TILL DEATH Review

“An unhappy marriage chronically feels bad. It’s like a cold that lingers, leaving you drained and vulnerable”

 

 

Ada alasannya kenapa pernikahan dikiaskan sebagai sebuah ikatan. Sepasang orang yang di dalamnya memang terikat permanen, mengarungi sisa hidup mereka bersama dalam suka dan duka. Dalam sebuah pernikahan yang sehat, akan ada tarik menarik dalam ikatan tersebut. Ada interaksi, pasangannya akan bertindak selayaknya sebuah tim. Ikatan tersebut akan terasa hangat. Sebaliknya, dalam ikatan pernikahan kayak dalam rumah tangga si Emma dalam Till Death, well, terasa sangat dingin. Gak ada interaksi, apalagi yang penuh cinta. Salah satu dari pasangan itu akan merasa dirinya terikat seumur hidup pada batu. Karena hanya dialah yang berjuang menarik hubungan tersebut. Itulah yang kemudian literally terjadi kepada Emma. Di tengah salju, Emma harus menyeret-nyeret benda mati yang terborgol bersama dirinya. Benda mati yakni tubuh tak bernyawa milik sang suami.

Premis cerita Till Death ini memang mengingatkan kita kepada film Gerald’s Game (2017), thriller yang diadaptasi dari novel Stephen King. I love that movie very much; buktinya film tersebut nangkring di posisi keempat dalam daftar Top-Delapan-Film 2017-ku. Nuansa ketegangan psikologisnya kentara sekali, perempuan dalam cerita tersebut enggak hanya harus berjuang melepaskan diri dari borgol, tapi juga dari her inner demondemon yang jadi akar dari masalah pernikahan mereka jadi unhappy in the first place. Gerald’s Game diwarnai oleh banyak adegan-adegan surealis, oleh imaji-imaji yang aneh. Till Death, dibuat oleh sutradara S.K. Dale yang memulai debut featurenya, sebagai thriller atau horor yang tidak menapaki jalur psikologis. Melainkan lebih blak-blakan ke action thriller kucing-kucingan, as Emma yang terikat tak berdaya di rumah sepi di tengah salju itu akan disatroni oleh dua orang jahat yang mengincar harta peninggalan suaminya.

Till.Death_.202123.160
“Kata mama, bilang mama pergiii”

 

 

Basically, film ini adalah setengah drama pernikahan tanpa-cinta, dan setengah thriller home invasion. Namun dalam matematika sutradara Dale, setengah tambah setengah itu sama dengan sebuah survival horor yang seru lagi menegangkan. 

Perhitungan tersebut memang tidak salah. Till Death really thrives dalam memperlihatkan Emma simply berjuang, entah itu mencari jalan keluar dari situasinya, ataupun supaya enggak ketahuan sama dua penjahat. Dale tahu persis apa yang ia hadapi ketika memutuskan untuk membuat cerita thriller dalam satu lokasi khusus; The simplicity. Sekilas memang terasa gampang. Tinggal ‘memenjarakan’ karakter dan kemudian membuat keadaan menjadi berbahaya sehingga si karakter tadi harus terus bergerak meskipun dalam kondisi yang nyaris mustahil. Tapi actually, menuliskan adegan seperti demikian itu cukup sukar, karena lawan berat di sini adalah logika. Dale harus bisa melandaskan berbagai rintangan, harus bisa menempatkan tantangan demi tantangan supaya tensi itu terus naik, dengan mempertimbangkan banyak kemungkinan. Setiap aksi harus believable. Setiap opsi harus make sense. Setiap objek harus memenuhi fungsi. Kesimpelan itu pada nyatanya menuntut Dale untuk menyiapkan ‘panggung’ yang detil. Yang berbahaya sekaligus punya banyak celah untuk dieksploitasi jadi tempat bersembunyi. Keberhasilan Dale di sini, diukur dari reaksi-reaksi kita saat menontonnya.

Ketika kita menonton film ini sambil lebih banyak menahan napas ketimbang mempertanyakan aksi karakternya (Kenapa Emma gak lari ke sana? Kenapa Emma bisa cepet banget melakukan itu?), di situlah kita tahu suspens film ini terbangun dengan efektif. Film ini menemukan cara untuk membuat kita memaklumi. Kenapa Emma gak memotong atau menghancurkan saja tangan mayat suaminya — karena suaminya sudah ‘membersihkan’ rumah tersebut dari berbagai benda. Relationship toxic keduanya telah terestablish sehingga kita tahu suaminya melakukan semua ini untuk menghukum Emma, dan bahwa dia tidak merencanakan Emma untuk bisa selamat hidup-hidup (Dale membuat kita circled back ke judul filmnya) Lagipula, keseluruhan Emma terborgol dan harus menyeret-nyeret mayat suami adalah poin utama dari cerita. State yang harus ada, sehingga ini jadi demand dari film kepada kita. Dan Dale menghandle demand tersebut dengan cukup baik. Demand itu kemudian berlanjut saat masuk ke porsi kucing-kucingan. Sekali lagi, Dale tidak sekadar meminta, tapi membuat kita mempertimbangkan kembali tuntutan logika. Membuat kita kembali melihat kepada karakternya. Emma yang seperti bisa berpindah sekejap dengan kondisi jalan aja susah itu bisa saja karena Emma menemukan suatu cara, seperti saat dia membuat sepatu dari sobekan gaun, atau seperti saat dia bersembunyi di salju.

Ini membawa kita kepada the elephant in the room. Megan Fox. Jika Emma yang aktris ini perankan terborgol oleh dead weight suaminya, maka Megan Fox dalam film ini sesungguhnya menyeret demand-demand tadi, yang terikat kepadanya. Permintaan untuk kita mau suspend disbelief tersebut hanya akan beresiko tinggi jika tidak ada dukungan dari permainan akting yang meyakinkan. Akting Megan Fox di sini meminimalisir resiko tersebut. Karena dia berhasil menyampaikan emosi yang lebih lanjut juga berarti mengejakan karakter Emma yang tertulis sederhana pada naskah kepada kita. Simpelnya, Megan Fox is so good in this. Kita percaya Emma cukup pintar dan resourceful, kita peduli Emma punya masalah yang menghantuinya. Kita bisa merasakan vulnerability dan strong-willnya bersamaan. Tadinya aku skeptis dan males nonton film ini karena melihat nama Megan Fox. Tapi ternyata, dia berhasil membebaskan namanya dari bersinonim dengan film jelek, lewat penampilan aktingnya di Till Death ini.

Till-Deathsa
Akankah dia jadi the next Kristen Stewart dan Robert Pattinson?

 

Naskah dengan bijak mempertahankan keseimbangan. Cerita Till Death ini tidak pernah menjadi sebuah agenda, di mana para pria jahat keluar untuk memburu perempuan teraniaya. Meskipun yang menderanya adalah hubungan yang gak-sehat – suami yang kerap mengingatkan bahwa karir Emma sudah diselamatkan olehnya – Emma juga punya salah di sini. Karakter Emma juga bercela. Inilah yang membuat karakternya jadi menarik, dan terasa punya kedalaman. Emma kinda deserved to be in the position she’s in, tapi kita juga cukup bersimpati sehingga kita ingin dia benar-benar selamat dari semuanya.

Emma yang bersimbah darah dan babak belur menyeret dirinya keluar dari ikatan yang membebani. Keadaan Emma ini bekerja literally dan metaphorically. Karena selain bersama mayat, Emma memang berada dalam sebuah pernikahan yang gak-sehat. Keadaan yang persis sama dengan yang Emma rasakan di tengah salju. Dingin dan melelahkan.

 

Makanya ketika adegan Emma akhirnya berhasil melepas borgol, aku jadi sedikit kurang puas. Keadaan terikat itu kan pernyataan yang kuat, eksistensi sebenarnya dari cerita ini. Tapi film ini – karena dibangun berdasarkan formula setengah-setengah tadi, semacam melupakan kepentingan keadaan tersebut. Dale malah menempatkan momen Emma lepas dari borgol itu di luar kamera. Alias kita enggak lihat. Keadaan lengkapnya adalah Emma sedang bersembunyi dalam suatu tempat, dan dia berusaha memotong rantai borgol sebelum penjahat masuk ke ruangan tempat dia bersembunyi. Adegan kemudian cut ke memperlihatkan si penjahat udah masuk, dan penjahat itu melihat mayat suami Emma, tanpa Emma di dekatnya. Jadi, film tidak memberikan kita momen Emma merasa terbebas dari suami. Melainkan langsung lanjut ke tensi berikutnya. Dan ini menurutku sedikit terlalu cepat, dan mengurangi kepentingan dari situasi terborgol itu sendiri.

Perubahan yang terlalu cepat juga kita rasakan saat cerita menarik pelatuk mengakhiri babak pertama. Dari melodrama langsung ke thriller yang intens. Karakternya langsung ‘melonjak’ aktif. Tau-tau cerita bersimbah darah. Babak awal yang slow dan sepi dan dapat disebut membosankan terasa sangat kontras sebagai setengah-bagian pertama dari formula cerita. Bagian awal tersebut kurang melandaskan seperti apa sebenarnya film ini nanti, yang ternyata sadis dan enggak sepi. Sesekali ada kilasan flashback soal dulu Emma pernah jadi korban penusukan, yang menurutku flashback itu seharusnya bisa digunakan untuk mengeset tone film dengan lebih baik di awal cerita. Sekalian bisa membuat babak set up itu menjadi lebih spicy dan gak bosenin. Film-film horor atau thriller yang ada bunuh-bunuhan kan biasanya begitu, dimulai dengan adegan sadis untuk mengeset tone overall, entah itu pembunuhan yang unrelated ke protagonis atau sesuatu yang terjadi pada dirinya di masa lalu.

Film ini mungkin ingin tampil beda. Namun sayangnya dia tetap mempertahankan ‘charm’ genre horor biasa, yakni karakter yang pilihannya bego. Emma mungkin berhasil dijustifikasi. Tapi tidak untuk karakter-karakter lain. Film ini masih memberikan waktu kepada kita untuk meneriaki karakternya dengan berbagai sumpah serapah lantaran bego (dan lambannya) tindakan mereka.

 

 

Jadi, di debut film panjangnya ini S.K. Dale memberikan kita sajian thriller survival yang menghibur. Simpel tapi nendang. Sedikit meminta untuk kita melupakan logika, dan melakukannya dengan menawarkan karakter yang dibuat meyakinkan. Kejutan untuk kita adalah bahwa karakter tersebut dimainkan oleh Megan Fox, yang usually adalah staple untuk blockbuster receh. Penampilan Fox di sini sebenarnya sudah cukup untuk dijadikan alasan menonton. Dia berhasil mengangkat plothole dan kebegoan-kebegoan yang dimiliki film ini menjadi sesuatu yang masih pantas untuk disaksikan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TILL DEATH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Salah satu adegan konyol film ini adalah Emma yang tau-tau sudah memakai kemeja suami, padahal tangan mereka dalam keadaan diborgol. Menurut kalian benarkah itu bisa dilakukan, atau ini hanyalah sebuah lubang lagi di dalam cerita?

Bagaimana pendapat kalian tentang kiprah Megan Fox dalam perfilman sejauh ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA