudkan impian’. Karena kalo orang normal memperbaiki dan menata ulang rumah itu dilakukan supaya menghasilkan kesan fresh, selain juga sebagai perlambangan bagaimana menata kehidupan sejatinya membutuhkan perjuangan. Sedangkan di ritual ini, ya bikin rumah senantiasa berantakan kayak kandang benar-benar harus dilakukan kalo mau kaya mendadak. Siapa coba yang gak punya mimpi jadi orang kaya. Horor karya Azhar Kinoi Lubis yang diangkat dari thread viral ini secara khusus memotret keluarga yang bapak-ibunya pengen kaya sehingga rela melakukan pesugihan Kandang Bubrah. ‘Potret’ yang bisa ditebak bakal merah oleh darah. Tapi yang membedakan film ini dengan horor-horor ritual yang banyak beredar di kita – yang membuat film ini one of the better Indonesian horrors out there – adalah film ini benar-benar menggali drama tragis dari keadaan keluarga yang terjebak hal horor tersebut. Lebih kayak drama tentang keluarga tragis, dengan tema horor. Dare I say, film ini ada di kotak  yang serupa dengan Hereditary (2018) meski memang penggarapannya belum sebagus itu.

Rumah dibangun dari bata, balok kayu, dan material lain. Sementara rumah tangga harusnya dibangun dari rasa cinta dan kasih sayang. Kadang kita lupa, kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam rumah tangga bukan terutama didapat dari harta dan materi.

 

“Nurut sama bapak, kalo mau hidup kalian selamat” pesan terakhir ibu yang selalu diingat oleh Nadia. Malam tahun baru 2002, Nadia yang saat itu masih kecil menyaksikan sendiri kematian mengenaskan dari ibunya yang sudah lama sakit. Apakah ibu gak nurut sama bapak sehingga berakhir naas begitu? Nadia gak ngerti juga. Yang jelas kini dia dan Yoga, kakaknya, tinggal bertiga saja dengan bapak di rumah mereka yang selalu ramai oleh tukang yang bekerja. Meski Nadia ingin menaati nasihat ibu, tapi nurutin perintah bapak seringkali jadi hal yang susah untuk dilakukan. Karena perintah bapak itu aneh-aneh. Jangan bersihin rumah. Jangan masuk ke ruang kerja bapak.  Jangan tanya-tanya kenapa bapak sering bawa kambing ke kantor! Yoga sering dimarahi bapak karena gak mau nurut. Saat remaja, Nadia dan Yoga akhirnya tahu rahasia pesugihan bapak. Pesugihan itulah yang ternyata mengambil nyawa ibu, dan akan menagih kembali nyawa mereka satu per satu setiap sepuluh tahun sekali!

Kamarku juga suka berantakan sampai-sampai dikira lagi pesugihan

 

Yang paling sering jadi keluhanku saat nonton horor lokal kontemporer adalah terlalu bergantung sama plot twist. Seolah cerita tu gak seru kalo enggak dikasih kejutan, entah itu siapa sebenarnya yang jahat, atau apa yang sebenarnya terjadi. Padahal sebenarnya ide atau materi cerita horor kita banyak yang menarik. Tapi bahasannya jadi dangkal, karena filmnya hanya jadi sebatas kejadian ‘ternyata’. Bahasannya sengaja disimpan sebagai plot twist. Yang bahkan enggak ‘cerdas’ karena penonton seringnya bisa menebak duluan. Langkah bijak pertama yang membuat Di Ambang Kematian berada di posisi bercerita yang lebih baik daripada kebanyakan horor adalah, film ini gak peduli sama membuat plot twist. Perkara bapak ternyata melakukan pesugihan tidak disimpan sebagai revealing mengejutkan di akhir. Pun si bapak tidak lantas diungkap sebagai orang yang ternyata ‘jahat’.

Cerita Di Ambang Kematian berjalan linear, dalam span dua puluh tahun. Kita akan ngikutin Nadia dari kecil hingga dewasa. Sehingga journey karakternya itu beneran kerasa. Bapak ternyata melakukan pesugihan sudah diungkap, bukan sebagai kejutan melainkan sebagai plot poin untuk cerita masuk ke babak berikutnya. Ke lapisan berikutnya. Karena di cerita ini, melakukan perjanjian dengan iblis tidak lantas dicap sebagai perbuatan dari seorang yang jahat. Film ini menjadikan hal tersebut sebagai bahasan yang worth untuk di-examine. Keluarga yang pengen berkecukupan, tapi lantas bablas dan harus menanggung akibatnya. Film berusaha membuat kita simpati kepada karakter, despite flaw mereka. Meskipun kita tahu tindak pesugihan bukanlah perbuatan yang benar. Aku surprise banget sama depth yang berusaha digapai cerita tatkala Nadia yang sudah jadi Taskya Namya memilih untuk membantu bapaknya menyiapkan ritual potong kambing. Dia nurut bapak, bukan karena pengen kaya, tapi itulah satu-satunya cara keluarga mereka bisa terbebas dari tuntutan si setan kambing. Layer seperti ini kan jarang banget di film horor kita yang kebanyakan menempatkan protagonis sebagai seorang yang terjebak di kejadian horor dan cuma harus survive. Di film ini kita melihat seorang bapak yang sebenarnya sangat menyesal tapi tidak punya pilihan lain, seorang anak yang tetap ingin berbakti walaupun kondisi mereka bisa dibilang sebuah mimpi buruk. Momen langka buatku di film horor ada adegan anak ngelawan orangtua, tapi kemudian menyadari keadaan. Film ini tidak membenarkan pesugihan, tapi membuat kita merasakan dramatic irony karena in the end kita tahu mereka sekarang cuma ingin selamat hidup-hidup sebagai keluarga yang ‘utuh’

Penulisan karakter dan departemen akting keep story afloat. Para pemain menghidupkan drama tragis dan teror menakutkan yang menimpa keluarga mereka. Kesan traumatis, kesan telah melalui banyak juga tergambar lewat progres seiring dengan periode cerita berjalan. Cerita yang waktunya melompat-lompat itupun tidak jadi terasa terputus-putus. Karakter mereka kontinu. Nadia dan Yoga Kecil juga sudah diberikan karakterisasi. Karena cerita yang berjalan linear, porsi mereka saat masih kecil jadi bagian yang penting sebagai fondasi karakter mereka nanti saat sudah dewasa.  Mereka tidak sekadar jadi ‘korban’ gangguan setan, tidak sekadar disuruh teriak-teriak saat melihat ibu mencemplungkan wajah ke air panas. Sehingga film ini sama sekali tidak terasa seperti eksploitasi karakter anak di dalam genre horor. Meskipun memang horor yang ditampilkan termasuk cukup grotesque. Like, orangtua yang nekat bawa anak kecil masuk dijamin bakal nyesel udah melanggar penerapan batas umur. Tujuh belas plus itu sudah tepat. Gimana enggak, di film ini adegan pembunuhan dari iblisnya pasti bakal membekas karena digambarkan sadis, bayangkan gimana gak trauma anak saat melihat kekerasan berdarah-darah itu menimpa karakter yang seorang ibu, kakak, anggota keluarga yang relate banget dengan kehidupan sehari-hari.

Jangan genrenya yang dijadiin kambing hitam

 

Sedari menit awal, film sudah ngasih aba-aba teror seperti apa yang bakal dihadirkan. Sesuram dan disturbing apa tone yang bakal digambarkan. Film dimulai dan kita disambut suara lalat di suatu tempat di rumah mereka, buatku ini jadi ‘warning’ yang fun. Secara desain, hantu-hantunya (si hantu tinggi itu!) dan makhluk kambing menyerupai iblis Baphomet yang meneror para karakter memang terlihat mengerikan. Film bermain-main dengan gerak kamera dan editing, menghasilkan kesan kengerian mental yang juga merasuk ke benak kita. Karena hantu dan monster itu muncul sekelebatan, dan film tega untuk menjadikan jumspcare. Terkadang para aktor memainkan versi kesurupan dari karakter mereka, dan itu penggambarannya cukup gila. Bit terakhir dengan Teuku Rifnu Wikana bahkan nails vibe surealis dan teror psikis dengan ‘manis’.  Film juga merambah body horror untuk adegan-adegan kematian dijemput si iblis. Momen-momen horor di sini intens. Cuma salahnya, pencahayaannya agak sedikit terlalu gelap untuk bisa sepenuhnya dinikmati oleh kita. Acapkali rasa takut itu datang ‘telat’ karena aku harus sibuk dulu menyipitkan mata berusaha mencerna hantu seperti apa yang ada di layar, atau just mencerna apa yang sedang terjadi sama karakter di tengah malam listrik mati tersebut.

Selain momen terlalu gelap itu, aku juga terlepas dari mood yang dibangun saat film mulai mengeluarkan dialog-dialog yang dramatisasinya agak sinetron-ish. “Tampar saja, Pak!” Menurutku film ini lebih kuat saat langsung memperlihatkan tindakan karakter, misalnya ketika Yoga yang awalnya ogah nurut Bapak akhirnya ikut membantu Nadia mencangkul kubur untuk kambing selesai disembelih saat ritual. Narasi voice over Nadia yang mengisahkan kejadian hidupnya juga terkadang agak redundant. It works ketika voice over itu dilakukan untuk menjembatani gap antara periode waktu-cerita. Tapi terasa kurang diperlukan ketika hanya menarasikan kejadian yang secara bersamaan kita lihat di layar. Bapak tampak menguatkan diri demi menolongnya, buatku sudah cukup terdeliver dari akting dan kejadian di layar saja. Tapi mungkin voice over itu diperlukan demi mencuatkan thread horor yang jadi materi asli cerita. Supaya penonton ‘gak lupa’ kalo film ini diangkat dari kata-kata yang ada di thread tersebut. Sebab tentu bagi penonton yang ngikutin sedari threadnya, aspek-aspek yang mereferensikan hal tersebut bakal membuat film lebih menimbulkan kesan.

Kayak karakter Bastala, yang diperankan oleh Giulio Parengkuan. Teman SMA Nadia yang concern sama apa yang terjadi pada cewek itu, dan menyarankannya untuk menuliskan pengalamannya. Karakternya kan sebenarnya gak esensial, secara cerita, Bastala juga gak actually punya arc atau something yang benar-benar paralel untuk development Nadia. Karakter ini bisa saja di-write off, tapi ya itu tadi, aku paham kepentingannya harus ada. Karena mungkin dialah sosok di balik thread, orang yang mengumpulkan kisah yang dialami Nadia. Menurutku film harusnya took more liberty, secara kreatif, untuk penempatan karakter ini. Memilih, either mau dihilangkan, atau lebih dibuat berperan secara langsung, supaya bentuk penceritaan filmnya terasa lebih enak.

 

 




Horor memang bukan cuma soal hantu-hantuan, bunuh-bunuhan. Ada cerita manusia di dalamnya. Manusia yang terjerumus masuk ke jalan yang salah, misalnya. Film ini paham bahwa horor pertama-tama haruslah berangkat dari tragisnya manusia, kemudian baru menjadikannya sajian horor yang sadis dan teror yang menakutkan (kalo buat genre horor, ini disebutnya ‘sajian yang menyenangkan’) Cerita keluarga yang jadi pusatnya, membuat film ini sebuah pengalaman emosional yang menarik untuk diikuti. Membuat film jadi punya nilai lebih, enggak sekadar jumpscare-jumpscarean. Toh di bidang itu, film juga tidak kalah asyik. Naskah sudah runut dan gak terjebak ngasih plot twist yang gak perlu. Hanya arahan saja yang agak kurang kuat, karena film ini ada di posisi sebagai adaptasi dari thread. Posisi yang membuatnya harus ‘ngikut’ materi walau masih cukup banyak yang perlu diluruskan agar lebih enak sebagai penceritaan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DI AMBANG KEMATIAN.

 




That’s all we have for now.

Kandang Bubrah hanyalah satu dari banyak lagi ritual pesugihan yang berkembang di masyarakat. Apakah kalian tahu yang lainnya?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE BOOGEYMAN Review

 

“Now you will know why you are afraid of the dark…”

 

 

Monster di dalam lemari. Meskipun bentuknya berbeda-beda tergantung kepercayaan dan lingkungan masing-masing, toh ternyata anak-anak di seluruh belahan dunia punya ketakutan yang sama. Kita semua takut sama sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan. Yang membuat kita lebih suka tidur dengan lampu menyala, dan will never ever  in million years mengintip kolong tempat tidur. Kita percaya ada sesuatu di dalam hitam pekat itu, ada apapun momok yang kita takuti. Menurut kepercayaan rakyat kita, ada yang namanya wewe gombel, misalnya. Hantu perempuan yang suka menculik anak kecil yang ‘nyasar’ ke tempat gelap. Jangankan anak biasa seperti kita, anak-anak penyihir aja takut Boogeyman, kok. Buktinya di Harry Potter, J.K. Rowling menulis yang namanya Boggart; makhluk yang suka ngumpet di dalam benda-benda seperti lemari dan menjelma menjadi hal yang paling ditakuti oleh orang yang melihatnya. Lain lagi menurut penulis horor nomor satu, Stephen King, Di dalam benaknya, Boogeyman atau momok punya akar yang lebih personal. Ketakutan turun-temurun terhadap kegelapan dimainkannya di ranah psikologis saat dia menulis cerita The Boogeyman. Kisah seorang ayah yang ke terapi, mengaku tiga anaknya dibunuh oleh ‘monster dari dalam lemari’. Penulisan King yang begitu detil, tapi juga begitu misterius, mengangkat kesan mendua –  bahwa mungkin si ayah itulah pelaku sebenarnya. Bahwasanya Boogeyman bisa jadi hanyalah produk dari kepala yang penuh stress dan jiwa yang tertekan. Kisah tersebut kita dapatkan muncul dalam adegan film The Boogeyman yang diadaptasi oleh sutradara Rob Savage. Tapi alih-alih fokus menggali itu, Rob mencari lubang galian yang baru. Lubang tempat dia bisa menonjolkan momok itu lebih sebagai makhluk fisik di atas cerita psikologis tentang kehilangan.

Dengan kata lain, The Boogeyman yang kita saksikan merupakan adaptasi yang bisa dibilang sangat lepas. Rob membuat karakter baru, menciptakan persona baru dari karakter yang sudah ada. Salah-salah, yang dia buat ini bisa jatoh sebagai fan-fiction, alih-alih adaptasi. But hey, aku gak bilang film ini jadi jelek hanya karena gak memfilmkan actual story dari Stephen King. Afterall, dari keberadaan Boogeyman itu sendiri kita tahu bahwa kita semua punya ketakutan yang sama, hanya bentuk atau perwujudannya saja yang berbeda. Jadi yah, kalo mungkin menurut pembuat film ini, bentuk yang lebih beresonansi buat penonton kekinian adalah yang lebih genjar-genjer dan physically seperti ini, ya mari kita nilai film ini sesuai bentuk itu sendiri.

Momok monster di dalam lemari juga bisa jadi cerita lucu, misalnya yang dibuat oleh Pixar

 

Dosa film ini sebenarnya ‘cuma’ jadi generik. Secara cerita, The Boogeyman gak benar-benar groundbreaking. Kayak udah banyak cerita kehilangan yang seperti ini. Jadi, therapist yang ada di cerita pendek aslinya, di sini dikembangkan punya keluarga. Dua orang anak perempuan, yang satu masih kecil, yang satu lagi sudah SMA. Keluarga ini kehilangan sosok ibu yang tewas kecelakaan. Kehilangan tersebut lantas membekas pada anak-anaknya, terutama pada tokoh utama cerita, si cewek remaja, Sadie. Yang di adegan pembuka kita lihat nekat ke sekolah pakai baju milik sang ibu. Perfectly ngeset gimana dia menolak untuk melupakan sosok tersayangnya itu. Namun itulah yang justru jadi jalan masuk bagi Boogeyman ke rumah mereka. Dibawa oleh Lester Billings dalam adegan yang diangkat dari cerita aslinya, si Boogeyman yang merasakan grief yang besar di rumah Sadie, jadi kerasan. Tiap malam Boogeyman datang dari sudut-sudut gelap, mengganggu Sadie dan adiknya. Menggunakan rasa kehilangan mereka untuk meneror. Udah kayak kucing aja, si Boogeyman ini senang bermain-main dengan mangsa sebelum melahap mereka.

Teror yang dihadirkan dari si momok ini sebenarnya cukup seru. Apalagi di awal-awal, saat film belum serta merta menunjukkan sosoknya. Melainkan hanya lewat suara. Si Boogeyman bisa meniru suara orang, dan sebagian besar adegan seram didatangkan dari gimana satu karakter ‘dikecoh’ oleh suara yang ia sangka suara keluarganya. Si Sadie dengan suara ibunya, misalnya. Film The Boogeyman masih seram, saat bermain dengan konsep begini. Ketika hanya suara, dan sosok monsternya masih tak jelas terlihat oleh kita. Yang paling sering dapat adegan seram sih sebenarnya adik si Sadie, si Sawyer (diperankan oleh aktor cilik Vivien Lyra Blair dengan – intentional or not – cukup kocak). Ada sekuen dia harus keluar dari kamar dengan penerangan hanya dari lampu bulan kesayangannya. Atau ketika adegan dia harus terapi untuk menghilangkan ketakutannya akan gelap. Saat adegan-adegan tersebut, kita hanya diperlihatkan sekelebat dari si monster, sehingga ruang kita berimajinasi masih ada. Misterinya jadi kerasa mengerikan. Sayangnya, film ini bertujuan bikin si Boogeyman literally jadi monster yang harus dikalahkan kayak di film-film horor creature. Sehingga film butuh untuk mereveal wujudnya, dan hilanglah sudah semua kemisteriusan yang jadi sumber keseraman itu. Desain si Boogeyman agak kurang menyeramkan bagi kita, yang lebih takut ke hantu-hantuan. Tapinya lagi, aku bisa membayangkan makhluk hitam berkaki banyak seperti itu sangatlah mengerikan bagi anak-anak barat yang memang di sana, ketakutan pada laba-laba jadi ketakutan yang umum.

Saking sering lucu, aku malah ngira si adek nangis karena kakaknya salah cabut gigi yang sakit

 

Padahal monster Boogeyman di dalam film ini sebenarnya masih mengandung makna penyimbolan. ‘Dosa’ film sebagai sajian generik monster mengerikan sebenarnya gak harus jadi ‘big deal’ jika film mampu menguatkan penyimbolan tersebut. Atau seenggaknya gak membuat perhatian kita melulu tertuju pada makhluk yang gak lagi universally mengerikan. Keadaan si Sadie, ‘drama’ dia harusnya tetap jadi poin vokal. Keberadaan si monster sebenarnya berkaitan erat dengan yang dirasakan oleh Sadie.  Kita bisa lihat Sophie Thatcher memainkan karakter itu sebagai orang yang penuh duka. Dia sampai berusaha memanggil arwah ibunya. Maka, monster itu sebenarnya adalah duka yang tak tersalurkan dengan baik. Dia tidak bisa membicarakan masalahnya dengan ayah – yang memilih untuk tampak tegar karena sebagai therapist dia tidak boleh terlihat rapuh oleh orang lain. Secara metafora, Sadie lebih memilih berada dalam kegelapan duka, daripada melupakan sang ibu. Keluarga Sadie memilih untuk menyimpan masalah itu di dalam ‘lemari hati’ masing-masing. Pembelajaran Sadie adalah untuk meluapkan dan melupakan, supaya bisa move on. Yang diparalelkan oleh film dengan cahaya atau api sebagai cara mengalahkan Boogeyman. Sadie harus membakar si monster, yang berujung dia juga membakar habis benda-benda yang mengingatkannya kepada ibu.

Jadi itulah kenapa kita takut gelap. Gelap merepresentasikan hal-hal yang tidak kita ketahui, ataupun sesuatu yang berusaha kita sembunyikan, dan kita terlalu takut untuk melangkah ke dalamnya, meskipun jika melangkah itu dilakukan untuk menyalakan lampu. Film ini suggests cara untuk berani dengan kegelapan bukanlah dengan melatih diri di dalam kegelapan itu, melainkan berani untuk menyalakan api. Melawannya.

 

Harusnya film ini lebih banyak bermain di ranah horor yang lebih grounded tersebut. Mengangkat hal-hal seram dari gimana Sadie yang memilih untuk berkubang dalam kenangan kepada ibu, menjalani harinya. Adegan-adegan dia di sekolah, membuat keputusan yang salah saat berinteraksi dengan temannya – sadar atau tidak; harusnya adegan itu yang jadi pilar karena di situlah dampak dari sikapnya terwujud. Bahwa Boogeyman bagi Sadie bisa muncul di mana saja sudut-sudut gelap dia berada, karena figuratively, Sadie membawa kegelapan itu bersamanya. Di hatinya. Serta gimana hal tersebut berdampak bagi orang sekitarnya. Pada adik dan ayahnya misalnya. Horor yang seperti itu akan lebih gampang relate kepada kita daripada horor yang berubah jadi semacam mencari tahu cara mengalahkan monster laba-laba. Beberapa adegan di babak akhir film ini memang jadi lebih mirip action dalam film monster ketimbang horor. Jauh dari ruh materi aslinya. Sejujurnya, satu-satunya yang membuat film ini masih terasa kayak cerita Stephen King adalah film cukup bijak untuk membuat beberapa adegan dari reference cerita asli. Selebihnya, ya film ini terasa kayak usaha orang yang mencoba mengekspansi cerita King, tapi dengan kemampuan ala kadar. Like, there’s no way Stephen King bikin cerita dengan teman-teman sekolah tapi hanya digunakan untuk drama pembullyan tanpa bahasan hubungan yang lebih padat. Film ini mestinya lebih memperdalam lagi bahasan yang ia tambahkan, dan gak cepat settle ke masalah mengalahkan monster.

 




Sebagai adaptasi, film ini bergerak dengan bebas dan eventually menceritakan kisah di luar materi aslinya. Menambahkan karakter dan memindahkan pusat eksplorasi cerita. Walau melakukan itu dengan tetap respek dan banyak callback ke cerita asli, tapi film ini memang jauh dari ruh aslinya. Horornya dibuat jadi semacam mengalahkan monster; sebenarnya masih oke karena tetap didesain sebagai simbol grief dari yang dirasakan karakter. Akan tetapi bahasannya kurang mendalam karena film sengaja mengambil bentuk yang lebih generik. Kepentingannya berubah menjadi ‘apa makhluk ini sebenarnya’. Jawabannya memang punya layer simbolik, tapi film sekali lagi berusaha mengalihkan kita dari itu ke ya literal monsternya. Yang bahkan gak tampak seseram itu. Karena sebenarnya yang seram kan justru di makna keberadaannya. Film kurang dalam menggali ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE BOOGEYMAN

Kalo mau bias dan tetap kecewa karena gak sesuai cerita aslinya sih, aku menganggap film ini adaptasi yang cukup lucu. Karena film ini gak mau ‘sedalam’ aslinya, maka ceritanya diringankan. Tapi juga gak mau terlalu ringan, maka dielevated dikit. Kenapa ribet muter-muter seperti itu hahaha

 




That’s all we have for now.

Baru SMP, aku berani tidur di kamar sendirian dengan lampu dimatikan. Aku jadi sangat penakut saat itu terutama karena film The Sixth Sense. Boogeyman ku adalah kalo-kalo ada hantu muntah di balik selimut hahaha… Bagaimana dengan kalian? Apakah dulu kalian juga takut gelap? What is your Boogeyman back then?

Share  di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



V/H/S/99 Review

 

“An era can be said to end when its basic illusions are exhausted”

 

 

Generasi 90an dulunya tidak menghabiskan hari dengan menonton YouTube main TikTok. Mereka nonton MTV, Jackass, American Pie, tv show yang cheesy (mulai dari game show hingga acara horor seperti Goosebumps). Mereka bermain di luar, melakukan sesuatu yang bego. Jika pengen merekam video, mereka tidak melakukannya dengan kamera HD dan gadget canggih yang punya berbagai fitur edit. Mereka merekamnya dengan kamera yang gambarnya bakal bersemut-semut dan goyang-goyang. Aspek-aspek simpel namun fun dari 90an itulah yang ingin benar-benar disajikan oleh seri horor antologi V/H/S/ yang menggunakan konsep segmen atau clip dari rekaman video ketika mereka menggarap 94 tahun lalu. Tapi film itu kurang berhasil, tidak semua segmennya yang akur berusaha menghadirkan dunia 90an. Sehingga kini mereka, kinda rushed out, untuk menghadirkan V/H/S/99, yang setelah kutonton aku memang merasa seperti menonton video jadul beneran. Mulai dari estetik hingga jalan cerita yang simpel dan campy. Dan aku merasa superterhibur menontonnya, it’s a nice change of pace dari horor modern. Namun juga, aku bisa melihat film ini bakal membagi penonton, karena gak semua akan lantas terbiasa dengan bentuk 90an yang film ini sajikan luar-dalam.

Ada lima segmen atau cerita dalam V/H/S/99, plus satu cerita ekstra yang sebenarnya adalah bagian dari satu segmen tapi sebelum itu digunakan sebagai transisi antara satu segmen dengan segmen lain. Aku akan mengurutkan segmen-segmen ini berdasarkan dari yang paling aku suka hingga ke yang paling tak disuka. So, here they are:

  1.  Segmen “To Hell and Back”. Sutradara Joseph dan Vanessa Winter bikin yang bahkan sangat unik untuk standar horor-horor di  V/H/S/. Mereka membuat mockumentary singkat tentang aktivitas kelompok sekte di malam tahun baru. Jadi, dua kameramen dalam kisah ini ceritanya disewa untuk ngedokumentasiin ritual pemanggilan setan, tapi ada yang salah, sehingga kedua kru dokumentasi malah masuk ke neraka. Yang kita tonton adalah bagaimana mereka mencari jalan keluar kembali ke dunia manusia. Segmen ini dihandle dengan nada yang ‘tidak serius’, sehingga nontonnya jadi fun dan kocak.
  2.  Segmen “Suicide Bid”. Awalnya kupikir segmen ini bakal bikin aku jengkel, karena yang dihadirkan sutradara Johannes Roberts adalah seputar geng senior cewek yang mengospek anak baru yang mau masuk ke perkumpulan mereka. Tapi ternyata segmen ini ngasih pengalaman yang bener-bener horor. Karena ceritanya, si anak baru harus masuk ke peti dan dikubur sebagai bentuk ospek. Segmen ini ngasih pengalaman dikubur hidup-hidup, plus nanti ada sosok zombie/demon di dalam sana. Udah kayak cerita Goosebumps!
  3. Segmen “Ozzy’s Dungeon”. Ketika salah satu kontestan game show untuk anak-anak mengalami cedera, keluarga balas dendam dan menculik si host game show. Dia disuruh memainkan game ala-ala, yang ya bisa ditebak sebenarnya ditujukan supaya si host menderita. Sampai sini aja sebenarnya sutradara Flying Lotus sudah cukup kreatif. Dia memparodikan industri tv 90an ke dalam nada horor. Namun dia tancap gas, menjadikan ini horor yang lebih gross lagi dengan penutup berupa si keluarga dan si host masuk ke puncak permainan di game show tv, yang ternyata isinya adalah makhluk dan horor yang bisa bikin perut kita jungkir balik
  4. Segmen “The Gawkers”. Yang bikin segmen buatan sutradara Tyler MacIntrye masuk ke kotak yang tak aku suka adalah ceritanya terlalu simpel sehingga tidak terasa ada apa-apa. Sekelompok cowok remaja yang ngintipin tetangga baru yang kece. Mereka sampai masang kamera tersembunyi di rumah perempuan tersebut. Hanya untuk melihat sesuatu yang tak boleh mereka lihat. Misteri siapa sebenarnya perempuan itu sebenarnya sudah dibuild up sedari awal, dan revealingnya cukup bikin menggelinjang. Tapi ya, cerita ini hanya itu. Aku malah lebih suka cerita ekstra yang merupakan bagian awal dari segmen ini, yaitu ketika salah satu karakter memainkan tentara-tentara plastik kecil, dan bikin cerita perang lawan monster dari mainan-mainan. Konsep visual segmen ekstra ini menarik, hampir kayak stop-motion, dan ya seru dan kocak juga.
  5. Segmen “Shredding”. Harusnya garapan sutradara Maggie Levin ini bisa lebih lagi. Sekelompok remaja anak band yang suka onar karena kayaknya kebanyakan nonton Jackass masuk ke bawah tanah, tempat satu band perempuan beberapa tahun lalu meninggal karena terbakar dan terinjak-injak fans mereka sendiri. Kelompok remaja ini melakukan sesuatu yang disrespectful, dan yah, hantu para anggota band perempuan itu lantas ngamuk. Ini lebih parah daripada The Gawkers, karena cerita ini mestinya bisa menggali lebih soal backstory insiden, atau bahkan adegan kejar-kejarannya mestinya bisa dibuat lebih fun
Nostalgia 90an lewat video-video horor!

 

Bisa dilihat, V/H/S/99 benar-benar berusaha memasukkan hal-hal 90an dan menjadikan segmen-segmen itu begitu imersif seperti memang tidak dibikin pada hari ini. Baik itu dari estetik videonya, maupun dari apa yang mereka tampilkan. Like, aku gak tau apakah masih ada anak muda yang main tentara plastik kecil-kecil di jaman sekarang. Buat penonton yang terlahir dan besar di 90an, film ini sudah pasti jadi serangan nostalgia besar-besaran. Nostalgia ke gaya hidup jaman masih muda dahulu. Sebaliknya, bagi penonton yang lebih muda, pengalaman nonton film ini seperti bakal lebih mixed. Mungkin tampak aneh dan konyol. Namun itulah yang lebih diincar oleh film, lebih daripada nostalgia. Film ingin memperlihatkan kebiasaan dari, katakanlah, era yang telah lewat. Supaya penonton di masa sekarang membandingkan. Dan dengan suara horornya, film memperlihatkan bahwa ada alasannya kebiasaan dari era tersebut telah lewat. Merayakan milenium baru dengan menganggapnya sebagai hari kiamat, acara televisi yang gak actually ngasih hadiah kepada pemirsa, ospek alias perploncoan, remaja yang do nothing kecuali hal bego, perverted, dan tak berfaedah. See, ya ujung-ujungnya dikembalikan kepada penonton. Horor yang sebenarnya adalah ketika yang tampak aneh di layar ternyata masih ada relate-relatenya ke kita di masa sekarang.

Era 90an dengan segala kebiasaan dan gaya hidup yang terekam dalam video bersemutnya memang telah lewat seiring munculnya teknologi dan format video baru. Akan tetapi, paradigma atau cara berpikir masyarakat bisa saja terus berulang. Menjadikan era baru hanya sebagai ilusi berikutnya yang akan segera hilang.

 

Meski begitu, kalo ada kebiasaan 90an yang pengen diulang ke jaman sekarang, bagiku itu adalah kebiasaan orang bikin film dengan efek yang simpel dan praktikal. Film V/H/S/99 ini adalah salah satu yang membuatku pengen era praktikal efek itu kembali lagi. Terutama buat film horor. Nontonin segmen-segmen seperti “Suicide Bid”  dan “To Hell and Back” tentu akan berbeda rasanya jika aktornya berakting takut dengan green screen. Tapi dengan praktikal efek, prostetik, kostum, make up, kesan seram yang disturbing itu jadi benar-benar terasa real. Dan oh, dua segmen itu memang banyak banget makhluk seram kreatifnya. “Suicide Bid” cuma punya satu, tapi bakal nyantol di mimpi buruk. Kreasinya sungguh menakjubkan. Mereka di “To Hell and Back” benar-benar bikin lingkungan seperti-neraka, dengan segala makhluk-makhluk seramnya. Kesan low budget jika dimanfaatkan dengan baik memang akan menambah banyak untuk pengalaman horor. Karena bagaimanapun juga ‘sesuatu yang ada di sana’ akan terasa lebih real dan grounded. Kupikir mestinya filmmaker Indonesia yang sekarang lagi hobi bikin horor, lebih sering juga menerapkan efek praktikal. Efek komputer digunakan untuk meng-enhance saja. Kayak, kalo harus ada adegan binatang seperti kelabang dan sebagainya, pakai praktikal saja. Memudahkan juga bagi para aktor (apalagi genre horor sering pake aktor muda yang belum benar-benar matang berakting) untuk berakting takut dengan melihat yang benar-benar ada.

Here’s the thing about horror: yang mainnya harus beneran takut dulu

 

Sedangkan jika dibandingkan dengan film-film pendahulunya di franchise ini, V/H/S/99 mengambil resiko dengan menghilangkan adegan ‘benang merah’. Biasanya selalu ada adegan yang mengikat semua segmen, misalnya seperti film tahun lalu; semua klip alias segmen yang kita tonton adalah tayangan yang dilihat oleh polisi yang menyergap bangunan tempat terduga sekte. Adegan ‘benang merah’ ini sendirinya seringkali membuat keseluruhan film tampak ‘maksa’. V/H/S/99 meniadakan adegan semacam itu, tidak lagi repot memikirkan kenapa dan dari mana klip yang kita tonton itu bisa kita tonton, apa klip itu sebenarnya di dunia film, apa ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sehingga film kali ini bisa lebih bebas mengeksplorasi segmen-segmen.  Yang kini terasa saling lepas, dan hanya diikat oleh benang merah berupa tema yang disebut pada judul. Yakni semuanya direkam pada tahun 99.  Buatku ini perubahan yang bisa dibilang positif, meskipun aku bisa melihat penggemar franchise ini akan terganggu. Karena tidak lagi ada progres dari yang sudah dibuild seri-seri terdahulu. Bahwa ada misteri yang mengikat video atau segmen ini semuanya.

 




Secara keseluruhan, memang film ini membagi penonton. Karakter-karakter yang bertingkah sok keren akan susah untuk dipedulikan sehingga pada akhirnya nasib yang menimpa mereka (karena berurusan dengan orang atau urban legend yang salah) tidak lagi terasa menakutkan bisa jadi penghambat utama penonton menyukai film ini. Begitu pula dengan kamera yang kelewat goyang-goyang.  Tapi itu semua adalah resiko yang diambil oleh film yang menginginkan  estetik 90an yang low budget dan amatir dan grounded terkesan real. It cannot get any simpler than this. Video demi video yang nunjukin cerita horor dengan kreasi dari era yang telah lewat. Buatku ini seperti baca Goosebumps, nonton horor jadul, nostalgia yang super refreshing. Tentu saja aku punya favorit, tapi kayaknya baru ini V/H/S/ yang kutak punya masalah berarti kepada masing-masing ceritanya. Sama seperti satu show WWE, tentu saja dalam satu antologi tidak bisa semuanya wah dan seru. Melainkan persoalan gimana mengaturnya supaya semuanya terangkai jadi satu tontonan yang punya flow dan pace yang stabil. Film ini adalah tontonan horor yang segmennya slightly terasa panjang, tapi terhimpun manis jadi pengalaman horor yang bikin merinding dan menghibur.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for V/H/S/99

 




That’s all we have for now.

Apa yang kalian rindukan atau yang paling ingin kalian lihat comeback dari tahun 90an?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



NOPE Review

 

“You have been obsessed with entertainment for so long, that you have almost gone blind to the obvious signs of distress”

 

 

Kiprah Jordan Peele sebagai sutradara film ngasih kita fakta bahwa komedian ternyata bisa jadi basic yang kuat untuk menjadi pembuat film horor yang hebat. Mungkin karena komedi dan horor sama-sama bermain di analogi atau perumpamaan. Komedian terbiasa menulis materi candaan yang sebenarnya mengandung pesan entah itu personal ataupun sindiran. Mirip dengan cerita horor yang menjadikan monster sebagai perwujudan dari sesuatu. Baik komedi, maupun horor, adalah respon manusia terhadap tragedi. Dalam dua karya pertamanya, Peele udah ngasih kita lihat ketajaman yang ia miliki dalam mengolah horor berisi, tapi sekaligus menghibur. Dalam Get Out (2017) dia membahas soal rasisme. Dalam Us (2019) Peele menyentil perpecahan manusia, lagi-lagi karena ras. Peele jelas punya concern dan statement soal ini, yang kembali dia hadirkan dalam horor ketiganya. It also helps that Peele juga seorang penggemar film, mulai dari Spielberg hingga anime. Sehingga Nope, film ketiganya ini, bisa terbentuk lebih jauh sebagai sebuah spectacle – sebuah hiburan – dengan berbagai referensi untuk dinikmati, dengan makhluk alien sebagai pusat misteri dan keseruan, dengan statement di baliknya sehingga kita benar-benar punya sesuatu yang bergizi untuk dicerna saat menebak apa yang sedang terjadi.

Kecintaan Peele pada sinema, serta concern-nya terhadap bangsa, langsung kelihatan dari protagonis sentral cerita. Dua kakak beradik yang berusaha meneruskan bisnis keluarga mereka. Sebagai pelatih kuda-kuda untuk syuting film. OJ dan Emerald sebenarnya adalah yang disebut sebagai Hollywood Royalty, mereka adalah keturunan langsung dari orang dalam motion picture pertama di dunia. Ya, pemuda kulit hitam yang menunggang kuda dalam video pendek hitam-putih itu adalah buyut mereka. Tapi sekarang bahkan bisnis kuda-untuk-film mereka pun sedang struggle. Kuda mereka pernah dicancel, diganti jadi unta, Film sekarang merasa lebih praktis pakai CGI dan sebagainya. OJ sendiri sebenarnya not impressed dengan orang-orang film itu sedari awal. Karakter yang diperankan dengan lebih banyak diam oleh Daniel Kaluuya  itu gak nyaman dengan bagaimana kuda-kudanya diperlakukan di set. Beda dengan adiknya, Emerald (Keke Palmer jadi karakter yang jauh lebih ceria) yang all-in ke bisnis hiburan. Makanya OJ-lah yang pertama sadar kuda-kuda di ranch mereka malam itu bertingkah aneh. Seperti kabur dari sesuatu di atas sana. OJ jugalah yang pertama kali nyadar bahwa beneran ada sesuatu di atas sana. Di antara awan-awan itu. Sesuatu yang bukan dari planet ini. Sesuatu yang bertanggung jawab atas hujan koin dan benda-benda metal lain, yang actually menewaskan ayah mereka.

E.T. fist bumps!!

 

Secara eksistensi, film ini mirip sama Pengabdi Setan 2: Communion (2022). Horor yang sama-sama dibuat sebagai spectacle. Yang satu wahana rumah hantu, yang satu wahana alien/creature feature. Sama-sama banyak referensi. Sama-sama memancing penonton untuk berteori menebak yang terjadi. Sama-sama dibuat dengan memanfaatkan teknologi IMAX. Tapi apakah secara kualitas keduanya juga sama? NOPE. Nope punya sesuatu yang film Joko Anwar itu gak punya. Substansi. Actual things yang hendak dikatakan.

Like, sure, Nope ngasih pengalaman mendebarkan melihat UFO yang terasa real. Film ini juga memanfaatkan kegelapan dan sesuatu yang tidak-kita-ketahui sebagai sajian horor utama. Langit luas di atas peternakan kuda milik keluarga OJ itu dijadikan seolah lautan dalam film Jaws oleh Peele. Hanya saja bukan hiu, melainkan piring terbang misterius, yang mengintai karakter manusia dari balik awan-awan. Sensasi ada sesuatu yang besar di atas sana, mengawasi kita, tanpa kita mengetahui apa tujuan mereka di atas sana. Tanpa tahu kapan mereka bergerak selain tanda-tanda alam seperti listrik yang tiba-tiba stop , lampu yang tiba-tiba mati. Film berhasil menguarkan semua itu. Aku suka gimana film ini memberikan tanda-tanda itu, terutama lewat boneka-bonekaan (aku gak tau namanya, cuma karena nonton WWE, maka aku akan menyebutnya sebagai boneka Bayley) yang dijadikan alat menarik untuk petunjuk keberadaan si alien. Boneka-boneka Bayley itu menjadikan visual film ini tambah unik. Musik dan suara juga tak kalah mendukung didesain oleh film demi pengalaman kita dengan makhluk terbang tak dikenal tersebut. Antisipasi dan build up akan makhluk ini terbendung, kecemasan dan penasaran kita tercermin dari reaksi karakternya. OJ, Emerald, dan nanti ada beberapa karakter pendukung seperti Angel si nerd penggemar alien, Jupe si pengelola tempat hiburan semacam sirkus, dan seorang sinematografer handal yang disewa OJ untuk merekam penampakan alien. Dan ketika makhluk itu datang, karakter-karakter ini – beserta kita – akan mendapat berbagai kejutan horor seperti dikejar-kejar hingga dihujani darah.

Film memang tidak melupakan karakter manusianya. Film tidak meletakkan mereka untuk mode survival saja, tidak untuk jadi korban teriak-teriak saja. Motivasi mereka tetap jadi fondasi cerita. Kehidupan mereka tetap yang utama untuk kita simak. Banyak orang yang mengeluhkan betapa film ini lambat masuk ke bagian seru, tapi untukku, itu ‘hanyalah’ sebuah build up manis yang dilakukan film untuk membuat kita peduli dengan nasib karakter saat nanti mereka beneran diburu. Untuk membuat kita merasa pengen mereka berhasil selamat. Motivasi dan kehidupan mereka toh menarik. Nope bukan tentang orang-orang yang berusaha survive dan membunuh makhluk alien, seperti pada creature feature yang biasa. Motivasi mereka lebih manusiawi, karena flawed. Bercela. OJ yang tadinya cuek sama soal video dan spektakel, akhirnya memilih untuk memanfaatkan si makhluk untuk nyari duit. Mereka ingin merekam alien itu, dan menjual videonya, supaya peternakan kuda bisa diselamatkan. Kenapa motivasi ini bercela? Karena berkaitan langsung dengan gagasan yang coba diangkat film sebagai bahan diskusi. Yakni soal manusia sudah terlalu obses dengan yang namanya entertainment. Alias hiburan.

Hiburan memang adalah kebutuhan manusia yang mendasar.  Dan sudah sejak lama, hiburan manusia kadang aneh-aneh. Orang dulu suka melihat gladiator lawan binatang. Kita punya tinju sebagai olahraga, ada wrestling sebagai tontonan. Acara gosip, acara kriminal, bahkan kisah-kisah sedih pun kita santap sebagai menu hiburan favorit. Poinnya manusia suka menjadikan orang lain, makhluk lain, sebagai tontonan. Dan rela menempuh apapun untuk menangkap sesuatu untuk dijadikan tontonan. Film Nope ini melempar balik pertanyaan kepada kita sebagai manusia, apakah kita pernah berpikir lebih jauh soal ‘harga’ yang dibayar saat menjadikan sesuatu sebagai hiburan?

 

Kalo dibandingkan dengan dua film Peele sebelumnya, Nope terasa lebih straightforward. Penonton bisa hanya menikmatinya sebagai cerita makhluk alien yang menelan manusia. Tapi tetep, Peele memasukkan banyak ‘misteri’ untuk dibahas penonton dengan kepala masing-masing sepanjang durasi. Hal-hal kecil yang ternyata ada akibat dan penyebabnya belakangan di cerita nanti. Hal-hal yang bakal menambah rewatch value film ini. Nah, membahas dan memberi perhatian ke petunjuk-petunjuk itu actually jadi rewarding saat nonton film ini karena memang hal-hal tersebut menutup kepada sesuatu. Membentuk kepada kesimpulan karakter dan kejadian yang tuntas. Menambah kedalaman ke dalam cerita dan karakter film ini. Seperti soal flashback cerita simpanse yang jadi bintang tv lalu mengamuk, misalnya. Bagian ini memang sekilas tampak tidak nyambung, tapi berkaitan erat dengan gagasan film soal mempertontonkan makhluk lain sesungguhnya tidak etis dan malah berbahaya. Jordan Peele suka memasukkan binatang ke dalam cerita horornya, karena menurutnya hewan adalah simbol dari both keinnosenan serta sesuatu yang inhuman. Di film Nope ada simpanse, kuda, dan si alien itu sendiri. Ketiganya at some point, dijadikan tontonan. Karakter Jupe yang selamat dari insiden simpanse ngamuk di masa kecil, merasa dirinya bisa menjinakkan apapun, dan setelah dewasa bikin taman hiburan dan menjadikan kuda, dan bahkan alien sebagai tontonan turis. Akhirnya tontonan itu berdampak tragedi karena manusia kelewat batas dan tidak mempertimbangkan dengan baik hal lain di luar pemenuhan keinginan mereka saja. Karakter lain seperti reporter dan si sinematografer, menemui ajal karena ngotot ingin mendapat rekaman bagus. Bagaimana dengan OJ dan adiknya?

Don’t look up!

 

Perihal dua protagonisnya ini, film memberikan mereka journey yang menarik. Di akhir film memang tidak diberikan jawaban eksak, mereka ‘ada’ tapi sepenuhnya nasib mereka diserahkan kepada interpretasi penonton masing-masing. Buatku, well, tadinya aku merasa janggal karena tiba-tiba film seperti pindah dari OJ sebagai hero ke Emerald. Like, di akhir tiba-tiba Emerald yang jadi jagoan dan menyelesaikan semua. Sehingga untuk make sense buatku, maka aku harus menganggap OJ sebenarnya tewas dimakan si alien, dan dengan menganggap seperti itu semuanya jadi gak janggal lagi. Journey mereka jadi komplit. OJ akhirnya belajar untuk mengerti bahwa terkadang situasi memang membutuhkan dirinya untuk put on the show, dan itu oke selama dia tahu apa yang harus dibayar. Sementara Emerald, jadi mengerti concern abangnya selama ini. Film berakhir dengan membuat Emerald mendapatkan apa yang mereka mau, menyelesaikan goal mereka, tapi dia tidak sesenang yang ia sangka.

Mengaitkan kembali dengan Jordan Peele yang sudah punya ciri khas dengan statementnya, aku merasa ada satu ‘makhluk’ lagi yang ia posisikan sebagai korban eksploitasi ranah bisnis hiburan. Orang kulit hitam. Film ini bicara tentang manusia begitu rakus menelan apa saja sebagai hiburan, tanpa mau mempertimbangkan lebih lanjut apakah mereka benar-benar paham ataupun apakah harus banget menjadikan itu sebagai tontonan. Mungkin lewat film ini Peele ingin menyentil film atau tayangan hiburan yang sok-sok mengangkat permasalahan ras atau semacamnya tanpa benar-benar mendalami permasalahan tersebut. Yang hanya memanfaatkan isunya sebagai tragedi yang gampang untuk dijual sebab penonton haus akan kisah-kisah sedih dan kontroversi dan semacamnya sebagai hiburan. Lebih tegasnya lagi, Peele tampaknya pengen menghimbau agar kita semua jadi pencerita, tukang konten, ataupun konsumen yang bertanggungjawab.

 




Prestasi banget bisa nelurin tiga karya yang berturut-turut konsisten. Film Jordan Peele kali ini didesain lebih sebagai hiburan bertema sci-fi alien, tapi tetap punya gagasan dan statement di baliknya. Beberapa penonton bakal menganggap film ini lambat, tapi itu hanya karena film ini peduli sama set up karakter. Peduli sama kehidupan mereka, karena dari situlah bahasan film ini diangkat. Horornya sendiri begitu ciamik dengan visual dan build up makhluk yang gak terburu-buru dan murahan. Bagi yang suka menebak-nebak, dan ngaitin adegan-adegan sepanjang cerita, film ini ngasih puzzle seru untuk diungkap. Dan benar-benar rewarding karena ‘puzzle’ tersebut actually ngaruh dan memang jadi fondasi cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOPE

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian sinema memang mulai eksploitatif terhadap tragedi atau trauma masyarakat minor?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



THE SWARM Review

“It’s a fine line between need and greed”

 

Horor kali ini datang, lagi-lagi dari manusia yang melangkah menembus batas tipis antara kebutuhan dengan ketamakan. Di dunia nyata, kita masih merasakan apa yang diperdebatkan sebagai dampak dari selera menjadikan kelelawar sebagai bahan makanan, seolah tidak ada lagi makanan lain. Di peternakan Perancis yang jadi panggung cerita garapan Just Philippot ini, kita akan menyelami bagaimana naluri bertahan hidup seorang ibu demi melindungi dan ngasih makanan untuk anak-anaknya, berubah menjadi ambisi mengerikan yang membuatnya seperti kesetanan.

Horor kali ini datang, dari drama ketakutan terdalam manusia dalam bertahan hidup. Itulah sebabnya film ini bakal jadi kudapan yang cukup bergizi. Tapi bagaimana dengan rasanya? Well, mari katakan saja, jika kalian punya taste tertentu untuk belalang yang kriuk-kriuk gurih, film ini bakal lezat sekali.

swarmfd1e1145676641c353d8ca5363d5535d
Kasih ibu tak terhingga sebanyak kawanan belalang haus darah!

 

Sebagai makanan, belalang memang enggak seaneh kelelawar. Di kita aja cukup lumrah memakan belalang goreng yang memang berprotein tinggi. Siapa yang tau belalang diolah jadi santapan seperti apa di Perancis yang punya banyak kuliner elegan sana. Yang jelas, belalang digandrungi sehingga banyak pembeli yang khusus membeli dalam jumlah besar. Khusus dalam artian, harus dalam jumlah besar. Itulah yang jadi masalah pada peternakan belalang milik Virginie. Belalang-belalang yang ia kembangbiakkan di satu rumah plastik bersolar panel itu kurang. Kesulitan berkembang biak. Kecil-kecil pula. Dijual untuk pakan bebek pun, masih belum memadai. Virginie semakin terlilit kesulitan finansial. Dalam frustasinya, Virginie menemukan jawaban. Belalang-belalang itu subur, besar-besar, saat dikasih makan darah segar. Bisnis pun lancar. Rumah plastik Virginie semakin bertambah seiring berlipat gandanya belalang besar yang ia biakkan. Tapi Virginie mulai dicurigai orang-orang, yang mulai berbisik ngomongin bisnisnya. Bisikan yang nyaingin suara dengung belalang yang keras. Virginie juga mulai ditakuti oleh anaknya sendiri. Tak pelak, harga yang harus dibayar Virginie memang sudah terlampau tinggi.

Melihat belalang-belalang yang semakin haus darah itu, kita akan berpikir kita tau ke mana film ini akan mengarah. Kamera yang dengan detil menclose up perilaku belalang sebagai transisi antaradegan, seperti ngebuild up – turut memberi makan antisipasi kita akan horor hewan yang kita kira bakal datang. Jika ini adalah film Hollywood, besar kemungkinan memang itulah yang bakal terjadi. Kawanan belalang lepas, menyerang manusia-manusia dan Virginie berusaha menyelamatkan putra-putrinya. The Swarm bukanlah film seperti itu. Philippot mengamalkan yang dijadikan pesan oleh film ini. Dia tahu batas, film ini butuh untuk menjadi seperti apa. Philippot tidak kebablasan menjadikannya lebih dari itu.

Film ini tetap berpegang erat kepada drama yang menjadi hatinya. Kepada drama yang menjadi akar horornya. Karena, walaupun memang ada adegan berupa belalang menyerang manusia dan sebagainya, horor dalam film ini tetap dikembangkan dengan subtil dan lebih berupa berasal dari pemahaman kita terhadap pilihan dan perubahan yang (harus) dilakukan oleh karakter. Dan ini ternyata lebih efektif, dan membuat cerita jadi lebih fresh juga. Horor melihat hubungan ibu dan anak yang merenggang – horor melihat anak menjadi takut kepada ibu mereka – ternyata lebih mengerikan ketimbang horor kawanan belalang yang mengamuk. Itulah yang dibuktikan oleh film ini.

Virginie adalah single mother dengan dua orang anak. Laura yang udah remaja, dan Gaston yang masih belum cukup dewasa untuk memahami problematika ekonomi rumahnya. Keputusan Virginie mengubah peternakan kambing peninggalan suami menjadi peternakan belalang berdampak kuat kepada kehidupan sosial Laura. Cewek itu dibully di sekolah, diejek. Konflik antara Virginie dan Laura berasal dari sini. Kedua saling salah mengerti. Untuk paruh pertama film kita akan melihat Laura sebagai anak sok nge-angst yang cemberut melulu, dan kita lebih bersimpati kepada Virginie karena kita melihat usahanya banting tulang untuk menghidupi keluarga. Dalam mengembangkan konflik itulah film ini excellent sekali.

Kita akan berjuang melakukan apapun untuk memenuhi yang kita butuhkan. Namun ada satu titik dari perjuangan tersebut yang tidak boleh dilanggar. Titik yang ditarik dari tujuan kebutuhan tersebut pada awalnya. Virginie melanggar ini. Dia melupakan untuk apa dia berjuang. Berjuang memenuhi kebutuhan membuat kita memperoleh yang kita butuhkan. Berjuang memenuhi keinginan untuk menjadi lebih dari yang dibutuhkan hanya akan membawa petaka. Dan malah bisa membuat kita kehilangan.

 

Suasana dreadful dipertahankan. Seiring kita mendengar dengungan belalang yang ngasih kontras ngeri berupa ada ‘monster’ yang semakin besar menunggu untuk keluar, kita semakin takut melihat ada orang yang masuk ke rumah-rumah plastik tempat Virginie sekarang menyimpan rahasia, simpati dan dukungan kita pun pada akhirnya kita rasakan mulai beralih. Peralihan itupun tidak sekadar “waah, aku jadi suka si ini sekarang”, melainkan karena dibangun dengan kuat di rasa dan di hati, peralihan tersebut membawa rasa ngeri kepada kita. Sehingga sekarang kita tidak hanya takut akan belalang-belalang itu, tapi kita juga mengkhawatirkan keutuhan keluarga Virginie. Film ini mengubah Virginie dari yang tadinya mendapat simpati penuh kita; dia tampak mengorbankan diri demi keluarga – dari yang tadinya seperti perjuangan tulus seorang ibu, menjadi sesuatu yang lebih menjurus ke sinister. Ke kegilaan. Terutama sebab perjuangan yang ia lakukan sudah jauh dari tujuan semula. Transformasi tersebut dilakukan film dengan mulus, tidak ada satu emosi yang tercecer.

swarmThe-Swarm
Ini telah meninggalkan realm ‘orangtua rela menderita demi anak’

 

Layer-layer pada motivasi dan pilihan karakter itu membuat film jadi punya kedalaman. Sembari kita melihat Virginie menjadi personifikasi dari gambar-gambar meme penderitaan orangtua demi anak, kita juga menyadari yang dilakukan Virginie terhadap belalang-belalang tersebut telah melampaui batas. Suliane Brahim menyokong arahan ini dengan menghidupkan karakternya lewat pendekatan psikologis yang pas. Perjuangan, keputusasaan, dan ‘kegilaan’ karakter tersebut dia mainkan sama kuatnya lewat kata-kata maupun lewat permainan ekspresi. Pilihan film untuk lebih memusatkan kepada karakter ketimbang mengubah ke haluan yang lebih diantisipasi orang, yakni menjadikannya horor creature, membuat film lebih bergizi. Namun tentunya juga bukan tanpa resiko. Arah ini berarti punya cerita yang berjalan lebih lambat. Penonton yang udah menunggu-nunggu adegan survival heboh, adegan makhluk yang heboh, ataupun hanya sekadar menunggu menjadi seperti The Bird Alfred Hitchcock, kemungkinan besar bakal kecewa. Adegan belalang lepas, menyerang orang, memang ada. Finale akan chaos dan berdarah-darah juga, tapi tidak lebih besar dari apa yang dibutuhkan oleh film ini.

Di lain pihak, penonton yang memang suka film yang lebih ke psikologis karakter, yang gak masalah mantengin film lambat dan horor-horor yang cenderung ke visual yang artsy saja, juga tidak lantas akan langsung terpuaskan. Karena actually, babak ketiga yang memuat Finale cerita ini hadir dengan tanggung. Herannya, tampil dengan lebih banyak kemudahan dari yang kukira. Film ini memilih vibe cenderung ke good ending ketimbang cerita kegagalan yang biasa, tapi tidak banyak tahap pembelajaran yang diberikan kepada Virginie. Karakter itu di akhir cerita, lebih banyak bereaksi ketimbang beraksi. SImpelnya, bukan dia yang mengakhiri semua itu. Melainkan karakter lain. Dan di ujung, barulah dia sadar dan kembali kepada tujuan semula; demi anak-anaknya. Sehingga penyelesaian film ini tidak terasa berkesan. Tidak terasa rewarding buat pertumbuhan karakter. Dan bahkan tidak ada konsekuensi. Virginie telah melakukan banyak hal-hal yang katakanlah – jahat – selama fase-fase dia gelap mata dan lebih mikirin belalang dan egonya sebagai ibu yang berjuang. Tapi ketika semua berakhir, buntut dari tindakannya juga berakhir gitu aja.

Harusnya ada ending yang lebih kuat daripada ini. Ending yang benar-benar melibatkan semua karakter cerita. Karena, yang kita lihat sebagai penutup film ini, saking abruptnya benar-benar terasa seperti berakhir begitu saja. Anak cowok Virginie yang juga jadi korban akibat ulah ibunya malah gak ada di situ. Seolah dia gak ada yang harus diresolve dengan ibunya. Seperti, film berhenti begitu saja mendalami yang sudah mereka gali. Ini aneh buatku, They were doing so good di awal, kemudian di akhir itu, they just stop buzzing.

 

 

 

Horor itu gak harus ada hantunya. Film ini membuktikan hal tersebut. Dia mendatangkan horor dari sikap manusia. Mengembangkan drama keluarga – konflik ibu dan anak yang berjuang untuk hidup – sebagai inti dari kisah fantasi berupa kawanan belalang yang mengganas karena dikasih makan darah. For the most part, film ini berhasil menyuguhkan perjalanan manusia yang benar-benar mengundang simpati. Yang benar-benar membuat kita mengkhawatirkan mereka. Membuat kita takut akan keutuhan mereka. Film melakukan ini sambil menghasilkan gambar-gambar seram. Film ini tahu apa yang ia butuhkan, tapi tidak benar-benar tahu cara yang tepat untuk membungkus ceritanya. Karena penyelesaian film tidak terasa memuaskan, dan terasa terlalu abrupt. Film yang berakhir kuat akan meninggalkan kita dengan bertanya-tanya “Lalu apa?”. Film ini hanya berhenti dengan membuat kita bertanya “Lah itu yang tadi gimana?”
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE SWARM.

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian film ini memang berakhir bahagia atau malah sebaliknya?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

UNDERWATER Review

“If you hit rock bottom, the only way to go is up”
 

 
Pesimistis merupakan gambaran sikap atau keadaan pikiran seseorang yang mengharapkan yang terburuk dalam hal apapun. Yang belum apa-apa udah gak antusias duluan, hilang harapan, dan gak mau muluk-muluk mikir bakal berhasil. Si pesimis inilah yang jadi tokoh utama kita dalam sci-fi horror/thriller Underwater. Namanya Norah. Salah satu kalimat perkenalannya kepada kita literally soal dia yang menjadikan sifat pesimis sebagai zona nyaman. Sebagai seorang mekanik di stasiun pengeboran minyak raksasa di bawah laut, ia curhat ketika soal di bawah sana, dia enggak tahu lagi hari dan hanya melakukan kerjaannya. Dia gak ngeluh, just stating a fact. Aku akan kehilangan minat sama sekali ama tokoh ini, jika kemudian aku tidak melihatnya bimbang sejenak dan mengurungkan niatnya mengguyur laba-laba di wastafel. Adegan kecil inilah penentu yang mengisyaratkan cewek bondol yang diperankan Kristen Stewart ini bukan satu-dimensi, bahwa ada sesuatu yang menyebabkan dia ‘menipu’ diri dengan bersikap pesimis.
Jadi jangan pesimis duluan sama film ini. Memang, film jenis ini sudah banyak. Dan dengan ‘jenis ini’, yang aku maksud adalah film-film sci-fi horor yang meniru Alien (1979). Let’s just face the fact, di tahun 2020 ini Alien sudah sah jadi kakeknya horor-horor sci fi. Setiap film generasi baru dalam genre ini hampir pasti bakal mirip, entah itu nyontek, ngasih tribute, ataupun memparodikan dirinya. Sebegitu hebatnyalah Alien. Kita bakal terus membanding-bandingkan cerita seperti ini dengan Alien, karena film itu udah jadi batas atas. Salah satu poin minus Underwater toh memang meminjam banyak elemen dari Alien. Dalam film ini kita bahkan akan menjumpai adegan bayi monster yang melompat keluar dari tubuh korbannya. Formula ceritanya mirip, karakter-karakter pendukungnya mirip. Banyak yang menyipitkan mata menyebut film ini hanyalah Alien di dasar laut, alih-alih luar angkasa. Namun actually, perbedaan tempat ini berhasil menjadi penanda yang memisahkan antara keduanya.
Stasiun raksasa tempat Noah bekerja meledak. Bersama beberapa orang yang selamat, Norah berusaha mencari cara untuk menyelamatkan diri ke permukaan. Mereka harus berjalan kaki di dasar laut, menuju stasiun sebelah yang masih memiliki kapsul penyelamat. Masalahnya adalah kondisi di sana sama sekali belum stabil. Ledakan susulan bisa terjadi kapan saja. Belum lagi tekanan air dan jarak tempuh yang berkemungkinan perjalanan menjadi terlalu beresiko bagi mereka. Dan ketika mereka beneran nekat mencoba, satu faktor bahaya lagi muncul. Penyebab ledakan fasilitas pengeboran mereka ternyata adalah monster-monster. Norah beserta rekan-rekan kini tak ubahnya bebek mainan di kolam. Menunggu monster-monster datang ‘mempermainkan nyawa’ mereka.

gimana gak pesimis; sudah 2020 dan tetep, blackman game over duluan

 
Underwater mengikuti semua klise sekelompok orang yang terjebak kemudian harus survive dari monster yang satu persatu memangsa mereka. Namun semuanya dilakukan dengan kompeten, dan menarik. I did enjoy this very much. Dalam teori skenario yang keren, tokoh utama akan selalu dipaksa untuk mengambil tindakan. Rintangan demi cobaan selalu datang menghantam. Tokoh akan selalu ditempatkan di posisi yang mengganggu baginya, yang menantang kepercayaannya. Underwater punya ini semua. Norah si pesimis terus disuruh untuk aktif menyelamatkan diri. Musuh Norah bukan hanya monster-monster kayak alga. Melainkan juga keadaan. Ledakan dan runtuhnya struktur stasiun. Tekanan air. Film enggak membuang waktu untuk terus menyerang Norah. Belum ada lima-belas menit, kita sudah melihat adegan aksi menyelamatkan diri dari stasiun yang meledak, bocor, kemasukan air. Lingkungan film ini semuanya digunakan sebagai halangan untuk tokoh utama, menyebabkan cerita selalu berada dalam kondisi menegangkan.
Setiap menit yang disediakan, berusaha dimanfaatkan oleh sutradara William Eubank untuk membangun kengerian sekaligus karakter. Kredit pembuka film ini saja dipakai untuk menampilkan judul-judul berita, sebagai usaha film melandaskan cerita seputar pembangunan stasiun pengeboran, batas alam mana yang mereka langgar sehingga bumi, katakanlah, menyerang balik. Antara adegan survival satu dengan yang lain, cerita akan mengerem sebentar untuk mengembangkan karakter. Norah diberikan hubungan emosional dengan rekan-rekannya. Dan di sinilah peran Kristen Stewart sangat dibutuhkan oleh film. Sekali lagi, jangan pesimis dulu padanya mentang-mentang ia jebolan Twilight. Stewart adalah bagian terbaik dalam film ini.
Dari nyeletuk soal apapun yang mereka lakukan mereka bakal jadi mayat yang ngambang di permukaan laut, hingga ke keteguhannya untuk tinggal dan menyelamatkan, Norah punya banyak momen pembelajaran. Stewart membawakan itu semua dengan sangat meyakinkan. Helm dan baju selam bukan hambatan bagi aktingnya. Jujur, waktu yang dipunya oleh film ini untuk development karakter sebenarnya enggak cukup. Underwater pada akhirnya masih tampak seperti aksi demi aksi dengan tokoh-tokoh yang mudah dilupakan. Jika bukan karena Stewart yang kini kuat dalam permainan ekspresi dan emosional, Norah bisa ikut-ikutan terlupakan. Tapi enggak. Perjalanan tokoh ini soal mengubah pesimis menjadi amunisi yang produktif tetap terasa sebagai tulang punggung film.

Sifat pesimis tidak melulu menghasilkan sesuatu yang negatif. Norah dalam film ini menyontohkan bahwa pesimis justru membuat dirinya bisa berpikir selangkah lebih maju. Membuatnya mengantisipasi hal-hal merugikan, dan mengubahnya menjadi langkah pencegahan dan menolong orang. Pesimis bisa dijadikan sebagai tameng defensif yang mencegah kita untuk terlalu kecewa tatkala sesuatu yang buruk sudah dikenali sedari awal. Orang-orang yang pesimis, dalam kondisi terbaik mereka, selalu adalah yang pertama kali sadar mereka berada di bawah dan jalan satu-satunya bagi mereka adalah ke atas.

 

orang yang optimis akan jalan kaki sambil membayangkan lewat di depan rumah nanas

 
Dunia Underwater terwujud dengan ciamik. Set dan desain produksi film ini cukup niat, sehingga semua yang terjadi di depan mata kita tampak otentik. Baju selam yang mereka kenakan aja terbangun dengan kuat, sampe-sampe aku merinding sendiri saat melihat mereka yang berdiri di dalam lift yang turun hingga terendam air. Baru sekali itu aku kepikiran betapa mengerikan rasanya mengetahui tubuh kita berada di dalam air, tapi badan kita sama sekali enggak basah. Itu gak normal. Dan aku beneran jadi merinding sendiri di bioskop.
Aku suka satu adegan kematian yang melibatkan helm baju selam yang rusak, karena ini juga menambah suspens dan dilakukan dengan menarik. Monster-monster juga diperlakukan dengan pas. Aku enggak tau budget film ini, tapi melihat banyaknya adegan gelap – jalan di dasar laut dapat jadi cukup membosankan karena gelap dan berlumpur tak kelihatan apa-apa jika dibandingkan dengan adegan-adegan di awal film – seperti mengisyaratkan film ini berusaha memaksimalkan budget mereka (terkait penggunaan efek). Dan ini efektif. Monster-monster hanya diperlihatkan sekelebat di tempat-tempat gelap, yang menambah kesan seram berkali lipat. Dan ketika mereka ngejumpscare, rasanya alamiah, sebab tentu saja makhluk yang mendekat diam-diam ingin memangsa kita akan menerkam di detik-detik terakhir. Ada shot keren yang aku suka banget menjelang akhir saat Norah menembakkan flare ke laut untuk melihat sosok ‘bos’ film ini, dan kita juga hanya melihat monster raksasa itu dari pendaran flare yang menembus air. Memberikan ruang bagi imajinasi kita untuk berenang liar, membuat monster ini jadi lebih seram dari yang bisa diciptakan oleh film ini. Pikiranku malah sampe ke Emerald Weapon FFVII saat menyaksikannya.
Range yang cukup curam dari ledakan dan runtuhnya bangunan ke berjalan dalam kegelapan membuat bagian tengah film ini memang terasa membosankan. Apalagi film juga tak menghindar dari membuat tokoh-tokoh pendukung melakukan hal-hal bego, seperti balik mengambil pistol yang ketinggalan di dalam goa. Namun tidak ada yang lebih merusak tone daripada tokoh yang diperankan oleh TJ Miller. Sepertinya memang dalam setiap grup harus selalu ada satu orang yang aneh, yang begitu random sehingga membawa boneka kelinci ke manapun dalam situasi apapun, orang yang suka ngelucu meskipun tak-pada tempatnya. Tokoh tipe ini memang dimasukkan sebagai peringan suasana, biar film gak serius amat, mengendorkan tensi dan semacamnya. Akan tetapi, mengingat film ini punya waktu yang sempit untuk memberikan dorongan dramatis untuk tokoh utama, gimmick tokoh yang dimainkan Miller ini kerasa mengganggu development Norah, dia tampak enggak cocok berada di sana, dan ya, terasa membuang-buang waktu saja.
 
 
 
 
Baru dua minggu di 2020, dan kita sudah mendapat kejutan yang menyenangkan. Film ini benar klise, banyak mengambil adegan dari film lain, punya tokoh-tokoh yang tipikal. Tapi ia melakukannya dengan sangat baik. Ini adalah jenis horor/thriller yang simpel; lari, ngobrol, lari, ngobrol, lari, tapi ia terus menemukan cara untuk membuat memaksimalkan perjalanan tokoh utama. Semuanya dijadikan sebagai musuh, sebagai tantangan. Membuat cerita original dengan shot-shot menegangkan ini menjadi superseru. Jikalau proyek ini mendapat perhatian yang lebih serius lagi, dapat waktu yang lebih banyak untuk cerita lebih dieksplorasi, bukan tidak mungkin dia bakal jadi salah satu mutiara di tengah lautan perfilman. Untuk saat ini, ia cukup menjadi pembuka memuaskan dari skena horor di tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for UNDERWATER.

 
 
 
That’s all we have for now.
Jika menjadi optimis terlalu susah, cobalah untuk memanfaatkan pesimismu sebagai keuntungan. Menurut kalian apa sih bedanya antara pesimis dengan mudah menyerah? Pernahkah kalian punya masalah overthinking?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

CRAWL Review

“Just keep swimming”

 

 

Di tengah horor dan thriller yang membanjiri lanskap perfilman, Crawl memang bukan ‘monster’ yang besar. Dia bahkan tidak ambisius. Tapi siapa sangka, film garapan Alexandre Aja ini, yang nyempil ‘malu-malu’ di antara film-film box office, ternyata dalam diamnya mampu memberikan pengalaman menakutkan paling murni yang bisa kita dapatkan. Dan ya, memang begitulah makhluk horor seharusnya; menyergap diam-diam dan mematikan. Crawl melakukannya dengan gemilang. It was a straight-up horror adventure. I have a blast watching this movie. Tidak pake hal-hal goib. Tidak pake perjanjian dengan klub-klub sesat. Tidak pake teori-teori sains rekaan yang ujung-ujungnya bikin cerita gak masuk akal. Tidak pake twist yang berusaha tampak pintar dengan mengecoh penonton. Delapan-puluh-tujuh menit benar-benar murni pembangunan suspens. Dan meskipun bergantung berat pada CGI, semua elemen horor pada dunia film ini berakar pada hal yang natural. Hewan dan manusia. Dan bencana alam.

Sebelum membahas dua yang kusebutkan duluan, aku ingin menekankan kepada pentingnya bagi kita untuk tidak melupakan si badai kategori 5 yang jadi latar pada film ini. Karena actually badai ini bukan sekedar latar. Melainkan ia sudah menjelma menjadi karakter tersendiri. Sedemikian kuatnya film ini ngelay-out sang badai tersebut. Badai itu tampak sangat realistis. Budget jelas sekali dimanfaatkan dengan efisien. Badai itu seperti sedang beneran terjadi. Atmosfernya menjejak kuat ke dalam cerita. Bukan sekadar siraman hujan lebat, langit gelap, dan hembusan angin dimainkan dengan efektif sebagai bagian dari alur cerita. Kadang badai ini membantu menyelamatkan tokoh-tokoh. Kadang juga membuat usaha survive mereka menjadi semakin susah. Cerita film ini menggunakan air untuk menaikkan intensitas kengerian; di mana air yang menjadi jalan masuk bagi para buaya (atau aligator) dimainkan secara bertahap.

Dalam usahanya mencari sang Ayah yang secara misterius tak-bisa dihubungi, Haley (Kaya Scodelario melakukan begitu banyak, ia kuyup oleh air dan darah) menerjang badai tersebut kembali ke rumah masa kecilnya di Florida. Untung saja ia melakukan hal tersebut, sebab ayahnya (Barry Pepper bermain gemilang sebagai motivator utama dalam hidup si Haley) ternyata membutuhkan pertolongan medis dengan segera. Sesuatu menyerang si ayah di dalam basement/crawl space rumah mereka, dan si penyerang – tak diketahui oleh Haley pada awalnya – ternyata masih di sana. Haley dan ayahnya terjebak, bersama si penyerang; buaya, yang setia menanti. Saat itulah badai ikut turun untuk meramaikan ‘pesta’. Air hujan di luar menjadi detik-detik bom waktu, karena sesegera air memenuhi ruangan, ruang gerak buaya semakin luas. Sementara posisi Haley dan ayahnya semakin kegencet. Ke mana pun mereka bergerak, air yang semakin naik, membawa buaya senantiasa mengekor mereka.

hayo ada yang tau bedanya buaya atau aligator?

 

Cerita yang dihadirkan memang sangat simpel. Tetapi semua elemen yang ada didesain sedemikian rupa sehingga bekerja berurut membangun kengerian yang maksimal. Menonton ini akan membuat kita duduk merengket, terpekik-pekik kecil, saat menyadari perlahan bahaya terus terbendung. Haley dan ayahnya nyaris tidak punya ruang untuk bernapas. Kita bahkan dibuat bertanya-tanya ngeri di dalam hati mengenai keselamatan anjing peliharaan yang senantiasa menggogok dari lantai atas memanggil tuannya. Setiap kali air naik, kita akan dibuat ikutan jantungan mikirin berapa banyak lagi buaya yang masuk. Kita akan dibuat melototin permukaan air karena kita pengen tau buayanya bakal muncul dari mana. Sungguh usaha yang sia-sia sebenarnya, karena film berhasil mengeksekusi jumpscare demi jumpscare dengan timing tak-terduga.

Horor yang terpusat di basement rumah – yang kemudian bakal naik ke lanta-lantai lain – seperti tak pernah kehilangan nada seramnya. Aksi-aksi survival yang kerap dilakukan oleh Haley, pilihan-pilihan nekat yang ia paksakan dirinya untuk lakukan, bakal membuat kita menahan napas. Tidak pernah sekalipun tindakan tokoh dalam film ini tampak bego, kayak di horor-horor atau thriller pada umumnya. Alexandre Aja yang dulu pernah menggarap Piranha 3D (2010) dengan lumayan sukses; horor tentang hewan buas juga, hanya saja lebih ‘receh’, pada film Crawl ini ingin membuktikan bahwa dia sanggup membuat yang serupa menghibur, tapi dengan nuansa yang lebih serius. Dan menurutku, dia memang berhasil melakukan hal tersebut. Buaya-buaya dalam film ini, kendati secara teknis memang adalah ‘makhluk monster pemakan manusia’ tapi tidak semata diperlihatkan hanya ingin memangsa manusia. Terkecuali pada satu-dua adegan para buaya tampak ‘bekerja sama’, mereka tidak dibuat melakukan sesuatu di luar kebiasaan buaya pada umumnya. Film ingin mempersembahkan mereka sebagai binatang normal. Kita diperkenalkan asal usul mereka lewat papan jalan penangkaran buaya yang dilewati Haley di adegan awal. Jadi film menanamkan kepada kita bahwa ini adalah buaya-buaya normal, ini adalah bencana alam normal, dan orang-orang yang terjebak di sana – baek ataupun tukang ngejarah supermarket – adalah orang-orang normal

Bahwa ini sesungguhnya adalah cerita yang grounded. Yang berinti pada keluarga. Hati cerita ini terletak pada hubungan Haley dengan ayahnya. Film sungguh memperhitungkan segala kejadian mengerikan yang terjadi pada Haley sebenarnya memiliki akar atau menjadi simbol dari apa yang seharusnya ia lakukan terhadap masalahnya dengan dirinya sendiri, yang berkaitan dengan sang ayah. Rumah masa lalu itu misalnya; tentu saja bukan tanpa sebab cerita memilih fokus di rumah itu padahal akan lebih seru kalo cerita meluas ke lingkungan di luar rumah, di mana ada lebih banyak buaya dan medan yang lebih menantang. Haley dan ayahnya memang mulai berjarak, padahal dulunya mereka akrab sebagai pelatih dan atlet renang. Haley yang selalu nomor-dua seringkali merasa tak percaya diri. Ayahnya lah yang terus menyemangati. “You’re an apex predator” gebah ayahnya bertahun-tahun yang lalu, yang jika dilihat sekarang kala mereka dikelilingi buaya, kata-kata tersebut dapat menjadi sangat ironi. Masalah pada Haley adalah bukan karena dia payah sebagai atlet renang, hanya saja ia merasa dirinya berenang karena ayah. Bakat yang ia miliki menjadi beban tatkala menjadikannya tidak percaya kepada dirinya sendiri. So it’s perfectly make sense Haley harus berenang secepat yang sebenarnya ia bisa demi menyelamatkan dirinya dan ayahnya. Buaya-buaya itu tepatnya adalah simbol ‘apex predator’ yang harus ia kalahkan.

Sama seperti sebagian dari kita, Haley tidak bisa terdorong jika tidak diberikan motivasi. Dia butuh sosok lawan untuk dikalahkan. Hanya saja untuk waktu yang lama, ia salah kaprah. Bukan tuntuan ayah, bukan pesaing renang, yang harus ia kalahkan. Lawan itu adalah dirinya sendiri. Buaya-buaya itu adalah dia menurut sang ayah; cepat – predator. Ketika dia ingin mengalahkan buaya berenang demi nyawanya, ia sadar yang ia butuhkan hanyalah berenang, berenang, terus berenang, tanpa menyerah kepada keinginan berhenti. Haley mengalahkan ‘lawan’ yakni dirinya sendiri. Maka kita lihat akhirnya dia mengangkatkan tangan penuh kemenangan.

 

Kenapa basement rumahnya bolong-bolong ya, sengaja banget ngundang air masuk?

 

Antara aksi survival dan pembangunan karakter, film memang bisa tampak agak ‘lucu’ juga. Percakapan ayah dan Haley kadang membuat kita merasa harus banget gitu ngajak ngobrol mendalam soal keluarga sekarang. Beberapa percakapan terdengar terlalu ‘dipaksa’ padahal mestinya lebih tepat dibicarakan dalam sikon yang lebih aman. Dan ini dapat membuat film yang berusaha grounded ini tampak tidak-realistis. Masa lagi dikepung buaya, bapaknya ngajak bernostalgia ke masa kecil. Tapi percakapan itu dibutuhkan karena karakter kedua tokoh ini perlu untuk dilandaskan. Sehingga kita peduli akan keselamatan mereka. Sehingga Haley dan ayahnya tidak jatoh seperti beberapa tokoh lain yang saat mereka dimakan buaya, kita tidak merasa peduli sama sekali. Film butuh menetapkan sesuatu terhadap karakternya sehingga kita ingin mereka selamat. Kita mengkhawatirkan kebersamaan mereka. Bukan sekedar kasihan kalo mereka dimakan, karena tentu saja kita kasihan dan ngeri melihat manusia dimakan buaya.

Tapi melihat ke belakang, semua drama itu tampak dengan mudah teroverlook karena penggambaran aksi survival yang begitu kuat. Film ingin tampil serius, dia tahu apa yang harus dilakukan untuk itu, dia juga ingin punya cerita yang berbobot. Hanya saja ketika kau menggarap film seperti ini, selalu ada resiko adegan-adeganmu tampak ‘maksa’ dan tidak berfungsi sesuai dengan yang dikehendaki. Menurutku film bisa lebih baik jika diberikan ruang cerita yang sedikit lebih luas sehingga pengembangannya bisa dilakukan dengan lebih natural.

 

 

Selain masalah minor tersebut, aku suka sekali film ini. Untuk urusan horor dan thriller, buatku selalu ada jeda yang cukup jauh antara film yang bagus di bioskop. Untuk waktu yang cukup lama sejak Us, aku belum lagi ngerasa puas dan genuine terhibur. Horor-survival bertema hewan buas dari Alexandre Aja ini menyambung estafetnya. Desain produksnya enggak ngasal. Badai dan buaya CGI itu tampak meyakinkan. Aksi bikin kita beneran mencicit di tempat duduk. Jumpscarenya efektif sehingga aku tidak merasa kesal dikagetin. Simpel, gak butuh twist, dan jauh dari keinginan bangun universe ribet. Nonton ini akan memuaskan sekali buat kita-kita yang ingin kabur sejenak dari rahang mengerikan dunia nyata. But mind you, kengerian dalam film ini berpotensi untuk balik menghantui kita dalam dunia mimpi
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CRAWL.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Film ini sebenarnya berpesan soal mengubah kekalahan menjadi motivasi. Pernahkah kalian merasa begitu kalah sehingga memutuskan untuk berhenti mencoba?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

THE RETURNING Review

“Sometimes dead is better”

 

 

Seperti dicomot langsung dari halaman buku misteri milik Stephen King, The Returning adalah horor keluarga yang menilik masalah beratnya menghadapi kehilangan anggota keluarga; merelakan terkasih yang sudah pergi dan move on dengan kehidupan.

Karena, benar, mati jauh lebih baik ketimbang hidup cuma menanti yang tak bakal kembali. Karena sejatinya, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Melainkan akhir dari derita. Yang harus kita sadari, bahwa kematian adalah saat kenangan-kenangan manis itu bermunculan.

 

Sudah tiga bulan berlalu, namun jasad Collin (dengan subtil Ario Bayu memainkan dua peran yang berbeda di sini) yang mengalami kecelakaan saat sedang berpanjat-tebing ria masih gagal diketemukan. Membuat Natalie (Laura Basuki diberikan tugas yang lumayan rumit sebagai tokoh utama) semakin nelangsa. Di saat kedua anak dan ibu mertuanya sudah merelakan Collin, semua orang praktisnya sudah menganggap Collin meninggal, Natalie masih belum ikhlas. Dia masih menanti sang suami sampai terbawa mimpi. Asa Natalie mendapat jawaban, Collin muncul begitu saja di pintu depan rumah mereka. Sehat wal’afiat. Keluarga ini lantas mencoba menyambung kembali kehidupan harmonis mereka. Namun ada yang janggal dari Collin. “Ayah berubah” kata Maggie, anak tertua Natalie, setelah menyaksikan ayahnya di tengah malam memakan apel dengan begitu rakus. Seperti kelelawar.

“Kelelawar sayapnya hi…jau!”

 

 

Film ini punya apa-apa yang jadi resep membuat horor yang bagus. Makhluk gargoyle seram yang bakal hinggap terbalik dalam mimpi buruk para penonton, drama keluarga yang erat tentang ibu dengan anak-anaknya, dampak kehilangan terhadap orang yang ditinggalkan; so much sehingga orang bisa sekuat tenaga berusaha memegang erat keluarganya yang tersisa. The Returning sepertinya mengerti bagaimana membuat horor yang bagus. Mereka mencoba membangun atmosfer seram dari rumah dan segala keganjilan yang terjadi. Dunia 97nya sendiri terbangun dengan detil, enggak dilambaikan di depan hidung kita, tapi kita masih tetap mengerti di kurun waktu kapan cerita ini terjadi. Mereka mencoba meng-grounding tokoh-tokoh dengan masalah yang relatable, sementara membangun misteri yang jadi landasan ‘mitologi’ horor cerita. Dan di sinilah masalahnya. The Returning terlihat berusaha terlalu keras. Hampir seperti, Witra Asliga dalam debut penyutradaraan film panjangnya ini, tidak mau ada yang salah.

Tidak ada yang salah banget dalam cerita ataupun ide yang ingin disampaikan. Secara materi, ini bisa menjadi horor dramatis – dan menyentuh ranah psikologis – yang asik untuk diikuti. Tapi nyatanya, aku tidak merasa senang (se-fun yang bisa dibangkitkan oleh horor), ataupun bahkan penasaran, dalam menontonnya. Setiap masing-masing adegan lebih terasa seperti misi yang ingin diselesaikan alih-alih sebuah penceritaan. Tidak membantu juga kenyataan bahwa film ini dibangun dengan twist sebagai tujuan. Tidak ada yang salah dengan twist, namun twist paling gak-asik itu adalah twist yang membuat kita enggak bisa sepenuhnya masuk ke dalam kepala tokoh utama. Kita mengerti motivasi Laura, tetapi hal-hal lain yang seharusnya adalah langkah-langkah yang ia ambil, ternyata berubah menjadi pengecohan – hanya untuk ngeswerve penonton. Semiring-miringnya niat tokoh utama, mereka haruslah membuat kita peduli, membuat kita memahami dirinya. Dalam film ini, kita merasa dibegoin dengan mendukung tokoh utama.

Jika titik-titik itu kita sambungkan – kalung, masalah Natalie dengan Oma, dengan Maggie – kita masih menemukan garis lurus. Semuanya masih terasa masuk akal. Tapi film masih tetap menyisakan misteri, yang sebetulnya adalah loose ends yang lupa diikat.  Aku gak mau spoil terlalu banyak, tapi ada satu hal yang gak klop buatku; Oma (ibu mertua Natalie) yang actually pertama kali melihat Collin di dalam mobil, dan secara urutan narasi, kejadian tersebut terjadi sebelum ‘ritual’ dilakukan. Jadi, bagaimana bisa Collin sudah ‘ada’ di sana? Karena kita tahu Oma tidak berhalusinasi; dalam cerita ini, hanya Natalie yang belum merelakan; Oma malah yang menyarankan untuk menyiapkan urusan pemakaman.

Subplot-subplot yang ada, pada akhirnya hanya berfungsi sebagai kambing hitam; pengalih perhatian supaya kita tidak menebak twistnya. Masalah-masalah seperti anak bungsu Natalie yang gak bisa bicara dan dibully di sekolah karenanya, Maggie yang katanya takut tumbuh dewasa, merupakan masalah yang bisa membawa pesan penting, namun pada akhirnya tidak mendapat penyelesaian karena hanya berfungsi sebagai red-herring. Banyak tokoh yang keberadaannya begitu mentah, mereka hanya terasa seperti throw-away character. Ada teman Natalie yang diajak pindah ke Jogja sama pacarnya – how is this important to the story? Ada saudara cowok Natalie yang ia marahi lantaran ngajak Collin pergi memancing – apa yang ingin dicapai dari masalah ini? Dan si bungsu Dom yang gak bisa bicara tau-tau bisa ngomong, dimaksudkan supaya kita kasihan kepadanya – it just doesn’t work. Aneh sekali cara film ini membangun Dom enggak bicara karena yang tertangkap adalah Dom tidak dikasih kesempatan bicara alih-alih memang ‘gak bisa’. Seperti ketika Collin baru pulang, Dom yang jago gambar memamerkan gambar buatannya ke ayah LEWAT perantara Maggie – kenapa dia enggak berkomunikasi sendiri dengan ayahnya. Di bagian pengungkapan, ada satu perkataan Natalie yang bikin aku ngakak; dia menyebut anak-anaknya menanyakan Collin terus menerus, dan ini sungguh kebohongan gede dari Natalie karena kita tahu justru Maggie yang sebel ibunya enggak move-on dari kepergian ayah, dan Dom, well, kan Dom sama sekali gak bisa berbicara gimana cara dia mendesak bertanya haha

hanya anak-anak yang jujur, that’s what makes them children.

 

 

Film berusaha untuk menjadi benar, namun pada akhirnya tetap melakukan pilihan-pilihan yang ganjil. Penggunaan jumpscare masih menjadi andalan, terlihat seperti film ini belum sepenuhnya yakin bisa membangun kengerian dari gambar dan editing semata. Padahal gambar dan editingnya sudah cukup precise.

Setiap kita punya kelemahan, dan adalah hal yang bagus kala kita menyadari kelemahan yang kita punya, dan kita berbuat sebaik mungkin around that weakness, mencoba untuk menutupinya. Atau paling tidak supaya kelemahan tersebut tidak kelihatan. Logikanya kan begitu; Jangan letakkan kelemahan itu di tempat terbuka. Dalam film, ya sebaiknya film jangan dimulai dari teknik filmmaking kita yang paling lemah, karena sepuluh menit pertama itu nentuin mood penonton banget. Strangely enough, film ini dibuka oleh adegan panjat tebing yang benar-benar terlihat tidak profesional. Adegan ini menciptakan kesan pertama yang enggak baik. Sebenarnya bisa dengan gampang diperbaiki; kita akan membahas itu sebentar lagi, aku ingin menunjukkan satu lagi pilihan aneh yang dilakukan oleh film ini.

Tokoh-tokoh film ini bicara tentang ayah mereka yang sudah berubah, “ayah biasanya gak begini”, dan kita harus percaya  gitu aja dari kata-kata mereka. Seharusnya diperlihatkan bagaimana Collin sebelum menghilang. Film memang memperlihatkan beberapa flashback yang menunjukkan kedekatan Collin dengan Natalie, maupun dengan Maggie. Tapi dalam sebuah skenario yang baik, flashback semestinya hanya jadi pilihan terakhir jika sudah mentok. Pada film ini, toh pilihan itu masih ada. This is how to fix this; Mereka bisa saja memulai cerita dari sebelum Collin kecelakaan. Sepuluh menit pertamanya bisa menunjukkan gimana Collin sebenarnya, lalu inciting incidentnya barulah dia jatuh dari tebing. That way, kita tidak perlu melihat adegan panjat tebing yang susah untuk difilmkan sebagai pembuka, yang ultimately jadi bagian paling tak meyakinkan dalam film ini.

 

 

 

Pertanyaan seram yang bisa bikin bulu kuduk merinding “itu ayah kita atau bukan?” tak pernah terangkat karena film sibuk membelok-belokkan kita, karena ia pengen terlihat menarik dan pinter dengan twistnya yang mengecoh. Inilah yang menyebabkan film menjadi enggak seram. Enggak genuine lagi suasana yang dihadirkan. Mereka jadi tergantung sama musik keras mengagetkan. Jadi, jangankan subplotnya, premis film sendiripun hanya dijadikan sebagai pengecoh – sebuah loose end yang sengaja enggak diikat. Aku tidak merasa enjoy saat menontonnya padahal film ini punya cerita yang menarik. Strukturnya pun bener, hingga mereka sadar durasi sudah hampir habis dan buru-buru menutup cerita dengan pengungkapan. Tidak ada yang spesial dari pengarahan sutradara baru ini. Tapi tetap saja, film ini menginspirasiku, karena aku juga pengen membuat film – tapi saat ini masih belum bisa, maka aku menulis review. For what it’s worth, anggaplah film ini sebagai pemanasan sebelum remake Pet Sematary (2019) rilis, atau paling enggak sebelum nonton The Hollow Child (2018) di studio sebelah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RETURNING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan perkataan Collin kepada Maggie seputar kadang kita harus mengambil resiko? Apakah perubahan adalah resiko? Seberapa jauh resiko yang berani kalian ambil demi cinta?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017