“Information is the currency of democracy.”
Istimewanya demokrasi adalah pemerintahan yang ada didasarkan kepada keinginan publik, bukan kepada ketakutan akan penguasa. Dengan berdiri bukan pada kekuasaan inilah makanya setiap warga negara memiliki kesempatan mengambil bagian aktif dalam pemerintahan. Kita berhak ngomong, mempertanyakan, dan menuntut keterbukaan dari pemerintah. Makanya media atau pers yang kritis, yang hobi ngulik menginvestigasi, dan mampu berdiri tanpa ditebengi disebut sebagai sumber kehidupan dari sistem demokrasi apapun.
Kebebasan pers adalah benteng dari kemerdekaan berpendapat. Namun sistem ini pun menemui celah ketika pemerintah berusaha mengendalikan informasi dengan alasan media kebablasan, informasi yang dikabari enggak akurat. Menyebarkan kebencian. Berbahaya.
Aku paham bagaimana susahnya menahan diri untuk enggak segera mengambil tindakan ketika kita punya sesuatu yang menurut kita begitu penting. Begitu menarik. Kayak waktu kecil, dibeliin mainan baru, aku langsung melejit keluar rumah untuk dipamerin ke teman-teman. Susah memang untuk nahan diri. Sehabis nonton aja kita suka gitu, kan. Ngerasa kita dapet sesuatu topik yang penting yang dibawa pulang dari bioskop– apalagi kalo nontonnya pas gala premier – kita langsung nyerocos di sosial media, sampe terkadang sering lupa diri untuk enggak terlalu spoiler. Makanya, ketergesaan Steven Spielberg mengangkat The Post ke tahap produksi mestinya dapat kita maklumi. Spielberg literally mengerjakan film ini nyaris tanpa perencaan lantaran memang naskah yang ada di tangannya itu memang sangat menarik. Begitu relevan dengan iklim politik negaranya. Hasilnya? The Post adalah sebuah tontonan yang akan mengingatkan kita bahwa dalam negara berdemokrasi yang harus dilindungi adalah rakyat. Bukan pemerintah.
The Post menceritakan peristiwa nyata yang bagi warga Amerika adalah sebuah pengungkapan yang sangat mengejutkan. Sebuah skandal soal pemerintah yang ketahuan menutup-nutupi langkah yang mereka ambil sehubungan dengan Perang Vietnam. Empat Presiden Amerika diketahui berkata bohong; Enggak mendukung perang, tapi malah mengirim tentara tambahan. Enggak akan mencampuri urusan Asia, eh nyatanya mereka duluan menyerang Vietnam. Wartawan dari koran New York Times saat itu berhasil membobol keamanan Pentagon dan mendapatkan catatan tentang kejadian yang sebenarnya. Mereka mencetak berita laporan rahasia tersebut di koran, menyebabkan negara gempar. Presiden Nixon memutuskan untuk menuntut New York Times dan mereka akan menutup semua surat kabar karena penyebaran informasi yang tidak berbukti. Penerbit koran kecil milik ibu Kay Graham (Meryl Streep panteslah dapat nominasi atas perannya ini), Washington Post-lah yang actually punya bukti. Seseorang misterius menaruhnya begitu saja di meja redaksi. Membuat editor Ben Bradlee (suka deh ngeliat Tom Hanks penuh determinasi kayak gini) kontan bersemangat. Inilah bahasan yang mereka cari-cari. Akan tetapi, para reporter sudah dihadapkan dengan dilema. Apakah mereka akan tetap mempublikasikan, dapatkah mereka mencari keabsahan informasi yang mereka dapat, apakah ada cukup waktu untuk mencetaknya. Sekarang, nasib demokrasi negara berada di pundak mereka.
Meskipun kejadian Pentagon Papers itu terjadi tahun pada 70an silam, film ini benar-benar berdering kompak sama kejadian di masa sekarang. Aktris Meryl Streep bahkan sempat nambahin sindiran di akhir film dengan menyebutkan “Semoga aku gak harus melewati semua masalah ini lagi” yang actually diimprovisasi olehnya sendiri. Sebenarnya bukan semata di Amerika sih film ini akan terasa sangat relevan. Enggak cuman administrasi pemerintahan Trump saja yang saat ini demen menghardik media dan mencoba untuk mengendalikan arus informasi.Bukan tidak mungkin, film ini akan terus relevan hingga bertahun-tahun ke depan, yang mana adalah sebuah masa depan yang cukup horor kalo dibayangkan. Di negara kita sendiri juga arus informasi itu seringkali harus diatur, mana yang aman diketahui oleh publik, mana yang harus dirahasiakan. Hanya saja, sekarang keadaan semakin pelik dengan banyaknya hoax-hoax berkeliaran.
Tapi soal keberhasilan film ini untuk terus relevan tentu saja bergantung kepada keberhasilan Steven Spielberg dalam menangani ceritanya. Kuakui, jika ada sutradara yang kupercaya bisa bikin film buru-buru dan hasilnya tetap berkualitas, maka sutradara itu pastilah Spielberg. Dan Ridley Scott, apparently dia sudah membuktikan diri lewat All the Money in the World (2018) yang dirombak banyak menjelang tayang dan hasilnya tetep kinclong. Dalam kasus The Post, kita bisa merasakan sang sutradara juga sangat passionate sama cerita yang ingin disampaikan. Spielberg memilih untuk memfokuskan inti kepada masalah penerbitan koran, gimana susahnya mencari dan menerbitkan cerita tepat waktu. Film menunjukkan banyaknya kerja fisik yang diperlukan untuk mencetak satu edisi koran. Dan menurutku, aspek ini yang membuat film menjadi stand out, paling enggak membedakannya dengan Spotlight (2015) yang juga film tentang tantangan jurnalisme mengungkap berita. Fokus pada cara kerja penerbitan ini juga turut menambah bobot kepada tone realistis yang berusaha dibangun.
Ada banyak adegan yang terasa seperti adegan khas Spielberg, kalian tahu, adegan di mana kamera mendekat perlahan kepada seorang tokoh saat si tokoh memberikan monolog ataupun pidato yang intens tentang kehidupan mereka yang inspirasional. Penampilan para pemain, hingga ke tokoh paling minor pun, semuanya bagaikan diarahkan untuk memenangkan penghargaan.
Enggak hingga paruh akhir kita baru merasakan efek sepenuhnya dari elemen dramatis film. Washington Post baru mendapat paper bukti itu pada midpoint, dan barulah pertanyaan menarik apakah mereka akan mempublish berita tersebut mengetahui resiko penjara yang menunggu, kelangsungan dunia pers, dan bahkan apakah waktu untuk semua itu cukup datang menggebu. Film memang menjadi exciting di bagian ini dan sangat terasa kontras dengan separuh bagian pertama di mana ceritanya tampak meraba-raba. Konflik dibangun di babak awal, bagian emosional yang kita temukan pada titik tersebut adalah soal tokoh Meryl Streep yang dikerdilkan diam-diam oleh para reporter karena dia adalah pemimpin cewek, dan di masa itu cewek dianggap kurang kompeten dibandingkan para pria. Mereka mencoba menggunakan kuasa mereka untuk membuat Graham membagi wewenang karena mereka merasa akan mampu membuat kinerja penerbitan menjadi lebih baik. Aspek cerita ini sebenarnya juga masih relevan dengan keadaan kekinian, ini juga adalah bagian yang lebih personal; Bagi Graham ini semua adalah soal pembuktian diri. Tapinya lagi, aspek cerita ini enggak benar-benar baru dan in fact, kita lebih tertarik untuk mengikuti peristiwa penerbitan cerita sebab drama jurnalis inilah yang membuat kita duduk menonton sedari awal.
Hal terbaik dari film ini adalah bagaimana dirinya sangat menarik dan relevan dibicarakan pada masa sekarang-sekarang ini. Sebuah proyek yang sangat penting bagi si pembuat untuk segera disampaikan. Yang mana cukup disayangkan jika saja dia mau untuk memperlambat pembuatan film ini sedikit lagi. Aku enggak bilang film ini dibuat dengan terlalu terburu-buru hingga tidak mencapai potensi sesungguhnya. Desain produksinya tetap kelas top, penampilan akting yang benar-benar kuat, cirri khas sutradara juga tetap hadir di sana, Namun memang, mestinya film ini bisa digarap dengan sedikit lebih baik lagi. Karakternya bisa dibikin lebih berdaging lagi jika naskah diberikan tambahan waktu untuk matang. Elemen drama yang harusnya bisa diaduk dengan lebih baik, karena film ini terasa kayak dua bagian di mana bagian yang terakhir tampak lebih menarik dan fokus ketimbang bagian awal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE POST.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017