SOUL Review

“Life starts now.”
.

 
 
Bertahun-tahun pengen jadi bintang jazz, Joe (diisi suaranya oleh Jamie Foxx) yang bekerja jadi guru musik honorer akhirnya diterima untuk nampil bermain musik di klab bersama idolanya. Tentu saja Joe langsung memilih gig ini ketimbang tawaran untuk jadi guru tetap di sekolah dasar. Dalam perjalanan pulang, Joe yang begitu girang sibuk menelpon sehingga tak lagi memperhatikan jalan (itupun kalo dia pernah memperhatikan jalan sebelumnya). Joe mengalami kecelakaan. Dia jatuh tewas. Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai.
EIIIIITTSS, jangan keburu sedih dan depresi dulu. Karena Joe adalah tokoh utama dalam film Soul; film buatan Pixar. Dan jika ada satu hal yang kita ketahui tentang Pixar, maka itu adalah Pixar selalu merancang cerita dengan muatan perasaan yang real, yang nge-tackle masalah yang manusiawi seperti kematian, perpisahan, dibalut dengan konsep yang menyenangkan. Selalu ada lapisan kreatif yang menjadikan ceritanya menarik.
Kecelakaan tadi ternyata belumlah akhir dari semua bagi Joe. Karena dia mendapati dirinya – jiwanya – berada di sebuah tempat yang bisa membawanya hidup kembali. Joe kabur dari jembatan lorong ‘siratal mustaqim’, dan sampai di The Great Before. Tempat pelatihan dan seminar bagi jiwa-jiwa sebelum dilahirkan ke dunia. Joe yang menyamar menjadi salah satu mentor, ditugaskan untuk mengajari unborn soul bernama 22 (disuarakan oleh Tina Fey dengan suara yang menurut si karakter “annoys people”) tentang kehidupan duniawi. Si 22 ini sudah beribu-ribu tahun gagal terus lulus pelatihan, padahal mentor-mentornya adalah orang terkenal semua. Joe dan 22 yang bertualang bersama mencari spark untuk 22, akhirnya saling mengajari soal apa yang sebenarnya paling berharga dari kehidupan.
Film Soul ini digarap oleh Pete Docter yang sebelum ini menggarap Inside Out (2015). Jadi kita bisa mengharapkan eksplorasi dan world-building yang sama imajinatifnya di Soul ini. Dibandingkan dengan Inside Out, memang Soul terasa bahkan lebih ‘dalem’ lagi. Karena alih-alih soal emosi dan kepribadian bekerja, Soul adalah eksplorasi soal eksistensi dan jiwa itu sendiri. Docter dan co-director Kemp Powers menerjemahkan filosofi mengenai kehidupan, afterlife, dan apa yang membuat kita, kita ke dalam dunia ‘kartun’ versi mereka sendiri.

Dan tak lupa juga menampilkan ‘soul music’ alias musik Jazz

 
 
Menjelaskan soal filosofis seperti eksistensi ke dalam presentasi atau bentuk yang ringan, jelas adalah sebuah tantangan besar. Bahkan bagi sekelas Pixar. Kita tahu anak kecil memang ada kalanya nanyain hal-hal ‘sulit’; hal-hal yang enggan untuk kita bahas kepada usia mereka. Namun begitu, rasanya jarang sekali ada anak kecil yang nanyain ‘kenapa kita suka mengejar hobi yang dilarang oleh orangtua’. I’m not saying film Soul ini gak cocok untuk selera anak. Karena memang filmnya sendiri didesain untuk bisa ditonton oleh anak kecil. Desain visualnya mengundang. Karakter jiwa-jiwa itu berbentuk lucu, mereka tampak seperti gabungan awan dengan roh. Fluffy sembari garis tubuhnya agak-agak berpendar transparan. Masing-masing jiwa ini punya bentuk yang distinctive, yang sesuai dengan penampakan atau fisik tubuh manusia mereka. Sehingga menyenangkan untuk menebak-nebak atau membandingkan wujud asli dengan wujud jiwa beberapa karakter yang disebutkan. Selain itu ada juga karakter lain yang bentuknya tak kalah unik. Film ini juga punya antagonis, walaupun di sini tokoh antagonis itu tidak benar-benar punya niat jahat, melainkan hanya terlihat sebagai penghalang bagi Joe yang literally kabur dan pengen mengubah nasibnya. So yeah, film ini masih punya pesona khas animasi Pixar yang digemari anak-anak. Dialognya juga masih sempat untuk terdengar lucu dalam sebagian besar porsi adegan.
Hanya saja menu yang disajikan Pixar kali ini memang lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa. Pixar mengambil langkah yang berani di sini; membuat tokoh utama yang bukan anak-anak, malah pria dewasa yang bahkan belum punya keluarga/anaknya sendiri. Segala konteks yang berusaha disederhanakan tadi itu juga pada akhirnya akan tetap jauh bagi anak kecil. Menonton film ini bagi anak-anak sekiranya bakal sama seperti ketika kita yang sudah dewasa menyaksikan Tenet (2020). Film Soul ini pun kadang terseok juga oleh kebutuhan untuk menjelaskan konteks dan pembangunan dunianya; itulah terutama yang memberatkan bagi anak yang belum dapat menangkap dengan baik gambaran besar ataupun maksud dari narasi yang diceritakan. Bagi kita orang dewasa, atau bagi penonton yang sudah mengerti permasalahan yang menimpa karakternya, film Soul ini akan jauh lebih emosional. Tidak akan terasa hampa seperti saat nonton Tenet. Karena tokoh utamanya, permasalahan dirinya, begitu universal dan terceritakan dengan baik oleh film. Penyederhanaan konteks filosofis, konsep dunia afterlife yang dijadikan ceria seperti camp pelatihan, tidak mengurangi penekanan kepada konflik emosional dan psikologi yang dirasakan oleh karakter Joe – dan bahkan juga si 22. Film ini pun semakin fleksibel dengan tone-nya, sebab di pertengahan akan ada bagian cerita jiwa yang tertukar tubuh, dan film berhasil untuk tidak tersesat menjadi komedi konyol. Melainkan malah semakin terasa penting sebagai suatu bagian dari perkembangan karakter.
Penulisan film ini luar biasa. Aku suka cara film menyelipkan hal-hal seperti kematian, keputusasaan ke dalam cerita. Hal-hal tersebut penting dan tidak-bisa tidak disebutkan ketika kita bicara tentang persoalan tujuan hidup, eksistensi, dan kebahagiaan seperti ini. Ada banyak aspek dalam film ini yang kalo kita pikirkan lagi ternyata sebenarnya sangat suram. Misalnya soal jiwa-jiwa yang segitu banyaknya muncul di dekat Joe di jembatan ke cahaya itu, menunjukkan segitu banyaknya manusia yang mati setiap hari. Ada yang muncul bertiga pula, mereka mati kecelakaan apa gimana. Dan Joe sendiri, dia gak sadar dirinya tewas karena dia begitu sibuk mengejar passionnya sebagai pemusik Jazz. Kalimat ‘Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai’ sesungguhnya sangat naas dan inilah yang jadi gagasan utama penulisan karakter Joe.
Berarti menurut film ini, semua manusia terlahir tanpa jiwa

 
 
Joe adalah seorang yang sangat passionate. Dia mengejar karir, and do what he loves. ‘Kesalahan’ yang harus Joe sadari adalah menyangka bahwa hidupnya baru akan dimulai – baru benar-benar berarti jika passion atau karir impiannya itu sudah tercapai. Film langsung membenturkan ini dengan membuat Joe celaka. Namun Joe gak mau nerima, dia kabur membawa jiwanya keluar dari kematian. Jiwanya berontak, bagaimana mungkin dia mati pada saat hidupnya justru baru dimulai – pada saat karirnya mulai mencapai titik terang. Joe tidak pernah benar-benar peduli pada hidupnya, selain untuk berhasil menjadi pianis jazz. Inilah yang membedakan Joe dengan 22 pada saat si unborn soul itu mencicipi seperti apa hidup untuk pertama kalinya. Joe tidak pernah duduk dan menangkap daun yang jatuh. Joe selalu mengejar karirnya sehingga lupa untuk melihat hidup. Tidak seperti 22 yang berhenti dan menikmati apapun yang ditawarkan kehidupan kepadanya. Ada momen yang sangat menyentuh ditampilkan oleh film ini yaitu ketika Joe melihat visual kehidupannya, yang ternyata sangat hampa. Dia tidak melakukan apa-apa padahal sudah hidup selama itu. Momen ini menunjukkan bahwa mengejar impian meskipun adalah suatu perjuangan hidup, tapi bukan berarti hidup jadi harus tentang itu.
Lebih lanjut film memperlihatkan Joe yang tetap tidak bahagia setelah berhasil menjadi anggota band jazz bareng idolanya. Karena dia ketinggalan semua hal lain kehidupannya. Dalam film ini ada makhluk yang disebut lost-soul. Para jiwa akan berubah menjadi makhluk ini jika tidak lagi senang dalam hidup. Meskipun dalam film ini tidak ditunjukkan, tapi aku yakin jika Joe tetap memilih ngeband dan melupakan 22 dan semua yang ia lalui tadi, maka Joe akan perlahan berubah menjadi lost-soul. Dan ultimately menjadi lost-soul adalah hal yang paling mengerikan yang bisa terjadi kepada sebuah jiwa. Karena yang terpenting adalah untuk menghidupi hidup.

Kita bisa mati kapan pun. Inilah yang diingatkan oleh film. Hidup tidak dimulai ketika kita lulus kuliah, atau ketika kita dapat kerja, atau ketika impian kita tercapai. Hidup sedang berlangsung. Sekarang juga! Maka tunggu apa lagi? Kejarlah yang dicita-citakan, tapi jangan lupa untuk membina hidup. Karena purpose of life is to live the life

 
Sehingga masuk akal jika film ini memberikan kesempatan kedua bagi Joe. Karena perkembangan karakternya diset sebagai orang yang kini mulai belajar untuk dengan benar-benar melihat hidup. Bukan hanya tentang musiknya, tapi juga tentang keluarganya, tentang teman-temannya. Dan kupikir cerita Soul yang dibikin seperti ini justru lebih indah dan mengena sebagai inspirasi ketimbang membuat cerita yang ‘kelam’ dengan membuat Joe benar-benar memutuskan untuk ‘terus’. Nah kembali lagi ke penulisan yang hebat, Soul tidak lantas memberikan kesempatan kedua itu saja dengan cuma-cuma kepada Joe. Dia dibuat pantas untuk mendapatkanya dengan membantu 22. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan telah menyadari apa ‘kesalahannya’ dalam memandang hidup. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan sudah menerima dan merelakan nasibnya.
Semua aspek sudah dipertimbangkan oleh film ini. Semua yang ditampilkan terasa masuk ke dalam suatu tujuan. Suatu makna. Sehingga membuat film ini semakin berbobot. Satu lagi yang paling aku suka dari cara film ini menangani karakternya adalah dengan bersikap open terhadap ‘ending’ karakter 22. Tokoh ini sangat menarik, awalnya dia gak suka untuk pergi ke bumi, dia menganggap semua kehidupan itu yang sama aja. Not worth, enakan di Great Before. Tapi hidup sesungguhnya benar seperti paradoks Cliche-22 (mungkin dari sini nama 22 itu); kita gak bakal tau seberapa enaknya hidup, tanpa pernah menjalani hidup itu sendiri. Si 22 memang akhirnya terjun untuk dilahirkan ke bumi, dan yang aku suka adalah kita tidak diperlihatkan terlahir atau menjadi siapa si 22 di Bumi. Film tidak memberikan kita adegan Joe bertemu dengan 22 versi manusia, dan menurutku ini sungguh langkah yang bijak. Karena menunjukkan hidup tidak bergantung kepada kita terlahir sebagai apa, bisanya apa, sukanya apa. Itu semua tidak berarti bagi 22, karena dia hanya ingin sekali untuk hidup.
 
 
 
Ini adalah karya Pixar yang paling berbeda. Mulai dari tokoh utamanya yang dibuat dewasa (not to mention merepresentasikan African-American yang belum pernah dijadikan tokoh utama oleh Pixar) hingga ke permasalahan yang berjarak dengan anak-anak. Konteksnya adalah tentang eksistensi yang berusaha diceritakan dengan sederhana. Dan ini memang tidak membuat Pixar keluar dari identitasnya. Yang kita lihat tetaplah sebuah journey yang imajinatif, penuh warna, dengan karakter yang adorable. sehingga nilai hiburannya tetap dipertahankan di balik bobot yang luar biasa. Sungguh sebuah tantangan yang gak ringan. Namun film ini berhasil. Ceritanya menyentuh dan terasa penting. Para karakter pada akhirnya tampil realistis karena bergelut dengan masalah yang sangat relatable. Kebingungan yang mungkin terjadi saat mempelajari konsep dunianya akan tertutupi oleh keunggulan penulisan karakter. Minus poin bagiku cuma minor, yaitu menurutku harusnya film sedikit lebih konklusif terhadap karakter Joe yang mendapat kesempatan kedua. Buatku alih-alih membuatnya hanya terlihat bersyukur dan menikmati hidup, mungkin bisa juga ditambah dia akhirnya mengambil tawaran sebagai guru; just to circle back ke pilihan yang dia dapatkan di awal cerita. Selebihnya buatku film ini beautiful dan penting, if you care about life and your existence. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SOUL.
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian sudah menemukan ‘spark’ di dalam hidup?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MULAN Review

“You’re created not to conform”
 

 
 
Mulan adalah seorang anak yang gesit. Berani. Dia jago bela diri. Kekuatan chi-nya tergolong kuat, selevel dengan kekuatan seorang warrior. Namun Mulan tidak membuat orangtuanya bangga. Karena ada satu masalah. Mulan ini ‘cah wedok!
Anak cewek gak pantes lari-larian ngejar ayam di atas genteng. Kata ibunya, anak cewek ngasih kehormatan bagi keluarganya ya dengan bersikap lemah lembut, anggun, elegan, kalem, sopan, dan patuh, supaya kalo udah gede bisa langsung dijodohin. Bukan dengan berperang mengangkat senjata. Seperti yang persis dilakukan oleh Mulan begitu titah dari kaisar datang mengharuskan setiap keluarga ‘menyumbang’  satu pria untuk jadi pejuang memberantas pasukan pemberontak di garis depan peperangan. Menggantikan ayahnya yang sudah terlalu tua dan pincang untuk berperang, Mulan pergi diam-diam di tengah malam. Mengambil pedang, baju zirah, dan kuda sang ayah. Melanggar tiga kode kehormatan seorang pejuang. Setia, Berani, dan Jujur.
Aku masih terlalu kecil untuk dapat menyadari pentingnya cerita Mulan sewaktu menonton versi animasinya dulu. For me it was; cewek yang nyamar jadi cowok dan ada naga lucu, I’m sold! Jadi menonton Mulan versi live-action ini kurang lebih seperti benar-benar pengalaman baru bagiku, karena sekarang aku melihatnya dengan pemahaman dan konteks yang lebih mendalam daripada nonton animasinya dulu. Disney patut diapresiasi karena melakukan tindakan yang berani. Mereka tidak mengambil adegan per adegan dengan sama persis ama versi animasi. Mulan kali ini diarahkan untuk jadi lebih serius. Tidak ada lagi naga yang bisa bicara di sini, bahkan adegan musikal juga gak ada. Sayangnya, tidak semua pilihan yang diambil oleh Disney di film ini membuahkan hasil yang manis.

Yang lucunya, kesan pertamaku saat menonton ini adalah betapa Mulan ini seperti cerita Kartini, jika Kartini bisa kung-fu.

 
 
Film Mulan kali ini beneran terasa seperti film-film kung-fu. Sutradara Niki Caro tampak mengincar ke gaya yang lebih realis, walau dengan masih menggunakan elemen-elemen fantasi sebagai device dalam cerita. Absennya naga diisi oleh penyihir dengan segala kekuatannya mulai dari menjelma jadi makhluk lain hingga jurus-jurus berantem yang penuh muslihat. Padahal tokoh penyihir ini menarik, dia punya kesamaan dengan Mulan. Dan tentunya hubungan di antara keduanya jadi elemen fresh yang dipunya oleh cerita. Namun ternyata tokoh atau karakter ini memang hanya device saja. Tak banyak berbeda dengan beberapa penampakan burung phoenix sebagai simbol dari kekuatan Mulan. Jadi aku tidak yakin gaya realis itu benar-benar tercapai. Film ini juga malah menggunakan efek-efek cahaya yang membuat film semakin lebih ‘bo’ongan’ lagi. Misalnya, lensa blur/flare yang digunakan saat menyorot Mulan pada salah satu momen di pertarungan terakhir. Efek di momen itu berfungsi untuk membuat Mulan tergambar menjadi sosok yang bahkan lebih spesial lagi. Namun sesungguhnya dijadikan ‘spesial’ itu justru hal terakhir yang dibutuhkan oleh Mulan.
Gagasan cerita ini boleh saja berakar dari pandangan bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki. Dalam pengembangannya, Mulan jadi mengusung banyak pesan moral yang sangat relatable buat semua penonton, tak terbatas pada penonton perempuan saja. Adegan ketika Mulan bangkit, dia membuka semua penyamaran; menggerai rambut dan kini hanya bertempur dengan robe merah tanpa armor apapun bisa kita terjemahkan sebagai pesan untuk menjadi diri. Untuk tidak lagi meredam diri, tidak mengikuti tuntunan sosial yang mengeja kita harus seperti apa, dan jadi siapa diri kita.

Kita tidak diciptakan untuk mengikuti aturan ‘cewek harus begini, cowok bagiannya itu’. Tentu, ada batasan alami yang tidak bisa dilanggar oleh keduanya. Namun batasan tersebut tidak pernah berarti kita harus mengecilkan diri jika kita bisa melakukan sesuatu melebihi dari harapan atau kebiasaan sosial. Kita bisa jadi apapun yang kita ‘mampu’. Masalahnya justru pada seberapa ‘mau’ kita?

 
Maka menjadikan atau menampilkan Mulan sebagai makhluk spesial, justru menjauhkannya dari kita. Sebab pesannya jadi seolah Mulan bisa setara seperti itu ya karena dia bukan manusia sembarangan. Padahal gak semua orang kayak Mulan; gak semua orang dianugerahi chi yang luar biasa dan disuruh meredam kekuatannya sedari kecil. Inilah pilihan paling aneh yang dibuat oleh sutradara Niki Caro yang jadi sumber masalah pada film ini: Membuat Mulan spesial alih-alih manusia biasa seperti pada animasinya dulu. Mulan kuat sedari awal. Momen-momen latihan perang tempat dia nyamar jadi cowok itu tidak lagi dalem dan emosional karena dari sudut pandangnya, cerita kali ini simply adalah soal dia bohong saja. Tidak seperti pada versi animasi. Di sana Mulannya adalah soal orang normal yang bekerja keras biar dapat diterima, biar dia membuktikan dirinya mampu mendobrak dinding yang menolak mengakui ekualitas itu. Mulan terasa seperti kita semua yang berjuang keras untuk bisa berhasil. Sedangkan pada Mulan yang baru, ini adalah soal orang yang gak boleh maju karena gender-nya tidak mengharapkan dia untuk begitu, jadi dia ngerepres siapa dirinya. Perkembangan tokoh di sini adalah tentang Mulan yang belajar untuk berani mengakui siapa dirinya di hadapan semua orang, melawan semua pandangan sosial yang mungkin mengekangnya. Perbedaan besar antara Mulan versi animasi dan versi live-action ini adalah soal normal dan spesial tersebut. Pada Mulan yang sekarang ini pesannya jadi terlemahkan oleh agenda ‘spesial’ itu. Bagaimana dengan ‘kerja keras’ itu sendiri?

Kamulah makhluk Tuhan yang paling sakti

 
Semua aspek dalam film ini terasa tidak natural. Tadi aku sempat nyebut mirip Kartini, dan memang Mulan (si Yifei Liu yang meraninnya aja kadang-kadang sekilas mirip Dian Sastro hihi) mengalami ‘kekangan’ yang sama – bahkan ia juga disuruh kawin. Namun tentu saja wanita yang tidak boleh mengecam pendidikan tinggi terasa lebih alami ketimbang wanita tidak boleh berjuang dengan kung-fu jurus tenaga dalam. Dampaknya cerita Mulan jadi tidak dramatis. Stakenya enggak kuat karena kita tahu Mulan tidak dalam bahaya, toh dia sedari kecil sudah jauh lebih hebat daripada siapapun di layar. Film juga dengan lincahnya melompati adegan-adegan yang mestinya bisa membantu Mulan untuk lebih beresonansi ke kita. Dalam film ini tidak lagi kita mendapati adegan sedramatis Mulan mengambil pedang diam-diam, memotong rambutnya, bimbang sebelum memutuskan pilihan paling penting sehubungan dengan kehormatan keluarga. Adegan Mulan memilih untuk menggantikan ayahnya dalam film ini terasa sangat datar, dengan pengadeganan sesederhana Mulan menunjuk kamera dengan pedang itu lalu kemudian fade out bentar dan voila dia sudah siap berangkat dengan baju zirah terpasang.
Karena ini basically udah jadi film kung-fu, maka mau tak mau kita harus membandingkan aspek action-nya dengan film kung-fu hebat semacam Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), which triumphantly kick Mulan action’s in the ass. Ada beberapa momen keren, tapi adegan-adegan berantem di film Mulan ini dilakukan dengan terlalu cepat dan terlalu banyak editing. Sehingga kesannya hingar-bingar. Di sini juga film menunjukkan kekurangtajaman matanya terhadap penggalian kesan dramatis. Mulan berpindah tempat gitu aja, tidak benar-benar diperlihatkan perjuangan dan pemikirannya soal strategi seperti ketika dia begitu saja (dan begitu mudahnya) dapat taktik melongsorkan gunung es. Yang sekali lagi juga menunjukkan membuat Mulan seorang yang berkekuatan spesial hanya membuahkan kegampangan pada cerita. Film semakin tak alami, apalagi dengan beberapa batasan produksi yang harus dipatuhi oleh film. Seperti soal violence, atau darah: agak aneh menyaksikan film yang basically tentang perang, dengan banyak adegan aksi berantem pake jurus-jurus kung-fu fantastis, tetapi terasa jinak karena didesain untuk tampil ‘aman untuk tontonan keluarga’. Ataupun batasan seperti bahasa. Dengan cast nyaris semuanya Asia (ada Jet Li!), dan bersetting di Asia, terdengarnya aneh saja film memilih menggunakan dialog bahasa Inggris. Normalnya, bahasa enggak pernah jadi masalah buatku, hanya saja di momen menangnya Parasite – film berbahasa asing – di Best Picture Oscar kupikir film-film akan lebih terbuka atau setidaknya lebih berani dalam menggunakan bahasa.
 
 
 
Pilihan yang diambil oleh Disney untuk membuat film ini jadi sedikit berbeda dari versi animasinya pada akhirnya menyebabkan film ini terasa tidak alami. Tokoh utamanya yang sedari awal kuat dan spesial menjadikan development flawed-nya – dan gagasan cerita – kurang ngena, kalo gak mau dibilang tereduksi dan gak fit lagi. Hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain sesama prajurit juga dikurangi sehingga semakin menjauhkan si tokoh dengan ‘kenormalan’ yang beresonansi dengan kita. Versi animasinya masih jauh lebih superior, bercerita dengan lebih baik, dan terasa lebih natural. Disney seperti mengulangi kesalahan yang sama pada sebagian besar live-action-nya yang gagal: membuat sebuah fantasi menjadi realis.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MULAN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian adakah batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar ketika kita membicarakan perihal sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ARTEMIS FOWL Review

“Trust is that rare and priceless treasure…”
 

 
 
Menyebut cerita fantasimu seperti gabungan Harry Potter dengan Spy Kids seharusnya merupakan pujian. I mean, otomatis kita akan berasumsi itu adalah pujian karena bayangkan saja sebuah dunia dongeng hunian makhluk-makhluk sihir yang mentereng oleh teknologi-teknologi canggih! Tapi entah bagaimana, sutradara Kenneth Branagh mengacaukan imajinasi tersebut. Film Artemis Fowl yang ia adaptasi dari salah satu novel fantasi populer ini seperti penggabungan yang terburuk, karena arahannya justru membuat dunia khayal tersebut jadi tak-berbobot, tak-berhati, dan tak-berjiwa.
Ceritanya malah begitu amburadul, sehingga menuliskannya ke dalam sinopsis akan membuat paragraf ini seperti racauan gelandangan bermulut bau alkohol murahan yang sering kita temukan nongkrong di sudut kota. Tersebutlah Artemis Fowl, anak dua-belas tahun putra seorang jutawan barang antik. Tapi ada sesuatu yang mencurigakan dari ayahnya yang hobi nyeritain dongeng. Suatu hari ayah Fowl diculik dari ‘perjalanan dinas’ dan disekap oleh seorang misterius yang meminta tebusan berupa Aculos. Artifak berkekuatan super milik bangsa peri. Yea, ternyata di bawah tanah, merahasiakan diri dari manusia hiduplah bangsa peri, kurcaci, troll, dan-kawan-kawan, dengan teknologi yang jauh lebih maju daripada manusia. Artemis Fowl harus memaksa dirinya mempercayai dongeng yang ia dengar sejak kecil, dan berusaha menangkap satu peri, supaya dia bisa mendapatkan Aculos untuk nego membebaskan ayahnya dari penculik misterius. Masalahnya adalah, bahkan bangsa peri sendiri tidak tahu di mana Aculos yang sudah lama hilang dari dunia mereka, dibawa ke dunia manusia. Jadi keseluruhan film pertama dari apa yang diniatkan sebagai seri film Artemis Fowl ini akan membahas perebutan ‘The Lost Aculos’ di atas fungsinya sebagai origin atau perkenalan sebuah dunia magis yang baru.

Dan ‘aku-lost’ oleh hiruk pikuk cerita film ini

 
 
Film ini udah sekitar dua-puluh tahunan mengembara di dapur produksi. Begitu novelnya rampung, sudah banyak yang ngebet pengen memfilmkan ini sebelum dibeli oleh Disney. Gak tau deh berapa banyak draft untuk film ini sejak saat itu. Namun yang jelas, poster ‘coming soon’nya mulai mejeng dari tahun lalu di bioskop. Dan akhirnya Disney merilis ini di tengah pandemi. Di saat film-film unggulan Disney yang lain ditunda hingga bioskop buka, Artemis Fowl muncul begitu saja di layanan streaming official Disney+, sehingga lantas saja menimbulkan pertanyaan kenapa sekarang menjadi waktu yang tepat? Mereka udah nunggu bertahun-tahun, apalah arti menunggu sedikit lagi supaya tayang di bioskop? Melihat keseluruhan film ini, kita boleh lancang menjawab karena Disney sendiri tau hasilnya jelek, sehingga menunggu lebih lama akan makin memperbesar ekspektasi orang-orang, maka to lessen the inevitable damage dirilislah sekarang. Akan tetapi, kalo boleh bersikap positif sedikit, mungkin film ini ditayangkan hari-hari ini karena ceritanya mengandung sedikit pesan yang relevan dengan keadaan.

Bangsa peri dan manusia terpisah karena masing-masing takut dengan yang lain. Ada rasa tidak percaya yang tumbuh. Aculos yang berakhir menjadi pemersatu dua bangsa ini adalah simbol dari trust. Ia adalah harta tak-ternilai, yang punya kekuatan super, yang berhasil menyelamatkan semua berkat dua makhluk; manusia dan peri, yang sepakat untuk saling percaya menjaga dan menyimpannya jauh dari tangan-tangan jahat.

 
Dalam ngereview film, biasanya aku selalu menggunakan formula ‘utarakan nilai plus filmnya dulu, ceritakan yang baik-baik di atas, lalu kemudian ditutup dengan kekurangan dan nilai minus film’. Namun untuk Artemis Fowl ini aku benar-benar kesusahan mencari nilai positif untuk disampaikan kepada pembaca. Karena sama seperti suasana wow dan magis, pencapaian bagus film ini juga sama sekali gak ada. Pesan yang kutulis di atas tadi besar kemungkinan adalah long-reach, yang justru terasa karena menontonnya di tengah masa-masa berita #BlackLivesMatter santer alih-alih karena filmnya memang menyematkan pesan untuk keadaan itu. Karena faktanya, film ini tidak pernah melakukan banyak hal terhadap tokoh-tokohnya yang beragam rupa tersebut.
Aku ingin bisa bilang bahwa petualangan dan pencarian Aculosnya seru, mengasyikkan, ataupun menegangkan, tapi gak bisa. Sebab film ini tidak punya adegan petualangan itu sendiri. Lucu gak sih. Ini benar-benar cocok sebagai film yang ditayangkan di masa pandemi karena Artemis Fowl ini adalah FILM PETUALANGAN YANG TOKOH UTAMANYA DI RUMAH AJA! Artemis gak ke mana-mana. Dunia peri bawah tanah itu, dia tidak ke sana. Tidak ada momen dia tercengang oleh dunia atau makhluk-makhluk yang sama sekali belum pernah ia lihat, not to mention mereka adalah eksistensi yang selama ini tidak ia percayai ada di muka bumi. Kita, penonton doang, yang tau-tau dipindah dari rumah gede Artemis ke bawah tanah melihat bangsa peri. Kita melihat teknologi mereka, di bawa masuk ke antara barisan pasukan peri yang bersenjata unik. Namun kita tidak diberikan waktu untuk meresapi semua itu. Hal-hal berlalu begitu cepat, lenyap dalam lontaran-lontaran eksposisi. Lupakan soal eksplorasi, kita bahkan enggak pernah benar-benar diperkenalkan kepada tokoh-tokoh yang muncul satu persatu. Film cuma menampakkan mereka di layar, sementara informasi tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, semuanya disebutkan. Kita enggak belajar apapun. Fantasi dan wonder itu sama sekali enggak nyangkut, sehingga film ini tumpul secara emosional.
Padahal setidaknya ada beberapa karakter yang menarik. Komandan peri yang udah beratus tahun membenci manusia kemudian menyadari hal penting. Dwarf yang gak diterima oleh bangsanya sendiri karena punya fisik yang berbeda. Pejuang peri yang diremehkan karena ayahnya melakukan sesuatu di masa lalu sehingga dicap pengkhianat. Film tidak pernah sepenuhnya stop untuk mereka. For the sake of Artemis yang benar-benar membosankan. Tokoh utama kita ini enggak punya sesuatu yang spesial. Sikapnya standar anak orang kaya yang bisa jadi annoying atau sedikit brengsek kepada orang lain. Dia diperlihatkan suka surfing, tapi apa hubungannya itu dengan ini semua. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai ‘criminal-mastermind’, tapi sama seperti banyak hal pada film, semua itu hanya diucapkan tanpa pernah diperlihatkan buktinya. Visual storytelling film ini sungguh gak-jalan. Sutradara sendiri sepertinya bingung untuk menggali karakter ini, bagaimana membuat sebuah anak-kriminal sebagai tokoh film anak-anak, jadi dia memberikan petunjuk kepada Ferdia Shaw – aktor cilik yang memerankan Artemis – untuk diam berekspresi kaku saja setiap kali berbicara. Aku berharap dia terus-terusan memakai kacamata hitam, soalnya paling tidak matanya tak lagi terlihat mengawang menghapal dan nunggu dialog berikutnya.
Untuk sebuah dunia fantasi yang supposedly luas, film memaksa kita untuk mendengarkan saja narasi. Menonton ini seperti terikat kepada paparan yang dicuapkan oleh seorang karakter – dan ini adalah konsep yang benar-benar aneh untuk bercerita tentang sebuah petualangan fantasi. Begini, cerita yang kita ikuti di sini basically adalah flashback yang dikisahkan oleh seorang dwarf raksasa (bayangkan Hagrid, tapi less-simpatik). Di raksasa sedang diinterogasi karena punya hubungan dengan keluarga Fowl dan dia disuruh menjelaskan semua kejadian. Yang ia ceritakan itulah yang kita tonton, dengan konteks yang meragukan karena di menjelang akhir ia menjelaskan bahwa penangkapan dirinya sudah direncanakan, dan dia memang diberikan tugas untuk membeberkan informasi sehingga kita gak bisa yakin semua yang kita tonton beneran terjadi atau cuma karangan berbumbu dari si dwarf. Mungkin inilah pembelaan film; penceritaan mereka begitu simpang siur, kita tidak pernah benar-benar kenal dengan si Artemis yang jadi tokoh utama, kita malah melihat lebih banyak dan lebih tertarik sama bangsa peri, karena si dwarf-lah yang mendongeng dan ia adalah pendongeng yang buruk.

More like, ‘Artemis Foul’

 
 
Dari situ aja, film ini udah sedikit cacat pada logika. Salah satu alasan bangsa peri mencari Aculos adalah supaya rahasia keberadaan mereka tidak terbongkar. Tapi kemudian, setelah Aculos berhasil terselamatkan dan Artemis dan bangsa peri menjadi ally, si dwarf tadi disuruh untuk membeberkan cerita pertempuran mereka kepada manusia? Membuka rahasia bangsa peri dan kemudian pergi dari sana dengan cara yang tidak bersahabat? Aku tidak mengerti endgame si bocah kriminal itu sama sekali. Dan bicara soal aksi, mau bilang porsi action film ini keren, aku juga gak bisa, karena adegan pertempuran gede-gedean di rumah Fowl itu sungguh sukar untuk diikuti dengan mata telanjang kita yang gak dibekali teknologi peri. Semua hanya berlangsung se’duar-duar’nya pembuat film aja, segimana yang kira-kira bikin penonton bengong dan berhenti sejenak mengumpat film ini. Begitu banyak yang beterbangan ditangkap oleh kamera, mulai dari tokoh-tokoh yang tidak kita pedulikan hingga hal-hal kecil yang tidak terjelaskan. Misalnya, kenapa Artemis dan pengawalnya tidak terpengaruh time freeeze, ataupun kenapa kemudian time freeze itu mendadak rusak, dan udah tau rusak mereka semua masih diem di sana aja. Dan ketika ada satu tokoh yang terluka, dan mau-tak-mau kita mulai peduli padanya, film membantah itu semua dengan elemen penyelamat; bangsa peri bisa menyembuhkan segalanya. Dan hey, kalopun ada apa-apa, Aculos bisa memperbaiki apapun karena sangat kuat!
 
 
 
 
Hal paling parah dari film ini adalah dia tidak tau mau menjadi apa. Katanya ini adalah film pertama yang seharusnya membahas origin, tapi banyak hal esensial yang terskip dan hanya disebutkan oleh eskposisi, dan film langsung merapel ke konflik pada buku berikutnya. Katanya ini adalah film petualangan, tapi tokoh utamanya sama sekali tidak ke mana-mana untuk mencari benda yang harus dicari. Dan ultimately, film ingin kita menyukai tokoh utama – mereka mengubah cukup drastis karakter tokoh ini dibandingkan dengan novel – tapi si tokoh sama sekali tidak menarik dan gak ngapa-ngapain, kita juga lebih banyak mengikuti tokoh yang lain. Ini bahkan tidak terlihat seperti film dengan narasi dan karakter-karakter yang hidup, melainkan hanyalah rangkaian adegan-adegan gak spesial. My final words, ini adalah kekacauan storytelling yang mentereng.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ARTEMIS FOWL.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sekarang kebanyakan justru polisi atau yang bersenjata semakin tidak percaya dan semakin takut kepada orang biasa?
Who can we trust now?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FROZEN II Review

“Sometimes growing up means growing apart.”
 

 
Angin perubahan bertiup di Kerajaan Arandelle. Enam tahun sejak dinobatkan menjadi Ratu, betapapun dia ingin keadaan mereka tidak berubah seperti yang dinyanyikan oleh Anna dan Olaf, Elsa yang punya kekuatan sihir es tetap tidak bisa membekukan waktu. Elsa bahkan belum mampu menentramkan hatinya – dia masih merasa tidak berada di tempat yang benar di Arandelle. Dan kemudian, suara nyanyian misterius – terdengar oleh Elsa seorang – datang bersama angin. Ada legenda tentang tempat magical nun jauh di utara. Malam itu, Arandelle kedatangan ‘tamu’; angin badai, surutnya air, kobaran api, dan gempa. Elsa merasakan nyanyian, bencana, dan kekuatannya sendiri ada hubungannya dengan tempat legenda yang pernah diceritakan oleh ayah mereka tersebut. Maka ia pergi mencari tempat itu. Dan karena persaudaraan yang begitu erat, Anna juga ikut serta. Membawa sahabat-sahabat mereka bertualang ke utara.
Aku salah satu dari orang dewasa – cowok dewasa – yang suka sekali sama Frozen (2013). Aku udah nonton berkali-kali. Aku sampai bikin subtitle-nya sendiri karena aku merasa film tersebut punya pengkarakteran yang keren dan aku pengen tahu bagaimana menulis karakter yang bagus. Bahkan lagu Let It Go yang diputer berlebihan di mana-mana itu pun tidak mengganggu buatku. Frozen adalah animasi modern Disney yang merekonstruksi seperti apa menjadi Princess dan Ratu. Film tersebut menggebrak dengan statement Ratu tidak butuh Raja, Putri tidak butuh diselamatkan oleh Pangeran. Dinamika Elsa dan Anna – kakak beradik kerajaan – cinta mereka dijadikan ‘senjata’ utama dalam cerita. Frozen II berusaha mendorong narasi relasi ini lebih jauh. Koneksi Elsa dan Anna digambarkan semakin solid, sampai pada titik kita paham pertanyaan ‘bagaimana jika mereka harus berpisah’ cepat atau lambat akan tersaji. Frozen II bahkan berusaha tampil lebih beda lagi daripada animasi-animasi Disney dengan tidak memasang tokoh penjahat; tidak ada sosok yang harus dikalahkan oleh Elsa dan Anna di sini. Sekuel ini harusnya punya potensi. Namun melihat dari hasil akhir, sebaiknya Disney membiarkan cerita ini pergi.

bahkan Elsa herself meringis dengerin dirinya nyanyi Let It Go

 
Kita tak perlu punya kekuatan sihir untuk bisa menebak film ini bakal punya visual yang bikin kita lupa menarik napas. Efek angin, detil gambar, ekspresi, tata cahaya – Frozen II tanpa cacat di departemen ini. Beberapa momen seperti Elsa berlari menerjang ombak, Anna dan Olaf berlayar di sungai dengan banyak raksasa batu, benar-benar tampak luar biasa sehingga aku berharap porsi petualangan seperti ini mestinya diperlama. Sayangnya dari segi cerita, film ini seringkali diperlambat oleh berbagai penjelasan. Mulai dari cerita legenda, cerita konfirmasi legenda tersebut oleh pihak pertama, dan bahkan ada beberapa menit dipakai untuk menjelaskan kembali cerita Frozen pertama lewat Olaf dan patung-patung es. Meskipun setiap eksposisi dihadirkan lewat visual menawan dan cara yang berbeda sehingga tidak bosan, tetapi tetap saja cerita menjadi terbebani. Petualangan tokoh-tokoh kita jadi kurang terasa.
Dibandingkan Frozen yang simpel, sekuelnya ini punya cerita yang needlessly rumit. Sama seperti Maleficent: Mistress of Evil (2019) ataupun beberapa film-film live-action princess Disney baru-baru ini, Frozen II pun memiliki elemen politik di dalam narasinya. Perdamaian dua kerajaan yang tidak berlangsung mulus karena pihak satunya begitu ketakutan. Ada ketakutan terhadap ras yang disimbolkan di sini. Tema seperti demikian memang sepertinya klik banget dengan penonton-penonton muda zaman sekarang. Anak-anak sekarang sepertinya lebih cerdas dan lebih tertarik membahas intrik. Bencana yang terjadi di masa Elsa nyatanya adalah dosa dari generasi terdahulu; ini bergaung kuat dengan konteks modern yang diusung pada Elsa dan Anna. Karena merekalah yang membereskan masalah, dan mereka melakukannya dengan cara tersendiri. Hidup dengan pemahaman bahwa mereka melanjutkan kehidupan dan membuatnya menjadi lebih baik juga merupakan bagian dari fase growing up, yang jadi tema utama film ini.
Empat tokoh sentral – Elsa, Anna, Kristoff, dan (keluh) Olaf – punya perjalanan yang melambangkan tantangan yang dihadapi seseorang ketika ia bertumbuh dewasa, ketika ia harus berubah sebagai bagian dari pendewasaan. Voice-akting keempat tokoh ini sudah bisa ditebak luar biasa. Terutama Idina Menzel yang suaranya begitu powerful, klop sama tokoh Elsa. Keempatnya pun diberikan lagu pribadi untuk mencerminkan proses pendewasaan itu. Elsa dapat lagu terbaik. Ia menyuarakan keberanian untuk menempuh sesuatu yang baru. Yang mengajarkan kepada penonton muda bahwa it’s okay untuk mencari diri sendiri, untuk mencoba keluar dari perasaan nyaman yang mulai terasa mengukung ketika kita mulai dewasa. Menyambung Elsa ada Olaf. Pribadi, aku gak suka Olaf. Dia annoying, dan di film ini dia dapat porsi yang lebih banyak lagi sehingga saat menontonnya aku harus menggigit kedua tinjuku hanya supaya aku tidak menggunakannya untuk meninju telingaku sendiri. Tapi aku mengerti bahwa peran Olaf di sini memang besar dan diperlukan. Olaf, dan nyanyian solonya, melambangkan kepolosan kanak-kanak yang menanggap dunia orang dewasa penuh hal yang tidak dimengerti, dan Olaf mengajarkan bahwa nanti kita semua akan mengerti secara natural.
Karakter yang paling sial dalam film ini adalah si Kristoff. Sepanjang durasi dia tidak diberikan apa-apa selain running-joke klise mau melamar – ngasih cincin ke – Anna, tapi Anna-nya gak pernah ngeh, sehingga rencana Kristoff selalu gagal. Kristoff juga dapat lagu Lost in the Woods yang aneh banget, animasinya ada yang kayak Bohemian Rhapsody, musiknya kayak musik rock 80-an, kelihatan dan kedengarannya canggung aja. Padahal lagu Kristoff tersebut melambangkan fase penting anak muda yang merasa kehilangan, atau tersesat, ketika ia jauh dari orang yang ia cintai. Untuk melengkapi lingkaran fase bertumbuh yang diusung cerita, Frozen II memasang Anna. Yang begitu berdeterminasi, yang sayang kepada kakaknya. Elsa sudah memilih. Dan kali ini giliran Anna. Perjalanan karakter Anna, yang adalah gagasan utama film, dihimpun dalam lagu The Next Right Thing, yang mengajarkan dalam kebingungan lakukanlah hal yang menurutmu benar – inilah ultimate part dari bertumbuh. Kita mengambil keputusan.

Bertumbuh bersama bukan lagi secara tradisional harus bersama-sama. Frozen II memperlihatkan bahwa kadang, dalam proses pendewasaan, kita akan berpisah dengan yang disayang. Tapi itu tidak berarti kita berhenti tumbuh bersama. Karena cinta di antara kita adalah konstan yang tidak berganti. Perubahan tidak bisa dihentikan, perpisahan serta merta akan terjadi – itulah makna menjadi dewasa. Dewasa yang berarti tidak melupakan orang yang kita cinta.

 

pengen dewasa tapi masih ketawa setiap kali teringat Adele Dazeem

 
Elsa dan Anna jadi simbol sisterhood dan kemandirian perempuan yang kuat. Pada film ini diperlihatkan, walaupun hanya Elsa yang punya kekuatan es, mereka berdua adalah wanita yang kuat saat sendiri-sendiri. Kebersamaan mereka tidak pernah menjadi toxic. Ini adalah pesan yang powerful. Maka dari itu, aku merasa aneh pada satu keputusan yang diambil oleh film untuk mewakili satu karakter di menjelang akhir film ini. Untuk menghindari spoiler berlebihan; aku hanya bisa bilang mereka membuat Elsa dan Anna berpisah jalan. Keputusan salah satu tokoh setelah itu terasa sangat abrupt, seperti film ingin tergesa menyelesaikan sehingga tidak memikirkannya dengan matang. Tokoh ini membuat keputusan yang bakal berpengaruh besar kepada banyak orang. Keputusan yang pada naskah sebenarnya adalah fake solution, dan akan dibenarkan pada sekuen berikutnya. Namun dari sudut pandang si tokoh yang mengambil keputusan, ini adalah keputusan sepihak yang beresiko dan sedikit keluar dari karakternya sendiri. Keputusan ini kembali mencerminkan politik; menunjukkan sedikit kepada kita pemimpin seperti apa si tokoh ini kelak. Dan aku enggak tahu apakah sutradara Chris Buck dan Jennifer Lee sengaja atau tidak – sadar atau tidak – menempatkan si tokoh dalam posisi demikian.
 
 
 
Sebagai dongeng modern Disney, film ini adalah salah satu yang paling berani dan ambisius. Dia berkembang menjadi lebih dewasa daripada film pertamanya. Secara visual, film ini tampil lebih baik. Lagu-lagunya juga enggak begitu over. Catchy juga, suara Menzel juara, Namun secara cerita, mengalami penurunan. Ceritanya padat tak beraturan, dengan selingan eksposisi yang memperlambat tempo. Petualangan yang dihadirkan tak begitu terasa seperti petualangan yang menyenangkan. Tapi jika kita sudah mencintai karakter-karakternya, maka akan mudah untuk tetap menyukai film ini. Pada dasarnya mereka semua lovable. Termasuk tokoh-tokoh baru. But gosh.. I hate Olaf.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FROZEN II

 

MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL Review

“Unity does not mean sameness”
 

 
Maleficent yang dibuat tahun 2014 merupakan remake live-action animasi klasik Disney yang berani untuk menjadi berbeda. Tidak sekadar menceritakan ulang (atau menyuruh kita menonton hal yang sama pada dua kali hanya untuk perbedaan medium visual). Namun actually menghadirkan sudut pandang yang baru. Film tersebut punya ceritanya sendiri; bahkan membuat twist bahwa film animasi yang kita tonton sebelumnya ternyata ‘salah’. Si Maleficent, salah satu villain paling legendaris dan disegani sejagad Disney, ternyata enggak sejahat itu. Adalah ciumannya yang membangunkan Aurora, alih-alih ciuman pangeran. Memang beginilah seharusnya remake live-action atau remake pada umumnya) dibuat. Berbeda. Dan mengambil resiko. Sekuel dari Maleficent – Mistress of Evil – kali ini mengambil resiko yang lebih besar. It’s an entirely new story. Namun tampaknya resiko yang diambil oleh film kali ini terlalu besar untuk kebaikannya sendiri.
Peri penyihir bertulang pipi menonjol dan bersayap serupa kelelawar gede itu ternyata masih ditakuti oleh manusia. Rumor prestasi-prestasi jahatnya masih beredar di kerajaan manusia sebagai gosip. Dan lambat laun berubah menjadi mitos. Padahal Maleficent dan Aurora hidup serba berkasih sayang di kerajaan mereka di hutan, damai dan ceria bersama bangsa peri beraneka rupa. Inciting incident datang kepada Maleficent berupa Aurora dipinang oleh Pangeran Philip. Anak asuhnya yang punya senyum paling menceriakan tersebut bakal segera menikah. Maka Maleficent dan Aurora diundang ke kerajaan Philip, bertemu raja dan ratu calon besannya. Jamuan makan malam yang awkward dengan cepat menjadi intens lantaran terjadi seteru antara Maleficent dengan Ratu Ingrith. Raja pun kemudian tiba-tiba roboh dari kursinya, tertidur bagai mati. Semua mata tertuju kepada Maleficent yang sedari tadi berusaha keras untuk menjaga sikap terbaiknya. Pandangan Aurora yang bingung diartikannya sebagai pandangan menuduh, maka Maleficent pun terbang pergi dari sana. Tapi tidak berapa jauh sebelum peluru besi kelemahan bangsa peri ditembakkan menembus badannya oleh prajurit istana.

My Mom is a Heel Fairy

 
Dinamika antara Maleficent dengan Aurora seharusnya dibiarkan menjadi fokus utama. Ada lahan baru untuk digali dari Aurora yang mengetahui ibu-asuhnya tersebut masih dianggap jahat oleh sebagian besar manusia. Ada drama ibu anak yang bisa dipanen dari sana. Momen-momen terindah film ini datang dari Maleficent berusaha tampak baik – atau setidaknya tidak tampak berbahaya – demi Auroranya tercinta. Maleficent dari luar memang masih membuat setiap mata yang melihatnya gentar. Presence Angelina Jolie benar-benar pas dalam menghidupkan tokoh ini. She’s so fierce we would automatically adore her. Penampilannya hitam menjulang. Belum lama di layar dia sudah mengancam kita untuk tidak mengganggu paginya. Maleficent bermula sebagai seorang tokoh jahat. Di film pertama, seiring berjalannya waktu detil-detil tentang dirinya semakin terungkap dan pandangan kita berubah melihat dia sebagai seorang yang baik. Karena diapun perlahan mengubah diri untuk menjadi baik. Jadi meskipun seorang villain, cerita Maleficent tidak pernah cerita tentang  berbuat jahat – tidak seperti Joker (2019). Kemisteriusan Maleficent diberikan sisi humanis pada film pertama. Pada film kedua ini, meskipun judulnya literally berarti Nyonya Kejahatan, kita tidak akan pernah lagi memandang dia sebagai penyihir hitam yang berbuat baik demi anaknya.
Yang kita lihat di sini adalah Maleficent sebagai penyihir yang dijudge jahat karena punya tanduk, sayap, dan taring. There’s actually an antagonist to her protagonist this time. Antagonis yang benar-benar plek jahat. Jadi judul film ini bukan tentang si Maleficent. Film ini dibuat fokus ke kontras antara ratu putih berhati hitam dengan penyihir hitam yang sudah ditetapkan dari film sebelumnya berhati cukup putih. Dan segitulah kesubtilan hitam-putih karakter yang dipunya oleh film ini. Sebenarnya masih bisa dibuat bagus, meskipun film ternyata bermain di level untuk anak-anak. Namun yang film ini lakukan kepada tokoh Maleficent itu sendiri merupakan apa yang aku takutkan yang sempat aku bicarakan soal tokoh villain pada review Joker. Kita tidak perlu diberikan backstory yang terlalu jauh karena akan mengurangi kemisteriusan si tokoh. Kita tidak diharapkan untuk menjadi terlalu dekat dan merelasikan diri dengan tokoh penjahat. Joker pada akhirnya tidak melakukan hal tersebut, karena akan berbahaya jika kita justru menganggap dia sebagai pahlawan. Pada Maleficent di film ini, aku paham pada kebutuhan untuk membuatnya sebagai hero karena di sini dimunculkan tokoh jahat lain. Tetapi mereka juga menelanjanginya dari kemisteriusan dan keunikan Maleficent dalam proses membuatnya tampak semakin manusiawi. Sebagian besar babak kedua adalah eksposisi yang menjelaskan bahwa ternyata Maleficent bukanlah satu-satunya di dunia. Kita akan dibawa mengikuti dirinya menemukan bangsa Fey – keluarga serumpun baginya – yang terasing karena dianggap menakutkan oleh manusia. Jadi dia tidak jahat, dia tidak unik, Maleficent setelah film ini hanya punya sihir CGI untuk membuatnya menarik.
Sebaliknya Elle Fanning mendapat banyak kesempatan untuk lebih aktif sebagai putri, dia tampak cukup tegas. Kritik terbesar yang konstan diberikan kepada Disney klasik adalah mereka membuat para princess tak lebih sebagai bucin. Wanita yang butuh kehadiran pria sebagai penyelamat dan penyokong diri. Aurora dalam film ini bukan lagi helpless, tertidur untuk diselamatkan. Ia dapat menjadi role model yang kuat bagi remaja cewek karena mengajarkan secara langsung menghormati orang tua – bahkan jika bukan orangtua kandung – dan tidak melupakan teman-teman. Aurora tidak diperlihatkan sebagai contoh stockholm syndrom – yang bersimpati pada siapapun ‘penculik’nya. Cintanya kepada Maleficent adalah genuine, dan dia juga diberikan pilihan untuk mengambil keberpihakan.

Pernikahan seharusnya mempersatukan, bukannya menyamakan atau malah memisahkan.  Dalam satu keluarga, kita bakal bisa saja berbeda pendapat dengan anggota keluarga lain – tapi bertengkar bukan satu-satunya jalan keluar mutlak; seberapa pun ‘sakit’nya. Film ini menyugestikan jikapun konfrontasi diperlukan, maka kita bisa mengharapkan kedamaian hadir dari ‘abu peperangan’. 

 
 
Aurora bisa jadi adalah salah satu hal bagus yang dipunya oleh film ini. Karena, ingat ketika aku bilang film ini punya moral begitu simpel sehingga tampak ditujukan untuk anak kecil? Well, sutradara Joachim Ronning punya arahan yang aneh untuk membuat ini sebagai film anak-anak. Sebab dia praktisnya sama saja dengan mengarahkan film ini tampil mirip seperti Game of Throne.

Perempuan Tanah Jahanam

 
Politik. Perebutan kekuasan. Perang. Itulah yang menjadi fokus sebenarnya pada Maleficent: Mistress of Evil. Pembunuhan besar-besaran bangsa peri. Ratu yang penuh intrik. Ledakan-ledakan bubuk besi dan material dongeng. Aku nulis dengan kalimat-kalimat pendek untuk menunjukkan betapa simpelnya film ini. Kata perang dan kata simpel tidak seharusnya untuk berada dalam satu konteksnya yang sama. Namun justru itulah yang dijadikan jualan utama oleh film ini. Tokoh Ratu Ingrith yang diperankan oleh Michelle Pfeiffer itu bahkan tidak diberikan motivasi yang kuat. Kenapa dia begitu benci sama bangsa peri. Apa alasan perang itu terjadi. Menikahkan anaknya dengan Aurora berarti mempersatukan manusia dengan bangsa peri; itulah yang ia tolak. Hanya saja motivasi dari penolakan itu tidak benar-benar jelas selain sebagai alat untuk memungkinkan terjadinya perang. Satu-satunya jawaban yang diperlihatkan film ternyata cukup komikal. Ingrith alergi bunga. Jadi kupikir keseluruhan film ini bekerja karena Ingrith enggak tahan dengan bunga-bunga yang bakal dibawa oleh bangsa peri. Dia menyebarkan ketakutan kepada manusia karena hal tersebut. Mungkin penjahat sebenarnya bukanlah Ingrith. Melainkan produser yang kerap menginginkan ada perang simpel pada film anak-anak; seri remake Alice in Wonderland, The Nutcracker and the Four Realms (2018), Oz the Great and Powerful (2013), empat film ini punya kesamaan yakni sama-sama ‘dirusakkan’ oleh hobinya memasukkan adegan perang yang hanya berdasarkan hitam-putih yang sederhana.
Philip yang ‘kehilangan’ ibu karena perbedaan pendapat dan berperang, orang-orang yang jadi korban karena penguasa mengendalikan mereka lewat ketakutan, makhluk-makhluk sihir yang diberangus hanya karena manusia tak suka dengan tampang mereka, semua itu tau ubahnya kepulan asap bagi cerita. Kita lihat dan kemudian menghilang. Betapa mudahnya perhatian kita teralihkan oleh visual cantik dari makhluk-makhluk sihir yang berseliweran mengisi layar. Pada satu titik, kita bahkan melihat petualang peri imut seperti Sonic. Film memperlihatkan tapi tak pernah sampai ke titik eksplorasi. Dialog tentang ‘using fear to control’ seperti tersia-siakan. Semuanya berakhir dengan nada bercanda sehingga film semakin terasa tak berbuat apa-apa terhadap gagasan soal perbedaan – dua spesies yang berperang di sini bisa dimaknai sebagai dua golongan ras, atau malah dua pandangan politik – yang mereka angkat.
 
 
 
Kali ini, film tidak benar-benar meneruskan pilihan kreatif yang ia ambil. Elemen perang yang dihadirkan tidak mendapat kedalaman yang cukup, malahan tampil begitu satu dimensi. Film memastikan manusia sebagai penyerang pertama. Ratu yang dibuat murni jahat untuk alasan yang gak jelas, atau malah konyol tergantung darimana kita melihat. Keunikan sosok tokoh utamanya pun terpaksa dikorbankan. Menonton ini seperti menyaksikan bola api yang besar, visualnya bisa cantik tapi di dalam sana adalah hot-mess, sayangnya kita gak mungkin mengharapkan ada cerita yang lebih bagus hadir dari abunya nanti. There’s no bounce back dari tokoh yang udah kehilangan keunikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL

 

THE LION KING Review

“The worst form of inequality is to try to make unequal things equal.”

 

 

Dalam cerita The Lion King, Simba digebah oleh pamannya yang licik untuk meninggalkan Pride Lands. Scar, sang paman, membuat Simba percaya bahwa singa kecil yang enggak bisa mengaum tak pantas untuk menjadi raja. Apalagi – hasutan Scar semakin menjadi-jadi – Simba sudah membuat ayahnya celaka. Sehingga Simba kabur ketakutan. Dia kemudian akan melupakan dirinya sendiri, menjadikan filosofi “do nothing dan tak-perlu khawatir” sebagai eskapis.

Kita semua sudah tahu cerita ini kan, Lion King (1994) adalah salah satu animasi Disney paling ikonik. Versi live-action garapan Jon Favreau ini mengambil cerita yang persis sama. Scar adalah penjahat utama dalam cerita. Dia yang adik dari raja, menyusun rencana jahat menyingkirkan both raja dan putra mahkota sehingga dirinya bisa naik tahta. Tapi benarkah Scar jahat? Bukankah yang ia kampanyekan kepada kawanan hyena adalah seruan persamaan – semua binatang mendapat jaminan equality. Hyena tidak perlu lagi hidup di wilayah bayang-bayang; tidak seperti ketika era pemerintahan Mufasa di mana hanya singa yang mendapat wilayah berburu paling banyak. Tapinya lagi, jika Scar memang mengutamakan equality, kenapa pada masa pemerintahannya Pride Lands justru kering kerontang dan sumber makanan menipis? Apakah karena Scar-nya saja yang enggak kompeten, atau memang sebenarnya inequality itu diperlukan untuk mengatur keseimbangan?

See, ketika aku menonton Lion King animasi sewaktu kecil aku tidak memperhatikan kandungan ideologi politik yang mengapit kisah hidup Simba. Jadi ketika menonton film yang baru ini, aku juga mendapat pengalaman baru di atas nostalgia. Karena memang film ini hampir sama persis dengan versi orisinilnya. Mulai dari pengadeganan hingga gerakan kamera semuanya dibuat serupa. Jikapun ada yang berbeda, maka itu hanyalah pemendekan adegan, atau pemanjangan, dan beberapa penambahan  untuk membuat durasinya berbeda. Dan tentu saja, visualnya. Pencapaian teknis yang disuguhkan oleh film ini memang sungguh luar biasa. Semua yang ada di layar itu, terlihat seperti asli. Seperti foto. Padahal kita juga tahu, kita juga mungkin meledek, enggak cocok disebut live-action karena toh semua yang kita lihat itu masih tergolong animasi. Pohon-pohon, serangga, bulu singa, semuanya tampak meyakinkan. Film berusaha menampilkan hewan-hewan tersebut senatural mungkin. Ditambah dengan pesan politik yang sebenarnya masih dan cukup relevan dengan keadaan sekarang, aku bisa mengerti studio dan pembuat film ini benar-benar ingin membuat sesuatu yang epik dari Lion King yang sudah kita kenal dan cintai.

Dengan latar cerita yang kuat, bahkan pertarungan singa beneran ala channel satwa pun bisa tetep menarik untuk disaksikan

 

 

Sedari awal, cerita sudah berusaha memfokuskan perhatian kita kepada ideologi Mufasa dan Scar. Saat lagu pembuka Circle of Life kita melihat semua binatang tunduk kepada raja, semuanya hadir saat upacara pengenalan putra mahkota. Bahkan hewan-hewan yang di kemudian hari bakal menjadi santapan perburuan si bayi singa lucu itu. Hanya satu yang tidak ikut; Scar. Alih-alih, dia menyuarakan ketidaksetujuannya dengan paham Circle of Life lewat monolognya tentang dunia adalah tempat yang tidak adil. Film hanya akan sebagus tokoh antagonisnya, dan Scar tak pelak adalah salah satu antagonis film yang paling menarik. Karena dia percaya dia adalah raja yang lebih baik.  Dalam film ini, Scar lebih sedikit ‘galak’ daripada versi orisinilnya yang tampak agak pengecut. Scar yang baru ini, terlihat lebih dari sekadar iri sama Simba yang kelahirannya menendang Scar keluar dari jalur tahta. Scar tampak actually percaya bahwa dia bisa memimpin dengan lebih baik. Dengan ideologi yang lebih benar. Makanya dia ngamuk saat nama Mufasa disebut-sebut. Saat menjadi raja, Scar mengajak para hyena untuk hidup berdampingan dengan singa, dan dengan hal tersebut Scar menciptakan struktur sosial yang berpaham seperti komunis, di mana semua orang hidup sebagai ekual. Tapi dia juga berpikir seperti seorang fasis saat ia sebenarnya mengakui hyena adalah kelas-bawah, dan fakta bahwa sebenarnya dia menggunakan mereka sebagai tentara untuk menjamin keuntungan bagi dirinya sendiri.

Penyamarataan seperti demikian justru membuat keadaan menjadi semakin tidak berimbang. Mufasa dengan teorinya, sebagaimana terus diingatkan oleh film ini lewat pembelajaran tentang rantai-makanan, mengingatkan kepada kita bahwa setiap makhluk punya tugasnya di dunia. Ada yang perlu lebih dulu makan, ada yang nantinya bakal dimakan. Semuanya akan menunaikan tugas pada waktunya. Keseimbangan itulah yang seharusnya dijaga karena itulah yang melambangkan keadilan yang sesungguhnya. Keberagaman yang membentuk satu lingkaran kehidupan dengan tugas, kewajiban, dan hak masing-masing.

 

Bahkan cerita dalam film pun bergerak melingkar, tak terkecuali film ini. Kita melihat Simba yang sudah belajar mengingat kembali siapa dirinya, di mana posisinya di dalam Lingkaran tersebut, memahami apa purpose dirinya, akhirnya kembali pulang dan mengembalikan keseimbangan. Kita melihat Pride Lands subur kembali dan hewan-hewan kembali membungkukkan badan. Kali ini kepada anak Simba. Lingkaran itu terus berlanjut ketika semua orang berada pada posisinya masing-masing. Ada yang di atas, ada yang di bawah.

However, dalam industri film sendiri ada juga Lingkaran Kehidupan. Buat – Dapet duit – Buat lagi. Beberapa mengambil langkah ekstrim; terus membuat ulang film-film yang bagus. Seperti The Lion King ini. Ceritanya boleh senantiasa bagus dan masih relevan, tapi kita tidak bisa tidak melihat kepentingan duit adalah nomor satu di sini. Karena selain visual yang mind-blowing dan beberapa pendekatan berbeda yang dilakukan oleh pengisi suara terhadap karakter mereka – paling kuacungi jempol adalah Seth Rogen yang tawanya memberi nafas baru buat Pumbaa baru – film ini tampak tidak peduli banyak untuk berubah. Mereka bergantung pada nostalgia. Tentu, penonton bakal tetap nonton dan suka karena sudah kadung cinta sama originalnya. Tapi sebagai sebuah film, The Lion King melewatkan banyak kesempatan untuk menjadi lebih. Mereka bahkan tidak terlalu peduli ketika ada beberapa hal tidak bekerja dengan baik.

“Can you feel the love this afternoon~”

 

Pertama adalah soal Scar tadi. Film seperti hanya mengopi-paste versi animasi orisinil tanpa melakukan perubahan yang benar-benar dipikirkan. Untuk alasan yang gak jelas, mereka menambahkan subplot saingan cinta antara Scar dan Mufasa dalam mendapatkan Sarabi. Dibangun sedari awal, Scar punya ketertarikan sama Sarabi, dan dimainkan ke dalam elemen Scar berusaha membuktikan dia lebih baik dari Mufasa di mana Sarabi menjadi semacam bukti legalitasnya. Penambahan ini terasa seperti dimasukkan sekenanya, dan gak cocok untuk menambah pengaruh apa-apa. In restropect malah membuat film akan bisa semakin efektif jika adegan soal ini dibuang, yang mana bakal mengembalikan film seperti keadaan orisinal. Penambahan ala kadar seperti begini juga dilakukan pada Dumbo (2019) pada bagian aspek tokoh manusia dan juga pada Aladdin (2019) yakni bagian Jasmine dan lagu ‘Speechless’. Ini mengukuhkan kesan bahwa proyek remake live-action Disney sebenarnya mentok. Mereka gak benar-benar menambah banyak pikiran ke dalamnya. Mereka hanya menambahkan alih-alih menggali sesuatu yang baru.

Lalu, we circle back to the visual. Aku pikir mereka sendiri sebenarnya melupakan alasan kenapa Lion King dibuat sebagai animasi pada awalnya. Mustahil membuat binatang bergerak, bernyanyi, berekspresi seperti manusia. Jadi animasi adalah media yang tepat. Mereka bisa colorful, fun, dan mengundang simpati sembari berenergi. Keputusan menjadikannya seperti binatang asli membuat film menemui banyak kekurangan seputar ekspresi dan jiwa tokoh-tokohnya. Tak banyak cara yang bisa dilakukan untuk membuat binatang bernyanyi terlihat realistis, toh. Banyak ekspresi wajah yang tak mampu tergambarkan, sementara filmnya bersikeras untuk meniru shot demi shot film animasi; shot animasi yang terang-terangan menunjukkan ekspresi manusia pada gambar hewan. Akibatnya ketika kita melihat hal emosional seperti Simba melihat ayahnya jatuh, maka yang tertranslasikan oleh film live-action ini hanyalah singa yang membuka mulutnya. Tidak ada rasa yang tersampaikan. Para pengisi suara pastilah kesusahan menghidupkan tokoh-tokoh film ini. Jadinya emosi mereka enggak nyampe. Ketika Nala kecil bilang Simba sungguh pemberani, kita enggak tahu dia bercanda, ngeledek, atau beneran tulus. Liciknya Scar juga tidak tampak, yang membuat dia tampak lebih jahat sekarang, dia tidak lagi terdengar bersenang-senang dengan rencananya.

 

 

Untuk penonton yang hanya mengincar nostalgia, pengen nonton yang udah cerita yang udah khatam awal hingga akhir – kali ini dengan visual level dewa, film ini masih akan enjoyable untuk disaksikan. Mendengarkan suara Mufasa yang menggetarkan hati, bernyanyi I Just Can’t Wait to be King, melihat tingkah kocak Timon dan Pumbaa. Semua hal tersebut masih dapat dijumpai, dan nyaris serupa dengan film aslinya. Tapi penonton yang ingin mendapatkan penggalian baru, ingin dikejutkan oleh elemen-elemen segar, yang mau menyimak gagasan dan visi yang berbeda, bakal mendapati sedikit kekecawaan. Aku pribadi jika kemudian hari dihadapkan pada pilihan di antara dua, pasti akan lebih memilih nonton animasi yang lama lagi saja karena lebih fun dan ceritanya lebih tight dibandingkan versi live-action ini yang lebih sok-serius dan cerita yang lebih meluas padahal tak banyak memberikan perubahan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LION KING.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal keluarga singa dalam film ini; jika satu kawanan singa terdiri dari satu alpha male dan selebihnya betina, apakah itu berarti Simba dan Nala bisa jadi adalah saudara sebapak? Atau mungkin mereka sepupuan?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ALADDIN Review

“Freeing yourself by freeing others.”

 

 

 

Meminta sejuta permintaan lagi ketika diberikan jatah tiga permintaan, sekilas memang terdengar seperti ide yang cemerlang. Karena dengan begitu kita bisa punya permintaan tak-terbatas, kita bisa meminta apa saja yang kita kehendaki. Duit, ketenaran, kekuasaan, pendamping yang cakep; Dengan segala permintaan tersebut, kita dapat hidup sebebas-bebasnya! Tapi jika dipikirkan dengan akal yang sehat, toh tidak bakal ada yang namanya kekuatan atau kebebasan tak-terbatas. Walaupun kita punya permintaan sebanyak bintang di langit. Hal itu karena kebebasan kita eventually akan bertubrukan dengan orang lain. Hak asasi yang kita junjung pada akhirnya akan dibatasi oleh hak asasi orang lain. Dan semestinya tidak ada kekuatan yang lebih besar yang bisa kita minta untuk menghapus hak asasi dan kebebasan orang tersebut.

Aladdin, sama seperti versi animasi originalnya tahun 1992, berkata bahwa setiap orang punya hak untuk mendapat kebebasan. Setiap masalah yang timbul dalam film ini, selalu berasal dari satu kebebasan tokoh yang dilanggar. Film ini menunjukkan masyarakat yang ideal harusnya adalah masyarakat yang mencapai suatu keadaan di mana kehendak dan kebebasan penduduknya berada dalam posisi yang seimbang dengan kesempatan, juga kekuatan dari penguasa.

 

Secara cerita, Aladdin garapan Guy Ritchie memang sama persis dengan film originalnya. Konfliknya juga kurang lebih sama. Aladdin si pengutil jalanan jatuh cinta kepada Jasmine yang seorang putri sultan. Namun harapan belum sirna bagi Al, lantaran dia menemukan lampu ajaib berisi jin superlebay kocak yang bisa mengabulkan tiga permintaan. Aladdin meminta untuk menjadi pangeran supaya bisa berkelit dari hukum dan pandangan sosial berupa Putri mesti menikahi keluarga kerajaan.Namun di luar niat awalnya, permintaan Aladdin kemudian menjadi semakin egois, dan keadaan menjadi tidak bisa lebih berbahaya lagi saat lampu jin ajaib tersebut jatuh ke tangan penasehat kerajaan yang jahatnya luar biasa.

kata Aladdin jangan mau diperalattin

 

Tak pelak, sebagian besar dari kita mungkin sudah sangat akrab dengan jalan cerita Aladdin. Bahkan film live-actionnya ini sendiri tahu persis akan hal tersebut. Makanya kita melihat mereka memulai cerita dengan cepat; Literally lewat montase yang diiringi oleh lagu “Malam di Araaaaaab, seperti siangnyaaa”. Film mengasumsi semua penonton mereka hapal tokoh-tokoh cerita di luar kepala. Kita tidak diberitahu lagi kenapa Jasmine menyamar masuk ke pasar. It could be a right thing, karena Aladdin sendiri juga saat itu belum tahu siapa Jasmine, dan cerita bertahan di sudut pandang Aladdin. Tapi ini sedari 1992 adalah cerita yang kompleks soal kebebasan individu yang bisa saling berkontradiksi. Cerita Aladdin butuh untuk memperlihatkan banyak sudut pandang, karena setiap tokoh di dalamnya – yang berasal dari kelas sosial yang berbeda – berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan.

Aladdin si tikus jalanan yang untuk makan saja harus mencuri punya kebebasan semu dalam hidupnya; hanya karena tidak ada yang peduli kepadanya. Masyarakat memandang rendah dirinya. Aladdin boleh saja punya waktu yang luang, bisa semau-gue seenaknya, tapi dia tidak punya privilege. Tidak ada kesempatan untuknya menjadi lebih dari yang ia punya sekarang. Jika dia punya mimpi, dia tidak ada daya dan kesempatan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Keadaan Aladdin ini bertimbal balik sama keadaan Jasmine. Putri yang punya semua materi tetapi amat sangat terbatas dalam gerakan. Pasangan hidupnya saja ditentukan oleh hukum istana. Jadi, kaya raya juga tidak menjamin kebebasan. Sebab tanpa kebebasan untuk bergerak, segala privilege itu pada akhirnya menjadi sia-sia. Bukan hanya tokoh manusia, Genie si Jin justru yang paling terkekang daripada semua. Genie bisa apa pun, mulai dari mengubah monyet menjadi gajah hingga membuat Aladdin bisa menari. Genie adalah tokoh terkuat, sihirnya tiada banding, tapi dia adalah pelayan. Tidak bisa bergerak sebelum diperintah. Dia bahkan tidak bisa membebaskan dirinya sendiri dari dalam lampu. Gelang yang ia kenakan bagi kita adalah perhiasan, namun baginya adalah belenggu. Dari Jasmine dan Genie kita tahu, kekayaan dan kekuatan bukan lantas ekual kebebasan

Selama dua jam lebih delapan menit durasi film ini, para karakter belajar mengenai apa sebenarnya makna kebebasan. Bagaimana cara mereka bisa bebas. Film animasi yang original hanya berdurasi sekitar sembilan-puluh menit. Plot-per-plot film tersebut berjalan dengan sangat ketat. Kita dapat mengerti keparalelan perjalanan para tokoh tersebut. Kita mengerti dosa terbesar Aladdin ialah percaya bahwa dengan menjadi kaya – berpura-pura menjadi Pangeran merupakan jawaban masalahnya. Aladdin tidak mengerti Jasmine jatuh cinta bukan karena statusnya, Aladdin gagal melihat Jasmine tidak mau dibeli dengan patung unta emas dan selai, melainkan Jasmine tertarik oleh kebebasan mengendarai permadani terbang. Maka Aladdin yang tak pernah punya apa-apa, menjadi sayang untuk meninggalkan apa yang sudah ia dapatkan dari lampu. Aladdin menganggap teman-temannya, Genie sebagai barang kepunyaan. Tahu gak apa yang terjadi pada barang-barang kepunyaan kita? Barang bisa hilang, bisa dicuri. Aladdin nyatanya hanya selangkah lagi menjadi seperti Jafar yang tidak menghormati kebebasan orang – dia pakai ilmu hipnotis untuk memuluskan rencananya! Bagi Jafar; kekuasaan adalah yang terpenting, dia tidak mengerti bahwa tanpa kebebasan maka kekuasaan tiada artinya.

Ketika kita menggunakan kebebasan orang untuk kepentingan diri sendiri, menganggap kita memiliki mereka, maka semua hal tersebut akan menjadi bumerang bagi diri kita. Jafar, contohnya. Aladdin juga hampir, jika ia tidak segera belajar untuk peduli sama Genie. Makanya, ‘membebaskan’ orang sejatinya adalah tiket menuju kebebasan diri kita sendiri. Tidak akan ada yang bisa benar-benar hidup bebas tanpa terganggu sampai semua hak dan kepentingan setiap orang diperhatikan.

 

Semua poin tersebut ada pada Aladdin versi live-action ini. Hanya saja dengan begitu lowongnya durasi, film memasukkan elemen-elemen baru. Salah satu yang paling menonjol adalah karakter si Jasmine. Wanita mandiri ini diberikan motivasi yang lebih kuat, yang lebih relevan. Dalam film ini, Jasmine juga punya keparalelan dengan tokoh Jafar. Jasmine dan Jafar essentially menginginkan hal yang sama. Dan memang sih, membuat film ini punya sesuatu yang fresh. You know, karena jaman sekarang film harus nunjukin karakter wanita yang kuat. Tapi, elemen ini gak begitu klop banget sama tema ‘membebaskan orang’ yang jadi nyawa utama film. Karena Jasmine ingin membuat things better untuk dirinya dengan usahanya sendiri. Di duapertiga film ada adegan Jasmine dengan Jafar yang membuatku speechless (yes, pun is very-well intended!) Terasa seperti dijejelin banget supaya ceritanya bisa diperpanjang. Naomi Scott bukannya jelek meranin Jasmine. In fact, aku bakal dirajam kalo bilang Scott jelek, di mana pun. Scott terlihat berusaha maksimal menghidupkan Jasmine versi baru ini. Hanya saja, penambahannya kayak setengah niat. Mestinya jika memang punya gagasan baru yang hendak diceritakan, ya bangun saja cerita baru berdasarkan gagasan tersebut. Jadikan Jasmine dan motivasinya sebagai sudut pandang utama. Jangan kayak ditambahin sekenanya seperti kayak ngisi lubang kosong.

Nostalgia bukan berarti kita punya free-pass buat tereak ikutan nyanyi di bioskop “Sambiiiiitt, Pangeran Ali!”

 

Sekiranya hal tersebut bersumber pada masalah pelik ketika kita menggarap remake dari sesuatu yang sangat sukses; Kita ingin membuatnya menjadi sesuatu yang baru sekaligus masih tetap stay true sama original. Paradoks. Dan sebagus-bagusnya kita mengrecreate, tetap saja yang bagus tadi itu sebenarnya hanya ‘nyontek yang dibolehin’. Serupa pula terasa pada adegan-adegan nyanyi pada film ini. Lagu A Whole New World, lagu Prince Ali; karena berusaha untuk enggak tampak dan terdengar sama-sama bgt ama versi aslinya, film mengubah susunan adegannya, sehingga pace lagunya jadi terdengar aneh. Lagu-lagu itu terasa singkat, sudah beres sebelum sempat membekas. Dan arahan adegan musikalnya sendiri pun lumayan aneh. Alih-alih banyak bermain dengan kamera, film malah bermain dengan kecepatan frame. Ada beberapa lagu dengan tari-tarian yang gerakannya seperti dipercepat. Sungguh aneh mengapa sutradara melakukan hal tersebut, masa iya sih karena waktu?

Tadi aku sempat bilang dosa terbesar Aladdin adalah percaya ia harus terus berbohong sebagai pangeran yang kaya. Aku mau ralat. Dosa terbesar Aladdin adalah membiarkan Mena Massoud dicast menjadi dirinya. Mentang-mentang Aladdin dalam film ini sama persis dengan versi animasi, Massoud jadi berdedikasi sekali menirukan gestur-gestur Aladdin animasi untuk menghidupkan Aladdin ‘beneran’. Yang mana menjadikan Aladdin terlihat bego, canggung, dan kaku. Yang jadi Jafar juga sama parahnya, malah lebih. Marwan Kenzari dengan tongkat hipnotisnya sama sekali tidak tampak meyakinkan sebagai manusia yang licik dan berbahaya. Jafar juga bego sekali dalam mengaplikasikan ilmu mindahin orang yang ia punya. Ironisnya, orang yang bertubi-tubi dicemo’oh saat trailer film ini rilis, justru menjadi penyelamat film ini. Jika gak ada Will Smith, niscaya film ini akan garing sekali. Dan aku bukan penggemar Will Smith. He’s not a better Genie than Robin Williams. Smith cringey ketika menjadi jin biru, tapi mendingan dan benar-benar mewarnai film ketika dia sudah masuk ke wujud manusia alis mode: om jin.

 

 

 

 

Film ini berjuang terlalu keras untuk menghidupkan animasi ke dunia nyata. Between CGI, adegan nyanyi yang dipercepat framenya, kamera yang sebagian besar hanya ngintilin jalan, dan permainan akting yang kaku; dunia film ini tidak pernah mencuat seperti dunia beneran. Yang mana berarti maksud mereka bikin live-action kurang kesampaian. Agrabah dan masyarakatnya hanya terasa seperti latar – lapangan untuk berparkour ria. Semuanya terasa kurang hidup. Bahkan Arab-nya sendiri agak-agak keindian yang membuktikan keignoran Hollywood – I mean, bahkan di WWE pun superstar Arab dan India biasanya dikasih moveset yang sama (Camel Clutch) seolah mereka gak tahu bedanya apa. Film terasa kesulitan bergerak antara harus sesuai dengan versi asli dengan harus tampak baru. Maka mereka fokus memoles alih-alih membangun. Semua yang bagus dalam film ini sudah pernah kita lihat sebelumnya. Dan mereka lebih seperti pertunjukan yang melakukan reka ulang alih-alih menghidupkan. Still, alot of people will enjoy it. Tapi nyatanya, setelah semua perayaan dan kembangapi di ending itu, ternyata ada satu yang belum punya kebebasan untuk menjadi dirinya sendir; ya film ini sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ALADDIN. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian kebebasan orang lain itu penting? Apakah kamu pernah merasakan kebebasan kamu dibatasi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

DUMBO Review

“Put your heart, mind, and soul into even your smallest acts”

 

 

 

Dumbo, gajah kecil yang punya sepasang telinga begitu lebar sehingga bisa dikepakkan seperti sayap, sejak tahun 1941 (animasi originalnya) sudah membawa serta perasaan penonton untuk terbang bersamanya. Film animasi tersebut begitu uplifting. Itu adalah masa-masa di mana Disney masih berupa studio yang purely menggarap ‘sihir; dalam setiap gambarnya. Dipenuhi oleh tokoh-tokoh hewan yang bisa bicara, Dumbo tatkala itu adalah perlambangan seorang manusia cacat – terlahir berbeda dari golongannya –  yang dikucilkan, kemudian dipisah dari ibunya; dari satu-satunya orang yang lahiriah menerimanya. Tim Burton, dalam versi live-action animasi klasik Disney ini, membuat cerita Dumbo lebih literal. Dihadirkan tokoh-tokoh manusia yang punya keparalelan dengan apa yang dialami oleh Dumbo (dan ya, dibacanya ‘dambo’ bukan kayak lele, you dum-dum!)

Tokoh utama dalam film ini adalah Colin Farrell yang berperan sebagai Holt Farrier, seorang pria yang baru pulang dari medan perang. Tanpa sebelah lengannya. Holt disambut oleh kedua anaknya (dua-duanya dimainkan dengan joyless banget, sepertinya lantaran dua aktor cilik ini terlalu dipusingkan sama aksen amerika mereka), dan kemudian mereka pulang ke rombongan sirkus. Ke kehidupan lama Holt. Tapi kemudian dia menyadari lengan bukanlah satu-satunya yang pergi darinya. Istri Holt sudah tiada. Kuda partner sirkusnya sudah dijual. Dan bahkan sirkus mereka sudah tidak serame biasanya. Merasa malu dan juga kehilangan atraksi, Holt ikhlas ditempatkan sebagai pengurus gajah. Dan saat itulah Dumbo lahir. Dua makhluk tak-sempurna ini bertemu, dan kita bisa menebak Holt bakal belajar satu-dua hal dari gajah kecil yang ia jaga tersebut.

dan kita juga akan melihat Batman dan Penguin reunian

 

Menghidupkan cerita klasik ini ke dalam napas yang modern sudah barang tentu akan menjadi suatu pertanyaan. Dalam kasus Dumbo, pertanyaan tersebut sekiranya bukan ‘kenapa’, melainkan ‘bagaimana’; Bagaimana caranya gajah lucu tersebut dijadikan live-action – bagaimana caranya cerita hewan-hewan yang menyimbolkan manusia tersebut bisa dimanusiakan lebih lanjut. Bagaimana Tim Burton bisa membawa hati cerita ke dalam visual yang sudah jadi cap dagangnya; gaya aneh nan kelam. Turns out, si gajah Dumbo tetaplah Dumbo yang kita kenal. CGI berhasil membuat gajah ini menjadi satu-satunya yang bernapaskan simpati, lihat saja ketika dia dirias seperti badut – ekspresinya tergambar kuat banget di situ. Dumbo, walaupun harus membagi spotlight dengan tokoh manusia, tetap adalah hati dari cerita, literally. I mean, di samping Dumbo, aku tidak lagi merasakan emosi pada tokoh-tokoh yang lain. Dan ini sebenarnya cukup aneh, lantaran film ini mengedepankan tokoh manusia tapi malah kita gak merasakan apa-apa buat mereka. Tapi setiap kali Dumbo muncul di layar, entah itu ketika dia ketakutan disuruh lompat, atau ketika dia mengunjungi ibunya yang dikurung karena dituduh gila, atau ketika dia terbang, kita yang menonton akan seketika terisi oleh joy, perasaan lega, haru, sedih.

Meskipun tokoh-tokoh hewannya tergantikan oleh tokoh manusia (Timothy si tikus cuma jadi cameo, will probably piss a lot of people off), tapi tetep masih terasa respek yang kuat terhadap film aslinya. Burton menebarkan reference dan dialog-dialog yang bakal membawa kita bernostalgia. Aku sendiri, aku enggak sabar pengen melihat gimana sutradara ini menghidupkan adegan ‘Pink Elephants’ yang serem itu. Adegan ini ikonik banget; Dumbo gak sengaja minum alkohol sampai mabok dan di depan matanya bermunculan gajah berwarna pink, beraneka rupa, berparade sambil bernyanyi. Dan aku suka dengan cara Burton memasukkan Pink Elephants ini ke dalam film yang baru. Alih-alih mabok – jaman sekarang mah orang bakal langsung ketrigger kalo ada adegan anak kecil mabok, I mean membuat ceritanya tetap bersetting di sirkus hewan aja kayaknya udah melanggar moral banget buat standar modern kita – Dumbo melihat Pink Elephant dalam bentuk gelembung-gelembung sabun sebagai bagian dari pertunjukan yang ia lakoni. Visual sekuen adegan tersebut memang keren banget, creepy-fantasy masih kerasa, dan itu salah satu yang kusuka dari film Dumbo ini.

Dalam film aslinya, Dumbo barulah terbang di sepuluh menit terakhir. Dengan kata lain, terbang itu adalah bagian dari resolusi akhir cerita tokohnya. Bagaimana Dumbo menemukan sisi positif dari keadaannya, dan dia tidak perlu lagi bergantung kepada pemikiran orang – dia bisa terbang tanpa bantuan bulu. Dalam film baru ini, Dumbo sudah dilatih terbang di babak pertama. Arc Dumbo sebenarnya kurang lebih sama, kali ini yang ditekankan adalah ketergantungan Dumbo terhadap bulu yang ia pikir ajaib tersebut. Tapi sebenarnya ini riskan; saat pertama kali mengetahui dirinya mampu terbang, Tim Burton berhasil mencapai ketinggian emosi yang sama dengan saat kita melihat Dumbo terbang di menjelang akhir film animasi jadulnya. Build upnya dilakukan dengan benar, ada stake Dumbo bisa celaka jika gagal, dan melihatnya terbang di atas penonton sirkus – menyemprotkan air ke wajah anak-anak yang tadi menertawakan dirinya adalah perasaan yang menggelora. Namun semakin ke belakang, efek melihat Dumbo terbang akan semakin berkurang. Burton sadar akan hal ini, maka dia berusaha memvariasikan tantangan dari adegan pertunjukan terbang yang berulang, tapi memang tidak pernah efeknya sekuat adegan yang pertama. Dan masalah utamanya menurutku terletak pada posisi Dumbo di cerita

I snorted then I fly

 

Dumbo harus beratraksi terbang bersama Eva Green yang menungganginya. That’s pretty much what happened as a film; tokoh-tokoh manusia di filmnya menunggangi Dumbo. Gajah lucu itu, ceritanya yang mestinya polos, terbebani oleh kepentingan cerita tokoh-tokoh manusia yang begitu random. Tokoh Eva Green adalah salah satu yang paling random; pertama kali dimunculkan dia kayak jahat, tapi lantas baik kepada anak-anak Holt, kepada Dumbo, tidak ada transisi dari tokoh ini jahat ke semakin baik. She’s just change. Yang paling aneh buatku adalah dia udah baik tapi masih tetep nendang Dumbo. Film Dumbo yang dulu hanya satu jam lebih empat menit, dan di film ini keseluruhan durasi tersebut seperti dipadatkan di paruh pertama, sehingga paruh kedua film bisa diisi oleh cerita baru yang melenceng jauh dari poin cerita Dumbo itu sendiri. Eva Green yang jadi Colette adalah salah satu performer dari sirkus korporat yang membeli sirkus tempat Holt bekerja; bayangkan Disney yang membeli studio lain, merangkulnya dalam satu payung – dan bayangkan taman hiburan, hanya saja bernuansa seram dengan salah satu wahana berisi hewan yang didandani seperti monster. Sirkus korporat yang dipimpin oleh Michael Keaton hanya mau mengeksploitasi Dumbo saja, karena beberapa hari setelah akuisisi, troupe sirkus Holt dipecat. Dan cerita pun berubah menjadi misi penyelamatan Dumbo dan ibunya oleh rombongan sirkus yang berontak karena diberhentikan secara sepihak.

Setidaknya ada tiga logika film yang enggak masuk buatku. Pertama adalah soal putri Holt yang menolak untuk tampil di sirkus, dia pengen jadi ilmuwan, dia ingin beraksi dengan otaknya. Tetapi justru dialah yang punya ide untuk membuat Dumbo menjadi bintang sirkus supaya mereka punya uang untuk membeli kembali ibu Dumbo yang dijual kepada sirkus korporat, dia yang melatih dan melakukan berbagai percobaan kepada Dumbo supaya si gajah bisa terbang. Kupikir-pikir, gadis cilik ini pastilah jadi evil-scientist ntar gedenya, meskipun tujuannya baik tapi tetep aja dia mengeksploitasi kan.

Kedua adalah sirkus kecil Medici Brothers tempat Holt berada itu sendiri. Dalam film aslinya, Dumbo dikucilkan oleh sesama gajah. Di film ini si Medici yang diperankan oleh Danny DeVito-lah yang pada awalnya gak mau menerima Dumbo. Menjelang akhir tokoh Medici ini actually yang paling menarik, tapi di awal-awal ini aku gak mengerti mengapa pemimpin sirkus enggak seneng sama sesuatu yang freak? Bukan hanya Dumbo, si Holt yang buntung juga tidak disambut antusias – bukankah sirkus mestinya seneng punya freakshow? Begini aku memandang elemen mereka; Sirkus Medici yang menampilkan pertunjukan ‘palsu’ sedang sulit keuangan, sehingga pemimpinnya pengen menyuguhkan sesuatu yang asli. Namun bayi gajah mereka terlahir ‘cacat’ sehingga ia takut dituduh menjual gajah palsu oleh publik. Lengan buntung Holt pun disamarkan dengan lengan palsu ketika muncul di arena. Pengucilan yang diterima Holt dan Dumbo seperti maksa dan enggak cocok sama poin pengucilan pada Dumbo original.

Tentu saja ini membawa kita ke logika cerita ketiga yang tidak aku mengerti. Apa sih arc Holt dan pesan atau gagasan yang ingin disampaikan oleh film ini. Plot tokoh Holt seperti ngambang begitu saja, di pertengahan dia seperti malu dikenali sebagai kapten yang lolos dengan lengan buntung alih-alih gugur di medan perang. Tapi di akhir film kita melihat dia tampil, dengan lengan robot. Aku benar-benar gak bisa ngikat poin A ke B. Apa yang ia pelajari? Dan putrinya tadi; di akhir film anak cewek ini melakukan pertunjukan gambar bergerak seperti bioskop. Bagaimana ini lebih baik daripada melakukan pertunjukan yang asli? Di akhir cerita memang seperti berkata bahwa semua orang menjadi lebih baik ketika mereka diberikan kesempatan untuk melakukan kemampuan mereka yang sebenarnya, tapi menunjukkan hal tersebut dengan cara yang aneh. Aku sampe sekarang masih gak abis pikir gimana caranya Dumbo dan ibunya naik kapal sampai ke hutan.

Mungkin film ini ingin menunjukkan bahwa ada hal yang tidak mungkin di dunia, dan hanya bisa dimungkinkan dengan ilmu pengetahuan. Biarkan otak kita yang beraksi sehingga kita bisa mencapai lebih jauh, bisa terbang lebih tinggi.

 

 

Film ini benar-benar membuatku merasa rendah hati. Mendaratkanku ke tanah. Aku tidak menyangka setelah sekian lama membuat review, aku menemukan film anak-anak yang aku tidak mengerti logikanya. Aku actually memikirkan film ini selama tiga hari, aku pengen nonton lagi karena aku pikir ‘masa sih film ini begini?’ Tidak ada yang salah dengan si gajah Dumbo. Adorable, penuh emosi, dan membuat kita peduli. Hanya saja, tempat dunia di mana dia dijadikan tunggangan inilah yang begitu rush out, yang begitu acakadut. Dan cerita membuat tokoh-tokoh manusia merebut spotlight dari Dumbo. Secara gaya aku lumayan suka, it’s really dark seperti yang bisa kita harapkan dari Tim Burton. Alih-alih ngejual ibu Dumbo untuk profit, pihak sirkus korporat lebih memilih untuk membunuh dan menjadikannya sebagai bahan sepatu. Anak kecil bisa-bisa trauma begitu mereka menyadari dialog subtil yang dimiliki oleh film ini. Aneh ketika sebuah fabel – cerita hewan – diparalelkan secara literal dengan kehadiran tokoh manusia. Maksudku, itu seharusnya membuat fabel tersebut jadi lebih sederhana kan? Tapi ternyata cerita film ini malah lebih terbebani.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for DUMBO.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian ada alegori tersembunyi dalam film ini? Mengapa menurut kalian memakai hewan untuk sirkus dianggap tidak manusiawi? Apakah ada bedanya dengan memakai hewan sebagai objek riset dan kelinci percobaan untuk penelitian?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

RALPH BREAKS THE INTERNET Review

“Sometimes being a friend means mastering the art of timing.”

 

 

 

Ketika memikirkan tentang penjahat dalam video game, kita akan membayangkan monster supergede yang bertampang menyeramkan, dengan kekuatan dan ketangguhan super. King Koopa, M Bison, Shao Kahn, adalah bos-bos video game yang bangga sebagai penjahat. Beda ama Ralph (John C. Reilly mengundang simpati kita lewat suaranya) dari game Wreck-It Ralph yang pengen berbuat baik. Dalam film pertamanya enam tahun yang lalu (timeline cerita sekuel dibuat paralel dengan waktu IRL kita), Ralph si raksasa penghancur bertualang untuk membuktikan kebaikan hatinya yang sering disalahartikan hanya karena dia merusak apapun yang ia sentuh. Ralph pada akhirnya berhasil mengukuhkan diri sebagai penjahat video game paling ‘manis’ seantero dunia arcade tempat mereka tinggal. Ralph bersahabat erat dengan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman adalah manusia langka yang bisa terdengar annoying sekaligus cute), ‘Princess’ super-enerjik dari game balap anak-anak Sugar Rush di mesin game sebelah.

Dalam sekuel ini kita akan melihat Ralph dan Vanellope benar-benar sobat kental. Meminjam istilah 90an – karena film ini erat dengan konsep nostalgia – kedua tokoh kita ‘nempel terus kayak perangko’. Ralph tetaplah Ralph; dia masih selalu ingin membantu walaupun hasil perbuatannya di luar yang ia harapkan. Mendengar Vanellope merasa bosan dengan lintasan balap yang itu-itu melulu – semua jalan pintas rahasia di dunia gamenya sudah ia temukan, Ralph membuatkan ‘lintasan’ baru. Yang berujung dengan rusaknya mesin game Sugar Rush, membuat Vanellope dan teman-teman kehilangan tempat tinggal. Dan Vanellope pun tetaplah Vanellope, cewek ini suka petualangan dan selalu menghargai apa yang dilakukan oleh Ralph. Vanellope melihat masalah ini sebagai kesempatan untuk mengarungi dunia ‘game’ yang baru saja dipasang di toko arcade mereka. Dia langsung menyetujui rencana Ralph untuk masuk ke internet demi mencari suku cadang untuk mesin Sugar Rush. Satu lagi rencana ‘jenius’ buah pikiran Ralph yang bekerja tidak sesuai dengan yang ia harapkan; lantaran Ralph melakukan itu semua demi Vanellope bisa tetap tinggal di arcade. Hanya saja, menapaki kegemerlapan dunia internet yang tanpa batas – mengalami asiknya game balap berbahaya yang tanpa aturan – Vanellope merasa dia sudah menemukan rumah barunya.

syukur peran Fix-It Felix dikurangi dan kita dapat Gal Gadot instead!

 

Seperti film pertamanya yang membuai penonton dengan berbagai referensi video game arcade, film kali ini juga secara konstan membuat kita mengangguk, bertepuk, dan tertawa oleh banyaknya easter egg yang kali ini berasal dari dunia internet. Dunia maya tergambarkan dengan begitu immersive oleh animasi yang penuh warna. Ya kita akan melihat banyak produk placement, namun mereka ‘ditempatkan’ dengan kreatif. Environment terlihat sama sibuknya dengan kejadian dalam cerita. Internet adalah tempat tersibuk di dunia, dan film dengan cerdas menggambarkan hal tersebut. Berbagai user berseliweran ke sana kemari, gimana iklan-iklan pop up bermunculan dan dikaitkan ke dalam cerita, bagaimana komen-komen dan situs seperti ebay dan plattform video dan social media bekerja. Tidak seperti The Emoji Movie (2017)  yang hanya menampilkan tanpa benar-benar meniupkan ruh ke dalam bobot cerita, Ralph Breaks the Internet berhasil membuat kita peduli kepada tokoh-tokohnya karena mereka bukan sekedar produk tak bernyawa. Dan ini membuat perbedaan yang besar, tentu saja. Jika kita tidak peduli dengan tokoh cerita, kita akan segera mengenali produk-produk seperti google, youtube, snapchat, instagram, kita akan memandang kemunculan mereka sebagai hal yang negatif. Namun jika seperti yang dilakukan oleh film ini – kita benar-benar ingin tahu apa yang bakal terjadi sama Ralph dan Vanellope, kita akan melihat produk-produk tersebut sebagai bagian dari cerita; sebagai elemen yang turut membentuk tubuh narasi.

Anak-anak mungkin memang akan melihat film dari sisi kelucuan dan petualangan yang seru. Yang mana film memang melimpah dari dua hal tersebut. Namun tema yang menjadi hati cerita tetap akan tersampaikan dan bisa mereka bawa pulang untuk diobrolin kepada orang tua ataupun pendamping dewasa yang juga peduli akan cerita yang diangkat. Film ini bersuara tentang perasaan insecure; rasa cemas kita terhadap banyak hal di sekeliling kita yang tak bisa kita kontrol. Vanellope akan berpendar, nge-glitch setiap kali dia merasa insecure. Ralph yang tubuhnya gede, actually adalah tokoh yang paling vulnerable karena dia mempunyai rasa insecure yang paling besar yang berasal dari rasa takutnya kehilangan satu-satunya orang yang menganggap dia berjasa – yang memahami value dari tindakannya. Di babak akhir, film menggunakan virus komputer sebagai metafora dari racunnya perasaan insecure yang semakin menyebar. Seluruh dunia internet hancur hanya karena kecemasan satu orang.

Penting untuk menjadi diri sendiri. Maka dari itu, sama pentingnya untuk kita membiarkan orang lain menjadi diri mereka, untuk memilih apa yang mereka mau – yang mereka sukai, yang mereka yakini. Teman satu geng kita tidak harus menyukai hal yang sama dengan kita. Kita tidak harus punya selera, punya idola, atau bahkan punya seragam yang sama untuk menjadi satu kelompok. Teman kita enggak harus menjadi sama seperti kita. Enggak setiap saat kita harus bersama dengan mereka.

Ralph breaks our hearts

 

 

Aksi-aksi dalam film tergerak oleh Ralph yang mengambil resiko, dan sama seperti itulah, film juga bekerja terbaik saat melakukan pilihan yang beresiko. Misalnya ketika Vanellope bertemu dengan para Princess dari universe Disney. Film tidak sebatas menampilkan Cinderella, Snow White, Ariel, Elsa, Moana, dan Vanellope, dan banyak lagi dalam satu layar. Film sungguh-sungguh melakukan sesuatu dengan mereka, kita mendengar candaan tentang tropes dan pakem para putri tersebut – gimana sebagian dari mereka butuh diselamatkan oleh pria berbadan kekar, gimana kemampuan bernyanyi mereka datang dari menatap air dengan sedih, dan gimana sekarang mereka ‘hanya’ sebatas idola sebagai jawaban dari kuis trivia. Film dengan berani make fun of that, sehingga hasilnya beneran lucu. Kita melihat mereka berganti baju menjadi gaya kekinian; it’s a fresh look. Film memainkan dengan cerdas soal Vanellope yang technically juga princess Disney, tapi dia begitu berbeda – Vanellope lebih suka tinggal di dunia balap berbahaya ketimbang di kastil impian. Film seharusnya lebih banyak memperlakukan referensi-referensi seperti begini. Mereka dibecandaain, bikin tokoh yang sudah dikenal melakukan sesuatu di luar kebiasaan, seperti pada game Kingdom Hearts di mana kita bantuin tokoh-tokoh Disney memecahkan masalah yang sudah diekspansi.

Tapi masih sering kita mendapati referensi yang hanya ada untuk bikin kita senang. Seperti pada kasus film Ready Player One (2018) belum lama ini. Menjadi begitu kekinian sekarang, dengan elemen-elemen internet dan hal modern lain, film ini sesungguhnya masih harus melewati ujian waktu untuk membuktikan diri bisa menjadi timeless – membuktikan ceritanya bisa berdiri sendiri tanpa semua referensi dan lelucon internet tersebut. Film yang pertama, dengan referensi jadul, setidaknya sudah membuktikan diri enak untuk ditonton di era sekarang. Aku pengen melihat lebih banyak eksplorasi. Di satu titik cerita, Ralph akan mengunjungi Dark Web yang seharusnya bisa diberikan lebih banyak pengaruh lagi. Ralph juga sempat berusaha bikin video viral untuk mendapatkan uang; di sekuen ini diselipkan komentar soal perilaku orang-orang di sosial media, tapi tidak benar-benar terasa menambah banyak bagi arc Ralph ataupun keseluruhan cerita. Malah lebih seperti stage yang harus dilewati dalam permainan video game. Aku paham mungkin masalah durasi, jadi film berusaha tampil seefektif mungkin, dan mereka mengambil resiko di sana-sini, menyeimbangkan porsi sehingga paling tidak, produk akhirnya tidak terlalu kelihatan sebagai proyek cari duit korporasi yang ingin menjual banyak sekali merengkuh dayung

Internet adalah soal waktu. Begitu juga dengan pertemanan. Ada waktu untuk diam. Ada waktu untuk membiarkan orang mengejar mimpi mereka. Ada waktu untuk menunggu sekembalinya mereka di sana

 

 

 

 

Film ini bekerja lebih dari sekedar pengganti babysitter, you know, lebih dari sekedar bikin anak-anak tenang selama dua jam kurang. Di balik semua keriuhan produk dan referensi itu, dia memang punya gizi untuk dinikmati. Kebanyakan film anak-anak akan bercerita tentang pentingnya untuk bersatu, untuk bekerja sama, mengalahkan orang jahat dan menyelesaikan masalah. Film ini – seperti juga lagu anti-princess yang diusungnya – berani membuat anak-anak untuk berani bukan hanya menjadi diri mereka sendiri, melainkan juga memberi ruang bagi teman atau sahabatnya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Mungkin terbaca sedikit depressing, tapi film ini benar-benar meriah dan menyenangkan, dan ini adalah prestasi tak terbantahkan dari kelihaian bercerita dan memanfaatkan konsep dalam upaya menyeimbangkan toneAn all-around entertainment yang sukses menghibur banyak kalangan dalam berbagai tingkatan, setidaknya untuk saat sekarang
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RALPH BREAKS THE INTERNET.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Orang berubah. Pernah gak sih kalian ngerasain teman yang dulu dekat, kini cuma ngeliat namanya di instatory, atau cuma kontakan sekali setahun pas ngucapin selamat ulangtahun? Kenapa, menurut kalian, kita perlu move on? Seberapa clingy sih, clingy dalam pertemanan itu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS Review

“With realization of one’s own potential and self-confidence in one’s ability, one can build a better world.”

 

 

 

Kurang garam rasanya kalo Disney tidak bercerita tentang Princess atau tentang anak yang ditinggal mati oleh orangtuanya. The Nutcracker and The Four Realms benar mengikuti formula serupa; Clara, si tengah dari tiga bersaudara, merasa ‘ditinggalin’ oleh ibunya yang telah tiada. Kakaknya mendapat gaun, adiknya diwarisi mainan tentara, dan dia; sebuah telur mekanik yang bahkan tidak bisa dibuka karena sepertinya Ibu lupa memberikan kuncinya kepada Clara. Ibu hanya melampirkan secarik tulisan, “Di dalamnya kamu akan mendapatkan semua yang kau perlukan” begitu bunyinya kurang lebih.

Jika Alice mengikuti kelinci, maka Clara masuk ke dunia fantasi setelah mengikuti benang emas di rumah kakek walinya, Morgan Freeman dengan eye-patch ala bajak laut. Clara disambut baik oleh penghuni dunia sana – manusia serdadu-mainan Nutcracker, manusia bunga, manusia es, dan manusia yang rambutnya terbuat gulali. Dengan segera Clara mengetahui dunia yang terdiri dari empat realm berbeda tersebut adalah ciptaan ibunya. Sang Ibu adalah Ratu di sana, membuat Clara Stahlbaum menjadi seorang Putri. Sebagai seorang Putri, Clara harus mengupayakan kedamaian di sana,  sebab ada satu realm, though, dihuni oleh tikus dan mainan, mereka gak akur dengan penduduk realm lain. Mereka bahkan mencuri kunci emas yang dicari Clara. Kunci penting membuka telur, dan rahasia di balik dunia yang dibuat oleh Ibu Clara.

Oh, Clara juga Ratu sih; ia memerintah dengan Hukum Fisika

 

Melanjutkan tema protagonis wanita masa kini yang mandiri, kuat, tanpa harus mementingkan punya pasangan kekasih yang sudah diusung Disney semenjak Frozen (2013), Clara akan menginspirasi anak-anak cewek kekinian berkat kepintaran dan keberaniannya. Daripada berdansa, Clara lebih suka merakit mekanisme untuk menangkap tikus. Tentu saja, membantu sekali fakta bahwa Mackenzie Foy is absolutely stunning. Antara presence-nya dan cerita dongeng ini, benar-benar sebuah peristiwa yang magical. Meskipun kadang aksennya sedikit goyah, namun Foy (pasti banget masuk nominasi Unyu op the Year tahun ini!) bermain dengan mantap. Entah itu menghadapi pasukan tikus yang bersatu membentuk tikus raksasa, menyisir pinggiran tebing yang basah dan dihuni kelelawar, ataupun memimpin serdadu menembus belantara hutan, Clara jarang sekali menunjukkan ekspresi ketakutan. Kevulnerabelan tokoh ini mudah direlasikan oleh semua orang; ketidakpercayadirian itu kadang menerpa di saat kita paling butuh untuk merasa berani.

Kadang kita butuh orang lain. Bukan untuk disuruh memuji dan mengelu-elukan kita sampai terbang. Bukan untuk diperintah melakukan hal yang tidak kita bisa. Tapi untuk mengingatkan siapa sebenarnya diri kita. Kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri, sering kita lupa sehingga berputus asa. Padahal kita selalu punya semua yang kita butuhkan, kita hanya lupa dan butuh teman untuk mengingatkannya.

 

Dalam upayanya lolos dari Bechdel Test – tes kecil-kecilan untuk menentukan film punya karakter wanita yang ‘kuat’ dengan syarat: ada dua tokoh wanita yang saling bicara dan tidak membicarakan soal pacaran – cerita film ini diadaptasi dengan sedikit mengerdilkan beberapa aspek pada material aslinya. The Nutcracker berasal dari pertunjukan balet hasil saduran cerita The Nutcracker and The Mouse King. Balet sendiri hanya dijadikan sebagai pemanis. Didorong jauh ke belakang sehingga adegan balet pada film ini tak lebih dari sekedar media penceritaan eksposisi. Romansa sentral dari versi asli ini diubah oleh Disney menjadi cerita kemandirian, dengan mengangkat secara tersirat hubungan antar-ras. Si serdadu Nutcracker, pada film ini diperankan oleh aktor kulit hitam Jayden Fowora-Knight, tidak terasa sepenting orang yang namanya terpampang sebagai judul film. Nama tokohnya malah baru kita dengar setelah menjelang akhir petualangan.

Kreativitas film ini – toh tidak gampang mengadaptasi sesuatu sehingga menjadi kreasi baru – tampaknya hanya berhenti pada tingkatan ‘menyederhanakan’. Seolah film ini sebenarnya punya sesuatu pamungkas; menyiapkan sesuatu yang gede, tetapi pada akhirnya ambisi tersebut melempem dan mereka membanting arahan begitu saja, melupakan apa yang diniatkan.

Sama seperti judulnya; panjang dan sulit diucapkan namun juga tidak memberikan kejelasan apa-apa sebatas dunia film ini ada empat biji, banyak elemen pada film yang dibangun menjanjikan tetapi tidak pernah berujung kepada sebuah kepuasan. Empat dunia di sini, digambarkan dengan visual yang indah – tokoh-tokohnya meriah oleh riasan dan kostum fantastis, tapi kita kehilangan sensasi eksplorasi. Kita tidak melihat bagaimana exactly masing-masing dunia bekerja. Clara hanya tur sepintas. Bahkan Realm of Amusement yang sesungguhnya adalah sebuah ide menarik menyajikan ranah mainan dan sirkus menjadi tempat menyeramkan, kita hanya diperlihatkan secuil dari apa yang bisa saja dibuat menjadi saingan Negeri Nikmat di Pinokio. Basically hanya hutan gelap dan satu tenda mekanik. Tiga pemimpin Realm yang harusnya adalah pembimbing Clara, kita hanya difokuskan pada satu yang diperankan Keira Knightley dengan suara mencicit kayak anak kecil keselek tikus. Film yang punya dunia begitu luas, dengan banyak aspek cerita yang diangkat, tidak pernah mekar sempurna hingga waktunya tiba dan pergi meninggalkan kita. Hanya mengerucut, menjadi simpel tidak tergali. Karena, guess what, film mendedikasikan diri untuk membangun twist yang bahkan enggak punya motivasi yang cukup jelas sebagai labuhan satu-satunya cerita.

Clara dan empat dunia CGI

 

Sudah cukup aneh pilihan mengubah dongeng fantasi tontonan natal untuk anak kecil menjadi cerita perang. Semakin aneh lagi jika perang yang dikobarkan cerita sama sekali tidak punya penyebab yang jelas. Penjahat-sebenarnya cerita ini pengen gitu aja menyerang dunia atau realm yang lain, dia ingin menaklukkan semua dan sebagai pembelaan dia menyalahkan ibu Clara yang sudah tega meninggalkan dunia ciptaannya sendiri. Elemen perang rebutan kuasa sendiri sesungguhnya memang ada dalam kisah orisinilnya. Apa yang dilakukan oleh film ini, sayangnya, begitu berdedikasi untuk menghadirkan twist dari elemen originial tersebut; mereka memutarbalikkan peran, dan ultimately malah menjungkirbalikkan film ini secara keseluruhan. Mereka lupa memasukkan alasan yang kuat. Seharusnya ada motivasi lebih dalam daripada sekedar grasak grusuk masuk hutan, mengobarkan pasukan, demi merebut kunci emas.

Film ini seperti mengkhianati temanya sendiri. Ini tentang self-trust, keberanian. Dengan percaya kepada kemampuan dan potensi yang kita miliki, kita bisa mencapai begitu banyak hal hebat. Bahkan menciptakan dunia. Tetapi film, ia tidak yakin bisa membangun cerita. Ada begitu banyak hal yang seperti tambalan di sana-sini. Film malah seperti dua visi yang enggak klop. Lebih seperti pengen membuat produk ketimbang dunia imajinasi yang kreatif.

 

 

 

 

Pembangunan dunia dengan ‘aturan’ dan mitosnya tak pernah lebih jauh berfungsi kepada penceritaan. Dunia-dunia tersebut tak lebih dari perkenalan, you know, supaya kalo nanti ada wahananya di Disney, fans sudah tidak bertanya-tanya lagi. Untuk orang dewasa, film ini seperti mimpi yang ngaco – yang hanya terjadi dan lantas dilupakan karena memang tidak banyak hal menarik yang patut diingat. Semuanya serba tanggung. Bagi anak-anak, ada kesenangan dan ketakjuban melihat visual yang cantik, ada petualangan yang hadir dari makhluk-makhluk dengan desain cukup menyeramkan tersebut. Ada pesan yang bisa mereka bawa pulang. Mereka akan menikmati ini sampai twist tentang perang itu muncul mengubah tone film keseluruhan. Semanis-manis kata yang bisa kita ucapkan untuk film ini, bahwa ia adalah kekecewaan yang adorable, berkat Mackenzie Foy.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa makna teman bagi kalian? Mengapa kalian mau berteman dengan teman-teman kalian yang sekarang? Bagaimana kalian tanpa mereka?

Menurut kalian, bagaimana cara Ibu Clara menciptakan keempat realm tersebut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017