KAKA BOSS Review

 

“All parents are an embarrassment to their kids”

 

 

Arie Kriting sepertinya punya beberapa keresahan. Tentang stereotype orang Timur yang karena perawakannya, sering dianggap seram, garang, kayak preman, dan sebagainya. Like, jaman ospek kuliah di kampusku dulu (aku mahasiswa teknik geologi), teman-teman yang dari Timur gak pernah ditempatkan jadi petugas medis yang urusannya nolongin mahasiswa baru yang tumbang atau sakit. Mereka selalu kebagian ‘peran’ jadi senior ‘paling galak’, yang cuma dikeluarkan ke depan maba saat kegiatan yang bersifat stressing level maksimal. Mereka di-hype sebagai pertanda bahwa ospek hari ini akan ‘berdarah-darah’. Padahal aslinya, mereka ya biasa aja, gak ada yang jahat, malah juga suka bercanda. Selain itu, sebagai seorang bapak, Arie Kriting juga sepertinya punya keresahan yang khusus menghantui para orangtua. Tentang relasi dengan anak-anaknya nanti. Bagaimana nanti jika anak malah malu dengan orangtuanya, bukannya bangga. Bagaimana kalo ternyata sebagai orangtua, kita not good enough bagi anak-anak kita. Keresahan-keresahan itulah yang sepertinya digodok menjadi cerita oleh Arie Kriting dalam drama komedi Kaka Boss. ‘Anak-keduanya’ di layar lebar.

Kaka Boss adalah panggilan yang diberikan oleh anak-anak buah kepada Ferdinand. Karena dia bukan saja sosok pemimpin yang baik, yang ngasih saudara-saudara sedaerahnya kerjaan yang jujur dan bersih, tapi juga jadi teladan yang jempolan dengan kompas moral yang mantap di ranah pekerjaan mereka. Sebagai agen sekuriti, Kaka Boss dan bawahannya memang ngehandle kerjaan yang menyerempet dunia malam dan baku hantam; mereka harus provide tenaga di antaranya buat jadi bouncer, bodyguard, ataupun jadi debt-collector. Perawakan sepertinya memang jadi modal lahiriah mereka di bidang kerjaan ini, tapi karena kerjaan itu jugalah, banyak orang yang menganggap Kaka Boss dan teman-temannya sebagai preman. Mereka dikira gangster tukang palak, tukang pukul. Anak Kaka Boss, si Angel yang masih SMA, aja sampai malu sama bapaknya. Kaka Boss yang tiap hari mengantar ke sekolah itu tidak diperbolehkan turun dari mobil. Nanti teman-teman pada takut, alasan putri semata wayangnya tersebut. Sekarang, Kaka Boss percaya satu-satunya cara supaya Angel bangga sama dirinya adalah dengan nyari kerjaan baru. Dia mutusin buat jadi penyanyi. Bikin album. Nampil di acara sekolah Angel. Masalahnya, untuk urusan  dunia tarik-suara, Kaka Boss tidak punya modal lahiriah.

Alias suaranya lebih fals daripada suara Giant di Doraemon

 

Seorang ayah yang cuma pengen bikin anaknya bangga, tapi anaknya malu sama pekerjaan dirinya. Itu premis drama yang jadi hati film ini. Membuatku teringat sama film Jepang tentang drama pegulat, My Dad is a Heel Wrestler (2019). Di film itu dibahas gimana seorang anak SD merasa malu karena ayahnya bukan pegulat juara, melainkan justru antagonis dari bintang gulat saat itu. Ayahnya adalah Topeng Kecoa yang licik, curang, penakut. Pokoknya tidak heroik, tidak bisa dia banggain kepada teman-teman sekelas. Haru deh ketika kita melihat sikap anaknya tersebut sebagai kontras dari perjuangan si ayah untuk bikin dia bangga. Karena menjadi orang jahat dan dibenci penonton itulah yang jadi kerjaannya, dia harus melakukan yang terbaik sebagai seorang pecundang di atas ring. Angel dan Ferdinand pada film Kaka Boss ini punya dinamika serupa. Kita juga akan dibikin haru karena kita tahu Kaka Boss bukan preman, dia justru sangat cakap dan jujur dalam kerjaannya. Hanya ya soal kerjaannya itu saja yang menuntutnya harus tegas, perawakannya saja yang bikin dia tampak galak, nada bicara alaminya saja yang bikin dia kayak ngajak berantem terus. Godfred Orindeod dan Glory Hillary – sebagai Kaka Boss dan Angel – tampak genuine dan play off their on-screen dynamic very well, sehingga kita tersedot untuk peduli. Kita ikut merasakan downnya Kaka Boss ketika dia merasa gagal dan ‘mati langkah’, ketika dia sadar dia gak bisa nyanyi. Kita pengen dia berhasil bikin bangga Angel. Tapi kita juga dibuat mengerti ama tuntutan Angel dan kita pengen dia tahu gimana kerjaan ayahnya yang sebenarnya. Film menggali sudut pandang Angel dengan cukup maksimal, yang mengarah kepada penyadaran dirinya. Dan yang aku suka dari perspektif Angel ini adalah bahwa film ngasih lihat kepadanya bahwa ‘buah jatuh gak jauh dari pohonnya’. Angel punya ‘bakat’ ngeboss yang sama dengan ayahnya hihihi…

Kayaknya memang sudah lumrah bagi anak-anak untuk merasa malu dengan orangtua mereka, akan ada satu masa ketika anak mengganggap apapun yang dilakukan orangtuanya sebagai hal yang memalukan. Bahkan diajak ngobrol sama ayah atau ibu di depan orang ramai pun bisa jadi hal yang memalukan bagi seorang anak. Dan itu penyebabnya apalagi kalo bukan adalah hal yang lumrah juga bagi orangtua untuk merasa dirinya harus jadi panutan dan jadi kebanggaan bagi anak mereka. Orangtua forcing themselves to do that, ngerasa harus perlu membuktikannya sepanjang waktu, dan itulah yang membuat interaksi jadi awkward – dan tampak malu-maluin bagi si anak.

 

Sayangnya, Kaka Boss kurang maksimal dalam pengembangan perspektif karakter titularnya. Karakter Kaka Boss dibuat harus mengalah sama satu premis lagi yang dipunya cerita. Yaitu premis komedi. Dan film, di pertengahan, memang jadi condong mengeksplorasi ini saja. “Orang yang pengen jadi penyanyi, tapi gak sadar suaranya enggak bagus.” Dan premis komedi ini ditimpakan kepada karakter lain; si produser musik (diperankan oleh Ernest Prakasa) yang dimintai tolong mengorbitkan Kaka Boss sebagai penyanyi. Bagaimana memberitahu seseorang bahwa dia not good at doing something, apalagi kalo si orang itu menakutkan dan punya kemampuan untuk menggamparmu habis-habisan? Di pertengahan, film malah fokus di sini. Stakenya seolah dipindah ke si produser yang harus mempertaruhkan banyak untuk mencari cara gimana caranya bikin suara nyanyian Kaka Boss enak didengar. Yang action ya dia, dan orang-orang sekitar Kaka Boss yang sepakat merahasiakan soal suara jeleknya Kaka Boss karena gak ada yang berani jujur to his face. Sementara Kaka Boss, yang semestinya adalah karakter utama, dibiarkan dalam ketidaktahuannya, ditreat semacam bom waktu yang bisa meledak marah kalo produser gagal bikinin album atau mereka ketahuan bohong bilang suaranya bagus.

Padahal film sebenarnya masih bisa membuat premis komedi ini bergerak untuk development Kaka Boss. Contohnya kayak yang dilakukan oleh film Popstar: Never Stop Never Stopping (2016). Di film itu Andy Samberg jadi penyanyi idola remaja yang songong, dan dia gak nyadar penjualan albumnya merosot karena lagu-lagunya ciptaannya itu jelek semua. Dia gak sadar dia gak berbakat nyiptain lagu karena semua orang, mulai dari manager, groupie, hingga kru teknisnya pada ‘yes man’ semua. Ngangguk-ngangguk bagus doang ketika dimintain pendapat. Gak pernah ada yang berani ataupun peduli untuk ngasih kritik. Nah film itu tetap menempatkan karakter Andy sebagai perspektif utama karena dia yang perlahan menyadari sikap orang sekitarnya, yang leads kepada dia menyadari kesalahan-kesalahannya dalam bersikap sehingga semua orang di sekitarnya jadi ‘fake’ dan gak berani jujur padanya. Development dia menjadi lebih baik itu ada. Sedangkan pada Kaka Boss, hampir tidak ada ruang dan waktu untuk si Kaka Boss punya development. Karena perspektifnya berpindah, dan si Kaka Boss ini sendiri sudah sedemikian baik dan mulia – against his stereotype – sedari awal. Hanya putrinya saja yang belum menyadari betapa baiknya ayahnya.

Low key pengen bilang berani kritik itu penting!

 

Memang saat nonton aku ngerasa aneh sama naskahnya. Kirain Kaka Boss mau ganti kerjaan dan milih jadi penyanyi itu cuma sekuen ‘langkah pertama’ doang. Kirain abis itu dia gagal, dan nyoba kerjaan lain tapi gagal juga, until he realize bukan kerjaannya yang sebenarnya perlu dia ganti. Tapi ternyata film ini memang stay di pindah kerjaan jadi penyanyi tersebut. Ini membuatku kembali menengok ke film My Dad is a Heel Wrestler tadi untuk membandingkan bagaimana kedua film ini mencapai resolusi anaknya jadi bangga dengan ayahnya, no matter apapun pekerjaannya. Film tersebut berakhir dengan si anak nonton pertandingan ayahnya, dan untuk menunjukkan si anak kini sudah mengerti dan bangga kepada ayahnya, si anak berdiri dan ikut mencaci maki ayahnya yang lagi bertanding curang di ring. Temannya ampe bertanya “Kenapa kau meneriaki ayahmu seperti itu?” Si anak dengan tenang dan ekspresinya bangga banget menjawab “Karena itu kerjaan ayahku”. Film tersebut ngasih penyelesaian yang benar-benar tertutur manis, respek terhadap karakter dan juga kerjaannya karena pekerjaan itu adalah bagian dari karakternya. Sementara Kaka Boss, berakhir dengan nunjukin si produser somehow berhasil menemukan cara bernyanyi yang cocok untuk si Kaka Boss, sehingga bisa tetap nampil, sementara Angel sendiri  sebenarnya sudah berdamai dengan rasa malunya, dan dia sudah menghargai ayahnya, sebelum performance tersebut. Jadi gak benar-benar terasa klop. Performance itu jadi gak urgen (walaupun aku sendiri suka banget dengan penampilannya karena film nampilinnya benar-benar seperti penampilan musik untuk film) ‘Pindah kerjaannya’ itu jadi kayak hiasan, alasan kenapa alternatifnya ke ‘jadi penyanyi’ juga tidak kuat dilandaskan. Toh Angel tidak dibangun sebagai karakter yang suka musik atau semacamnya.

Aku berpikir mungkin film memindahkan kerjaan dari agen sekuriti ke penyanyi dan stay mengeksplorasi dunia nyanyi ini karena agen sekuriti yang semua pekerjanya orang Timur itu not a real job. Sehingga film ini gak tahu harus ngangkat apa lagi dari sana. Beda dengan kerjaan heel wrestler di film Jepang tadi. Gulat memang bohongan alias hasil tandingnya sudah diatur, tapi kerjaannya itu asli. Beneran ada pegulat yang khusus untuk meranin karakter curang dan dibenci orang banyak, supaya mengangkat karakter baiknya untuk jadi hero. Drama film tersebut jadi tetap terasa real, genuine. Film Kaka Boss kehilangan pijakan ketika memutuskan pindah tanpa alasan yang kuat. Bahasan prejudice terhadap stereotype-nya pun jadi tidak lagi terasa real, dan lebih kayak diadain buat lucu-lucuan aja ketimbang genuine concern karena karakter utamanya tidak berjuang di sana sebagai pamungkas cerita. Film ini seperti kejebak sendiri di stereotype, dan kurang maksimal jadi genuine drama menyentuh hati sambil menghibur dan mematahkan prasangka karena kurang maksimal dalam karakterisasi. Gak kayak sodara se-PHnya, Agak Laen (2024). Film tersebut thrive more than representasi, ceritanya kena dan lebih konek universally karena kita tidak melihat karakternya sebagai orang batak yang susah dapat kerjaan karena dianggap preman, melainkan sebagai mantan napi- sebagai orang yang pernah melakukan kesalahan yang cukup besar sehingga mereka susah dapat kerjaan lain.

 




Berangkat dari apa yang sepertinya sebuah genuine concerns terhadap stereotype orang Timur dan hubungan parenting ayah terhadap anaknya, film ini menggodok premis drama dan premis komedi ke dalam cerita. Sayangnya kedua premis tersebut belum tergabung dengan maksimal. Walau film ini masih bisa bikin kita haru dari hubungan karakter Kaka Boss dengan putri yang malu sama kerjaannya, tapi premis komedi kayak lebih mengtake over. Dan membuat cerita jadi pindah perspektif dan malah membahas lucu-lucuan soal Kaka Boss gak bisa nyanyi tapi gak ada yang berani bilang. Akibatnya karakterisasi menjadi lemah, dan berdampak kepada film ini jadi berakhir jadi cuma sebatas feel good moment tanpa benar-benar punya something to say terhadap concerns yang diangkat karena ditutup manis dengan penyadaran yang kurang klop development atau journeynya. Kalo film adalah ‘anak’ dan sutradara adalah ‘orang tua’, film ini memang belum sempurna, tapi paling tidak, enggak begitu malu-maluin karena masih punya momen-momen yang lucu dan haru di sana-sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KAKA BOSS

 

 




That’s all we have for now.

Ada gak sih kelakuan ortu yang pernah bikin kalian malu?

Share cerita kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRAP Review

 

“We are never trapped by where we are, the trap is always who we are”

 

 

Trap, thriller terbaru M. Night Shyamalan, berhasil memberikan apa yang aku harapkan – namun ternyata tidak kudapat – ketika nonton In a Violent Nature (2024) kemaren. Perspektif yang menyeluruh dari seorang serial-killer. Bukan hanya itu, film ini juga terasa fresh dengan sudut pandang yang diangkat tersebut. Memang, film yang mengambil cerita dari sudut pandang psikopat pembunuh bukan barang yang langka. Sebut saja mulai dari Henry: Portrait of a Serial Killer (1986) ke The House That Jack Built (2018), dari American Psycho (2000) hingga ke In a Violent Nature tadi, dari yang pembunuhnya charming sampai ke yang monster gak-bisa mati, pengalaman mengerikan masuk ke pikiran ‘orang gila’ yang bermacam-macam itu sudah pernah kita rasakan (ampe ketagihan!) Hanya semuanya relatif sama. Kita melihat mereka sebagai pembunuh. They might jalanin kerjaan lain sebagai kedok, tapi most of the time, cerita akan berpusat kepada saat aksi utama mereka yakni membunuhi orang. Trap berbeda, karena kita tidak melihat si serial killer saat actually sedang ‘dinas’. Melainkan cerita khusus menyorot ketika dia sedang berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Like, membawa putrinya nonton konser. Shyamalan dikenal karena twist pada film-filmnya; dia selalu took risks dengan ‘mematahkan’ filmnya menjadi something else, sampai-sampai banyak filmnya yang jatohnya antara tidak dimengerti atau salah dimengerti oleh penonton. Trap, sepertinya bakal jadi satu lagi film Shyamalan yang easily di-misunderstood. Banyak penonton yang gak puas dan menganggap film tentang ayah-anak ini sendirinya adalah jebakan yang dipasang Shyamalan supaya kita nonton konser putrinya.

Cooper dan putrinya yang masih 12 tahun, Riley, was about to have a great ‘father-daughter day’ di konser Lady Raven. Penyanyi yang lagi hits banget terutama di kalangan remaja dan anak-anak muda. Cooper berhasil dapetin floor ticket, di row yang lumayan deket juga dari panggung. Tapi sedari masuk tadi, Cooper notice stadion konser ini dijaga oleh banyak sekali sekuriti. Dengan persenjataan lengkap pula. Oalah, ternyata mereka FBI! Kabarnya, mereka ada di sana karena tahu bahwa di antara tiga-puluh-ribu penonton konser itu ada satu serial killer most wanted – The Butcher – yang juga hadir. Konser musik ini dijadikan perangkap buat si The Butcher. Film mereveal twistnya dengan sangat dini, karena si serial killer tidak lain tidak bukan adalah Cooper, ayah yang sayang banget ama pada putrinya, pemadam kebakaran yang simpatik. pria baik hati yang bisa diandalkan all around. Ini ternyata bukan cerita tentang ayah-anak yang terjebak di tengah-tengah kucing-kucingan pembunuh dengan FBI, melainkan cerita tentang pembunuh yang harus mikirin cara keluar dari stadion yang dijaga ketat, sementara juga naluri banditnya itu berkonflik dengan keinginannya satu lagi sebagai seorang ayah; dia pengen Riley yang lagi dikucilin teman-teman segeng itu tetap have fun di konser.

Aku kinda relate, karena pas nonton WWE live dulu fokusku malah jelalatan cari cara menyelinap ke backstage hihi

 

Bisa dilihat konsep cerita Trap ini benar-benar brilian kenekatannya. Biasanya, pada film antihero atau yang bahkan protagonisnya penjahat yang journey ceritanya paling degradasi moral sekalipun,  simpati itu akan terus dipantik dari si karakter. Tujuannya adalah kita sebagai penonton merasakan dramatic irony dari ‘kejatuhan’ si karakter menjadi seorang penjahat. Meskipun tujuannya menyimpang, tapi kita masih peduli karena kita paham apa yang membuat dia seperti itu. Itulah kenapa namanya protagonis; karakter yang ingin sesuatu dan kita get behind them regardless kita setuju atau tidak terhadap pilihannya. Tapi Trap ini sebaliknya. Shyamalan membuat Cooper ini sebagai.. apa ya, kita karang aja istilahnya; Anti-protagonis, mungkin. Cooper berangkat dari karakter simpatik, lalu diungkap dia orang jahat, dan film akan terus mendevelop dirinya menjadi semakin unlikeable hingga cerita usai. Ini dibilang salah, ya salah karena gak sesuai aturan. Tapi dibilang jelek, ya enggak juga, karena desain konsep ini brilian dan bukan perkara mudah untuk dilakukan. Bagaimana membuat karakter yang sedari awal sudah diungkap sebagai pembunuh, tapi kita tetap sempat peduli dia selamat?

Film mencapai ini pertama dari kekuatan akting Josh Hartnett sebagai Cooper. Aktingnya di sini sangat intriguing, sehingga kita tertarik. Ada momen ketika kita percaya dia beneran peduli sama Riley. Ada momen ketika kita bisa melihat jurus ‘menarik simpati ala serial killer’nya keluar untuk membohongi orang-orang demi mendapat informasi – bahkan kepada Riley. Ada momen ketika dia beneran panik dan pikirannya berkecamuk nyari jalan keluar. Ada momen ketika dia kontemplasi dengan traumanya sendiri. Masing-masing momen ini hidup oleh permainan ekspresi. Film juga mastiin buat semua ekspresi itu tertangkap, karena akan banyak sekali shot yang close up wajah Cooper. Kesannya mungkin bisa tampak unnatural (apalagi pas Cooper matanya kosong tapi senyumnya ngembang), tapi kita harus ingat yang berusaha ditangkap kamera adalah psyche seorang serial killer yang punya trauma sendiri, yang sendirinya bergulat dengan dua ‘dunia’, dengan dua kebutuhan.

Kedua, dan ini yang paling penting supaya kita di awal peduli, adalah dari hubungan Cooper dengan Riley. Dunia yang lebih relatable; ayah dan anak di tempat konser. Film ngerti betapa krusial bagian ini, maka M. Night Shyamalan arahannya jor-joran banget di first-half ini.  Ariel Donoghue natural banget jadi anak seusia Riley yang starstruck lihat idolanya nampil, yang benar-benar menikmati hari yang spesial dalam hidupnya. Dramatic irony yang membuat kita peduli sama Cooper, dipancing film dari sini. We don’t want Cooper gagal supaya hari Riley gak rusak, tapi juga kita tahu hari itu gak akan berakhir baik buat Riley. Lalu, experience nonton konser itu sendiri. Gak salah juga kalo penonton pada julid film ini akal-akalan sutradara buat ngasih panggung putrinya sendiri yang memang penyanyi (Saleka Shyamalan berperan jadi Lady Raven, dan dia beneran ‘manggung’ ampe bikin album buat ngisi film ini). Pak Sutradara ngisi konser itu dengan crowd beneran, kesibukan kru panggung, isi stadion, hingga pagelaran konsernya, suasananya terasa otentik. Beneran hidup. Dan jadi kontras yang kuat ketika ada petugas bersenjata yang merazia penonton secara giliran. ‘Mengganggu’ mereka dari aktivitas nonton konser. Keseluruhan experience di paruh-pertama ini rasanya imersif banget. Kita ngenalin euforia dan serunya di sana, kita gak mau Riley terampas oleh pengalaman tersebut, so naturally kita jadi peduli sama keberhasilan ayahnya walaupun kita tahu ayahnya orang jahat. At least, biarkan Riley dapat momen dulu. Dan film memang ngasih dengan selera humor tersendiri.

Lalu diambillah resiko berikutnya. Paruh-kedua yang normalnya dimulai dengan sekuen ‘taktik baru’, oleh naskah ini dimaknainya sebagai literally kayak different movie. Belokin cerita kayak ampe patah-dua ini kelebihan sekaligus kekurangan M. Night Shayamalan. Bisa bikin filmnya seru, unpredictable, tapi semua kenekatan itu tetap bergantung kepada storytellingnya. Skala cerita diperbesar. Seluruh kota seolah jadi tempat yang memerangkap Cooper. Sedangkan untuk Cooper sendiri, ‘baru’ baginya sayangnya adalah kali ini dia jadi lebih banyak bereaksi. Inilah kenapa banyak yang bilang babak ketiganya aneh. Karena mendadak cerita malah bergerak karena aksi-aksi si Lady Raven. Dia jadi kayak hero di bagian ini. Sebenarnya kalo dari desain, ini masih kelihatan ada alasan dan kepentingannya dengan tema. Bagi serial killer yang lagi di dunia seorang ayah, Cooper tentu familiar soal apa yang ditampilkan supaya orang melihat kita sebagai apa yang kita mau. Dan ketika Lady Raven mendadak punya rencana sendiri, ini caught Cooper off guard. Dia gak sadar seleb yang tampaknya gak bisa apa-apa, ternyata bisa punya persona yang berbeda di luar panggung (apalagi di backstage dia ngeliat rapper yang cuma bisa songong minta ini itu). Bisa punya kemampuan lain, bisa punya ‘power’ dari follower. Cuma, karena ujug-ujug Lady Raven jadi hero tanpa benar-benar ada build up, naturally kita sebagai penonton gak bisa get behind her. Tindakannya malah dianggap bego, dan lebih terasa kayak manjang-manjangin cerita.

Give new meaning to a “Parent Trap”

 

I do feel film ini bingung mau narok akhiran di mana. Stakenya padahal udah dibikin mengerucut, dibikin lebih personal. Ini juga sekaligus cara film mengembalikan kendali kepada Cooper sebagai protagonis. Bahwa pilihan ultimate bagi dia adalah memilih kehidupan mana yang ia jalani. Dia gak harus jadi serial killer. Hanya saja Cooper merasa terjebak di mana-mana. Modus operandi Cooper sebagai serial killer adalah dia memilih orang-orang yang ia anggap ‘utuh’ untuk jadi korban. Karena dia pengen liatin bahwa gak ada yang utuh di dunia ini. Bahwa seperti dirinya, semua orang adalah kepingan-kepingan. Backstory Cooper diungkap dengan subtil di balik gumaman kecil dan perilaku OCDnya (betul-betulin letak barang yang miring). Jadi film membuat Cooper harus berkonfrontasi dengan kepingan-kepingan hidupnya. Dengan istrinya. Dengan bayangan ibunya. Ini yang bikin film jadi seolah gak beres-beres. Film harusnya bisa lebih mempertegas mana yang beneran ‘konflik utama’ bagi Cooper. Ketika di awal seperti dibuild up, Cooper seperti menganggap ibu tua FBI sebagai antagonis utamanya, mestinya ini saja yang dijadikan fokus untuk penyelesaian cerita. Film harusnya bisa lebih menggodok segala ‘pieces’ konflik Cooper dan madatin babak ketiga ceritanya.

Terlepas dari bagaimana hal tampak bagi kita, kita sesungguhnya tidak pernah terjebak oleh tempat kita berada. Perangkap itu sebenarnya selalu soal siapa kita. Dengan membiarkan diri torn to pieces, kita memerangkap diri sendiri. Cooper merasa trauma membuat dia harus menjalani dua hidup, sebagai serial killer dan sebagai ayah, akibatnya dia terjebak di antara dua ‘dunia’ tersebut. Tidak pernah punya kekuatan untuk mengonfrontasi siapa dirinya, masalahnya, yang sebenarnya. Padahal lihat saja Exodia di kartu Yugioh, kalo lima anggota badannya terkumpul, kekuatannya jadi infinity hihihi

 

 




Sori, karena judulnya, dan bicara soal pieces, aku jadi gak tahan buat nyama-nyamain ama Yugioh. Tapi itu  tandanya film ini sukses menghibur. Dan aku memang beneran suka kok. Aku suka suasana di konser, experiencenya kerasa banget dan film feels genuinely life dan epic. Aku suka nekatnya M. Night Shyamalan bikin konsep ampe jadi kayak anti-protagonis.  Aku suka sudut pandang yang diangkat, serial killer bukan exactly soal dia membunuh orang dengan sadis, tapi soal dia takut ketahuan karena sumpah mati dia pengen banget berhasil membangun keluarga. Bahkan patahan ceritanya bisa kita apresiasi, karena masih bergerak dalam konteks perspektif dan backstory si karakter. Meskipun memang paruh kedua itu mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi. dengan lebih mulus lagi. Terutama di kejadian-kejadian, biar less kayak ‘naskah maunya begitu’ dan more kayak keputusan natural karakter di saat darurat. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRAP.

 

 




That’s all we have for now.

Film ini could get unintentionally funny. Buat kalian, bagian mana yang paling lucu dari film ini? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MIRACLE IN CELL NO.7 Review

 

“Poor people lose. Poor people lose all the time”

 

 

Miracle in Cell No.7 dari Korea Selatan sudah diremake setidaknya oleh empat negara lain sebelum Indonesia. Fakta bahwa cerita tentang mentally challenged person yang dipenjara dan dihukum mati atas kriminal yang tidak pernah ia lakukan ini cocok dan bisa sukses tertranslasikan ke dalam sejumlah kultur negara berbeda sesungguhnya bicara banyak soal bahwa hal yang merata dari sebuah keadilan adalah ketimpangannya. Sistem hukum yang lemah, yang tajamnya ke bawah doang, ternyata adalah masalah yang seragam, baik itu di Korea, Turki, India. Dan tentu saja di Indonesia. I’m not a big fan of remakes, yang cuma sekadar mengadegankan-ulang alias cuma meniru versi aslinya, tapi begitu melihat nama yang menggarapnya, aku tahu bisa menaruh sedikit harapan kepada Hanung Baramantyo. Yang aku percaya tidak akan membiarkan cerita ini lewat di depan hidungnya, bergerak di bawah tangannya, tanpa menambahkan perspektif atau statement atau gagasannya sendiri terhadap tema yang dikandung.

Dari segi cerita dan bangunan narasinya, ternyata, tidak banyak yang diubah. Film ini dengan ketat mengikuti versi original yang rilis tahun 2013.  Ceritanya dibingkai ke dalam sebuah persidangan.  Wanita pengacara muda mengajukan tuntutan terhadap kasus dari dua puluh tahun yang lalu. Kesaksiannya terhadap kasus tersebutlah yang actually kita simak sebagai narasi utuh. Tentang Dodo Rozak yang harus terpisah dari putrinya, Kartika, karena Dodo jadi tersangka tunggal kasus pembunuhan seorang anak kecil. Pria dengan keterbelakangan mental ini harus mendekam di penjara. Bayangkan John Coffey di The Green Mile (1999), film dari cerita karangan Stephen King, hanya tanpa badan kekar dan kekuatan ajaib. Itulah Dodo. Dia cuma punya satu keinginan, ketemu lagi sama Kartika. Tapi bukan lantas berarti Dodo tidak membawa mukjizat – atau miracle. Napi-napi yang satu sel dengannya-lah yang duluan merasakan pengaruh positif dari Dodo. Sifat baik hati Dodo menghangatkan selnya. Terlebih ketika para napi membantu untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel penjara. Wuih, langsung semarak! Bukan hanya satu sel, kelamaan Dodo memgubah satu penjara jadi tempat yang lebih hangat. Semua orang di sana kini berusaha membantu Dodo keluar dari penjara, membantu membuktikan Dodo tidak bersalah supaya dia bisa terus bersama Kartika. Halangannya cuma satu. Hukum yang dingin, menekan, dan semena-mena kepada orang kecil seperti Dodo dan Kartika.

Jangan sampai ruang sidang jadi kayak ruang kelas anak TK  juga hihihi

 

Perbedaan yang langsung ter-notice olehku adalah gak ada Sailor Moon. Pada film aslinya, ‘Kartika’ suka banget ama Sailor Moon, dan si karakter kartun Jepang ini actually jadi bagian penting yang membuat ‘Dodo’ sampai dipenjarakan. Kepentingan Sailor Moon tidak sampai di situ, karena film original turut menjadikannya sebagai penunjuk kepolosan si ‘Kartika’. Bahwa anak perempuan cerdas yang mengurus ayahnya tersebut masih punya sisi kanak-kanak. Sehingga menghilangkan motivasi Kartika untuk punya tas sekolah bergambar karakter tersebut, berarti menghilangkan sebagian identitas karakternya. Reaksi pertamaku adalah kasihan. Mungkin film enggak simply mengganti Sailor Moon dengan karakter lain karena susah menemukan simbol kanak-kanak apa yang hits. Itu kan artinya kasihan banget anak-anak Indonesia, gak punya karakter kartun idola. Masa iya harus diganti jadi tas bergambar idol K-pop haha.. Tapi itu take yang gak ngefek ke penilaian film keseluruhan, aku cuma miris aja sama anak-anak jaman sekarang. Untuk menilai film ini sendiri, kita harus melihat apa pengganti yang disiapkan oleh film, oleh Hanung, bagaimana dia membuat karakter Kartika tetap punya ruh sebagai anak yang mandiri, cerdas, namun, well, tetap masih anak-anak.

Keseluruhan konteks inilah yang dialter sedikit oleh Hanung. Kartika dibuat gedean, di film ini Kartika sudah bersekolah SD. Kartika membantu pekerjaan Dodo, yang di film ini dibuat sebagai tukang balon keliling. Balon inilah yang jadi simbol kepolosan Kartika – dan juga ayahnya – alih-alih Sailor Moon. Balon ini juga digunakan Hanung untuk semakin menguatkan hubungan tematik ke ending yang berhubungan dengan balon udara. Konteks simbol yang semakin jelas berhubungan seperti itu dilakukan lebih baik oleh film ini, sebab di film original kepentingan mereka dengan balon udara tidak benar-benar diestablish. Film Hanung ini sudah mengikatnya dengan erat sejak awal. Membuat Kartika slightly older juga memberikan ruang bagi film untuk menaikkan level dramatisasi dan keseriusan pada ceritanya. Film original diwarna dengan cerah, dan dijual lebih sebagai drama komedi. Hanung, sebaliknya, lebih fokus kepada drama. Makanya warnanya jadi kontras, kadang kuning, kadang biru agak gelap. Meskipun sama-sama dipajang sebagai tontonan untuk semua umur, Miracle in Cell versi Indonesia didesain sebagai sebuah drama yang sedikit lebih serius.

Hubungan karakternya lebih digali. Kita sekarang diberikan backstory tentang ibu Kartika. Bagaimana relasi dan pengaruh sosok si Ibu terhadap cara Dodo bersikap kepada sesama, dan membesarkan Kartika. Ini menambah depth bagi karakter sentral kita. Dodo dan Kartika versi ini lebih bisa kita mengerti. Lucunya versi Hanung ini adalah, dia menjadi lebih dramatis justru dengan mengembangkan karakternya keluar dari trope dramatic. Film originalnya bagiku memang masih beroperasi atau masih mengandalkan karakter dari trope dramatic. Like, gak mungkin kita gak bersimpati dan sedih melihat mentally challenged person yang baik hati terpisah dari anak, keluarga, satu-satunya. Tidak banyak growth atau perkembangan yang dialami oleh karakter. Film original itu lebih menyasar kepada kita, mengajak untuk tidak berprasangka dan segala macem. Film versi Hanung memberikan ruang bagi karakter untuk bertumbuh, dan lebih dalam daripada sekadar trope. Perjalanan Kartika menjadi pengacara demi menegakkan keadilan untuk ayahnya menjadi lebih terasa dramatis tatkala kita tahu sebenarnya Kartika diharapkan untuk menjadi dokter. Fokus utama memang tetap pada hubungan (tak terpisahkan!) antara Dodo dan Kartika, tapi film versi ini juga memberikan lebih banyak soal hubungan antara Kartika dengan ayah angkatnya (yakni kepala penjara) yang tersentuh oleh hubungan ayah-anak Dodo dan Kartika. Hubungan yang telah direnggut dari si kepala penjara.

Selain memperlihatkan soal hukum semena-mena sama rakyat kecil tak berdaya, film juga mengangkat soal kehilangan orang yang disayangi. Betapa itu jadi perasaan yang bakal terus menghantui. Gak bakal hilang. Dan adalah tergantung masing-masing untuk bersikap gimana terhadap perasaan tersebut. Kartika menggunakannya untuk mendewasakan diri. Kepala penjara bertekad untuk tidak membiarkan orang lain mengalami perasaan sedih serupa. Sementara antagonis di sini justru menyerah kepada perasaan duka tersebut dan membuat hal jadi semakin buruk dengan ‘menularkannya’ kepada orang lain. Sikap yang gak healing siapa-siapa.

 

Sailor Moon – Moon – Bulan – Moon cake – Kue terang bulan – Martabak!

 

Supaya gak depresi-depresi amat, humor yang jadi nilai jual film aslinya tetap dipertahankan. Di tangan sutradara lain ini bakal jadi tantangan yang berat, karena sekarang film memuat dua tone yang semakin kontras. Tapi Hanung yang memang kuat arahan dramatis dan karakternya, membuat itu tampak mudah. Range yang diperlihatkan film ini luar biasa. Antara bagian sedih (banget), adegan kekerasan polisi yang cukup bikin meringis, ama obrolan berbau komedi, mampu hadir tanpa terasa mentok. Melainkan berimbang dan natural. Contoh gampang untuk melihat ini: lihat saja karakter napi yang diperankan oleh Indro Warkop. Aku gak pernah melihat Indro bermain di luar role komedi receh. Tapi di sini, aku kadang jadi genuinely ngeri melihatnya kayak preman beneran, dan kadang kocak juga. Penampilan akting di film ini semuanya meyakinkan seperti demikian. Vino G. Bastian sebagai Dodo; tak pernah terlihat kayak mengolok-olok. Respek terhadap karakter, timing komedi, serta bobot drama berhasil ia sajikan tanpa over dan tumpang tindih. Yang make or break the movie jelas adalah akting karakter anak kecil. Serius. Bukan hanya di film Indonesia, tapi di film luar juga. Karakter anak kecil akan jadi penentu karena menggarap karakter anak kecil itu tantangan bagi orang dewasa. Jangan sampai anak kecil itu malah kelihatan seperti orang dewasa yang berusaha menjadi anak kecil. You know what I mean. Apalagi konteksnya adalah anak kecil yang mandiri dan cerdas. Untuk itu aku salut sama Graciella Abigail, yang mampu menerjemahkan tantangan peran yang diarahkan Hanung menjadi sebuah penampilan akting yang benar-benar deliver. Gak hanya tampak seperti dia dipakai karena jago nangis, atau karena mirip sama counterpart versi Korea. Inilah satu lagi kekuatan film ini. Di balik keberhasilannya jadi mirip sama versi Korea, film ini juga nawarin sesuatu yang lebih.

Setting Indonesia berhasil dirasukkan ke dalam cerita. Antagonis yang ketua partai politik menambah tajam gagasan soal hukum yang mudah dikendalikan sama yang punya kuasa. Choir yang jadi kasidah, suasana natal yang diubah menjadi menjelang lebaran, membuat film bukan hanya dekat tapi juga berhasil dimasukkan ke dalam bahasan soal pengampunan dan ‘terbang’ dalam muatan yang spiritual. Diversity film tetap terjaga lewat celetukan karakter dan adegan-adegan lain yang benar-benar menghidupkan suasana di penjara. Adegan yang menurutku dilakukan lebih baik oleh film ini dibandingkan dengan film aslinya adalah saat para Napi berusaha merekaulang kejadian kematian yang dituduhkan kepada Dodo. Adegan ini dilakukan di tengah-tengah lorong sel sehingga semua napi, bukan hanya yang satu sel, ikut melihat dan terinvolve ke dalam drama Dodo. Sehingga outcome dari adegan tersebut terasa lebih menggetarkan. Tapi ada juga adegan yang dilakukan film ini kurang kuat dibandingkan film aslinya. Misalnya pada adegan balon udara di menjelang akhir. Aku lebih suka adegan pada film aslinya, karena lebih gelora aja melihat para napi membantu menghalangi para polisi mengejar balon udara. Untuk soal adegan courtroom drama, aku gak sepenuhnya mengerti peradilan di Indonesia bedanya apa dengan di Korea Selatan, tapi buatku sebagai sebuah tontonan drama, adegan-adegan di courtroom tersebut sudah berhasil menjalankan fungsinya.

 




Melihatnya secara cerita memang tidak banyak perbedaan. Bangunan dan narasinya sama. Dialog-dialognya juga mirip dengan versi aslinya. Aku masih ingat karena malam sebelum ke bioskop aku tonton ulang versi Koreanya. Tapi film ini berhasil memasukkan konteks yang sedikit lebih dalam, dengan mengembangkan backstory dan relasi karakter lebih jauh lagi. Yang diincar oleh remake Indonesia ini adalah tontonan yang lebih dramatis. dengan mengusung konteks yang lebih lokal,  tanpa kehilangan ruh aslinya, Dan semua itu berhasil dilakukan. Dengan gemilang dan sungguh emosional.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MIRACLE IN CELL NO.7

 

 




That’s all we have for now.

Apakah memasukkan orangtua ke dalam penjara berarti memisahkan orangtua dari anaknya? Apakah itu hal yang manusiawi, atau hanya jadi manusiawi kalo orangtuanya adalah orang kaya seperti kasus di televisi yang tengah marak?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KING RICHARD Review

“The odds will always favor the man with a plan”

 

 

 

Nominasi Oscar untuk tahun 2022 baru saja diumumkan. Dan seperti biasanya, ada aja yang diributin sama khalayak. Kenapa film anu yang masuk, kenapa film yang itu enggak masuk. Selalu ada kekecewaan. Tapi itu bagus, karena selama masih ada yang kecewa berarti subjektivitas menonton film itu masih ada. Kita belum menjadi robot yang seleranya samaaa semua. Subjektivitas itulah yang bikin film beragam, dan actually menciptakan persaingan yang memajukan perfilman. Dan soal subjektif; meskipun kalo ngereview film yang udah ditonton aku berusaha seobjektif mungkin, dalam hal memilih tontonan aku bisa jadi salah satu penonton paling bias sedunia. Banyak film yang gak mau kutonton hanya karena soal sepele seperti tweet sutradaranya, attitude aktornya, atau malah karena tingkah buzzernya. Nah, buatku, yang jadi permasalahan dari sepuluh film yang ada dalam daftar nominasi Best Picture adalah film King Richard. Kenapa? Karena aku simply gak suka ama Will Smith. Jadi aku males, aku gak mau nonton film-filmnya. Kecuali terpaksa. Dan dengan masuknya film ini di daftar nominasi, aku jadi terpaksa harus nonton. Harus ngereview. Dan, sebagai penilai yang harus seobjektif mungkin, kini aku terpaksa harus mengakui bahwa film ini memang layak masuk nominasi. Film biografi ini adalah drama yang menghibur, dan ya, penampilan akting Will Smith membuat karakter menjadi menarik dan asik untuk disimak, walau sedikit problematis.

Kira-kira seperti itulah yang juga kurasakan kepada Richard Williams. Aku gak suka karakter ini. Pria ini keras kepala, dia menuntut semua orang harus melakukan hal yang sesuai pertimbangan dan rencananya, tanpa mau menjelaskan atau berbagi pandangan soal rencana tersebut. Richard sudah punya rencana terhadap dua (dari lima) putrinya semenjak mereka masih kecil. Venus dan Serena ingin dia jadikan atlet tenis perempuan nomor satu di dunia. Menyadari tenis itu olahraga kulit putih, Richard tahu jalan bakal berliku bagi kedua putrinya. Tapi Richard ini sudah punya visi ke depan. Dia pun melatih, mendidik, hingga mengorbitkan putri-putrinya dengan caranya sendiri. Cara yang kadang tampak ekstrim. Hingga tak jarang Richard bentrok dengan pelatih yang sudah bersedia ngajarin mereka bermain secara profesional (tau-tau Richard bilang anak-anaknya gak bakal ikut turnamen kejuaraan!) dan bahkan bentrok dengan istrinya sendiri. 

Udah kayak orang India yang anaknya baru lahir udah ditetapkan harus jadi dokter

 

So yea, from certain point of view, Richard memang problematis. Film ini mengambil sudut pandang seorang patriarki, yang diperlihatkan bahwa berkat jasa-jasanya (termasuk kerasnya didikan dan keras kepala serta pilihan-pilihan anehnya) dunia dipertemukan sama dua atlet tenis perempuan paling hebat yang pernah ada. Like, kenapa bukan Venus atau Serena Williams aja yang diangkat. Kenapa bukan cerita perjuangan kedua atlet yang sudah dididik keras ini saja yang dijadikan sudut pandang utama. Karakter Richard Williams ini jika dimainkan oleh orang yang salah, jika ceritanya dikisahkan dengan cara yang salah, pastilah karakter dan film ini bakal dihujat. Namun dari menonton awalnya saja kita bisa tahu bahwa cerita ini berada dalam tangan-tangan yang tepat. Memang, belum lagi sebuah penceritaan yang sempurna. Tapi setidaknya King Richard mengangkat dengan respek, dan berhasil mencuri perhatian kita selama durasi dua jam setengah yang film ini minta.

Karakter yang gak aku suka, dimainkan oleh aktor yang gak aku suka, tapi nyatanya aku mulai merasakan sedikit simpati kepada perjuangan karakternya seiring cerita berjalan. Aku jadi ngerasa relate juga sama sikap Richard yang suka melakukan hal sesuai rencana. Kita pun mengerti pleadnya, mengerti kenapa dia sekeras dan sengotot itu mengarahkan hidup kedua putrinya yang masih kecil. King Richard memang bukan cerita kemenangan olahraga. Ini lebih kepada sebuah cerita tentang ‘kemenangan’ parenting dari orangtua, itupun jika parenting memang ada unsur kalah-menangnya. Richard, at least, berpikir begitu. Dia kalah jika anak-anaknya tidak mendapat hidup yang lebih baik. Karakter ini selain sebagai orang tua, diberikan layer personal. Richard sendiri adalah seorang, katakanlah, loser. “Ayah dihajar orang lagi!” seru anaknya kepada ibu, mengindikasikan ini bukan kali pertama ayah mereka babak belur. Naskah mengaitkan personal tersebut dengan akar, atau dari mana mereka berasal. Daerah tempat tinggal yang ‘keras’ dan penuh prasangka. Jadi film ini juga bicara tentang kesenjangan hidup terkait warna kulit atau ras.

Lapangan tenis yang bagus adalah yang keras supaya bola-bola hijau itu punya pantulan yang mantap. Begitulah analogi yang cocok untuk set up, latar, yang membentuk karakter-karakter yang menghidupi naskah film ini. Cerita berjalan terbaik ketika mengeksplorasi pribadi Richard. Ketika kita melihatnya sebagai orangtua yang mau melindungi anaknya. Sikapnya yang menarik putri-putrinya dari turnamen dan mau fokus ke pendidikan jadi bisa kita mengerti. Ketika jadi orangtua ini, Richard kelihatan punya flaw. Dia seringkali tampak susah melepaskan egonya, semacam dia mau jadi orangtua yang baik itu bukan seutuhnya demi anaknya, tapi demi dirinya sendiri. Yang bahkan dalam hal olahraga pun dia sebenarnya loser. Will Smith melakukan kerja maksimal dalam menghidupkan karakter ini. Menggunakan kepiawaiannya bermain di antara garis drama dan komedi, Smith membuat Richard tidak sampai menjadi annoying. Dia tetap tampak simpatik. Dan yang terutama, ya menghibur.

Manusia yang berencana, Tuhan yang menentukan. Pepatah itu tentu saja bukan nyuruh kita pasrah. Melainkan harus terus berusaha dengan hati ikhlas. Ikhlas bukan berarti pasrah. Karena ikhlas berarti tetap mengupayakan yang terbaik, meskipun pada akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Richard Williams pantas dijadikan panutan untuk hal ini. Dia memegang teguh apa yang ia percaya. Dia berjuang sekeras ia bisa. Dia memimpin keluarganya dengan mantap, tidak menunjukkan keraguan walau apapun kata orang.

 

Baru ketika membahas urusan olahraga tenis itulah, Richard terlihat menjengkelkan. Pilihan-pilihan konyolnya, atas nama stick to the plan, itu membuatnya jadi tampak selalu benar. Film tidak benar-benar membuat kita masuk kepada karakter ini soal rencana tersebut. Malah ada yang dia tampak ambigu, entah itu membual atau tidak. Seperti misalnya ketika seorang pelatih yang melihat video latihan Venus dan Serena hanya mau melatih Venus seorang. Richard tampak keberatan mendengar ini, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Kemudian Serena yang merasa left out, berlatih sendiri. Dan di bagian akhir film kita melihat ada adegan dialog antara Richard yang menenangkan Serena dengan menyebut dia memang merencanakan Serena untuk kehebatan yang lebih besar. Dan kita semua tahu seperti apa besarnya nama Serena Williams sekarang. Berkenaan dengan karir olahraga tersebut, Richard benar-benar seperti yang paling tahu. Semua orang seharusnya tidak meragukan dirinya. Dan ini jadi terlalu berlebihan. Membuat karakternya enggak lagi punya sisi dramatis yang membuat kita peduli seperti di bahasan keluarga tadi. I mean, bahkan ayah dalam Captain Fantastic (2016) saja tidak selalu dibuat ngambil keputusan yang benar perihal pendidikan anak-anaknya. Karakter ayah dalam film fiksi tersebut jadi terasa lebih real dibandingkan ayah di drama biografi ini.

Richard malah kayak lebih pinter daripada pelatih tenis beneran

 

Arahan film semakin gak konsisten. Antara drama orangtua atau ke kompetisi olahraga. King Richard ditutup seperti cerita olahraga; dengan satu big match. Mendadak cerita jadi tentang Venus melawan pesaing yang seperti pakai taktik curang. Venus yang udah bertahun-tahun absen dari pertandingan karena disuruh latihan dulu terus dan menikmati masa muda oleh ayahnya, harus membuktikan kemampuannya. Oleh karena sebagian besar waktu dihabiskan film untuk membuat keputusan ayah terhadap pelatihan anaknya itu benar, maka drama olahraga ini jadi gak kena. Kita gak merasakan intensitas dari Venus. Ataupun juga dari match itu sendiri (karena sutradara Reinaldo Marcus Green memang tidak benar-benar mempersiapkan diri dengan adegan olahraga tenis). Kamera lebih sering pindah ke reaksi Richard dan keluarga Venus yang menonton. Bahkan di saat dia seperti udah pasti mau menjadikan film ini berakhir dengan olahraga, Green tahu dia tidak bisa lepas dari karakter utamanya. Maka hasilnya tidak maksimal. Terasa datar. Bahkan dalam kekalahan, Richard tidak merasa kalah. Bola drama ada pada anaknya, tapi anaknya tidak pernah benar-benar digali sedari awal.

Momen-momen Richard dengan anaknya itulah yang kurang. Venus dan Serena Williams jadi totally pendukung, walaupun kondisi yang sebenarnya di dinamika mereka kan ayahnya yang mendukung anak. Film ini cukup lihai. Mereka memberikan momen kepada Venus untuk memutuskan sendiri hidupnya, sehingga tidak lagi kayak diatur terus. Tapi tetap saja pilihan tersebut sejalan dengan Richard. Tetep ayahnya ini benar. Karakter Richard Williams jadi benar-benar kayak ‘dilindungi’. Cerita ini bakal lebih hidup jika lebih banyak momen seperti istri Richard mengonfrontasinya, membuat Richard bergulat dengan dirinya sendiri di dalam hati. Interaksi emosional anaknya yang mulai punya hidup sendiri dengan Richard dan ‘rencana-rencananya’ perlu ditampilkan lebih banyak. Dan konfrontasi itu enggak mesti harus fisik. Ini satu lagi kekurangan dalam penceritaan. Film ini perlu lebih banyak menggambarkan hal-hal emosional yang tak-terucap, ketimbangkan mewujudkannya atau mengucapkan dengan langsung. Literally, film lebih memilih untuk membuat Richard kentut sebagai tanda enggak setuju sama tawaran investor.

 

 

Kalo dibalikin lagi ke perumpaan tenis, film ini ya benar-benar kayak high profile match. Punya hype dan orang excited dan no matter what bakal terhibur. Padahal sebenarnya penguasaan bolanya masih kurang. Film ini masih kurang yakin mau menceritakan ayahnya saja, atau juga mengangkat dua pemain tenis dunia. And it is really weird pada cerita keberhasilan dua atlet cewek yang merepresentasikan ras mereka, mereka tidak diberi banyak sorotan. Melainkan membuat parenting yang ortodoks dan patriarki sudut pandang utama, yang menjadi sumber keberhasilan, dan punya keputusan-keputusan yang ternyata selalu benar. Film ini menghibur, tapi aku bisa paham juga kalo nanti ada yang bilang film ini cuma jadi serve untuk membuat Will Smith bisa jadi smash hit di Oscar.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for KING RICHARD

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian seberapa besar jasa Richard untuk karir anak-anaknya? Bagaimana membedakan antara mendukung dengan mengatur di dalam parenting?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DON’T BREATHE 2 Review

“Don’t turn a blind eye to sin”

 

Benar-benar gak napas aku saat pertama kali denger kalo Don’t Breathe bakal dibuat sekuelnya. Ya, Don’t Breathe (2016) yang unik itu, yang ngasih twist seru pada genre thriller home-invasion. Iya, yang sepanjang durasi melempar-lempar simpati kita dari protagonisnya yang maling, ke bapak-tua-buta yang dimaling, dan kemudian menghempaskan simpati tersebut dengan revealing yang sekali lagi mengubah pandangan kita tentang mana yang orang baik dan orang jahat — iya, film seram yang itu!! Kayaknya film tersebut udah perfect dan gak perlu dibuatkan sekuelnya. Kalopun mau ada sekuel, cara paling gampang sebenarnya adalah membuat cerita yang completely gak nyambung sama film sebelumnya; yang karakternya berbeda total; mereka cuma perlu menciptakan situasi yang baru dari keadaan “Don’t breathe – jangan napas” itu sendiri. Tapi, produser Rodo Sayagues (bukan Kamuelos hihihi) justru melihat potensi dari karakter si Blind Man, sehingga langsung turun tangan menjadi penulis skenario serta sutradara untuk film lanjutannya ini. Lanjutan yang membahas lebih dalam, dan lebih dekat, siapa si Blind Man. Dan oh boy – aku masih belum narik napas lagi – karena di sini, Sayagues benar-benar menempatkan Blind Man sebagai protagonis. Pertanyaan besarnya tentu saja adalah bagaimana. 

Bagaimana membuat karakter yang telah terestablish sebagai orang yang telah melakukan perbuatan brutal dan tidak manusiawi kembali menjadi semacam hero yang mengundang simpati?

dontScreenshot_20210812-042725_YouTube-1-824273262-1628787297939
Yang jelas tidak dengan menyuruhnya “Goyang Dontbreath, Goyang Dontbreath~~”

 

Logisnya, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan cerita dengan tujuan seperti itu. Antara membuat ceritanya sebagai prekuel atau origin, atau mengembrace diri sebagai cerita anti-hero. Tahulah, seperti yang lumrah dilakukan oleh live-action Disney belakangan. Rodo Sayagues tidak melakukan salah satu di antara dua itu. Dia menyambung cerita ini delapan tahun setelah kejadian di film pertama. Dalam kurun tersebut, Blind Man memungut seorang bocah dari rumah yang kebakaran, dan membesarkan anak perempuan tersebut sebagai ganti anaknya sendiri. Kini, anak yang ia beri nama Phoenix itu sudah cukup gede untuk minta sekolah normal dan berinteraksi sosial. Blind Man di cerita ini dipersembahkan sebagai orang yang ‘insaf’ dari semua perbuatan mengerikan yang ia lakukan di masa lalu. Tapi dia tetap tahu betapa bahayanya di luar sana. Benar saja, Phoenix ternyata ‘diikuti’ oleh sekawanan orang jahat. Rumah Blind Man sekali lagi disatroni, Phoenix diculik, dan Blind Man harus menyelamatkan sebelum terlambat sementara juga bergulat dengan a right thing yang harus dilakukannya demi Phoenix.

Barulah aku menarik napas. Bukan dengan lega, melainkan dengan kecewa. Sayagues ternyata menyetir film ini ke arah yang paling generik. Keunikan film pertama adalah muatan ambigu moral pada setting home-invasion ruang tertutup, yang menitikberatkan pada aksi-aksi dengan presisi timing dan design suara yang menguarkan atmosfer seperti nyata. Film keduanya ini hanya seperti cerita penyelamatan dan/atau balas dendam yang biasa, dengan ayunan pendulum moral yang tidak terasa didapatkan dengan genuine. Di sini Blind Man didesain seperti memohon, banget-banget, simpati kita. Dia kini mengasuh anak. Dia menyayangi anjing. Dia peduli sama kenalan yang mati. Pandangannya terhadap Tuhan pun sudah berbeda dengan saat di film pertama. Dia yang dulu dengan dia yang sekarang sudah berbeda jauh, dan sayang sekali justru proses perubahannya itulah yang seharusnya jadi fokus film. Film harusnya berkubang mengeksplorasi bagaimana seorang pembunuh, penyekap orang, pemerkosa bisa menumbuhkan hati untuk merawat anak kecil. Itulah cerita manusia yang ingin kita lihat, yang ingin kita dengar. Blind Man harusnya dibuat earned title protagonis itu. Karena jika tidak, jika film hanya langsung membuat dia tiba-tiba kayak orang baik, menggunakan shortcut dengan menghadirkan karakter antagonis yang jahat sebagai lawannya (bagi film ini sesimpel tokoh yang ingin lindungi anak melawan tokoh yang ingin mencelakai anak), maka dengan kata lain film seperti meminta kita untuk membutakan mata dari siapa karakter protagonisnya tersebut. Apa bedanya sama kejadian di dunia nyata kita saat ada mantan predator ujug-ujug diangkat untuk tampil ngasih edukasi bahaya predator.

Dengan menjadikannya begitu, film juga malah mengkhianati konteks ceritanya sendiri. Journey Blind Man dalam film ini adalah soal dirinya tidak lagi menyembunyikan masa lalu. Untuk tidak lagi turn a blind eye terhadap apa yang sudah ia lakukan. Dia tidak bisa membesarkan Phoenix dalam lingkungan bahaya, dan kebohongan; bahwa dia bukan orang yang tepat untuk mengasuhnya. Tapi filmnya sendiri justru memanipulasi simpati kita, meminta kita melupakan yang ia lakukan. Supaya dia bisa tampak simpatik.

 

Oleh karenanya, sekuel ini justru paling baik jika kita menontonnya dengan tidak tahu cerita di film yang pertama. Which is berlawanan dengan poin keberadaan sebuah sekuel. Kenapa tidak sekalian saja membuat cerita baru tentang orang buta yang mati-matian menyelamatkan anak yang bukan anaknya. Blind Man ini dihadirkan lagi kan, mestinya karena film ingin mengembangkan – mengeksplorasi – karakternya. Tapi malah bagian paling penting, bagian developmentnya tidak ditangkap oleh kamera. Hasilnya, ya kita gak bisa benar-benar mendukungnya. Gak simpati, betapapun seringnya dia meringis kesakitan, menitikkan darah dan air mata.

Stephen Lang padahal bermain dengan maksimal. Dia berhasil menjajal tuntutan akting yang diberikan kepadanya. Mulai dari range emosi hingga ke tuntutan bermain fisik. Secara aksi, film cukup berhasil mengulang prestasi film pertamanya. Kita akan melihat sejumlah adegan-adegan yang memanfaatkan suara, bunyi-bunyi, dan cahaya, yang sanggup membuat kita menahan napas menanti ledakan aksinya. Tapi karena sekarang cakupan medannya lebih luas (film tidak berlama-lama di setting rumah karena hanya akan menimbulkan kesan meniru film yang pertama), aksi-aksi film ini tidak lagi terasa spesial. Walaupun karakter yang berlaga itu adalah orang buta. Hanya ada sekian banyak aksi berantem yang bisa diadegankan, sebelum akhirnya semua elemen dalam action itu terasa convenient. 

dont-breathe-2-trailer-2_62c558d4-45a3-4cb6-977c-0aa656d99e52
Berantem gitu doang sih Si Buta Dari Goa Hantu udah duluan kalee

 

 

Film ini masih berusaha memainkan pembalikan moral atau role karakter. Ada yang keliatan jahat, tapi ternyata dia tampaknya seperti baik. Ada yang kayak baik dan simpatik, tapi ternyata busuk. Malah sebenarnya ada satu karakter anak buah penjahat yang menarik. Si karakter ini diam-diam membelot dan membantu Blind Man. Tapi film tidak menggali ini. Dia hanya ada sampai di situ aja. Alih-alih karakter, dia malah jatohnya sebagai ‘kemudahan lain’ yang diset untuk membantu perjuangan Blind Man. Semua karakter dan moral mereka memang itu tidak pernah benar-benar jadi soal, karena film begitu pengen untuk mengecat Blind Man ini sebagai protagonis. Padahal sebenarnya bisa-bisa saja si Blind Man ini jadi protagonis tapi tetep dibuat jahat dan gak ngemis simpati kayak yang kita lihat di sini. Melihat cara film memperlakukan karakter Blind Man di sini, membuat aku jadi suudzon bahwa jangan-jangan si pembuat film enggak mengerti makna dari protagonis dan antagonis itu sendiri. Jangan-jangan mereka hanya menyederhanakan protagonis itu baik, dan antagonis itu jahat. Padahal protagonis itu ya karakter yang motivasinya kita dukung, meskipun bisa saja aksi-aksinya enggak tergolong ‘baik’. Dan antagonis ya karakter yang motivasinya bertentangan dengan protagonis. Nah, akibat dari pembalikan role yang tidak benar-benar earned dan berarti tersebut, alur cerita film ini jadi terasa ngada-ngada. Semua hanya terjadi karena ‘memang begitu ceritanya’. Tidak ada bobot di balik semua.

Sebenarnya masih ada satu cara logis lagi untuk mengembangkan cerita dengan bentuk seperti ini. Yaitu dengan menjadikan si anak, Phoenix, sebagai tokoh utama. Menjadikan cerita dari sudut pandang dirinya. Benar-benar bergerak lewat pilihan-pilihannya. Dengan begitu, kita akan bisa merasakan kebaikan Blind Man ataupun misterinya melalui apa yang dirasakan oleh Phoenix. Mirip-mirip seperti pada formula cerita anak sahabatan ama monster/hewan buas/atau apapun yang dianggap orang-orang berbahaya. Namun film ini juga tidak mau ke arah sana. Mereka lebih suka membuat Phoenix sebagai device. Hanya sebagai karakter yang perlu diselamatkan. Dengan sesekali diberikan aksi-aksi fisik dan pilihan-pilihan kecil. Karakter ini sangat underused, sampai-sampai relasinya dengan Blind Man juga tidak pernah benar-benar mencuat sebagai muatan dalam cerita.

 

 

 

Nulis review ini, aku baru bernapas lega. Karena kayaknya semua uneg-uneg sudah keluar. Film pertama Don’t Breathe adalah salah satu favoritku di tahun 2016. Berhasil menggeliat dalam premis yang sederhana sehingga hasilnya benar-benar tontonan seram yang bikin surprise. Film kedua ini sebaliknya, nontonnya tidak terasa apa-apa. Aku tidak bisa mendukung Blind Man, juga tidak bisa percaya bahwa dia vulnerable dan ada dalam masalah besar. Karena aku nonton film pertamanya. Mungkin, kalo gak nonton yang pertama, aku bisa lebih menikmati film ini. Aksinya cukup mendebarkan – bagian yang di dalam rumah tetap masih jadi highlight. Journey karakternya ada. Tapi itu semua pun tidak pernah keluar dari batasan generik. 
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DON’T BREATHE 2.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana menurut kalian seorang yang pernah berbuat kejahatan mengerikan dapat termaafkan? Pantaskah mereka dimaafkan?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

STILLWATER Review

“It is all about finding calm in the chaos”

 

Kata Stillwater dalam judul film terbarunya Matt Damon ini memang merujuk pada nama kota tempat karakter yang ia perankan tinggal. Namun, sebagai sebuah film, Stillwater ini juga persis sekali dengan air tenang yang menjadi lawan air beriak dalam peribahasa kita. Stillwater bukan film yang dangkal. Malahan, cerita tentang warga Amerika yang menjemput anaknya ke penjara Perancis ini ternyata lebih kaya akan konteks ketimbang cerita tentang anak Indonesia yang menjemput ibunya ke Amerika yang tayang di Netflix beberapa waktu yang lalu. Tom McCarthy menggarap dan menulis cerita drama thriller ini dengan menggali muatan seperti stereotipe turunan dari politik di Amerika, komunitas imigran di Perancis, hingga ke pandangan hidup menurut Islam. Pilihan yang McCarthy ambil untuk mengakhiri (atau tidak mengakhiri?) cerita, serta kontroversi yang mewarnai eksistensi film yang katanya loosely berdasarkan kemalangan yang benar-benar pernah terjadi ini, turut menambah seru dan menariknya film ini untuk dibahas. For better and worse.

Sebenarnya film ini bekerja paling baik sebagai sebuah studi karakter. Momen-momen paling ngena yang ada pada film ini hadir lewat interaksi karakter, keputusan dan gejolak konflik inner karakter. Tapi selapis genre thriller yang diselimutkan sutradara di atas permasalahan jiwa manusia berhasil menambah daya tarik yang dimiliki oleh keseluruhan cerita. Matt Damon di sini berperan sebagai Bill. Seorang pria red-neck Oklahom, konservatif, pendukung Trump. Di awal cerita kita melihat dia terbang ke Marseille, Perancis untuk menjenguk putrinya. Di penjara. Allison sang putri, diperankan oleh Abigail Breslin (udah gede aja – fix aku tua!!) tertuduh sebagai pelaku kasus pembunuhan kekasihnya sendiri, seorang perempuan muda asal Arab. Hook yang membuat cerita ini bakal berbelok menarik adalah Allison punya petunjuk tentang pelaku yang sebenarnya, sehingga kini Bill – meskipun dilarang ikut campur oleh Allison sendiri – berjuang di negara orang, di negara yang menganggap dirinya radikal, untuk mencari keadilan bagi semata wayangnya.

stillwaterf468-11eb-9b7f-287e8ddca3c1
Kemudian si Bill bertemu dan tinggal bersama ratu-ratu quee.. eh?

 

Ya, saat nonton ini aku otomatis teringat – dan kemudian malah lanjut membandingkannya – dengan film indonesia Ali & Ratu Ratu Queens (2021) Karena kalo dilepas dari bagian thriller mencari petunjuk ke orang yang dicurigai sebagai tersangka yang asli, Bill dalam Stillwater menapaki jalan yang serupa dengan Ali. Bill juga nanti akan menumbuhkan hubungan yang dekat dengan karakter-karakter yang ada di kota Marseille, mereka akan jadi keluarga. Bill juga harus menyelesaikan persoalan personalnya dengan Allison – dengan putrinya – karena mereka telah grow apart seperti Ali yang juga harus mengenali kembali ibunya sebagai seorang person.

Perbedaan yang kerasa jelas saat aku membandingkan kemiripan komponen penggerak kedua film ini adalah soal muatan dan pembahasan konteks yang mendasari masing-masing. Dan aku menemukan Stillwater jauh lebih kaya. Karakternya terasa lebih hidup karena benar-benar diwarna oleh konteks dan muatan tersebut. Tipe cerita Ali dan Bill sama-sama tipe fish-out-of-water; maksudnya, cerita di mana karakternya masuk ke dunia yang berbeda dengan yang selama ini ia kenal. Ali anak Indonesia, di keluarga yang cukup ‘disiplin’ dalam beragama, masuk ke Amerika yang lebih ‘open minded’, dengan segala perbedaan kultural yang harusnya ia jumpai. Bill, berasal dari daerah yang sama konservatifnya, baik dalam hal ras maupun agama, masuk ke Perancis yang lebih beragam. Elemen fish-out-of-water Bill lebih terasa ketimbang pada Ali, karena Bill memang ditulis kaya oleh identitas. Ali dalam Ali & Ratu Ratu Queens dibuat kayak kertas kosong. Dia tidak punya hobi, tidak punya sesuatu yang ia ‘pegang’ atau percaya. Ali didesain untuk meresapi hal yang ia lihat selama ‘petualangannya’ di Amerika. Bahkan soal agama yang mestinya karakternya bawa sebagai pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya yang dulu, tidak kita lihat lagi sepanjang sisa durasi. Berbeda sekali dengan Bill.

Dari berpakaiannya saja, Bill sudah menunjukkan karakter. Kemeja/flanel, rapi-masuk-ke-celana panjang, pakai topi like a proud American, menjawab setiap pertanyaan (dan ajakan) dengan “Yes, m’am!” yang mantap dan lantang, dan tidak lupa mengucapkan grace atau doa setiap kali mau makan. Karakter stereotipe redneck itu menguar dalam keseharian Bill, yang tentu saja bukan untuk lucu-lucuan, melainkan untuk dibenturkan dengan keadaan masyarakat dan kebiasaan di Perancis. Matt Damon pun tidak pernah memainkan karakter ini dengan sekenanya. Dia benar-benar menjelma menjadi this man. Pertumbuhan, penyesuaian, penyerapan, terceritakan dengan bertahap. Menandai setiap poin-poin development karakter Bill itu seiring durasi berjalan. Di sinilah Stillwater terasa hidup dan sangat kaya. Ketika Bill tinggal serumah dengan Virginie dan gadis ciliknya, Maya, kita melihat bagaimana kedua belah pihak saling berusaha membantu dan memahami. Kita lihat interaksi yang hangat tumbuh, lebih dari sekadar lucu-lucuan. Bill dan Virginie bersama mencari pelaku meskipun mereka punya perbedaan pandangan mengenai memandang apa itu teroris, atau tentang kepemilikian senjata api, misalnya. Interaksi Bill dengan Maya mengandung paling banyak hati (dan bawang!), film dengan efektif menjalin hubungan lewat sesimpel komunikasi antara dua bahasa yang berbeda, yang menyiratkan bentuk paling pure dari bonding antara dua bangsa yang berbeda. Penonton yang mencari muatan feminis pun akan dapat cukup banyak teks dari kondisi Virginie yang membesarkan Maya seorang diri.  

Ngomong-ngomong soal anak, putri Bill dengan cepat dijadikan tersangka karena betapa seksinya judul berita remaja Amerika membunuh remaja muslim – yang merupakan pasangan lesbiannya – bagi khalayak Eropa. Itulah yang dijadikan landasan atau subteks pada elemen thriller atau pemecahan kasus pada film ini. Meskipun memang tidak membahas ke pusat permasalahan prejudice atau semacamnya, tapi landasan tersebut sudah bekerja pada tempatnya di dalam bangunan narasi journeynya si Bill. Baginya, semua itu adalah chaos. Tidak masalah lagi seperti apa pandangannya, yang ia tahu kini dia adalah seorang Amerika yang tengah memburu remaja arab – yang bahkan masih jadi misteri apakah remaja ini beneran ada atau tidak – di daerah yang aware terhadap posisi Amerika terhadap isu kebangsaan tersebut. Dan ini juga personal karena menyangkut putrinya. Film melangkah dengan careful dan confident, membuat thriller berdasarkan drama tersebut tetap dalam kondisi yang tidak menjadikannya cerita yang memihak ataupun menjadi sesuatu yang over. Bill is the agent of chaos himself. Dia punya masalah dalam menahan emosi, dan ini membuatnya menjadi unreliable. Yang menjadi akar kekurangharmonisannya dengan Allison in the first place. Hubungan Bill dengan Allison memang tidak mendapat banyak porsi, dan itu karena cerita memilih fokus kepada perjuangan Bill – yang penuh chaos luar dalam – untuk menemukan kedamaian yang sebenar-benarnya.

Damai bukan berarti ada pada tempat yang ideal tanpa gangguan, tanpa perjuangan, yang semuanya tercapai. Melainkan justru damai adalah ketika kita bisa berada di tengah-tengah semua masalah, dengan hati tetap tenang.

 

To my suprise, film ini mengangkat referensi dari Islam tentang apa itu kedamaian yang hakiki. Aku gak dapat sama sekali lagi konteks keislaman saat nonton film Ali & Ratu Ratu Queens, padahal film tersebut lebih dekat dan punya akar yang lebih kuat ke arah sana. Konteks itu justru hadir di film luar. Stillwater tidak mengatakan itu hal yang tepat atau tidak bagi Bill, film tidak mengatakan apakah penerapan yang Bill lakukan terhadap itu benar atau salah, tapi dia menghadirkannya untuk memperkaya narasi cerita. And it works. Nonton film ini padet, terasa humanis. Dan yang lebih penting adalah, film ini tampil lebih berani.

stillwater9d6aa5028e047c326f299d9
Saking beraninya, jadi membawa kontroversi

 

Untuk kebutuhan menegaskan bahwa hidup memang brutal, film memilih untuk menyelesaikan masalah dengan amat sangat tega bagi kita. Ini jadi semacam pertaruhan sebenarnya, karena penonton yang sudah terinvest sama misteri ‘siapa pelaku’ akan mengharapkan penjelasan yang memuaskan. Penonton yang sudah terinvest dengan drama found-family, akan mengharapkan konklusi yang menghangatkan. Stillwater memilih untuk benar-benar still, tidak mengaduk lagi. Tidak lagi membuat elemen-elemen itu beriak. Film merampas kita dari sana, sebagaimana Bill dirampas dari kehidupan barunya. Film seperti meminta kita untuk mencari kedamaian sendiri dari cerita mereka. Cerita yang mereka biarkan selesai dengan hiruk pikuk. Dengan masalah yang tidak benar-benar tuntas. Supaya gak spoiler, aku akan mengungkapkannya dengan, susah sekali untuk kita menentukan apakah ending film ini good ending atau bad ending. Maybe, it is just.. brutal.

Tapi tampaknya yang paling merasa dibrutality sama film ini adalah perempuan bernama Amanda Knox. Ini sudah di luar penilaian film, aku bicarain ini untuk perbandingan saja. Dan ngasih sedikit pendapat ke permasalahannya. Jadi kontroversi film ini adalah, Stillwater ternyata tersandung masalah yang sama dengan serial Sianida baru-baru ini. Sama-sama based on kasus di dunia nyata, tapi tidak benar-benar tentang kejadian seputar aktual kasus tersebut. Hanya kejadian kasusnya yang mirip. Sianida mengangkat kasus kopi sianida, dan Stillwater mengangkat tentang Amanda Knox yang beneran dipenjara karena dituduh membunuh persis seperti pada cerita film. Nah, keduanya sama-sama diprotes sama pihak-pihak kasus in real life tersebut – karena tidak mencerminkan kejadian yang sebenarnya sehingga dituduh hanya cash-in dari tragedi orang. Dan keduanya sama-sama ngeles bahwa they did nothing wrong sebab sudah ada disclaimer bahwa ini fiksi, yang terinspirasi saja. Menurutku, ya, enggak salah sih. Kita bisa ngambil ide cerita darimana saja. Aku sendiri, film pendek pertamaku ceritanya berasal dari kisah dua hts-an temanku di SMA. Aku juga gak bilang-bilang mereka saat bikin, dan saat sudah jadi, mereka nonton dan ya, mereka mengenali itu mirip sama mereka, tapi juga gak marah karena tau itu fiksi. Dan tidak ‘dijual’ – tidak digembar-gemborkan sebagai sesuatu yang dari kisah nyata. Jadi ya menurutku, bikin film bebas dari mana aja, tapi kalo si film malah ngejual sebagai cerita terinspirasi, dengan materi promo yang langsung mengacu ke kasus nyata, maka ketika orang aslinya marah, ya itu sudah jadi salah filmnya. 

 

 

 

Oke, jadi untuk menyimpulkan, film ini memang berani. Dibandingkan dengan film Ali yang memilih untuk tidak membahas, maka tidak menampilkan, film karya McCarthy ini kaya oleh banyak konteks dan subteks cerita. Sehingga menontonnya terasa lebih padat. Jika kita membayangkan film ini sebagai sebuah kertas, maka ia adalah kertas yang penuh tulisan. Tidak satupun yang luput dari pemberian konteks. Bahkan pekerjaan Bill dan Virginie juga turut menyumbang ke dalam pembangunan drama yang jadi tubuh dan sesuai dengan galian cerita. Film ini juga hidup berkat penampilan akting yang tampak natural dan nyata. Penceritaannya juga balance antara drama dan thriller dengan sedikit action. Keberanian film berujung pada mengakhiri cerita dengan brutal. Ini adalah pilihan kreatif yang beresiko, karena aku bisa melihat film ini bisa saja jadi runtuh di mata penonton yang tidak menyetujui pilihan penyelesaian (atau pilihan tidak menyelesaikannya). Buatku? Well…
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STILLWATER.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini, yang juga sama dengan serial Sianida? Di mana menurut kalian batasan antara terinspirasi itu seharusnya?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE MITCHELLS VS. THE MACHINES Review

“A father must lead his children; but first he must learn to follow.”

 

Cita-cita setiap remaja di seluruh dunia sebenarnya sama; pengen orangtua mendukung cita-cita mereka. Entah itu mau jadi pemusik, atlet, seniman. Pembuat film. Konten Kreator. Atau bahkan Youtuber. Buat kalian yang menyipitkan mata mendengar konten kreator sebagai cita-cita? See, inilah yang exactly dibahas oleh film The Mitchells vs. The Machines. Orangtua, sebagian besar, tidak mengerti pentingnya ‘cita-cita’ tersebut bagi anak mereka. Atau bahkan gak ngerti gimana ‘cita-cita’ tersebut termasuk sebagai kerjaan-asli. Animasi keluarga garapan Michael Rianda dan Jeff Rowe ini mengeksplorasi langsung ke inti permasalahan tersebut, yakni generation gap. Jurang antara anak dengan orangtua, yang terbentuk salah satunya oleh perkembangan teknologi. Rianda dan Rowe menceritakan persoalan itu lewat potret keluarga Mitchell yang aneh dan kocak. Dengan efektif ngeset tone dan menciptakan desain (cerita dan visual) sehingga cerita yang mereka angkat ini tidak pernah terasa seperti nasehat yang menggurui, melainkan literally sebuah perjalanan yang fun, seru, dan penuh warna. Petualangan yang relate sekali dengan identitas, dan juga selera remaja kekinian, beserta keluarganya sekalian!

Katie Mitchell udah gak sabar masuk kuliah. Bukan saja karena dia bakal bisa terus mengasah kemampuan membuat-filmnya, tapi juga karena akhirnya dia bakal berada di lingkungan yang benar-benar mengapreasiasi bakat dan hobinya tersebut. Di rumah, yang mau nonton film-film konyol buatannya cuma adik dan ibu. Sementara ayahnya, cuek. Gak ngerti ama film Katie. Khawatir, malah, sama pilihan Katie. Padahal dulu Katie ama ayahnya deket banget. Kini mereka seperti ada jarak. Gak nyambung, apalagi kalo udah ngomongin film dan tetek bengek teknologi. Makanya, untuk menghabiskan waktu bersama-sama lagi, Ayah memutuskan untuk mengantar Katie ke kampus. Naik mobil sekeluarga. Namun, saat keluarga Mitchell itu lagi seru-serunya bonding on the road, dunia diambil alih oleh A.I. di smartphone yang dendam sama perlakuan manusia terhadap teknologi. A.I. itu memerintahkan pasukan robot untuk menangkapi semua orang. Sampai hanya keluarga Mitchell-lah yang tersisa untuk menyelamatkan dunia.

mitchellscon_cld110.1170_lm_v1-1280
Tanyalah ke hatimu yang paling dalam, maukah kalian mempercayakan dunia kepada mereka?

 

Memang sih, cerita tentang hubungan anak dan orangtua yang merenggang, kemudian mereka berusaha untuk saling dekat kembali ini udah sering kita temukan bersemayam dalam film-film, apalagi untuk keluarga. Yang bikin The Mitchells vs. the Machines adalah karakterisasi yang mencerminkan gaya komedinya itu sendiri. Film ini punya selera humor yang quirky abis. Dan itu tercermin ke dalam pembentukan karakter-karakternya.

Karakter-karakter cerita itulah yang ultimately menjadi kekuatan film ini. Membuat kita gak capek dan terus mau peduli sama rintangan-rintangan yang mereka hadapi. Entah itu rintangan dari dalam, ataupun dari robot-robot. Katie (Abbi Jacobson menghidupkan karakter remaja awkward ini dengan penuh konfiden sehingga gak klise) adalah remaja cewek yang sangat kreatif, hobinya bikin video – actually video seriesnya di Youtube sukses menjadi viral – menggunakan properti bikinan sendiri seperti sarung tangan dan boneka dan sebagainya. Katie menjadikan anjing keluarga mereka, si Monchi, sebagai bintang. Si Monchi itu sendiri gak kalah unik. Dia anjing jenis pug yang matanya kaga sinkron, penampilan konyolnya ini nanti jadi running gag dan malah jadi salah satu kunci keberhasilan mereka mengalahkan pasukan robot. Ayah Katie, Rick (Danny McBride berhasil menjadi seorang ayah yang seimbang antara kocak dengan menyentuh) bener-bener seseorang yang gaptek, tapi dia bukan tipe boomer yang sok bener. Melainkan seorang ayah yang baik, yang mau berjuang demi keluarga yang ia sayangi, meskipun seringkali dengan caranya sendiri. Rick adalah satu-satunya ayah yang kutahu menghadiahi obeng kepada semua anggota keluarganya haha…  Rick berjuang menggunakan komputer dan teknologi juga jadi running gag yang gak pernah bosenin. Ibu dan adik Katie jatohnya lebih seperti karakter pendukung yang lebih minor. Tapi mereka juga punya keunikan, dan masalah, tersendiri. Ibu Katie pengen keluarga mereka tampil perfecto seperti tetangga sebelah. Dan si adik punya ‘penyakit’ nerd akut sama yang namanya dinosaurus. Mereka berperan besar membuat cerita terus bergulir dengan cara fun dan di-luar-perkiraan.

Namun sebenarnya yang membuat film ini terasa sangat unik, seperti film spesial sendiri, adalah lapisan yang membungkus drama keluarga yang harus belajar saling mengerti tersebut. Lapisan soal bagaimana manusia sudah menjadi begitu bergantung kepada teknologi. Kepada handphone. Kepada internet. Adegan paling ngakak buatku adalah ketika A.I. smartphone yang jadi antagonis (bayangkan Siri atau Alexa yang jadi jahat dan bergerak sendiri) mematikan wi-fi dan seluruh dunia langsung geger. Reaksi para manusia yang tiba-tiba terdiskonek dari internet yang udah jadi gaya hidup sehari-hari digambarkan dengan sangat kocak. Para manusia itu dengan mudah ditangkapi karena terjebak oleh tanda ‘wifi gratis’ hihihi.

Hebatnya, film ini menampilkan elemen cerita tersebut dengan berimbang. Para robot dan teknologi tidak ditampilkan semena-mena jahat. Film ini tidak berniat untuk memaksakan bahwa teknologi itu jahat, telah memisahkan orangtua dan anak, dan betapa manusia akan hidup lebih baik tanpanya. Tidak. Melainkan, film memperlihatkan dari dua sisi. Hidup dengan teknologi juga dipersembahkan sebagai hal positif dan unggul. Bukan salah teknologinya. Salah kita yang kurang bijak memanfaatkannya. Permasalah gap yang bikin renggang Katie dan ayahnya kan juga ditulis paralel dengan ini. Ayah Katie tidak pernah sekalipun menyalahkan teknologi. Malahan dia berusaha untuk mengenali teknologi. Berusaha menonton apa yang Katie bikin, dan berusaha mengerti apa arti kreasi tersebut bagi hidup putrinya.

Menjadi ayah yang baik ternyata sama dengan menjadi pengguna teknologi yang baik, Harus mau dan bisa belajar mengikuti. Sembari paham bahwa dirinya lah yang memegang kendali. Kita tidak boleh membiarkan diri terlena dalam menggunakan teknologi. Begitu juga ayah kepada anak-anaknya. Anak-anak itu berkembang. Ayah harus bisa untuk mengikuti perkembangan tersebut, aware sama masa depan anaknya. Itulah sebabnya kenapa ayah juga harus kuat. Karena ia harus melakukan semua itu sambil terus mengingat masa kecil anak-anaknya.

 

mitchells-vs-the-machines-monchi-1618568457
Kalo lagi puasa memang anjing ini diliat-liat mirip roti sih haha

 

Karakter unik, elemen cerita berlapis, dua hal tersebut menjadikan film ini keren dan kocak banget. Tapi, bahkan di samping itu semua, ada satu lagi yang istimewa. Hal yang jadi kekuatan utama film ini. Fondasi yang menjadi nyawa bagi film ini. Visualnya. Serius, ketika kita bicara tentang film animasi, hal pertama yang menjadi perhatian kita; hal pertama yang membedakan film tersebut dengan film lain adalah tampilan. Gaya gambar. Desain dan kreasi. Film ini juara. The Mitchells vs. the Machine diproduksi oleh Phil Lord dan Christopher Mille, yang sebelum ini memproduksi animasi Spider-Man: Into the Spiderverse (2018), animasi yang memorable lewat gaya visualnya (menang Oscar animasi terbaik!!). Pengaruh kreatif film tersebut lantas diturunkan ke The Mitchells vs. the Machines ini. Kelembutan animasi komputer dipadukan dengan shade-shade kayak buatan tangan, membuatnya gambar-gambar itu bukan saja menjadi semakin mulus dan hidup, tapi juga sekaligus pop up di layar.

Jika pada film Spiderverse itu animasinya menggunakan gaya ala komik dan grafiti alias seni jalanan, maka di film kali ini visual yang digunakan, dibuat dengan referensi kultur internet. Filter sosial media, Youtube, dan sebagainya. Membuat film ini semakin dekat dengan remaja yang ingin mereka representasikan. Leluconnya diinkorporasikan ke dalam bentuk visual, ke dalam gaya yang membuat film ini seperti dibuat oleh remaja seperti Katie yang sedang main sosial media. Dan itu memang jadi nilai plus yang dilakukan oleh film ini. Memang ada dua jenis gaya animasi yang dilakukan. Pertama, animasi dunia-nyata Katie. Dan kedua, animasi ketika film harus menampilkan video atau film viral kreasi Katie. Kedua gaya ini punya pembeda masing-masing. Namun seiring berjalannya cerita, ada masa ketika keduanya bercampur, dan film berhasil menghandlenya dengan seimbang.

Gaya dan lelucon yang katakanlah ‘kekinian’ itu kadang memang bisa terasa sedikit terlalu berlebihan. Ada resiko bakal membuat film ini kehilangan bobotnya. Film Pixar, sebagai perbandingan, menangani cerita seperti begini biasanya dengan memasukkan momen-momen slow. Untuk membiarkan kita mengambil napas dan mengapresiasi pesan cerita dengan lebih khusyuk. The Mitchells vs. the Machines enggak punya momen seperti demikian. Pacingnya superkencang. Membawa kita melaju melihat drama, filter, dan lelucon-lelucon lain. Tapi juga, tidak sekalipun film ini terasa kehilangan bobot. Seluruh desain tersebut (pacing dan visual dan lelucon) dilakukan sesuai dengan konteks yang sudah diniatkan. Untuk menimbulkan kesan yang hingar bingar. Dan film ini perlu kesan tersebut mengingat elemen ceritanya saja suda sedemikian ‘tabrakan’; hubungan ayah-anak dan ketergantung teknologi itu udah kayak dua cerita berbeda, belum lagi elemen road-trip dan petualangan pertempuran. Film ini sudah punya bobot emosional di dalam cerita. Dia hanya butuh perekat. Dan gaya desainnya itulah yang merekatkan. Kekinian dan segala macam itu tak lagi jadi supaya relate saja (dan nanti akan kemakan usia), tapi sudah menajdi seperti karakter tersendiri.

 

Film ini sebenarnya bisa saja mencukupkan dirinya menjadi animasi hura-hura yang bermain dalam budaya internet kekinian. Umur film ini bisa saja jadi sangat singkat. Bakalan outdated seiring munculnya budaya/tren baru. Tapi cerita yang dikandungnya ternyata terlalu penting dan terlalu beresonansi. Baik untuk remaja sekarang, maupun remaja jaman dulu (alias yang udah jadi orangtua). Kalo ada jembatan yang menghubungkan antargenerasi, maka film ini adalah bagian dari jembatan tersebut. Kocak, pintar, self-aware, dan menyentuh emosi dalam gayanya yang quirky. Desainnya lah yang jadi kekuatan utama. Menjadikan film ini tidak hanya sekadar rentetan referensi demi referensi internet. Melainkan jadi karakter tersendiri. Ini adalah tontonan spesial, yang tentu saja layak disaksikan bersama orang-orang terspesial di hidup kita. Keluarga.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE MITCHELLS VS. THE MACHINES.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah benar teknologi membuat hubungan di dalam keluarga menjadi renggang?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE FATHER Review

“Why not try to enter their reality?”
 

 
Nominasi yang bakal bertanding memperebutkan Best Picture Academy Awards 2021 telah diumumkan. Dari delapan film tersebut, sebagian besarnya memang powerhouse, yang difavoritkan banyak penonton – kritikus atau bukan. Orang-orang akan menjagokan Nomadland dan Sound of Metal karena kemegahan teknis dan arahannya. Minari karena kehangatan dan karakternya. Promising Young Woman karena keberanian dan keedgyan gagasannya. Mank for the love of Cinema. The Trial of the Chicago 7 beserta Judas and the Black Messiah yang bicara seputar isu penting kemanusiaan. Tidak banyak yang sampai ke telingaku, berbicara soal The Father. Drama relasi ayah dan anak yang disadur oleh sutradara Florian Zeller dari naskah teater garapannya sendiri ini seperti sedikit terlupakan. Padahal, setelah kutonton, film ini ternyata memberikan kita pengalaman yang sekiranya sulit terlupakan. Dan ini ‘lucu’, mengingat filmnya sendiri bicara tentang orang yang perlahan (tapi pasti) kehilangan ingatannya.
To be honest, aku pun sendirinya berpikir ini bakal jadi tontonan yang cukup boring. Sudah kebayang film ini akan berisi percakapan antara ayah dan anaknya. Dan tentu saja, film ini memang berisi dialog demi dialog antara ayah yang berusaha memahami keadaan anaknya sekaligus juga tentang anak yang mencoba melanjutkan hidup sementara orangtuanya tersebut dalam keadaan yang tidak segampang itu untuk ditinggalkan. Kondisi ayahnya itulah yang membuat film ini tidak pernah menjadi semembosankan apa yang ku bayangkan. The Father adalah drama hubungan ayah dengan anak, sementara sang ayah ini mengidap Alzheimer. Dementia mulai menggerogotinya. Sehingga setiap kali percakapan mereka tampil di layar, selalu ada something interesting (dan mengkhawatirkan) yang terjadi di baliknya.

Mengalami langsung bingungnya dementia.

 
Banyak film yang membahas tentang dementia yang dialami oleh pengidap Alzheimer. Tahun lalu misalnya, ada Relic. Lalu belum lama ini, ada film horor Indonesia yang memejeng (iya memejeng doang!) karakter dementia yakni Affliction. kebanyakan film yang membahas tentang kengerian dementia memang membahas dari ketakutan dari menghadapi penderita dementia itu sendiri. Dealing with them dapat menjadi pengalaman yang mengerikan, terutama karena kita tahu penderita gak bakal bisa disembuhkan. Kenyataan bahwa mereka kian hari semakin melupakan kita itulah yang biasanya disimbolkan menjadi cerita horor atau jadi kaitan drama yang merenyuhkan hati. Di sinilah letak keunikan dari The Father. Film ini mengambil langkah yang ekstra dengan menempatkan kita langsung pada sudut pandang si penderita dementia.
Sebagian besar durasi, kita akan mengalami kebingungan itu bersama Anthony. Pria tua ini, diceritakan, menolak untuk dibantu. Setiap kali putrinya mendatangkan juru-rawat, Anthony selalu ngejutekin. Anthony gak suka dianggap tak berdaya. Terutama, dia curiga kalo mereka-mereka itu datang untuk mencuri jam tangannya. Padahal Anthony-lah yang selalu lupa menaruh jam tersebut di mana. Seiring film berjalan, semakin banyak hal yang membuat Anthony mengerutkan kening. Percakapan dia dengan putrinya, Anne, selalu berubah-ubah. Anthony yakin putrinya itu ingin ke Perancis, dan bahwa putrinya belum menikah. Tapi kenapa sering juga ada pria lain muncul di rumahnya. Mengaku sebagai suami Anne. Dan Anne bilang dia tidak pernah mau ke Perancis. DAN, ngomong-ngomong soal Anne, kenapa pula wajah putrinya ini berubah-ubah. Anthony tak abis pikir. Rumahnya ternyata bisa jadi bukan rumahnya. Pagi ternyata malam. Kenyataan mulai terpecah-pecah di dalam kepala Anthony, sampai dia sadar dia tidak mampu lagi menyatukan semuanya.

Yang paling mengerikan dari dementia adalah kenyataan bahwa penyakit itu tidak bisa dihentikan. Usaha menyembuhkan penderita dengan membawa mereka kembali mengingat realita adalah usaha yang sulit dan dibilang mustahil. Florian Zeller tampaknya mengerti akan hal tersebut. Makanya, film The Father ini dia susun sebagai pengalaman menonton yang menempatkan kita ke dalam benak atau realita yang dialami oleh si penderita. Itu dilakukan karena mungkin, itulah cara yang paling dekat dengan usaha menyembuhkan penderita dementia.

Nonton ini tuh kita seperti ikutan ‘sinting’. Untuk memberikan kesan confusing yang dialami oleh Anthony, sutradara benar-benar detil membangun set dan menggunakan latar. Kemudian menyempurnakannya dengan editing. Ngedip dikit, dan kita akan ikutan bengong melihat kenapa kantong plastik belanjaan itu berubah warna dari putih ke biru. Perubahan-perubahan kecil seperti demikian itu kerap terjadi di layar. Isi ruangan tempat tidur yang berpindah susunan. Keramik wastafel dapur yang berganti. Dan tentu saja, orang-orang yang muncul di sekitar Anthony. Semuanya kerap berubah. Anne yang di adegan sebelumnya, berwajah berbeda dengan Anne yang ternyata baru pulang dan muncul di pintu depan. Keganjilan-keganjilan ini semakin intens seiring durasi. Bagian favoritku adalah adegan makan malam yang percakapan mereka tampak ngeloop. Anthony datang, menguping Anne dengan suami mendebatkan soal mengirim dirinya ke institusi, kemudian mereka makan ayam, kemudian Anthony ke dapur ngambil ayam lagi, dan kemudian dia menguping Anne dan suaminya kembali. It’s weird, dan terutama menyeramkan karena kita juga berusaha merasionalkan yang terjadi – persis seperti yang dirasakan oleh Anthony.
Treatment begitu mengingatkan kita pada I’m Thinking of Ending Things (2020); thriller melankolis yang juga bermain dengan memori, yang terwujudkan oleh karakter dan objek yang berubah-ubah. Bedanya, The Father tidak menggunakan treatment tersebut untuk menghasilkan suasana sureal. Melainkan justru menguatkan feeling kebingungan yang grounded. Film ini berhasil membawa kita mengalami yang dirasakan Anthony. Mengalami bagaimana dementia itu bekerja, dengan mendekati asli. Karena memang, satu-satunya alasan kenapa film-film yang mengusung Alzheimer dan dementia lebih banyak mengeksplorasi dari sudut keluarga atau dari pengasuh terdampak, adalah sulit merepresentasikan dementia yang sebenar-benarnya itu seperti apa. Sulit untuk mendapatkan perspektif yang total akurat. Tentunya kita tidak bisa menanyakan kepada penderita. Sehingga, yang bisa dilakukan hanyalah dengan menginterpretasi. The Father really did a great job dalam interpretasi tersebut. Treatmentnya tadi sanggup mewakili perasaan bingung dan sensasi kehilangan sense of realita diri sendiri. Dan tentunya, treatment tersebut hanya bersifat sebagai pendukung. Apa yang didukung? tentu saja adalah karakter. Dan The Father punya karakter yang ditulis dengan sama detilnya.
Dari segi alur memang tidak banyak yang terjadi pada film ini. Percakapannya pun cenderung diulang-ulang, tapi tetap menarik karena situasi dan pelakon yang berubah-ubah. Kekuatan film ini ada pada bangunan karakter. Anthony dan Anne punya banyak lapisan masalah. Inilah yang terus digali dan dijabarkan dengan hati-hati oleh film. Lapisan permasalah itulah yang bakal mendorong kita untuk peduli kepada mereka. Hubungan mereka berdua diwarnai oleh masalah mulai dari Anthony yang tampaknya lebih sayang kepada adik Anne, dan lalu adik tersebut meninggal, yang kemudian jadi berkembang hingga ke rumah yang ditempati sekarang apakah punya Anthony atau punya Anne. Anthony sendiri bukan orang yang gampang untuk diajak berdialog, bahkan sepertinya sebelum dia dementia dia sudah ‘sulit’ berurusan ama orang seperti begitu. Dalam artian, Anthony adalah orang yang ‘punya caranya sendiri’. Begitu kata Anne yang berusaha memaklumi sifat ayahnya. Memainkan karakter sekompleks Anthony itulah saat bagi Anthony Hopkins menunjukkan kemampuan aktingnya (yang ternyata masih tajam!) Menjelang akhir, Anthony semakin tidak bisa menempatkan apa yang sedang terjadi. “I don’t know what’s happening anymore” katanya, tapi ia mengucapkannya tetap dengan nada menguatkan diri. Sudah bukan rahasia kalo Hopkins adalah aktor yang piawai, tapi tetap saja aku pribadi salut karena di sini tentulah perannya terasa really close to home for him. Kevulnerablean yang ditampilkannya di sini mungkin adalah cerminan dari bagaimana dia yang udah umur segitu disambangi langsung oleh dementia.

somehow di sini Anthony Hopkins gaya dan cara ngomongnya menurutku mirip sama Slamet Rahardjo

 
 
Olivia Colman sebagai Anne pun bermain sama vulnerable dan meyakinkannya. The Father tidak hanya menyajikan perspektif Anthony si penderita, tapi sesekali juga membawa kita menyelami kesulitan dan keresahan yang menimpa keluarga yang merawat penderita. Film melakukan ini supaya kita bisa lebih mengerti dampak mengerikan dari dementia yang ‘kejam’ tersebut. Semua itu untuk meng-enchance drama. Untuk menambah kedalaman lewat lapisan dari sudut pandang yang berbeda. Sekaligus diperlukan supaya film tidak melaju ke arah misteri, atau setidaknya supaya film tidak berbelok menjadi semakin mirip dengan apa yang dihasilkan oleh I’m Thinking of Ending Things. Karena jika hanya dari sudut pandang Anthony, besar kemungkinan kita bakal melihat Anne sebagai this impossible being, bahkan bisa jadi Anne tampak seperti antagonis.
Namun memasukkan sudut pandang Anne juga membawa sedikit minus bagi penceritaan, karena sudut pandangnya ini cukup messed up dengan treatment dan gaya bercerita yang sudah mantap pada Anthony. Misalnya, ada bagian ketika kita malah melihat hal dari dalam benak Anne. Film menjadi terlalu surealis dengan adegan ‘percobaan pembunuhan’, yang tentu saja berlawanan dengan niat di awal yakni untuk tidak menjadi terlalu surealis dan tidak menjadi slightly over-the-top. Jadi ya, menurutku memasukkan sudut pandang Anne di sini menjadi sesuatu yang dibutuhkan, meskipun memang membuat sudut pandang dan penceritaan menjadi sedikit terganggu. It is a risk, dan film berusaha sebaik mungkin dalam menampilkannya.
 
 
 
Berkat kebanalan dari sudut pandang penderita, film ini diakui banyak orang sebagai gambaran yang akurat, sekaligus dramatis, dari penyakit mengerikan yang bisa menimpa siapa saja di masa tua. Film ini membuat kita merasakan pengalaman dan keadaan jiwa yang bikin gak enak tersebut. Semua itu dilakukan dengan treatment dan editing yang cermat, dan terutama ditambah menjadi maksimal oleh permainan akting kelas legenda. I don’t know about you guys, tapi kupikir jika agenda dan ke-happening-an bisa disingkirkan sementara, maka film ini adalah kuda hitam dalam Oscar nanti. Film ini harusnya bisa dibicarakan lebih sering dan oleh lebih banyak orang lagi. Karena dia benar-benar menawarkan pengalaman menggugah, seperti yang dijanjikan oleh sinema.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE FATHER.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya pengalaman dengan keluarga yang direnggut oleh dementia?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PREMAN PENSIUN Review

“Gratitude is so gangster”

 

 

Sebagai manusia, kita suka melihat manusia lain mengembangkan diri mereka menjadi sesuatu yang lebih baik. Supaya kita bercermin, termotivasi. Itulah salah satu penyebab kita suka menonton film. Karena cerita-cerita dalam film biasanya menawarkan imajinasi seperti demikian; perjalanan hidup yang penuh perjuangan, orang-orang yang belajar mengenali dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dan dari sekian banyak film, yang paling laku selalu adalah cerita yang tokohnya mengalami progres; orang miskin yang jadi kaya, orang yang diremehkan menjadi juara, orang yang jomblo jadi punya pacar. Kita lebih tertarik kepada tokoh yang punya konflik dalam diri mereka. Cerita orang yang sempurna seumur hidup sudah barang tentu tak akan semenarik cerita maling yang terdesak kebutuhan.

Makanya serial televisi Preman Pensiun banyak diminati. Versi layar lebarnya pun di(ki)nanti-nanti oleh para penggemarnya. Film ini menawarkan premis yang sudah pasti langsung menarik bagi penonton, meskipun belum pernah menyaksikan serial televisinya. Berpusat kepada satu kelompok preman yang insaf, yang berusaha mencari makan dengan cara yang jujur – meninggalkan cara lama mereka yang brutal. Secara efektif, menit-menit pertama menyuplik adegan penutup dari serial televisinya – yang aku yakin para penggemarnya pasti akan merasakan desakan haru dan nostalgia berat di dalam dada – yang seketika melandaskan ‘misi’ apa yang harus diemban oleh tokoh utama kita. Kang Mus (satu lagi penampilan kocak, ekspresif, dan dalam level yang tidak meninggalkan emosi dan keseriusan disuguhkan oleh Epy Kusnandar) diamanatkan oleh pemimpin kelompok mereka yang sudah almarhum untuk menjadi penerus kepala preman, hanya saja kali ini dengan semboyan “Bisnis yang bagus, dan yang baik”. Kemudian kredit pembuka bergulir, dan kita dibawa ke tiga tahun ke depan. Melihat bagaimana legacy kelompok pensiunan preman mereka berkembang di bawah tangan Kang Mus.

biarkan informasi ini meresap sebentar; nama lengkap Kang Mus adalah Muslihat

 

Memenuhi jati diri sebagai komedi, Preman Pensiun hadir dengan kocak. Kita akan tergelak-gelak melihat sehari-hari bos preman berusaha mengurusi keluarga, berurusan dengan kenyataan putrinya yang sudah remaja sudah mulai pacaran – dengan cowok yang udah mahasiswa pula. Momen-momen lucu hadir dari Kang Mus yang memerintahkan anak-anak buahnya, yang kini ada yang bekerja jadi satpam mall, ada yang jualan kaos, bisnis jaket, jadi pawang kuda lumping, dan bantu-bantu di bisnis makanan tradisional kecimpring, untuk memata-matai sang putri yang lagi nge-date. Film tidak melupakan tanah tempat dirinya berpijak. Kita tidak hanya melihat tempat-tempat di Bandung dijadikan latar dan diakomodasikan ke dalam penceritaan serta komedi, kita juga akan mendengar, menghidupi budaya Sunda itu sendiri.

Kita diperlihatkan sudut pandang yang mungkin sudah pernah kita lihat di film-film mafia ataupun gangster buatan luar, akan tetapi tak-pelak menjadi segar karena kentalnya nuansa lokal. Sedikit banyaknya, dengan menonton film ini, kita bisa paham terhadap kode etik para preman yang bisa saja memang berlaku di sudut-sudut pasar. Dan itu bukan soal punya tato yang seragam. Menjadi preman adalah soal setia, soal berterimakasih, dan soal menghormati. Kita lihat mereka tidak saling mengganggu istri, keluarga, masing-masing. Mereka punya birokrasi alias tangga-kekuasaan sendiri. Kita melihat mereka tidak akan melanggar batasan-batasan yang tercipta dari ‘pangkat’ kepremanan mereka. Dan di akhir, kelas preman tersebut dimainkan ke dalam sebuah konflik yang tak disangka-sangka.

Jika ada yang bisa ditiru, maka itu adalah eratnya rasa persatuan di dalam geng mereka. Kang Mus masih terus memikirkan bekas anak-anak buahnya, karena menurutnya mereka sudah bagian dari keluarga dan tak ada istilah ‘bekas’ dalam sebuah keluarga. Eratnya hubungan keluarga sudah semestinya seerat yang diperlihatkan oleh preman-preman di film ini. Sebab keluarga sudah sama seperti satu tubuh; terluka satu, maka yang lain pun ikut merasakan derita.

 

Namun mungkin yang lebih tepatnya adalah, film menghadirkan konflik yang sukar untuk kita sangka. Karena pada dasarnya merupakan kelanjutan dari serial televisi yang terdiri dari nyaris empat-puluh episode (aku mungkin salah karena gak ngikutin sinetronnya), dengan begitu banyak tokoh dengan subplot masing-masing, film ini jadi punya tugas yang tak-kalah beratnya dengan Kang Mus. Film harus mampu dengan segera memperkenalkan para tokoh dan masalah-masalah lantaran film ini cukup bijak untuk tidak menyuruh kita-kita yang belum pernah menonton untuk maratonin serialnya. Maka mereka menggunakan editing berupa smash cut dan match cut yang membawa kita bertransisi begitu saja antaradegan para tokoh. Pertama-tama sih, teknik ini memang terasa menyenangkan. Kita melihat satu tokoh ditanyai oleh istrinya, bret jawaban atas pertanyaan itu kita saksikan datang dari tempat lain, dari percakapan tokoh lain sambil minum, dan bret kita pindah lagi ke gelas yang dipegang oleh tokoh yang berbeda di tempat yang lain pula. Konteks yang diseragamkan membuat kita menyaksikan banyak hal sekaligus tanpa kehilangan arah. Teknik tersebut dilakukan berulang-ulang. Buatku it was getting old fast. Malah membuat semakin susah untuk mengikuti cerita, karena tidak banyak waktu untuk berpegangan kepada satu karakter. Kebanyakan dari mereka jadi seperti tidak punya arc. Masalah-masalah itu jadi menumpuk dan hingga titik tengah film, kita belum dapat menyimpulkan ke mana arah cerita. Yang mana konflik utamanya? Apakah perihal peringatan seribu hari kematian pemimpin mereka terdahulu (sebagai cara film mendedikasikan diri buat almarhum Didi Petet), apakah tentang bisnis yang sepi, atau anak yang beranjak dewasa, atau masalah yang berantem di pasar baru.

atau mungkin ini masalah kenapa di Gedung Merdeka banyak setannya

 

Dengan konsep editing seperti demikian, terasa ada banyak yang tak terselesaikan. Sekadar berfungsi sebagai adegan sketsa. Ketika film berhenti melakukan konsep editingnya, cerita mulai dapat diikuti. Meskipun sedikit terlambat, tapi apa yang disuguhkan cerita sebagai puncak ternyata tergolong sangat berani. Aku suka dengan tipe cerita ‘kalah’ kayak film ini. Malahan, dua film pendek yang kukerjakan, dua-duanya berakhir dengan ‘kekalahan’ sang tokoh. Karena terkadang memang perlu untuk menampilkan kegagalan, supaya pesan yang ingin disampaikan bisa menjadi cambuk – supaya kita bercermin dan tak melakukan hal yang serupa. Hanya saja, yang harus digaris bawahi adalah cerita kegagalan baru hanya akan menarik jika diiringi oleh usaha. Kang Mus dalam Preman Pensiun, tidak diperlihatkan banyak berusaha melakukan sesuatu yang baik. Ada adegan repetitif Kang Mus yang lagi ngulet males bangun pagi di sofanya. Dia yang pemimpin tak banyak campur tangan ketika masalah merundung teman-temannya. Inovasi kecimpring pun tak diperlihatkan ia lakukan. Mengusung pesan yang sedikit kelam, herannya konklusi film ini tampak aneh. Seperti ada bagian resolusi yang terpotong. Film berakhir tepat di titik di mana Kang Mus musti berubah, memperbaiki sikapnya. Yang membuatku merasa nanggung; menohok kurang, arc pun tidak tertutup.

 

 

 

Keseluruhan film terasa seperti membangun ke momen benar-benar ‘pensiun’, akan tetapi cerita justru dihentikan saat karakter butuh untuk meredeem dirinya sendiri. Film ini benar-benar menonjolkan sisi komedi yang dipancing dari percakapan permainan kosa kata ala Kang Mus yang ‘pintar-pintar bodoh’, dan tingkah-tingkah para preman yang berusaha kerja baik dengan kemampuan yang mereka tahu. Namun mereka tidak pernah dibuat keluar dari dunia mereka. Preman-preman itu belum diharuskan terikat pada aturan di luar ‘kode’ mereka sendiri. Buatku, film yang bernapas Bandung memang terasa nanggung. Konsep editingnya tidak benar-benar bekerja efektif, meskipun memang diperlukan. But that’s just me. Para penggemar serialnya sepertinya bakal tersenyuh dan senang-senang maksimal menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PREMAN PENSIUN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian berurusan dengan preman? Menurut kalian apa yang membuat orang disebut sebagai preman?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

KELUARGA CEMARA Review

“Having family responsibilities and concerns just has to make you a more understanding person.”

 

 

Keluarga Cemara, sebagian orang mengingatnya sebagai sinetron yang menghangatkan ruang keluarga di masa kecil. Sebagian lagi mungkin mengingatnya sebagai cerita serial tentang kejujuran buah tangan dari Arswendo Atmowiloto. Sebagian yang lebih muda akan mengenalinya dari lagu “Selamat pagi Emak, selamat pagi Abah, mentari hari ini berseri indah” dan guyonan “Harta yang paling berharga”. Visinema Pictures, lewat film adaptasinya ini, mengakurkan semua orang – membuat kita semua sepakat untuk mengingat Keluarga Cemara sebagai salah satu film keluarga paling manis – paling sederhana yang bisa kita dapatkan di masa sekarang – yang mengajarkan tentang kejujuran dan rasa bersyukur. And also ada JKT48 di dalamnya, wotaaaa!!

Dalam Keluarga Cemara versi ini, Abah adalah Ringgo Agus Rahman (jangan biarkan tampang kocaknya mengelabui urat hati dan nadi air matamu) yang terpaksa harus memberikan kabar buruk kepada keluarga kecilnya; mereka jatuh miskin. Bisnis mereka hancur akibat ulah sanak famili sendiri, mengharuskan Abah dan keluarga mengungsi selamanya ke rumah warisan di desa Jawa Barat. Emak yang setia (di balik ketabahan tokohnya, mata Nirina Zubir seolah menembus perasaan kita semua) jadi musti berjualan opak. Kepindahan ini, paling berat adalah terasa bagi Euis (detach-nya ZaraJKT48 jadi pas banget ama karakter tokohnya, dan dia gak punya masalah segera menyambung dengan emosi yang tepat) yang harus berpisah dengan Jakarta dan kelompok modern dance, in which she very skilled at. Kepindahan dan kondisi keluarga mereka pun dengan segera mempengaruhi Ara (so adorable, Widuri Puteri tampaknya digebleng langsung oleh sang ayah Dwi ‘Mas Adi’ Sasono), si bungsu yang tadinya bahkan belum mengerti apa itu bangkrut dan kenapa emaknya menangis saat mengandung dedek bayi.

Jika keluarga A Quiet Place yang dirundung monster aja bisa punya bayi, kenapa kita tidak bisa? horee!!

 

Aku tadinya sudah hampir-hampir yakin bakal disuguhi drama keluarga tearjerker yang menguangkan kesedihan dari segala trope-trope orang kaya yang mendadak hidup dalam kemiskinan. Tapi enggak. Sutradara Yandi Laurens mengarahkan film panjang debutnya ini menjauh dari cara-cara yang gampang. Skenario pun dengan bijaksana memfokuskan konflik bukan pada uang. Kita tidak diminta mengasihani karena mereka gak punya uang. Kita tidak ditagih air mata demi melihat mereka kesusahan hidup di tempat seadanya. Melainkan, konflik dipusatkan kepada suatu hal yang menurut setiap orang, terutama cowok, adalah kepunyaannya sejak lahir yang paling berharga. Harga diri.

Adalah Abah tokoh utama dalam cerita ini, bukan Ara meskipun judul merujuk kepada namanya. Karena keluarga Ara sama seperti pohon cemara. Punya satu batang yang besar sebagai poros, yang dikelilingi cabang-cabang yang tumbuh dengan rapat. Abah, sebagai satu-satunya pria di sana, adalah batang tersebut, poros yang membuat pohonnya berdiri kokoh. Atau paling tidak, begitulah Abah memposisikan dirinya yang kepala keluarga. Dia bekerja sekeras tenaga dan sejujur yang moralnya bisa. Kita melihat Abah mati-matian mencari kerja, dia melakukan apa saja, tapi baginya itu semata bukan soal duit untuk menghidupi keluarganya. Saat menonton ini aku memang merasa agak aneh; alih-alih berprogres dari mencoba usaha paling gampang ke yang paling susah, Abah bersusah payah menjadi kuli dahulu baru kemudian menjadi ojek online. Kenapa film masih berjalan jika jawabannya sudah ditemukan? Ternyata, memang bukan itu pertanyaannya. Ini bukan soal apa yang Abah lakukan untuk mencari uang. Ini soal apa yang ia lakukan sebagai pengukuhan dia adalah kepala keluarga.

Bukan kaki Abah yang patah, melainkan kebanggaannya. Untuk sebuah cerita tentang kejujuran dan rasa bersyukur, film memainkan janji dan kekecewaan sebagai konflik utamanya. Adalah janji-janji yang tak ia penuhi yang menyebabkan Abah berada di titik rendah yang sekarang. Baginya, adalah mutlak salah dirinya maka mereka jadi bangkrut. Ada adegan yang sangat emosional antara Abah dengan Euis yang membahas soal ini, Euis mengucapkan sesuatu yang telak mengkonfirmasi ketakutan Abah mengenai apa yang ia perbuat kepada keluarganya. Makanya setelah itu kita melihat Abah menjadi galak, dia menjadi ‘tegas’ terutama kepada Euis. Dia merasa tak-berdaya sebagai seorang laki-laki, dia merasa powerless melihat istrinya yang mengandung namun masih berjualan opak. Perjuangan Abah adalah perjuangan menegakkan kembali kehormatannya. Adegan Abah meledak penuh emosi menjelang babak ketiga merupakan teriakan dari sisa-sisa kebanggaan yang masih ia miliki. Dia berusaha keras memenuhi janji, tapi Abah sepertinya selalu salah dalam memilih keputusan untuk keluarganya. Yang Abah tak sadari hingga momen realisasi adalah selama ini dia melakukannya hanya untuk merestorasi perannya sebagai ayah.

Setiap manusia bertanggung jawab atas tindakan yang diambilnya. Ketika engkau adalah pemimpin, you would take responsibility in the name of your family. Tapi yang harus diingat adalah kebahagiaan keluarga seharusnya menjadi prioritas utama. Dan itu tidak bisa dicapai dengan mendahulukan ego tanpa mempertimbangkan anggota yang lain. Sebab mereka juga punya tanggungjawab, punya peran, yang tidak bisa kita kecilkan. Bertanggungjawab kepada keluarga mestinya membuat kita lebih pengertian.

 

Hubungan Abah dengan Euis menjadi sajian utama yang mewarnai cerita. Euislah yang paling sering dikecewakan oleh janji-janji Abah. Dan nantinya Euis akan balik merasakan seperti apa rasanya disebut mengecewakan orang lain. Abah dan Euis memenuhi konteks yang diusung. Jika Abah butuh untuk belajar melihat bukan dirinya sendiri yang bertanggung jawab terhadap keluarga, maka Euis akan belajar keluarga mana yang harusnya ia berikan janji-janji. Dibandingkan dengan konflik Abah dengan Euis, anggota keluarga yang lain memang jadinya terasa seperti pelengkap kayak ranting-ranting pohon cemara. Namun toh keberadaannya cukup penting, sehingga jika tidak ada ‘ranting-ranting’ tersebut, cemara yakni film ini tidak akan menjadi seindah yang kita saksikan.

sekuelnya, kalo ada, musti lebih banyak tentang Ara nih kayaknya

 

Film berhasil membaurkan drama dengan komedi dengan mulus. Setiap potongan kecil adegan menjadi sama berkesannya dengan momen-momen besar. Film penuh dengan adegan-adegan yang menimbulkan bekas, entah itu karena menyentuh maupun karena lucu. Film melakukan kerja yang baik dalam membangun dunia di sekitar keluarga Cemara. Ada banyak kameo; tokoh-tokoh yang diperankan oleh nama populer meski hanya muncul sekali dua kali. Aku pribadi agak mixed soal ini. Hukum Karakter Ekonomi-nya kritikus Roger Ebert jelas tidak bisa diterapkan buat film kayak Keluarga Cemara ini, karena akan membingungkan kita. Maksudku, mereka semua terlihat ‘penting’, tetapi ternyata enggak. Saking banyaknya peran yang satu-dimensi dan weightless di sini, sehingga membuat rintangan-rintangan yang dihadapi Abah dan keluarga menjadi seperti terselesaikan dengan sendirinya. Menjelang akhir, begitu kita paham ini bukan soal uang – kita sudah mengerti konteks sebenarnya, film tidak lagi terasa punya ‘ancaman’ apa-apa. Ataupun ada sudut pandang baru. Tapi penceritaannya, penampilan pemainnya, tidak pernah membuat film menjadi membosankan.

 

 

 

Kita semua tahu semua kejadian dalam film ini dibangun dengan nyanyian “Harta yang paling berharga adalah keluarga” sebagai puncaknya. Kita semua sudah bisa ekspek film ini akan sedih. Nothing surprised us, tapi tetap saja kita dengan sukses dibuat menitikkan air mata. Lantaran semuanya dilakukan dengan sangat manis, dan enggak total dibuat-buat. Membuatnya jadi begitu gampang dicinta, begitu menyentuh, dan mampu mendekatkan keluarga-keluarga yang sedang menyaksikannya. Semuanya terlihat hangat, jujur, indah. Meskipun membahas persoalan yang ‘matang’, tetapi film masih memberikan ruang diskusi kepada anak-anak dan orangtua mereka. Satu lagi yang agak mengganjal buatku adalah masalah bingkai waktu cerita, namun kupikir ini adalah resiko yang film pilih menimbang mereka perlu untuk menampilkan semua tokoh-tokoh yang sudah dikenal ini secara utuh. Jika film ini diniatkan sebagai prekuel dari reboot yang dimodernkan, maka ia sudah melakukan kerja yang sangat gemilang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KELUARGA CEMARA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Abah berusaha hidup jujur dan memegang janji-janjinya. Bisa gak sih kita bahagia hanya dengan kejujuran? Masih ada gak sih orang yang hidup dari kejujuran?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017