MINI REVIEW VOLUME 12 (PAST LIVES, THE CREATOR, THE ROYAL HOTEL, WHEN EVIL LURKS, A HAUNTING IN VENICE, HELL HOUSE LLC ORIGINS THE CARMICHAEL MANOR, FIVE NIGHTS AT FREDDY’S, SISTER DEATH)

 

 

Bagian kedua dari kompilasi yang harusnya jadi edisi halloween. I gotta say, halloween tahun ini memang banyak film horor yang menyenangkan, bahkan yang bukan horor ternyata bisa ngasih goosebumps yang sedap. Highlight untuk Volume 12 ini; mereka semua – kecuali satu – really surprised me. Film-film ini punya sesuatu yang bikin aku “hey, ini gak biasanya ada di tipe film seperti ini!”. Meskipun gak semuanya aku suka, tapi masing-masing ngasih sesuatu yang di luar ekspektasi. Cuma satu film yang ‘di luar ekspektasi’nya berada dalam kotak ‘mengecewakan’. Film yang manakah itu? Yuk langsung cari tahu di mini review di bawah iniii!!

 

 

A HAUNTING IN VENICE Review

Misteri detektif digabung dengan misteri supernatural. Sesuka-sukanya aku sama penggabungan itu ketika terjadi pada beberapa kasus di komik Detektif Conan, tapi untuk urusan di film Hollywood mainstream, aku toh merasa skeptis juga. Takut jadi ngandelin fake jumpscare doang. Takut gaya dan charm Hercule Poirot di film ketiga ini ‘kalah’ oleh adegan-adegan horor yang dimasukkan dengan paksa. Sayang banget kalo sampe begitu, karena satu hal yang bikin film-film Poirot ini delightful, ya, kekhasan Poirot yang dibawakan penuh kharisma oleh Kenneth Branagh

Sir Branagh yang juga duduk di kursi sutradara, untungnya tahu untuk tidak ‘menjual jiwa filmnya kepada setan industri’. Well, at least, gaya film ini tidak berubah sama sekali. Elemen supernatural dimainkan dengan bijaksana, cukup untuk memberikan pojn tambahan dan ngasih variasi kepada kasus. Film ini tetap menitikberatkan kepada misteri kasus, dan karakter-karakter yang terlibat (yang tentu juga membuat film ini jadi showcase akting spektakuler) – terutama lanjutan dari journey karakter Poirot. Pembahasannya sebenarnya gak baru, tapi seru aja melihat Poirot harus struggle dengan logika dan kepercayaannya terhadap supernatural. Keraguan Poirot juga lantas terdeliver kepada kita dari arahan yang sukses membuat rumah besar tempat lokasi pembunuhan tertutup itu sekaligus jadi rumah hantu, seperti di film-film horor.

Not bad sebagai pembuka Volume ini. Tapi juga enggak spesial-spesial amat sehingga aku gak nyesal nontonnya nunggu di platform aja

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A HAUNTING IN VENICE

 

 

FIVE NIGHTS AT FREDDY’S Review

Dari dulu aku gak ngerti di mana letak seramnya seri game Five Nights at Freddy’s. Konsep game jumpscarenya sih aku paham, cuma, karakter-karakter animatronicnya. Aku gagal paham seramnya di mana. ,Makanya aku heran kok anak-anak pada suka. Tapi kalo soal filmnya, aku bisa maklum kenapa garapan Emma Tammy ini laku. Simpel. Mereka benar-benar bikin Freddy dan kawan-kawan hidup. Bukan sebagai CGI tapi beneran sebagai robot ‘pembunuh’.

Yang bikin aku takjub adalah ceritanya. It’s so easy membuat film ini sebagai cerita tentang penjaga yang harus melewatkan malam-malam sepi di ‘rumah’ Freddy, dan dia akan diganggu. Film ini ternyata gak mau segampang itu. Mereka menyiapkan cerita personal tentang abang yang terus-terusan dirundung rasa bersalah atas adiknya yang hilang saat mereka masih kecil. Film ini mencoba memperdalam mitologi-dunia dengan konsep mimpi untuk mencari jawaban atas masa lalu. Coba ngasih stake dengan urusan hak asuh adik. Coba mengrounded-kan lagi dengan bahasan tentang orang tua. It is kinda ambitious, untuk ukuran film adaptasi game horor untuk anak-anak.

Namun meski usaha elevasinya harus kita apresiasi, toh film ini akhirnya terpuruk karena tone yang sangat tak berimbang. Enggak simpel, tapi juga jadi agak ribet buat penonton anak. Level kekerasan yang juga tinggi, meski dibuat tanpa darah berlebih. Elemen hantu yang gak pernah terasa seram, karena clash out dengan misteri grounded. Tapinya lagi yah, bahkan Matthew Lillard enggak bisa menyelamatkanku dari kebosanan menonton ini

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FIVE NIGHTS AT FREDDY’S

 

 

 

HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR Review

Atau bisa juga judulnya jadi Hell House: Five Nights at Carmichael’s haha.. Nah, film inilah perwujudan ‘konsep gampang’ dari yang kubilang di review Freddy tadi. Bikin karakter bermalam di tempat berhantu. Mereka ngerekam kegiatan, jumpscare-jumpscare, and call it a day. Tapi yah, at least Stephen Cognetti sudah tahu persis apa yang mau ia buat. Dia menyempurnakan yang ia tahu, dan film ini overall jadi lebih menghibur.

Hell House LLC adalah seri horor mokumenter found footage, aslinya merupakan sebuah trilogi seputar bangunan bekas hotel, yang jadi tempat cult yang pengen buka gerbang neraka. Film pertamanya asli seru dan aku suka banget. Tentang sekelompok orang yang bikin wahana rumah hantu di bangunan tersebut. Film keempat ini hadir dengan maksud memperdalam mitologi cult di tempat berhantu lain. Secara presentasi, film ini ingin kembali ke vibe film pertama, yakni dengan footage-footage yang lebih ‘genuine’ dan drama karakter di balik misteri horornya.

Dan memang, penceritaan film ini berhasil tampil lebih baik daripada film kedua dan ketiga, dan mendekati film pertama. Hanya saja untuk urusan kengerian dan atmosfer, gagal mengimbangi keberhasilan film pertama. Manekuin-manekuin badut yang jadi ikon franchise ini tetap seram, tapi penampakan dan hantu-hantunya tampil sangat blak-blakan. Membuat atmosfer dan detil-detil horor yang terekam kamera, yang jadi senjata utama franchise ini jadi kehilangan ketajaman. Ceritanya pun drag dengan annoying, karena film kesusahan mencari alasan logis untuk karakter-karakter ini mau bertahan selama empat malam di rumah itu. Rintangan yang membuat mereka harus tinggal juga tidak kuat. Jatohnya, karakter utama di film ini jadi sangat annoying dengan alasan-alasannya untuk tidak angkat kaki dari situ.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR

 

 

 

PAST LIVES Review

Dua sahabat masa kecil yang saling suka tapi harus berpisah negara, lalu saat dewasa mereka bertemu kembali, harusnya berakhir jadian karena sudah takdir, kan? Kan? KAN??

Past Lives debut sutradara Celine Song bicara dengan sangat anggun dan dewasa soal takdir antara hubungan dua anak manusia, yang saking anggunnya hati kita yang nonton akan menghangat betapapun naas akhir ceritanya. Past Lives is not like any other ‘CLBK’ stories. Karena ini bukanlah semata cerita tentang dua orang yang bertemu kembali berusaha dealing dengan closure atas perasaan mereka, film ini membahas dengan kompleks tanpa meninggalkan faktor-faktor lain. Tempat. Waktu. Dan another person. Faktor-faktor yang berperan sangat besar dalam ‘perubahan’ seseorang. Yang mestinya memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Film ini bicara tentang kehidupan; yang ditinggalkan, yang datang, yang bertahan, yang telah lewat, dan banyak lagi begitu kompleksnya. Hasilnya, Past Lives jadi dialog-dialog dan keputusan karakter yang bakal bikin kita ikut berkontemplasi.

Film ini sendiri kayak punya awareness terhadap jebakan-jebakan cerita serupa. Maka film mendesain karakternya sedemikian rupa, sehingga bisa agak meta. Karakternya dibikin sebagai penulis, dan ada dari yang mereka aware kalo kisah mereka ada di dalam cerita, maka dia akan berada di posisi orang yang menghalangi cinta masa kecil pasangannya. Cara film menggeliat keluar dari jebakan, membuatnya masuk ke dalam bahasan cerita, dan actually semakin memperdalam para karakter sebagai manusia, menurutku ini merupakan penulisan yang sangat cemerlang. Sedikit ‘koreksi’ dariku cuma maybe sebagai film, cerita ini bisa lebih dramatis lagi jika diambil dari sudut pandang karakter yang lebih ‘aktif’ – dalam artian yang lebih banyak mengalami pembelajaran.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PAST LIVES

 




SISTER DEATH Review

Semoga kalian belum jengah sama cerita suster hantu, karena suster horor karya Paco Plaza ini actually lumayan worth to watch,

Dengan backdrop setelah perang sipil di Spanyol tahun 40an, film ini actually memberikan banyak waktu untuk ceritanya berkembang. Suster Narcissa tadinya ke biara yang sekarang jadi sekolah khusus anak perempuan untuk mengajar, tapi tempat itu sebenarnya membutuhkan kekuatan Narcissa sebagai ‘Holy Girl’. Karena di situ sedang dihantui oleh spirit, yang punya kisah tragis. Yang agak mengganggu buatku adalah adegan horor berupa mimpi, yang cukup kebanyakan. Padahal sebenarnya adegan-adegan horor yang ditampilkan film ini seram semua. Karena ceritanya slow, build up horornya jadi enak. Menjadikan horor itu cuma mimpi, membuatku terlepas dari kengerian dan dunia film.

Padahal cerita dan misteri yang dimiliki film sangat compelling. Aku bahkan gak nyadar kalo ini adalah sebuah prequel dari film horor tahun 2017. Judulnya Veronica. Aku bahkan belum pernah nonton film itu. Tapi saking tightnya bangunan cerita, film Sister Death ini jadi kokoh berdiri sendiri. Sekuen finalnya juga cukup keren, para karakter dibikin seolah berada di masa kini dan masa lalu sekaligus, menghasilkan trik horor yang unik. Dan si Suster Narcissa itu sendiri, man di akhir itu dia dibikin ‘menderita’ fisik dan mental. Sosok protagonis dengan mata mengalir darah jelas akan terpatri jadi salah satu bahan mimpi buruk kita di kemudian hari.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SISTER DEATH

 

 

 

THE CREATOR Review

Epik sci-fi war dari Gareth Edwards ini udah kayak Star Wars versi lebih grounded. Gimana enggak, ceritanya ngambil setting masa depan saat manusia klaim perang terhadap hal yang mereka ciptakan untuk kemudahan hidup, robot dan A.I. Untuk menambah kompleks, ini bukan sekadar manusia vs. robot, melainkan ada sisi abu-abunya. Ada pihak manusia yang memihak A.I. – yang menganggap robot-robot itu punya perasaan dan layak hidup. Ada pihak manusia yang menganggap mereka teknologi berbahaya yang harus dimusnahkan, dan manusia yang membantu robot mereka anggap tak ubahnya teroris. Kebayanglah, manusia dari bangsa mana yang dengan entengnya bilang yang tak sependapat mereka sebagai teroris. Film ini memang sedekat itu.

Visual film ini oke punya. Dunianya terbangun dengan detil, New Asia dengan padi-padi dan berbagai bahasa yang akurat. Robot-robotnya seamless hadir di tengah-tengah manusia. Karakter-karakternya juga ‘hidup’ dengan masalah personal merayap di balik konflik global cerita. Protagonis cerita, Joshua, adalah tentara yang masuk ke wilayah musuh dan harus meng-escort seorang anak robot ke tempat sosok dengan alias Nirmata yang diduga mengembangkan senjata rahasia. Like I said, epik sci-fi war ini harusnya memang sangat epik dengan cerita dan skala (dan durasi!) sebesar itu.

Nyatanya, film ini membosankan dan uninspiring. Karena penulisan yang teramat lemah dan praktisnya tidak ada hal baru. Cerita film ini terasa seperti recycle dan gabungan dari beberapa cerita perang dan sci-fi yang pernah ada.  Sehingga cerita film ini tidak pernah terkesan spesial. Hampir seperti pihak-pihak di balik film ini takut ngasih sesuatu yang benar-benar original, sehingga mereka memaksa film ini harus punya banyak elemen-elemen yang sudah pernah ada di cerita lain.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for THE CREATOR

 

 

 

THE ROYAL HOTEL Review

Sutradara Kitty Green kembali bersama aktris Julia Garner menghadirkan thriller dan horor ‘nyata’; teror yang dialami perempuan di tempat kerja. Sama seperti The Assistant (2020), skor audiens The Royal Hotel di Rotten Tomatoes jeblok. Karena memang horor/thriller yang ‘dijanjikan’ berbeda dengan yang penonton harapkan. Ketika penonton film mengharap kejadian sadis berdarah, tragedi dramatis yang physically mengguncang protagonis, monster-monster, hantu, ataupun psikopat sakit jiwa, filmmaker Australia yang di film ini juga pulang ke negara asalnya ini malah menghadirkan ketakutan yang tak bisa terlihat langsung. Yang tidak langsung terbuktikan oleh action. Tapi ketakutan itu ada, dirasakan benar oleh protagonisnya.

Sudut pandangnya memang dari cewek, tapi sebagai cowok pun, aku nonton ini masih merasakan horor tersebut nyata. Karakter sentral di cerita ini adalah dua perempuan muda, turis, yang harus membayar masa hukuman dengan jadi pelayan bar di kota tambang kecil di pelosok Negara Kanguru. Mendengar di mana mereka ditempatkan saja sudah otomatis bikin merinding. Dua perempuan itu akan berada di tengah kelompok laki-laki yang butuh ‘hiburan’. Things won’t go well. Karena jujur saja, aku tahu gimana cowok kalo udah bergerombol seperti itu, karena bahkan aku pernah guilty catcalling dan godain cewek saat sedang ngumpul sama teman-teman di kampus dulu. Hal yang dianggap cowok “ah, cuma dibecandain doang” itulah yang digambarkan jadi siksaan psikologis bagi karakter Julia Garner. Perasaan terancam berada di tengah sana saat gak ada satupun cowok yang tampak baik-baik saja. Mau itu si mulut besar, si ngeres, ataupun si pendiam yang tampak respek, garis batas itu bisa tau-tau roboh

Dua karakter perempuan ngasih cara pandang yang berbeda, antara ‘mereka kurang ajar sama kita’ dan ‘it’s okay, we’re just having fun’, digunakan film untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi, pandangan tersebut bisa bikin narasi berimbang, yang lantas jadi bikin suasana semakin ngeri lagi. Ultimately, film take a strong stand, meskipun memang konfrontasi penyadaran antara kedua karakter ini harusnya bisa lebih kompleks lagi

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE ROYAL HOTEL

 

 

 

WHEN EVIL LURKS Review

Bukan ‘where’, tapi ‘when’ yang dijadikan poin utama oleh horor orang kesurupan dari Argentina ini. Sutradara Demian Rugna dengan tegas ingin menilik apa reaksi manusia jika daerah mereka membusuk oleh pengaruh setan. Apa aksi yang diambil oleh manusia yang katanya punya society yang terbangun oleh aturan dan keimanan. Jawabannya, menurut yang tergambar oleh film ini; aturan dan keimanan/kepercayaan itu runtuh nyaris seketika.

Ya karenanya When Evil Lurks jadi sebuah horor mencekam yang benar-benar banal. Iblis dari roh penasaran berjalan di muka bumi sambil ngemil otak manusia. Orang kesurupannya bukan semata anak kecil menyumpah serapah, melainkan literally sebuah abomination, gumpalan nanah dan kotoran yang sekarat. Busuk, berdarah-darah. Siap untuk melahirkan setan berikutnya. Hewan-hewan peliharaan jadi beringas, tidak lagi mengenal tuannya, yang by the way juga telah siap melempar keluar semua kemanusiaan demi menyelamatkan diri dan keluarga. Ini adalah horor yang brutal. Sadis, jijik, najis, ngumpul jadi satu penceritaan bikin miris. Film ini bukan saja bukan untuk yang gak kuat iman, tapi juga bukan sajian untuk yang gak kuat perut. Ada satu adegan di film ini yang benar-benar bikin terpekik kaget, karena rasa-rasanya belum ada yang nekat bikin adegan kayak gitu bahkan di film horor sadis sekalipun.

In other words, harusnya ini adalah horor yang sangat menghibur. Tapi aku gak bisa menyukainya. Lantaran satu hal. Protagonis yang annoying. Aku mengerti penulisannya didesain seperti itu untuk memperlihatkan dia pendosa, bahwa dia sama dengan kita yang just try to save keluarga sementara gak benar-benar tahu harus berbuat apa. Hanya saja sayangnya dia tertranslasikan ke layar sebagai karakter yang ribut teriak-teriak dan memilih keputusan-keputusan bego yang aku yakin kita gak akan memilih pilihannya. Like, ada satu adegan dia nyaris putus asa kesusahan menjebol panggung. Lalu anak kesurupan iblis bilang ada kapak di ruangan sebelah. Tanpa pikir panjang, tanpa mendengarkan larangan paranormal yang tahu banyak dan telah sukses menunjukkan jalan kepadanya, dia ngikut saja perkataan si anak iblis. Resulting kerugian nyawa yang sangat besar di pihak manusia. Maan, I just can’t follow character like that. Aku berharap film ini punya karakter yang lebih menarik dan simpatik.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WHEN EVIL LURKS

 




 

 

That’s all we have for now

In case belum jelas mana satu film yang mengecewakan itu adalah The Creator. Aku kecewa banget. Bahkan Five Nights at Freddy’s aja ngambil resiko lebih banyak ketimbang film tersebut. Yang bikin tambah kesel, dan khawatir, adalah bahwa dia film original. Ngeri aja kalo film original epik kayak gitu kurang diminati. Bioskop dan studio hanya akan melihatnya sebagai kegagalan materi, sehingga yang original bakal makin dipandang tidak menguntungkan. Padahal pengembangannya saja yang sangat main aman. Film harusnya lebih berani, apalagi kalo sudah punya materi yang unik. And by the way, sudah hampir penghujung tahun dan aku belum dapat film yang skornya 8.5. Alamak!!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 11 (V/H/S/85, NO HARD FEELINGS, STRAYS, TOTALLY KILLER, BLUE BEETLE, PET SEMATARY BLOODLINES, THEATER CAMP, CONCRETE UTOPIA)

 

 

Harusnya sih ini edisi halloween. Tapi ternyata yang belum kutonton dan kuulas ada berbagai genre!! Jadilah aku kumpulin aja semua seperti biasa, dan ya, inilah edisi kesebelas. Dan mungkin kita akan segera bertemu di edisi berikutnyaaa

 

 

BLUE BEETLE Review

It has its charms. I mean, pusat di balik cerita superhero robot kumbang ini adalah keluarga latin, yang struggle dengan keadaan ekonomi. Dan karena berasal dari keluarga latin, kejadian seputar protagonisnya menjadi superhero pun jadi punya ‘warna’ yang berbeda. Jika biasanya superhero merahasiakan yang terjadi kepadanya dari keluarga, maka Blue Beetle berubah persis di depan ayah, ibu, adik, paman, dan neneknya sekaligus. Masalah Blue Beetle juga adalah masalah keluarganya. Bahkan ada sekuen saat justru si superhero yang kekuatannya bisa menciptakan senjata apapun yang ia bayangkan (dia pakai Buster Sword kayak Cloud di FF VII!!) yang harus diselamatkan oleh keluarganya.

Ada momen-momen lucu dari sini. Dan tentunya juga momen seru. Jika sutradara Angel Manuel Soto diberikan kreasi penuh, aku yakin film ini harusnya bisa lebih kuat lagi pada identitas dan perspektif keluarga tersebut. Sayangnya film Blue Beetle bermain aman. Tidak mau mengambil terlalu banyak resiko dengan menjadikan ini film superhero mexico. Film ini bangunan superheronya amat sangat template. Korporat jahat, pasukan militer super, villain yang kekuatannya sama dengan si superhero – only bigger dan badder. Ujung-ujungnya, nonton ini aku tetap merasa bosan. Durasi dua jam lebih itu kerasa banget karena meskipun identitasnya unik tapi yang mereka lalui, plot ceritanya, kejadiannya, terasa seperti yang udah sering kita tonton.

Jika semua studio film superhero modern main aman seperti begini, maka gak heran penonton terkena ‘superhero fatigue’

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BLUE BEETLE

.

 

 

CONCRETE UTOPIA Review

Bencana yang dipotret sutradara Tae-hwa Eom dalam Concrete Utopia bukan exactly runtuhnya tanah karena gempa. Melainkan soal runtuhnya kemanusiaan. Potret yang sangat powerful, dan bikin merinding. Digambarkan manusia bisa seketika turn on each other, saling serang gak peduli sama yang lemah, kalo urusannya udah tentang tempat tinggal. Demi menduduki suatu tempat. Lihatlah ke luar jendela, dan kita akan lihat bentuk konkrit dari yang disimbolkan oleh film ini.

Di cerita ini penduduk satu-satunya apartemen yang masih berdiri berusaha survive, bertahan di apartemen, membentuk komunitas dan aturan-aturan sendiri. Sumber makanan, obat-obatan, dan air yang sedikit membuat mereka tega mengusir pendatang yang ingin mencari perlindungan. Padahal di masa sulit seharusnya manusia bekerja sama. Gak peduli dari mana dia berasal. Film ini nunjukin dengan ironis bahwa pemimpin mereka apartemen sebenarnya juga seorang pendatang. Orang luar yang membunuh seorang penghuni apartemen sebelum bencana datang.

Eksekusi ceritanya luar biasa. Kita dibuat terus menyimak gimana komunitas ini bekerja, dengan ironi tadi membayangi di baliknya.  Akan ada banyak sekali adegan-adegan yang menghasilkan perasaan yang kontras. Terkadang memang terasa over, tapi semuanya masih bekerja dalam satu kesatuan bangunan-dunia yang senada. Dan kupikir, cara film ini mengakhiri ceritanya pun terasa puitik. Benih-benih harapan itu mereka tebar, sehingga api harapan itu masih terasa hangat.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CONCRETE UTOPIA

 

 

 

NO HARD FEELINGS Review

Ternyata Jennifer Lawrence bisa juga jadi Girl on Fire di film komedi! No Hard Feelings terasa bergelora dan penuh energi chaotic berkat penampilan komedik Jen-Law. Dia gak ragu untuk tampil total!!

Karakter yang dia mainkan, Maddie, memang bukan tipe yang mudah untuk kita kasihani. Orangnya keras kepala, cuek, dan bukan exactly tipe kakak cewek yang anggun. Sikapnya itu kemudian dibenturkan saat Maddie kepepet duit. Maddie menerima lowker dari pasangan kaya yang lagi mencari ‘pacar bayaran’ untuk anak cowok mereka yang udah mau kuliah tapi sampai sekarang belum punya pacar karena ansos dan introvert banget.

Dari sinilah komedi romantis karya Gene Stupnitsky ini jadi laen. Rootnya dari awkwardness yang timbul dari seorang tante-tante mencoba mendekati daun muda. Beberapa adegan awal cenderung hard to watch, dalam artian ngenes, tapi di situlah poin dagang film ini. Relationship dua karakter sentral berkembang, bukan lagi dari perasaan romantis yang dibuat-buat, tapi jadi genuine hubungan yang saling mendewasakan. Rasanya sudah jarang kita dapat suguhan ringan, tapi juga nekad serta nyeleneh.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO HARD FEELINGS

 

 

 

PET SEMATARY: BLOODLINES Review

Kok ya aku jadi agak kasian sama Stephen King. Tahun ini dua ceritanya dikembangkan menjadi film yang benar-benar sebuah adaptasi lepas. Dan kedua film itu tidak benar-benar bagus. Pertama, The Boogeyman, yang malah melanjutkan cerita asli King dengan karakter-karakter baru. Dan sekarang, Pet Sematary: Bloodlines, yang mengambil posisi sebagai prekuel dari cerita asli; thus film ini mengarang bebas dari karakter-karakter yang sudah ada. Sedikit banyak mengubah mereka. Sesuatu yang sama sekali tidak perlu.

Sebenarnya sutradara Lindsey Anderson Beer masih respek. Dia berusaha mengarahkan dan menuliskan cerita ini semirip mungkin dengan vibe cerita-cerita King. Kota kecil dengan penghuni yang turun temurun menempatinya dijadikan pusat cerita. Karakter-karakter penghuninya – Judd muda dijadikan protagonis cerita – berusaha dikembangkan. Premis tanah yang semua makhluk yang dikuburkan di dalamnya bakal balik jadi makhluk jahat, coba diperdalam. Dipersonalkan. Film ini nyaris setengah berhasil melakukan itu semua.

The best thing yang bisa kubilang untuk film ini adalah dia seperti fan-fic yang bland. Sampai ke aspek horornya pun nanggung. But it’s okay. Masih bisa jadi tontonan pengisi waktu-lah, sebenarnya. Namun semua itu diperparah oleh hal-hal yang diretcon. Hal-hal yang beda ama materi aslinya. Jadinya film ini konyol aja, jadi kayak ngada-ngada.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY: BLOODLINES

 




STRAYS Review

Ngomong-ngomong soal pets, nah ini baru film tentang hewan peliharaan yang benar-benar serasa seperti sebuah perjalanan liar!

Paling tepat ya menyebut komedi garapan Josh Greenbaum ini sebagai film anjing. Karakternya 95% live-action anjing, dan tingkah mereka pun benar-benar anjing. Sepertinya memang film ini terutama memparodikan film-film tentang anjing peliharan yang kebanyakan bicara tentang persahabatan anjing dengan manusia. Di film ini, yang ditekankan adalah persahabatan antara sesama anjing, dan mereka mau balas dendam sama owner yang sudah menelantarkan si karakter utama. Dan para anjing dan komedi di sini vulgar dan raunchy abis. Ini bukan tipe film yang diputar untuk ditonton bareng keluarga.

Tapi bukan berarti film ini enggak punya hati. Yang dialami Reggie sebagai anjing peliharaan, sebenarnya menyedihkan. Pemiliknya sebenarnya gak suka sama dia. Tapi Reggie terjebak dalam somekind of toxic relationship yang membuat dia merasa pemiliknya akan sayang, kalo dia nurut. Udah dibuang pun, dia ngerasa pemiliknya lagi ngajak main. Reggie dealing with perasaan ini yang jadi bobot dramatis film. Karena bahkan kita manusia bisa terjebak toxic relationship. Tonenya boleh aja agak random, tapi film ini lebih dari sekadar komedi jorok – yang sebenarnya juga berusaha dijustify oleh film dengan menjadikan dirinya sebagai parodi film anjing. Bahwa anjing itu ya, anjing. Dan manusia bisa lebih anjing lagi,

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for STRAYS

 

 

 

THEATER CAMP Review

Agak susah mutusin film ini satir tentang komunitas camp teater, atau surat cinta terhadap mereka. Tapi boleh jadi, inilah bentuk tertinggi dari sebuah passion dan kecintaan; mampu menertawakan sekaligus menceritakannya dengan penuh hangat. Theater Camp karya Molly Gordon dan Nick Lieberman akan ikut membuat kita jatuh cinta, meskipun kita bukan teater geek seperti mereka.

Karena pada hatinya, film tentang influencer yang terpaksa menjalankan summer camp teater milik ibunya ini bicara tentang hal yang relate. Yakni tentang tempat bagi anak-anak – bagi orang-orang yang not really fit in di kehidupan sosial yang ‘normal’. Tentang orang-orang yang menemukan rumah dan keluarga, dan mereka harus menyelamatkan rumah mereka bersama-sama. Duh, lagu ‘Camp isn’t Home’ yang jadi adegan musikal pamungkas film ini sukses bikin emosiku jumpalitan.

Banyak karakter di cerita ini. Permasalahan mereka punya benang merah yaitu dilema antara stay di sana atau tidak. Antara bertahan di passion dan mengejar mimpi, atau ‘menyerah’ kepada realita. Film mengambil posisi yang sangat berimbang, tidak menghukum, mengolok pilihan manapun. Semuanya diserahkan kepada penonton, untuk ikut memilih. Komedi film ini juga dituliskan dengan mumpuni. But I do think, film ini bisa menjangkau lebih banyak penonton lagi jika eiher durasinya dipanjangin supaya penonton in general bisa  mengenal masing-masing mereka lebih lama, atau fokusnya agak dirapatkan ke satu karakter secara khusus.

The Palace of Wisdom gives 7.5  gold stars out of 10 for THEATER CAMP

 

 

 

TOTALLY KILLER Review

Premis film ini ngingetin aku sama filmnya si Taissa Farmiga, The Final Girls (2015) – duh, jaman2 masih ngereview di Path haha. Kalo di film tersebut protagonis ceweknya tersedot ke film slasher tahun 80an yang dibintangi ibunya dan berusaha mencegah karakter ibunya mati, sedangkan di karya Nahnatchka Khan ini, ceritanya tentang protagonis cewek remaja yang kembali ke masa lalu untuk menggagalkan rencana seorang pembunuh berantai yang membunuhi ibu dan teman-teman ibunya di SMA. Kedua film tersebut sama-sama mengandalkan referensi film 80an sebagai bumbu di balik bunuh-bunuhan. Tapi di Totally Killer, referensi yang digunakan gak sebatas pada film horor.

Dari Back to the Future ke Halloween ke film-film remajanya John Hughes, Totally Killer bakal totally bikin kita tetep have fun bernostalgia sambil jejeritan, dan ikut menebak-nebak pembunuh seperti saat nonton Scream. Toh naskah film ini gak cuma berisi referensi sana-sini. Kecerdasan penulisan ditunjukkan dari konsep time travel dan gimana mereka menggunakan kesempatan itu untuk membandingkan dengan kocak antara remaja jaman dulu dengan remaja jaman sekarang.

Gimana Jamie heran di 80an orang-orang pada selow ngata-ngatain orang, sekolah yang pengamanannya nyante. Apa-apa gak ribet kayak di 2023. Tapi sekaligus juga memperlihatkan ke kita gimana selownya orang jaman dulu sama ternyata bisa berdampak pada anak jaman sekarang. Film ini did a great job ngangkat diskursus soal kebiasaan sosial pada dua era berbeda – meskipun ini sebenarnya horor komedi yang dibuat sebagai tontonan ringan. Ini lantas  terefleksi juga kepada film. Film jaman sekarang, seperti film ini sendiri, cenderung harus jadi ribet dibandingkan horor jaman dulu yang cukup bunuh-bunuhan saja. Pertanyaannya dioper ke kita nih sekarang, jaman mana yang lebih baik?

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for TOTALLY KILLER

 

 

 

V/H/S/85 Review

Franchise V/H/S/ tampaknya sudah resmi jadi staple penggemar horor setiap halloween. Tahun ini mereka ngeluarin lagi, dan tema besar kali ini adalah video-video horor, snuff film, dan rekaman ganjil dari tahun 1985.

Sebagai antologi cerita, at least V/H/S/ semakin kreatif dalam menampilkan atau menempatkan lima horor pendek. Kali ini film ini bermain-main dengan urutan. Ada cerita yang displice jadi dua bagian supaya kita makin penasaran. Dan karena cerita-cerita ini random, nonton film ini ada sensasi masuk ke something unknown yang menambah minat kita ngikutin sampai habis.

Lima horor pendek dalam film ini sendiri, menurutku tidak terlalu seram. Sebagian besar gak benar-benar ngasih sesuatu yang baru juga, meskipun memang mereka berusaha menghadirkan kesan cerita itu memang direkam tahun 85. Kayak cerita tentang virtual reality, yang dihadirkan dengan gaya monolog seseorang lagi perform di teater. Komedi atau satir cerita tersebut works karena dibuat (dan ditonton) oleh yang tau sekarang teknologi ada di mana, dan gimana masyarakat menggunakannya. Pada akhirnya segmen cerita ini adalah showcase horor gore yang memang jadi ciri khas horor 80an.

Ada juga segmen yang bermain-main dengan premis Pet Sematary – yang di tahun 85 itungannya masih novel horor yang baru booming. Sekelompok pemuda pemudi main di danau, lalu mereka ditembaki seseorang misterius, dan yang mati di danau bisa hidup kembali, kayak di cerita Pet Sematary. Segmen ini sebenarnya sangat fun, tapi sayangnya terlalu singkat. Apalagi bagian keduanya, yang melibatkan satu keluarga dengan perayaan sinting. Terlalu singkat, membuat kita pengen lebih. Segmen Rory yang dijadikan pembungkus semua cerita, juga terlalu singkat padahal kisah creature-nya sudah bikin penasaran.

Segmen favoritku adalah Dreamkill, yang melibatkan seorang detektif yang berusaha memecahkan kasus aneh. Serangkaian kasus pembunuhan yang serupa dengan video-video rekaman yang ia tonton seminggu sebelumnya. Kayaknya jarang segmen di V/H/S/ yang ngasih horor surealis kayak gini. Sedangkan segmen yang paling tak kusuka adalah God of Death, terinspirasi dari gempa Mexico di tahun 85. Buatku segmen ini kepanjangan dan annoying kameranya bikin pusing.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/85

 




That’s all we have for now

Empat film horor dari list ini menurutku sangat cocok untuk dijadikan maraton horor tahun ini.  Bahkan Concrete Utopia bisa ditambahkan, mengingat basically itu adalah horor kemanusiaan yang relevan dengan keadaan sekarang. Bagaimana dengan kalian, apa list tontonan halloweenmu tahun ini? Share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



HUBIE HALLOWEEN Review

“Putting people down does not make you a powerful and strong person”
 

 
 
Gaung Uncut Gems (2020) yang menghadirkan penampilan paling manusiawi dari Adam Sandler belum lagi hilang – well, setidaknya di blog ini, karena masih masuk pada Rapor Film Cawu I – tapi aktor komedi itu tampaknya sudah rindu konyol-konyolan yang sudah menjadi cap dagangnya di dunia perfilman. Either that, atau Sandler sedang mewujudkan ikrarnya. Ingat saat Sandler berkelakar jika perannya di Uncut Gems gak dapet Oscar maka dia berjanji akan menyiksa kita semua dengan membuat ‘komedi terburuk yang pernah diciptakan Netflix’? Nah mari kita cari tahu apakah Hubie Halloween ini benar merupakan balas dendam yang Sandler janjikan tersebut.
Di sini Sandler mengajak rekan-rekannya yang biasa untuk membuat horor komedi bertema Halloween. Dia mendaulat dirinya sendiri sebagai Hubie, seorang pria yang bermental kalah jauh dari lama dirinya hidup di muka bumi. Tepatnya di kota Salem, kota yang terkenal dengan urban legend penyihir dan mistis. Tinggal bersama ibunya, Hubie sebenarnya punya misi yang mulia. Setiap tahun dia mendedikasikan diri untuk menjadi penjaga-halloween. Menegakkan ketertiban dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada malam halloween ke kepolisian setempat. Masalahnya adalah, nyaris seluruh warga kota itu menyepelekan Hubie. Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk menakut-nakuti Hubie. Melempari Hubie dengan beragam benda, mulai dari tisu toilet hingga kapak! ketika pria malang itu lewat dengan sepeda dan termos multifungsinya. Hubie adalah laughing stock, outcast, bahan bully penduduk kota. Padahal malam halloween kali ini jadi malam penting bagi Hubie. Karena bukan saja dia disuruh ibunya untuk mulai belajar berani membela diri (Hubie juga mencerna ini sebagai nasihat untuk berani bilang suka sama wanita yang sudah ia taksir sejak SD), tapi juga karena Salem beneran dalam bahaya. Jika film ini adalah game Among Us, maka Salem malam ini kedatangan setidaknya tiga impostor; seorang napi asylum yang kabur, seora–ehm seekor manusia serigala yang lepas, dan satu penculik bertopeng misterius yang berkeliaran menangkapi warga satu demi satu.

Tapi jika Hubie main Among Us, niscaya dia yang jadi crewmate sendirian dan dibully oleh banyak impostor lol

 
 
Sekali lihat saja kita sudah tahu bahwa ini bakal jadi cerita klasik ala komedi Adam Sandler. Cerita tentang seorang ‘idiot’ yang pada akhirnya akan jadi pahlawan, dielu-elukan semua orang, dan tentu saja mendapatkan cewek. Formula cerita seperti demikian sebenarnya tidak pernah sebuah masalah yang besar. Maksudnya; sah dan boleh-boleh saja. Apalagi cerita underdog seperti demikian memang lebih mudah untuk dinikmati, dan bahkan direlasikan. Masalah justru terletak pada bagaimana menceritakan formula tersebut. Kita perlu plot, karakter, dan juga candaan yang diceritakan dengan fresh. Hubie Halloween berdurasi sembilan-puluh menit. Dan bukan saja berceritanya penuh dengan trope-trope ‘sinematik Sandler’, candaan dan punchline yang menyertai pun seringkali berulang-ulang.
Film ini kalo jujur maka judulnya menjadi berbunyi ‘Seribu Ekspresi Ketakutan Adam Sandler sebagai Pria Kekanakan’. Karena memang itulah senjata komedi yang jadi ujung tombak film ini. Hubie dikagetin oleh topeng domba di etalase tokonya. Hubie terkejut oleh mobil yang disetir seseorang tanpa kepala. Hubie menjerit melihat dekorasi halloween yang ia sangka hantu beneran. Satu-satunya build up yang dipunya oleh film ini – dalam lingkup komedi – adalah build up untuk merekam ekspresi kaget Adam Sandler di depan kamera. Selebihnya, komedi dalam film ini dihadirkan lewat kekonyolan kejadian yang terlahir dari karakter-karakter yang ditulis secara absurd pula. Kekonyolan tersebut terjadi begitu saja. Tidak ada ritme, set up, atau sekadar sedikit lebih banyak thought di balik setiap punchlinenya. Soal delivery, semua pemain sebagian besar adalah aktor komedian yang sudah sering kerja bareng. Sehingga mereka benar-benar tampak fun dan mampu memancing gelak tawa hanya dengan ‘menjadi mereka seperti biasa’. Seberhasil-berhasilnya komedi Hubie Halloween adalah karena pengetahuan atau kefamiliaran kita kepada skit-skit dan gaya para pemeran, bukan karena penulisan komedi. Ketika kita melihat Steve Buscemi menjadi possible-werewolf, kita tertarik karena ini seperti perannya di animasi komedi mereka. Komedi dalam film ini mengandalkan ‘outside knowledge’ seperti demikian.
Ini disayangkan karena cerita Hubie ini punya potensi. Untuk beberapa menit pertama aku punya ketertarikan besar untuk mengikuti cerita meski sudah banyak lelucon lebay yang dihadirkan. Satu yang buatku genuine lucu dan dialognya bener ada set up komedi adalah percakapan antara Hubie dengan ibu soal ayah. Namun kemudian seiring bergulirnya cerita, tokoh-tokoh pendukung yang diperankan oleh pemeran yang udah gak asing hadir di film Adam Sandler bermunculan satu per satu tanpa kematangan penulisan karakternya, semakin jelas bahwa film tidak mau repot menulis untuk komedinya. Setting cerita juga sebenarnya sudah bagus. Merekam kejadian horor dalam rentang waktu tertentu – seluruh kejadian film ini berlangsung satu hari, dan dengan fokus di malam halloween – membuat cerita nyaris otomatis terkesan urgen. Ide ceritanya yang membaurkan tiga ‘impostor’ juga menarik. Karena memberikan misteri beneran untuk dipecahkan oleh Hubie. Si tokoh utama ini pun ditulis punya obstacle yang bisa kita pedulikan. Berkaitan dengan pesan bullying yang dilantunkan oleh cerita.

Setiap orang punya kelemahan, punya kecemasan, punya sesuatu yang ditakuti. Dan terkadang ada beberapa orang yang merasa bahwa kelemahan tersebut membuat mereka jadi punya kebutuhan untuk membully orang lain yang lebih lemah. Supaya mereka bisa merasa lebih baik terhadap diri mereka sendiri.

 
Di-bully seumur hidupnya, tidak menjadikan Hubie tumbuh menjadi pria pendendam. Dan ini disalahartikan orang; mereka menganggap Hubie penakut. Well, Hubie yang kagetan mungkin memang penakut sama setan, tapi dia tidak pernah penakut seperti yang disangka oleh penduduk kota. Hubie tidak melawan atau membalas perlakuan bukan karena dia takut. Melainkan karena dialah the better man di kota itu. Dia selalu mementingkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Hubie punya banyak kelemahan, tapi dia tidak sekalipun berniat untuk menutupi kelemahannya dengan menimpakan kepada orang lain – dengan membuat orang tampak lebih lemah daripada dirinya. Sikap inilah yang membedakan Hubie dengan warga lain. Film ini mengenakan pesan tersebut seperti Hubie mengenakan selempang halloween-protectornya;  mencolok dan too-obvious. Tidak disematkan dengan subtil. Pesan-pesan itu dicuapkan langsung lewat dialog. Diejakan seolah kita enggak kalah terbelakangnya dengan anak-anak kecil yang membully Hubie.

Ada yang jual gak sih termos kayak punya Hubie?

 
 
Penanganannya terhadap gagasan baik tersebut membuat film jadi tampak semakin malas dan tampil secukupnya aja. Untuk memenuhi keinginan bermain-main saja. Secara plot dan perkembangan karakter, gagasan yang dihadirkan gitu aja itu membuat Hubie menjadi tokoh utama yang gak punya perkembangan. Pembelajaran yang ia lakukan hanya memberanikan diri untuk ngobrol hati ke hati kepada cengcemannya. Instead, justru tokoh pendukunglah yang dibebankan untuk berubah. Penduduk Salem lah yang harus belajar untuk menerima dan menjadikan Hubie sebagai teladan. Tokoh utama kita imperfect, tapi dia tidak salah di sini.  Hal ini berpengaruh kepada penulisan aneh yang dilakukan oleh film. Tokoh-tokoh pendukung yang banyak itu diberikan penulisan seadanya karena mereka bakal mengungkap ‘siapa’ mereka di akhir. Jadi dengan kontruksi bercerita seperti begini; membuat tokoh utamanya tidak dikenai perkembangan, melainkan tokoh-tokoh pendukungnya yang mendapat pembelajaran, kita harus ‘menderita’ menikmati komedi konyol yang datang tanpa pace dan ritme dan set up. Semua tokoh yang belajar itu difungsikan sebagai pion saja. Bahkan tokoh love interest Hubie pun tak banyak mendapat karakterisasi karena film juga meniatkan dia sebagai salah satu tersangka utama.
 
 
 
 
Untuk menjawab pertanyaan di atas soal apakah film ini adalah balas dendam yang dijanjikan Adam Sandler; tidak. Film ini masih punya nilai dan gagasan dan tidak terlihat seperti karya dari seseorang yang berniat menghasilkan sesuatu yang terburuk untuk ditonton banyak orang. Film ini menurutku lebih seperti proyek cominghome kecil-kecilan aja. Seperti Sandler ingin berkata walaupun dia sukses menjajal drama serius, hati dan passionnya masih pada komedi konyol seperti ini. Dan dia memperlihatkan bahwa dia tidak akan dibully karenanya. Pada akhirnya film ini tetaplah bisa dijadikan hiburan pengisi halloween, horor menyenangkan yang membuat kita lupa sama horor di luar jendela masing-masing selama sembilan-puluh menit.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HUBIE HALLOWEEN.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian membully seseorang dan kini menyesalinya? Jika bisa mundur ke belakang, apa yang ingin kalian katakan kepada orang yang kalian bully?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA