Di langit ada ikan Sisiknya terang Siang renang renang berputar haluan Malam dilemparkannya bintang! Pecah berkeping kena bibirku
Pernahkah kalian melihat air mata duyung? Tangis sesungguhnya tiada suara Dan pernahkah kalian mendengar duyung bernyanyi? Ia ajari aku bertahan Hingga perahu selesai menyeberang
Di langit ada ikan Sisiknya basah Terang masih, biarlah pikiranku saja bersamanya Keluyuran.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
Dulu, di kamusku tak masalah jika 4 kata tersebut berada dalam 1 kalimat.
Ketika orang merutuki 3 kata pertama, aku tetap baik baik saja, karena aku tahu akan selalu ada kata yang terakhir itu.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
3 kata pertama adalah perusak bahagia yang utama.
Tapi, aku selalu memiliki kata yang paling akhir.
Yang malah menjadi sumber bahagia termutakhir.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
Kini aku turut memaki keempat kata itu.
Sayangku, aku menulis ini di bawah kendali rindu yang teramat,
dalam paksaan malam yang pekat dan bayanganmu yang kulihat lamat lamat.
Kucoba untuk merangkai sesak, dalam untaian abjad yang nantinya bisa kau baca.
Agar kau mengerti rasa dan rinduku yang tanpa batasan.
Masih jelas terasa sisa kecupmu berbulan bulan silam dan
hangat dekap yang kau berikan.
Saat kau merentang tangan untukku yang butuh ketenangan.
Karena dalam rengkuhmu kutahu, aku sudah pulang.
Karena kamu adalah rumah.
Tempat kembaliku saat lelah,
tak peduli seberapa jauh aku sudah melangkah.
Kembali padamu, bukan sebatas singgah.
Rumahku yang menenangkan,
kutulis ini untukmu, agar kau memahami hangatmu adalah hal yang selalu ingin kurasa.
Kamulah sesatunya rumah yang kuharap.
Tujuan akhir dari setiap perjalanan.
Tempatku melabuhkan segala resah.
Meski kini kita hanya mampu mendekap jarak.
Kuharap akan selalu aku yang menjadi hangat dan udara yang kau hirup dalam dalam.
Karena kamu, pemilik dari segala rindu dan kasih sayangku yang satu.
Lagi lagi ini masih tentang kamu, tuan merah jambuku.
Wujud nyata dari beribu doa yang ku pinta sejak dulu.
Bentuk bahagia yang satu.
Hari ini aku bersama sepi.
Karena memori memaksaku untuk berdiam diri mengingat segala memoar tentang kamu.
Ketika tawa dan haru kita berintegrasi jadi satu saat cinta datang bertamu dan tatapan malu malu sering kali menciptakan sepi panjang yang canggung.
Lagi lagi aku bicara tentang kamu.
Karena ternyata panah cinta terlalu tertanam dalam saat itu.
Dan mencabutnya pun terlalu penuh haru.
Sakit. Karena darah kasat mata mengalir tanpa mengerti arti habis.
Hari ini,
Setelah kata melupakanmu sudah bisa terealisasi.
Memori itu datang lagi.
Memori membuatku mengecap rasa rindu.
Rindu yang sering membuat lidahku kelu.
Ah, ternyata hari ini rinduku masih saja berkonstelasi berwujud kamu.