EVIL DEAD RISE Review

 

“Being a mother is dealing with fears you didn’t know existed”

 

 

Evil Dead klasik buatan Sam Raimi sepatutnya dijadikan cermin bagi berbagai horor kesurupan, patah-patah, berdarah-darah, muntah-muntah — jika mereka ingin hadir sebagai hiburan. Karena dalam film-film Sam Raimi itu, kekerasan tidak pernah dihadirkan hanya for the sake of violence. Melainkan, dengan humor. Karena Evil Dead ingin bersenang-senang dengan horor itu sendiri. Jadilah horor sadis tapi kocak sebagai pamungkas bagi horor Sam Raimi. Memang, gak segampang itu menyamainya. Banyak horor campy yang terinspirasi, tapi gak semuanya yang bisa mulus menghadirkan sadis-dan-lucu sekaligus. Bahkan remake Evil Dead tahun 2013 yang sukses dan gory dan fun itu saja masih dianggap banyak kritikus masih belum sama nada kocaknya dengan buatan Sam. Evil Dead Rise garapan Lee Cronin kali ini pun menghadapi tantangan yang serupa dengan remake tersebut. Tantangan yang juga dihadapi oleh horor kekinian yang ingin tampil menghibur, atau mempertahankan tone fun pendahulunya (rekuel franchise Scream juga termasuk). Simply, waktu sudah berubah. Era sudah berbeda. Dalam genre horor, yang receh-receh semakin dianggap remeh karena sekarang horor harus punya makna sesuatu. Kita sekarang berada di era Elevated Horror’. Horor yang dianggap bervalue bagus kini tidak lagi semata bunuh sana-sini, sadis absurd muncrat-muncratan, tapi lebih kepada penceritaan yang dark, memuat tema atau komentar sosial, serta visual yang nyeni. Bagaimana membuat horor yang menghibur – meneruskan pesona dan jati diri induk franchisenya – di tengah audiens yang meminta sesuatu yang lebih bermakna. Evil Dead Rise berusaha untuk literally rise above all that.

Begini mestinya, Saudara-Saudara. Beginilah mestinya horor hiburan dibuat.

 

Bebas dari kebutuhan untuk melanjutkan cerita atau dunia sebelumnya – Evil Dead Rise hanya ‘mengharuskan’ untuk menampilkan The Book of the Dead dan Deadite (dan beberapa item nostalgia) sebagai koneksi dan identitas – Cronin membawa horor itu ke panggung yang sama sekali berbeda dari yang sudah-sudah. Alih-alih di kabin di tengah hutan, panggung horor kini di sebuah apartemen di kota. Karakter-karakter pengisi ceritanya pun tidak lagi geng remaja, melainkan satu keluarga. Keluarga bukan sembarang keluarga. Di adegan pengenalan mereka, kita melihat: ibu yang tatoan sedang menyolder sesuatu, abang yang ditindik sedang mengolah musik dari piringan hitam, kakak yang rambutnya cepak sedang bikin poster untuk demo lingkungan, dan adik yang masih kecil sedang… menggunting kepala boneka! Ini keluarga yang badass. Mereka gak punya sosok ayah. Yang mereka punya adalah bibi yang bekerja sebagai teknisi gitar sebuah band. Bibi, yang jadi tokoh utama cerita. Bibi yang actually muncul di depan pintu apartemen mereka malam itu, untuk mengabarkan kepada ibu – kakaknya yang sudah lama tidak ia hubungi – bahwa dia akan menggugurkan anak yang tengah ia kandung. ‘Reuni’ kecil-kecilan mereka sayangnya tidak bisa berlangsung lama. Karena segera setelah rekaman mantra Book of the Dead yang ditemukan di bawah apartemen diputar, hunian yang dingin dan sepi itu bakal berubah merah dan penuh teriakan. Sang Ibu kesurupan dan menjadi Deadite. Menyerang anak-anaknya sendiri. Beth harus mengeluarkan ponakan-ponakannya dari sana.

Apartemen dan ibu yang jadi setan memang seketika mengingatkan kita sama Pengabdi Setan 2: Communion (2022). Tapi untungnya, meski sama-sama dibuat sebagai seru-seruan horor, Evil Dead Rise yang memang aware untuk jadi elevated horor masih punya statement di baliknya. Enggak hanya sekadar nyuruh penonton menebak-nebak kode dari fantasi liar pembuatnya. Naskah Evil Dead Rise masih memuat closed story tentang journey karakter utama. Inilah yang bikin film ini jadi hiburan horor yang bergizi. Journey Beth adalah tentang ketakutan menjadi ibu. Bagi Beth, melihat kakaknya kesurupan dan melukai anaknya sendiri, bagai melihat momok dari perwujudan ketakutannya bahwa ia akan jadi ibu yang seperti itu. Beth gak yakin dia akan bisa jadi ibu yang baik. Nyatanya, perjuangannya berusaha menyelamatkan para ponakan, serta jabang bayinya sendiri di dalam perut, jadi menyadarkan dirinya bahwa dia bisa jadi ibu yang kuat. Percakapan soal menjadi ibu disebar oleh naskah di sela-sela adegan-adegan sadis, membuat film jadi punya momen-momen kecil penuh jiwa. Membuat kita semakin peduli kepada karakter. Momen grounded yang aku suka adalah ketika Kassie, ponakan yang paling kecil, berkata bahwa Beth kelak akan menjadi ibu yang baik karena Beth mampu membuat anak kecil seperti dirinya percaya sama kebohongan (at that chaos time, Beth berusaha menenangkan Kassie yang ketakutan dengan bilang semua akan baik saja)

Menjadi ibu adalah ketika kita belajar kekuatan yang kita tidak tahu kita punya, dan ketika kita menghadapi ketakutan yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya

 

Dengan terkliknya gagasan tersebut kepada kita, nonton Evil Dead Rise jadi semakin menyenangkan. Kita jadi punya alasan lebih untuk peduli dan kemudian seru-seruan melihat rentetan adegan-adegan mengerikan. Sutradara Lee Cronin definitely menggunakan semua trik Sam Raimi. Semua gerak kamera, semua permainan desain suara, ia gunakan maksimal untuk ngasih suasana eerie. Build up adegan-adegan seram terasa sangat efektif, keciri dari tidak terganggunya tempo relatif cepat yang dipakai oleh film ini dalam bercerita. Kesurupan mungkin udah sering dilakukan dalam film horor, tapi bagaimana semua kejadiannya dimainkan dan tervisualkan adalah tergantung pada kreasi sutradara. Adegan hujan darah di film sebelumnya, disaingi oleh Cronin lewat adegan terjebak di dalam lift yang perlahan penuh oleh darah. Selain itu, di film ini ada banyak banget adegan-adegan memorable terkait yang dilakukan oleh si ibu kesurupan dan cara kamera menampilkannya. Adegan ngintip di lubang pintu apartemen, misalnya. Kalian tahu dalam horor, kadang suatu momen sebaiknya dibiarkan untuk kita bayangkan (alias dilakukan off-cam)? Nah, sekuen Beth ngintip ke luar apartemen, ke lorong tempat Ellie menghabisi penghuni apartemen yang berusaha membantu itu benar-benar memanfaatkan kengerian on-cam dan off-cam dengan berimbang dan efektif. Satu lagi yang juga kenak ngerinya buatku adalah soal rekaman suara. Setelah kemaren Sewu Dino (2023) pakai suara rekaman kaset, Evil Dead Rise juga menggunakan suara rekaman piringan hitam. Dan personally, aku suka trope ‘dengerin suara rekaman’ ini. Aku suka ini di game Fatal Frame. Aku juga suka saat trope ini muncul di film horor. Buatku, rekaman yang terputus-putus dengan suara orang yang kita gak tahu siapa itu ngasih layer keseraman tambahan. Membuat eksposisi yang dibacakan jadi punya kesan seram ekstra. Setidaknya, ini jadi pembawa eksposisi yang lebih horor ketimbang adegan karakter ngegooling informasi di internet.

By the time ulasan ini publish, prolog Evil Dead Rise telah menjadi begitu fenomenal berkat sekuen credit titlenya. Keseluruhan pembuka itu efektif sekali ngeset apapun yang membuat kita menyambungkan di benak masing-masing bahwa inilah Evil Dead klasik itu di dunia modern. Membawa kita ke ke tengah hutan sebentar untuk ngingetin, ini film Evil Dead loh. Struktur film ini memang tak-biasa, dengan prolog dan epilog yang sebenarnya gak nyambung directly dengan cerita utama Beth dan keluarga kakaknya, tapi berhasil menjaga kesan kisah yang tertutup – sekaligus juga tetap membuka kemungkinan untuk kelanjutan Deadite dan Book of the Dead berikutnya.

Selain chainsaw, aku akan senang sekali kalo Staffanie juga terus dimunculkan sebagai alternate weapon hihihi

 

Tentu tak lupa salut juga buat aktornya, terutama Alyssa Sutherland yang jadi Ellie si ibu kesurupan. Alyssa dapet banget menacing-nya mimik seringai setan ketika berusaha mengelabui anak dan adiknya sendiri. Di lain waktu dia juga dapet banget terlukanya ketika si setan seperti sudah mengembalikan Ellie seperti sedia kala. Lily Sullivan yang jadi Beth, diporsir fisik dan emosinya. Sama seperti Terrifier 2 (2022), Evil Dead Rise paham untuk gak nanggung-nanggung ‘menyiksa’ para karakter, terutama karakter utama.  Aktor-aktor yang jadi anak Ellie juga bermain dengan total. Semuanya dihajar, termasuk anak yang paling kecil. Karena, secara penulisan, keluarga yang jadi saling melukai ini adalah konteks yang penting. Inilah bobot drama yang diincar film lewat gagasan dan alasannya mengganti karakter dari yang biasanya cuma teman-teman satu geng menjadi keluarga. Supaya lebih naas. Bayangkan terpaksa menyakiti orang yang benar-benar dekat seperti kakak atau ibu kita. Gimana coba efek melakukan itu dirasakan oleh anak sekecil Kassie.

Karena itulah aku sempat kesel sama sensor di bioskop saat menonton ini. Ada adegan Kassie terpaksa menusuk kakaknya yang sudah jadi Deadite, tepat di mulut nembus ke belakang kepala, dan adegan itu disensor. Penonton sestudioku sontak mendesah kecewa saat tiba-tiba adegannya lompat, dan kita gak benar-benar melihat reaksi atau ekspresi pada Kassie. Menurutku bagian ini gak perlu disensor. Pertama karena kekerasannya gak lagi disarangkan kepada manusia (si kakak basically sudah jadi zombie yang menyeramkan), dan kedua karena adik terpaksa menusuk kakaknya itu adalah poin dari konteks ceritanya. Yang horor dan dark di situ bukan hanya pada momen penusukannya, melainkan juga pada yang dirasakan oleh si adik saat dan setelahnya. Memotong adegannya tidak akan membuat horor itu hilang, karena horornya diteruskan pada aftermath penusukan. Nah, dengan dipotong, kita yang nonton gak mendapat full efek itu, konteks filmnya hanya separuh yang tersampaikan kepada kita. Jadilah sensor di bagian itu mengganggu komunikasi antara kita dengan film. Toh film ini memang isinya kekerasan semua. Ditusuk, digigit, dicekek, disembelih. Diparut, pake parutan keju, I’m just saying ada banyak adegan kekerasan lain yang lebih ‘kosong’ yang bisa dipilih untuk disensor, tapi sayangnya yang ke-cut justru yang punya konteks. Ah, kenapa aku malah jadi kritik sensornya ya, bukan filmnya hihihi

 




Oke, buat filmnya, ini sungguh-sungguh horor sadis yang menghibur. Sebagai bagian dari Evil Dead, film ini punya ruh yang tepat. Meskipun tone-nya masih belum sekocak versi original. Hal itu bisa dimaklumi karena horor jaman sekarang mengejar value yang sedikit berbeda. Yang jelas, film ini berhasil menyeimbangkan value horor modern tersebut dengan identitas asli franchisenya. Elemen horornya brutal, berdarah. Sebenarnya kalo dibandingkan dengan film-film sebelumnya, tingkat edan film ini masih agak kurang. Tapi karena kali ini karakternya adalah satu keluarga, dramatisnya jadi lebih ngena, adegannya jadi tetap berasa. Meski bukan exactly bikin meringis, tapi bikin terenyuh. Aku harap film ini bisa jadi inspirasi buat horor lokal kita dalam gimana membuat horor receh tapi gak remeh.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EVIL DEAD RISE




That’s all we have for now.

Bagi yang merasa masih kurang puas sama horor, kalian bisa langganan Apple TV+ karena di sana ada serial Servant yang finale season 4 nya bener-bener defining yang namanya psikologikal horor. Serta, ada berbagai pilihan film, salah satunya Renfield, tentang suka duka seorang pelayan drakula. Gory and fun!  https://apple.co/40MNvdM

Get it on Apple TV

 

Menurut kalian, apa sih yang membuat horor sadis dan komedi bisa menjadi kombo yang efektif?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SEWU DINO Review

 

“Scratch my back and I’ll scratch yours”

 

 

Cerita horor sebenarnya memang simple, gak perlu diperibet. Tarok karakter dalam ruangan bersama mayat, jadi cerita horor. Mayatnya mungkin hidup, si karakter mungkin berhalusinasi. Tarok karakter berdua saja di dalam ruangan, bisa juga jadi cerita horor. Mereka bisa saling bunuh hingga yang satu jadi hantu. Mereka bisa saling curiga dan parno sendiri. Heck, tarok karakter seorang diri saja dalam ruangan kosong, dia bisa jatoh dalam kegilaaan, dan jadilah juga cerita horor. Kejadian horornya bisa sederhana, tapi penggaliannya harus mendalam. Ketakutan yang dirasakan itu harus dieksplor hingga ke akarnya. Jika ketakutan itu tidak digali ke personal karakternya, tidak direlatekan kepada kita, horor hanya akan jadi rangkaian kejadian tak-masuk akal yang menjengkelkan. Hantunya hanya akan jadi monster yang harus dikalahkan seperti pada cerita superhero. Karakternya hanya akan jadi si bego yang kita teriakin karena dia tidak melakukan hal yang dilakukan orang beneran. Tapi kebanyakan horor kita sekarang kebalikan dari itu. Banyak cerita yang berumit-rumit ria dengan lore dunia, intrik kubu-kubu, simbolisme, twist and turns, dan sebagainya, tapi pada pembahasannya malah menyederhanakan cerita sebagai wahana jumpscare dan kesurupan kayang-kayang. Jarang yang menyentuh ‘kegelapan’ di dalam sana.

Sewu Dino, untungnya digarap oleh Kimo Stamboel yang memang penggemar horor tulen. Cerita yang sebenarnya ribet karena menyangkut perang santet antara dua kubu, dia fokuskan kepada karakter yang harus mandiin orang yang sudah kesurupan selama hampir seribu hari. Dan aku yang awalnya kurang antusias, ternyata jadi menikmati ini. Kupikir film ini bakal sama seperti KKN di Desa Penari tahun lalu. Cerita dari thread Twitter yang turns out hanya mega marketing gimmick; enggak pernah menggali ceritanya yang actually relate – mahasiswa kota kkn ke desa – dan malah asyik bergumul dengan kejadian-kejadian mistis konyol. Karakter journey-nya dibiarkan dangkal. Sewu Dino ternyata dikembangkan berbeda dari threadnya oleh Kimo. Kudengar banyak pembaca thread yang kurang suka sama film ini, but screw them. Karena, memang Sewu Dino bukan film horor terbaik. Tapi cerita ini adalah versi yang  punya decent horror story di tengah-tengah kemelut santetnya.

Menghitung hari, dino demi dino

 

Ceritanya tentang Sri, gadis yang mencari nafkah untuk pengobatan ayahnya. Dia mencoba melamar jadi pembantu di tempat Mbah Karsa, yang dikenal warga sebagai orang sukses yang punya banyak tempat usaha sehingga selalu butuh banyak tangan tambahan. Nyatanya, Mbah Karsa butuh ‘stok’ perempuan dengan set kemampuan khusus untuk melaksanakan ritual menyelamatkan cucunya yang kena santet. Sri diterima karena gadis ini punya sesuatu yang ia sendiri tak tahu gunanya apa. Sri lahir di jumat kliwon, dan itu adalah syarat kunci untuk membebaskan cucu Mbah Karsa. Jadi, Sri bersama dua perempuan lain ditempatkan di pondok tengah hutan. Mereka harus memandikan Dela yang kesurupan setiap senja. Pekerjaan yang jelas berbahaya, karena setan yang telah bersemayam nyaris seribu hari itu selalu berusaha untuk lepas dan menyerang para pemandinya.

Di bagian pondok inilah Sewu Dino benar-benar fun. Film actually meluangkan banyak waktu untuk set up dan build up kerjaan horor yang harus dilakukan para gadis tukang mandiin itu. Salah satu set up penting yang dilandaskan film adalah kenapa Sri mau-maunya mandiin Dela. Kayaknya lebih aman mandiin harimau sirkus deh, ketimbang mandiin orang kesurupan yang suka menggigit dan mencekek manusia. Motivasi Sri bukan hanya karena duit, tapi kita dikasih info soal Sri yang berusaha tidak mengulangi kejadian yang membuat adiknya sendiri tiada. Sri tidak ada di sana, makanya sekarang dia ingin membantu gadis muda ini. Meskipun gak gampang baginya. Kita melihat Sri yang justru jadi orang pertama yang pengen kabur saat melihat ‘job desk’ dan resiko yang menantinya. Tapi itulah yang nanti jadi konflik. Yang fun lagi buatku adalah gimana film ngebuild up ‘ritual memandikan’ tersebut. Cara-caranya, batas waktunya, dan sebagainya. Banyak aturan yang harus Sri dan dua temannya ikuti. Salah satunya mereka harus mandiin Dela sambil dengar kaset rekaman suara Mbah Karsa yang bacain langkah-langkahnya. Tentu saja ini nanti bakal berkaitan dengan momen-momen scare yang dipunya oleh film. Like, mereka harus ngiket dulu tangan dan kaki si Dela sebelum membuka keranda bambu. There’s no way hal akan baik-baik saja saat mereka melakukannya hahaha…

Kimo gas pol di sini. Gak ada sensasi ‘adegan datar’ di film ini. Horor yang ia suguhkan benar-benar main fisik. Beberapa kali film ini hampir jadi body horor saking banyaknya ‘abuse’ yang diberikan on-cam kepada tubuh para karakter. Aku sampai heran masa iya film ini ‘cuma’ dikasih rating 13+ sama lembaga sensor. In my opinion, this should be higher. Apalagi tayangnya di masa lebaran. Jadi tontonan keluarga deh, pasti. Anyway, sensasi horor di sini terasa lebih well-crafted ketimbang pada KKN. Momen-momen kecil seperti suara rekaman yang tiba-tiba mati sukses bikin kita semakin mengantisipasi kengerian, untuk kemudian dipecahkan oleh ‘punchline’ seperti jumpscare atau serangan setan. Kimo sendiri pernah publicly bilang dia menggemari dan terinspirasi sama Sam Raimi (Evil Dead, Drag Me to Hell). Dan di Sewu Dino ini pun pengaruh Sam Raimi pun kelihatan. Lucunya, selain itu, aku juga menangkap ada pengaruh game survival horor Jepang pada film ini. Khususnya seri game Fatal Frame. Serius. Begitu banyak momen yang bikin aku teringat sama game itu, I’ll just go ahead and say it: Sewu Dino buatku kayak adaptasi tak-resmi dari Fatal Frame. Ritual yang gagal (kurang elemen disaster doang). Desain antagonis yang pake tali menggelantung di anggota badan, ngingetin sama Rope Maiden. Setiap kali tidur, Sri menjelajahi dunia lain dan melihat gubuk di sana – ini kayak main plot di Fatal Frame 3 yang karakter kita akan bertualang di Manor of Sleep setiap tidur dan nanti hantu-hantu di ‘mimpinya’ itu akan berdampak physically di dunia nyata. Rekaman dan suara-suara mengerikan bicara ke karakter? Udah staple di game dan film horor Jepang kayaknya. Sri harus ke hutan mengecek payung-payung pagar gaib, easily bisa jadi misi dalam game. Dan, berapa kali coba dalam game-game Fatal Frame kita dapat sekuen escape lari-lari dramatis bareng orang yang kita selamatkan? Sekuen escape di film ini, juga punya treatment yang dramatis seperti itu. Yang bikin beda ya Sri di film ini benar-benar melawan dengan fisik, bukan dengan kamera haha

Kayaknya aku kebanyakan main game puasa-puasa….

 

Bahkan Sri pun mirip sama karakter utama game, dalam hal, dia gak banyak bicara. Agak kurang aktif, unless ‘tombolnya’ dipencet. Kalo yang ini sih, sebenarnya kekurangan film ini menurutku. Namun bukan exactly kekurangan dari karakter ataupun dari Mikha Tambayong memerankannya. Mikha melakukan cukup banyak; sebagai protagonis horor dia didera cukup banyak di babak akhir. Sekali lagi, Kimo tahu gimana harus ngetreat cerita horor.  Hanya saja, di momen Sri mulai ‘gerak’ film udah habis. Di awal-awal, aku mengerti Sri diarahkan untuk jadi karakter yang rasional. Dia kabur duluan. Dia gak ‘seringan tangan’ itu mau melakukan kerjaan mengerikan. Tapi ini juga membuatnya jadi kurang dominan. Apalagi karena film ternyata malah menyiapkan ‘twist’ di tengah, regarding ada di antara mereka ada yang ingin menyabotase ritual mandi. Di tengah itu, alih-alih fokus mengembangkan karakter Sri, film malah sibuk bercocok tanam clue. Ngebuild up momen ‘siapa yang jahat’. Kita terputus dari Sri di bagian tengah. Dan ini membuat kita butuh agak lama untuk bisa konek lagi dengan motivasi dan journey karakternya. Makanya momen-momen ketika Sri terpukul telah membunuh satu karakter enggak benar-benar kena. Padahal secara teorinya dia telah ngelakuin something opposite dari tujuannya pengen membantu.  Momen ketika dia menolak duit pun jadi tidak benar-benar nendang. Padahal itu momen puncak yang juga mengusung gagasan cerita. Yang mengaitkan Sri dengan bigger things dalam universe cerita ini.

Menolak duit yang harusnya adalah upah dirinya adalah pembelajaran Sri soal bagaimana ‘cara kerja’ Mbah Karsa. Bahwa semua itu merupakan lingkaran setan. Lingkaran setan di sini bukan hanya soal kau menyerangku, maka aku menyerangmu – seperti Mbah Karsa dengan musuhnya. Tapi juga soal aku membantumu, maka kau harus membantuku. Yang dilakukan Sri sebenarnya adalah menolak untuk terus terikat dengan Mbah Karsa. Dia ingin lepas dari lingkaran itu, karena baginya goal sudah tercapai. Dia sudah meredeem diri dengan membantu Dela.

 

Film ini sempat dipermasalahkan soal bahasanya. Yang campur-campur Jawa Indonesia. Buatku, aku gak terlalu ngeh ke bahasa saat menonton. Mungkin karena terbiasa nonton film asing, yang bahasanya ku gak tau. Jadi for me, yang ‘terdengar’ itu ya cuma subtitle dan emotions yang mau diceritakan. Tapi memang, kalo mau pake bahasa tertentu, film harus komit dan benar-benar menjadikan bahasa itu sebagai identitas. Bukan sebagai gimmick. Pada Sewu Dino, memang Jawanya masih kayak gimmick, belum terlalu jadi identitas atau karakter. Tapi buatku gak nganggu. Menurutku yang tidak benar-benar perlu itu ya, ada ‘twist’ di tengah. Cerita terasa lebih ‘natural’ dan  fun ketika ketiga karakter di pondok itu merasa dipermainkan oleh setan di dalam tubuh Dela. Akan lebih menarik melihat gimana setan itu membuat mereka malah jadi saling serang di hari terakhir tugas mereka, misalnya, ketimbang masukin alur seseorang dengan sengaja sabotase dan si setan membiarkannya. Aku senang aja sama situasi horor tertutup mereka setiap hari harus masuk ke sana mandiin orang kesurupan. Malah aku pengennya jangan tiga hari doang, tapi full seribu hari aja sekalian. Repetitif, repetitif, deh!

Namun lore soal ada dua kubu di luar mereka semua itu memang akhirnya membayangi cerita yang sudah berusaha dibuat simpel oleh Kimo. Di momen akhir saat Sri mulai menguat sebagai karakter, Sewu Dino mulai tercampur aduk. Akan ada karakter yang tau-tau muncul. Akan ada lebih banyak misteri untuk dipecahkan. Ini membuat film jadi tidak berakhir memuaskan, walaupun journey karakter utama kita selesai dengan gemilang. Sewu Dino tetap terasa jadi sesuatu yang belum selesai, dan ini bukan cara yang benar-benar tepat untuk mengirim penonton pulang. Tidak cukup membuat penasaran, melainkan hanya ya gak puas saja. Terakhir kali aku ngerasa puas nonton horor yang ada cult-cultnya itu ya pas nonton akhir dari season 4 serial Servant di Apple TV+ Momen psikologikal horor dan turn around karakternya terasa banget. Kalian bisa langsung klik link berikut ini untuk langganan Apple TV+ dan catch up banyak lagi tontonan original lainnya https://apple.co/40MNvdM

Get it on Apple TV

 




Journey karakternya memang gak sampai terlalu dalam, film ini masih sebagian besar berfokus kepada kejadian horor yang terjadi, alih-alih menelisiknya. Tapi seenggaknya film ini menolak jadi terlampau ribet dengan lore dan segala macam perang santet yang membayangi alur karakter utamanya. Melihat dari si protagonis saja, film ini actually adalah cerita horor yang decent, dan digarap ke arah yang fun. Ingin mencuatkan pada situasi horor yang ngeri-ngeri sedap untuk ditonton. Tapi dijamin bikin ngompol kalo kita yang ngalamin. Enggak jelek, meski gak great juga karena masih berusaha catering buat jadi wahana bagi penonton. Ada twist yang gak perlu dijadiin seperti itu, misalnya. Yang jelas secara keseluruhan, film ini lebih baik dari KKN di Desa Penari. While it’s not saying much – karena standar KKN rendah banget – nilai plus film kali ini buatku adalah banyak elemen-elemen dari sini yang membuatnya jadi kayak something dari universe game Fatal Frame 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEWU DINO

 




That’s all we have for now.

Kalo menurut kalian kenapa Sri gak mau nerima uang bayarannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MANGKUJIWO 2 Review

 

“The sins of parents bleed further in the children”

 

 

Moral kebanyakan cerita horor adalah soal manusia ternyata lebih seram, lebih jahat, daripada hantu. Mangkujiwo karya Azhar Kinoi Lubis menekankan ‘moral’ tersebut dengan lebih jelas lagi, karena yang ia bikin di sini sebenarnya lebih sebagai sebuah thriller sadis perebutan kekuasaan supernatural. Thriller tentang manusia-manusia yang saling serang dengan ilmu hitam, saling memanipulasi untuk tujuan duniawi, dan para makhluk gaib tak lebih dari senjata yang diperebutkan. Dan manusia yang lebih lemah, jadi budak yang diperalat. Bagai pion yang digerakkan ke sana kemari. Or worst, jadi tumbal. Eksistensi film ini sebenarnya menarik, dan patut disyukuri. Karena ngasih warna berbeda pada genre horor lokal, memusatkan pada galian yang identitas klenik yang benar-benar lokal. Tapi film pertamanya tahun 2020 lalu itu, aku kurang suka. Mainly, karena kurang baiknya penggarapan naskah. Mangkujiwo pertama kayak orang yang mumbling nonsense. Begitu sibuk berkutat pada lore, istilah-istilah, dan eksposisi pembangunan dunia. Jadi aku tahu perbaikan apa yang kuharapkan pada sekuelnya kali ini. Satu hal yang pasti, Mangkujiwo 2 berpegang erat pada elemen-elemen yang diapresiasi penonton pada film pertamanya. Desain produksi dan artistik.  Yang paling kuingat di film pertamanya itu memang adalah penggunaan binatang-binatang horor (alias jijik) yang kayak asli. Nasi dicampur isi perut tikus, wheew masih kebayang ampe sekarang. Dan di film kedua ini, tikus-tikusnya memang dihadirkan lebih banyak lagi!!

As far as the opening goes, aku suka sama film kedua ini. Di pembuka itu kita ditempatkan di dalam studio bioskop. Lagi ada pemutaran film. Lalu kita melihat Uma, gadis yang bisa memanggil Kunti setiap kali dia terluka tak sadarkan diri, nonton di tengah-tengah barisan. Di belakang Romo-nya dan orang-orang penting lain. Bagi Uma, something feels off. Awalnya kupikir dia diserang gelombang panik. Mendadak dia melihat penonton lain di sekelilingnya dibantai oleh gerombolan orang yang datang entah dari mana. Uma berlarian, nangis kejer kalo istilah sekarang. Belakangan, kita tahu yang dilihat Uma roh-roh orang yang dulu memang pernah dibantai di situ. Ini opening yang decent banget, gak sih, buat cerita horor. Perfectly ngeset up tone keseluruhan, sekaligus ngasih tau permasalahan apa yang bakal menghantui karakternya.  Tapi kemudian film sampai pada bagian dialog-dialog karakter, dan it was still a meh. Mangkujiwo 2 masih tetap terbebani oleh segala macam eksposisi. Barulah ketika penjelasan dan intrik-intrik cerita sudah out-of-the-way, ceritanya kembali jadi sedikit lebih enak untuk dinikmati.

Jadi kenapa karakter Sujiwo Tejo ini bersikeras nyuruh orang memanggil dia Romo?

 

Masih ingat kemaren kita membahas film Autobiography yang serasa film horor meski tanpa setan? Nah, Mangkujiwo 2 ini kayak Autobiography jika film itu beneran film horor, dan agak sedikit lebih susah dalam berbicara. Permasalahannya mirip.  Mangkujiwo 2 juga punya latar politik yang seperti gambaran dari rezim-horor kita. Tapi di sini diceritakan ada higher power dari politik itu. Ada mastermind yang mengatur semua. Orang itu adalah Romo Brontosaurus. Eh salah, Romo Brotoseno. Bayangkan pemain catur, itulah posisi si Romo. Bidak-bidaknya adalah Jenderal, orang-orang gede lain, dan rakyat tak berdosa, seperti Uma, dan karakter fotografer yang diperankan oleh Marthino Lio, bernama Rimba. Rimba ini anak seorang aktivis yang dibunuh oleh Jenderal. Ya, sekarang bidak-bidak lama dan baru itu sedang diadu oleh Romo. Film mulai kerasa ‘enak’ ketika konflik seputar Rimba mulai dikembangkan. Pada review Mangkujiwo pertama aku menyebut film tersebut  tidak meninggalkan kesan apa-apa. Melainkan hanya nonsense dan kekerasan (pada perempuan pula!) Film itu tidak punya genuine feeling di baliknya. Film itu tidak punya cinta. Aku bukannya ge-er bilang film ini mendengarkanku atau apa, cuma yang jelas step up yang dilakukan film kedua ini adalah mereka actually memasukkan cinta ke dalam narasi. Ada suntikan feeling yang bisa kita rasakan, bisa kita ikuti di balik sadis dan jijiknya tikus-tikus itu sekarang. Cinta itu salah satunya datang dari hubungan antara Rimba dengan Uma. Dunia Mangkujiwo terasa jadi sedikit lebih hidup karena sekarang ada karakter dengan perasaan yang bisa kita relasikan, enggak melulu soal rebutan kekuatan dan kekuasaan. Anyway, jadi nanti Rimba ceritanya mulai sadar dan mengajak Uma untuk basically wake up.  Untuk melihat bahwa si Brotoseno bisa jadi bukan Romo, bukan ayah, sebaik yang Uma sangka. Anak muda seperti mereka harus melek, harus mengenali siapa, darimana; sejarah mereka. Jika tidak, mereka akan mengulangi ‘dosa’ negara, orang-orang sebelum mereka. Karena Romo sedang membuat mereka berjalan di siklus horor rezim dendam antar-generasi.

Perihal sejarah kelam akan terus berulang dijadikan film sebagai latar dari dunia horor cerita. Bahwa dosa orangtua, dosa generasi sebelumnya, akan diteruskan. Akan terpetakan pada generasi muda sesudahnya. Dan itu terjadi karena ada satu orang yang mengendalikan semuanya. Ada satu  pihak, dalam hal ini si Romo, yang seolah gak ikut campur dan kayak orang baik, tapi ternyata mengatur dan menghendaki itu semua demi kepentingannya sendiri. Jadi sebenarnya menarik juga untuk menelisik, di mana film ini meletakkan garis antara fiksi dan gambaran nyatanya?  Apakah film ini suggest ada higher power, ada sosok ‘Romo’ di balik kemelutnya negeri kita?

 

Seharusnya film menjadikan kisah Rimba dan Uma sebagai fokus. Paruh akhir ketika kita sudah bisa ‘melihat’ jelas karakter-karakter ini adalah bagian terbaik dari Mangkujiwo 2. Sayangnya, bagian ini seperti joke “kamu itu punya inner beauty, tapi terlalu dalam, gak keliatan”. Secara keseluruhan film masih sumpek oleh tetek-bengek istilah dan segala macamnya. Cerita dengan dunia dan logika sendiri memang selalu punya tantangan besar untuk membangun dunia itu. Terlalu banyak eksposisi, penonton bingung sama ‘aturan’ dunianya, memang jadi sandungan yang lumrah. Beberapa film toh mampu untuk melakukannya tanpa terlalu banyak merusak narasi dan tempo. Avatar pertama misalnya, aku kagum gimana dengan cepat dan efektif film itu menghamparkan sains teknologi avatar dan soal bulan Pandora. Ketika bicara Avatar, kita selalu kepikiran soal visual dan teknisnya, sehingga lupa kunci rahasia dari pencapaian film itu adalah naskah yang efektif. Penempatan dan pemampatan eksposisi yang terukur dan tepat-guna, karena film punya alur yang jelas. Sebaliknya, ini jugalah kenapa dua film Mangkujiwo seperti kesusahan dalam bertutur.

Film ini tidak punya plot yang jelas. Film ini cuma punya kejadian demi kejadian demi kejadian yang diungkap oleh ternyata, ternyata, dan ternyata. Plot yang dimaksud di sini adalah alur dari karakter, perspektifnya apa, maunya apa, journey-nya apa. Film ini bahkan gak punya bangunan yang jelas merujuk karakter utamanya. Dari opening, sepertinya Uma yang diperankan Yasamin Jasem adalah karakter utama. Tapi bukan, Uma terlalu pasif untuk jadi protagonis utama. Peran karakternya di sini ya cuma untuk manggil si Kunti. Uma repetitif banget. Ngelihat bayangan pembantaian – dirinya dipukulin beneran – pingsan – nyanyi Lingsir Wengi – lalu muntah setelah Kunti beraksi. Yang benar-benar aktif sebagai hero dan punya motivasi adalah Rimba. He’s the perfect choice untuk bawa plot yang jelas, tapi dia treatment-nya layaknya karakter pendukung saja. Karena sebenarnya film sudah mengeset Romo sebagai karakter utama. Ya, sama seperti pada film pertama, Mangkujiwo 2 juga sebenarnya adalah cerita tentang villain. It’s okay sebenarnya buat film menjadikan not-good person sebagai karakter utama. Malah bisa jadi menarik, kan, kita langsung melihat dari perspektif penjahat kayak di film Henry: Portrait of a Serial Killer. Hanya saja, sudah melakukan dua kali, tapi film ini tetap belum benar-benar total merangkai ceritanya ke dalam perspektif jahat si Romo. Karakternya gak punya journey, gak ada stake kuat, dan dia selalu ‘benar’. Film ini sempat juga mencoba untuk membuatnya menghibur kayak Jigsaw, yang sekilas John Kramer kayak kalah, tapi semua terkuak ternyata berjalan sesuai perhitungannya. Romo juga ada bagian kayak dia ‘kalah’, tapi enggak. Dan di momen itu, yang diinginkan film belum nyampe karena karakter Romo belum ada di level simpatik ataupun kita pedulikan seperti itu.  Film ini pengen kompleks dan different, tapi sendirinya belum mampu merangkai yang diincar dengan lancar.

Who lets the rats out? Who, who, who

 

Ambisius, sepertinya memang begitu. Walaupun karakter-karakternya banyak yang dihidupkan agak over-the-top, tapi film ini punya dialog yang cukup bermakna. Bukan dialog receh. Film ini cukup serius. Apalagi ketika menggarap horor dan adegan sadisnya, kita bisa lihat film ini gak main-main. Meski memang gak semua usahanya work out. Yang berhasil, kayaknya ya tikus-tikus itu. Aku nonton ini sampai – maaf – angkat kaki ke kursi, karena takut kalo-kalo ada tikus beneran di bawah tempat duduk hahaha.. Penempatan tikus untuk horor, fungsinya dalam narasi, berhasil dimasukkan. Adegan pembunuhan sadisnya, juga cukup oke. Cuma yang aneh adalah sosok kuntilanaknya. Asmara Abigail tidak reprising her role sebagai Kanti di sini, dan sebagai gantinya kita dapat kuntilanak merah yang generik banget. Cuma melayang di sana sebelum menyerang. Sama seperti Uma, Kuntinya repetitif dan gak berkesan. Atau mungkin kita yang sudah terlalu capek untuk terkesan. Capek sama mumbo-jumbo dan kerumitan bercerita. Terakhir, yang enggak banget, yaitu kekerasan pada perempuannya. Elemen ini dipertahankan oleh film. Aku ngerti, bukan ini saja horor yang ‘nyerang’ cewek. Bahwa ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh horor saat menjadikan karakter perempuan berjuang hidup-mati. Di sini, mungkin untuk menyimbolkan patriarkal, kepemimpinan laki-laki, tapi yang film ini lakukan untuk itu kadang ‘maksa’. Jatuhnya ya jadi kayak eksploitatif. Salah satu yang paling ‘maksa’ itu adalah saat adegan yang goalnya adalah mempertemukan Rimba dengan Kunti. Gak natural banget kelihatannya Rimba bisa gak sengaja mukul Uma, sampai berdarah dan pingsan.  Bukan hanya ditonjok ampe berdarah-darah, adegan kekerasan film ini malah ada yang gross banget melibatkan Romo dan Uma; yang meskipun off-cam, tapi tetep hard-to-watch.

 

 




Sempat terpikir olehku, bahwa mungkin film ini sebenarnya gak jelek. Film ini membuatku teringat sama dialognya Joker, soal ‘ahead of the curve’. Film ini adalah monster di luar horor normal. Yang kita semua belum siap untuk menerimanya. Horor yang basically membahas mastermind, dalang, dari kekacauan di kehidupan. Yang berangkat dari perebutan kekuatan mistis. Bahkan pembuatnya sendiri belum siap untuk horor ‘sebesar’ ini. Ya, mungkin itulah sebabnya kenapa film ini masih tampak begitu mentah. Olahan ceritanya masih sumpek, tidak ada alur yang jelas, karakter yang belum efektif dan berfungsi sebagaimana mestinya. Aku gak tahu mereka nyiapin berapa judul lagi, tapi paling enggak di film keduanya ini sudah ada sedikit perbaikan. Mungkin, sepertinya lebih pada sebuah harapan, saat film terakhirnya tayang kita semua lebih siap untuk menerima, dan mereka pun lebih siap untuk membuat dengan sebenar-benarnya potensi yang dipunya cerita.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MANGKUJIWO 2

 

 




That’s all we have for now.

Jadi, menurut kalian apa yang sebenarnya ingin dikatakan film ini dengan memperlihatkan bahwa ada kuasa yang lebih tinggi di atas Jenderal, kuasa di luar tatanan yang resmi?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TERRIFIER 2 Review

 

“Evil wants what it wants and won’t stop until it’s won or you kill it. And the only way to kill it is to be meaner than evil.”

 

 

Ini pertama kali aku kenal Art the Clown. Aku gak nonton film pertamanya. But, sekarang halloween, dan aku dengar sekuel dari film 2016 lalunya tayang, dan jadi hit box office di Amerika. Awalnya aku mutusin ikut nonton, mau bandingin aja horor laku di negara kita ama negara mereka sama-sama bego atau tidak. So, yea. Art the Clown ternyata badut yang lebih gila dari yang kusangka. Jahat. Sadis. Setan. Brutal. Jijik. Sinting. Edan. Busuk. And I like it!

Aku pun lantas tahu bahwa aku baru saja ‘berkenalan’ dengan ikon slasher modern yang sebenarnya. Art the Clown seperti didesain menjadi gabungan sekaligus berlawanan dengan ikon-ikon slasher dari 80-90an. Dia pendiam seperti Jason dan Michael Myers, tapi sekaligus usil dan berisik seperti Freddy Krueger. Bisa dibayangin tidak? Baiknya jangan deh, ntar mimpi buruk. Art juga dibikin gak bisa mati, dan seperti punya kekuatan mistis yang membuatnya bisa masih ‘aktif ya bun’ walau di kepalanya sendiri ada lubang menganga bekas peluru. Art juga bisa muncul di tempat-tempat yang mustahil, seolah bisa berteleport. Senjata pembunuhnya dibikin komikal, Art ke mana-mana membawa karung plastik berisi berbagai perkakas yang digunakannya untuk menyerang, mulai dari pisau berkarat hingga rantai.  Seperti badut-badut kebanyakan, Art memang hobi memainkan trik dan ketawa-ketawa, tapi ‘selera humor’ Art sungguh-sungguh menyakitkan bagi orang lain. Badut setan ini menganggap orang kesakitan itu lucu! Jadi, Art akan menyiksa korbannya, dan dia melakukannya seolah sedang bermain-main. Setelah mengelupasin batok kepala orang sehingga keliatan otak dalam salah satu adegan film ini, misalnya, Art akan ketawa dan tepuk tangan melihat korbannya itu menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Ketawanya si Art bukannya nyaring dan mengerikan menyumpah serapah kayak Freddy, melainkan ketawa tanpa suara. Namun film membuatnya seolah jeritan korban menjadi suara tawa Art. Di lain adegan, suara rekaman di rumah hantu dijadikan seolah suara Art menikmati ‘show berdarah’ buatannya sendiri. David Howard Thornton benar-benar great menghidupkan psikonya, jahatnya, badut ini lewat mime yang seringjuga kocak tapi dijamin selalu creepy. Pennywise jadi kayak anak pesantren jika dibandingkan dengan Art.Film ini actually ngasih eksplorasi soal siapa – atau lebih tepatnya – apa sebenarnya si Art ini, ada pengembangan lore yang dilakukan sekaligus dengan mengaitkannya dengan apa yang sepertinya sebuah gagasan yang dikandung oleh cerita di balik semua pembunuhan berdarah itu.

Michael Myers bisa istirahat dengan tenang, karena ini waktunya era badut!!

 

Oh boy, menyebut ‘pembunuhan berdarah’ sebenarnya sangat-sangat mengecilkan apa yang ditampilkan oleh film ini. Berita soal banyak penonton bioskop di Amerika yang muntah, hingga sampai pingsan, yah sekarang aku yakin itu bukan strategi marketing biar viral. Aksi kekerasan film ini sungguh-sungguh di level repulsive yang tinggi seperti demikian. Kayaknya sudah lama aku enggak panas-dingin nonton horor yang gore. Sutradara Damien Leone gak sungkan-sungkan! Dia menampilkan adegan potong kepala, full on-cam. Adegan ngelupas-ngelupasin kulit. Kepala meledak. Body horror dengan efek yang jijik. Kekerasan kepada anak – Art gak pandang bulu, cowok, cewek, anak kecil, orang dewasa, semuanya disayat-sayat dan dibikinnya bermandi darah. Leone tahu persis bikin horor – apalagi slasher ampe gore-gorean (istilah serem buat jor-joran, hihihi) – kudu bikin protagonisnya tersiksa luar dalam. Itulah yang ia pastikan. Protagonis cerita ini, si Sienna, dan adiknya, dan juga manusia-manusia lain yang ketemu dengan Art (baca: yang jadi korban) bener-bener dibikin berdarah-darah. Efek praktikal yang digunakan menambah pekatnya level sadis dan jijik film ini. Membuat semua ‘pembunuhan berdarah’ film ini terasa real, maka jadi makin menyeramkan. Satu adegan yang buatku benar-benar merasa gak nyaman adalah ketika Art muncul menyambut dan membagikan permen kepada anak-anak yang lagi trick or treat. Permennya ditarok di kepala korban dong! Kepala yang sudah dipenggal itu, dibuka batoknya, trus ditempat yang tadinya otak, diganti jadi buat naro permen-permen, dan si Art dengan gaya biasa aja bagiin permen seolah kepala itu adalah baskom yang sudah dihias kayak kepala. Salah satu anak yang ngambil permen dengan polosnya bilang “Ih, jijik lengket” karena di permennya masih ada darah beneran (atau malah sel otak, ewwww) dari orang yang baru saja diacak-acak isi kepalanya! Sick man!!

Bukan cuma darah, there’s literally shit in this movie. Aku yang udah antisipasi bakal ketemu adegan menjijikkan saja gak siap begitu si  Little Pale Girl, tahu-tahu menumpahkan limbah coklatnya ke lantai. Just “Proottt!!”. ‘Ya Allah lindungilah kami dari setan yang terkutuk’ moment banget!! Di film ini Art diberikan semacam sidekick yaitu badut anak kecil, yang interesting, bukan saja karena diperankan tak kalah meyakinkan oleh Amelie McLain (kok anak-anak barat bisa bagus sih kalo akting?) tapi juga karakternya yang dibentuk sebagai ambigu. Gak jelas apakah cewek cilik ini hantu atau sesuatu yang lebih simbolik dan lebih sinister. Kalo kalian pengen tahu, mungkin nanti malam bisa tanya langsung PAS DIA DAN ART DATANGKEKAMARMU!!!

Yang jelas kalo kalian bertanya kepadaku, jadi apakah ini film eksploitatif yang ‘murahan’ yang hanya gore-fest saja? Maka aku akan menjawab “Iya dan tidak”. Soal murah, memang film ini tipikal low-budget movie, namun dia berpesta pora dengan apa yang ia punya. Film ini menyuguhkan yang terbaik dari segi visual, kebrutalan, desain produksi dan estetiknya, hanya dengan budget yang tidak di level studio raksasa. Malah konon, film ini difund  sum-sum oleh para penggemar yang menginginkan sekuel dari cerita Art. Dari orang-orang sakit yang mendukung film ini jadi lebih sadislah kita mestinya berterima kasih. Serius. Jangan ngarep deh studio gede bikin yang penuh resiko dan melanggar batas kayak yang film ini lakukan. Makanya penggemar horor harusnya merayakan ini. Lalu, untuk soal ‘hanya gore-fest’, aku dengan bangga bilang tidak karena film ini actually berusaha menjadi lebih daripada itu. Terrifier 2 berusaha untuk menjadikan elemen mistisnya bukan sekadar cheap supernatural, melainkan jadi surealis yang ARTsy (alias banyak si Art-nya hihihi) Sureal film ini terutama datang dari si Little Pale Girl, ketika eksplorasi power Art, dan terutama ketika menggali koneksi antara Art dengan protagonis cerita. Film ini ada meggunakan menakuti lewat mimpi, yang adegannya cukup panjang. Biasanya aku gak suka adegan mimpi, tapi film ini melakukannya dengan benar karena mimpi tersebut tidak dibentuk untuk mengecoh ‘udah serem-serem taunya mimpi’, melainkan kita diingatkan ini mimpi. Adegannya seramnya diselingi shot si Sienna lagi tidur, dan tidurnya gelisah. Mimpi ini adalah bagian dari galian karakterisasi, karena inilah waktu film menyelami psikologis Sienna. Dia memimpikan Art, dan mimpinya itu crossover dengan dunia nyata. Adegan tersebut jadi mengsetup banyak elemen cerita, tanpa kita merasa terkecoh melainkan jadi berpikir. Film ini bukan tipe gore yang kita tinggal istirahatin otak untuk bisa menikmatinya.

 

Aku, ketika teror sudah usai, tapi ternyata ada mid credit scene dengan Chris Jericho!

 

Film slasher biasanya tak ngembangin karakter karena tahu penonton bakal lebih suka untuk peduli sama karakter pembunuh maniaknya. Terrifier 2 gak mau jadi fllm slasher yang biasa. Adegan mimpi yang panjang itu jadi bukti Terrifier 2 peduli sama karakter manusia, dan benar-benar punya plot dan pengembangan untuk protagonisnya. Jadi ceritanya, Sienna dan adik cowoknya, Jonathan, yang masih 12 tahun, masing-masing sedang dealing with kematian ayah mereka yang sepertinya seorang komikus. Apa yang terjadi pada ayahnya mereka ini penting, dan direveal bertahap oleh film. Tapi tidak pernah sepenuhnya. Film masih menyisakan ruang untuk misteri dan kita berteori.  Yang jelas, si ayah meninggalkan buku yang berisi kasus-kasus si Art kepada Jonathan dan karakter superhero (wanita berarmor dan bersayap ala Valkyrie) kepada Sienna, yang actually membuat sendiri kostum sang superhero untuk halloween. Implikasinya adalah si ayah tahu tentang Art dan percaya Art bisa dibunuh dengan pedang si superhero. Koneksi ini, plus kedua kakak beradik ini juga bisa melihat The Little Pale Girl membuat Art menjadikan mereka sasaran utama. Sienna (Lauren LaVera tampak perfect di kostu, eh di perannya ini) kini harus berjuang untuk benar-benar bisa menjadi superhero bagi keluarganya, menyelamatkan mereka dari Art.

Ada drama keluarga yang legit membahas grief dan koneksi dari anggota keluarga yang ditinggalkan misteri di balik ini gore-fest yang memang jadi sajian utama. Drama dan konflik yang lebih personal yang dibuat oleh film tidak punya easy answer. Terrifier 2 tidak memberikan jawaban apa-apa. Melainkan membuat kita lebih berpikir lagi karena sekarang drama dan mistis dan lore dan koneksi ajaib para karakter, dan bahkan something dari film pertamanya, jadi satu. Jadi puzzle besar, yang setiap kepingannya begitu aneh, untuk kita susun. Film ini bijak tidak memberikan jawaban, melainkan memastikan ceritanya masuk ke dalam logika dunia yang mereka ciptakan. Inilah yang harusnya dilakukan oleh film-film horor. Bukan semata menciptakan misteri, kemudian memberikan jawabnya – or worse, bertingkah seolah ada jawaban untuk misterinya (“Ayo penonton yang bisa menangkap clue-cluenya berarti kalian cerdaasss”). Melainkan memberi ruang bagi penonton untuk menyelami misteri tersebut. Untuk berteori, kemudian merasa ngeri sendiri. Terrifier 2 memberikan itu semua kepada kita. Momen untuk jerit-jerit. Momen untuk mual. Momen untuk bergidik. Momen untuk refleksi ke karakter. Momen untuk menebak dan berteori, tanpa harus tahu mana yang benar-mana yang salah.

Teoriku, alasan Sienna dan Jonathan bisa melihat The Little Pale Girl seperti Art, adalah karena selain sebagai sosok ‘hantu’ si badut cilik ini adalah simbol darkness dalam diri. Sienna dan Jonathan bisa melihat karena mereka punya sisi kelam akibat ditinggal ayah. Itulah kenapa Art menyasar mereka. Karena untuk membunuh setan, manusia harus melakukan hal yang lebih kejam daripada setan itu sendiri. Sienna dan Jonathan bisa melihat si cilik, jadi bukti bahwa mereka berpotensi jadi ‘bahaya’ bagi Art. Terutama si Sienna, yang punya jiwa pemberani yang belum ia sadari. Jiwa yang jadi pembeda dirinya dengan Art. Makanya juga si karakter dari film pertama dimunculkan, karena dia survivor Art, yang actually jadi sinting seperti Art. Dia tidak punya yang dimiliki Sienna. Sifat pemberani dan heroik, yang lebih lanjut disimbolkan oleh armor, sayap, dan pedang kostum Valkyrie yang Sienna kenakan.

Art the Clown yang tak bisa mati sejatinya diniatkan oleh film sebagai perwujudan dari evil itu sendiri. Dan yang namanya evil tidak bisa dibunuh. Kenapa? karena untuk membunuh evil, seseorang harus bertindak lebih setan daripada si evil itu sendiri. Sehingga jadi semacam kejahatan melahirkan kejahatan. Ya, melahirkan. Menurutku itulah makna yang disimbolkan film ketika memperlihatkan kepala Art terlahir dari survivor kebrutalan dirinya. Orang yang selamat dari dirinya yang evil, berarti sendirinya telah menjadi evil yang bahkan lebih brutal. Siklus kejahatan akan terus berulang, jika tidak banyak yang seperti Sienna.

 




Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan (kecuali kalian lagi bikin video challenge try not to vomit) Karena film ini memberikan semua yang diminta, yang diidam-idamkan oleh penggemar horor slasher berdarah, yakni gore brutal yang kelewat real. Badanku literally panas-dingin nonton ini. Tapi aku suka, karena inilah yang kurindukan dari horor sadis. Karakter yang konyol tapi super seram. Suasana yang mencekam tapi ada surelisnya juga. Film ini memberikan itu semua, and more! Karena di sini, karakterisasi, plot, benar-benar diberikan pengembangan. Kita tidak hanya menonton orang-orang mati dibunuh dalam cara yang semakin bikin meringis. Film ini memang ngasih itu, tapi juga ada cerita – drama yang mumpuni di baliknya. Aktingnya juga gak jelek dan cheap kayak film-film horor biasa yang menjual wahana. Malah aku bisa bilang film ini berhasil menciptakan karakter yang bakal ikonik di horor. Antagonis, maupun protagonisnya. Ini adalah kontender legit untuk horor terbaik 2022, asal kita sanggup menguatkan diri untuk bertahan hingga durasinya habis. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TERRIFIER 2

 

 




That’s all we have for now.

Apa yang membuat karakter horor bisa menjadi ikon? Apakah kalian punya kriteria tertentu?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



X Review

 

“The old often envy the young”

 

 

 

Horor mirip ama bokep. Keduanya adalah genre yang ditonton orang-orang bukan untuk plot. Penonton memilih film horor supaya bisa melihat karakter-karakter mati mengenaskan. Nilai plus bagi penonton kalo si karakter itu sempat telanjang dulu sebelum dibunuh ajal (which is why paduan horor-bokep easily jadi yang paling laris). Sementara bokep sendiri, jelas,  penonton cuma mau melihat orang gak pakai baju, dalam apapun situasi fantasi mereka. Keduanya adalah eksploitasi,  dan yang terburuk dari mereka adalah bahwa keduanya penuh oleh male-gaze. Tentu saja gak semuanya begitu, ada juga pembuat-pembuat yang mencoba membuat horor, maupun porn, sebagai sebuah seni. Dalam horor, lahir istilah elevated-horor. Horor yang artsy banget, sampai-sampai susah untuk dimengerti. Dalam bokep, I don’t know honestly, tapi dalam film X yang merupakan comeback horor sutradara Ti West ada karakter filmmaker bokep yang berusaha membuat tontonan yang benar-benar nyeni dan cinematik. Memang, fenomena horor dan porn yang saling bersilangan ini jadi circle back together di bawah X (come to think of it, aku jadi gak yakin judul film ini dibacanya memang “ex”, atau “cross”) yang merupakan produksi studio A24. Studio yang khusus bikin apa yang disuka oleh orang banyak dengan gaya yang super duper nyeni.

Yang Ti West bikin kali ini memang film yang ada unsur horor dan bokepnya. Tapi bukan dalam sense ‘horor-bokep’ seperti yang dulu sempat hits banget di negara kita. West membuat sebuah sajian horor yang seperti ditarik langsung dari jaman puncak kebangkitan mainstream genre ini (akhir 70-an) dengan cerita tentang sekelompok kecil pembuat film dewasa.  Mereka menyewa kabin di daerah pedesaan Texas, tapi enggak bilang kepada pasangan tua yang punya kabin tersebut kalo bangunan dan lokasi sekitarnya itu akan dijadikan lokasi suting film bokep. Siang harinya memang suting mereka berjalan lancar (yang berarti peringatan kepada kalian untuk tidak menonton film ini saat sedang berpuasa). Pas malam tiba, baru semua rusuh. Nenek tua yang sedari siang ngintipin mereka mulai kumat dan membunuh semua tamunya satu persatu.

Jenna Ortega sekali lagi bermain di film yang bicara tentang elevated horror.

 

 

Biasanya film-film A24 memang cukup angker bagi penonton mainstream. Karena memang biasanya nyeni dalam kamus mereka berarti film yang bercerita dengan pace lambat, minim dialog, dan secara general sukar untuk langsung dimengerti. Film X ini tidak dibuat dengan seperti itu. X ini benar-benar dibuat mainstream. Dibuat untuk bikin penonton merasakan sensasi sama dengan saat menyaksikan horor, atau bokep. Seperti yang kubilang, jangan nonton ini pas puasa karena adegan-adegan filmmaking mereka meskipun dibuat dengan sinematik tapi tetap straightforward. Kalian bahkan perlu buat ngecilin suara untuk beberapa adegan tertentu. Elemen horornya pun dibuat sedekat mungkin dengan horor ‘fun’ yang biasa kita cari kalo lagi kepengen nonton sambil santai. Lokasi terpencil. Orangtua aneh dan menyeramkan. Pembunuhan sadis berdarah-darah. Ke-overthetop-an kejadian sebagai kontras efek low budget yang jadi pesona khas horor jadul juga ada. Bahkan hewan buas juga jadi aspek horor di sini. Era 79 yang dijadikan latar waktu cerita memang terasa sangat hidup. Kamera, audio, desain produksi. Semuanya membuat film ini kayak beneran dibikin di tahun segitu. Dengar saja dialognya yang kayak percakapan jadul. Kurang lebih pencapaiannya mirip ama Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) yang berhasil melukiskan era action 80-an. Film X ini vibenya mirip banget sama The Texas Chain Saw Massacre original (1974). Bahkan set up cerita yang mereka semua datang dengan mobil van, terus lokasi dan rumahnya yang bakal jadi TKP-nya pun pasti bakal ngingetin fans horor kepada film si Leather Face. Yang selalu paling kuapresiasi tentu saja adalah gak ada jumpscare suara-suara pencopot jantung sama sekali. Adegan yang mengagetkan buat karakter dalam cerita sih ada, tapi tidak pernah disertai dengan treatment yang memaksa kita untuk melompat dari kursi.

Di situlah letak seninya. West benar-benar menguatkan pada kreasi. Dia memilih setting dan estetik 70-80an bukan tanpa alasan. Bukan sekadar throwback nostalgia. Tema yang disilangkannya di sini adalah soal tua dan muda. Secara visual dan penampakan luar, film ini membawa kita ke horor jadul, tapi dia menambahkan unsur-unsur kebaruan – unsur yang mendobrak – merayap di balik itu semua. Pertama kamera, West menggunakan kamera melayang di atas pada beberapa adegan yang bikin kita menahan napas, seperti pada adegan di danau (dengan buaya gede!) dan adegan di ranjang (protagonis kita ngumpet di bawah kolong). Kamera itu ngeshot dari atas langsung ke bawah, kayak lagi tengkurap di langit. Menghasilkan pandangan wide yang kerasa benar-benar horor dan mencekat yang ada di bawah. Penggunaan kamera demikian seperti benar-benar menempatkan film di batas antara film lama dengan film baru. Terasa modern dengan semacam drone, tapi juga closed dan feel traditional dengan scare yang dihasilkan. Ada satu lagi teknik aneh yang dipakai oleh West, yaitu editing transisi pada beberapa adegan. Meski gak berhubungan dengan old-and-new, tapi editing ini in-theme dengan gambaran atau simbol X yang diangkat. Karena West memang menyambungkan dua adegan berbeda seperti saling silang. Agak sulit digambarkan dengan kata-kata, tapi kalo dari urutan editing tersebut bekerja begini: Adegan B akan masuk gitu aja saat Adegan A masih berlangsung, selama beberapa detik lalu balik lagi ke Adegan A, lalu baru benar-benar tiba di Adegan B. Tadinya kupikir ini kesalahan editing, karena tau-tau ada adegan sapi saat mereka ngobrol di dalam mobil. Tapi ternyata editing masuk bersilangan itu muncul sekitar dua-tiga kali lagi sepanjang durasi.

Secara kronologi adegan juga film ini bergaya. Cerita actually dimulai dengan polisi menyelidiki rumah dan menemukan banyak korban. Lalu kita dibawa mundur dan melihat kejadian apa yang terjadi di sana sebelumnya; kejadian itulah yang jadi menu utama film. Sekilas memang ini struktur kronologi yang sudah lumrah digunakan oleh film-film. Tapi sesungguhnya di film ini, struktur tersebut punya fungsi yang lebih signifikan ke dalam tema besar narasi. Dengan menjadikannya berjalan seperti demikian, West membuat cerita film ini menjadi melingkar. Namun dengan karakter reveal yang jadi saling bersilang. Penting bagi kita untuk mendengar ‘pengajian’ gereja di televisi itu duluan karena itu bagian dari development karakter utama, yang nanti bakal ngecircled back berkat struktur melingkar, menandakan pembelajaran karakter yang jika dilakukan dengan linear maka hanya akan terasa ambigu.

Pelototkan mata untuk berbagai adegan yang ‘meramalkan’ kematian karakter-karakter

 

 

Bagian terbaik yang dilakukan film ini terkait tema old-new tersebut adalah karakterisasi tokoh-tokohnya. Seperti halnya horor jadul, karakter yang hadir di X pun sering melakukan pilihan bego. Keputusan mereka sering bikin kita ketawa. Kayak karakter si Jenna Ortega yang setelah diselamatkan, tau-tau malah marah dan pergi gitu aja. Hebatnya, mereka gak hanya tampil bego untuk mati. Mereka gak otomatis annoying, karena film sesungguhnya mendekonstruksi stereotipikal karakter mereka. Dalam horor jadul, yang mati duluan adalah karakter yang ‘nakal’, yang biasanya adalah cewek pirang yang isi otaknya cuma berduaan sama pacarnya, si atlet yang pikirannya ngeres. Final Girl (protagonis/heroine) film jadul selalu adalah cewek baek-baek, yang erat ditandai oleh si karakter masih perawan. Film X merombak ulang semuanya. Yang mati duluan di sini adalah karakter yang tidak have sex, at least tidak di depan kamera. Cewek pirang di sini otaknya berisi pemikiran progresif tentang peran wanita dan kemandirian. Protagonis alias Final Girl cerita adalah Maxine (diperankan oleh Mia Goth yang setengah wajahnya dikasih freckles), salah satu bintang film bokep yang mereka bikin. Arc Maxine benar-benar kebalikan dari sosok Final Girl tradisional.

Konstruksi karakter tersebut membuat film dengan vibe 70an ini jadi relevan. Dengan Final Girl yang bukan lagi ‘orang suci’, film X ingin mengangkat diskusi soal pandangan lama yang sepertinya sudah kadaluarsa di masa modern. Pandangan soal otonomi perempuan dalam hidup atau karirnya. Pembicaraan karakter film ini seputar menjadi seorang bintang bokep (atau soal membuat film porno sebagai sebuah pekerjaan, yang juga bagian dari seni) mirip dengan persoalan di dunia kita mengenai pelacur yang statusnya dinilai lebih terhormat. Tentunya ‘antagonis’ yang tepat untuk perspektif ini adalah agama. Old couple yang jadi pembunuh dalam cerita berasal dari keluarga yang taat beragama, mereka mendengarkan dakwah degradasi moral anak muda. Di tangan yang salah, bidak-bidak ini akan berkembang menjadi cerita yang bakal ofensif dan one-sided. Memojokkan agama. X di tangan West tidak pernah menjadi seperti itu. Bahasan agama ia handle dengan hati-hati. Dikembalikan kepada karakter itu sendiri. Perhatikan perbedaan intonasi dan pilihan kata Maxine saat menyebut dirinya adalah simbol seks di depan cermin pada beberapa adegan. Those would reveal banyak hal, mulai dari development karakter (realisasi dianggap objek hingga menjadi subjek) hingga sedikit backstory karakter itu.  See, dalam menganani bahasannya, film ini jadi sangat ber-layered, akan mudah melihat film menjadi ambigu jika kita ketinggalan satu lapisan. Yang ultimately membuat X jadi punya rewatch value tersendiri.

Tema old-new tadi digunakan untuk memperhalus lagi bahasan sensitif  tersebut. Film tidak sekasar itu menyebut pasangan tua itu jadi sadis karena maniak agama. Film membawa bahasannya ke arah mereka sudah tua, sudah terlalu lama menahan diri. Terlalu lama mengejar bahagia di hari nanti. Kenapa tidak bahagia di masa muda? Konflik film ini sebenarnya bisa disederhanakan sebagai sebuah rasa penyesalan di usia tua. Maka dari itulah West ngasih Mia Goth dua peran. West membuat si Nenek Tua diperankan juga oleh Mia sehingga adegan-adegan antara Maxine dengan si Nenek punya bobot yang lebih besar – kita jadi mengerti si Nenek bisa melihat Maxine sebagai dirinya di masa muda, sebagaimana juga kita melihat Maxine gak mau menjadi seperti Nenek nanti saat tua. Again, karakter mereka juga jadi simbol seperti X yang saling bersilangan.

Alasan Nenek Tua membunuh semua orang (bukan hanya geng Maxine saja, tapi sepertinya beliau sudah sering melakukan ini sebelumnya) bukan semata karena sange. Si Nenekiri dengan anak muda yang masih bisa mengejar segalanya, Iri sama anak muda yang berani memilih untuk bahagia atas kemauan dan sebagai dirinya sendiri. Orang tua memang selalu cemburu kepada anak muda. Karena anak muda punya kekuatan untuk memilih.

 

 

 

Ini boleh jadi adalah horor favoritku tahun ini (belum bisa mutusin, karena baru bulan Apriilll!!). But for sure, film ini beneran keren dan dibuat dengan penuh kreasi dan pemikiran. Film ini membuktikan kalo sajian horor artsy gak harus selalu berat. Sekaligus membuktikan horor mainstream yang fun dan ‘genre’ abis, serta bahkan yang tampak eksploitatif sekalipun, bisa sarat oleh muatan dan memantik diskusi. Horor yang fun gak musti total bego di atas sadis dan seram. Setiap film, apapun genrenya, dapat menjadi tontonan yang menarik dengan naskah cemerlang, gaya yang asik, dan sutradara yang benar-benar peduli sama craft dan punya visi. Film ini punya semua itu. Ada banyak lapisan untuk dibincangkan. Tak lupa sebagai horor, dia mengerikan – punya antagonis creepy, pembunuhan sadis, setting terkurung, dengan stake hidup atau mati. Paduan atau persilangan yang benar-benar seimbang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for X.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menjadi bintang bokep lebih mulia daripada maniak agama?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TEXAS CHAINSAW MASSACRE Review

“To live is to be haunted”

 

Rekuel, istilah untuk sekuel-reboot seperti yang sudah disebutkan oleh Scream (2022), sepertinya beneran sudah jadi go-to plan oleh studio yang ingin menghidupkan kembali franchise atau judul ikonik miliknya. Rekuel ini menjadi hits terutama dalam genre horor. Bikin sekuel dari cerita original puluhan tahun yang lalu dengan judul yang sama dengan original dan meniadakan sekuel-sekuel lain mereka sebelumnya, telah dilakukan oleh Halloween, Candyman, Wrong Turn, Child’s Play, hingga ke Scream itu sendiri. Dan sekarang, giliran Texas Chain Saw Massacre turut serta. Nyaris lima-puluh tahun sejak film originalnya. Tentu saja ini adalah taktik untuk nyari duit yang lebih gampang; alih-alih bikin cerita atau tokoh horor original yang belum tentu disukai orang, kenapa tidak bikin kembali dari yang sudah ada. Scream, being meta dan suka ngejek genrenya sendiri, sudah ngasih tahu ke kita bahwasanya rekuel ada yang bagus dan gak sedikit juga yang cuma cash-grab murahan. Rekuel yang bagus adalah yang menghadirkan stake, gak sekadar munculin karakter lama lalu lantas either mendewakan atau membunuh mereka gitu aja. Dan Texas Chainsaw Massacre, sayangnya, termasuk ke dalam bagian rekuel yang disebut Amber dalam Scream sebagai “bullshit, cash-in, run of the mill sequel.”

texasthe_texas_chainsaw_massacre_netflix
To be fair, film ini berontak dari aturan rekuel karena judulnya ama film original beda di ‘The’ dan spasi doang

 

 

The original The Texas Chain Saw Massacre (1974) jadi kesayangan kritikus dan penggemar horor karena film tersebut tidak pernah cuma sekadar tontonan ‘pembantaian dengan gergaji mesin di Texas’. Film tersebut dipertimbangkan banyak orang sebagai horor seni sebab di balik kekosongan plot dan beberapa breakthrough yang dilakukan pada jaman itu, sutradara Tobe Hooper memang bercerita dengan implisit.  Film itu kita kenang sebagai film yang sadis bukan karena menonjolkan darah dan bunuh-bunuhan secara terang-terangan. Coba deh kalian tonton lagi. Sebenarnya adegan pembantaiannya dilakukan dengan cut dan editing yang sangat precise, horor itu sesungguhnya ada di imajinasi kita, film ini ‘hanya’ menceritakan dan ngebuild upnya dengan sempurna. Tidak hanya itu, ada anyak lapisan yang bisa kita kupas saat menelurusi narasi dan elemen-elemen horor tadi. Bahkan pernah dilaporkan sutradara horor fantasi asal Spanyol Guillermo del Toro sampai sempat berhenti makan daging untuk beberapa waktu setelah menonton film ini. Bukan karena jijik, tapi karena pembicaraan para karakter seputar perilaku manusia dalam konsumsi daging benar-benar telah merayap menghantui dirinya.

David Blue Garcia, selaku sutradara untuk Texas Chainsaw Massacre baru ini bukannya tidak mencoba untuk memberikan lapisan. Film ini berusaha mencuatkan keadaan masa kini supaya filmnya relevan, seperti film original yang memotret kawula muda pada jamannya. Bahasan hidup bebas, dinamika keluarga, dan sedikit komentar soal rasis/kependudukan yang marak di tahun 1970an kini berganti dengan bahasan yang secara esensi tidak banyak berubah, tapi ya terasa dekat dengan permasalahan dunia modern. Kelompok anak muda yang ada di sentral narasi adalah influencer, yang punya visi untuk mengubah kota mati Harlow di pinggiran Texas menjadi tempat hidup untuk komunitas anak-anak muda. Istilah yang tepat sepertinya adalah gentrifikasi (bahasan yang juga ada di film Candyman terbaru). Jadi, mereka datang ke tempat asing, dan mau mengubah tempat itu jadi galeri seni dan segala macam. Cekcok dengan warga lokal tentu tak dapat dihindarkan (meskipun bisa diatasi dengan terbuka). Real problem datang ketika salah satu bangunan panti asuhan yang ada di kota itu ternyata masih dihuni sama nenek tua yang menolak untuk dipindahkan. Malang bagi para anak muda, sosok besar yang telah melupakan naluri pembunuhnya ternyata tinggal dan nurut sama si nenek. Dan ketika si nenek akhirnya tiada karena ribut-ribut, si sosok itu mengenakan kulit wajah si nenek sebagai topeng, mengambil senjata pusakanya yang disimpan di balik tembok rumah, dan mulai membunuhi orang-orang muda yang mengusik kota tempat tinggalnya.

Nonton ini aku jadi seperti mengerti kenapa film-film horor tu selalu bikin karakter-karakter mereka bego. Karena film mau kita menikmati pembantaian para karakter. Menurutku, asal bukan karakter utama yang bego sih, oke-oke aja. Keasikan film ini datang dari menyaksikan Leatherface menghabisi anak muda yang kita gak tahu siapa mereka. You know, semacam keasikan yang kosong. Film justru makin napsu dengan memasukkan ‘penanda jaman’ semakin lanjut. Adegan ketika para turis kejebak di dalam bus bersama Leatherface jadi adegan paling menghibur karena begitu dungu. Kita tidak bersimpati, malahan di momen itu kita justru seperti berada di pihak Leatherface. 

Lapisan dramatis dan emosional film ini juga diniatkan datang dari karakter Lila (Kasian banget Elsie Fisher jadi kayak turun kelas main di film ini) yang diceritakan sebagai seorang penyintas dari peristiwa penembakan massal di sekolahnya. Karakter inilah yang diparalelkan ke karakter legend, Sally Hardesty (diperankan oleh Olwen Fouere karena Sally yang ‘asli’ telah berpulang ke Rahmatullah), protagonis di film original yang jadi satu-satunya survivor rumah jagal Leatherface. Sayangnya niat tersebut tidak benar-benar berbuah karena kedua karakter ini justru kurang matang dikembangkan oleh film. Selain sering melirikkan kamera ke bekas luka tembak Lila, film gak pernah benar-benar mengeksplorasi trauma karakter Lila. Hubungannya yang renggang dengan karakter kakaknya pun jarang dicuatkan. Film yang durasinya cuma 80 menit ini lebih banyak berkutat di adegan kucing-kucingan dengan Leatherface. Sudut pandang dipindah-pindah antara Lila, dan kakaknya, Melody (Sarah Yarkin berakting standar karakter horor) sehingga film ini gak punya karakter utama yang jelas. Sally pun tak tampak sebanding dengan Laurie Strode di rekuel Halloween ataupun dengan Sidney Prescott di rekuel Scream. Kemunculannya hanya supaya ada karakter legend, arc-nya kayak dipaksain ada, dan penyelesaiannya pun lemah. Film mau bikin rivalry antara Sally dengan Leatherface, tapi gak mampu untuk menulisnya. Jadi kayak berantem biasa aja, interaksi spesial itu tidak bisa film ini ciptakan. Ending film original malah jadi biasa aja saat kita tahu ternyata dia selamat hanya untuk jadi yang ia lakukan di film ini.

texas67562-1643705072
Sinopsis singkat, cek! Muji ala kadar, cek! Time for the caci maki!!!

 

Sesuatu yang gak membunuhmu, akan membuatku kuat. Tapi itu kalo kita tidak tenggelam dalam rasa trauma. Hidup akan terus dihantui oleh sesuatu yang mengerikan di masa lalu. Bagi Lila itu adalah penembakan, dan bagi Sally itu adalah si Leatherface. Lila perlu belajar untuk seperti Sally, yang kini sudah jauh lebih capable ketimbang dirinya berpuluh tahun yang lalu.

 

Gore dan bunuh-bunuhan yang sangat eksplisit jadi satu-satunya elemen yang membuat film ini watchable. Namun tentu saja itu gak bakal bikin film ini memorable. Gak akan bisa menjejak sekuat film originalnya. Apalagi film rekuel ini hadir di platform; sekarang jaman platform, kita bisa tinggal skip ke bagian bunuh-bunuhan aja. Aku bisa nonton bagian pembunuhan di menjelang akhir yang gokil itu beratus kali tanpa nonton film utuhnya. Penonton bisa gak peduli pada cerita dan actual things yang disampaikan film ini secara setengah-setengah. This is not good, bukan hanya untuk film ini, tapi juga untuk genre slasher horor keseluruhannya ke depan nanti. Jangan sampai penonton hanya ingin mencincang film dan skip ke bunuh-bunuhannya aja. Maka cerita dan karakter itu haruslah ditulis dengan kuat. Texas Chainsaw Massacre perlu lebih fokus dan menguatkan kengerian dari narasi, dari suspens, dari lingkungan dan konflik. Kota mati di film ini enggak menarik, mereka hanya nampilin kota yang kosong. Yang suasananya bahkan enggak seram. Atmosfer ini yang harusnya dibangun oleh film. Enggak semata mengeksploitasi Leatherface dan sadisnya saja.

Karena memang yang paling insulting untuk fans adalah si Leatherface itu. Dalam film original, karakter yang terinspirasi dari serial killer beneran ini diberikan lapisan psikologis. Dia kayak orang dewasa yang mentalnya masih anak-anak, yang besar di keluarga ‘tradisional’. Sedikit simpati yang kita rasakan untuk karakter penjahat utama ini datang dengan natural, dari momen-momen kecil yang menampilkan kevulnerableannya sebagai anggota keluarga tersebut. Dan Leatherface di original itu enggak superhuman. Bisa sakit, bisa dikalahkan. Tidak tertinggal di belakang, dan bisa mendadak muncul di tempat lain dengan cepat. Sedangkan di film terbaru ini, Leatherface udah kayak orang yang berbeda. Hanya kayak penyendiri. Dia sekarang kayak gabungan antara Michael Myers dengan Norman Bates. Mulanya film seperti pengen menarik simpati dari dia yang kehilangan pengasuh yang ia sayangi, dari dia yang terusir dari rumah, tapi kelamaan dia jadi semakin inhuman, dan film harus membuat karakter-karakter lain ignorant nan bego supaya kita ‘ada rasa’ ke Leatherface. Film bahkan membuatnya menari dengan chainsaw, meniru ending film original, tapi melihatnya itu ada feeling yang beda. Jika di original rasanya kompleks, hubungan korban yang kabur dengan mangsa itu menghantam kita dengan perasaan bercampur. Maka di film ini, rasanya yang datar aja, kita bahkan mungkin sudah full mendukung si Leatherface karena dia kuat, dia berhasil membantai orang-orang yang mengusik.

 

 

 

Bar-bar aja gak cukup. Yea, ketakutan penonton mungkin bisa terceklis dengan menghadirkan adegan pembunuhan yang openly brutal, bisa bikin nahan napas dengan adegan sembunyi-sembunyian, tapi film juga harus punya suspens dan tensi yang natural, yang berasal dari dinamika karakter. Itulah yang tidak dipunya oleh rekuel yang digarap dengan sangat basic ini. Naskah pengen memuat banyak lapisan, tapi tidak ada yang berhasil dikembangkan dengan drive yang alami. Film ini hanya seperti menempelkan gagasan, dan meng-overdid the characters. Kita tidak lagi takut dan peduli karena karakternya membunuh karena merasa terusik. Film meninggalkan semua itu dan memilih untuk mengubah semua elemen ceritanya menjadi inhuman dan datar. Se-uninspired setnya. Hampir seperti film ini sendiri dipasangi topeng yang membuatnya amat sangat jelek. Just ugly. 
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for TEXAS CHAINSAW MASSACRE

 

 

 

That’s all we have for now

Adegan pembunuhan mana yang jadi favoritmu di film ini? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

12 HOUR SHIFT Review

“Doctors treat illnesses, nurses treat people”
 
 

 
 
Mendengar cerita dari teman-teman yang kuliah di Kedokteran, jaga malam di klinik atau rumah sakit seringkali menjadi pengalaman yang rusuh dan seru. Mulai dari cerita horornya sampai ke cerita kedatangan pasien yang gak abis-abis. Menonton horor komedi 12 Hour Shift seperti benar-benar menghidupi pengalaman tersebut. Cerita yang diset ‘Pada suatu malam di Rumah Sakit di Arkansas 90an’ penuh oleh kejadian-kejadian chaotic seputar aktivitas jaga. Yang oleh sutradara Bea Grant – langganan berperan di film horor membuat Grant jadi punya perspektif dan visi tersendiri untuk genre ini – diperkuat volume kerusuhannya. Karena di sini Grant benar-benar menjungkirbalikkan image rumah sakit dan perawat itu sendiri. Membenturkannya dengan realita kehidupan yang keras untuk seorang wanita yang mengais kehidupan dari lingkungan berlatar malam.
Tokoh utama cerita ini bukan perawat putih baik hati, cakep dengan senyum pepsoden. Mandy (perawakan dan permainan gestur Angela Bettis pas sekali menangkap kehidupan keras yang membesarkan tokohnya) tampak ‘dekil’ dan gak-lebih sehat daripada pasien-pasien yang harus ia jaga. Kita diperkenalkan kepadanya saat tokoh ini sedang merokok. Dan later, dia mencuri pil obat. Lantas menghancurkan dan menghirupnya. Malam itu, Mandy bekerja dobel shift. Jelas dia butuh duit. Dan bahkan dobel shift itu belum cukup baginya. Karena Mandy punya ‘kerjaan’ lain. Sebagai perawat, Mandy memang cukup telaten dan bertanggungjawab terhadap pasien-pasiennya. Namun dia juga gak segan-segan menuangkan pemutih pakaian ke minuman pasien yang penyakitnya sudah parah. Mandy mempertimbangkan ini baik-baik. Ia memilih pasien mana yang akan diambil organnya. Untuk ia jual. Kekacauan itu datang dari sini. Saat sepupu Mandy yang bertugas menjadi kurir – yang mengantarkan ginjal dari Mandy ke underground buyer – malah menghilangkan ginjal tersebut. Dengan ancaman ginjal miliknya sendiri yang bakal jadi pengganti, sepupu Mandy kini menyusup ke rumah sakit sebagai perawat. Mencari ginjal baru, walaupun ginjal itu masih di dalam tubuh pasien yang sehat. Dan Mandy-lah yang kalang kabut berusaha membereskan keadaan sebab semakin lama sepupu semakin menggila sehingga polisi dan mafia underground tersebut mulai langsung terlibat di rumah sakit!

Dan tiba-tiba, Mick Foley! *cue Mankind music*

 
 
Kerusuhan yang terjadi dari perburuan ginjal yang semakin lama semakin terang-terangan itu diceritakan dalam balutan komedi. Film ini akan membuat adegan suster palsu yang ngaku jadi temen gereja seorang pasien dementia sebelum akhirnya mencoba untuk membunuh si pasien sebagai sesuatu yang lucu. 12 Hour Shift bermain di ranah dark-comedy. Tokoh-tokoh protagonisnya melakukan hal-hal semengerikan kerjaan antagonis, jadi film ini juga adalah cerita anti-hero yang sangat twisted. Dugaanku, enggak semua orang dapat dengan mudah mengapresiasi komedi yang dilakukan oleh film ini.
Untuk memastikan penonton peduli sama karakter-karakter protagonis tersebut, film ini cukup bijak untuk tidak menyandarkan pundak seutuhnya kepada komedi. Memang, film ini hidup oleh karakter yang ‘rusuh’ dan berantakan. Nyawa film ini terletak pada kejadian demi kejadian yang terus naik tensinya seiring kegilaan karakter yang semakin nekat. Namun film ini juga tidak melupakan esensi di balik ceritanya.  Ini bukan film yang dibuat sekedar untuk seru-seruan, kejar-kejaran, dan bunuh-bunuhan. Ada sesuatu yang layak untuk diperbincangkan merayap dalam konteks ceritanya itu sendiri. Karena 12 Hour Shift sebenarnya bersuara tentang moralitas dan pekerjaan. Tokoh kita adalah suster atau perawat yang diperlihatkan cukup peduli terhadap pasien, tapi tidak tahu lebih baik dalam urusan ‘merawat’ dirinya sendiri. Sebagai perawat ia juga dihadapkan kepada kewajiban untuk mengobati pasien-pasien yang seperti dirinya pribadi; junkie yang gak peduli sama tubuh, dan di kesempatan lain Mandy juga terlihat seperti ‘membantu’ terminal patient dengan ‘mempercepat’ kematian mereka – entah itu mereka mau atau tida.
Tindakan Mandy di film ini membuat kita mempertanyakan seperti apa tepatnya peran seseorang terhadap kehidupan orang lain. Pantaskah kita membantu orang lain padahal diri kita justru memerlukan bantuan yang lebih urgen. Bagaimana dengan kehendak orang; etiskah tindakan Mandy yang menyelamatkan dirinya sendiri dengan ‘menyelamatkan’ pasien yang udah parah, meskipun si pasien sudah barang tentu keberatan kalo Mandy minta ijin dulu sebelum mengakhiri derita penyakitnya? Dan bagaimana ketika Mandy ingin mengambil ginjal itu dari seorang kriminal? Rekannya mengangkat bahu dan berkata “May be he deserves it”. Rumah sakit dalam 12 Hour Shift bisa jadi dirancang sebagai paralel dari dunia nyata. Tempat orang-orang berusaha membantu orang lain, tapi sistem mengharuskan membantu diri sendiri dahulu, sedangkan sistem itu sendiri tidak begitu jelas perihal moralitasnya. Ending film ini lantas menunjukkan shift panjang itu praktisnya sama saja tidak berakhir. Tidak putus. Hanya sejenak waktu untuk Mandy bernapas lega, sebelum shift berikutnya tiba. Karena begitulah tuntutan hidupnya. Uang yang ia cari tidak pernah cukup, masalah yang datang kepadanya tidak pernah beres selama ia terus bekerja seperti demikian, dan Mandy sadar itulah dunianya.

Perbedaan antara dokter dan suster/perawat sebenarnya jauh lebih esensial daripada sekadar jumlah gaji mereka. Dokter mengobati penyakit. Suster mengobati orang sakit. Pekerjaan Mandy adalah merawat orang-orang tersebut. Namun merawat yang seperti apa? Bahkan para mafia pun menggunakan istilah ‘taking care of someone’ sebagai kode untuk membunuh mereka. Yang dikerjakan Mandy dalam film ini merefleksikan pilihan moral yang mungkin juga dihadapi banyak dari kita. Dihadapi ketika kata ‘membantu’ saja tidak cukup, dan perlu untuk dipertimbangkan segala sebab akibat yang menyertainya.

 

Kalo milih suster ‘edan’, aku masih lebih prefer Ratched sih

 
 
Dari sinopsisnya, kalian mungkin sudah menebak masalah yang hadir pada penceritaan film ini. Mandy di rumah sakit membereskan masalah yang dibawa oleh sepupunya yang menghilangkan ginjal untuk dikirim ke kurir. Semua situasi itu dikenai kepada Mandy. Tokoh utama kita bukan pencetus langsung dari aksi dan masalah yang ada. Melainkan dia hanya jadi ‘pemberes’. Sepupunya lah yang menarik trigger majunya kejadian demi kejadian. Nyawa sepupunya yang pertama kali berada di dalam bahaya, yang dipertaruhkan. Mandy hanya bereaksi terhadap aksi yang digerakkan oleh sang sepupu. Ini berarti Mandy adalah tokoh utama yang pasif. Jadinya kita lebih seru menonton aksi sepupunya ketimbang Mandy. Karena film juga tidak membiarkan momen-momen dramatis seputar masalah moral dan pilihan Mandy muncul lama-lama di layar. Cerita tidak membawa kita menyelami masalah itu. Melainkan tetap berfokus kepada kejadian-kejadian rusuh yang digebah oleh aksi sepuou Mandy.
Interaksi yang melibatkan Mandy seharusnya dibuat lebih engaging lagi. Candaan mestinya bisa ditulis dengan lebih gamblang dan tidak bernuansa inside joke antara Mandy dengan karakter lain di rumah sakit. Terutama, tempatkan Mandy di posisi yang riskan dan cahaya yang lebih tegas lagi, seperti cerita menempatkan sepupunya. Kita tahu sepupu cewek ini edan, bego, dan nekad. Film menggambarkan Mandy dengan sedikit terlalu berhati-hati. Usaha film membuat tokoh ini relate ke penonton justru berbalik membuat posisi tokohnya semakin gak-tegas. Film tetap seperti ragu menunjukkan bahwa Mandy lebih dekat sebagai seorang anti-hero ketimbang everyday-hero itu sendiri
 
 
 
 
Menarik berkat kejadian-kejadian rusuh yang digambarkan semakin menggila. Film ini didesain untuk membuat kita tergelak melihat kekacauan satu malam akibat karakter-karakter bercela. Hakikatnya, ini adalah dark-comedy yang menarik untuk disimak, berkat suara yang digaungkan di balik ceritanya. Namun secara bangunan cerita, film ini butuh banyak perbaikan. Terutama dalam membentuk karakter utamanya yang masih tampil pasif dan dikenai oleh kejadian dari aksi karakter yang lain. Film ini butuh untuk lebih memperdalam eksplorasi tokoh utamanya sebagai penyeimbang dari kejadian sensasional yang tak-pelak menenggelamkan bukan hanya si tokoh utama melainkan gaung gagasan film ini sendiri.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 12 HOUR SHIFT.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pantaskah kita membantu diri sendiri dengan dalih membantu orang lain? Setujukah kalian dengan pernyataan kita butuh persetujuan orang untuk dibantu sebelum membantu mereka?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE BABYSITTER: KILLER QUEEN Review

“You will never get over with a crush until you find a new one.”
 

 
 
Ngelupain ‘crush’ atau ‘orang-yang-kita-idolain-ampe-naksir-berat’ itu dapat menjadi hal yang susah untuk dilakukan. Terutama jika ‘pujaan’ kita itu benar-benar dalam kondisi gak mungkin untuk kita dapatkan. Semakin mustahil justru semakin susah. Karena kita penasaran dan tidak mendapat closure terhadap perasaan naksir yang simply tak tersampaikan tersebut.
Tengok saja si Cole. Udah dua tahun. Udah dua film. Tapi dia masih belum bisa melupakan babysitter lamanya yang kece dan keren; Bee. Hubungan yang menarik antara Cole dan Bee memang menjadi salah satu aspek yang bikin kita begitu kepincut sama horor-komedi The Babysitter (2017). Karena bukan hanya sebagai cem ceman, Bee ini udah kayak kakak sekaligus sahabat terbaik bagi Cole. Dan juga, seorang musuh. The Babysitter berubah menjadi horor slasher over-the-top ketika mengungkap bahwa Bee ternyata adalah pemimpin dari klub pemuja setan. Kelompok Bee mengincar darah Cole, si anak polos. Jadi, di samping masih terbayang-bayang sosok Bee, Cole yang sekarang udah SMA juga masih teringat-ingat akan peristiwa mengerikan tersebut. Dia jadi awkard sendiri di sekolah. Orangtua Cole sudah akan mengirimnya ke Psychiatric Academy, jika Cole hari itu tidak kabur ke pantai bersama teman masa kecilnya, Melanie. Namun toh Cole memang tidak gila. Di alam bebas itu, Cole bertemu kembali dengan hantu-hantu dari masa lalunya. Mereka kini bekerja sama dengan geng baru pemuja setan. Dan mereka semua juga belum melupakan soal Cole dan darah innocent Cole yang begitu berharga untuk ritual mereka!

Dan kejar-kejaran konyol itupun dimulai~

 
Aku suka film film pertama; Samara Weaving-nya keren, ceritanya unik, sadisnya fun. Sebagai sebuah sekuel, The Babysitter: Killer Queen ini mempertahankan banyak hal dari film pertamanya. Penonton yang suka dengan gaya gore dan humor lebaynya, sudah pasti akan menggelinjang karena film kali ini menghadirkan lebih banyak ‘tubuh’ yang bakal digunakan untuk eksplorasi kreasi adegan mati yang kocak-kocak. Penonton yang suka dengan gimmick komedi tulisan dan visual akan bernostalgia berat karena film kedua ini menggunakan gimmick yang persis sama. Mulai dari menampilkan judul di opening hingga ke kemunculan momen ‘WTF’ yang dibikin sebagai throwback buat film pertama. Di sekuen finalnya juga; jika film pertama menggunakan lagu We are the Champions, maka di film kedua ini lagu Queen yang dipasang adalah – you guessed it – Kille Queen. So yea, buat penonton yang suka ama sensasi mengenali hal-hal familiar, film ini punya kelebihan pada aspek tersebut. Pemain-pemain yang lama juga semuanya masih lengkap, memainkan karakter mereka terdahulu. Bahkan adegan mati mereka di film ini digambarkan punya kemiripan dengan adegan mati mereka di film sebelumnya. Misalnya, tokoh si Bella Thorne kembali kena tembak di dada dan akhirnya mati dengan kepala yang misah dari badan. Walaupun film terlihat kesusahan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Samara Weaving (karena karakternya mendapat pengurangan durasi yang cukup besar dibanding pada film pertama), elemen horor yang konyol masih dihadirkan dengan level maksimal untuk menyenangkan kita yang semakin hari semakin bosan dan butuh tontonan yang membuat kita sekejap kabur dari realita.
Sayangnya, hal vital satu lagi – selain Samara Weaving – gagal dihadirkan kembali oleh film. Penulis skenario yang menggarap The Babysitter pertama, Brian Duffield, yang notabene bertanggung jawab atas hadirnya penggalian cerita antara Cole dan Bee, yang membuat horor ala home-invasion menjadi menegangkan plus seru dengan ide-ide segar, tidak lagi ambil bagian nulis pada sekuel ini. Duffield hanya terkredit sebagai pencipta karakter. Sebagai gantinya, naskah digarap rombongan oleh sutradara McG bersama tiga kepala lain. Dan hasilnya langsung kelihatan di layar yang kita tonton. Absen sudah narasi yang terstruktur kuat dengan karakter-karakter yang menarik karena bersenang-senang dengan trope karakter dalam genre horor. Kejadian dalam The Babysitter: Killer Queen ini terasa semakin serabutan karena tuntunan dunia atau panggung cerita yang semakin luas, sementara para penulis naskah tidak mampu mengimbangi perluasan tersebut.
Kejar-kejaran itu jadi terasa random. Literally menampilkan tokoh random. Bicara soal gak bisa move on, empat orang di balik naskah ini sepertinya benar-benar memuja para tokoh lama dan gak peduli ama tokoh baru sehingga justru para tokoh lama yang mendapat backstory lebih lengkap. Itupun penceritaannya dilakukan dengan ala kadar dan kayak tempelan. Tokoh-tokoh baru tak sekonyol tokoh lama. Di sini dimunculkan tokoh pendukung mayor baru; seorang cewek pindahan yang punya masa lalu dengan Bee, hanya saja pengkarakteran tokoh ini begitu tipis. Dia baru benar-benar diungkap di akhir, dan sepanjang durasi sebelumnya si cewek ini tak lebih dari device cerita saja.
Hal yang menarik dari tokoh itu adalah, melaluinya dirinya film tampak ingin meng-subvert atau menggulingkan salah satu trope horor klasik. Atau sederhananya, ingin mengubah solusi-klasik dari film horor. Menjadikan solusi itu menjadi lebih cocok dengan keadaan masa-sekarang. Bahasan di paragraf ini bakal jadi spoiler ringan, aku mau ngingetin sedikit sebelum lanjut. Jadi, horor-horor klasik dibuat berdasarkan formula kebaikan menang mengalahkan kejahatan, yang digambarkan seringkali dengan simbol kemurnian lawan sesuatu yang korup. Putih-hitam. Kemurnian di situ berarti keperawanan. Kita acap melihat dalam slasher klasik tokoh yang mati duluan itu ya remaja-remaja binal. Yang dibunuh saat lagi ena-ena. Protagonisnya adalah cewek baik-baik. Kemurniannya bakal mengalahkan corrupt-nya setan. Trope ini pernah ‘ditumbangkan’ oleh Scream (1996) dengan menjadikan Sidney final girl meski gak lagi ‘murni’. The Babysitter: Killer Queen ini seperti menggulingkan apa yang sudah pernah ditumbangkan itu sekali lagi. Di sini setannya mengejar sesuatu yang polos alias murni, dan solusi yang dihadirkan adalah dengan tidak menjadi murni. Justru ketidakmurnian itu yang langsung dijadikan senjata untuk mengalahkan setan. Implikasinya bisa tergantung bacaan masing-masing penonton, dan film tidak ngejudge apapun. Dan kupikir elemen ini tentunya adalah kekuatan dari film ini, jika saja si film ini sendiri tidak terlalu khusyuk menguatkan kekonyolan-kekonyolan dan ceritanya dibuat jauh lebih rapi lagi.
Mungkin The Babysitter dibuat dengan deal ama setan, dan sekuel ini dijadikan tumbal

 
 

Salah satu cara ampuh untuk melupakan ‘crush’ adalah dengan menemukan pujaan yang baru. Cole menemukan ini dan akhirnya mendapat closure. Sayangnya si film sendiri belum, sehingga dirinya jadi terlalu berkubang di film terdahulu dan malah jadi seperti parodi dari film tersebut.

 
Jangankan untuk menyamai film pertamanya, untuk menjadi sebuah tontonan yang menghibur saja film ini tidak lagi mampu. Kekonyolan yang dihadirkan tidak lagi bikin kita senang karena terlalu over. Untuk awal-awal masih bisa ditolerir, namun kemudian semakin menjadi-jadi. Menyeruak ke mana-mana. Lelucon film ini bersandar pada referensi pop culture, dengan rentang yang sungguh luas. Dari polisi yang nyanyi “Ice, ice, baby” hingga ke Joe Exotic dan celetukan soal horor post-Jordan Peele. Untuk komedi dan aksi slashernya, film ini udah menyerempet level ‘edan’, dan edan yang bukan dalam artian positif. Edan, dalam artian kejadiannya terjadi tanpa ada bobot karena begitu random. Semuanya terasa overkill. Dan yang membuatnya semakin parah adalah, kejadian-kejadian tersebut akan jarang sekali terasa fresh. Ada satu sekuen-adegan yang buatku sangat garing. Yakni ketika ada dua tokoh yang berantem; film membuat berantem mereka itu dengan konsep seperti video game. Ada suara “Fight!” dari narator, di sudut atas layar kita kemudian tampil life-bar seperti pada game fighting, dan kedua tokoh tadi berantem pake jurus-jurus. Itu semua terjadi out-of-nowhere. Tampak seperti ingin niru Scott Pilgrim vs. The World, hanya saja dilakukan dengan lebih poor, dan randomnya tidak termaafkan karena tak sesuai degan dunia cerita yang dibangun. Like, kenapa di dunia yang ada cult dan setan, malah nonjolin konsep video game.
 
 
 
Masing-masing penulis tampaknya punya ide dan referensi. Tapi alih-alih berembuk dan menyatukannya menjadi satu konsep yang solid, semua ide dan referensi itu ditampilkan serabutan. Dicampurkan ke dunia dan tokoh-tokoh yang sudah kita kenal. Dan hasilnya ya memang sebuah kekonyolan yang menyerempet ke segala arah. Film ini tidak mampu menulis cerita dan karakter baru yang menyamai, setidaknya, bobot pada film pertama. Film ini tidak mampu menciptakan konsep baru. Film hanya tahu membuat semuanya jadi berskala lebih besar. Sayangnya, itu termasuk kebegoan. Malahan kebegoan itulah yang justru diprioritaskan untuk membesar.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE BABYSITTER: KILLER QUEEN

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Who’s your biggest crush ever? Dan bagaimana cara kalian move on darinya, jika bisa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SEBELUM IBLIS MENJEMPUT: AYAT 2 Review

“Better the devil you know than the devil you don’t”
 

 
 

Manusia lebih baik daripada iblis. Sejak iblis yang diciptakan dari api terang-terangan menolak memberikan penghormatan kepada manusia yang tercipta dari tanah, iblis diturunkan derajatnya. Dan mereka pun mengamini penurunan tersebut dengan bersumpah untuk terus sekuat tenaga menyesatkan anak manusia sehingga berada di dasar neraka bersama mereka. Alfie dalam Sebelum Iblis Menjemput (2018) menambah skor bagi manusia, dia berhasil mengalahkan iblis. Bersama adik tirinya, wanita ini lolos dari peristiwa maut yang mengubah kehidupan mereka. Dua tahun kemudian, kini di Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2, Alfie masih dihantui bisikan dan bayangan. Dia dan adiknya, Nara, lantas kembali dipaksa terlibat dalam masalah mengerikan yang berakar pada persoalan iblis menjebak manusia untuk melakukan perjanjian terkutuk. Hanya saja kali ini, angka skor tadi tidak lagi menjadi soal.

Karena, demi horor Alfie dan kita semua, keunggulan manusia terhadap iblis ternyata juga bisa berarti manusia yang menghamba pada iblis mampu menjadi iblis yang bahkan jauh lebih iblis daripada iblis itu sendiri.

 

tak ada yang waras di kota ini

 
Sutradara dan penulis naskah Timo Tjahjanto kembali mengajak kita bersenang-senang dengan horor sadis ala Evil Dead. Yakni horor dengan tone yang over-the-top, berisi makhluk-makhluk peranakan teror praktikal dan permainan teknis, dan ditaburi selera humor edan. Penggemar horor akan bersorak melihat adegan ala Alien lahirnya pria dewasa dari dalam tubuh seorang wanita. Reaksi terhadap berbagai trik horor dan jumpscare film ini jelas akan beragam. Misalnya adegan tangan setan yang ngasih jari tengah ke Alfie; ini bisa jadi adegan kocak bagi penonton yang gemar horor-horor ala B-horor 90-an. Dan di sisi lain, bagi beberapa penonton yang lain (sebagian besar sepertinya), adegan itu bakal jadi exactly just what it is; sebuah jari tengah yang diacungkan tepat ke depan muka semua orang yang mengharapkan peningkatan dari film yang pertama.
Filmografinya padahal sudah berbicara. Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2 actually merupakan sekuel pertama bagi Timo. Sebelum ini, dia dikenal dengan cerita-cerita orisinil. Gaya horor sadisnya bisa diaplikasikan ke cerita apapun, dan terbukti cukup menjual, sehingga sekuel Ayat 2 ini terasa dipaksakan dan justru membatasi. Karena cerita Alfie sudah tuntas di akhir film pertama, transformasi karakternya sudah sempurna. Akan lebih baik bagi Timo untuk menjual cerita pada film kedua ini sebagai cerita baru atau murni judul baru saja lantaran menarik Alfie kembali terasa sangat dipaksakan.
Ini semua kelihatan dari babak set up yang sangat lemah begitu mereka mulai memperlihatkan Alfie kepada kita. Ketika prolog dua cewek di rumah, yang ada keren netes terus dimatikan, tapi masih ada bunyi tetesan dan itu adalah bunyi darah yang menitik ke lantai, film terasa sangat menarik. Kita dihadapkan pada misteri baru, orang-orang baru, percakapan mereka did a good job membangun sosok Ayub dan kejadian mengerikan kehidupan mereka lima-belas-tahun lalu. Aku genuinely langsung penasaran. Apa sebenarnya yang menyerang si Gadis. Apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Relasi antargrup mereka juga disinyalir punya konflik. Tapi kemudian, kita dibawa menemui Alfie dan satu jumpscare berikutnya, kedua kubu ini  – orang-orang di prolog dan Alfie – berada di bangunan bekas panti. Film menyediakan sedikit sekali alasan logis yang menghubungkan Alfie dengan geng Gadis dan masalah mereka. Hanya sebatas karena Alfie pernah lolos dari iblis, dan sekarang anak-anak muda ini ingin minta tolong padanya karena nyawa mereka sedang diincar oleh sesosok iblis. Alfie seperti dipaksakan masuk; ini ironis karena cara film membuat Alfie ada di sana adalah dengan membuat geng Gadis menyatroni kediaman Alfie dan Nara, lengkap dengan topeng perampok, melumpuhkan Alfie, membawanya paksa – menyekapnya dalam bagasi mobil. Mereka minta tolong dengan literally menculik si calon penolong. Dan setelah teriak-teriak tanpa benar-benar menolak, Alfie mau saja menolong dan membaca mantra yang melepas semua petaka. Set up yang sungguh kentara dipaksakan supaya cepat, dan Alfie bisa ada di sana gitu aja. Padahal dia tidak punya hubungan ataupun masalah personal dengan salah satu dari Gadis dan teman-teman pantinya. Alfie tidak punya motivasi di plot ini. Dia hanya terpaksa karena iblis pervert musuh ‘klien’nya mengincar Nara (antagonisnya aja gak ada konflik-langsung dengan Alfie), dan satu-satunya yang menahan Alfie dan Nara gak cabut dari situ adalah mobil yang mogok.
Sure, masih ada transformasi yang dialami oleh Alfie. Di awal cerita dia adalah tough street-wise lady yang membakar kakak tirinya sendiri dan di akhir dia belajar bahwa dia adalah orang yang tidak punya kendali atas nyawanya sendiri. Dia adalah personifikasi dari manusia lebih baik ketimbang iblis sekaligus lebih buruk. Dihitung dari film pertama, seharusnya dia orang yang double bad-ass…(es?). Namun Alfie dimainkan dengan cara yang ‘lucu’ oleh Chelsea Islan. I mean, ada alasannya kenapa dulu aku memplesetkan namanya jadi Cheesy Island, tapi kemudian dia menunjukkan peningkatan akting yang signifikan. Di Sebelum Iblis Menjemput, Chelsea jelas bukan bahan tertawaan, perannya menggenjot fisik dan emosi, and she was delivered. Di film kedua ini, sayangnya, dia kembali menjadi Cheesy. Akting takutnya lebay. Bicaranya sebagian besar teriak-teriak hampa. Hampir seperti dirinya enggak nyaman dituntut seekspresif itu.
dan dia harus berpose metal untuk mengeluarkan kekuatan barunya

 
Cerita film ini masih akan bisa bekerja tanpa harus ada Alfie di sana. Sekelompok alumni panti yang ditarik kembali oleh iblis masa lalu mereka. Yang udah nonton, coba bayangkan kalo plot Alfie di film ini dijadikan plot si Budi, atau Gadis…. it could still work dan made more sense, kan. Ini adalah soal menggunakan iblis balik mengalahkan iblis; soal menemukan loophole di lingkaran setan. Film menggunakan Stockholm Syndrome lebih dalam dari lapisan luar narasi untuk memparalelkan hubungan manusia dengan iblis. Selain Alfie, sesungguhnya tokoh-tokoh baru yang berkenaan langsung dengan masalah dalam film ini gak ada yang punya karakter yang kuat. Mereka dangkal, dan klise. Si jutek, si misterius, si baik, mereka enggak punya background pribadi. Mereka hanya anak panti. Kenyataannya, mereka ini cuma penambah itungan kemenangan iblis atas manusia – mereka cuma jumlah korban. Bayangkan anak-anak Losers Club ketemu Pennywise, hanya kali ini mereka enggak berjuang — nah, begitulah tokoh-tokoh baru di film ini.
Banyaknya ‘korban’ enggak lantas berarti film ini punya adegan sadis/horor yang menyenangkan. Tidak, jika tokoh-tokoh ini sebagian besar hanya teriak-teriak, entah itu berargumen, atau nyari teman yang hilang (teriak padahal masing-masing pegang hatong), atau ketakutan. Dan lebih tidak lagi, saat adegan sadis/horornya monoton alias itu-itu melulu. Ada banyak sekali adegan setan seram di ujung (lorong/bawahtangga/seberang ruangan) dan kemudian si setan ini maju ke depan, mendekat dengan kecepatan edan sampai muka seramnya mau nabrak kamera. Manusia di film ini kesurupan iblis, dan tampaknya si iblis itu kesurupan Sonic!
 
 
 
 
Berakhir dengan cukup menarik sebenarnya, mungkin mereka mengincar trilogi. Dan jika iya, kita bisa mengharapkan arahan yang sangat berbeda pada film terakhir nanti dilihat dari elemen baru yang ditambahkan film ini sebagai resolusi cerita. Maka itu, aku ingin memberikan saran untuk ngetone-down Alfie sedikit, karena di film ini dia menjadi begitu over-the-top. Kita jadi menertawakan apapun yang ia lakukan. Semakin seram situasinya, semakin ngakak ngeliat Alfie. Mereka juga perlu come up with much better story buat Alfie, yang konfliknya benar-benar personal dan berhubungan langsung secara natural dan gak bersifat kebetulan dengan dirinya. Selain beberapa hiburan, jika dibandingkan dengan film pertamanya, sekuel ini mengalami kemunduran. Ceritanya lemah, horornya kalah seru, karakternya kalah menarik.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for SEBELUM IBLIS MENJEMPUT: AYAT 2

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah setan itu merujuk pada identitas, atau sesuatu yang kita lakukan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MANGKUJIWO Review

“Hate begets hate; violence begets violence”
 

 
Harta, tahta, wanita. Dan pusaka. Empat hal itulah yang – sebagaimana dibeberkan oleh film Mangkujiwo garapan Azhar Kinoi Lubis – merupakan resep asal usul hantu Kuntilanak yang penampakannya telah ada semenjak film Kuntilanak di tahun 2006. Mangkujiwo memang berusaha memangku segala lore dan menghubungkan semua misteri dari film-film terdahulu sebagai sebuah cerita origin. Dan oddly enough, film ini ternyata menjadi lebih cocok disebut sebagai thriller perebutan pusaka ketimbang horor.
Sekte Mangkoedjiwo itu bermula dari pria tua bernama Brotoseno. Dia menyelamatkan seorang perempuan hamil yang dipasung di suatu desa, karena perempuan itu dituduh gila. Brotoseno tahu lebih banyak daripada penduduk, dan daripada kita di titik permulaan cerita. Perempuan ini sebenarnya adalah ‘mainan’ kepunyaan teman sekaligus saingan beratnya; si Tjokro Kusumo. Brotoseno ingin balas dendam. Jadi perempuan yang bernama Kanti itu sebenarnya nasibnya bagai keluar dari mulut singa, masuk ke dalam lubang buaya. Brotoseno dan Tjokro dua-duanya adalah orang berilmu, pemilik pusaka cermin Pengilon Kembar, dan mereka telah berniat untuk gak mau damai saling bermusuhan. ‘Menyelamatkan’ dalam kamus Brotoseno adalah menempa Kanti yang toh juga ia pasung dengan berbagai ritual mengerikan. Lengkap dengan banyak makhluk menyeramkan dan sejumlah makanan menjijikkan. Brotoseno ingin Kanti melahirkan anak setan dan menggunakan anak tersebut nantinya sebagai senjata, karena Tjokro hanya bisa dibunuh oleh darah dagingnya sendiri.

men and their power, right

 
Cerita film ini memang mengandung muatan yang sangat gelap. Secara esensi, ini adalah cerita seorang villain. Seorang yang jahat. Sebab tidak ada satupun tindakan Brotoseno sang tokoh utama tergolong heroik. Bahkan ketika nanti saat si bayi sudah tumbuh menjadi gadis dewasa bernama Uma dan Brotoseno berkata ia akan melindungi Uma dari segala marabahaya, kita tahu itu semua karena Brotoseno ada maunya. Uma tak lebih sebagai boneka. Sebagai alat. Tidak ada bedanya dengan cermin pusaka yang juga ia jaga dan rawat.
Karena ingin konsisten dengan tema pria menggunakan wanita sebagai objek itulah, maka film mengeksploitasi kekerasan terhadap wanita habis-habisan. Di sinilah letak horor film ini. Hantu kuntilanaknya sendiri belum jadi soal, proses menjadikan kuntilanak itulah yang menyeramkan. Edan sekali melihat sejauh apa Brotoseno, maupun tokoh-tokoh lain yang berilmu gaib melakukan tindakan mengerikan kepada orang yang tak-berdaya demi sebuah rencana untuk, what, mendapatkan kekuatan tunggal sebuah pusaka. Begitu getolnya orang bisa memupuk kejahatan, dan kemudian menggunakan muslihat untuk menyebarkan kejahatan tersebut kepada orang lain. Yang dijual oleh film ini sebagai horor adalah kekerasan pada tokoh perempuan yang dipasung, dicekoki makanan tak-lazim (kalo sekarang mah bisa kena virus corona!), dan digerayangi oleh beberapa makhluk halus. Set dan desain produksi film ini tampak meyakinkan. Ia menggunakan hewan-hewan dan praktikal efek untuk menghasilkan ketakutan repulsif yang natural. ‘Ketakukan repulsif’ di sini tentu saja maksudku adalah hal-hal yang menjijikkan. Untuk penonton yang perutnya lemah, mungkin waktu yang paling aman menonton film ini adalah beberapa jam sebelum dan sesudah makan. Lantaran akan ada banyak adegan yang bikin perut jumpalitan seperti muntah belatung, makan cicak, ataupun membedah tikus dan menggodok isi perutnya ke sepiring nasi.
Kekerasan tak berhenti sampai di sana. Tokoh perempuan muda dalam film ini bakal ditonjok – beneran pake tinju – hingga berdarah-darah. Ingat film Carrie yang tokohnya dibully hingga kekuatan supernaturalnya bangkit kemudian dia membalas dendam ke semua orang yang menyakitinya? Nah, Mangkujiwo sepertinya juga mengincar goal seperti, dengan efek yang bikin lebih meringis karena siksaan ke tokoh cewek di film ini sangat fisikal. Film meniatkan supaya dalam diri kita terbendung antisipasi balas-dendam, film ingin kita menunggu kebangkitan Kanti sebagai kuntilanak dan menyalurkan kekuatannya lewat Uma. Film ingin membuat kita geram kepada para preman. Tapi ketika waktu itu tiba, ketika kekerasan menyeimbangkan diri dengan mengganti target kepada para tokoh pria, perasaan dramatis seperti yang kita rasakan saat Carrie mengamuk tidak terasa pada film ini. Sebab secara garis besar kita tahu ini balas dendam itu bukan milik Uma ataupun Kanti. Melainkan milik tokoh utama, si patriarki, Brotoseno.

Penyatuan cermin dalam film ini digerakkan oleh tipu muslihat, kekerasan, dan kejahatan yang bahkan terlalu ‘setan’ untuk disebutkan. Bukan salah Uma kenapa dia jadi punya kekuatan setan, karena dia lahir dari benih-benih kebencian dan segala hal buruk yang ditanam oleh Brotoseno. Inilah yang membuat film ini susah untuk dinikmati; cinta absen di sini. Kebaikan gak hadir. Di antara tokoh-tokohnya tidak ada kasih sayang. Pria hanya menganggap wanita sebagai benda pemenuh kebutuhan. Wanita senantiasa mengabdikan diri. Semuanya dibesarkan oleh hal negatif. Maka film ini bisa dijadikan peringatan bagi kita semua; apakah kita yakin hidup di dunia yang seperti ini?

 
Beruntung Sujiwo Tejo yang membawakan Brotoseno dan merapal mantra-mantra ritual itu. Jika tidak, bisa-bisa film ini akan kehilangan aura mistisnya. Sebab, admit it, segala adegan tarian pemanggilan setan atau apalah dan semua komat-kamit eksposisi tentang pusaka maupun tentang lore/backstory dunia cerita film ini, sebenarnya hanya nonsens belaka. Begitu jauh dari dunia kita, I mean, apa pedulinya kita sama masalah kedua orang-pinter yang saling berselisih itu. Rasa kasian pada Kanti atau Uma pun hanya sebatas nurani otomatis karena melihat orang yang teraniaya. Film begitu sarat oleh eksposisi gaib sehingga seolah memasukkan begitu banyak percakapan tersebut untuk meyakinkan dirinya sendiri ketimbang meyakinkan kita. Ditambah lagi, ini adalah cerita penjahat. Film harusnya berusaha untuk membuat kita paling tidak ikut merasakan urgensi dari rencana dan perlakuan jahat Brotoseno. Seperti misalnya pada saat kita membaca review yang sangat berbeda dari penilaian kebanyakan; meskipun kita tidak setuju dengan reviewnya, namun jika reviewnya ditulis dengan baik, maka kita akan tetap bisa mengerti darimana si reviewer bisa menarik kesimpulan tersebut – kita bisa paham kenapa si reviewer merasakan apa yang ia rasakan. Film tentang penjahat seharusnya juga demikian. Ketika kita menonton Arthur Fleck pada Joker (2019), kita tahu dia jahat, kita tidak mendukung perbuatannya, namun kita mengerti motivasinya – kita bahkan bersimpati padanya karena kita paham situasi yang membuatnya seperti demikian. Mangkujiwo tidak punya semua ini. Brotoseno dituliskan sebagai karakter misterius yang kita ikuti dari awal hingga akhir cerita, tanpa kita benar-benar menyelami apa akar dari motivasinya.
Seharusnya film memberikan dia stake. Vulnerability. Memang, ada sekuen ritual yang mengharuskan Brotoseno menyakiti dirinya sendiri, tapi dia ditulis begitu sakti mandraguna sehingga shot luka-luka di punggungnya itu enggak menghasilkan rasa dan makna apa-apa. Kanti yang meninggal di luar perkiraannya pun gagal menghasilkan tensi karena diceritakan dengan serabutan – sebagai sisipan dari paparan flashback. Hubungan Brotoseno dengan Uma tidak pernah digali (tidak ada adegan emosional yang memperlihatkan Brotoseno benar-benar butuh Uma), begitu pula hubungannya dengan Tjokro yang notabene jadi musuhnya. Kita hanya mendengar hubungan Brotoseno – hanya dijelaskan lewat kata-kata, yang tak sepenuhnya bisa kita yakin perkataan itu benar karena satu hal yang berhasil ditetapkan oleh film ini mengenai tokoh utamanya itu adalah justru bahwa ia tidak dapat dipercaya.

kalo mau bolak-balik, kenapa gak mulai dari Brotoseno dan Uma sebelum Uma pergi dari rumah aja, supaya cerita bisa mendarat dahulu

 
Cerita dalam film ini berlangsung dalam rentang kurun waktu sembilan-belas tahun. Kinoi memilih bercerita dengan alur maju mundur yang berselingan, yang seringkali tidak disertai dengan time-image yang jelas dan editing yang efektif. Narasi berpindah antara satu periode ke periode lain tanpa ada keparalelan yang jelas. It gets better di pertengahan, tetapi di awal-awal akan sulit mengikuti apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih karena dialog yang enggak berarti apa-apa selain eksposisi. Mangkujiwo ini adalah kasus lain dari kecenderungan film Indonesia yang gak pede nampilin cerita linear karena mereka gak punya twist alami. Film ini termasuk yang percaya filmnya akan ‘aman’ jika ada yang disembunyikan, dan cara bolak-balik ini dipakai untuk merahasiakan banyak elemen karakter yang mestinya dilandaskan dari awal karena bakal ngaruh ke kita peduli dan mengerti plightnya atau tidak — hal esensial untuk menyampaikan cerita.
Alih-alih itu, kita malah dapat cerita yang melompat-lompat tanpa ritme yang jelas. Bertemu tokoh-tokoh yang sok misterius padahal annoying; tokohnya Djenar Maesa Ayu gak jelas banget motivasinya apa menginginkan cermin bersatu, membantu Broto – sementara separuh film ia habiskan dengan pasang tampang smug seolah ia bakal ‘menusuk’ Broto dari belakang. Tokoh si Bongkok-Ganjelan juga gak jelas, dan yang kumaksud bukan dialognya. Melainkan tindakan, seperti bisa nulis lirik Lingsir Wengi di pasir lengkap-lengkap tapi gak sekalian nulis perkenalan diri dan maksud. Persoalan cermin kembar itu juga tidak memuaskan karena bertentang dengan maksud film ini hadir sebagai asal-usul, cerita nyatanya hanya sedikit sekali menjelaskan hal dari titik-mula. Di akhir film kita masih bengong sebenarnya cermin ini kenapa bisa ada, dan dimiliki oleh dua orang yang bermusuhan.
 
 
Horor yang lebih seperti thriller dalam dunia di mana mistis adalah logis, cerita film ini sesungguhnya sangat gelap. Ketakutan yang dihadirkan pun berupa takut yang menjijikkan. Sudut pandang yang digali kali ini, sangat berbeda. Sayangnya film menempuh cara bertutur yang unnecessarily ribet. Set dan desain produksi jadi hanya sebatas visual karena penulisan dan arahannya terlalu off. Para karakter seperti tidak hidup, dengan hanya penampilan Sujiwo Tejo dan Asmara Abigail yang meyakinkan – itu pun tidak berarti banyak lantaran keduanya bermain di zona nyaman mereka. Alur bolak baliknya diniatkan untuk menyihir kita semakin masuk ke dalam narasi. Namuun tidak seperti mantra yang dilantunkan tokoh dalam cerita, film ini enggak punya ritme/pace. Melainkan hanya komat-kamit mengisahkan serangkaian cerita nonsens.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MANGKUJIWO.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bisakah kalian membayangkan hidup di dunia di mana semua bersatu hanya karena ketakutan, tipu muslihat, dan kebencian belaka? Ada gak sih dunia yang seperti demikian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.