GODZILLA MINUS ONE Review

 

“He who fights and runs away may live to fight another day.”

 

 

Dunia memang terlalu besar untuk ditinggali sendiri, manusia harus belajar untuk hidup harmoni bersama makhluk lain. Begitulah pretty much konsep dari film-film creature atau monster. Godzilla pun lahir dengan latar belakang yang serupa. Dinosaurus-like, monster raksasa, dianggap sebagai setengah-dewa penghancur setengah-dewa pelindung Bumi dari monster/kaiju lain. Manusia dalam cerita monster seperti Godzilla harus co-exist dengan makhluk yang terganggu oleh polusi atau teknologi tak-bertanggungjawab yang kita ciptakan. Lucunya,  dunia perfilman juga ternyata terlalu besar untuk ditinggali oleh satu jenis film Godzilla. Kita harus belajar untuk hidup harmoni dengan tipe-tipe film tersebut. Ada film Godzilla yang cheesy, yang isinya monster raksasa saling bertarung, dengan karakter manusia sok asik for the sake of ‘entertainment’ (misalnya Godzilla X Kong baru-baru ini), dan ada juga film Godzilla yang lebih ‘serius’. Karya Takashi Yamazaki ini masuk ke dalam tipe kedua. Godzilla Minus One tidak semata bersandar pada aksi monster yang ridiculously gede, melainkan berfokus kepada kisah kemanusiaan yang hidup menyertainya. Minus One pada judulnya merujuk kepada keadaan manusia Jepang yang luluhlantak oleh perang, dan mereka masih harus berhadapan dengan kemunculan Godzilla yang set them more far back, karena monster ini justru muncul saat manusia-manusia itu berusaha membangun hidup dari nol.

Untuk meng-emphasize poin keadaan hidup di bawah garis nol tersebut lebih jauh, Godzilla Minus One memanggil protagonis kepada Shikishima, seorang pilot tempur pesawat bunuh diri, yang mangkir dari misinya di akhir Perang Dunia II. Shikishima berdalih ada yang rusak di pesawatnya sehingga dia mendarat di pulau untuk reparasi oleh teknisi militer di sana. Di pulau itulah, malamnya, Shikishima pertama kali bertatap muka dengan Godzilla. Monster itu menyerang pulau, dan sekali lagi Shikishima mempertontonkan kepengecutannya dengan tidak sanggup menembak Godzilla dengan senjata di pesawat. Sejak itu, Shikishima hidup dengan rasa bersalah menggerogoti hati. Cerita Godzilla Minus One berpusat pada Shikishima yang tinggal di puing bekas rumah orangtuanya, bersama seorang perempuan asing dan anak kecil yang butuh pertolongan. Shikishima menampung mereka, mereka hidup bersama, tapi Shikishima tidak mau menganggap ataupun menjadikan mereka sebagai keluarga. Karena Shikishima belum selesai dengan ‘perang personalnya’. Godzilla di cerita Shikishima bertindak sebagai perwujudan yang harus dikalahkan oleh Shikishima dalam journey personalnya. Shikishima bekerja jadi penyapu ranjau di laut, dan di sanalah kesempatannya bertemu sekali lagi dengan Godzilla. Bertekad untuk tidak lagi kabur, Shikishima sekarang berniat untuk benar-benar mengorbankan dirinya, demi masa depan tanpa Godzilla.

reviewGodzillaMinusOne
Sudah perang, diserbu Godzilla pula

 

Biasanya nonton film monster kayak Godzilla ini kita suka kesel kalo Godzilla-nya hanya muncul sebentar. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi masalah pada film ini. Godzilla-nya memang hanya muncul sebentar saja (paling cuma belasan persen dari total durasi dua jam), dan sebagian besar cerita membahas tentang kehidupan manusia, tapi film tidak pernah terasa membosankan karena bahasan manusanya benar-benar berbobot. Manusia di film ini tidak seperti pada Godzilla X Kong: The New Empire, misalnya, yang cuma sok eksentrik dan dialog-dialog one-liner yang sok asik. Manusia di film ini adalah hati, bahasannya grounded, real, dan kita akan benar-benar peduli dengan mereka. Dialog film ini tidak berisi mumbo-jumbo teknologi yang harus dicari oleh tim manusia untuk mengalahkan Godzilla atau monster lainnya. Tidak ada tempo supercepat ala Hollywood yang terkesan kayak memburu-burukan cerita yang hampa supaya cepat sampai ke bagian monster raksasa. Godzilla Minus One adalah bahasan karakter yang meluangkan waktu untuk membawa kita menyelami karakternya. Kita dibuat peduli sama Shikishima yang bercela. Kita dibuat ingin dia hidup berkeluarga melupakan rasa bersalahnya, tapi sekaligus kita juga pengen dia berhasil mengalahkan rasa bersalah itu tanpa mempertaruhkan keluarganya.

Memang, tidak semua orang menganggap kabur dari battle adalah perbuatan membanggakan. Apalagi orang yang dibesarkan dengan prinsip harga diri dan pride tinggi seperti Shikishima, sang prajurit Jepang. Negara di mana bunuh diri demi perjuangan dipandang sebagai hal terhormat.  Sepertinya inilah salah satu gagasan yang diusung film terhadap budaya negaranya tersebut. Bahwa bunuh diri, kendati terhormat, bukan lantas jadi satu-satunya bentuk mulia perjuangan.  Bahwa ada satu aspek lain yang tak kalah pentingnya, yaitu survive supaya bisa terus melanjutkan perjuangan. Journey Shikishima dan karakter lain di film ini merupakan penyadaran terhadap hal tersebut, bahwa nyawa berharga bukan untuk dikorbankan, melainkan untuk diperjuangkan.

 

Sehingga sebenarnya yang jadi antagonis di dalam cerita ini bukanlah semata Godzilla. Melainkan prinsip mengorbankan diri yang telah jadi tradisi di negara itu sendiri. Para manusia harus ‘mengalahkan’ prinsip tersebut sebelum bisa mengalahkan Godzilla. Makanya film ini terasa lebih membesar lagi. Perjuangan manusia-manusia Jepang dalam menghalau Godzilla, digambarkan sebagai perjuangan kolektif masyarakat. Situasi negara setelah Perang Dunia II dijadikan panggung yang mempush warga untuk segera melakukan tindakan sendiri, karena negara tidak bisa langsung turun tangan. Kita lihat veteran perang seperti Shikishima berembuk untuk menyusun siasat mengalahkan Godzilla, kita lihat ada percikan drama sehubungan dengan pilihan mereka untuk kembali mempertaruhkan nyawa, mempertanyakan apakah kali ini untuk negara atau bukan. Bagi mereka ini sudah bukan lagi soal patriotisme, melainkan hal yang lebih personal. Film bahkan menyebut betapa ‘cerahnya’ wajah para pejuang ketika mereka bekerja di kapalPerundingan siasat ini nyatanya lebih menarik dan lebih kita mengerti ketimbang misalnya obrolan tetek bengek sci fi yang biasa kita temui pada Godzilla versi Hollywood. Film Jepang ini paham untuk membuatnya tetap pada gagasan dan tema, sehingga bahkan ketika tersempil paparan untuk majunya plot pun, film ini tidak terasa terbebani.

Notice gak gimana Godzilla menggigit, tapi sama sekali tidak pernah memakan manusia?

 

Dan ketika beneran sudah memperlihatkan aksi-aksi manusia berusaha survive dari monster raksasa, film ini pun tetap bertaring.  Efek visual nya memang tidak mentereng, spektakelnya memang tidak bombastis, tapi bukan berarti yang disajikan film ini hiburan B-Class. Justru, demi menyeimbangkan dengan cerita yang grounded, visual film ini dibuat dengan sense realisme yang tinggi. Lihat saja adegan ketika kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya. Terakhir kali ngerasain kayak gitu di film creature, ya pas film Jaws yang hiunya irit, tapi dread dan impact keberadaannya menguar dari karakter manusia. Build up Minus One inipun gak ada minus-minusnya, mereka membangun kemampuan Godzilla lalu kemudian ngasih punchline sedemikian rupa. Ketika Godzilla hendak menembakkan nuklirnya, misalnya, kita diperlihatkan gimana tubuhnya ‘ngecharge’ dan kemudian ketika dia menembak, efeknya begitu dahsyat. Sehingga ketika next sequence kita melihat Godzilla ‘ngecharge’ lagi, kita ikut khawatir akan dampak yang bisa ditimbulkan. Sound dan musiknya juga bekerja dengan sangat efektif membangun suasana. Baik itu di malam hari, di laut, ataupun di kota, film ini berani dan selalu punya cara unik dalam menampilkan Godzilla. Beberapa adegan mungkin ada yang tampak terlalu ‘anime’, tapi itu hanya karena perbedaan gaya atau pendekatan khas Jepang dengan film Godzilla versi Hollywood yang biasa kita saksikan.

 

 




Clearly, Godzilla yang satu ini dikepalai oleh orang-orang yang paham betul bagaimana membuat fantasi kaiju raksasa bisa co-exist dengan cerita dengan penokohan dan bahasan yang berbobot. Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, sementara juga mengambil resiko dengan tidak benar-benar bersandar kepada spektakle monster dalam menyuguhkan kisahnya. Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. For di antara mereka masih ada yang belum tuntas dengan ‘perangnya pribadi’. Ketika menyuguhkan Godzillanya, film ini juga tidak main-main. Craft mereka menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GODZILLA MINUS ONE.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah makna Godzilla sebagai simbol bagi lingkungan ataupun kepercayaan masyarakat?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MY DAD IS A HEEL WRESTLER Review

Everyone’s work is equally important.
 

 
Disuruh menceritakan tentang ayah oleh ibu guru, Shota si bocah SD yang bertubuh kecil memberitahu seisi kelas bahwa ayahnya adalah orang yang sangat kuat. Namun ketika melanjutkan cerita soal pekerjaan, Shota diam. Dia tidak tahu apapun tentang pekerjaan ayahnya. Sedikit sekali yang ia tahu selain ayahnya berotot, suka minum protein, dan mengajaknya berpose garang yang sama ketika mereka di pemandian. Untuk membuktikan ayahnya bukan seorang mafia seperti yang diutarakan oleh salah seorang teman, Shota nekat menyelinap naik ke mobil untuk mengikuti sang ayah. Shota pun tiba di tempat yang penuh oleh orang-orang berbadan kekar. Ternyata Shota berada di gedung olahraga, di arena gulat. Ayah Shota adalah seorang pegulat. Tapi bukan seorang juara. Ayahnya bahkan bukan pegulat yang bertabiat baik. Shota malu kepada teman-teman sekelasnya. Alih-alih mengaku ayahnya adalah si Topeng Kecoa yang udah berbuat curang pun masih aja kalah, Shota malah bilang ke teman-teman bahwa ayahnya adalah Dragon George, pegulat muda berambut pirang; juara bertahan yang diidolakan banyak orang.
Jepang termasuk dalam negara yang menjadi kiblat gulat profesional – bersama Meksiko dan Amerika Serikat. Di sana gulat sudah lebih dari sekadar hiburan. Hampir seperti disakralkan. Para penggemar saling menjaga kayfabe – yakni fakta yang sebenarnya hanya nyata di skenario gulat. Kayak menjaga bahwa Sinterklas itu ada kepada anak-anak. My Dad is a Heel Wrestler garapan Kyohei Fujimura yang mendapat dukungan penuh dari organisasi gulat nomor satu di Jepang; New Japan Pro Wrestling, adalah film yang berusaha memanusiakan olahraga-hiburan yang sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang tersebut. Meskipun sejatinya ini adalah film drama anak-anak, tapi ceritanya tidak seketika menjadi simpel. Film tidak lantas ‘menipu’ anak-anak dengan mengatakan gulat itu beneran, melainkan ia memperlihatkan dengan benar perihal status ajaib pro-wrestling terkait mana yang benar, mana yang rekayasa. Yang ingin diperlihatkan film ini justru adalah kenyataan seorang penggemar gulat – cara terbaik untuk kita menikmati, dan menyingkapi, lalu lantas menghormati bisnis olahraga-hiburan dan semua orang yang terlibat di dalamnya.

film ini sebenarnya bisa beres lebih cepat kalo ada yang bilang ke Shota “Nak, kerja ayahmu itu kayak aktor”

 
Film ini akan membuat kita merasakan bagaimana rasanya menjadi penonton – tepatnya, penggemar – gulat di masa kini. Ada tiga sudut pandang yang bekerja di dalam film ini. Shota yang belum pernah menonton gulat sebelumnya dan mengetahui ayahnya ternyata menjadi tokoh jahat di dalam ring. Ayah Shota (diperankan oleh pegulat NJPW asli bernama Hiroshi Tanahashi), dulunya dia pegulat top tapi karena usia dan cedera, masanya sudah lewat sehingga sekarang dia giliran berperan sebagai penjahat – tokoh untuk dipermalukan. Dan seorang reporter cewek bernama Michiko yang tahu seluk beluk gulat dan ingin menulis artikel tentang perjalanan karir gulat ayah Shota. My Dad is a Heel Wrestler memang bukan film yang hebat – bahkan di antara film-film yang ada gulatnya di tahun 2019, film ini masih kalah bagus dari Fighting with My Family ataupun The Peanut Butter Falcon – tetapi ini adalah cerita yang unik karena tiga sudut pandang tadi. Benar-benar menerjunkan kita ke dalam drama seorang penggemar karena ketiganya dimainkan dengan mulus dan saling menambah untuk tetap mempertahankan ‘magisnya’ sebuah pertunjukan gulat.
Kita akan melihat kehidupan asli pegulat. Kita akan dibawa ke belakang panggung, bertemu dengan para pegulat. Kita akan belajar melihat mereka sebagai seorang manusia. Tapi real ‘belakang panggung’ bisnis ini tidak pernah diperlihatkan. Limitasi tersebutlah yang membuat film ini menarik lantaran menempatkan penonton yang tidak mengerti atau tahu atau peduli sebelumnya akan gulat pada posisi yang abu-abu. Seperti Shota. Seperti Shota kita ingin melihat ayahnya menang, seperti Michiko si jurnalis kita tahu pentingnya kemenangan bagi ayah Shota,  seperti ayah Shota kita ingin dia menang. Tapi setiap kali dia kalah, kita tidak melihatnya kecewa. Ini adalah perasaan para penggemar gulat saat menonton pertandingan di dunia nyata. Kita ingin jagoan kita menang, kita mungkin akan kesal ketika mereka kalah, tapi tidak pernah kecewa karena kita paham ada kayfabe dan ‘storyline’ yang dijaga. Namun bagi non-fans, atau orang yang tidak pernah menonton dan mengerti gulat – seperti Shota – hal ini akan ‘membingungkan’. Jadi film akan secara instan terasa relate.
Bukan hanya Shota, tokoh anak-anak dalam film ini tampak tidak tahu olahraga yang mereka tonton cuma bohongan. Hanya orang dewasa yang menggunakan istilah-istilah gulat seperti ‘heel’ ataupun ‘babyface’ – mengisyarakatkan gulat sama saja dengan bermain peran – sedangkan Shota dan kawan-kawannya selalu menyebutnya sebagai orang jahat dan orang baik. Inilah yang menciptakan tensi drama anak dan ayah yang menjadi hati dari film ini. Shota ingin ayahnya berhenti saja karena memalukan baginya punya ayah orang jahat. Bagi ayah Shota ini menyedihkan karena dia bukanlah orang jahat. Menjadi pegulat jahat adalah pekerjaannya sekarang. Shota membuatnya galau, karena setiap orangtua pasti ingin menjadi yang bisa dibanggakan oleh anaknya. Film menerjemahkan perjuangan ayah Shota menjadi ‘pahlawan’ seperti dulu yang dibanggakan oleh anaknya lewat bahasa gulat – lewat pertandingan. Fans wrestling seperti Michiko tahu ‘derita terdalam’ ayah Shota; pegulat itu jadi jobber sekarang. Jadi pecundang. Tugasnya sekarang bukan lagi untuk menang dan jadi poster boy untuk perusahaan gulat, melainkan adalah untuk kalah dan membuat lawannya tampak hebat.

Dan film ini menunjukkan tidak ada yang salah dengan pekerjaan ayah Shota. Bukanlah hal memalukan menjadi tokoh jahat. Setiap pekerjaan punya kepentingan masing-masing, terlebih jika dipilih berdasarkan passion dan hati. Menjadi tokoh jahat dalam gulat, dalam film, sama pentingnya dengan menjadi tokoh baik. Karena semua punya sistem. Film menunjukkan semua itu lewat derita dan kesenangan kita menonton perjuangan seorang tokoh jahat, tokoh badut, yang selalu kalah. Supaya kita bisa menghormati mereka.

 
Yang beneran jahat dalam film ini – here’s the twist – justru adalah teman-teman Shota yang membully-nya karena tidak mengerti cara kerja gulat sebagai hiburan, atau bahkan yang tidak menonton gulat sama sekali. Karena merekalah yang merendahkan orang-orang seperti Shota, seperti ayahnya, seperti Michiko yang berjuang untuk mempertahankan pekerjaan dan ilusi yang ‘mungkin’ menyertainya. Si pegulat jahat bukanlah orang jahat di kehidupan nyata. Film juga menghindari jebakan drama dengan tidak membuat si pegulat idola ternyata adalah orang jahat di balik panggung. Semua yang mengenal olahraga ini, dibuat oleh film sebagai orang-orang baik. Mereka hanya bekerja, melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya, dan menghormati pekerjaan tersebut. Jahat  menurut film ini adalah bersikap judgemental terhadap pekerjaan orang lain yang tidak kita ketahui dan tidak punya keinginan untuk mengetahuinya.

kalo semuanya orang baik, maka enggak akan seru

 
Makanya film ini akan sangat menyenangkan bagi penonton yang memang menggemari gulat. Ada banyak cameo dari pegulat Jepang, ada banyak referensi dari dunia gulat seperti Trent Baretta bermain sebagai tokoh bernama Joel Hardy yang punya style ala Hardy Boyz beneran, ataupun ada penampakan Naito dengan catchphrase “tranquilo” andalannya – ini semua gak bakal make sense buat non-fan tapi kehadirannya tidak pernah terasa mengganggu dan disebar dengan jumlah yang cukup untuk membuat seorang fan gulat menggelinjang secara konsisten. Secara teknis dan desain produksi, film ini memang tidak terlalu menonjol. Begitupun dari segi penampilan. Yang paling menarik buatku adalah karakter Michiko yang dari luar tampak seperti parodi dari seorang hardcore fan, tapi dia justru jadi orang yang paling manusiawi untuk protagonis kita. Shota bermain cukup bagus untuk tidak tampak annoying. Sementara ayahnya dan para pegulat tampak lebih prima bermain di dalam ring – karena memang di situlah zona nyaman mereka. Ketika akting dramatis beneran, masih terasa sedikit kaku sehingga nyaris tampak seperti stereotipe.
 
Jika kalian bertanya apakah film ini berusaha meng-convert seseorang untuk jadi suka sama prowrestling – kaitannya dengan promosi gulat jepang? I ‘d say yes. Film ini seperti dibuat oleh seorang penggemar untuk mengajak temannya ikutan suka gulat. Sudut pandang baik tokoh maupun kamera benar-benar on point. Karena drama match seperti yang direkam pada babak ketiga itulah yang penggemar lihat setiap kali mereka nonton wreslitng. Ada personal story. Bukan sekadar kalah menang, siapa yang juara, siapa yang jahat dan baik. Film ini menangkap esensi drama  dan memperkuatnya ke dalam pertandingan yang dikoreografi – persis seperti match wrestling beneran. Kita harus sama terbukanya dengan Shota jika ingin menikmati film ini, dan jika bagi kalian itu adalah kerjaan ekstra, maka mungkin kalian tidak akan menyukai film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MY DAD IS A HEEL WRESTLER.

 

THE NIGHT IS SHORT, WALK ON GIRL Review

“I sing to the night, let me sing to you.”

 

 

 

Untuk dapat ngedeskripsiin gimana rasanya nonton film ini, aku harus nanya dulu ke kalian – karena aku bener-bener gak nemuin kata yang tepat buat ngewakilin perasaan yang kena ke aku. Mungkin beginilah rasanya ‘mabok’ tapi aku gak yakin karena belum pernah mabok. Jadi, ini pertanyaannya: Pernahkah kalian golek-golek sebelum tidur, menyusun ulang apa yang sudah kalian lakukan hari itu – dari mulai bangun pagi, cek hape, masuk ke kamar mandi, balik keluar lagi karena hape ketinggalan di kasur, dan seterusnya, seterusnya sampai kalian lupa ngapain lagi karena satu hari tersebut seolah berlalu begitu saja, seolah yang kalian lakukan di pagi hari itu tidak pernah terjadi? Film ini terasa kayak momen bangun pagi yang berusaha kalian ingat itu. Terasa gak penting padahal kita tahu dan kena pentingnya di mana.

Menonton film ini bagai sedang mimpi di siang bolong. Begitu aneh dan unik perjalanan yang dituturkannya sehingga kita tidak merasa sedang menonton, melainkan lebih sedang bermimpi. Dan begitu filmnya selesai, kita akan ‘terbangun’ dengan merasakan penuh gempita oleh pengalaman yang baru.

 

 

Bahkan untuk ukuran anime sekalipun, film ini masih tergolong super duper abnormal. Animasinya disampaikan dengan gaya yang lain daripada yang lain. Gambar-gambarnya menunjukkan hal-hal yang incorrect dan nyampur gitu aja membuat kita tertawa canggung antara konyol dengan merasa bergidik. SUREALIS DALAM LEVEL YANG BERBEDA. Tokoh-tokohnya melakukan aktivitas yang absurd, kayak jalan merangkak ala kepiting. Komedi yang mewarnai film ini pun sama gilanya. Struktur ceritany, oho jangan ditanya; film ini bercerita dengan sebebas-bebasnya. Kejadian demi kejadian datang gitu aja. Cerita dalam film ini berlangsung dalam rentang waktu satu malam yang dilalui oleh tokohnya, jadi kita akan melihat apa-apa aja yang bakal ia temui. Kita akan lihat mereka berdansa dan benryanyi dalam sebuah sekuen musical yang begitu hilarious. Kali lain, kita akan dibawa masuk melihat isi pikiran salah satu tokoh. Sekilas, kejadian-kejadian tersebut tak tampak korelasinya, namun film punya cara dan suara tersendiri dalam merangkai semua elemennya menjadi satu kisah yang padu. Kita tetap berpegangan erat pada cerita.

latihan otot paha dan perut yang bagus

 

Tokoh utama kita dipanggil Otome. Malam itu dia diundang menghadiri pesta pertunangan kenalannya. Sebagai salah satu yang termuda di sana, Otome merasa senang (serius, cewek ini sepertinya enggak mampu untuk merasakan sedih). Otome melihat acara tersebut sebagai kesempatan untuk experiencing something new. Pesta tersebut tak butuh waktu lama berubah menjadi semacam bar crawl; rombongan akan berpindah ke tempat-tempat minum. Kehidupan dewasa, kehidupan malam hari, Otome dengan suka ria menjalaninya. Dia bertemu dengan banyak orang dan kejadian aneh. Dia minum-minum. She’s so good at it. Kita akan melihat semangat Otome mempengaruhi lingkungan sekitar yang kontras dengannya, dan pada gilirannya akan gentian: Otome akan belajar dari mereka. Particularly, ada satu cowok, yang disapa Senpai. Cowok ini naksir berat ama Otome, tapi dia terlalu pemalu untuk bilang langsung. Jadi dia bikin strategi gimana caranya sepanjang malam itu untuk bisa terus bertemu ‘tanpa sengaja’ sama Otome.

Dari gaya dan penceritaannya sendiri, aku tak heran akan banyak penonton yang garuk-garuk kepala. Tapi kutekankan, film ini enggak bakal bikin pusing. Jika ada satu hal yang susah untuk kita lakukan saat nonton film ini, maka hal tersebut adalah merasakan kebosanan. Karena kita memang diberikan satu storyline, satu pertanyaan utama untuk dinantikan jawabannya; Apakah pada akhirnya Otome memperhatikan Senpai – apakah mereka akhirnya ‘jadian’? Proses kesanalah yang luar biasa menarik. Dua tokoh ini berjalan sepanjang malam itu, berdekatan namun jarang sekali bersinggungan, dan path yang mereka lalui sudah seperti trial; ujian yang menghantarkan masing-masing menuju pemahaman akan hidup. Otome akan ikutan kontes minum alkohol, dia akan pergi ke pasar buku bekas, dia akan bergerilya bersama teater jalanan yang diburu security. Ada begitu banyak yang film ini bicarakan. Kurasa setiap penonton bisa mendapat pesan yang berbeda di setiap perjumpaan. Begitu banyak sudut untuk menginterpretasi cerita, inilah kekuatan dari The Night is Short, Walk on Girl.

Ini adalah tipe film yang begitu filmnya usai akan terasa semakin hebat dan hebat lagi sebagaimana kita merefleksikan kejadiannya terhadap diri sendiri. Apa yang dihamparkan pada film ini begitu luas sehingga akan banyak orang merasa relate dengan kejadian-kejadiannya. Buatku, aku mengakui, aku merasa dekat dengan Senpai. Ngajak jalan cewek, ‘bicara’ sama cewek yang disuka, buatku juga adalah masalah susun strategi. Aku suka menciptakan situasi, berusaha menunggu timing, supaya ngajaknya itu gak terasa awkward, persis kayak si Senpai. Di film ini Senpai berpikir buku masa kecil Otome yang ia temukan bakal menjadi tiketnya untuk mulus jalan sama Otome, but really, film ini menunjukkan kita enggak butuh benda, enggak butuh menciptakan kesempatan. Just put yourself out there, karena hidup inilah kesempatan kita.

Malam itu pendek. Hari itu pendek. Umur kita pendek. Sepanjang apapun waktu yang kita punya, kalo kita tidak segera berjalan, kita tidak segera melakukan apa-apa, semuanya akan lewat begitu saja. Begitulah kontrasnya dunia sekitar dengan Otome. Dengan malam yang hanya beberapa jam itu, Otome melakukan banyak kegiatan, dia mengubah hal, karena dia tahu; saat muda itu, dia punya semua kesempatan yang bisa diinginkan oleh seseorang.

 

 

Elemen cerita yang paling asik adalah gimana jarum jam arloji Otome dibuat bergerak dengan kecepatan yang berbeda dari jarum jam tokoh-tokoh lain. Yang lain jamnya bergerak dengan sangat cepat, orang-orang tua itu sangat kaget demi melihat jam Otome berjalan “lebih lambat daripada siput”. Tokoh-tokoh yang lebih dewasa daripada Otome, mereka digambarkan sangat tertekan oleh hidup, mereka memandnag hidup dengan sangat sinis; sudah waktunya berbuat begini, sudah waktunya kita begitu. Mereka minum untuk mabuk, maka dengan segera menjadi mabuk. Otome, minum untuk menikmatinya. Sebagaimana dia menikmati hidup, cewek muda ini begitu optimis. Dia tahu waktunya masih panjang, atau malah dia tidak memikirkan waktu. Ada perbandingan yang subtil dijelaskan oleh film ini lewat minuman yang dipertandingkan oleh Tomoe dan satu tokoh. Minuman tersebut adalah minuman ‘palsu’ yang dibuat dari meniru resep terkenal. Tokoh-tokoh lain, mereka fokus ke ‘palsu’nya, sedangkan Otome, dia gak peduli, dia gak tahu versi aslinya, buat dia baru ataupun asli – yang jelas itu adalah kesempatan mencoba sesuatu yang baru. Hasilnya, ya kita lihat, minuman tersebut jadi kupu-kupu kebahagian dalam perut Otome.

semoga itu bukan gejolak asam lambung

 

Seorang manusia sesungguhnya punya peran dalam kehidupan manusia yang lain. Setiap masing-masing dari kita terkoneksi satu sama lain, entah itu oleh tindakan yang pernah kita lakukan, keputusan yang kita ambil. Film ini, dalam kapasitasnya sebagai komedi, menggunakan flu sebagai cara untuk menggambarkan koneksi tersebut. Pria yang merasa paling kesepian di hidupnya actually adalah orang yang menularkan flu kepada seluruh orang di kota pada penghujung malam itu. He matters. Kita berarti terhadap dunia dalam cara yang tak terbayangkan oleh kita. Dalam sekuen ini kita juga melihat Otome mulai menyadari kekurangan yang ia miliki. Bagaimana mungkin, cuma dia yang tak tertular flu? Berarti dia belum terkoneksi, dia belum menjadi bagian dari dunia. Sikap optimis dan keceriaannya berpengaruh terhadap sekitar, practically memohon untuk mempengaruhi orang-orang. Namun Otome belum terbuka terhadap sekitar, dia terlalu sibuk berjalan – doing her things. Ia pun sudah seharusnya untuk membiarkan orang-orang menularkan pengaruh terhadap dirinya.

Karena hidup adalah timbal balik seperti demikian. Bukan sekedar rangkaian dari peristiwa-peristiwa acak yang terjadi secara kebetulan.

 

 

 

 

 

Aku sangat berharap dapat timbal balik juga di sini, aku pengen tahu apa yang kalian pikirkan terhadap cerita film ini, apa yang kalian dapatkan darinya. Karena ada begitu banyak yang dibicarakan oleh garapan Masaaki Yuasa ini dalam lingkupan payung kehidupan yang menjadi konteksnya. Film ini memotret gimana orang-orang memandang hidup, apa yang mereka lakukan dalam mengisi hidupnya. Simbolisme boneka Daruma khas Jepang, juga signifikansi benda-benda yang tampak di latar, selalu ada yang bikin pikiran kita bergerak saat menonton ini. Kejadiannya aneh-aneh seperti kejadian dalam mimpi, namun begitu menyedot sehingga kita tidak bisa berhenti menyaksikannya. Juga sangat lucu, meski terdapat beberapa lelucon yang udah out-of-date seperti objektifikasi dan ngerendahin wanita. Tapinya lagi, itu adalah bagian dari kehidupan malam di Jepang, dan film ini tak berdalih dari hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE NIGHT IS SHORT, WALK ON GIRL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

A SILENT VOICE Review

“It’s the way you say it.”

 

 

A Silent Voice menampilkan tokoh tunarungu-wicara, namun tidak sulit bagi kita untuk dapat mendengar bahwa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh  anime ini adalah komunikasi merupakan hal yang harus kita pelajari, karena kita semua, kebanyakan, tidak bisa berkomunikasi dengan benar.

 

Aku jadi kepikiran buat mencanangkan November sebagai bulan apresiasi anime sebab sudah beberapa tahun belakangan ini, setiap sekitaran November, aku selalu mendapat suntikan harapan bahwa masih akan selalu ada pembuat-pembuat film anime di luar sana yang berani menembus batas dan mengeluarkan tayangan berkualitas semacam Your Name (2016) dan A Silent Voice ini.  I mean, yea, memang memprihatinkan melihat Studio Ghibli masih harus berjuang secara keuangan, namun ternyata ini bukan akhir dari anime. Aku senang, meskipun aku bukan penggemar anime garis keras. Aku hanya memberikan kredit kepada yang pantas. Dan anime adalah salah satu media yang paling sering dioverlook. Di sini, aku ingin membujuk kalian buat meluangkan waktu dan mencari anime-anime yang baik. A Silent Voice adalah satu yang kurekomendasikan. Aku melewatkan film ini saat tayang di bioskop, dan lumayan nyesel karena ternyata ini film yang bagus banget. Bahkan jika kalian bukan penggemar anime, aku yakin setiap yang menontonnya akan  bisa menemukan apa yang bisa diapresiasi dari film ini.

Pada lapisan yang paling luar, kita bisa melihat film ini sebagai kisah drama relationship antara seorang cowok dengan cewek yang tunarungu-wicara. Tapi cerita ini tidak digarap dengan klise. Ceritanya bicara lebih banyak daripada romansa semata. Film ini menghindari banyak melodrama dan elemen-elemen pemancing baper yang banyak anime bahkan film lain terjerumus ke dalamnya. Tentu, salah satu bagian paling manis film ini adalah bagian percakapan antara kedua tokoh dengan menggunakan bahasa isyarat. Akan ada banyak kesempatan ketika mereka bercakap-cakap, saling melempar bahasa isyarat – dalam diam, semua emosi itu kita baca lewat pandangan mata mereka. Semua itu dapat tersampaikan dengan amat baik lewat animasi yang benar-benar menawan. Ini adalah film yang cantik dan punya cerita yang sangat menyentuh.

‘Menyentuh’ sebenarnya cukup mengecilkan karena apa yang tepatnya dilakukan oleh film adalah; ia menggenggam hati kita, kemudian meremasnya erat-erat. Membuat kita merasa sesak. Nyaris sebagian besar film ini terisi oleh adegan-adegan yang tough untuk ditonton. Terutama jika kalian pernah menjadi korban bully, pernah dikucilkan oleh teman-teman di sekolah. DAMPAK PERUNDUNGAN MENJADI KONFLIK UTAMA yang menyelimuti narasi. Dan film ini tidak ragu untuk menjadi menyedihkan. Namun tidak pernah sekalipun tokohnya meminta kita untuk mengasihani mereka. Film ini melakukan hal dengan sangat berbeda.  Biasanya film-film akan menempatkan kita di sudut pandang tokoh yang paling gampang dikasihani, dalam kasus film ini; sudut pandang Nishimiya, si cewek tunarungu-wicara yang dibully. Kita sudah pasti akan menginginkan Nishimiya untuk hidup bahagia. Film ini paham membahas dari perspektif demikian hanya akan membuat cerita menjadi terlalu dramatis dan kurang menantang. Jadi, cerita menempatkan kita di belakang Shoya Ishida, cowok yang tadinya paling getol ngebully Nishimiya.

senjata makan tuan adalah ungkapan yang tepat

 

Saat masih duduk di kelas enam, kelas Ishida kedatangan murid pindahan. Seorang anak perempuan yang membawa buku catatan ke mana-mana karena ia begitu bersemangat untuk mengobrol dengan teman-teman baru. Nishimiya tidak dapat mendengar, ia tidak dapat berbicara dengan lancar, jadi dia menggunakan tulisan untuk berkomunikasi. Teman-temannya disodorkan buku sebagai cara untuk bicara kepadanya. Tak butuh waktu lama bagi teman-teman satu kelas untuk menganggap Nishimiya merepotkan. Apalagi ketika mereka disuruh belajar bahasa isyarat, wuih Ishida langsung menertawakan. Di saat teman-teman yang lain mulai menjauhi Nishimiya, Ishida menjadikan anak itu bahan candaan. Dia meledek cara Nishimiya berbicara. Dia membuang buku komunikasi Nishimiya ke kolam. Ishida bahkan nekat mencabut alat bantu pendengaran dari telinga Nishimiya dan melemparkannya ke mana-mana. Eventually, hal tersebut membuat Nishimiya pindah dari sekolah mereka. Ishida pun dikecam teman-teman yang lain sebagai tukang bully kelas kakap, sekarang gantian ia yang dijauhi. Dikucilkan. Dan dikerjai oleh anak-anak satu sekolah. Kemudian film akan membawa kita melompati beberapa tahun hingga Ishida SMA. Dan yang kita lihat tidak lagi anak laki-laki yang ceria, melainkan seorang cowok yang begitu sendirian, tak punya teman, traumatized oleh kelakukan masa kanak-kanaknya sendiri.

Normal bagi anak kecil untuk menggoda, mengganggu, teman yang mereka sukai. Karena begitulah cara mereka berkomunikasi. Kekanakan, kata orang. Namun, Ishida tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan mengerti itu. Sudah terlambat untuk dia mengerti apa yang ia lakukan sudah kelewat batas, segala yang ia lakukan berbalik kepadanya. Dia tumbuh menjadi cowok dengan trauma mendalam oleh derita yang ia berikan kepada orang lain. Begitu traumanya sehingga dia tidak mengerti apa itu teman, apa yang membuat seseorang bisa dianggap sebagai teman.

 

Biasanya dalam anime romantis kita dapat dua tokoh yang saling menyintai dan mereka terpisahkan oleh sirkumtansi dari luar, entah itu jarak ataupun hal lain. Dalam A Silent Voice, Ishida dan Nishimiya benar saling menyintai, tapi masing-masing mereka merasa bersalah – sudah melakukan hal mengerikan di masa lalu – sehingga mereka tidak tahu harus bagaimana untuk meruntuhkan tembok itu, bagaimana harus menjadi teman. Kita melihat usaha Ishida untuk mencari keberadaan Nishimiya saat mereka remaja. Ishida sungguh-sungguh belajar bahasa isyarat, karena dia menyangka karena tidak bisa saling bicara itulah masalah mereka. Tapi redemption itu tak kunjung datang kepadanya.

bahkan setelah gede pun kita masih paling sok kasar sama orang yang disukai

 

Komunikasi itu bukan masalah suara. Komunikasi bisa berbentuk apa saja. Akan tetapi, Ishida remaja bahkan menolak untuk kontak mata dengan orang lain. Dia tidak lagi tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan orang, dia takut salah, takut dipersalahkan. Film ini mengambil langkah kreatif yang sangat kuat dalam menggambarkan keengganan dan ketakutan Ishida terhadap suara-suara sosial. Wajah semua orang di sekitar Ishida akan ditempeli tanda silang gede. Ketika ada orang yang mengajaknya bicara, berusaha berhubungan dengan Ishida, barulah tanda silang ini terlepas jatuh ke lantai.

 

 

Lebih memfokuskan kepada struggle yang dihadapi oleh remaja seperti Ishida, juga Nishimiya, film ini adalah studi karakter yang sangat relevan, terutama lantaran banyak anak-anak di luar sana yang juga berurusan dengan masalah perundungan. Korban maupun pelaku, semua kena dampaknya. Film ini dengan berani membahas semua itu, dengan lingkupan sudut pandang yang berbeda. Namun dua jam lebih durasi itu bisa sangat memberatkan, apalagi film ini begitu menoreh hati kita, it’s hard to watch sometimes. Penting bagi film untuk memperlihatkan interaksi antara Ishida dengan tokoh selain Nishimiya, akan tetapi masih banyak kita jumpai adegan-adegan percakapan antara para tokoh sampingan ini yang enggak begitu mempengaruhi atau menyumbangkan bobot emosi kepada fokus cerita. Film mestinya bisa memangkas beberapa, membuat cerita lebih ketat. Di luar itu, ini adalah film penting, and I really like it. Serta menurutku, film ini masih memiliki lapisan lain yang bisa kita eksplorasi, karena ada beberapa bagian yang sangat tersirat seperti reinkarnasi ataupun kenapa kita tidak pernah diperlihatkan wajah kakak Ishida, yang belum sepenuhnya aku mengerti.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for A SILENT VOICE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.