SPIDER-MAN: FAR FROM HOME Review

“Treated like children but expected to act like adults”

 

 

Blip – peristiwa di mana separuh penghuni Bumi lenyap oleh jentikan Thanos – mengakibatkan cukup kekacauan untuk membuat hidup sosial menjadi awkward. Yang selamat kini menjadi lima tahun lebih tua, karena waktu berjalan normal bagi mereka. Sementara orang-orang yang menjadi korban – kemudian dikembalikan oleh Hulk ke dunia dalam Avengers: Endgame (2019) – tetap di usia yang sama saat mereka menghilang meskipun seharusnya umur mereka sudah nambah lima tahun. Mereka ini yang harus menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitar yang tadinya lebih muda menjadi sebaya – atau bahkan lebih tua daripada mereka. Meskipun Spider-Man: Far from Home menggambarkannya dengan ringan dan membuat kita tertawa karena sepertinya hal tersebut tampak sangat komikal, tapi sesungguhnya dampak Blip tersebut enggak jauh-jauh amat dari yang kita duga. Blip memaksa remaja untuk menjadi lebih tua dari mereka seharusnya.

Karena remaja di dunia nyata pun menghadapi hal yang sama seperti Peter Parker, MJ, dan teman-teman setiap harinya; kecanggungan berinteraksi sosial di mana orang-orang mengharapkan mereka untuk bertindak seperti orang dewasa sekaligus masih meremehkan karena mereka dianggap masih kecil.

 

Sulitnya mengarungi hidup di masa remaja, di mana kita ingin dianggap dewasa tapi gak mau dihadapkan sama tanggungjawab orang dewasa, menjadi tema besar dalam sekuel dari Spider-Man: Homecoming (2017) garapan Jon Watts ini. Disimbolkan oleh kegalauan Peter Parker memilih prioritas hidupnya. Meskipun sudah diingatkan oleh Nick Fury bahwa dirinya sudah pernah bertempur di luar angkasa, Peter Parker masih merasa belum siap untuk menjadi pahlawan-super pembela kebenaran seperti Avengers. Seperti Tony Stark, mentor sekaligus figur ayah baginya. Mungkin sepatu besi itu memang terlalu besar untuk diisi. Atau mungkin Parker menyadari tanggungjawab pahlawan super begitu besar, dan bahkan bisa beresiko besar terhadap dirinya dan orang-orang sekitar. Yang jelas, saat study-tour bersama teman-teman sekelasnya, Parker cuma ingin satu hal. Bisa berliburan bersama M.J. Tapi trip mereka ke kota-kota di Benua Eropa somehow bertepatan dengan koordinat kemunculan monster-monster elemental. Membuat Parker harus memilih. Meneruskan hidupnya bersama teman-teman sebagai remaja yang mulai mekar rasa cinta. Atau mengemban tugas berat bersama Nick Fury dan Mysterio; seorang superhero dari dimensi lain untuk mengalahkan para monster dengan mempertaruhkan segala hal, termasuk masa remajanya tersebut.

What would Tony Stark do?

 

Seperti Homecoming, Far from Home juga bekerja terbaik sebagai film remaja. Ini udah kayak film remaja dengan topeng superhero. Kuatnya keinginan Parker terhadap M.J. sampai-sampai membuat kita bisa lupa loh kalo ini film superhero. Dan mereka berdua ini memang cute banget relationshipnya hhihi. Sutradara Jon Watts berhasil membangun elemen cinta-remaja ini sebagai fondasi yang menggerakkan sekaligus sebagai salah satu pilar cerita. Karena elemen tersebut merupakan faktor penting untuk menunjukkan kedewasaan Parker. Dan film sangat bijaksana dalam menangani proses pendewasaan ini. Parker tidak lantas dibuat sebagai si serius hanya karena dia sudah mengalami apa yang ia alami sebagai salah satu dari Avengers. Parker juga tidak digambarkan depresi atau terhanyut oleh dukanya terhadap Tony Stark. Parker dipersembahkan kepada kita sebagai cerminan remaja diri kita saat menghadapi masalah. Kita pengen bareng teman-teman. Kita pengen ‘liburan’ dari semua itu. Kita pengen menyerahkan beban itu kepada orang yang lebih dewasa. Menjadikan kita lebih takut akan kehilangan semua itu, lebih dari takut terhadap monster. Remaja punya ‘masalah penting’ sendiri, dan butuh proses untuk menyortir itu semua. Itulah yang disebut dengan pendewasaan. Dan apa yang terjadi pada Peter Parker dalam film ini menggambarkan itu semua dalam tingkatan yang lebih super, karena elemen superhero yang dimiliki oleh cerita.

Salah satu yang banyak dipertanyakan penonton pada Homecoming adalah soal Spidey yang gak punya ‘spider-sense’. Di film ini ternyata terbukti bahwa ‘spider-sense’ merupakan bagian dari proses pendewasaan si Spider-Man sendiri. Ada development yang dapat kita lihat mengenai kemampuan unik Spidey tersebut dalam film ini yang berhubungan dengan pembelajaran inner journey yang disadari oleh Peter Parker.

Makanya Tom Holland tampak sangat cocok dan nyaman bermain sebagai Peter Parker. Holland juga sedang dalam pendewasaan menjadi tokoh ini, film membuat mereka – Parker dan Holland – seperti tumbuh bersama. Sehingga kita mendapat satu karakter yang tampak benar-benar hidup. Aku sendiri gak akan punya masalah melihat Tom Holland terus memainkan Spider-Man, I mean, cukuplah gonta-ganti reboot-reboot lagi superhero yang satu ini. Lantaran mereka sepertinya sudah menemukan yang sangat pas. Chemistry awkward Holland dengan tokoh-tokoh lain juga sangat mengena. Khususnya kepada Zendaya yang menjadi MJ Aku suka banget couple ini.  Zendaya juga benar-benar cool memainkan versi karakter Mary Jane (meskipun namanya di sini adalah Michelle Jones) paling cool yang pernah aku lihat dalam film-film Spider-Man.

Di antara mencoba menarik perhatian MJ, dengan bersosialisasi bersama teman-teman, Parker juga harus beraksi memenuhi panggilan Nick Fury. Membuat film ini pun harus beranjak menggarap adegan aksi yang dipenuhi oleh efek-efek CGI yang menawan. Aksi Far from Home digarap dengan lebih intens dibandingkan film pendahulunya, kita merasakan stake, sebab Spidey di sini benar-benar digenjot untuk terus bergerak dan mengambil keputusan. Pun aksi di sini terasa lebih spesial lantaran berhubungan dengan kekuatan Mysterio. Buat penggemar komik ataupun game Spider-Man pasti sudah tahu siapa dan apa yang bisa dilakukan oleh Mysterio. Buat yang belum tahu, aku gak akan bilang banyak selain kekuatannya berhubungan dengan ilusi. Film melakukan ilusi-ilusi tersebut dengan sekuen aksi yang luar biasa. Untuk originnya sendiri, film mengambil cerita yang berbeda dengan versi komik sehingga Mysterio dalam film ini masih punya kejutan untuk para penggemarnya. Meskipun memang untuk penonton yang mengerti bagaimana film terstruktur, cerita sudah bisa tertebak. Agak sedikit obvious; mengingat Spider-Man yang ragu – malahan hampir seperti tak ingin – menjadi superhero, maka antagonis haruslah seseorang yang actually pengen dipanggil sebagai superhero. Penampilan Jake Gyllenhaal, however, membuat Mysterio karakter yang layak untuk diperhatikan, regardless. Dia membuat kita percaya, sebagaimana Mysterio membuat banyak tokoh di film ini percaya. Padahal sebenarnya banyak yang masih harus dimasukakalkan jika kita memperhatikan motivasi ataupun ke-plausible-an tindakan dan ‘cerita’ tokoh ini.

Tom Holland ada di Holland

 

Jika kita melakukan reach untuk melihat di balik keseruan menonton drama remaja superhero ini, maka sesungguhnya kita akan melihat banyak hal-hal yang patut dipertanyakan. Film menjawab itu semua dengan membuatnya sebagai komedi. Dan komedi dalam film ini memang berjalan efektif. Membuat kita tertawa. Membuat kita melupakan yang sebelumnya kita pertanyakan. Film menggunakan humor bukan hanya sebagai hiburan, melainkan juga sebagai alasan. Peristiwa Blip tadi, misalnya. Sehabis Endgame, internet meledak oleh teori-teori penonton tentang bagaimana film tersebut gagal memperlihatkan dampak pemulihan Blip terhadap kemanusiaan. Apakah Avengers masih bisa disebut sebagai pahlawan. Far from Home memberikan jawaban atas teori-teori penonton tersebut, tapi mereka tidak benar-benar menjawab melainkan ikut bermain-main dengannya. Efektif memang, kita merasa sudah terjawab dan puas oleh tertawa.

Akan ada banyak momen seperti demikian; ketika film mulai gak masuk akal dan mengalihkan perhatian kita dengan menyambungnya – dalam tingkatan tertentu mengubahnya – menjadi adegan kocak. Contoh yang paling ‘menggangguku’ adalah adegan yang melibatkan Spider-Man dengan kereta api. Film membawa kita melewati fase ini dengan cepat begitu saja saat kita diberikan aftermath yang berupa adegan komedi. Rombongan sekolah Parker juga sebenarnya hanya berfungsi sebagai transisi komedi. Mereka ada di sana, tidak pernah benar-benar berada dalam bahaya, hanya untuk melontarkan celetukan-celetukan lucu sembari menunggu untuk diselamatkan. Dan mengingat ada empat kali bencana yang mirip terjadi, maka porsi menyelamatkan mereka terasa lumayan repetitif. Malahan sedikit memaksa. Karena film harus terus memperlihatkan dua ‘habitat’ Parker ini; teman sekolah dan rekan menyelamatkan dunia.

 

 

 

Sebagai yang langsung menyambung runut kejadian Avengers: Endgame, juga sebagai film yang membungkus phase ketiga dari Marvel Cinematic Universe, film ini punya tanggung jawab besar untuk menjelaskan banyak hal. Dia memilih melaksanakan tugasnya dengan nada komedi. Komedi menjadi lebih penting lagi saat cerita remaja yang diusung harus memiliki kepentingan sebagai episode superhero. Jadi film berusaha menyeimbangkan tone cerita yang ia miliki. Untuk sebagian besar waktu, dia berhasil. Kita mendapat tontonan yang menyenangkan di atas petualangan cinta yang membuat kita gregetan. Kita terinvest ke dalam semua aspek ceritanya, tidak hanya ingin melihat Spidey beraksi. Semuanya terasa punya kepentingan sehingga menontonnya tidak bosan. Ceritanya sendiri pun terasa segar karena untuk pertama kalinya kita dapat cerita solo Spider-Man yang berlangsung di banyak tempat selain New York. Semua hal tersebut actually adalah ilusi yang dilakukan oleh film. Dan di momen-momen ketika kita ‘berkedip’, adakalanya kita melihat sesuatu yang tampak jelas disembunyikan oleh komedi dalam film ini, dan kita sadar cukup banyak yang agak maksa dalam film ini. Tapi di samping semua itu, film ini menyenangkan. Aku suka gimana mereka membuat tokoh-tokohnya berbeda dari yang kita kenal. Dan benar-benar excited setelah menyaksikan mid-credit scene film ini!
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for SPIDER-MAN: FAR FROM HOME

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kalimat judul ‘Far from Home’ bisa diartikan sebagai gambaran posisi Peter Parker yang sudah jauh dari remaja normal. Bahwa dia punya tanggungjawab, dan dia harus melaksanakannya. There’s no turning back. Sehubungan dengan itu, bagaimana sih pendapat kalian tentang remaja yang dituntut harus mengemban tanggung jawab orang dewasa? Haruskah?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

DARK PHOENIX Review

“The kids who need the most love will ask for it in the most unloving of ways.”

 

 

Dengan segala kesemrawutan X-Men Cinematic Universe, paling tidak ada dua hal yang kita ketahui tetap kontinu. Pertama; Jean Grey tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Dan kedua; masalah tersebut dapat membuat cewek ini menjadi jahat.

Hidup selama lebih dari sembilan-belas tahun, sebelas film X-Men dibuat secara estafet dari pembuat satu ke pembuat lain. Sayangnya, film-film ini tampaknya hanya dibangun oleh harapan masing-masing pembuat tersebut untuk menghapus ‘jejak’ yang terdahulu. Karena, apparently, membuang sesuatu toh memang lebih gampang daripada mengikatnya ke sesuatu yang baru. Makanya, cerita X-Men kemudian begitu bernapsu untuk membahas ‘kembali ke masa lalu’; mereka ingin me-reboot secara halus. Hasilnya tentu saja kita yang bingung dengan segala ketidakkonsistenan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak-terjawab oleh logika. Dark Phoenix actually mengeksplorasi ulang cerita Jean Grey yang sudah pernah diceritakan pada X-Men: The Last Stand (2006). Jean Grey punya kekuatan begitu besar, namun dia sendiri begitu insecure dengan kemampuan dan statusnya sebagai mutant, sehingga kombinasi dua hal tersebut menjadi luar biasa berbahaya. Mengancam keutuhan dunia beneran. Serta keutuhan dunia impian Profesor X, di mana manusia dan mutant hidup saling bekerja sama. Visi sutradara Simon Kinberg dalam debut film panjangnya ini adalah menjadikan Dark Phoenix sebagai penutup franchise yang benar-benar intriguing dan kelam.

Sayangnya, perwujudan dari visi tersebut sungguh datar dan tidak benar-benar menarik karena Dark Phoenix ternyata enggak jauh lebih dalem dari Last Stand dalam mengeksplorasi cerita ini. Narasi yang diucapkan oleh Jean Grey tentang evolusi yang membungkus cerita ini terdengar out-of-place dan gak benar-benar nyambung sama tema dan apa yang menjadi journey dari Grey. Seharusnya film ini mengangkat pertanyaan lebih kompleks dari keadaan Jean Grey. Apakah dia bisa tetap bersama dengan orang-orang yang ia cintai dengan kekuatan yang ia miliki jika ia memilih untuk menerima kekuatan tersebut. Film seharusnya menekankan kepada keadaan jiwa Grey sendiri yang bertanya kepada dirinya apakah dia masih bisa menganggap rekan-rekan sebagai keluarga setelah semua kenyataan yang ia ketahui. Opening film ini tampak seperti sudah akan mengambil jalan yang benar. Film membahas soal baik dan jahat sebenarnya cuma masalah pilihan, bukan masalah kemampuan yang kau punya. Kita bisa saja hanya punya pulpen, dan tetap melakukan hal keji seperti membunuh orang dengan pulpen tersebut jika kita memilih begitu. Yang film ini tawarkan kepada kita adalah tokoh utama yang harus memilih untuk berbuat baik atau berbuat jahat dengan ‘hadiah’ yang ia terima – ini ultimate choice banget, pilihan yang harus dibuat oleh Jean Grey personal dan dalem sekali. Tapi film memilih untuk lebih mengedepankan serangan alien. Tidak benar-benar banyak melakukan sesuatu yang baru dan berbobot dari kondisi psikologi Grey. Kita hanya melihat dia menangis meringkuk berhujan-hujan, kemudian curhat ke berbagai orang, dan meledak marah, menyebabkan kemalangan secara tak-sengaja, dan membuat marah lebih banyak orang – same old basic stuff.

Menonton ini aku memutuskan untuk tidak memikirkan kontinuitas, karena sesungguhnya justru kontinuitas itu yang paling mengancam dunia film ini – ketimbang alien, ataupun kekuatan Jean Grey. Aku bermaksud menikmati film ini sebagai cerita solo. Dan bahkan melihatnya seperti demikian pun, film ini lemah karena dangkalnya pengeksplorasian tersebut.

franchise X-Men tidak peduli soal kesinambungan, and so should you.

 

Momen-momen bersinar datang dari sekuen-sekuen aksi. Favoritku adalah bagian di awal ketika para anggota X-Men menggunakan masing-masing kemampuan mereka untuk bekerja sama menolong pesawat ulang-alik di luar angkasa. Mungkin film menyadari bahwa appeal X-Men terletak pada kemampuan khusus yang berbeda-beda pada setiap mutant. Sehingga film tidak benar-benar menjadikan sisi drama psikologis sebagai fokus utama. Mereka ingin mengakhiri semua ini dengan ledakan dan pertempuran di sana sini. Adegan pertarungan terakhir di kereta api yang seru itu kelihatan banget ditambah/direshoot – Grey dan tokohnya Chastain melakukan interaksi yang merupakan pengulangan dari adegan sebelumnya – karena film merasa masih kurang seru.

Dilihat dari jajaran penampil akting, film ini solid. Aku gak bisa bilang metode yang dilakukan James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence, dan banyak nama beken lain pendukung film ini, untuk menghidupkan peran mereka jelek. Hanya saja naskah tidak banyak memberikan ruang gerak. Dialog mereka terlalu gamblang. Jessica Chastain memberikan kemampuan terprofesionalnya menghidupkan karakter alien kayu yang ingin memanfaatkan kekuatan Jean Grey, tapi tokoh ini begitu standar sehingga kita tidak punya niat untuk peduli lebih jauh terhadap dirinya.

Sophie Turner sebagai Jean Grey juga sebenarnya enggak jelek. Dia menunjukkan kemampuan berpindah rentang emosi yang cukup jauh dengan begitu singkat. Film menuntutnya sering melakukan hal tersebut, dan Turner beneran terlihat menyeramkan dengan CGI yang membuat uratnya tampak seperti kabel-kabel merah yang siap meledak. Akan tetapi naskahlah membuatnya tampak lebih seperti robot korslet ketimbang manusia yang sedang berkecamuk ya pikiran, ya kekuatannya. Jean Grey yang menyeberang ke sisi jahat harusnya adalah soal emosi yang powerful, yang relatable, kegalauan paripurna tentang keberadaaan dan fungsi diri sendiri. Dark Phoenix berkelit dari membahas itu. Instead, kejadian yang kita lihat bentuknya selalu Jean Grey memilih tindakan dan orang yang berinteraksi dengannya mengambil reaksi terhadap aksinya. Film kemudian fokus pada reaksi orang tersebut. Kejadian dalam film ini kumpulan dari aksi-reaksi tersebut. Kita hanya melihat sedikit pembahasan dari Jean Grey dan fokus ke dampaknya terhadap tokoh lain. Kita tidak melihat Grey memikirkan kembali apa yang baru saja ia lakukan. Tokoh lainlah yang harus mengusahakan penyelesaian, yang memberikan jawaban kepada Grey.

dark twist dari kata-kata motivasi “kau dapat melakukan apapun yang kau pikirkan”

 

Mungkin Jean Grey tepatnya bukan seperti robot ataupun bom waktu. Melainkan lebih seperti anak kecil. Bocah insecure yang memancing perhatian dengan berbuat nakal. Dalam adegan pembuka di mobil bersama kedua orangtuanya, kita melihat ibu dan ayah Grey agak ‘pelit’ menunjukkan kasih sayang kepadanya. Setelah dewasa pun, kenyataan menghantam dan kita tahu apa yang menimpa Grey jelas bukan termasuk ke dalam kategori ‘cinta kasih orangtua’. Jean Grey tampak seperti seorang anak yang kebanyakan dilarang dan diberikan aturan. Jadi dia berteriak, merengek. Ngamuk. Dia pengen dimengerti tapi gak tau bagaimana mempersembahkan dirinya. Tergantung kepada orang tua atau orang dewasalah memikirkan cara yang terbaik untuk mengajak anak seperti ini berbicara; untuk membujuknya. Makanya film ini segimanapun serunya adegan berantem (cuma film ini yang bisa membuat menyeberang jalan sebagai panggung tawuran mutant), penyelesaian masalahnya selalu adalah mengajak Jean bicara baek-baek. Makanya arc yang paling digali secara emosional justru adalah milik Profesor X.

Karena di balik semua itu, film ini bisa kita anggap sebagai tutorial mendiamkan anak kecil yang mengamuk. Ketika kita menginginkan semua aman untuk anak kita – dalam kasus Prof. X; dia mau dunia jadi lebih baik untuk mutant generasi muda – kadang kita melupakan si anak itu sendiri. Ada banyak cara untuk gagal sebagai orangtua, dan orang-orang di sekitar Jean Grey melambangkan beberapa. Pelajaran pertamanya; jangan berbohong kepada mereka

 

Kita lebih konek secara emosi kepada Prof. X, Mystique, dan bahkan Magneto dibandingkan kepada Jean Grey. Kita mencoba untuk menolerir keputusan dan langkah-langkah yang mereka ambil. Sedangkan bagi si tokoh utama sendiri, kita tidak merasakan apa-apa – selain mungkin sedikit geram. Kita tidak mendukung aksinya. Kita tidak merasa kasihan kepadanya. Kita tidak peduli di akhir cerita itu dia berevolusi menjadi apa. Seperti halnya dengan rengekan anak kecil, kita hanya ingin masalah Grey cepat terselesaikan dengan mengharap para tokoh lain segera ‘menekan tombol yang benar’. Demikian hampanya pengembangan tokoh utama kita.

 

 

 

Tidak seemosional yang seharusnya bisa mereka capai. Tidak se-dark yang judulnya cantumkan. Tidak sebegitu banyak berbeda dengan cerita yang pernah mereka sampaikan sebelumnya. Film terakhir dari franchise yang sudah berjalan nyaris dua-puluh tahun ini membuat kita terbakar oleh api kekecewaan. Karena biasa aja, gak kerasa kayak final. Penghiburan berupa jajaran cast dan adegan-adegan aksi boleh jadi membuat kita menyukai film ini, namun secara penceritaan terasa hampa. Pesan dan narasinya terasa dipaksakan. Sungguh pilihan yang aneh yang diambil oleh Kinberg untuk menutup franchise ini. Atau mungkin semua ini adalah siasat, “Kill it with fire!”, supaya para penonton menjadi apatis dan secepatnya melupakan universe ini pernah ada sehingga reboot X-Men yang baru, dari Disney, bisa lantas dibuat.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DARK PHOENIX.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian setuju dengan ‘parenting’ ala Profesor X? Menurut kalian apa maksud X dari X-Men? Menurut kalian apakah X-Men perlu untuk dibuat ulang? Bagaimana kalian akan menyelamatkan X-Men kali ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

AVENGERS: ENDGAME Review

“Failure is only the opportunity to begin again.”

 

 

Separuh makhluk hidup di alam semesta, tanpa pandang-bulu, dijentik lenyap menjadi debu. Oleh monster raksasa berwarna ungu. Ya, setahun sudah kita berkabung kehilangan Spider-Man, Black Panther, Doctor Strange, Star-Lord, dan banyak lagi pahlawan super dalam kejadian itu. Namun bagi rekan-rekan superhero yang ditinggalkan, as the opening of this final Avengers movie goes, tragedi tersebut masih tiga-minggu yang lalu. Duka masih membakar hati. Kalah itu masih membekas merah di tubuh mereka. Aduh, kasihan sekali. Rasa-rasanya belum pernah kita melihat superhero seperti Captain America, dewa petir seperti Thor, manusia-manusia kuat seperti Black Widow, Hulk, Hawkeye, menjadi kehilangan harapan seperti demikian. Tony Stark adalah yang paling parah didera ‘luka-luka’. Dia merasa gagal lebih dari siapapun yang di sana. Bukan sekadar perasaan bersalah seorang yang selamat, yang Iron-Man rasakan, melainkan gabungan dari rasa gagal, ketidakberdayaan, dan keputusasan.

Avengers: Endgame dibuka dengan sangat berbeda dari film-film superhero yang biasa. Satu elemen yang absen di bagian pembukanya – yang sepertinya juga ikut lenyap dijentik oleh Thanos – adalah elemen action. Alih-alih, babak pertama film ini berjalan dengan lambat karena pembuatnya ingin kita ikut merasakan keputusasan, kefrustasian yang melanda para tokoh yang tersisa. Resiko yang luar biasa besar menempatkan penonton di posisi seperti begini, karena lumrahnya saat membeli tiket untuk film superhero, kita akan mengharapkan sesuatu yang menghibur. Jadi film ini berani memulai dengan suram. Film meluangkan waktunya supaya kita bisa melihat dan bersimpati kepada para manusia, meskipun mereka sebenarnya adalah manusia superpower. Film ingin menekankan hal tersebut. Bahwa Captain America, Thor, Iron-Man adalah manusia yang bisa mati, yang bisa kehilangan harapan di depan kematian. Babak awal film ini hampir terasa seperti film drama normal, yang justru membuat film superhero buku-komik ini menjadi menyegarkan. Urgensi dari tokoh-tokoh ini begitu terasa. Sangat exciting melihat mereka mengusahakan apapun hanya untuk terus meyakinkan diri bahwa harapan itu masih ada.

Tidak ada satu kekuatan superpun yang bisa mempermudah kita dalam berhadapan dengan kematian dan kehilangan. Kita tidak bisa terbang darinya, kita tidak bisa sembuh-cepat darinya. Tentunya kita tidak bisa meledakkannya begitu saja. Kita tidak bisa mencegahnya. Titik. Kesempatan kedua yang – bukan didapatkan, melainkan diusahakan oleh para Iron-Man dan teman-teman, sesungguhnya merupakan simbol bahwa kegagalan tersebut hanya bisa terbalaskan dengan diterima untuk kemudian diisi dengan pembelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

 

“He was turned to steel, in the great magnetic field. Where he traveled time, for the future of mankind.”

 

Tentunya kita sudah menanti-nanti film penutup ini dengan banyak antisipasi, dan juga ekspektasi. Setelah Infinity War (2018) yang sangat depressing; mungkin itulah film superhero pertama yang membuat tokoh penjahat sebagai pemenang – dan basically tokoh utama, kita sudah hampir yakin film terakhir ini akan membendung ke arah kemenangan yang gemilang buat para superhero. Tapi tetap saja, ‘kemenangan yang gemilang’ itupun bisa berarti banyak, dapat diterjemahkan ke dalam spektrum arahan yang berbeda. Sutradara Russo Bersaudara paham betul untuk menyeimbangkan antara fans-service, lelucon-lelucon khas Marvel, penampakan seseorang yang bisa jadi dimaksudkan sebagai Stan Lee muda, dan resiko-kreatif yang pada akhirnya mengisi durasi panjang film ini. Masih ada banyak hal yang luput dari ekspektasi kita. Walaupun kalian mungkin adalah tipe penonton yang ngikutin dengan ngotot semua materi promosi mereka, atau mungkin juga seorang hardcore comic book fans, sensasi “wow they did that…!” masih akan bisa kalian rasakan. Dan buatku, hal tersebutlah yang membuatku enjoy menonton Endgame. Cara film ini memperlihatkan perubahan karakter, membuat mereka ‘berbeda’ dari yang selama ini mereka kenal, buatku adalah resiko yang terbayar dengan memuaskan. Tony Stark memang jadi arc utama, tapi film juga mengikat perjalanan semua karakter yang pernah nongol di film-film MCU, terutama yang namanya jadi judul film. Aku paling suka yang dilakukan film ini kepada Thor. Karena di Infinity War, journey Thor yang justru buatku paling mengecewakan – film tersebut lebih terasa seperti mereset alih-laih melanjutkan yang terjadi kepada Thor di Ragnarok. Di Endgame, journey Thor terasa langsung melengkapi perkembangan tokoh ini dari film Thor: Ragnarok (2017), karena punya gagasan yang senada; memanusiawikan dewa.

Pertarungan terakhir benar-benar sebuah ajang sulap CGI dan koreografi yang spektakuler. Kita akan dibuat melek di babak ketiga oleh rentetan pertarungan yang punya purpose untuk memperlihatkan apa yang ingin kita lihat. Mau lihat para superhero bangkit? Kita akan dapat kemunculan yang sangat dramatis hingga bikin merinding. Mau lihat dobel tim atau serangan combo baru dari pasangan superhero? Kita akan dapatkan Captain America melempar bukan hanya perisainya melainkan juga palu Mjolnir Thor! Masih belum puas dan pengen melihat Captain Marvel blow a spaceship? Wait for it… and you got it big time! Aku selalu berpikir bahwa Scarlet Witch underrated banget dan film ini seperti mengonfirmasi bahwa tokoh ini sebenarnya punya kekuatan yang lebih dari yang kita kira. Dan ngomong-ngomong soal superhero cewek, akan ada bagian ketika film ini menunjukkan tokoh-tokoh superhero cewek bekerja sama menunjukkan kekuatan mereka, bahwa mereka gak kalah sama cowok, superhero maupun penjahat. Menonton menit-menit terakhir film ini akan membuat kita tersenyum puas sambil berlinang air mata karena semuanya terasa begitu membuncah. Storyline, arc karakter, film ini meminta kita untuk mengingat kembali (atau gampangnya menonton ulang semua film lama) supaya kita bisa mengerti gimana cerita para tokoh melingker sempurna.

Thor di film ini kayak nyindir Aquaman banget, apalagi kata-kata si Thor pas di akhir kepada Valkyrie

 

Jadi pembagian cerita film ini cukup sederhana. Pengenalan yang really somber, bagian pertarungan gede di akhir, dan di tengah-tengah… well, pilihan babak kedua film inilah yang menjadi sedikit masalah buatku. Hype Endgame sejatinya juga udah sukses membuat penonton mencetuskan banyak teori soal langkah counter dari pihak superhero. Apa yang bakal mereka lakukan untuk mengalahkan Thanos. Bisakah yang menjadi debu tadi muncul kembali ke dunia. Apakah mereka mati. Ataukah terjebak di dunia lain. Teori-teori tersebut banyak beredar. Time-travel adalah salah satunya. And really it’s not a long reach jika melihat rekam jejak Russo Brothers dan Avengers sendiri yang gemar memasukkan elemen-elemen dari serial ngehits buatan Russo Brothers, Community (2009-2015). Di Endgame ini saja kita bisa menemukan dua tokoh (atau paling enggak dua aktor yang meranin tokoh) Community sebagai in-jokes; Ken Jeong yang jadi satpam dan Shirley yang jadi petugas saat Stark dan Rogers di dalam lift. Time-travel dan teori multiverse adalah salah satu episode unggulan dalam serial tersebut, jadi gak heran kalo akhirnya Russo Brothers juga menerapkan elemen serupa ke dalam Endgame.

Masalah yang kumaksud bukan exactly ke elemen time-travel itu sendiri, atau istilah official film ini adalah ‘time-heist’. Time-travel membuat narasi jadi needlesly membingungkan, ya. Tapi juga, time-travel membuka banyak kesempatan untuk mengkorporasikan banyak hal, termasuk memungkinkan encounter antartokoh yang sebelumnya tampak mustahil, serta nostalgia yang dimainkan berupa sudut pandang lain dari adegan yang sudah kita lihat. It’s fun. Tapi tidak benar-benar membuat cerita film ini jadi ada naik-turunnya. Malah tampak seperti memudahkan. Hanya terasa seperti alat untuk meletakkan momen demi momen unik. Jika kita tarik ulang dari babak pertama, yang inciting incidentnya datang dari Batu-Batu sudah dihancurkan, kemudian cerita maju ke lima tahun kemudian di mana satu tokoh muncul dengan gagasan soal time-travel, lalu Avengers berusaha dikumpulkan kembali sambil melakukan eksperimen time-travel, maka set-up film ini terasa ada dua kali. Sebelum dan sesudah inciting incident. Sebagian karakter sudah menemukan zona nyaman kedua mereka – sudah ada yang punya keluarga, maka tentu saja akan ada konflik ketika disuruh untuk mengulang kembali hidup mereka. Untuk film dengan durasi tiga-jam, bercerita dengan struktur seperti demikian tentu dapat ‘melukai’ pacing secara keseluruhan. I mean, meskipun gak kerasa panjang karena kita semua sudah demikian terinvestnya sama kisah mereka yang sudah dibuild up selama sebelas tahun, tapi tetap saja terasa eksesif jika dari tiga-jam itu dua pertiganya berjalan dengan slow; dengan banyak penjelasan, dan minim aksi. Ada beberapa bagian yang mestinya bisa ditrim sedikit. Mungkin bukan durasinya, tetapi lebih ke pemanfaatannya. Antara pengenalan, time-travel, dan pertarungan final – practically babak satu, dua, dan tiga – masih terasa terlalu banyak momen-momen yang gak kohesif.

 

 

 

Untuk sebuah finale, film ini secara cerita terasa kurang kohesif tapi berhasil tampil memuaskan secara emosional. Dia sanggup mengikat begitu banyak arc tokoh, mengambil resiko-kreatif dalam melakukannya. Dia dimulai dengan arahan yang sangat berbeda dari superhero kebanyakan. Masalah yang timbul dari pilihan ini adalah pace cerita yang dapat menjadi lamban, dan film menempuhnya secara head-on. Memilih satu yang paling obvious dari banyak kemungkinan, dan tetap saja hasilnya bikin fans dan penonton kasual sama-sama seneng. Porsi aksinya mungkin tidak banyak-banyak amat, malah mungkin lebih terasa seperti sekelebat penggalan momen-momen, ketimbang sekuen gede yang bercerita runut lewat aksi, tapi tetaplah sebuah sajian untuk mata. Kemenangan terbesar film ini, singkatnya adalah, berhasil untuk membuat sesuatu yang sudah ‘inevitable‘ menjadi tetap terasa baru dan penuh kejutan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for AVENGERS: ENDGAME.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian rela meninggalkan apa yang sudah didapat hari ini demi memperbaiki kesalahan di hari kemaren?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

CAPTAIN MARVEL Review

“Emotions are what make us human.”

 

 

Berbeda dengan cerita-cerita origin superhero yang biasa, Captain Marvel tidak bercerita tentang gimana Vers mendapatkan kekuatan supernya. Kita melihat Vers sudah jago berkelahi, dia bisa mengeluarkan gelombang photon dari tangannya, namun dia diminta untuk mengendalikan kekuatan tersebut. Alih-alih kekuatan, perjalanan Vers berfokus kepada perjalanan menemukan siapa dirinya yang literally berdarah biru tapi bukan bangsawan, dan untuk melakukan hal tersebut, jagoan cewek ini tampaknya harus menggeliat melawan sistem yang memintanya untuk menahan diri.

Vers adalah bagian dari pasukan bangsa Kree, yang sedang dalam peperangan melawan bangsa Skrull, bangsa ‘kadal’ penipu yang bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka lihat. Atau begitulah yang diajarkan oleh komandan kepada Vers. Vers diminta untuk tidak membawa perasaan ke dalam peperangan mereka. Karena emosi membuat seorang pejuang lemah. Vers, sebagai seorang wanita, tentu saja punya dorongan emosional yang kuat. But also, Vers juga bukan manusia yang lemah-pikir. Dia punya rasa penasaran dan ‘attitude’. Apalagi ketika dia menemukan kepingan-kepingan adegan di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan tersebut mengusik Vers yang enggak ingat siapa dirinya sebenarnya. Mengganggu pikirannya dengan luapan emosi yang tak terjelaskan. Vers mengejar sumber kenangan tersebut, yang bisa jadi merupakan petunjuk tentang siapa jati dirinya, siapa musuhnya sebenarnya, dan seberapa kuat dirinya sesungguhnya. Bagian-bagian awal di mana Vers berlatih bertarung dengan sang komandan, dan Vers secara sengaja ‘menyelipkan’ emosinya dan buff! there goes down her superior – buatku ini keren dan menunjukkan sisi menarik dari tokoh yang acap disebut sebagai superhero terkuat semesta Marvel – dan juga kilasan ingatan yang muncul ketika Vers ngobrol dengan pemimpin bangsa Kree, sesungguhnya merupakan komentar tersembunyi yang dimasukkan oleh film.

Tentang bagaimana perjuangan seorang wanita dalam dunia yang seringkali didominasi oleh pria, bagaimana cewek diremehkan lantaran mereka kebanyakan pake emosi dibandingkan otak. But hey, coba tebak; justru emosilah yang membuat seorang manusia, manusia. Tahukah kalian bahwa emotion adalah singkatan dari energy in motion? Kita tidak bisa berfungsi dengan benar hanya mengandalkan satu, tak peduli kita cowok dan cewek. Inilah yang dipelajari Vers ketika dia terdampar di planet C-53 (alias Bumi); Vers melihat – dan terselamatkan – berkat Nick Fury, Agen Coulson, yang menggunakan emosi mereka.

 

lagi mikir “harusnya aku mampir ke 90an Indonesia aja ya, biar digodain dan bisa ngembat motor plus jaketnya Dilan”

 

Tetap dengan candaan dan one-liner khas film-film superhero Marvel, film inipun mampu membuat kita tersenyum-senyum simpul mengikuti jalan ceritanya. Paling ngakak tentu saja adalah interaksi antara Vers dengan Nick Fury yang masih muda. Film ini boleh saja mengambil tempat di tahun 90an, namun – oh boy – kita hidup di jaman modern, jaman di mana teknologi komputer sudah begitu luar biasa sehingga seperti tak ada bedanya melihat Samuel L. Jackson di film ini dengan melihatnya di film Pulp Fiction (1994). Ini bukan kali pertama Marvel menggunakan CGI untuk memudakan seorang tokoh, tapi yang sudah-sudah, kita hanya melihat ini dalam adegan flashback. Not in the entire movie. Dan kupikir, seperti beginilah contoh pemanfaatan CGI yang baik dan benar. Membuat kita lupa bahwa itu adalah aktor yang sama dengan yang jadi penjahat tua di Glass yang tayang beberapa bulan yang lalu. Penampilan visual yang begitu menyatu dengan bangunan dunia, dan tentu saja ilusi tersebut tak-kan terjual jika tidak dibarengi dengan penampilan akting. Jackson memberikan nyawa tersendiri sebagai Nick Fury muda yang baru saja melihat berbagai macam alien nongol di depan matanya. Seperti yang kutulis tadi, chemistry Brie Larson dengan Jackson sangat kuat, tokohnya Larson – si Vers – juga berakar pada elemen cerita fish-out-of-water ketika dia sampai di Bumi dan melakukan berbagai hal yang dianggap luar biasa oleh penduduk lokal seperti Jackson. Kita melihat komedi ala buddy-cop terpancar dari interaksi mereka berdua; mereka beragumen dengan kocak, dan pinter – leluconnya enggak receh – sungguh terhibur aku melihat mereka berdua.

Kalo dia beneran superhero, kekuatan super Larson agaknya adalah kekuatan ekspresi. Kita bisa melihat dia berjuang untuk menghidupkan tokoh Vers ini. Mimik dan gestur-gestur kecil yang diberikan oleh Larson, seperti ketika dia berteriak “yess!” sambil tersenyum saat gips metal yang membelenggu kedua tangannya akhirnya lepas, benar-benar menambah hidup karakter yang ia mainkan. Sekuen Vers berantem dengan gips metal ini merupakan porsi aksi favoritku, karena memang terasa fresh dan actually adalah momen langka film memberikan kevulnerablean kepada tokoh kita tersebut. Sungguh menghibur melihat Vers berusaha melepaskan metal tersebut dari tangannya dengan membenturkannya ke dinding pesawat, namun gagal. Dia lalu memukulkannya kepada musuh sekuat tenaga, dan metal tersebut masih belum hancur juga, effort dan tantangannya terasa sangat natural. Aku berharap sekuen seperti ini terus hadir, film terus berusaha mencari cara untuk membuat susah superhero yang kekuatannya dahsyat ini, namun sayangnya arahan sutradara dalam mengembangkan cerita sungguh tidak berimbang.

Istilah terburuknya, datar. Hampa. Larson tampak sudah berdedikasi tinggi memainkan tokohnya, hanya saja cerita seperti tidak pasti mau dibawa ke mana. Setelah kita diajak bernostalgia 90an dengan tempat rental video, kita ketawa dengan komedi Vers dengan Fury, cerita berubah menjadi tentang dua sahabat cewek yang sudah lama terpisah; elemen fish-out-of-waternya menguap begitu saja. Vers menjadi tidak lebih dari karakter yang kaku. Penggemar WWE yang menonton film ini pasti menangkap kemiripan antara Vers dengan Ronda Rousey yang hanya seperti disuruh berdiri menunjukkan tampang antara bingung dan marah. Sesungguhnya sebuah kesempatan yang besar untuk mengambil resiko saat kita punya cerita dengan elemen tokoh yang punya masa lalu yang tak mampu ia ingat, dan mereka berusaha menyusun kembali kepingan ingatan tersebut. Lihat apa yang dilakukan Memento (2000). Terlalu jauh? Well, lihat Alita: Battle Angel (2019). Kita belajar bersama tokoh Alita melalu aksi yang ia lakukan, melalui muscle-memory; somehow tubuhnya bisa bereaksi melawan android jahat dan dari aksi tersebut kita paham Alita dulunya seperti apa. Pada film Captain Marvel, masa lalu Vers dibeberkan lewat flashback, lewat dialog, lewat potongan adegan. I mean, enggak gaya amat. Alih-alih membiarkan tokohnya berkembang menjadi disukai dan sejajar dengan penonton, film ini membangun Vers sebagai sosok yang nun-jauh di atas yang lain dan harus didukung karena, lihat guys, dia baik-pinter-cakep-dan-kuat. Aku tidak menemukan alasan kenapa mereka tidak bisa membuat pendekatan dan bangunan cerita dan tokoh menjadi lebih menantang serta accessible. Seperti elemen makhluk pengubah-wujud yang ada dalam film ini; arahan tokoh ini juga hambar, mereka seharusnya bisa dibuat lebih menarik dengan segala misteri dan kebingungan dan muslihat, tapi aku bisa memaklumi kurang penggaliannya karena kita sudah melihat hal yang serupa pada Loki dalam dunia Thor.

sehubungan dengan itu, mungkin aku harus segera mengecek kucingku alien atau bukan

 

 

Marvel Cinematic Universe sudah sering mengambil penulis dan sutradara dari film indie dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan sinarnya. Lucunya, Anna Boden dan Ryan Fleck yang dipilih untuk menangani film ini lebih kayak tamu yang masih malu-malu padahal udah dipersilahkan masuk dan makan-minum apapun, ngapain aja sama yang punya rumah. Mereka seperti terpaku pada gaya Marvel. Sehingga gaya mereka sendiri enggak keluar sama sekali. Tengok betapa vibrant dan penuh warnanya Thor: Ragnarok (2017) di tangan Taika Waititi. Atau kerja James Gunn memvisualkan dua film Guardians of the Galaxy. Mereka membuat apa yang sudah punya gaya, menjadi lebih bergaya lagi. Captain Marvel mendapat perlakuan dan arahan yang begitu standar sehingga pada beberapa titik filmnya nyaris terasa seperti berubah wujud menjadi film-film yang pernah kutonton. Adegan memori Vers diacak-acak mengingatkanku pada adegan Harry Potter yang dibaca pikirannya oleh Snape. Adegan kejar-kejaran pesawatnya hampir membuatku merasa lagi nonton Star Wars. Dan adegan berantemnya, well, selain adegan berantem dengan tangan bermetal yang kusebut tadi, Captain Marvel tidak menyuguhkan sesuatu yang membekas di ingatan. Bahkan terkadang perlakuan adegan kelahinya, koreografinya, sukar untuk diikuti.

 

 

 

Film superhero Marvel paling malu-malu kucing yang pernah ada. Untungnya gak sampai malu-maluin, sih. Cuma datar saja. Seperti Vers, film ini butuh untuk menjadi lebih bebas lagi. Karena dia punya potensi, seperti yang terlihat menjelang pertengahan dan menjelang penghabisan. Ceritanya sebenarnya juga enggak datar-datar amat, ada beberapa agenda yang berusaha diselipkan, karena begitulah lumrahnya film superhero masa kini; selalu ada sisipan agenda yang mengomentari keadaan sosial kita dan semacamnya. Film ini masih bisa menghibur penonton; baik itu penonton biasa, penonton anak-anak, maupun penonton nerd kayak aku. Jarang-jarang ada cerita pahlawan super yang tokoh utamanya cewek, kan. Hanya saja memang inner beauty yang dipunya kurang tergali, lantaran pembuat film ini tidak berani mengeluarkan suaranya sendiri. Cuma seperti mereka ditugaskan membuat film untuk memperkenalkan siapa Captain Marvel untuk episode terakhir Avengers, dan mereka melakukannya. Hanya itu. Dan kita bisa sesegera mungkin move on nungguin tanggal tayang film berikutnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for CAPTAIN MARVEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih emosi dilibatkan dalam tindakan atau pekerjaan kita? Apakah memang ada pekerjaan yang sama sekali enggak perlu melibatkan emosi? Apakah ada logika dalam menggunakan perasaan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE Review

It is our choices, that show what we truly are, far more than our abilities.

 

 

 

 

Bayangkan kamu dan beberapa orang teman lagi ngumpul-ngumpul di rumah. Kemudian bel pintu depan berbunyi. Satu orang dari kalian beranjak untuk membuka pintu. Kalian yang tidak membuka pintu tetap mengobrol sementara si pembuka pintu akan bersiap untuk ‘obrolan’ baru dengan tamu yang memencet bel. Kepikiran gak, jika kalian mengundi – dengan suit atau melempar dadu – siapa yang bakal membuka pintu; skenario seputar apa yang kalian obrolin, apa yang terjadi di pintu depan, semua itu tergantung oleh siapa yang pergi untuk membuka pintu? Misalnya jika aku yang bukain pintu, obrolan kalian tidak lagi seputar film, dan aku yang ngegreet tamu bisa saja tidak balik lagi ke dalam malah pergi jalan dengan tamu yang ternyata cewek kece itu. Akan sangat berbeda kejadiannya jika yang pergi membuka pintu adalah adik bungsumu yang pemarah.

Kejadian di alam semesta ini kompleks seperti demikian. Ilustrasi yang kusebutkan barusan aku ambil dari episode 3 pada season 4 serial Community (2011) yang memeriksa berbagai kemungkinan yang dapat terjadi jika keputusan tokoh-tokohnya diundi dengan dadu. Serial TV, film, komik, video game, memang sudah sedari dulu bermain-main dengan teori chaos seperti demikian; yang bersumber pada ide ada dunia lain yang berbeda dengan dunia kita. Bahwa dunia kita bukan hanya dunia absolut di mana hanya angka satu yang keluar pada dadu. Melainkan di saat bersamaan, ada dunia lain yang mata dadunya menunjukkan angka lima, ada dunia yang mata dadunya angka enam, yang masing-masingnya menghasilkan kejadian dan outcome yang berbeda-beda. Teori ini dikenal dengan TEORI MULTIVERSE.

“Kita tidak berada pada satu semesta tunggal yang unik, (tapi) temuanku menyiratkan ada pengurangan signifikan multiverse ke kisaran yang lebih kecil dari alam semesta yang mungkin.” Bukan Rick dari serial Rick & Morty yang mengatakan hal tersebut. Kalimat itu aku kutip dari artikel wawancara The Washington Post dengan Stephen Hawking. Ya, menarik sekali bahwa paper terakhir salah satu orang terpintar di dunia membahas tentang multiverse, yang biasanya hanya diomongin di kisah fiksi. Tulisan Hawking ini dipublish pada Mei 2018 – beberapa bulan setelah kematiannya, membahas bahwa ada kemungkinan ide-ide cerita film yang selama ini terdengar gila, memang sedang terjadi di dunia nyata. Bahwa mungkin ada dunia lain di mana ada aku-yang-bukan-tukang-review lagi ngedirect Jennifer Lawrence. Ada universe lain yang aku-nya yang lagi panas-panasan nyari singkapan batuan karena di dunia itu aku masih belum berani untuk bilang enggak dan mengejar cita-cita. Ada dunia di mana kalian mungkin saja jadi presiden planet Bumi, alih-alih sedang membaca tulisan ini. Atau malah ada dunia di mana pada waktu yang bersamaan, kita versi dunia tersebut sudah tiada. Ada kemungkinan tak-terhitung. Ada diri kita yang tak-terhingga.

jika kalian tak tahu Stephen Hawking, baiknya kalian pergi ke dunia di mana dia masih hidup sehat wal’afiat dan sungkem meminta maaf

 

 

Multiverse yang serumit jaringan sarang laba-laba inilah yang menjadi panggung dalam usaha terakhir Sony menghidupkan Spider-Man ke layar lebar. Untuk pertama kalinya tampil dalam wujud animasi, Spider-Man terbaru ini meruntuhkan anggapan bahwa Spider-Man hanyalah Peter Parker seorang. Ada seorang anak muda, Miles Morales, yang terkena gigitan laba-laba radioaktif seperti pahlawan super dalam buku komik yang dikoleksinya. Sehingga beban berat penyelamat umat manusia itu pun kudu hinggap di pundaknya. Kerlebih karena di dunia tempat Morales tinggal, Peter Parker sudah mati. Penjahat bernama Kingpin merajalela, berbuat onar demi tercapainya tujuan membuka gerbang antar-universe. Morales yang masih remaja baik umur maupun sebagai ‘webslinger’ harus bekerja sama mengagalkan rencana Kingpin dengan berbagai macam Spider-Man, cowok maupun cewek maupun…umm binatang?, yang ditarik masuk dari timeline universe yang lain.

Membacanya mungkin sedikit rumit. Tapi film ini tidak pernah menjadi ribet. Karakter yang bejibun, backstory yang saling antri untuk diceritakan itu, tidak pernah hadir tumpang tindih. Karena film punya cara bercerita yang amat sangat unik. Menonton film ini terasa seperti membaca buku komik tanpa perlu membuka halamannya, karena gambarnya udah bergerak sendiri. Gaya animasi, pewarnaan, bahkan kotak-kotak panel dan kotak-kotak dialog – terutama muncul saat tokoh sedang berbicara dalam hati – udah komik banget. Kotak dialog tersebut jadi alat yang efektif untuk membuat cerita memiliki kedalaman, membuatnya serius dengan tokoh yang punya gejolak di hati, tanpa mengurangi pace penuturan. Ada begitu banyak yang terjadi di layar yang membuat kita tersedot untuk memperhatikan, dan semuanya berjalan dengan begitu mulus. Saat aku menonton memang ada sedikit mengganjal perhatianku; garis-garis gambarnya yang tidak tegas, yang ngeblur seolah film ini diniatkan untuk tiga-dimensi, tetapi bioskopnya menayangkan di teknologi dua-dimensi. Aku gak tahu apa itu cuma terjadi di studio pas aku nonton saja, yang jelas bahkan kelamuran itu enggak berarti banyak untuk mengganggu keasyikanku menikmati animasi yang begitu kreatif itu. Tunggu sampai kalian menyaksikan sendiri adegan aksinya, wuihhhh!!!

Dan film ini juga punya selera humor yang benar-benar kocak, enggak receh. Film selalu bisa menyelipkan humor yang mendorong adegan menjadi lebih pecah. Yang membuat cerita menjadi lebih kerasa. Setidaknya ada enam versi Spider-Man yang muncul di sini, dan masing-masing mereka mendapat bagian pengenalan yang serupa-tapi-tak sama yang disebar di titik-titik berbeda sepanjang narasi. Mereka masing-masing akan bercerita ‘origin’ dan apa yang mereka lakukan lewat komik versi dunia mereka – ada konsistensi di sini, namun akan ‘dihancurkan’ dengan gimmick tertentu dari Spider-Man yang sedang diceritakan. Ini menciptakan humor kreatif yang bukan saja bikin kita terbahak, melainkan juga semakin peduli dengan karakternya karena kita langsung tahu apa sih kekhususan dari Spider-Man yang satu itu.

ada gak ya universe di mana aku yang jadi Spider-Man?

 

 

Pada lapisan permukaan, kita bisa melihat keuntungan menghadirkan banyak Spider-Man dalam rangka menarik minat penonton dan menciptakan pengalaman yang berbeda. Secara kreatif ini juga merupakan cara yang gampang; mengolah humor-humor meta dengan konsep tokoh film yang memiliki self-awareness terhadap semesta dan sejarah komik dan versi-versi dirinya sendiri. Di sisi yang lebih dalam, penulisan film yang dibuat begini – yang mengeksplorasi banyak dunia – sebenarnya adalah cara yang pintar untuk membahas tema utama, inti hati yang jadi bangunan utama cerita. Yakni tentang pilihan. Tokoh utama kita, Miles Morales, berjuang dengan hal mana yang sebenarnya menjadi pilihan buatnya. Dia yang lebih suka ngegambar grafiti bareng pamannya, dikirim oleh ayahnya yang polisi ke sekolah asrama, dan Morales sama sekali tidak merasa nyaman berada di sana. Hubungan Morales dengan ayahnya tidak begitu baik karena hal tersebut, karena ia merasa ayah yang membuat ia jadi tidak punya pilihan. Bahkan ketika dia nantinya punya kekuatan Spider-Man, Morales tidak langsung lancar dan enjoy menggunakan kekuatannya tersebut. Dia kesulitan untuk belajar cara berayun dengan jaring. Dia tidak bisa mengontrol kekuatan spesial yang hanya dirinya bisa lakukan. Karena di dalam hati, dia tahu ayahnya ‘membenci’ Spider-Man. “Siapapun bisa memakai topeng. Beraksi di baliknya” cela sang Ayah.

Kemunculan para Spider-Man dari dunia berbeda membuat Morales bisa melihat bahwa pilihan kita membentuk hasil yang berbeda-beda pula. Ada Peter Parker yang gendut oleh depresi di salah satu universe yang ia temui! Multiverse memainkan peran yang begitu besar ke dalam topik cerita karena menunjukkan kepada Morales, kepada kita, bahwa superhero bukan menjadi superhero karena mereka orang yang spesial. Setiap orang, siapapun itu, bisa kena gigit laba-laba radioaktif. Bahkan Morales, anak abg kulit hitam yang bahkan tidak sanggup ngomong lebih dari dua kalimat kepada cewek seusianya tanpa terdengar awkward. “Siapapun bisa memakai topeng” menjelang akhir cerita kata-kata ayah terngiang kembali dalam kepala Morales, hanya saja kali ini ia mendengarnya dengan nada yang berbeda. Tidak semua orang mau bertahan dihajar berkali-kali, menembuh bahaya dan memikul tanggung jawab seperti yang dilakukan oleh Peter Parker. Tidak semua orang mau menghadapi masalah dengan kemampuan mereka. Tidak semua orang memilih untuk optimis, seperti yang dilakukan oleh Peter, dan juga oleh Morales.

Teori Multiverse mengajarkan kepada kita bahwasanya ada spektrum-spektrum yang begitu beragam muncul dari pilihan yang kita lakukan. Ada banyak versi dari kita, tidak ada kita secara khusus, kita bukanlah the absolute one. Pilihan kitalah yang membuat diri kita spesial. Melebihi dari apa kemampuan kita, karena yang dihitung adalah apa yang actually kita pilih untuk kita lakukan. 

 

 

 

Ada banyak hal hebat yang dihadirkan oleh film ini, dari awal hingga akhir. Penampilan voice akting yang dahsyat, animasi serta gaya humor yang kreatif, aksi yang seru dan bikin nagih. Bahkan mulai dari cameo hingga adegan-sehabis-kreditnya aja sudah cukup mampu membuat kita berderai. Oleh tawa dan air mata. Menggunakan konsep rumit multiverse, film ini sendiri tidak pernah bikin kita mengerutkan kening, malahan semuanya begitu menyenangkan. Segi drama dan hiburan, semuanya didorong dengan maksimal. Kadang ada begitu banyak informasi dan karakter yang bermunculan sekaligus, jadi film bisa dengan gampang menjadi sesak jika mereka tidak melakukan sedikit pengurangan di beberapa aspek. Aku mengerti kenapa mereka kurang banyak menggali Kingpin, juga hubungan antara ayah dengan paman Morales; Film baru saja melakukan pilihannya sendiri, that’s all, folks!
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian percaya dengan teori multiverse yang berakar pada teori Big Bang tersebut? Apakah kalian penasaran untuk melihat versi diri sendiri, atau malah takut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

AVENGERS: INFINITY WAR Review

“A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself.”

 

 

Aku gak akan bohong, aku super excited nungguin film ini keluar. I mean, siapa yang enggak?!! Begitu banyak jagoan buku komik bermash-up seru, team up, lengkap dengan potensi aksi-aksi kekuatan super yang begitu beragam, jelas sisi nerdy kita semua akan menjerit kegirangan. Sekaligus juga, sebagai penonton film, aku mengelinjang demi penasaran gimana mereka menghandle sekian banyak tokoh superhero, gimana cara mereka membagi porsinya, cerita macam apa yang bakal mereka sajikan, siapa yang jadi tokoh utama?

Well, yea, Marvel Studio sendiri dalam rangkaian promo mereka menyebut, dalam film ini akan ada enam-puluh-empat tokoh utama. Yang mana adalah angka yang sangat luar biasa, yang bagi yang ngerti penulisan skenario pastilah lebih mencengangkan lagi karena bagaimana bisa memfokuskan pada segitu banyak sudut pandang, akankah dua setengah jam will do justice kepada semua tokoh. Akan selalu ada satu perspektif yang berdiri lebih tinggi daripada yang lain. Ketika trailer pertama film ini dirilis, para fans dan penggemar film ramai berspekulasi. Kafe eskrimku pun pernah seketika jadi ruang debat seru, para pengunjung terlibat percakapan berlarut mengenai spekulasi mereka tentang apa yang bakal terjadi di film ini. Aku sempat berkelakar bahwa Thanos yang menjadi tokoh utama alih-alih Ironman atau Captain America. Dan setelah menonton ini (setelah semua asap ledakan kefanboyan itu menipis dan sirna), kelakarku berubah menjadi pendapat utuh. Aku pikir Thanos lah – si raksasa ungu yang menghancurkan planet-planet itu – yang menjadi tokoh utama sebenarnya bagian satu dari film final Avengers ini. Dan sekalipun mungkin aku salah, melihat film dari titik pandang Thanos tetap adalah cara paling menarik bagi kita menikmati cerita Infinity War. Thanos punya motivasi, dan film ini adalah tentang para superhero berusaha mencegah motivasi tersebut menjadi kenyataan, dan pertanyaan besar yang menggantung adalah apakah Thanos berhasil meraih apa yang ia inginkan.

enggak, aku enggak akan bikin candaan mainstream seputar Thanos dan batu akik

 

Thanos sedang dalam pergerakan mengumpulkan enam Batu Keabadian dari seluruh penjuru galaksi. Dia sudah berhasil mendapatkan Power Stone. Adegan pembuka film memperlihatkan detik-detik dia mengambil Space Stone alias Tesseract dari tangan Loki dalam sekuens menyayat hati. Dalam rentang sepuluh menit pertama, kita akan kehilangan dua tokoh yang masuk kategori ‘favorit’ di kalangan fans, yang tentu saja melandaskan mood sekaligus peringatan; film ini tidak ragu-ragu untuk mencabut entah berapa nyawa favorit lain hingga penghujung ceritanya. Sementara Thanos bisa saja sudah mengetahui kemana harus mencari Soul Stone dan Reality Stone, kita tahu pasti dua Batu terakhir ada di Bumi. Doctor Strange literally memakai Time Stone sebagai kalung demi menjaganya. Dan Mind Stone adalah sumber nyawa dari Vision. Cepat atau lambat Thanos akan berurusan dengan Avengers. Serta dengan Guardians of the Galaxy, mengingat Gamora punya urusan personal sebagai putri angkat Thanos. Para superhero tersebut harus berjuang sekuat tenaga, sebab jika Thanos berhasil mendapat kekuatan maha dahsyat dari mengumpulkan batu-batu tersebut, Thanos akan mampu menghapus setengah eksistensi di alam semesta hanya dengan satu jentikan jari saja.

Sejak nongol di trailer, Thanos langsung hits. Banyak yang berkomentar soal penampilan karakter CGI ini yang dinilai terlalu manusiawi. Aku banyak melihat meme yang menyebut Thanos seperti Stone Cold Steve Austin, Goldberg, atau banyak lagi superstar WWE lain. Well, turns out ternyata Thanos lebih mirip Alexa Bliss ahahaha, penggemar wrestling pasti paham lelucon ini, I mean, lihat aja gerakan Thanos ketika menggunakan kekuatan gauntlet Infinity saktinya; persis kayak gaya Alexa dengan sarung tangannya hihihi… Anyway, perihal wujud Thanos dirancang enggak begitu intimidating jika kita bisa overlook badan raksasanya; itu karena ternyata Thanos memang punya sedikit hati. Kita diniatkan untuk merasakan sedikit simpati kepadanya. Thanos percaya apa yang ia lakukan adalah hal yang benar; bahwa dia juga melakukan tindak yang heroik. Keseimbangan dunia adalah apa yang ingin diwujudkan oleh Thanos. Dia punya moral kompas sendiri. Sering adegan akan membawa kita berkunjung melihat Thanos, mengenali Thanos dalam lapisan yang lebih dalam. Adegan-adegannya dengan Gamora menjadi inti cerita yang mengungkap siapa Thanos. Sirkumtansi memang lebih sedikit terlalu popcorn, terlalu membuatnya seperti penjahat buku komik, tapi Thanos tetap adalah karakter yang menarik dengan moral kompasnya sendiri. Enggak gampang memainkan karakter yang sepenuhnya CGI, namun Josh Brolin berhasil menghidupkan Thanos, memanusiawikannya.

Ini mungkin aku yang kebanyakan nonton My Hero Academia, tapi aku pikir film ini punya ‘suara’ yang sama dengan anime tentang sekolah superhero tersebut. Jika ada yang bisa kita petik dari Thanos di film ini, maka itu adalah Thanos mengajarkan kepada kita perbedaan antara hero dengan villain; pahlawan dengan penjahat. Thanos boleh saja merasa pahlawan di sini, karena ini adalah ceritanya. Namun sejatinya, pahlawan enggak akan pernah mengorbankan sebahagian yang lain. Pahlawan akan mengorbankan dirinya sendiri.

 

Selain beberapa menit terakhir yang terasa begitu dingin, suram, sekaligus mengundang penasaran (saking penasarannya aku jadi nungguin post-credit, padahal sejak Ironman 1 aku gak pernah peduli sama post-credit scenes), sebagian besar film ini terasa menegangkan dengan sangat menyenangkan. Memuaskan melihat tokoh-tokoh superhero itu bertemu untuk pertama kali. Akan ada banyak interaksi yang kocak, yang datang dari para tokoh yang sengaja dikontraskan. Thor dengan Star-Lord misalnya, film menggali komedi dari Star-Lord yang merasa minder karena kalah macho, jadi dia berusaha untuk tampil ‘sangar’. Infinity War menjadi menarik dan benar-benar kocak ketika komedi-komedi yang dihadirkan diangkat dari sifat dan watak karakter. Dari betapa berbedanya mereka satu sama lain, dan gimana mereka diharuskan untuk bekerja sama. Kita akan melihat grup superhero terbagi menjadi beberapa grup, Thor dengan Rocket dan Groot Remaja (yang begitu angsty kerjaan main mobile legends melulu hihi) berusaha mencari pembuat senjata, Tony Stark dengan Dr. Strange dan Spider-man (how awesome is that!), berusaha menyetop Thanos di kandangnya sendiri, ada juga Scarlet Witch dan Vision yang berusaha mencari jalan keluar menghancurkan Mind Stone tanpa membahayakan nyawa Vision sambil diburu oleh anak buah Thanos. Dan bicara tentang itu, aku suka gimana pasukan alien tersebut justru berhasil dipukul mundur oleh divisi pasukan asli Bumi – Captain America, Black Widow, Falcon. Satu lagi yang menurutku keren adalah Thor lawan Thanos yang menguar referensi mitologi – Thor yang padanan Zeus pada budaya celtic berhadapan dengan Thanos yang namanya dimodifikasi dari Chronos, titan yang dikalahkan Zeus.

adegan endingnya bikin aku pengen ngacungin ibu jari sambil nyeletuk “RCTI okeeee!!”

 

Sebaliknya, komedi khas Marvel tersebut menjadi cheesy dan membawa kita keluar dari cerita ketika mereka menyisipkan celetukan-celetukan yang enggak ada hubungannya dengan karakter, misalnya ketika Dr. Strange nimpalin “Thanos siapa?” di adegan yang seharusnya enggak perlu diliteralkan seperti demikian, yang enggak ada kepentingan selain mencairkan suasana. Atau ketika Tony Stark membuat some remark musuhnya mirip Squidward di tengah pertempuran. Film ini bicara tentang keseimbangan, tetapi keseimbangan adalah tugas yang susah jika kita punya begitu banyak tokoh untuk ditampilkan. Akibatnya, banyak yang enggak dapat peran yang signifikan. Black Panther aja perannya di sini cuma sebagai komando perang yang bertempat di Wakanda. Hulk, yah, kita cuma melihat monster hijau ini di sekuen pembuka karena Banner diberikan arc apa yang ia lakukan jika Hulk menolak muncul di saat yang dibutuhkan. Bahkan beberapa tokoh harus diwrite off gitu aja.

Infinity War adalah culmination dari banyak penokohan, semua tone karakter yang ditulis dan divisikan oleh beberapa penulis dan sutradara berbeda digodok menjadi satu, sehingga tentu saja akan ada beberapa tokoh yang tampak bertindak di luar karakter mereka. Ini kayak waktu aku ikutan estafet nulis novel; aku harus melanjutkan apa yang ditulis orang lain, tetap berusaha ngikutin karakterisasi yang udah ditetapkan sambil menegmbangkan sesuai visi sendiri, dan setelah itu akan ada penulis lain yang  melanjutkan menulis karakter yang aku buat. Jelas akan ada sedikit ketidakkontinuan, dan di film ini kita menjumpai hal tersebut misalnya pada karakter Thor, dia sudah berevolusi di film terakhirnya, untuk kemudian di film ini dia kembali revert back seperti dirinya yang dulu; matanya yang hilang ada lagi, palunya yang hancur dibuat lagi.

 

Sementara semua jajaran pemain kelas atas itu bersenang-senang dengan karakter mereka seolah film ini adalah sebuah pesta pora di mana undangannya enggak sabar untuk menunjukkan kelebihan masing-masing, sutradara Anthony dan Joe Russo tidak berhasil mencetak sesuatu yang distinctive pada arahan mereka. Setelah Thor: Ragnarok (2017) dan Black Panther (2018), Infinity War tampak seperti kembali ke dasar di mana yang penting adalah superhero dan villain yang berantem dengan dahsyat dan seru.

 

 

 

Enggak gampang menampilkan begitu banyak dalam ruang yang lumayan sempit. Penceritaan film ini pada dasarnya memberikan ruang gerak yang sangat terbatas bagi pengembangan dan kualitas cerita semacamnya, makanya kita dapat begitu banyak adegan ngobrol, entah itu di dalam ruangan, bahkan adegan aksinya pun dilakukan sambil ngobrol. Tapi film berhasil melakukannya, katakanlah dengan subtil – enggak begitu terasa. Ada eksposisi, namun tidak begitu memberatkan. Karena kita sudah excited duluan. Film berhasil bermain-main dengan karakter sebanyak itu, menjelang penghabisan, film berubah menjadi sesuatu yang depressing. Namun tetap berhasil menutup cerita. Jika ada satu kata yang menggambarkan Thanos dan para superhero, maka itu adalah ‘sersan’; serius tapi santai. Eh, tapi itu tiga kata, ding!
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for AVENGERS: INFINITY WAR.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BLACK PANTHER Review

“What value is strength unless you’re using it to help someone”

 

 

Sunset paling indah ada di Wakanda. Tapi jangan tanya ada di sebelah mananya Afrika negara Wakanda tersebut, karena kita tidak akan menemukannya dalam peta. Malahan, negara ini juga enggak tercantum di dalam peta fiksi dunia Marvel. Letaknya memang sengaja disembunyikan oleh lima suku yang  dibersatukan oleh jatuhan meteor yang kaya akan kandungan mineral alien yang disebut Vibranium. Wakanda jadi negara dengan peradaban supercanggih karenanya. Mereka dipimpin oleh Raja, seorang pejuang yang worthy menyandang kekuatan Black Panther. Tatanan kerajaan dan kerahasiaan mereka berjalan aman. Meskipun punya sumber daya melimpah, Wakanda menyamarkan diri kepada dunia sebagai negara ‘susah’. Bukan karena pelit, tapi mereka menjaga agar teknologi mereka enggak tercium dan pada akhirnya disalahgunakan. Tapi yang namanya rahasia mana bisa sih terjaga lama-lama. Ketika tiba saatnya bagi Pangeran T’Challa menduduki tahta menggantikan ayahnya, seseorang misterius muncul memburu dan mengekspos aretfak-artefak kebudayaan Wakanda. Orang tak dikenal ini ingin menonton sunset paling indah sambil menyaksikan seluruh dunia terbakar. Jadi, T’Challa sebagai Black Panther yang baru harus berjuang menghentikan orang yang menantang posisinya sebagai raja baru, dan untuk itu T’Challa harus menoleh ke belakang. Ke teman-teman. Ke suku-suku di Wakanda. Ke keluarganya.

Inilah yang namanya sunset di tanah anarki

 

Tidak sukar untuk mendeskripsikan film Black Panther ke dalam satu kata; MEMUASKAN. Film ini akan membuat bahagia banyak orang, dalam berbagai tingkatan. Buatku, aku puas banget akhirnya ada lagi tokoh penjahat utama dalam film superhero yang kuat secara manusiawi dan bukan bernama Joker. Killmonger (penampilan Michael B. Jordan di sini kharismatis banget) enggak sekadar pengen dunia chaos, dia juga diberikan sense keadilan menurut pandangannya sendiri, sebab motivasi utama pemuda ini berakar dari perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh supposedly kubu baik dalam narasi. Kita melihat dia membunuh orang-orang tak bersalah, namun kita mengerti pemahaman dan sudut pandangnya. Killmonger tidak dibesarkan di nyaman di Wakanda, dia jauh dari kekeluargaan dan kebudayaan para suku. Instead, Killmonger tumbuh di jalanan Amerika di mana dia sudah melihat kerasnya hidup. Jadi, dia ingin menggunakan Wakanda untuk melakukan revolusi, like, “kalian punya banyak teknologi, kenapa tidak digunakan untuk membantu orang-orangmu di tempat lain?”. Kita tahu Killmonger jahat, namun kita ingin mendengar lebih banyak darinya. Kehadiran Killmongerlah yang menjadi pemicu perubahan pada cerita, yang menantang tokoh utama untuk menjadi orang yang lebih baik.

Aspek seperti ini yang menjadi pertanda sebuah cerita seteru yang baik. Hero dan penjahatnya sama-sama bercacat. Penjahat yang kuat dan ‘baik’ bukanlah  orang atau makhluk jahat yang berambisi menguasai dunia dengan meledakkan atau semacamnya. Penjahat yang ‘baik’adalah penjahat yang motivasinya memaksa protagonis untuk memikirkan kembali sikap, pilihan, dan kelemahan mereka. Penentangan penjahat membuat protagonis berkembang. Dan dalam film ini kita akan melihat betapa T’Challa dengan Killmonger punya dinamika yang membuat masing-masing saling ‘berhenti’ dan memikirkan kembali keyakinan mereka. Untuk pertama kalinya, kita tidak melihat superhero yang menjunjung patriotisme. Malahan, T’Challa (Chadwick Boseman memimpin jejeran cast yang uniformly doing a great job) tampak lebih seperti pemimpin negara yang galau antara melindungi atau melayani. Antara tradisi kerajaannya dan hal yang ia yakini harus dipilih.  Tampang T’Challa ketika dinasihati “Orang baik susah untuk menjadi raja” benar-benar menampilkan keraguan di hatinya; apakah dia sedang ditegur karena terlalu baik untuk menjadi seorang raja, atau apakah dia sedang dipuji layak menjadi raja karena berani bertindak ‘jahat’. Hampir semua perkembangan tokoh T’Challa berdasar kepada dirinya memikirkan ulang sudut pandang kerajaan, dan menyadari hal-hal yang salah yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya, dan kemudian T’Challa akan memikirkan apa yang harus ia lakukan supaya keadaan menjadi lebih baik.

Film ini bukan menggambarkan betapa sempurnanya kerajaan Wakanda dan bagaimana orang sepintar T’Challa mengembangkan kerajaan ini. Black Panther adalah tentang menyadari apa yang sudah kita perbuat. Dan maukah kita melakukan koreksi terhadapnya.

 

In a way, film ini punya sedikit kemiripan dengan Maze Runner: The Death Cure (2018) dalam elemen cerita mengenai kentalnya naluri ketribalan pada manusia, bahwa kita lebih cenderung untuk memikirkan nasib golongan sendiri. Dalam skala yang lebih besar, film ini memang punya kepentingan yang luar biasa. Ditambah pula dengan kerelevanannya ditayangkan di masa-masa sekarang ini. Jika DC punya Wonder Woman (2017) yang pesan pemberdayaan perempuannya kuat sekali, maka Black Panther adalah ekuivalen yang dihadirkan oleh Marvel, hanya saja dalam film ini warna kulit yang diangkat menjadi tema. Makanya film ini banyak sekali mendapat pujian. Black Panther bukan sekadar film hero di mana para jagoan bertarung dan banyak ledakan, film ini punya pesan yang berhasil tidak preachy dalam menyampaikannya. Di balik kostum keren, aksi dahsyat, dan perlengkapan canggih, film ini bicara tentang komentar sosial lewat para karakter yang mencari ke dalam diri mereka sendiri.

Yang butuh baju lebaran, bisa mencarinya di katalog Black Panther sesi ‘Lawan dengan Iman’

 

Aku sudah nonton film ini dua kali, mainly karena pada saat nonton pertama, aku sempat ketiduran di bagian aksi kejar-kejar di sekitar pertengahan film. Tadinya kupikir saat menonton aku mungkin kecapean sehingga saat bagian seru aku justru merasa bosan hingga terlayang. Maka aku memutuskan untuk menonton lagi sebab tentu saja aku tidak punya hak untuk mengulas sebuah film jika tidak menontonnya dengan sebenar-benar menonton. Namun, setelah menonton ini dua kali, aku tetap merasa separuh awal film ini tidak digarap dengan semenarik paruh akhirnya, paruh ketika para karakter mulai berpikir ulang tentang tindak yang selama ini mereka percaya. T’Challa, misalnya, dia adalah karakter paling pinter seantero Marvel, sekaligus juga paling bijak. Tokoh ini enggak nyebelin karena sarkas kayak Tony Stark, dia enggak awkward dan konyol kayak Thor, dia enggak sedikit angkuh kayak Doctor Strange, dia bahkan enggak nampak begitu berkharismatis seperti Captain America, sehingga dengan seketerlalubaikannya itu memang T’Challa agak sedikit ngebosenin sebelum dia mendapat realisasi akan apa yang mestinya dia lakukan. Film actually membangun karakter T’Challa dengan seksama, hanya saja memang tidak terhindarkan akibat dari pilihan ini yakni di paruh awal Black Panther terasa seperti film superhero yang biasa-biasa saja. Menurutku akan bisa lebih baik kalo sedari awal kita dicemplungkan saja ke dalam konflik personal masing-masing karakter. Aku sudah tertarik dari sepuluh menit pertama, dan kemudian kita diperkenalkan kepada Killmonger dalam sebuah adegan yang keren di museum, tapi setelah itu aspek menarik film seolah bersembunyi di balik shield pelindung. Kita dapat sekuen-sekuen aksi yang kadang terlalu gelap, atau malah terlalu goyang. Kita dapat tembak-tembakan dan car chasing yang enggak terlalu signifikan menambah kepada bobot penting yang ingin disampaikan.

Pihak-pihak yang berdaya kuasa sejatinya akan merasa punya hutang kepada pihak-pihak yang membutuhkan pertolongan. Karena apalah artinya kekuatan jika tidak digunakan untuk menolong yang lemah? Bagi Wakanda, ini menjadi konflik yang merayapi suku-suku yang termasuk di dalamnya selama bertahun-tahun. Karena siapa lagi yang akan menolong negara-negara lain yang kesusahan jika bukan mereka? Akan tetapi jika mereka menolong, mereka mengekspos rahasia yang bakal membawa kehancuran yang lebih besar.

 

Salah satu yang paling menyenangkan dari penduduk Wakanda adalah gimana mereka masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan lokal, walaupun mereka sudah menguasai teknologi alien. Lihatlah betapa semaraknya kostum-kostum dan tingkah laku adat mereka masih tertanam kuat. Mereka tidak sekonyong-konyong beralih pake jet kemana-mana, misalnya. Bandingkan dengan kita yang teknologinya baru hape ointer aja, tapi udah nempel terus sama hape kayak perangko. Di belakang layar, Black Panther menggunakan aspek kebudayaan ini untuk memberi warna kepada cerita. But also, mereka juga memanfaatkan CGI, yang kadang tampak masih sedikit kasar dan mestinya bisa diperhalus lagi. Ada beberapa adegan yang orang-orangnya kayak ditempel begitu saja di latar, ada juga shot beberapa makhluk yang tampak tidak benar-benar ada di sana. Black Panther seperti menggunakan beberapa formula penceritaan sekaligus, beberapa memang need more work, tapi ada juga shot-shot praktikal yang membuatku takjub seperti shot dengan kamera terbalik, dan kemudian berputar menjadi normal dengan perlahan, saat Killmonger mengucapkan dialog tentang bagaimana mereka mengambil alih dunia dengan memulainya dari atas. Konteks sama perlakuan kamera yang klop banget seperti inilah yang bikin pengalaman menonton semakin asyik.

 

 

 

 

Keunikan film ini sehubungan dengan statusnya sebagai cerita superhero terletak pada bahwa justru saat tidak menjadi cerita superherolah, dia mencapai kerja yang sangat baik. Keputusan untuk membuat film ini seperti layaknya laga superhero supaya menarik minat penonton malahan membuat filmnya menjadi tampak biasa saja, dan ini sedikit mengecewakan. Karena film ini sejatinya bukanlah soal aksi heboh ataupun pertarungan epik, melainkan mengenai hal-hal yang membentuk para karakternya, hal-hal yang mempengaruhi hidup mereka. Karakternya lah yang kita bicarakan ketika kita bicara tentang film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

THOR: RAGNAROK Review

“We would have all been the same anywhere else”

 

 

Apa sih sebenarnya pekerjaan dewa-dewa? Maksudku, apa tepatnya yang mereka lakukan di atas sana, tugasnya ngapain aja; masa iya sepanjang waktu mereka cuma duduk di singgasana mengawasi rakyat sambil makan anggur.  Dalam dunia film, sutradara bisa dikatakan sebagai dewa, sutradaralah yang mengontrol semua – memastikan setiap elemen film bekerja membentuk kesatuan sesuai dengan visi yang ia inginkan. Dan tugas sebenarnya seorang sutradara ialah menciptakan tubuh naratif tersendiri dan menampilkan dengan keaslian. Taika Waititi dapat melihat bahwasanya cara terbaik menginterpretasi tokoh Thor adalah memandangnya sebagai tokoh komedi aksi. Sedari film-film awalnya, juga ketika muncul di Avengers, ada sense of humor yang terkandung di dalam tokoh dewa dari dunia lain ini. Ada dinamika menarik antara sikap hot-head dan jiwa pembela kebenarannya. Jadi, Waititi menggunakan keahlian terbaiknya ketika ditunjuk sebagai sutradara. Apa yang tepatnya ia lakukan? Basically, Waititi menghancurkan aspek serius dari dua film Thor sebelumnya, menyuntikkan berdosis-dosis komedi, sehingga baik dalam konteks cerita maupun penokohan, tokoh (sekaligus film) Thor benar-benar harus memulai dari awal.

Thor: Ragnarok adalah film superhero paling lucu yang pernah dikeluarkan oleh Marvel Studio. Definitely yang terbaik dari seri film solo Thor. Narasinya banyak bermain-main dengan gimmick dewa-dewi Asgard, bersenang-senang dengan trope karakter-karakter superhero Marvel. Yang perlu diingat adalah bermain-main bukan berarti enggak serius. Bersenang-senang bukan berarti melupakan nilai seni. PADA FILM INI SENI ADALAH KOMEDI, pada bagaimana dia bermain-main.

Komedi yang quirky menjadi pesona utama yang membuat film ini berdiri paling tinggi, bahkan di antara film-film superhero komik yang lain. Tidak hanya membuat tokoh dengan kekuataan super itu membumi layaknya manusia seperti kita-kita, yang mana begitulah formula superhero yang baik; setiap tokoh pahlawan harus bisa kita lihat sebagai orang biasa. Dalam film ini para tokoh dibikin ‘enggak keren’. Mereka begitu off-beat. Thor adalah seorang yang konyol, yang sering gak nangkep suatu poin, sekaligus sosok yang kharismatik dan tangguh. Loki, menyamar menjadi Odin, menciptakan teater sandiwara yang bercerita tentang epos kepahlawanan dirinya, hanya supaya rakyat lebih ngeworship dirinya yang dipercaya publik sudah meninggal.

Gestur-gestur kecil buah dari reaksi emosional manusiawi membuat film ini menyenangkan. Gini, jika kalian pernah membayangkan gimana kalo kita menjadi dewa atau punya kekuatan, maka dalam bayangan tersebut sosok kita pasti bakal keren banget. Sok cool gitu. Namun tidak seperti itu di dalam kenyataan, kecanggungan kita enggak hilang hanya karena kita seorang dewa. Memegang pedang keren bukan berarti kita otomatis berhenti nyengir di depan kamera. Tampil gagah dan tampak keren bukanlah job desk seorang pahlawan atau dalam film ini, dewa. Thor: Ragnarok enggak berpaling dari reaksi-reaksi manusiawi, ia malah mengambil sisi humor darinya. Kita akan melihat Hulk mengumpat kesal, Dewi Kematian ngibasin rambut panjangnya sebelum berantem, dan tak jarang seorang karakter meralat kata-kata bijak yang sedetik lalu ia ucapkan, karena keadaan berubah natural dengan cepat dan udah gak sesuai lagi ama konteks yang ia sampaikan.

Bisa-bisanya Kat Dennings malah absen saat film ini jadi komedi

 

Arahan Waititi berhasil mengeluarkan yang terbaik dari para aktor. Tidak banyak dari kita yang melihat potensi komedik dari Chris Hemsworth, dan di film ini kita akan dibuat sangat melek. Kerja komedi Hemsworth sangat marvelous, delivery – timing – ekspresi, renyah semua berhasil bikin ngakak. Pada adegan Thor hendak dicukur, aku benar-benar meledak ngakak, it really hits home for me. Seperti pada dua film komedi terakhirnya, What We Do in the Shadows (2015) dan Hunt for the Wilderpeople (2016), Waititi mengandalkan kepada hubungan antar karakter untuk menghantarkan kita melewati plot poin satu ke poin yang lain. Aku belum pernah melihat interaksi antara dua superhero paling fresh dan semenyenangkan antara Thor dengan Hulk di film ini. Aku gak mau beberin banyak soal Hulk, jadi, ya secara garis besar peran Mark Ruffalo ini terdevelop dengan cukup banyak, personalitynya nambah, dan aku pikir elemen-elemen baru dari Hulk akan memancing reaksi berbeda dari penonton. It’s kinda love it or hate it. Buatku pribadi, aku suka. Tokoh Hulk ini memang rada tricky untuk dikembangkan, dan selama ini ia hanya jadi powerhouse sebagai ekualiser kekuatan musuh. Dalam Ragnarok, dia ada kepentingan lebih dari  sekadar “friend from work” untuk berada di sana, meski dia sendiri enggak sadar. Thor menyebut kelompok kecil mereka sebagai Revengers – kumpulan orang-orang yang punya dendam kepada Hela, dan cuma Hulk yang bengong karena enggak merasa ada dendam apa-apa. Peran Hulk di sini adalah sebagai cermin buat Thor, karena jauh di dalam, kedua orang ini adalah pribadi yang punya banyak kesamaan.

Ramalan Ragnarok sudah hampir terwujud. Bayangkan ramalan suku maya 2012, hanya saja ramalan ini adalah kenyataan buat Thor. Demi mencegah itu terjadi, Thor langsung bertindak  Dia enggak mau Asgard hancur.  Mimpi buruk semakin nyata ketika Odin meninggal, dan kekuatan yang selama ini disegel oleh Bapak Thor itu terlepas. Thor dan Loki akhirnya berkenalan dengan kakak sulung mereka, Hela di Dewi Kematian. Namun tentu saja itu bukan jenis perkenalan yang mesra dan penuh peluk rindu. Ini adalah perkenalan yang literally menghancurkan Mjolnir, palu andalan Thor. Drama keluarga dewa tersebut beralaskan darah dan air mata. Hela menuntut tahta, dia menginginkan Asgard kembali seperti zaman kekuasaan ia dan Odin dahulu. Segera saja, Thor menemukan dirinya kehilangan semua. Kehilangan ayah, kehilangan saudara, kehilangan senjata, kehilangan tanah air. Thor sempat terdampar di planet berisi orang-orang terbuang, di sana dia dijadikan gladiator, dan di situlah dia bertemu kembali dengan Loki, Hulk, dan banyak teman baru. Jadi sekarang, setelah kekuatan dan pasukan terhimpun, Thor harus bergegas mencari jalan untuk kembali ke Asgard, untuk mengalahkan Hela demi mencegah Ragnarok terwujud.

Nasionalisme tak pernah adalah soal tempat. Selama ini kita terkotak-kotak oleh batas negara, oleh batas wilayah, sehingga tercipta ilusi persatuan terbentuk atas kesamaan tempat, kesamaan asal usul, kesamaan kampung halaman, that we have to protect the place. Tapi enggak, persatuan adalah soal rakyat. Tidak peduli di mana kita, tidak peduli pribumi atau nonpribumi, ketika kita hidup berkelompok – kita sejatinya menumbuhkan perasaan menyatu atas apa yang kita hadapi bersama. Dan ketika orang berperang atas nama nasionalisme, bukan tempatlah yang dipertahankan. Melainkan persatuan.

 

Selalu menarik melihat penjahat yang punya motivasi dan kebenaran pribadi, dan ia memegang teguh sudut pandangnya itu dengan intensitas yang tinggi. Cate Blanchett memerankan salah satu penjahat yang paling kuat dalam dunia superhero Marvel, Hela tampak berbahaya, dia actually mampu membunuh banyak prajurit. Penampilan akting Blanchett yang meyakinkan hanya membantu tokoh itu stand out lebih jauh lagi. Jika dibandingkan dengan Hela, tokoh Loki dalam film ini akan terlihat sangat lemah. Namun bukan berarti God of Mischief ini terkesampingkan. Tom Hiddleston justru tampil lebih mendua di sini, ekspresinya poker face banget, kita enggak tahu pasti kapan Loki beneran ikhlas membantu, kapan dia memainkan muslihat untuk kepentingan dirinya sendiri.

Ada paralel yang menarik antara ketiga anak Odin ini. Thor, Loki, dan bahkan Hela sebenarnya sama-sama pengen menyelamatkan Asgard, untuk kepentingan yang berbeda. Khusus untuk Hela, ini menjadi semacam history melawan herstory. You know, jika kalian kalah, nama kalian akan keluar dari sejarah. Akan tetapi, baik si kalah maupun si menang punya catatan sejarah sendiri. Loki, di awal film, jelas-jelas ingin membangun sejarahnya sendiri dengan theater sandiwara itu. Dalam film ini ada satu tokoh baru, pejuang cewek yang merupakan mantan Valkyrie – semacam militer Asgard, pasukan khusus cewek.  Dia adalah satu-satunya Valkyrie yang tersisa dan ia menyimpan tragedi  Valkyrie itu rapat-rapat, sebab pihak yang kalah tidak punya kendali atas sejarah.

 

Penceritaan Thor: Ragnarok tidak dibuat dengan terlalu rumit. Set up dan penyelesaiannya dirangkai sederhana, adegan pembuka film  masih nyambung dengan ending. Beberapa penonton mungkin bermasalah dengan tone ceritanya, narasi seperti terbagi menjadi dua; komedi dan eksposisi. Kita akan sering bolak-balik antara kedua bagian ini, dan sesekali menemukan aksi seru di antaranya. Sebagaimana layaknya komedi  ada punchline di setiap akhir poin cerita. Secara visual pun, film ini bermain-main. Banyak penggunaan angle yang tak-biasa dalam menangkap adegan. Efeknya bagus tapi itu sudah kita semua harapkan. Sekuens aksinya, however, terekam dengan sangat fun. Pacenya cepet dengan begitu banyak yang mata kita bisa nikmati per bingkainya. Lagu Immigrant Song tepat sekali menjadi musik tema, dan film ini tahu persis kapan dan di mana harus menggunakannya. Semua penilaian tersebut, semua aspek komedi sampai ke bagian terkecil bekerja dengan sangat baik, tentu saja mengacu kepada penyuntingan yang benar-benar jawara.

Yaaahh yoyo saktinya hancur

 

Salah satu yang sering menjadi hambatan buat film-film Marvel adalah kepentingan untuk merangkai dengan judul lain, bahwa terkadang film bisa menjadi seperti setup gede untuk film lain. Kita akan melihat banyak cameo yang enggak ada hubungannya ama cerita. Pada Thor: Ragnarok juga dijumpai aspek ini. Thor sempat berurusan dengan Doctor Strange, yang sebenarnya bisa dihilangkan atau diberikan peran yang lebih besar lagi. Narasi memainkan cameo sebagai bahan komedi, sehingga membuat kita bisa memaafkan bagian cerita yang kurang signifikan ini.

 

 

Superhero Marvel sedari awal memang diceritakan dengan light-hearted, dan Waititi enggak malu-malu untuk mengubah film ini menjadi komedi yang tentu saja ringan. Namun bukan berarti tidak serius. Para aktor kelihatan sangat menikmati permainan peran mereka, bahkan Waititi sendiri turut nampil sebagai Korg si alien batu yang memperkuat departemen komedi. Di sini para karakter dibuat self-aware, dibuat gak keren-keren amat, dan itu hanya akan membuat mereka menjadi lebih populer dan dekat kepada penonton. Kita mungkin bisa enggak peduli sama mekanisme dan mitologi Asgard yang jauh banget dari Bumi, akan tetapi apa yang mereka lakukan – apa yang mereka hadapi terasa dekat. Ini adalah sajian superhero paling lucu yang bahkan enggak perlu menjadi kasar untuk bisa mencapai kelucuan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 for THOR: RAGNAROK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

SPIDERMAN: HOMECOMING Review

“You don’t get what you deserve, you get what you earn.”

 

 

Gimana kalo Spiderman kudu ngejar penjahat ke daerah perumahan yang enggak ada gedung-gedung bertingkat? Gimana jika Spiderman terpaksa harus ngelayap melintasi tanah lapang? Di mana dia bisa nyantolin jaringnya untuk berayun, coba? Masa iya dia mesti lari – enggak keren amat. Dan kalo sudah berayun, gimana kalo tiba-tiba jaringnya putus? Pertanyaan-pertanyaan konyol tersebut benar-benar dialamatkan oleh reboot Spiderman terbaru atas nama Marvel Cinematic Universe ini. Mempersembahkan kepada kita perspektif yang sama sekali segar dari sang superhero laba-laba. Gimana ‘pabila Peter Parker yang masih sangat belia harus memilih antara nyelidikin transaksi senjata alien atau datang ke pesta demi pamer buat cewek yang ia taksir?

Arahan dari Jon Watts mengayunkan cerita keluar dari fokus penceritaan yang sudah-sudah. Sukur Alhamdulillah film ini paham mengenai karakter-karakter yang ia adaptasi. Sekaligus juga mengerti bahwa dirinya harus menjelma menjadi sesuatu yang berbeda. Bukan sekedar rehash dari apa yang sudah kita lihat sebelumnya. Ini adalah film Spiderman keenam sejak 2002, dan Homecoming ini adalah FILM SPIDERMAN TERBAIK YANG KITA LIHAT SETELAH TIGA-BELAS TAHUN, semenjak Spiderman 1 dan 2 garapan Sam Raimi. Kita toh tidak perlu lagi melihat versi lain dari cerita origin yang membahas gimana Peter Parker digigit oleh laba-laba radioaktif, ataupun soal Peter Parker yang dealt with kematian Paman Ben. Film kali ini adalah tentang cerita gimana Peter Parker menjalani hidup sebagai manusia laba-laba; Kita akan diperkenalkan kepada Peter Parker yang masih SMA, dia anak sekolahan biasa – lengkap dengan permasalahan abege. Dia harus ke sekolah tepat waktu, dia harus mikirin cewek mana yang diajak ke pesta dansa homecoming di sekolah, dia ikut lomba sekolah sembari bolak-balik mengamankan lingkungan. Singkat kata, film ini adalah tentang Peter Parker belajar menjadi pahlawan yang bertanggung jawab, dia bertumbuh dari Spiderboy menjadi Spiderman.

sepertinya karena belum akil baligh, makanya spider sense Peter belum tumbuh

 

Meskipun kebanyakan orang (terutama orang yang berambut merah dan bernama Ron Weasley) sangat takut sama laba-laba, tetapi dari sekian banyak pahlawan super di komik, Spiderman adalah tokoh yang paling gampang untuk direlasikan oleh para pembaca (dan tentu saja, penonton). Publik relates to Spiderman so much karena Spiderman adalah karakter yang sangat dekat. Dia bukan orang kaya, dia bukan makhluk asing. Dia seperti kita-kita, Peter Parker punya masalah yang sama dengan kita. Bedanya, dia juga adalah superhero; sesuatu yang kita semua impi-impikan sejak kecil.

 

 

Jika topeng superheronya kita buka, maka di lapisan terdasar kita akan melihat bahwa ini adalah cerita tentang KEHIDUPAN ANAK REMAJA. It’s very clear while watching it bahwa film ini mengambil inspirasi dari film-film anak SMA. Literally ada adegan ketika Spiderman berlari melintasi pekarangan rumah yang dikontraskan dengan klip film remaja klasik Ferris Bueller’s Day Off (1986) yang terlihat di televisi rumah temen Peter. Sebagian besar waktu kita akan ngikutin Peter dealing dengan masalah anak sekolah. Keren melihat Spiderman beraksi, does whatever a spider can, dan sesungguhnya adalah experience yang sama-sama menyenangkan untuk melihat tokoh ini dalam cahaya yang lebih grounded. Dalam, katakanlah, pergerakan yang lebih lambat. Ada banyak downtime dalam narasi, di mana alih-alih aksi pahlawan berkostum, kita melihat Peter berinteraksi sebagai anak normal. Dia naksir cewek, dia yang nerd dibully oleh teman sekelas, people don’t like him. Bahkan ia diacuhkan oleh mentornya sendiri. Spidey pengen dilibatkan; bayangkan punya jiwa muda on top of punya kekuatan dan gaul dengan Ironman, namun gak bisa bilang ke siapa-siapa. Itulah yang dirasakan oleh Peter. Dan film ini berani untuk mengambil banyak waktu untuk mengeksplorasi supaya kita bisa menumbuhkan apresiasi terhadap tokoh ini. Momen-momen Peter sebagai anak biasa inilah yang merupakan elemen penting, elemen yang menyeimbangkan tokohnya seperti pada komik.

Namun, memang aku bisa melihat anak-anak kecil akan cukup bosan menonton ini. Aku nonton ini bareng adekku yang baru 8 tahun, dan dia fokus ke layar hanya pada saat Spidey beraksi. Bisa dimaklumi karena anak kecil ingin liat Spiderman menjadi Spiderman. Penonton dewasa tentunya akan bisa mengapresiasi perjalanan karakter Peter Parker yang ditulis dengan mendalam. Sejatinya, penggemar komiknyalah yang akan sangat terpuaskan sebab kita akan melihat our friendly neighborhood Spiderman diportray sesuai dengan yang di komik, persis seperti kita mau. But also, ada beberapa perubahan yang dibuat kepada beberapa karakter penting, yang mana berpotensi untuk bikin fans garis keras yang hanya mau segalanya sempurna ngamuk-ngamuk ngomel di kolom komen internet. While adalah angin segar melihat Bibi May versi yang lebih muda, aku bisa mengerti kenapa ada yang protes soal tokoh The Shocker dan The Tinkerer yang dijadikan lebih sebagai sidekick penjahat utama. Aku gak mau spoiler, tapi menurutku tokoh MJ di sini adalah cewek yang keren, walaupun film ini mengangkat sisi awkward antara Peter dan MJ dari angle yang berbeda.

Kalo ada yang benar-benar jadi keren, maka itu adalah The Vulture. Marvel Cinematic Universe selalu kepayahan dalam menghadirkan tokoh penjahat yang meyakinkan, dan akhirnya dahaga kita terhadap villain yang bisa kita peduliin terpuaskan sudah. Michael Keaton did a really great job menghidupkan tokoh ini, mungkin karena dia udah terbiasa mainin peran manusia bersayap hhihi. The Vulture punya kedalaman karakter, perkembangan tokoh ini mengejutkanku, karena ternyata dia diberikan hubungan personal dengan Spiderman, yang mana membuat adegan mereka ngobrol di mobil menjadi adegan yang hebat. Bahkan jauh sebelum adegan tersebut terjadi, kita sudah diberikan alasan untuk mengerti motivasi The Vulture, untuk memahami cara pikirnya. Part paling menarik dari tokoh ini tentu saja adalah gimana penamaannya sangat pas dengan apa yang ia kerjakan; The Vulture basically ngumpulin dan mencuri benda-benda rongsokan bekas alien dan para Avengers untuk ia gunakan memperkuat diri, persis kayak apa yang dilakukan oleh burung hering beneran sebagai burung pemakan bangkai.

Aku juga paham kenapa banyak yang mempermasalahkan soal spider sense yang ada-tapi-tiada dalam cerita. Sepintas dalam percakapan disebutin Spiderman di sini memiliki kemampuan tersebut, akan tetapi tidak pernah ada adegan yang menunjukkan demikian. Terlalu banyak adegan Spidey disergap dari belakang oleh The Vulture, Spidey bahkan enggak tahu temennya ada di kamar ketika dia menyelinap masuk. Lalu of course, adegan Spiderman ngendarai mobil yang punya sistem deteksi rem. Belum lagi kostumnya yang dilengkapi komputer kayak kostum Iron Man. Dan dia punya teman yang nunjukin arah. I mean, buat apa teknologi itu kalo Spidey punya alarm natural? Semuanya memang terasa ‘mengurangi’ kemampuan Spiderman, but yeah, ini integral dengan apa yang mau disampaikan; bahwa Peter Parker adalah remaja, dia belum pernah ngendarain mobil, dia masih perlu banyak bantuan,  baik sebagai pahlawan super maupun sebagai seorang manusia.

Tema terpenting film ini adalah apa yang membuat seorang menjadi kuat. Apakah Peter Parker butuh kostum untuk menjadi Spiderman, bisakah dia menjadi Spiderman tanpa kostum? Stark menyebutkan jika tidak bisa apa-apa tanpa kostum, maka itu berarti Peter tidak pernah pantas untuk mengenakannya. Ini kayak kita pengen punya blog, tetapi kita enggak bisa nulis. Kita harus mengasah kemampuan dulu untuk layak menyandang, apalagi memanfaatkan fasilitas. Ibaratnya bersusah dahulu, bersenang kemudian.

 

 

Dan ngomong-ngomong, blogger itu bukan wartawan beneran.

 

Kepolosan dan naifnya Peter Parker  ditangkap sempurna oleh Tom Holland, aktor ini sukses berat menjadi both Spidey yang amazing dan Peter yang everyday kid dengan segudang masalah. Tokoh ini superkocak dan amat likeable. Hubungannya dengan Tony Stark juga menarik. Susah untuk tidak terhibur melihat Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark. Namun, memang kadang perannya di sini acap terasa seperti device yang memudahkan saja. Actually, salah satu masalahku buat film ini adalah porsi aksinya yang enggak pernah benar-benar terlihat susah untuk si Spiderman. Tidak intens seperti apa yang diperlihatkan oleh Sam Raimi; tidak ada momen seperti Spidey babak belur dan Green Goblin ngancem bakal ngebunuh Mary Jane, tidak ada urgensi aksi seperti Spidey dengan topeng terbuka menahan kereta yang nyaris mengoyak tubuhnya menjadi dua. Action pada film kali ini menyenangkan dan light-hearted, enggak brutal dan intens. Cerita menuntut supaya Spidey kerap dibantu agar nanti bisa belajar sendiri pada sekuen resolusi.

 

 

 

Marvel bisa membuat film solo yang berdiri sendiri yang baik seperti Winter Soldier (2014), ataupun sebuah extravaganza universe seperti Civil War (2016). Dan film ini terletak di antara keduanya. Pada lapisan drama, sesungguhnya film ini kokoh untuk berdiri sendiri – dia berbeda dari penceritaan Spiderman yang lain. Namun, lebih sering ketimbang tidak kita ngerasa, “oh itu anu dari film ono!” Ada kepentingan yang berkurang karena it feels kayak kita nonton serangkain event yang digunakan untuk ngesetup film Spiderman dan MCU berikutnya. Poin bagusnya adalah ini adalah cerita set up yang sangat menarik, teramat menghibur, seru, dan cenderung ringan. Tokoh-tokohnya dimainkan dengan luar biasa, dengan interpretasi yang bisa bikin fans girang. Namun juga ada beberapa perubahan, terutama pada casting dan karakterisasi, yang dapat memancing fans untuk protes. However, tidak banyak korban jatuh dalam film ini. It could use some intensity dan actual stakes sebenarnya bisa lebih diamplify lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPIDERMAN: HOMECOMING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

 

GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2 Review

“Sometimes the family we make for ourselves is more important than the family we are given through blood.”

 

 

“Hey Marvel, mari kita bersenang-senang. Berikan kepadaku karakter-karakter bercela yang kalian punya, kuterbangkan mereka seantero jagat raya, kupasangkan walkman, kuputarkan hits dari tahun delapan puluhan, dan kubiarkan mereka menari sambil beraksi seasik-asiknya!” Begitu kiranya yang dicetuskan sutradara James Gunn ketika dia menangani film Guardians of the Galaxy (2014). Jadilah kita dapet superhero unik yang menggabungkan aksi amat seru, musik supernendang, dengan hubungan antarkarakter yang kocak abis. Dan di film yang kedua ini, right at the start, kita langsung diterjunkan ke dalam sekuen aksi yang cantik dan luar biasa, yang juga memberikan kita gambaran akan seperti apa tone film ini.

Kita bisa lihat lelucon dan gaya dari film yang pertama tetap dibawa ke film terbaru ini. Star-Lord, Rocket, Drax, Gamora, dan Baby Groot (gemessshh!!) sekarang sudah berteman makin erat. Kita turut ngerasa kian akrab sama mereka. Mengemban nama Penjaga Galaksi, kumpulan orang keren ini menerima pesenan ngelakukan tugas di ruang angkasa. As of right now, mereka sedang dalam misi mengalahkan sesosok monster besar. Dan alih-alih nyorot aksi pertempuran tersebut secara langsung, kita dikasih fokus ke kegiatan Baby Groot yang mencoba dengerin musik di antara desingan peluru cahaya dan tentakel si monster. Pertempuran seru berlangsung di latar, dan terkadang Gamora ataupun tokoh lain terlempar ke arah Groot, dan mereka nyempetin diri untuk menyapa. Lucu, manis, dan tetap menegangkan. Sebenarnya apa sih yang bisa kita pelajari dari adegan tersebut? Apa yang ingin dibicarakan oleh film ini?

Sekali lagi, kevulnerablean muncul ke permukaan. Para tokoh menurunkan sedikit ‘pertahanan’ mereka untuk berinteraksi dengan Groot, dan aka nada banyak momen lagi di sepanjang film saat seorang karakter menunjukkan kualitas terburuk mereka. Berbahaya, memang. Tapi not so much, jika kita menunjukkannya kepada keluarga. Film ini ingin memperlihatkan bahwa keluarga adalah tempat kita bisa mengeluarkan sisi terjelek sama amannya dengan kita mengeluarkan sisi terbaik. We can show both of sides of ourselves kepada keluarga karena keluarga akan memaafkan dan kita pun siap untuk memaafkan anggota yang lain. Bahwa cinta keluarga adalah tak-bersyarat.

 

Ada peraturan tak-tertulis yang dipatuhi oleh beberapa film dalam menggarap sekuel. Film kedua kebanyakan akan berpusat di masa lalu yang balik menghantui tokoh utama. Di balik semua lelucon, Guardians of the Galaxy Vol.2 adalah TENTANG KELUARGA. Star Lord akan dihadapkan kepada garis keluarganya. Dia akan bertemu dengan ayahnya yang sudah lama menghilang. Bersamanya, kita akan belajar tentang siapa sih ayah si Peter Quill, apa yang membuat orang ini menjadi begitu spesial dan berbeda. Bukan hanya Star Lord, film ini pun mengeksplorasi sisi keluarga dari tokoh-tokoh lain. Both heroes and some of the villain characters. Yang kemudian akan menghantarkan kita untuk belajar mengenai asal muasal mereka, membuat kita bersimpati atas trauma masa lalu yang menimpa, dan ultimately membuat setiap karakter dalam film ini memiliki bobot yang sangat kuat.

Mari berharap di misi selanjutnya Star Lord cs ketemu ama geng Cowboy Bebop

 

Ketika mendengar sebuah film akan dibuat sekuelnya, biasanya kita langsung mengharapkan yang tinggi-tinggi. Kita pengen film baru itu akan dua kali lebih seru, aksinya dua kali lipat lebih menegangkan, emosinya dua kali lipat bikin baper, dan hey, ledakan yang du…em, lima kali lebih banyak! The thing is; sekuel enggak selalu harus lebih besar. Karena yang lebih besar belum tentu lebih baik. Beberapa film hebat menggarap sekuel dengan jalur yang berbeda dari film originalnya. Ambil contoh franchise Alien (1979); film pertamanya lebih kepada thriller sci-fi yang sangat efektif. Ketika membuat sekuelnya, James Cameron enggak mau menapaki langkah yang persis sama dengan Ridley Scott, maka ia mengarahkan Aliens (1986) menjadi lebih ke elemen action. Dalam kasus Guardians Vol 2, jelas James Gunn paham akan hal ini. Dia bisa saja membuat film ini punya ground yang sama dengan yang pertama, dengan mengedepankan banyak aksi exciting dan tokoh-tokohnya berkelakar setiap saat. Tapi enggak. James Gunn membuat Volume 2 sebagai less of a bigger action film, dia membuatnya GEDE DI BAGIAN KARAKTERISASI.

Kekuatan dan daya tarik film ini tidak lagi ada pada sekuen aksi. Meskipun tentu saja film ini punya banget beberapa aksi yang bakal bikin kita bersorak. Apa yang dilalui oleh tokoh-tokoh dalam film ini akan membuat mereka sedikit kurang cool, dibandingkan pada film yang pertama, namun hal-hal yang mereka lalui akan menjelaskan banyak karakter yang mereka punya. Kenapa Rocket merasa perlu untuk mencuri, apa yang sebenarnya ia berusaha untuk buktikan, misalnya. Kita akan belajar lebih banyak tentang masing-masing tokoh, sehingga membuat mereka jadi punya bobot – jadi punya alasan untuk kita cheer dan punya alasan untuk berada di dalam cerita, lebih dari sekedar orang kocak, ataupun rakun imut yang sangat badass. James Gunn menekankan kepada detil traumatis masa lalu yang mereka hadapi yang membuat mereka pribadi yang kita kenal sekarang. Setiap tokoh terflesh out dengan sangat emosional. Terutama Nebula dan Yondu.

Dibesarkan oleh Thanos pasti bukanlah pengalaman masa kecil yang menyenangkan. Dalam film pertama kita belum benar-benar tahu alasannya kenapa. Kita belum mengerti apa yang membuat Nebula sangat jahat, tidak seperti kakaknya yang lebih bisa diajak kompromi. Dalam Volume 2 ini, kita akan mengetahui alasannya, dan ternyata alasan tersebut sangat heartbreaking dan luarbiasa tragis, khususnya untuk Nebula. Saat kit mikirin tentang masalalunya ini, kita jadi merasa terattach kepadanya. Penampilan Karen Gillan mungkin agak sedikit over, namun kita jadi melihat Nebula sebagai makhluk yang sangat manusiawi – walaupun dia bukan manusia. Michael Rooker sebagai Yondu juga sukses mencuri setiap adegan yang ia mainkan. Tokohnya di sini lebih baik dibanding film pertama, dan bahkan aku sudah suka sejak film originalnya itu. Senjatanya keren banget, kayak Shinso di anime Bleach. Dalam film kedua ini, berkat penulisan yang hebat, kita belajar banyak sehingga membuat kita sangat peduli padanya. Yondu punya penokohan yang paralel dengan Rocket, dan the later character benar-benar diuntungkan dari Groot yang sekarang menjadi bayi. While Groot bener-bener kayak bayi, dia tak pelak bikin kita bilang “aaaaaawwwhh” setiap kali muncul di layar, di sini dia kinda dumb. Jadi persahabatannya dengan Rocket enggak dieksplor banyak, instead kita dapat eksplorasi tokoh Rocket yang membuat dia juga terasa lebih manusiawi.

Semua aktor bermain dengan fantastis. Di antara para tokoh yang paling sedikit kebagian dieksplor adalah Drax. But oh boy, James Gunn menulis tokoh ini dengan meniatkannya menjadi tokoh humor. Drax adalah yang paling kocak dan Batista bener-bener deliver komedi dengan baik. Celetukan dan lelucon terbaik datang dari tokoh ini, dari cara pandangnya terhadap sesuatu yang amat sangat tak-biasa.

Aku ngakak berat di bagian Mary Poppins xD

 

Satu jam pertama film memang terasa riweuh. Ada banyak pergantian kejadian yang membuat emosi kita kayak diombang-ambing ombak, flownya sedikit kurang mulus. Aku pikir ini banyak sangkut pautnya dengan salah satu pihak antagonis; itu loh, orang-orang emas yang mengejar Guardians pake pesawat dengan teknologi kayak game arcade. Mereka muncul sewaktu-waktu dan memberikan tantangan kecil-kecilan untuk tokoh pahlawan kita. Buatku, Ratu Ayesha dan pengikutnya ini lumayan useless, kita enggak benar-benar butuh mereka. Tapi aku paham film butuh tipe penjahat ‘bego’ kayak gini sebagai distraction sebelum pertempuran yang sebenarnya dimulai.

Kadang kita bertengkar dengan mereka. Kadang kita saling enggak tahan kepada masing-masing, tapi pada akhirnya kita tetap berdiri bersama. Itulah keluarga. Tidak selalu harus ada hubungan darah. Keluarga adalah orang-orang yang saling berbagi dengan kita, yang kita saling menumbuhkan kekuatan, yang kita nyaman menjadi diri sendiri saat bersama mereka. Bahkan Dewa, menurut film ini, berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menanggulangi rasa kesepian – berusaha untuk konek dengan seseorang, mencari seseorang untuk berbagi.

 

Karena karakter-karakternya telah disetup dengan teramat baik, menjelang menit-menit akhir, film ini sukses membungkusku dengan emotional weight. Momen indah hadir susul menyusul. Tapi aku harus bilang, visual film juga memegang peranan penting. Sebab untuk beberapa bagian, film ini terdengar agak cerewet. Maksudku, momen-momen emosional itu, kita sudah benar-benar ngerasain apa yang diniatkan – emosinya sudah terdeliver. Hanya saja, momen tersebut kinda lecet karena dialog dari tokoh yang overstating apa yang kita rasakan. Mestinya enggak semuanya perlu diucapkan. Efek yang lebih kuat bisa dirasakan jika tidak dikatakan. Masalah yang mirip juga aku temukan pada tokoh Ego yang diperankan oleh Kurt Russel. Ayah Quill ini charming banget, sayang perannya kerap berkurang menjadi sebatas penyampai eksposisi. Karakter ini mestinya bisa ditulis lebih baik lagi.

 

 

 

 

Tidak lantas menjadi lebih bagus, lebih exciting, lebih gede dari film pertamanya, petualangan para superhero luar angkasa kali ini memang difokuskan kepada karakterisasi. Porsi aksi keren dengan visual stunningnya mesti ngalah buat pengembangan relationship antarkarakter; yang diolah dengan fantastis dan benar-benar efektif sehingga kita merasa lebih peduli kepada mereka. Setiap tokoh yang punya bobot lebih banyak. Dan ini membuat kita menantikan petualangan-petualangan mereka selanjutnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? I am Groot. Eh sori, maksudnya… We be the judge.