• Home
  • About
  • Movies
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
    • SOUND OF METAL Review
    • MANK Review
    • HAPPIEST SEASON Review
    • THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review
    • BLACK BEAR Review
    • FREAKY Review
    • TENET Review
    • THE CALL Review
    • HILLBILLY ELEGY Review
    • THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review
    • RUN Review
    • DREAMLAND Review
    • ROH Review
    • THE NEW MUTANTS Review
    • HIS HOUSE Review
  • Wrestling
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
    • TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: mature

PROMISING YOUNG WOMAN Review

10 Sunday Jan 2021

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, 2021, comedy, crime, dark, drama, friendship, funny, life, love, mature, review, spoiler, thought, thriller

“Ibarat kucing disodorin ikan asin..”

 

 

 

Guru Agama di sekolahku dulu pernah ngajarin; cowok itu ibarat duren, sedangkan cewek itu pepaya. Kalo ada kecelakaan atau apapun yang menyebabkan dua buah itu beradu, maka yang rusak adalah pepaya. Ini nunjukin bahwa gimana pun juga, cewek adalah pihak yang akan paling dirugikan. Cewek yang harus mengendure semua perubahan menyakitkan, baik itu pada tubuh maupun mentalnya. Sehingga, kata Guru Agamaku itu, kita semua harus saling menjaga – diri maupun sesama. Jadi pepaya harus bisa menjaga diri dari duren, DAN durenpun kudu mawas diri untuk enggak gasrak gusruk menubruk pepaya-pepaya.

Aku jelas lebih suka analogi tersebut daripada analogi satu lagi yang mengibaratkan cowok dan cewek dengan kucing dan ikan asin. Karena analogi tersebut memberi kesan memaklumkan sikap kucing yang punya nafsu sama ikan asin. Kalo ada ikan asin yang termakan, berarti bukan salah kucingnya. Namun sialnya, analogi ini yang malah berkembang di masyarakat. Di luar sana, karena pada gak tau ikan asin, mereka simply menyebutnya ‘boys will be boys’. Jadilah kebiasaan menyalahkan korban sebagai sebuah kultur. Korban kekerasan seksual ‘males’ ngaku karena nanti mereka sendiri yang bakal balik ditanya duluan. Dicurigai mancing duluan, atau malah dicurigai berbohong. Udah jatuh, tertimpa tangga pula! Sedangkan bagi para cowok yang memang terbukti bersalah, ‘paling cuma’ dipenjarakan. Untuk membuktikannya bersalah itu yang luar biasa tak adil. Kultur gak sehat inilah yang ditilik – dengan komedi yang cukup gelap – oleh Emerald Fennell dalam debut film-panjangnya, Promising Young Woman.

Dalam film ini kita akan mengikuti Cassandra, atau disapa Cassie (she could very well be Carey Mulligan’s best performance to date) yang dengan sengaja menjadi ‘ikan asin’, padahal dia justru adalah seekor piranha! Ya, Cassie setiap malam keluar untuk berburu ‘kucing-kucing’. Modus operandi Cassie adalah dia akan berpura-pura mabok di bar, sampai seorang laki-laki yang mengaku cowok baek-baek datang dan membawanya pulang. Di ‘tempat aman’ itulah Cassie akan mengejutkan si cowok. Supaya mereka semua kapok. Cassie ingin menghukum mereka dengan caranya sendiri, karena sistem hukum dan sosial menolak memberi ganjaran kepada cowok. Cassie sudah melakukan perbuatan demikian lama sekali, sebagai bentuk perlawanannya terhadap trauma atas kehilangan sahabat ceweknya. Dan semakin ke sini, ‘perburuan’ yang dilakukan Cassie semakin kelam. Sampai akhirnya dia bertemu dengan cowok yang adalah teman lamanya di sekolah. Cassie sudah seperti menemukan jalan kembali untuk melanjutkan hidup dengan normal, tapi pertemuan tersebut juga membuka selembar rahasia gelap lagi. Yang membuat Cassie percaya tindakan yang benar-benar ekstrim harus segera ia lakukan.

Kucing disodorin ikan… piranha!!

 

Cassie di film ini sungguh karakter unik, yang punya tingkat kesulitan tinggi dalam eksplorasi emosinya. Karena, kalo ada satu kata yang menggambarkan emosi karakter ini, maka itu adalah ironi. Di titik kita berjumpa dengannya, Cassie telah berada pada titik yang benar-benar udah kehilangan simpati ama bukan hanya pria-pria, tapi juga pada perempuan. Yang betah hidup langgeng di dalam sistem yang menyalahkan korban. Cassie kita lihat sebagai pribadi yang cuek dan sinis. Dia gak ingat tanggal ultahnya sendiri, dia gak niat nyari pacar, dan gak sedetikpun dia menyesali berhenti dari kuliah kedokteran dan malah memilih kerja di kafe. Namun di balik itu, Cassie punya luka besar yang menganga. ‘Kecuekan’nya tadi bersumber dari luka tersebut. Cassie begitu tertohok oleh ketidakadilan yang terjadi pada sahabatnya, yang jadi korban kekerasan seksual. Kita gak tahu perjuangan Cassie menuntut keadilan bagi sahabatnya tersebut. Tapi dari sikapnya yang sekarang, kita tahu Cassie sudah menghadapi ribuan ‘boys will be boys’. Dia telah melalui begitu banyak derita dan trauma hanya untuk menuntut cowok pelaku ditindak adil. Ini adalah beban yang sangat berat ditanggung oleh seseorang. Dan beban tersebut dapat kita rasakan merayap, menguar, di balik sikap cuek dan dark Cassie yang sekarang. Emosi dan permainan peran yang sungguh tidak gampang. And Carey Mulligan nails this so perfectly. Di tangan aktor sembarangan, peran Cassie ini gak akan kena.

Selain karakternya, rentang di film ini juga kita jumpai pada visual dan tone secara keseluruhan. Film ditampilkan dalam warna-warna cerah. Kelihatannya persis kayak film komedi romantis. Isu-isu yang menantang lantas dilontarkan dengan lantang oleh Cassie, sehingga kini bukan hanya warna saja yang terasa mencuat keluar dari layar. Film ini begitu mengonfrontasi di balik keceriaan dan kemeriahan visualnya. Film juga enggak ragu untuk membentrokkan tone. Kita akan dibuat ikut menari bersama para karakternya — to a Paris Hilton song! Bayangkan!! Dan momen berikutnya kita akan dibuat merasakan karakternya menghadapi suatu kenyataan yang mengerikan. Arahan film ini berani seperti demikian, seberani Cassie itu sendiri. Film ini memang pantas menuai banyak apresiasi dari visinya ini.

Namun, dari segi materi atau penulisan secara keseluruhan, I gotta be honest; film ini masih terasa sepihak. Penggaliannya masih agenda-ish. Pemilihan endingnya sendiri akan membagi-dua penonton. Dan aku masuk golongan yang menganggap ending film ini sangat buruk. Kalo film ini aku tonton tepat waktu di 2020, maka aku pastilah akan bikin daftar ‘Worst Ending of the Year’, dan film ini akan jadi juaranya.

Analogi kucing dan ikan asin tadi; justru film ini sendiri yang dengan semangatnya melabelkan laki-laki sama dengan kucing. Karakter-karakter cowok di cerita ini semuanya digambarkan punya nafsu bejat. Modus operandi film adalah menampilkan mereka kelihatan seperti orang baik – dan si karakter sendiripun berulang kali menegaskan mereka adalah orang baik – dan pada akhirnya, setelah gak kuat iman melihat kesempatan berwujud Cassie, mereka akan ‘memperlihatkan’ perangai asli mereka. Cowok dalam film ini akan disuruh untuk mengakui mereka enggak sebaik yang mereka bilang ke orang-orang. Bahwa sebenarnya mereka semua ya memang kucing. Yang punya niat jahat, tapi nanti akan terlalu pengecut untuk mengakui telah salah atau gelap mata. Terlalu pengecut dan berlindung di balik ‘kucing disodorin ikan asin, ya makan-lah’. Bahkan love interest Cassie juga ditulis dengan karakter seperti begini. Si Cassie sendiri was having a hard time untuk percaya cowok yang ia taksir tersebut sudah berubah dari hati yang paling dalam. It’s actually really hard untuk melihat apa sebenarnya yang dikejar film ini. Apakah ingin menunjukkan kepada kita Cassie itu salah; karena selama ini Cassie membuang hidupnya dan tenggelam dalam dendam sehingga gak bisa melihat orang lain dalam cahaya yang baik. Atau simply karena memang film ingin nunjukin semua cowok itu, ya, kucing garong.

Kalo ini film Indonesia, pasti yang diorkestrain bukan lagu Toxic, melainkan: “Kumenangiiiiissss…”

 

 

Yea, aku tahu realitanya memang pada sebagian besar kasus, cowoklah yang brengsek. Yang terlalu lemah untuk menahan diri dan bertanggungjawab, dan malah balik nyalahin. Tapi dari standpoint materi atau penulisan, film ini tuh bener-bener butuh untuk membuat semua cowok begitu supaya arc Cassie bisa bekerja. Sehingga film ini jadi banal. Ia meninggalkan kepentingan untuk menggali dari dua sisi, atau untuk memanusiakan kedua sisi.

Kita bisa mengerti dari endingnya. Dirancang untuk nunjukin bahwa cowok gak bisa dihukum karena perbuatan yang ia perbuat masa lalunya itu; cowok-cowok lolos dari sistem yang broken. Jadi, tindakan yang diberikan kepada karakter Cassie adalah Cassie harus membuat si pelaku bersalah atas perbuatan lain. Perbuatan itu pun haruslah yang genuinely melekat di diri cowok. Supaya si pelaku bisa dipastikan dihukum kali ini. Maka dari itulah, film ini membuat karakter cowok tanpa ada sisi baik. Dan juga supaya kita melihat tindakan Cassie di akhir itu sebagai pengorbanan terakhirnya. Cassie sudah membuang hidupnya selama ini tidak jadi ikut kita ‘salahkan’ hidupnya karena di akhir itu, dia membuat hidup yang sudah ia buang selama ini jadi berguna. Dengan akhirnya berhasil menjebloskan si pelaku ke penjara.

Kucing disodorin ikan asin pasti mau. Boys will be boys. Jangan buang hidupmu untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Boys will be boys. Cepat atau lambat, toh kesalahan yang sama akan berulang. Tangkap mereka saat itu. Tangkap dan pastikan mereka tak bisa lolos lagi. Begitulah, kurang lebih yang ingin disarankan oleh film ini.

 

 

Akan tetapi, tetap saja, dari cara film ini memperlihatkan adegan-adegannya, Cassie terasa seperti menjebak si cowok. Membuat si cowok kepepet. Seperti kesalahannya itu dicari-cari. Cassie tidak diperlihatkan apakah dia peduli jikalau si pelaku beneran udah insaf atau enggak. Dan yang paling menggelikan dari film ini adalah; Supaya dunia dan orang-orang yang ditinggalkan Cassie sadar akan kesalahan sistem yang mereka anut, supaya mereka sedih, dan Cassie mencuat triumphantly, film ini membuat ending yang konyol dengan elemen ‘pesan dari kubur’! Ha! Cassie bisa menebak kejadian bakal seperti apa, seseorang akan berada di mana, timing kejadian di ending itu begitu tepat ditebak dari jauh hari oleh Cassie. Ini over-the-top sekali. Sudah jauh dari kesan real yang menguar kuat di balik cerita di menit-menit sebelum bagian akhir film ini.

Sesungguhnya cerita Promising Young Woman ini punya kembaran serupa-tapi-tak sama, yakni film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017) Kalian pasti masih ingat, karena film itu diunnggulkan untuk Oscar. Film tersebut ceritanya tentang seorang ibu yang menghabiskan umurnya mengejar polisi, menuntut kasus perkosaan yang menyebabkan kematian putrinya diusut tuntas, dan pelakunya dicari – dijebloskan ke penjara. Saat nge-review film itu, aku nulis kayaknya aku bakal lebih suka kalo film tersebut memperlihatkan hasil akhir perjuangan si ibu – kalo nasib pelakunya dituntaskan. Namun, setelah menonton film Promising Young Woman ini, baru terasa bagiku. Baru terasa betapa jauh lebih powerful cerita Three Billboards tersebut dengan membuat protagonisnya mencari kedamaian bagi diri sendiri. Lebih terasa real sehingga lebih emosional dan important.

 

 

 

Sebagai film thriller, ini adalah debut yang cukup menjanjikan dari Emerald Fennel. Menunjukkan ia mampu bermain dengan tone dan karakter untuk menyampaikan sebuah gagasan dan mewujudkan visi yang penting. Tapi tentu saja memuat gagasan yang penting, tak lantas membuat film otomatis bagus. Semua itu bergantung kepada tulang punggung, yakni naskah. Materi film ini masih berupa satu pandangan, sehingga terpaksa dipilih ending yang kurang logis dan maksa secara over-the-top. Ending film ini, jika dilihat dari genrenya, masih mungkin untuk disukai sebagian penonton. Hanya, buatku, endingnya justru break this entire film apart. Mengurangi kepentingannya begitu drastis. Terlebih karena memang film ini punya pembanding yang jauh lebih real dan powerful.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PROMISING YOUNG WOMAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Supaya pria pelaku kejahatan seksual bisa jera dan benar-benar adil bagi perempuan, Indonesia baru-baru ini mengumumkan soal hukum kebiri. Bagaimana pendapat kalian mengenai hukuman tersebut?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review

08 Friday Jan 2021

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2020, drama, funny, life, mature, Music, netflix, real-person, review, spoiler, thought

“You have to be determined to change the world … Even though nothing changes.”

 

 

 

Semua orang bekerja keras supaya jadi sukses. Semua orang ingin sukses, well, demi alasan yang beragam. Mulai dari tujuan yang noble seperti membahagiakan keluarga. Hingga yang sedikit lebih personal. Ada yang bekerja keras menjadi sukses supaya tidak perlu lagi memperkenalkan dirinya. Ada pula yang bekerja keras menggapai sukses supaya bisa mengubah dunia. Levee, karakter dalam film Ma Rainey’s Black Bottom yang diadaptasi dari teater, ingin sukses supaya bisa seperti Ma Rainey si penyanyi blues tersohor itu. Supaya produser musik kulit putih tunduk dan mendengarkan apa maunya. Karena Levee punya pandangan baru mengenai musik blues, that he knows better, dan dia ingin menaikkan derajatnya demi keluarga. Ya, Levee pengen sukses untuk ketiga tujuan tadi. Maka dari itu, cerita film ini akan berakhir mencekat bagi dirinya.

Keseluruhan cerita Ma Rainey’s Black Bottom berlangsung dalam kurun satu hari, dan practically sebagian besar berlokasi di satu tempat yang sama. Jadi ceritanya memang akan sangat contained. Cerita ini berlangsung di gedung rekaman musik. Ma Rainey yang terkenal itu akan ngerekam album, tapi dia belum datang. Sehingga kita dibawa ke basement, berkenalan dengan empat anggota band pemusiknya. Salah satunya adalah Levee, si peniup terompet. Pemusik muda berbakat, yang punya visi dan ambisi besar. Levee ingin menulis musik sendiri. Dia bahkan sudah menyiapkan satu untuk dipitch kepada produser rekaman ini. Ada sedikit ketidakcocokan antara Levee dengan Ma, mainly karena Levee sedikit mengubah aransemen lagu Ma, dan dia percaya gubahannya ini bakal lebih laku. Yang terang saja ditolak oleh Ma. Ketidaksamaan mereka berujung pada ‘rusuhnya’ proses rekaman.

Jika Levee bersedia melakukan apapun untuk mengorbitkan dirinya sendiri – termasuk enggak koperatif dengan band, maka Ma juga tidak kalah sukarnya untuk diajak bekerja sama, at least bagi produser rekaman. Namun begitu, ada begitu banyak yang bisa kita simak di balik gambaran kedua karakter ini. Lewat kisah Levee dan Ma Rainey yang lagi rekaman musik di Chicago 1920an ini, film secara khusus menyoal masalah rasisme yang masih terus bergulir, dan secara umum juga membahas dinamika keahlian yang dimiliki oleh seseorang dengan kuasa yang menyertainya.

Kayaknya Ma Rainey ini-lah yang mempelopori musisi harus banyak maunya kalo disuruh nyanyi

 

 

Karena film ini tadinya adalah naskah teater, maka memang akan banyak sekali dialog yang akan kita dengar. Tapi jangan khawatir, tak akan sedetik pun dari film ini yang bikin kita mengucek mata yang berair karena kebanyakan menguap. Sebab craft film ini dalam menghidupkan dialog-dialog, yang ditulis dengan cerdas dan menantang, adalah tingkat juara.

Pertama tentu saja soal permainan aktingnya. Semuanya bagus banget. Yang bikin was-was itu adalah karakter Ma Rainey, karena biasanya karakter yang berasal dari tokoh asli kayak gini ekstra sulit karena tuntutan perbandingan dengan versi aslinya. Karakter kayak gini punya kadar seimbang yang harus dicapai sehingga hasilnya tidak tampak seperti parodi, melainkan berhasil menghidupkan dengan respek. Viola Davis berhasil untuk membuat Ma versi dirinya tak tampak sebagai parodi ataupun tak tampak hanya sekadar bermain ‘pura-pura’. Meskipun permintaan Ma dalam film ini terdengar komikal, tapi lewat ekspresi Davis kita merasakan urgensi. Kita merasakan weight dan tensi yang real, bahwa karakter ini gak main-main ketika dia minta kola dingin sebelum rekaman (dan tak akan mulai rekaman sebelum ada kola). Kita juga dapat merasakan karisma sosok Ma Rainey tersebut. Secara desain naskah, karakter Ma ini dimaksudkan sebagai ‘antagonis’ dari Levee, tapi film ini tidak berniat untuk membuat semua hitam-putih. Sehingga tantangannya adalah membuat penonton melihat sesuatu di balik cara pandang Levee terhadap Ma. Dan film ini berhasil. Permainan akting para aktor sangat membantu mencapai dinamika yang diinginkan.

Menurut IMDB, ini adalah film terakhir Chadwick Boseman. Istilahnya, ‘swan song’ buat Boseman. Dan mengetahui hal tersebut, membuat film ini terasa semakin mencekat saja. Boseman main film ini sambil berjuang dalam pengobatan kanker, yang ultimately merenggut nyawanya. Aku tau aktor profesional selalu memberikan kerja maksimal dalam setiap pekerjaan mereka, tapi melihat aktingnya yang begitu intens – khususnya di satu adegan monolog mempertanyakan Tuhan – dalam film ini, I wonder apakah Boseman ‘tahu’. Karena emosi yang ia tunjukkan tampak amat, sangat real. Amarah dan terlukanya karakter Levee ini menguar kuat di balik sikapnya yang tampak konfiden akan perubahan besar yang bakal ia bawa melalui bakat musiknya. Sama seperti Ma tadi, walaupun tokoh ini didesain sebagai protagonis, tapi lewat akting yang benar-benar tepat memaknai naskah, Levee juga seringkali membuat kita khawatir, atau kita tidak merasa setuju dengannya. Range karakter ini juga luar biasa. Di awal kita akan melihat dia dengan senyum dikulum “aku tahu kapan harus tersenyum, aku bisa tersenyum kepada siapapun yang ku mau” dengan ambisi terasa kuat di balik sifat optimis, dan di akhir saat dia tampak menyangkal dan meluap, kita bisa merasakan penyesalan dan pembelajaran merebak di hatinya. Boseman berpindah dari arahan yang menyuruhnya untuk subtil ke meledak, dengan sangat precise. Tanpa terbata melainkan sangat meyakinkan. Tak pelak, perfilman benar-benar telah kehilangan aktor sehebat Chadwick Boseman.

Kalo kata Mr Sneecbly “You’re gonna be a footnote on my epic ass!”

 

 

Kedua, ya tentu saja tulang punggung film ini. Naskah. Penulisannya keren banget. Walaupun isinya orang-orang ngobrol – mau berdebat atau bercerita – tapi tidak monoton. Ada eskalasi yang terasa. Percakapan mereka pun sangat imajinatif. Misalnya ketika berbincang soal analogi ras kulit hitam dengan makanan. Benar-benar fantastis untuk disimak. Pun terasa kepentingannya sebagai menyuarakan struggle ras yang seperti tak akan ada habisnya.

Komentar tentang perjuangan ras memang jadi pilar utama film ini. Film ingin kita ikut duduk mengobrolkan soal bagaimana cara terbaik melakukan perjuangan tersebut. Levee dan Ma adalah ‘studi kasus’ yang mewakili dua bentuk perjuangan. Memahami perbedaan sikap kedua karakter tersebut akan membuat kita mengerti dengan gagasan yang ‘ditandingkan’ oleh film ini. Ma Rainey, yang dijuluki Mother of Blues. Dia reluctant menggunakan julukan tersebut. Karena musik blues, katanya, sudah ada dari dulu. Dan bahwa orang harusnya tahu dulu sejarah, jangan tau memainkan musiknya saja. Pernyataan dan sikap Ma inilah yang jadi kunci – yang paling membedakan Ma dengan Levee. Yang membuat Levee tidak akan bisa seperti Ma. Bahwa Ma berjuang bukan demi ambisi pribadi. Kita melihat Ma bersikeras keponakannya yang gagap ikut dalam rekaman album, kita melihat Ma bersikeras keponakannya dan anggota band dibayar tunai sehabis rekaman. Ma peduli kepada rombongannya. Ma peduli pada perjuangan bersama.

Sedangkan Levee, dia sudah siap untuk keluar, nyiptain musik sendiri, bikin band sendiri. Levee bahkan sulit ‘bekerjasama’ dengan Tuhan, karena dia gak percaya. Dia menggunakan uang hasil main musiknya untuk beli sepatu – sebagai bentuk ‘puk-puk’ terhadap dirinya sendiri. Levee sama seperti Ma, berjuang demi derajat ras yang lebih baik. Bedanya Levee bergerak demi dirinya sendiri terlebih dahulu. Dia bersikeras berjuang untuk mendobrak pintu, hanya untuk menemukan dirinya sendirian tak akan bisa mencapai ke mana-mana. Hal ini divisualkan oleh film lewat adegan yang bernuansa cukup sureal di mana Levee akhirnya berhasil membuka pintu di ruang latihan hanya untuk merasa semakin terkungkung, bukannya semakin bebas.

Setiap perjuangan yang kita lakukan adalah untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Tapi itu tidak berarti perubahan akan langsung terjadi. Makanya, penting bagi kita untuk berjuang dengan mengingat ke belakang. Supaya kita bisa mengingat ‘lebih baik’ itu untuk siapa. 

 

Sebagai kulminasi dari cerita, penampilan akting, arahan, dan penulisan itu sendiri, film berakhir dengan terasa sangat ironis. Perjuangan Levee sendirian itu dengan sangat mudah ditampik. Dia tidak accomplish apa-apa selain melukai kaumnya sendiri. Berbeda sekali dengan Ma yang pada akhirnya bukan hanya karirnya menjadi lebih secure, dia juga membawa ‘security’ bagi orang-orangnya. Yang berarti perjuangan mereka masih akan berlanjut. Eventually dunia akan berubah jika semakin banyak orang mengusahakan hal yang sama.

 

 

 

Film ini adalah proyek kedua dari Denzel Washington yang 2015 lalu mengumumkan bahwa dirinya akan membuat film berdasarkan naskah teater karya August Wilson. Aku suka banget sama film proyek pertamanya, Fences yang keluar tahun 2016. Dan film yang kali ini, aku dengan senang hati sekali memberitahu, bukan hanya mempertahankan prestasinya punya penampilan akting yang memukau, tapi juga ceritanya bahkan lebih emosional lagi. So yea, I also like this movie very much. Sutradara George C. Wolfe ditunjuk untuk menggarap cerita, dan yang ia bikin untuk kita adalah suatu tontonan yang begitu menghantui. Hingga lama setelah kita menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MA RAINEY’S BLACK BOTTOM

 

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian merasa kecewa saat telah berjuang keras tapi merasa tidak mengubah apapun?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

ANOTHER ROUND Review

29 Tuesday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2020, comedy, drama, family, friendship, funny, life, love, mature, oscar, review, spoiler, thought

“Drink to enjoy life”

 

 

 

Coba tebak apa persamaan antara Ernest Hemingway, General Grant, dengan Winston Churchill? Ya mereka adalah tokoh-tokoh hebat, but also, mereka bertiga adalah peminum berat. Sama seperti kalian; well, at least itulah yang dikatakan Martin kepada kelasnya dalam salah satu adegan belajar-mengajar paling gokil yang kita tonton di tahun ini. Adegan tersebut dapat kita jumpai dalam film Another Round garapan Thomas Vinterberg.

Drama komedi yang menilik kebiasaan minum di Denmark ini punya premis yang menarik. Ceritanya berangkat dari teori seorang penulis dan psikiatris beneran bernama Finn Skarderud. Penelitian yang kontroversial itu menyebutkan kandungan alkohol dalam gula darah manusia 0.05 persen itu masih terlalu rendah; dan argumennya adalah jika ditingkatkan menjadi 0.10 persen, akan membuat manusia menjadi lebih energik, lebih berpikiran tajam, lebih fokus dan terbuka. Basically, penelitian itu menyebut kandungan alkohol yang lebih tinggi akan meningkatkan performa manusia.

Empat guru SMU dalam film Another Round tertarik untuk membuktikan teori tersebut. Terutama Martin (diperankan luar biasa oleh Mads Mikkelsen), yang ngerasa dia kini menjadi membosankan. Semembosankan pelajaran sejarah yang ia ajarkan. Hubungan dengan istri dan keluarganya kian hambar. Murid-murid pun tak lagi memperhatikan kelasnya. Bahkan para murid menyalahkan Martin gagal mengajar sehingga nilai mereka jeblok. Jadi, Martin dan ketiga guru sobatnya itu mulai menerapkan minum-sebelum-bekerja. Hasilnya memang positif. Martin kembali jadi guru dan ayah dan suami yang keren. Murid-murid kini memperhatikan pelajaran karena kelas Martin sekarang jadi fun. Sesuatu yang lebih muda seperti menyeruak keluar dari Martin. Ini membuat Martin pengen lebih lagi. Dia dan teman-teman ngepush penelitian mereka lebih jauh lagi. Hingga mereka minum sampai mabuk. Dan tentu saja, mabuk dalam budaya manapun jarang sekali adalah salah satu pertanda yang bagus.

Ini baru namanya guru-guru gokil!

 

 

Maka film ini mengambil tempat sebagai studi perilaku manusia. Bukan hanya Martin yang disorot, ketiga temannya punya masalah masing-masing, dan kita akan melihat seperti apa pengaruh eksperimen dan penelitian mereka terhadap para guru ini satu persatu. Inilah yang membuat film ini menarik. Kita melihat mereka semua mulai dari fase stagnan – memboring dalam mid-life crisis – ke fase ‘terlahir-kembali’ sebagai guru yang cerdas dan menyenangkan – dan akhirnya tiba di fase paling rendah dalam hidup mereka.

Dalam mengarungi tiga fase yang dilewati karakter-karakternya tersebut, Vinterberg tampak menyetir perhatian kita keluar dari hal-hal klise. Seperti dia menyadari bahwa cerita seperti ini akan selalu ngikutin fase yang demikian, sehingga Vinterberg memusatkan perhatian kita bukan kepada fasenya melainkan dari bagaimana para karakter beraksi di dalamnya. Vinterberg juga memastikan semua itu direkam dengan treatment yang spesifik sehingga eksperiens yang dialami oleh karakter tersampaikan kepada kita. Lihat saja bagaimana kamera diperintahkannya bergerak ketika mengambil gambar Martin yang dalam pengaruh minuman, mengajar dengan cerdas di depan kelas. Martin memang masih tampak bugar, dia gak mabok atau keleyengan. Namun kamera bergerak dengan sedikit unsteady. Berayun-ayun dari close-up ke medium. Memberikan ruang tapi gak pernah lepas dari Martin. Aku gak pernah mabok. Aku bahkan gak suka (gak bisa) minum. Aku tim minum air putih karena bahkan teh dan kopi saja akan bisa membuatku tak-bisa jauh dari kamar mandi untuk beberapa jam. Tapi aku tahu bahwa efek seperti keleyengan itulah yang ingin dicapai oleh Vinterberg ketika membuat kameranya menangkap dengan gerakan seperti itu. Supaya kita dapat merasakan dengan subtil apa yang sedang terjadi pada karakternya.

Puncaknya tentu saja adalah pada adegan menari di ending. Wuih! Buatku ini adalah salah satu ending yang berhasil mencampurkan rasa/emosi dengan gelora visual, dan enggak muluk-muluk. Powerfulnya itu mirip seperti pada ending Sound of Metal (2020). Karena kedua film ini berhasil mentransfer emosi karakter sepanjang cerita kepada kita yang udah ngikutin tanpa pernah dibuat terputus sekalipun. Ending ini juga sekaligus memperlihatkan betapa menuntutnya permainan peran yang diberikan kepada Mads Mikkelsen. Dia harus mendeliver both secara emosional dan secara fisik – dilaporkan Mikkelsen beneran melakukan adegan menari itu sendiri tanpa stuntmen – dan keduanya tersebut sukses berat ia lakukan. Yang istimewa dari adegan ini adalah journey karakter Martin sudah demikian kuat tertutup – film menghantarkan kita melihat itu dalam cara yang sungguh unik. Di situ, walaupun dia memang terlihat minum tapi kita tahu bahwa Martin tak menari karena mabok, seperti pada adegan mereka ‘party’ di pertengahan cerita. Di akhir ini kita mengerti bahwa Martin menari sebagai dirinya sendiri. Bahwa saat itu dia yang menyadari hidup dan dirinya sendiri tidak akan bisa kembali ke ‘kejayaan masa muda’, namun toh dia tetap merayakan hidupnya.

Bahwa minum bukan untuk mengobati keadaan susah dan jadi jalan keluar untuk lebih baik dengan menjadi mabok. Minum adalah bentuk dari merayakan kehidupan. Sebuah tos yang dilakukan seseorang kepada dirinya sendiri, karena hidup tak akan menjadi baik kecuali kita sendiri yang mengubah pandang dan mengusahakannya.

 

Tapi bagaimana cara agar minum tak menjadi candu?

 

 

Tidak seperti film komedi Indonesia tahun ini yang tentang guru itu, Another Round memang memperlihatkan karakternya bekerja sebagai guru. Karena film ini gak lupa bahwa itulah kontras yang ‘dijual’ sejak awal. Lebih lanjut lagi, Another Round memang memiliki penulisan yang secara teori benar. Tiga aspek kehidupan tokohnya diperlihatkan semua. Kehidupan personal, kehidupan profesional, dan kehidupan privat Martin benar-benar ditampilkan supaya kita lebih memahami akar dari konfliknya. Kita mengerti kenapa Martin yang seorang guru nekat untuk minum alkohol justru pada hari-hari dia mengajar. Kita mengerti motivasi dari karakter ini. Karena sekali lagi, ini bukanlah semata tentang perbuatan minum atau maboknya. Another Round tetap adalah perjalanan personal karakter.

Semua orang di kota Martin minum alkohol, bahkan remaja sudah diperbolehkan mengonsumsi dengan batasan tertentu. Semua orang di sana pernah mabok. Nah, di sinilah letak kegoyahan film ini. Ada titik ketika film seperti bingung mengambil sikap terhadap mabuk – terhadap kebiasaan minum alkohol – itu sendiri. Istri Martin dalam satu adegan menyatakan mereka renggang bukan karena Martin yang kini jadi suka minum, karena semua orang minum. Melainkan karena Martin itu sendirilah, jadi Martin harus menengok ke dalam dirinya. Tapinya lagi, film tampak kesusahan melepaskan kesalahan Martin dengan alkohol. Menjelang babak penyelesaian film ini, narasi justru semakin memperlihatkan hal-hal buruk itu dari kecanduan alkohol. Minum yang tak-terkendalikan. Sehingga pandangan film ini terhadap alkohol jadi mencuat kembali, menutup soal personal karakter, dan pandangan tersebut blur. Film tak mengambil sikap tegas terhadap tradisi minum-minum yang mereka potret.

Pengembangan karakter di babak ketiga itu jadinya terasa terlalu cepat. Setelah satu peristiwa kematian, on top of peristiwa ‘tragis’ lain, Martin jadi berubah. Film terasa seperti nge-skip eksplorasi penting. Aku mengerti ini soal karakter Martin, tapi aku juga ingin melihat posisi film lebih tegas. Begini; sedari awal, minum-minum itu sudah diset layaknya jawaban yang benar, tapi lalu diperlihatkan sebagai yang salah, tapi karakter menyebut bukan soal mabuknya, dan kemudian Martin arc complete. See, seperti ada yang hilang. Film seperti berkelit dan cerita beres. Aku ingin eksplorasi yang lebih banyak supaya hubungan ke karakternya lebih erat.

 

 

 

Buatku hanya dengan begini, cerita film ini cukup terlihat sebagai anekdot saja. Seperti anekdot Hitler dengan dua tokoh politik yang diajarkan oleh Martin di dalam kelas. Amusing untuk didengar, tapi anekdot itu mengundang pemikiran yang lebih mendalam; kenapa yang gak peminum seperti Hitler pada akhirnya tetap menjadi the worse person. Film ini sendiri pun meng-gloss over pemikiran seperti itu. Fokusnya tetap pada karakter. Yang dimainkan luar biasa, dengan arahan dan treatment penceritaan yang baik. Membuat film ini lucu, dan maka menjadikannya cukup tragis. Penulisannya-lah yang sedikit kurang bagiku. Tapi tetep, film ini bakal jadi pesaing kuat buat kategori Film Internasional Terbaik di Oscar tahun depan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANOTHER ROUND.

 

 

 

That’s all we have for now.

Orang bilang mabuk membuat seseorang bisa jadi lebih jujur, film ini memperlihatkan alkohol membuat Martin jadi lebih keren. Bagaimana pendapat kalian tentang itu? Kenapa mabuk bisa membuat orang menjadi lebih jujur, lebih berani, dan lebih terbuka?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SOUL Review

27 Sunday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 16 Comments

Tags

2020, adventure, animation, comedy, disney, drama, family, life, mature, pixar, review, spoiler, thought

“Life starts now.”

.

 

 

Bertahun-tahun pengen jadi bintang jazz, Joe (diisi suaranya oleh Jamie Foxx) yang bekerja jadi guru musik honorer akhirnya diterima untuk nampil bermain musik di klab bersama idolanya. Tentu saja Joe langsung memilih gig ini ketimbang tawaran untuk jadi guru tetap di sekolah dasar. Dalam perjalanan pulang, Joe yang begitu girang sibuk menelpon sehingga tak lagi memperhatikan jalan (itupun kalo dia pernah memperhatikan jalan sebelumnya). Joe mengalami kecelakaan. Dia jatuh tewas. Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai.

EIIIIITTSS, jangan keburu sedih dan depresi dulu. Karena Joe adalah tokoh utama dalam film Soul; film buatan Pixar. Dan jika ada satu hal yang kita ketahui tentang Pixar, maka itu adalah Pixar selalu merancang cerita dengan muatan perasaan yang real, yang nge-tackle masalah yang manusiawi seperti kematian, perpisahan, dibalut dengan konsep yang menyenangkan. Selalu ada lapisan kreatif yang menjadikan ceritanya menarik.

Kecelakaan tadi ternyata belumlah akhir dari semua bagi Joe. Karena dia mendapati dirinya – jiwanya – berada di sebuah tempat yang bisa membawanya hidup kembali. Joe kabur dari jembatan lorong ‘siratal mustaqim’, dan sampai di The Great Before. Tempat pelatihan dan seminar bagi jiwa-jiwa sebelum dilahirkan ke dunia. Joe yang menyamar menjadi salah satu mentor, ditugaskan untuk mengajari unborn soul bernama 22 (disuarakan oleh Tina Fey dengan suara yang menurut si karakter “annoys people”) tentang kehidupan duniawi. Si 22 ini sudah beribu-ribu tahun gagal terus lulus pelatihan, padahal mentor-mentornya adalah orang terkenal semua. Joe dan 22 yang bertualang bersama mencari spark untuk 22, akhirnya saling mengajari soal apa yang sebenarnya paling berharga dari kehidupan.

Film Soul ini digarap oleh Pete Docter yang sebelum ini menggarap Inside Out (2015). Jadi kita bisa mengharapkan eksplorasi dan world-building yang sama imajinatifnya di Soul ini. Dibandingkan dengan Inside Out, memang Soul terasa bahkan lebih ‘dalem’ lagi. Karena alih-alih soal emosi dan kepribadian bekerja, Soul adalah eksplorasi soal eksistensi dan jiwa itu sendiri. Docter dan co-director Kemp Powers menerjemahkan filosofi mengenai kehidupan, afterlife, dan apa yang membuat kita, kita ke dalam dunia ‘kartun’ versi mereka sendiri.

Dan tak lupa juga menampilkan ‘soul music’ alias musik Jazz

 

 

Menjelaskan soal filosofis seperti eksistensi ke dalam presentasi atau bentuk yang ringan, jelas adalah sebuah tantangan besar. Bahkan bagi sekelas Pixar. Kita tahu anak kecil memang ada kalanya nanyain hal-hal ‘sulit’; hal-hal yang enggan untuk kita bahas kepada usia mereka. Namun begitu, rasanya jarang sekali ada anak kecil yang nanyain ‘kenapa kita suka mengejar hobi yang dilarang oleh orangtua’. I’m not saying film Soul ini gak cocok untuk selera anak. Karena memang filmnya sendiri didesain untuk bisa ditonton oleh anak kecil. Desain visualnya mengundang. Karakter jiwa-jiwa itu berbentuk lucu, mereka tampak seperti gabungan awan dengan roh. Fluffy sembari garis tubuhnya agak-agak berpendar transparan. Masing-masing jiwa ini punya bentuk yang distinctive, yang sesuai dengan penampakan atau fisik tubuh manusia mereka. Sehingga menyenangkan untuk menebak-nebak atau membandingkan wujud asli dengan wujud jiwa beberapa karakter yang disebutkan. Selain itu ada juga karakter lain yang bentuknya tak kalah unik. Film ini juga punya antagonis, walaupun di sini tokoh antagonis itu tidak benar-benar punya niat jahat, melainkan hanya terlihat sebagai penghalang bagi Joe yang literally kabur dan pengen mengubah nasibnya. So yeah, film ini masih punya pesona khas animasi Pixar yang digemari anak-anak. Dialognya juga masih sempat untuk terdengar lucu dalam sebagian besar porsi adegan.

Hanya saja menu yang disajikan Pixar kali ini memang lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa. Pixar mengambil langkah yang berani di sini; membuat tokoh utama yang bukan anak-anak, malah pria dewasa yang bahkan belum punya keluarga/anaknya sendiri. Segala konteks yang berusaha disederhanakan tadi itu juga pada akhirnya akan tetap jauh bagi anak kecil. Menonton film ini bagi anak-anak sekiranya bakal sama seperti ketika kita yang sudah dewasa menyaksikan Tenet (2020). Film Soul ini pun kadang terseok juga oleh kebutuhan untuk menjelaskan konteks dan pembangunan dunianya; itulah terutama yang memberatkan bagi anak yang belum dapat menangkap dengan baik gambaran besar ataupun maksud dari narasi yang diceritakan. Bagi kita orang dewasa, atau bagi penonton yang sudah mengerti permasalahan yang menimpa karakternya, film Soul ini akan jauh lebih emosional. Tidak akan terasa hampa seperti saat nonton Tenet. Karena tokoh utamanya, permasalahan dirinya, begitu universal dan terceritakan dengan baik oleh film. Penyederhanaan konteks filosofis, konsep dunia afterlife yang dijadikan ceria seperti camp pelatihan, tidak mengurangi penekanan kepada konflik emosional dan psikologi yang dirasakan oleh karakter Joe – dan bahkan juga si 22. Film ini pun semakin fleksibel dengan tone-nya, sebab di pertengahan akan ada bagian cerita jiwa yang tertukar tubuh, dan film berhasil untuk tidak tersesat menjadi komedi konyol. Melainkan malah semakin terasa penting sebagai suatu bagian dari perkembangan karakter.

Penulisan film ini luar biasa. Aku suka cara film menyelipkan hal-hal seperti kematian, keputusasaan ke dalam cerita. Hal-hal tersebut penting dan tidak-bisa tidak disebutkan ketika kita bicara tentang persoalan tujuan hidup, eksistensi, dan kebahagiaan seperti ini. Ada banyak aspek dalam film ini yang kalo kita pikirkan lagi ternyata sebenarnya sangat suram. Misalnya soal jiwa-jiwa yang segitu banyaknya muncul di dekat Joe di jembatan ke cahaya itu, menunjukkan segitu banyaknya manusia yang mati setiap hari. Ada yang muncul bertiga pula, mereka mati kecelakaan apa gimana. Dan Joe sendiri, dia gak sadar dirinya tewas karena dia begitu sibuk mengejar passionnya sebagai pemusik Jazz. Kalimat ‘Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai’ sesungguhnya sangat naas dan inilah yang jadi gagasan utama penulisan karakter Joe.

Berarti menurut film ini, semua manusia terlahir tanpa jiwa

 

 

Joe adalah seorang yang sangat passionate. Dia mengejar karir, and do what he loves. ‘Kesalahan’ yang harus Joe sadari adalah menyangka bahwa hidupnya baru akan dimulai – baru benar-benar berarti jika passion atau karir impiannya itu sudah tercapai. Film langsung membenturkan ini dengan membuat Joe celaka. Namun Joe gak mau nerima, dia kabur membawa jiwanya keluar dari kematian. Jiwanya berontak, bagaimana mungkin dia mati pada saat hidupnya justru baru dimulai – pada saat karirnya mulai mencapai titik terang. Joe tidak pernah benar-benar peduli pada hidupnya, selain untuk berhasil menjadi pianis jazz. Inilah yang membedakan Joe dengan 22 pada saat si unborn soul itu mencicipi seperti apa hidup untuk pertama kalinya. Joe tidak pernah duduk dan menangkap daun yang jatuh. Joe selalu mengejar karirnya sehingga lupa untuk melihat hidup. Tidak seperti 22 yang berhenti dan menikmati apapun yang ditawarkan kehidupan kepadanya. Ada momen yang sangat menyentuh ditampilkan oleh film ini yaitu ketika Joe melihat visual kehidupannya, yang ternyata sangat hampa. Dia tidak melakukan apa-apa padahal sudah hidup selama itu. Momen ini menunjukkan bahwa mengejar impian meskipun adalah suatu perjuangan hidup, tapi bukan berarti hidup jadi harus tentang itu.

Lebih lanjut film memperlihatkan Joe yang tetap tidak bahagia setelah berhasil menjadi anggota band jazz bareng idolanya. Karena dia ketinggalan semua hal lain kehidupannya. Dalam film ini ada makhluk yang disebut lost-soul. Para jiwa akan berubah menjadi makhluk ini jika tidak lagi senang dalam hidup. Meskipun dalam film ini tidak ditunjukkan, tapi aku yakin jika Joe tetap memilih ngeband dan melupakan 22 dan semua yang ia lalui tadi, maka Joe akan perlahan berubah menjadi lost-soul. Dan ultimately menjadi lost-soul adalah hal yang paling mengerikan yang bisa terjadi kepada sebuah jiwa. Karena yang terpenting adalah untuk menghidupi hidup.

Kita bisa mati kapan pun. Inilah yang diingatkan oleh film. Hidup tidak dimulai ketika kita lulus kuliah, atau ketika kita dapat kerja, atau ketika impian kita tercapai. Hidup sedang berlangsung. Sekarang juga! Maka tunggu apa lagi? Kejarlah yang dicita-citakan, tapi jangan lupa untuk membina hidup. Karena purpose of life is to live the life

 

Sehingga masuk akal jika film ini memberikan kesempatan kedua bagi Joe. Karena perkembangan karakternya diset sebagai orang yang kini mulai belajar untuk dengan benar-benar melihat hidup. Bukan hanya tentang musiknya, tapi juga tentang keluarganya, tentang teman-temannya. Dan kupikir cerita Soul yang dibikin seperti ini justru lebih indah dan mengena sebagai inspirasi ketimbang membuat cerita yang ‘kelam’ dengan membuat Joe benar-benar memutuskan untuk ‘terus’. Nah kembali lagi ke penulisan yang hebat, Soul tidak lantas memberikan kesempatan kedua itu saja dengan cuma-cuma kepada Joe. Dia dibuat pantas untuk mendapatkanya dengan membantu 22. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan telah menyadari apa ‘kesalahannya’ dalam memandang hidup. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan sudah menerima dan merelakan nasibnya.

Semua aspek sudah dipertimbangkan oleh film ini. Semua yang ditampilkan terasa masuk ke dalam suatu tujuan. Suatu makna. Sehingga membuat film ini semakin berbobot. Satu lagi yang paling aku suka dari cara film ini menangani karakternya adalah dengan bersikap open terhadap ‘ending’ karakter 22. Tokoh ini sangat menarik, awalnya dia gak suka untuk pergi ke bumi, dia menganggap semua kehidupan itu yang sama aja. Not worth, enakan di Great Before. Tapi hidup sesungguhnya benar seperti paradoks Cliche-22 (mungkin dari sini nama 22 itu); kita gak bakal tau seberapa enaknya hidup, tanpa pernah menjalani hidup itu sendiri. Si 22 memang akhirnya terjun untuk dilahirkan ke bumi, dan yang aku suka adalah kita tidak diperlihatkan terlahir atau menjadi siapa si 22 di Bumi. Film tidak memberikan kita adegan Joe bertemu dengan 22 versi manusia, dan menurutku ini sungguh langkah yang bijak. Karena menunjukkan hidup tidak bergantung kepada kita terlahir sebagai apa, bisanya apa, sukanya apa. Itu semua tidak berarti bagi 22, karena dia hanya ingin sekali untuk hidup.

 

 

 

Ini adalah karya Pixar yang paling berbeda. Mulai dari tokoh utamanya yang dibuat dewasa (not to mention merepresentasikan African-American yang belum pernah dijadikan tokoh utama oleh Pixar) hingga ke permasalahan yang berjarak dengan anak-anak. Konteksnya adalah tentang eksistensi yang berusaha diceritakan dengan sederhana. Dan ini memang tidak membuat Pixar keluar dari identitasnya. Yang kita lihat tetaplah sebuah journey yang imajinatif, penuh warna, dengan karakter yang adorable. sehingga nilai hiburannya tetap dipertahankan di balik bobot yang luar biasa. Sungguh sebuah tantangan yang gak ringan. Namun film ini berhasil. Ceritanya menyentuh dan terasa penting. Para karakter pada akhirnya tampil realistis karena bergelut dengan masalah yang sangat relatable. Kebingungan yang mungkin terjadi saat mempelajari konsep dunianya akan tertutupi oleh keunggulan penulisan karakter. Minus poin bagiku cuma minor, yaitu menurutku harusnya film sedikit lebih konklusif terhadap karakter Joe yang mendapat kesempatan kedua. Buatku alih-alih membuatnya hanya terlihat bersyukur dan menikmati hidup, mungkin bisa juga ditambah dia akhirnya mengambil tawaran sebagai guru; just to circle back ke pilihan yang dia dapatkan di awal cerita. Selebihnya buatku film ini beautiful dan penting, if you care about life and your existence. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SOUL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian sudah menemukan ‘spark’ di dalam hidup?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SOUND OF METAL Review

18 Friday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2020, drama, festival, health, life, love, mature, Music, review, spoiler, thought

“Hearing loss is less about hearing and more about understanding”

 

 

 

 

Bayangkan kalian mendedikasikan diri untuk menggeluti satu bidang, dan kemudian berhasil di sana, lalu tiba-tiba semua itu direnggut dari kalian. Tentunya sangat devastating. Tapi ternyata ada yang lebih mengenaskan daripada itu. Bayangkan, hal yang kalian geluti tadi itu, adalah satu-satunya hal yang bisa kalian jadikan pelarian. Bayangkan jika hal tersebut actually adalah sesuatu yang kalian butuhkan dalam perjuangan personal untuk menjadi lebih baik. Dan lalu kalian dirampas dari ‘pegangan’ tersebut.

Kehilangan seperti demikianlah yang persisnya menimpa Ruben dalam film Sound of Metal. Ruben yang seorang drummer band rock menemukan zona nyamannya di atas panggung. Ketika dia nampil bersama pacarnya, Lou. Mereka tinggal dalam minibus, sembari tur keliling kota. Heavy metal dan drum itu bagi Ruben bukan sekadar hobi. Melainkan caranya berjuang melawan kecanduan obat-obatan. Musik keras dan hingar bingar kehidupan di jalan adalah kehidupan baru Ruben sebagai seorang yang clean. Namun ‘pajak’ yang harus ia tanggung dari kehidupan semacam itu, dari eksposur terhadap suara-suara lantang setiap hari, sungguhlah berharga tinggi bagi Ruben. Pendengarannya, berangsur-angsur hilang. Memutuskan Ruben dari kehidupan lebih baik yang sedang coba ia bangun. Di dunia tanpa-suaranya kini, Ruben bagaikan anak kecil yang telanjang di tengah rimba. Helpless. Defenseless. Obat-obatan dapat dengan gampang menculiknya kembali.

Sound of Metal, meskipun bicara tentang tokoh yang kehilangan pendengaran, bijak sekali untuk tahu bahwa cerita seperti ini bukan semata soal bagaimana menyembuhkan pendengaran itu sendiri. Melainkan adalah soal membuka telinga untuk sebuah pemahaman yang lebih besar. Pemahaman untuk menerima sebuah kehilangan. Dan nyatanya, itulah yang membuat drama garapan Darius Marder ini begitu manusiawi.

‘New normal’ bagi Ruben

 

Film yang menyoal seseorang yang hidupnya dipaksa untuk berubah, seseorang yang harus kehilangan semua yang ia butuhkan dalam waktu singkat, akan gampang sekali untuk jadi sangat overdramatis. I mean, cerita begini tuh udah kayak taman-bermainnya drama tragis. Yang diset untuk membuat penonton lomba mewek dan mendorong lajunya penjualan sekotak tisu di pasaran. Di sinetron aja udah sering kan, cerita yang tokohnya tiba-tiba buta, atau tiba-tiba bisu. Ruben bisa saja jadi ‘sinetron’ dengan tokoh yang tiba-tiba tuli. Serius, sepanjang nonton ini aku udah bersiap-sipa nyumpahin kalo-kalo film belok ke arah ‘sinetron’. Kalo-kalo ada satu saja elemen cringe atau lebay. Tapi ternyata tidak ada. Dari awal hingga akhir tak ada. Dan aku senang sekali. Karena; amit-amit. Serius. Amit-amit kalo sampai begitu. Karena cerita dengan arahan seperti begitu tidak akan bisa menggapai dan berlaku hormat kepada karakternya. ‘Misi’ film seperti begini harusnya bukan untuk mempermainkan emosi penonton, melainkan justru memperlihatkan gambaran emosi yang manusiawi terkait persoalan yang terjadi kepada karakter. Gol minimum yang harus dicapai film ini, paling enggak, adalah untuk membuat kita bisa merasakan langsung seperti apa rasanya kehilangan pendengaran.

Marder achieves lebih banyak melampaui gol minimum tersebut. Sound of Metal di tangannya menjelma menjadi cerita yang benar-benar respek dan memanusiakan Ruben. Gak menye-menye maupun overdramatis. Marder telah membuat ini sebagai sebuah perjalanan karakter; sudut pandang yang menarik kita masuk. Membawa kita untuk berempati terhadap karakternya. Ya, lewat permainan sound design, kita jadi tahu langsung apa yang dirasakan oleh Ruben. Ketika Ruben kesulitan untuk mendengar, maka kita pun akan dibuat mendengar kehampaan yang sama. Dan ini bukan hanya soal suara berdering atau hanya ngemute menjadikan adegannya tanpa-suara. Marder enggak memanipulasi emosi lewat absennya suara. Melainkan bercerita dengan absen suara. Ada ritme. Marder membangun kontras sedari awal. Musik rock yang memenuhi setiap adegan, belakangan akan tergantikan oleh dialog-dialog yang teredam. Menimbulkan sensasi ‘kita ingin dengar lebih banyak, tapi tak bisa’. Persis inilah yang dirasakan oleh Ruben. Ketika intensitas naik bagi Ruben, film akan mulai menarik semua suara. Ketika Ruben seperti mulai menyerah, atau saat ia akan mengambil keputusan penting, film akan menampilkan kembali suara-suara percakapan. Membuat Ruben dapat mendengar lewat alat atau membuat lawan bicara Ruben bisa bicara dengan alat. Alias, sebenarnya saat itu Ruben ‘dipertemukan’ kembali dengan cara untuk mengembalikan pendengarannya. This fuels Ruben. Ini menguatkan konflik yang ada pada pertengahan cerita. Konflik saat Ruben masih memandang tuli itu sebagai sesuatu yang harus disembuhkan.

Actually, ini jadi salah satu poin penting yang dibicarakan oleh film. Babak kedua diisi oleh cerita Ruben yang tinggal di sebuah komunitas tuna-rungu. Bagi Ruben, ini adalah tempat untuk menyembuhkan dirinya. Padahal justru merupakan tempat untuk membiasakan dirinya dengan kehidupan tanpa-suara. Kita akan melihat adegan-adegan Ruben diajarin ini itu. Menjalin relasi dengan para anggota; ada yang seperti Ruben kehilangan kemampuan mendengar secara tiba-tiba, ada yang sedari lahir. Kita melihat Ruben melihat anak-anak tuna rungu belajar berkomunikasi, lalu lantas dia sendiri juga belajar bahasa-isyarat. Tempat rehab ini terlihat ramah dan menenangkan, tapi kita bisa melihat Ruben justru tidak melihatnya seperti itu. Di titik ini, Ruben masih belum berdamai dengan keadaannya. Dia percaya bisa sembuh dari yang ia anggap penyakit, sebagaimana dia bisa sembuh dari candunya. Menarik cara film mengomunikasikan argumen bahwa sebenarnya tuli itu sendiri tidak pernah dianggap sebagai penyakit yang harus disembuhkan bagi para pengidapnya. Melainkan tak lebih sebagai ‘cara lain dalam menempuh hidup’. Inilah yang ultimately harus dipelajari oleh Ruben.

Bahwa dengan kehilangan pendengaran, tidak berarti seseorang kehilangan hidup. Melainkan hanya hidup di dunia dan gaya yang baru. Kepositifan orang-orang di komunitas itulah yang dijadikan poin vokal oleh film ini. Gak semua masalah selesai dengan uang, karena dua hal. Uang tidak menjamin, ataupun memang tidak ada masalah. ‘Hanyalah’ soal pemahaman dan penerimaan kita terhadap kondisi.

 

Saat belajar skenario, biasanya kita dikasih tahu untuk merancang kehidupan tokoh utama. Mulai dari ia kecil, hingga ke momen yang akan jadi periode cerita pada film. Rancangan atau karangan kehidupan karakter inilah yang jadi backstory, yang semakin memperkuat karakterisasi tokoh utama yang kita tulis. Backstory tersebut tidak mesti terpampang pada film, tapi harus tersampaikan garis besarnya, supaya penonton bisa mengenali karakter dan bersimpati kepadanya. Backstory Ruben dalam cerita Sound of Metal berperan besar terhadap konflik yang harus ia lalui. Penceritaan yang dilakukan oleh Marder sungguh berhasil menuturkan backstory itu semua tanpa membuat film menjadi bertempo lambat ataupun membuat ceritanya jadi melanglang buana. Marder dengan efektif membuat kita mengerti. Semua hal yang perlu kita ketahui sebagai elemen emosional bagi Ruben dengan sukses tersampaikan. Misalnya, film masih ingat (dan sempat) untuk membahas kenapa pekerjaan sebagai drummer rock itu penting bagi Ruben. Begitupun soal makna dari hubungannya dengan Lou; apa peran Lou sang kekasih itu di hidup Ruben. Semua itu terbahas, menyatu dalam plot-plot poin cerita sehingga keseluruhan narasi film ini terasa sangat padat. Dan somewhat feels real.

“Plok! Plok! Plok!” adalah bunyi metal yang baru

 

Porsi terakhir dari ulasan ini khusus kudedikasikan untuk penampilan akting Riz Ahmed, yang luar biasa emosional – tanpa perlu berteriak-teriak – sebagai Ruben. Supaya cerita yang memfokuskan kepada personal dan kepribadian Ruben ini bisa berhasil, tentu beban itu tersandarkan kepada pemerannya. Tantangan bagi Ahmed di sini adalah menemukan titik-seimbang untuk penonton dapat merasakan emosi karakternya. Titik-seimbang di antara drama soal kehilangan pendengaran yang gak semua orang bisa langsung terkonek, dengan drama tentang manusia yang berusaha menerima kenyataan. Ahmed berhasil, buktinya kita mengerti dan berempati pada setiap keputusan yang diambil oleh Ruben, entah itu soal dia bersikukuh mencari uang untuk operasi, atau ketika dia memilih keluar dari komunitas dan kembali kepada Lou.

Ahmed mengerti bahwa yang diincar sutradara adalah untuk tidak membuat tokohnya ini tampil seperti minta dikasihani, atau mengasihani diri sendiri. Dan sebaliknya, juga tidak ingin tampak seperti sosok yang sempurna bagi kita. Jadi apa yang dilakukan Ahmed untuk mewujudkan semua itu? Permainan emosi. Ahmed membawa kita menyelami reaksi Ruben saat berjuang menerima kenyataan pendengarannya tak akan pernah kembali. Karakter ini tidak dimainkannya sebagai tokoh yang bersikap kasar, ataupun suka berteriak, tapi kita masih tetap merasakan gejolak emosi dan marah dan gak-terima itu di balik dirinya. Ia menggunakan bahasa tubuh dan gerakan mata, terutama saat adegan-adegan dia mengobservasi lingkungan komunitas, sehingga arc Ruben dapat tersampaikan dengan utuh. This is one top level performance. Yang aku dengan sangat senang hati melihatnya mendapat ganjaran piala. Lihat saja adegan fenomenal di ending. Kalo itu tidak memberikan dorongan semangat dan menginspirasi kita untuk berdamai dengan kenyataan, untuk mensyukuri yang terjadi sebagai lanjutan kehidupan; maka aku gak tau lagi yang menginspirasi itu seperti apa.

 

 

 

Dengan penggunaan sound-design, penampilan akting, dan arahan yang benar-benar respek menempatkan karakter sebagai identitas dan subjek – bukannya objek penderita – film ini berhasil menjadikan ini lebih dari cerita tentang orang yang kehilangan indera pendengar. Malahan membawa kita lebih dalam ke persoalan yang lebih relatable dan manusiawi. Menggambarkan dengan penuh hormat bagaimana susah dan perlunya sebuah acceptance terhadap situasi. Beberapa penonton mungkin akan menganggap film ini berat – inner journey Ruben memang demikian kompleks – tapi film ini gak akan bikin bingung. At the end of the movie, kita gak akan dibuat bertanya balik “apa itu tadi?” Percayalah, saat menonton film ini, berat itu ada tapi berat karena konflik karakter, tidak menghambat sama sekali bagi pengalaman menonton. Dan di akhir itu, oh percayalah, kita semua akan merasakan beban itu terangkat sudah dengan perasaan yang sangat melapangkan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for SOUND OF METAL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Aku pernah membaca bahwa ternyata penyandang disabilitas pendengaran malah lebih suka disebut tuli ketimbang dengan sebutan tuna rungu. Menurut kalian, kenapa?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review

10 Thursday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2020, dark, drama, festival, friendship, funny, life, love, mature, real event, review, satire, spoiler, thought

“The historical truth is composed of dead silence”

 

 

 

Diam terkadang bukan pertanda kuat, atau tegar. Melainkan, diam sederhananya bisa jadi adalah saat kita sedang ditekan. Dibungkam. Pemuda desa bernama Siman (Gunawan Maryanto totally deserved this year’s Citra) terpaksa harus mengistirahatkan kata-kata untuk selamanya ketika lidahnya dipotong. Siman yang penari itu telah melihat sesuatu yang tak mestinya ia ketahui. Ia menyaksikan kebohongan paling mutakhir dalam sejarah umat manusia. Yang Siman tak-sengaja lihat saat itu adalah syuting pendaratan ke bulan yang dilakukan oleh kru Amerika, di tanah Bantul Yogyakarta. Peristiwa itu mengubah hidup Siman selamanya. Lebih dari trauma, Siman justru tampak seperti bersikeras untuk tetap mengomunikasikan apa yang ia lihat. Sampai bertahun-tahun setelahnya, Siman bergerak lambat seperti astronot berjalan di luar angkasa. Ia juga membangun rumah dan kostum astronot, untuk ditunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya. Yang sayangnya, malah membuat Siman dicap sebagai ‘orang gila’.

Luar biasa memang imajinasi – dan celetukan kreatif – sutradara Yosep Anggi Noen ini. Dia membawa teori konspirasi yang paling santer hiruk-pikuknya di dunia itu ke Indonesia. Tentu saja karena Yosep Anggi Noen sendiri punya sesuatu yang ingin dia bicarakan terkait Indonesia. Tebak apa yang terjadi di negara kita sekitaran tahun pendaratan manusia di bulan? Ya, peristiwa pemberontakan PKI. Yang berekor pembantaian di tahun 1966. Di tahun itulah Siman dalam cerita ini hidup. Dua ‘fictions’ itulah yang diparalelkan oleh Anggi Noen dalam film panjang ketiganya ini. Dua peristiwa sejarah yang masih terus diperbedatkan benar-atau-tidak, nyata-atau-rekayasa. Selain menyaksikan hoax pendaratan bulan, Siman juga berada di tengah-tengah peristiwa penculikan dan pembantaian kerabatnya yang dicurigai simpatisan PKI. Siman dalam kejadian yang merenggut lidahnya itu adalah saksi, juga sekalian sebagai korban. Nah, sekarang coba, siapa pihak yang jadi saksi – sekaligus korban – dalam peristiwa pembantaian tahun 1966 itu?

Kalo Siman bisa ngomong (oh yeah) Sayang mereka tak bisa ngomong

 

 

Begitulah kira-kira Yosep Anggi Noen memposisikan cerita ini. Memahami posisi tersebut penting bagi kita. Supaya kita dapat, setidaknya, mengenali konteks atau gambar besar film. Karena, olala, The Science of Fictions (judul bahasa ibunya adalah Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah) adalah tontonan yang dapat membuat kita bingung, dan susah untuk dicerna. Film-film seperti ini sebenarnya jangan keburu dianggap ‘angker’. Karena seringkali daripada tidak, film-film ini kuat di gagasan. Mereka boleh saja terdengar sunyi dan tak banyak aksi atau kejadian yang ditampilkan. Tapi bukan berarti tak banyak yang sedang berusaha untuk disampaikan. Persis seperti si Siman itu sendiri. Meski tak bersuara, karakter ini sesungguhnya bicara banyak soal gagasan yang dilontarkan oleh pembuatnya kepada kita.

The Science of Fictions sendiri hadir seperti dalam dua bagian. Bagian pertama sekitar tiga puluh menitan cerita, dibingkai dalam rasio sempit dan visual hitam putih. Memperlihatkan sekuen adegan di tahun 1966. Bukan hanya untuk memberikan kesan ‘ini cerita periode lampau’, tapi juga untuk memberikan kesan opresi dan tekanan yang menguar kuat sekali dalam setiap shot. Bagian kedua mengambil waktu di masa sekarang. Siman hidup di dunia yang berwarna, yang memberikannya kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak di luar alih-alih ngumpet stres di dalam kamar. Siman juga banyak berinteraksi dengan orang-orang baru, yang not exactly baru karena sebagian besar mereka diperankan oleh aktor-aktor yang sama dengan pemeran tokoh-tokoh yang ada pada cerita bagian pertama. Apakah mereka sebenarnya adalah karakter di cerita pertama yang ternyata masih hidup setelah diculik? Ini menarik karena mereka mainin karakter yang berbeda, Siman tidak mengenali mereka. Penculikan dan pembantaian itu – as far as this movie views – benar terjadi. Alasan menggunakan pemeran yang sama untuk beberapa karakter sepertinya adalah untuk menunjukkan kesalingberhubungan.

Siman yang lidahnya dipotong karena peristiwa pendaratan bulan diparalelkan dengan keturunan atau keluarga terduga-PKI, karena berada di posisi yang sama. Sebagai saksi sekaligus sebagai korban. Sebagai pihak yang gak bisa membicarakan masalah yang mereka lihat atau alami. Pihak-pihak yang terbungkam. Film sepertinya ingin menyimbolkan para keturunan ini lewat karakter-karakter di masa kini yang diperankan dengan oleh aktor yang sudah memerankan karakter lain di masa lalu. Film juga menggunakan lalat untuk memperkuat ini. Menjelang akhir film kita melihat beberapa tokoh di-close up, dengan lalat di sekitar mereka. Termasuk juga Siman yang duduk dengan beberapa lalat berputar-putar di atas kepalanya. Lalat itu sepertinya adalah koneksi di antara mereka. Sebuah kesamaan. Yang menegaskan keparalelan yang ditarik oleh film tadi. Lalat itu juga berfungsi sebagai penanda sesuatu yang sudah lama tersimpan, sehingga busuk dan berbau. Dan kita tahu Siman sudah selama itu menyimpan kebenaran, hanya karena dia sudah dalam keadaan gak bisa untuk membeberkannya.

Membuat kita melihat dari sudut pandang Siman, menjadikan ini lebih emosional. Lebih dramatis, karena peristiwa yang menimpa Siman dapat kita tahu dengan pasti kebenarannya. Sehingga ketika kita melihat Siman yang bergerak pelan, mau itu sambil mengangkut barang atau berjalan mengantar map surat, diolok-olok oleh orang-orang di sekitarnya, kita menangkap itu sebagai sebuah komedi yang pahit. Kita bisa merasakan determinasinya. Untuk itu, aku semakin salut dengan Gunawan Maryanto yang memerankan, karena Siman ini sesungguhnya punya tuntutan fisik yang luar biasa. Dia melakukan semua hal; dia akan mengangkat asesoris besi, ataupun memanjat bak mobil, dengan superpelan. Ini nyatanya berat sekali untuk dilakukan. Tapi akting Gunawan tetap konsisten. Sesekali, pada beberapa adegan, kita mungkin akan terkikik juga melihat Siman, tapi tak sekalipun kita terlepas dari karakternya. Kita dengan efektif dibuat sudah terlanjur peduli dengan karakter ini. Ketika dia minum dengan gerakan superlambat saja, kita akan menatapnya. Menunggunya. Karena kita ingin menyelami apa yang ia rasakan.

Sutradara seperti ingin mengajak orang-orang untuk seperti Siman. Untuk bersikap: jika tahu pasti akan suatu kebenaran, you might as well say it. Ya, memang tidak mudah, apalagi jika kita adalah orang kecil. Akan selalu ada pembungkaman. Akan selalu ada fabrikasi cerita oleh orang yang lebih berkuasa. Siman, tanpa lidah, punya cara sendiri untuk bicara. Kita seharusnya juga bisa; lebih baik daripada Siman.

 

 

Tindakan Siman membangun rumah seperti roket dari perkakas mikrowave dan rangka mesin cuci, aksi Siman memesan baju astronot ala kadar, adalah penguat terhadap komunikasi yang berusaha ia lakukan. Aksi-aksi tersebut boleh jadi adalah teriakannya untuk menyadarkan orang-orang bahwa orang semiskin atau ‘sesederhana’ dirinya saja bisa kok untuk bikin sesuatu yang mirip roket. Siman sesekali nunjukin dia sebenarnya bisa bergerak normal, terutama dalam keadaan emosi yang sedang tinggi, entah itu saat marah atau lagi birahi. Yang lebih lanjut menyampaikan kepada kita bahwa sesungguhnya meskipun mulut dibungkam, sebenarnya kita masih bisa bertindak. Masalahnya adalah bagaimana orang-orang akan menangkapnya. Value Siman di mata orang-orang tetaplah hanya sebagai badut penghibur, and it his worst dia adalah seorang maniak. Lewat ini film dengan tepat menggambarkan kondisi bahwa memang tidak semudah itu untuk berkata.

It’s his/their words againts, who?

 

 

Tidak selamanya film ini sepi dialog. Karakter-karakter sekitar Siman akan sering bicara, kadang untuk penyambung lidah sang protagonis, namun sering juga sebagai eksposisi. Untungnya, kata-kata di film ini sama engaging-nya dengan visual yang ditampilkan. Film ini menyusun pengadeganan dengan banyak lapisan kedalaman gambar dalam setiap shot. Bayang-bayang digunakan untuk menciptakan lebih banyak lagi depth pada layar. Sehingga masing-masing frame film ini seperti sebuah jendela yang membingkai begitu dalam. Bahkan ketika film sudah ‘berwarna’ bayang-bayang terus difungsikan untuk menghasilkan depth yang membuat gambar-gambar menjadi semakin hidup, terus aktif. Sementara di background, telingaku yang biasanya gak merhatikan musik, tercuri juga perhatiannya. Oleh penggunaan musik yang kayak campuran musik film-film luar angkasa dengan musik film PKI. Turut membangun nuansa eerie yang spesifik sebagai identitas film yang bermain di realita dan fantasi seperti ini.

Dengan visi yang kuat, film ini sendirinya jadi berada dalam posisi yang cukup lucu. Cerita film ini bekerja dengan landasan berani mengungkap kebenaran, tapi memparalelkan suatu fiksi yang bisa dipastikan sendiri kebenarannya dengan fakta yang masih kabur terlihat agak seperti memaksakan argumen. Alur film ini butuh untuk kita percaya akan kebenaran atas palsunya pendaratan di bulan (ini fakta yang direka oleh cerita). Di lain pihak, untuk topik yang paralel dengan cerita itu, jadinya seperti memaksa untuk setiap penonton percaya pada kebenaran sesuai gagasannya. Film harusnya bisa membuka lebih banyak ruang untuk ini. Bagian tengah menjelang akhir yang agak nge-drag – karena kita mulai kehilangan arah mau dibawa ke mana cerita – mestinya bisa difungsikan untuk sebagai ruang-ruang tersebut. Menjadikan film jadi bahan obrolan yang lebih padet.

Seorang wanita dalam film ini menuduh Siman berpura-pura bisu karena Siman mampu mendengar. Sementara kita tahu Siman memang tidak bisa bicara karena lidahnya dipotong. Tapi bagaimana dengan kita? Kita toh bisa bicara. Kita juga tidak tuli. Kita mendengar hiruk pikuk kisah-kisah itu. Teknologi komunikasi pun sudah semakin maju. Apakah kita akan tetap bungkam terhadapnya?

 

 

 

Hiruk pikuk kebohongan yang tersaji dalam film ini bakal membuat kita berefleksi juga dengan keadaan sekarang. ‘Skenario’ di mana-mana. Lewat visual tight dan pengadeganan yang aneh, film menawarkan gagasan dengan cara yang menarik. Obrolan yang boleh jadi bakal berat, jadi seperti sedikit ringan – tanpa mengurangi intensitasnya – oleh film ini. Jika film Pemberontakan G30S/PKI dulu dikecam sebagai propaganda kebencian/pengantagonisan, maka film ini difungsikan sebagai propaganda untuk mengambil langkah yang heroik, sekuat tenaga, demi kebenaran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH)

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya interpretasi berbeda terhadap film ini?

Sebagai kontras dari karakter Siman, film ini menyiapkan karakter yang sungguh sureal. Yang seperti berjalan dalam dimensinya sendiri. Karakter seorang jenderal, atau seorang pemimpin, yang sudah ada (dan terus nongol sesekali) sejak syuting pendaratan bulan di awal. Memegang kamera. Seolah seorang sutradara yang menciptakan suatu kenyataan. Ada konflik pada karakter ini, ketika dia menyebut lantang untuk tidak mau berpartisipasi dalam kebohogan besar. Namun setelah-setelahnya, kita kerap melihat dia dengan kamera. Merekam dirinya mengendarai mobil. Merekam dirinya merokok. Tapi tidak ada kamera di mana-mana saat dia menyimpan reel video hasil syuting pendaratan bulan. Tindakan merekam diri itu juga sepertinya dikontraskan lebih lanjut dengan kehadiran karakternya Lukman Sardi (eks-TKI di Jepang) yang ‘kedapatan’ sering merekam sesuatu lewat kamera hapenya. Sampai titik ulasan ini ditulis, aku belum yakin tokoh jenderal/pemimpin besar ini merepresentasikan apa, apakah komentar sutradara terhadap presiden saat itukah?

Apakah menurut kalian film ini lebih pantas untuk menjadi wakil Indonesia ke Oscar tahun depan?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

BLACK BEAR Review

07 Monday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2020, drama, family, filmmaking, funny, love, mature, review, spoiler, thought, writing

“Writing is a process where you’re feelings flows as ink being shaped as words”

 

 

 

Bagian paling sulit dalam menulis itu adalah permulaannya. Saat-saat kita menatap kertas kosong. Semakin dipelototin, maka semakin bingunglah kita mau nulis apa. Semua orang yang pernah menulis pasti pernah merasakannya. Itu terjadi sebenarnya bukan karena kita bego atau semata karena lagi gak ada ide. Melainkan bisa jadi karena kita sebagai penulislah yang belum siap secara mental. Karena sesungguhnya menulis itu adalah proses bicara dengan diri sendiri – yang kita lakukan dengan membuka pintu-pintu di dalam diri. Masing-masing kita punya pintu tersendiri yang sulit dibuka. Dan hanya benar-benar akan terbuka jika kita sudah siap untuk meng-embrace apa yang ada di dalam sana. Mungkin sesuatu yang ingin kita lupakan, atau yang ingin kita ubah.

Aku bukannya mau ngajarin nulis. Wong aku nulis aja masih cupu kok. Masih salah-salah. Buktinya aku mana berani kalo disuruh nulis buku untuk pemerintah. Yang aku bicarakan ini tentu saja adalah soal film. Black Bear, karya Lawrence Michael Levine, menawarkan sudut pandang seorang penulis/sutradara yang lagi kena writer’s block. Bengong mau nulis apa. Akhirnya si penulis ini – namanya Allison (peran yang totally owned by Aubrey Plaza) – menuliskan sesuatu di atas kertas putih itu. Sesuatu yang terbaca sebagai tentang bertemu beruang di jalan. Kita langsung menyelami yang ia tuliskan. Dan itu adalah pengalaman yang membingungkan, sekaligus memilukan. Karena Allison – menguatkan diri sekuat-kuatnya – menulis dari pengalaman paling emosional yang terjadi di kehidupan percintaan dan karirnya.

Masih untung dia gak nulisinnya di kertas buku diari Tom Riddle

 

Ada alasan kenapa aku menceritakan paragraf sinopsis barusan dengan sangat samar. Karena aku ingin ngasih batasan spoiler; batasan untuk mana yang harus kalian ketahui sebelum menonton, dan mana yang untuk sesudah menonton film. Paragraf ini adalah batasan yang dimaksud. Jika kalian belum nonton, bacalah hanya paragraf ini dan dua paragraf di atas saja. Sekadar mengetahui tentang apa sebenarnya film ini. Kita enggak pantas untuk mengetahui dengan lengkap tanpa nonton, karena Black Bear ini adalah jenis film yang ketika kita ingin membicarakannya, itu berarti kita harus membicarakan ‘semuanya’. Ini adalah jenis film yang semua adegannya ada maksud dan tujuan. Dirancang sedemikian rupa sehingga urutan adegan tersebut diceritakan saja, punya makna.

Secara konsep dan bangunan cerita, Black Bear mirip dengan Mulholland Drive (2001), atau kalo mau yang lebih recent, mirip ama film Netflix I’m Thinking of Ending Things (2020). Ceritanya seperti terbagi jadi dua buah kisah. Meskipun pemainnya itu-itu juga, tapi antara cerita di awal dengan di akhir, mereka memainkan tokoh yang berbeda-beda. Cerita bagian pertama Black Bear mengisahkan Allison menyewa kamar di sebuah rumah di tengah hutan. Rumah tersebut milik Gabe dan pacarnya, Blair yang lagi hamil.. Berawal dari basa-basi kenalan, interaksi ketiga karakter ini menjadi intens saat Gabe dan Blair mulai berdebat sampai Allison terbawa-bawa. Cerita ini berakhir dengan peristiwa yang naas. Kemudian, setelah adegan transisi yang sama dengan adegan opening dan adegan penutup (Allison duduk di dermaga kayu, menatap danau dengan tampang sedih), kita berpindah ke cerita kedua. Rumah tengah hutan itu kini berpenghuni lebih banyak orang. Bukan lagi penginapan airbnb, melainkan sebuah tempat syuting. Allison adalah bintang film di sini. Dan syuting film yang ia mainkan nanti cerita mirip sekali sama adegan perdebatan yang kita lihat pada cerita bagian pertama. Hanya rolenya yang berbeda – Allison bertukar posisi dengan Blair, dan Gabe kini jadi sutradara. Cerita kedua ini seperti berakhir dengan emotionally mengenaskan bagi Allison, karena kali ini dia yang diselingkuhin, tapi ada sesuatu yang menguatkannya di sini.

Saat kredit penutup bergulir, giliran kita penonton yang akan bengong. Apa maksudnya itu tadi? Jadi Allison dan Gabe dan Blair itu sebenarnya gimana? Mana yang nyata mana yang tidak? Apa pula maksudnya ada beruang itu? Mencernanya bulat-bulat hanya akan membuat film ini tampak sebagai dua cerita yang berhubungan tapi gak saling nyambung; alias film ini jadi SANGAT MEMBINGUNGKAN. Tapi bingung film ini adalah bingung yang mengasyikkan. Bingung yang aku suka. Karena kita tahu kebingungan yang dihadirkan ini berkenaan dengan sisi personal seorang manusia. Berakar ke karakter. Ke perasaan yang ia pendam. Sesuatu yang bisa kita relasikan, yang bisa kita ‘pegang’. Sehingga kita bisa peduli. Bukan bingung karena aturan-aturan konsep sci-fi atau semacamnya yang gak ada weight apa-apa ke karakter, selain buat nunjukin kalo pembuatnya ‘cerdas’ (yea I’m talking about you, Tenet) Black Bear punya pondasi berupa tokoh utama yang karakternya benar-benar digali. Kita bisa merasakan fokusnya tetap pada apa yang dirasakan oleh Allison. Adalah dunia si cewek ini yang dijadikan keseluruhan film. Jika ini puzzle, maka kepingan yang kita susun itu akan membentuk gambar Allison. Kepingan-kepingan puzzle itu kita dapat dari dialog, dan terutama oleh detil visual yang dihadirkan oleh film.

Jadi Black Bear ini bangunan ceritanya berupa film di dalam film, dan dua lapisan itu dibungkus lagi oleh lapisan Allison yang lagi berjuang dengan proses kreatif menulis yang ia lakukan. Allison menggali ke dalam dirinya dan menjadikan suatu peristiwa dalam hidup sebagai materi untuk ceritanya. Adegan Allison di dermaga yang muncul tiga kali adalah kunci utama; adegan-adegan itu layaknya pinggiran pada puzzle film ini. Yang harus diperhatikan adalah danaunya. Pada opening – dan penutup – danau di adegan ini berkabut banget, tidak dapat terlihat apa yang ada di baliknya. Hal tersebut bisa kita artikan sebagai simbol dari state of mind Allison – dia belum tau pasti mau menulis apa. Dia hanya berusaha mengingat. Detil penentu pada dua adegan itu adalah closeup yang menunjukkan arah pandangan mata Allison. Dia selalu melirik ke kiri dan kiri bawah. Secara teori, gaze yang mengarah ke kiri menandakan seseorang sedang ‘bicara dengan dirinya sendiri’ alias sedang mengingat perasaan yang pernah dialami. Setelah adegan ini, kita melihat Allison duduk menulis dan masuklah kita ke cerita bagian pertama; Allison jadi tamu di penginapan Gabe dan Blair. Jadi bagian ini adalah cerita karangan Allison yang ia adaptasi dari peristiwa emosional tertentu yang masih ia rasakan hingga sekarang. Ketika adegan di dermaga itu muncul lagi pada pertengahan cerita, suasananya jauh berbeda. Danaunya jernih, mata Allison pun menatap ke depan; ke kamera kru yang mengambil gambarnya dari perahu. Ini menandakan bahwa adegan tersebut somewhat asli, alias paling tidak Allison sudah ‘pasti’ bagaimana kejadiannya akan berlangsung. Tapi tetep kita harus ingat bahwa ini adalah sudut pandang Allison, jadi bagian ini meskipun peristiwa kehidupan asli Allison, ini bukan kejadian asli alias bukan adegan flashback – kita tidak mundur ke waktu yang lalu. Melainkan kejadian lampau yang dimainkan ulang di benak Allison. Ingatan yang sudah ia tempa. Seperti ketika Slughorn di Harry Potter memodifikasi ingatan yang ia berikan kepada Potter, mengubahnya supaya tidak kelihatan dia-lah yang ngajarin Horcrux ke Tom Riddle.

Dalam cerita pertama, Allison memanifestasikan dirinya sebagai fun dan cool. Sutradara dan penulis cewek yang mandiri, yang datang untuk mencari ide. Sedangkan dalam cerita kedua, dalam peristiwa asli, Allison sedang stress karena suaminya, si sutradara film yang ia bintangi, lebih ramah kepada aktris muda, alias si Blair. Allison cemburu. Sehingga mempengaruhi penampilan aktingnya. Dia bertengkar dengan suami. Itulah kejadian yang sebenarnya; memori menyedihkan yang disimpan oleh Allison. Ia meninggalkan suami yang selingkuh dan sekarang ia berjuang sebagai sutradara karena gak lagi dipakai sebagai aktor. Nah, peristiwa itu diadaptasi oleh Allison. Dia membalikkan keadaan, dan menjadikan dirinya ‘jagoan’. Pada cerita yang pertama, yang bertengkar adalah Gabe dan Blair over conversations soal feminis. Blair lah yang stress, Blairlah yang diselingkuhi. Beberapa perkataan Allison pada cerita pertama, kita lihat buktinya di cerita kedua. Begitupun dengan hal-hal yang di-alter Allison di cerita pertama, kita lihat kebenarannya di cerita kedua. Seperti tentang Allison yang udah gak jadi artis karena attitudenya menyulitkan kru, dan tentang suami yang sebenarnya ada tapi ia anggap tak ada.

Nah di sinilah makna urutan bercerita itu ambil bagian. Jika film berjalan linear, dimulai dari syuting hingga ke berantem dan kini Allison mengarang cerita baru yang berusaha untuk lebih membahagiakan bagi dirinya maka feeling dan impact peristiwa itu gak akan tersampaikan kuat kepada kita. Untuk cerita seorang penulis yang harus dealing with her past, pergolakan maksimal memang harus dilakukan dengan melihat dulu seperti apa dia memandang masa lalunya itu. Dalam film ini kita melihat meskipun Allison sudah berani membuka pintu itu, berani untuk mengingatnya, tapi dia belum berani untuk menghadapi apa yang sebenarnya terjadi.

menatap ulasan yang panjang… BEAR WITH IT!!

 

Daaan, masuklah peran si beruang hitam. Hewan beruang dalam literasi melambangkan keberanian. Dalam film ini, beruang itu basically bertujuan sama. Ia sebagai simbol yang menghantarkan kepada keberanian. Beruang di sini tepatnya adalah kenyataan. Dalam cerita pertama, Allison menghindar sampai kecelakaan saat beruang itu muncul di jalan. Effectively menghentikan karangannya – menghentikan denial yang ia lakukan. Beruang di cerita pertama muncul seiring rasa bersalah timbul di karakter Allison yang ia tulis. Kenapa bersalah? Karena yang ia tuliskan adalah Allison menyebabkan Gabe dan Blair bertengkar. Implikasi ceritanya adalah Allison itu sengaja bersikap ‘hard to read’ demi menggali sesuatu yang bisa ia tulis dari hubungan dan toxicnya relasi Blair dan Gabe. Maka si beruang muncul, ngingetin that’s a lie. Bawah sadar Allison lalu terpaksa memainkan ulang peristiwa yang sebenarnya (cerita yang kedua). Tapi nyatanya peristiwa yang kita lihat itu masih difabrikasi oleh Allison. Ingat, konteksnya adalah semua ini sudut pandang Allison, sehingga tidak mungkin kita bisa melihat apa yang tidak Allison lihat langsung. Tidak mungkin Allison bisa tahu bahwa Gabe si sutradara dan Blair pura-pura mesra supaya akting Allison tampak natural. Ini hanya alasan yang Allison tampilkan kepada kita, karena di titik itu dia belum menerima bahwa dia diselingkuhin oleh suaminya. Dia make-believe itu semua; Dia hanya ditipu, maka di cerita ia bikin Allison yang ‘menipu’ – semua orang gak kompeten, maka di cerita ia bikin Allison adalah sutradara dan writer yang berkepribadian cemerlang. Di menjelang akhir, beruang itu lantas muncul lagi, ngingetin that’s a lie dengan hadir barengan suaminya selingkuh. Namun di titik itu, Allison sudah banyak belajar dari masa lalunya tadi. Hingga dia sekarang berani untuk menatap beruang, malah mendekatinya. Dan cerita kedua itu pun berakhir. Ditutup dengan adegan dermaga berkabut, yang langsung disambung Allison menulis dan matanya menatap kita. Menatap ke depan. Menandakan dia sudah siap menuliskan kisah romansa dan karirnya dengan sebenar-benarnya.

Seperti Mulholland Drive dan I’m Thinking of Ending Things, film Black Bear ini juga sesungguhnya adalah tentang orang yang mereka-reka ulang masa buruk dalam hidup mereka. Kedua film itu bisa dibilang berakhir tragis, tapi Black Bear ditutup dengan nada berani dan semangat yang menantang. Karena berbeda dengan tokoh di dua film itu, Allison di sini melakukan sebuah proses healing, yakni menulis. Dia menghadapi masa lalunya head on. Dan dia jadi pribadi yang lebih baik. Menulis, bisa membuat kita jadi manusia yang lebih baik, particularly dengan membuat kita jadi berani memahami diri sendiri.

 

 

 

Semoga panjangnya ulasan ini tidak membuat gentar kalian-kalian yang ngintip ke sini sebelum menonton. Karena memang film ini sungguh sayang untuk dilewatkan. Eksekusinya tidak pernah membosankan berkat permainan akting yang emosional dan sangat manusiawi dari para karakter. Dialog-dialog mereka juga membuka ruang diskusi dan menarik untuk disimak. Sehingga sekalipun kita belum bisa mencerna maksud filmnya, tapi setidaknya kejadian demi kejadian masih bisa diikuti dan bergizi ditonton sebagai drama antar-manusia. Enggak sekalipun film ini terasa cheesy maupun pretentious. Ia juga tidak tertarik untuk mengecoh dengan twist. Cerita bagian dua dapat juga menarik bagi yang pengen tahu proses syuting, karena ngasih kita gambaran tentang bagaimana sebuah adegan disyut, sekaligus kendala-kendala yang mungkin saja terjadi.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLACK BEAR.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya interpretasi berbeda terhadap film ini? Atau apakah kalian punya pengalaman healing sendiri berkaitan dengan proses menulis?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE CALL Review

01 Tuesday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 13 Comments

Tags

2020, drama, family, friendship, horror, mature, mystery, netflix, review, South Korea, spoiler, thought, thriller, tragedy, violence

“The past cannot be changed, it can only be accepted”

 

 

 

 

Pernahkah kalian ngerasa ingin kembali ke masa lalu, untuk mengubah hal kecil yang kalian lakukan dahulu – seperti ngunci pintu sebelum pergi atau ngelarang seorang untuk pergi – supaya kalian bisa memperbaiki masa depan sehingga gak suram-suram amat? Well, jika pernah, maka nonton thriller berjudul The Call dari Korea ini akan bisa memberikan peringatan kepada kalian.

Untuk tidak bermain-main dengan masa lalu. Untuk menerima kehidupan dan bersyukur atas apa yang hidup gariskan kepada kita. Karena masa lalu sejatinya bukan untuk diubah, melainkan untuk diterima, supaya kita bisa belajar kesalahan darinya.

 

The Call adalah dongeng supernatural yang mengisahkan Seo-yeon, seorang wanita muda yang meratapi kehidupannya yang sekarang. Ayahnya meninggal sewaktu ia kecil karena kejadian yang ia yakini sebagai kelalaian dari sang Ibu. Membuat Seo-yeon belum bisa memaafkan Ibunya. Dia sulit menerima kenyataan. Kecuali di satu waktu ketika kenyataan itu menawarkan suatu kesempatan unik kepada dirinya. Pesawat telepon di rumah masa kecil Seo-yeon berdering, gadis bernama Young-sook menelepon dari rumah yang sama – dari tahun 1999! Telepon itu jadi penghubung Seo-yeon dan Young-sook; penghubung masa kini dengan masa lalu. Membuat mereka bisa mengubah keduanya, untuk mereka berdua. Kedua wanita yang sama-sama bakal menghadapi peristiwa mengenaskan itu akhirnya memang jadi berteman. Young-sook membantu menyelamatkan ayah Seo-yeon, sehingga masa depan itu – masa kini Seo-yeon – berubah total. Jadi ceria dan bahagia. Kini giliran Seo-yeon, membantu Young-sook menghindari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh ibu si sahabat lintas-waktunya. Masalahnya adalah; Young-sook ternyata tidak se-innocent yang dikira. Dan boleh jadi sudah terlambat bagi Seo-yeon untuk menyadari bahwa masa kininya sekarang sudah berada di bawah kendali Young-sook si pembunuh berantai!

Hallo, the 90’s called, and she wants your reciprocation back!

 

 

Saat kuliah di Teknik Geologi dulu aku belajar prinsip yang berbunyi “The present is the key to the past”, yang bermakna sebuah struktur batuan atau fenomena kenampakan alam yang kita lihat di masa sekarang dapat memberikan informasi seperti apa kejadian alam di masa terdahulu, sehingga struktur dan kenampakan itu bisa terbentuk. Kita bisa belajar banyak tentang masa lalu dengan meneliti ‘result’nya di masa depan. Film The Call garapan Chung-Hyun Lee agaknya membalikkan itu semua, karena dalam thriller bunuh-bunuhan ini masa lalu-lah yang dijadikan kunci. Kengerian dalam cerita ini muncul dari ketidakberdayaan Seo-yeon atas kehidupannya. Memang, ada beberapa adegan di mana dia mempelajari banyak catatan, guna menyimpulkan kejadian di masa lalu dan menggunakan informasi itu untuk membantu Young-sook. Akan tetapi, semua itu di bawah perintah si Young-sook yang kerap mengancamnya. Dalam titik yang paling intens, kita akan menyadari betapa mudahnya bagi Young-sook untuk menghabisi hidup Seo-yeon hingga ke akar-akarnya. Ini adalah pertarungan antara masa depan dengan masa lalu, dan masa lalu itu ditampilkan menang karena masa depan itu naturally adalah hasil dari masa lalu. Film bahkan nampilin adegan Seo-yeon berusaha menjebak Young-sook, tapi gagal. Ketidakberdayaan karena gak punya kendali atas masa lalu itulah yang dijadikan konsep dari bangunan cerita The Call. Menjadi tontonan menarik, saat seorang tokoh berusaha melawan hal yang tidak bisa ia kendalikan.

Bukan kalimat geologi itu saja yang dimainkan oleh film ini. Chung-Hyun Lee juga bermain-main dengan konsep timeline, atau dua periode cerita yang disatukan. Memang bukan hal yang baru, tapi Chung-Hyun Lee berhasil menyuguhkan thriller yang seru dari sana. Dalam anime Your Name (2016) kita juga sudah melihat gimana komunikasi antara dua orang dari zaman berbeda bisa terbentuk dan mengakrabkan, tapi film tersebut berujung romansa sedangkan dalam The Call ini kita melihatnya bukan saja sebagai cerita serial-killer yang unik, melainkan sekaligus sebagai sebuah hubungan aksi-reaksi peristiwa yang berkesan benar-benar mengerikan. Di film ini, alur bolak-balik disulam untuk menghasilkan revealing dan surprise yang membuat suspens dan intensitas cerita semakin naik seiring berjalannya durasi. Editing yang digunakan untuk menguatkan feel cerita juga sangat precise, sehingga setiap kali berpindah periode, emosi ataupun intensitas cerita tidak ada yang ketinggalan. Tidak sekalipun kita merasa terlepas dari film ini berkatnya.

Untuk aturan-dunianya sendiri, film memang tidak mau repot-repot menjelaskan. Dengan membuat karakter ibu Young-sook berprofesi sebagai shaman alias dukun, secara subtil film ini ingin mengarahkan logika kita kepada hal-hal supernatural. Bahwa semua itu dapat saja terjadi karena cerita ini berada dalam dunia di mana shaman, premonisi, ritual, dan hal-hal gaib adalah hal yang ‘nyata’. Sehingga meskipun medianya berupa telepon-tanpa-kabel, logika kita tidak lantas menuntut penjelasan ilmiah ala sci-fi atas peristiwa koneksi yang terjadi antara kedua karakter sentral. Melainkan, ya, ini adalah peristiwa supernatural. Dan kurasa, bagi mindset orang kita – dan orang mereka karena sama-sama Asia – minimnya penjelasan logis soal itu sama sekali bukan dalam artian menggampangkan-cerita, melainkan kita melihatnya sebagai bagian dari latar. Ini juga yang mengakibatkan film ini gak jadi needlessly ribet dengan aturan dan cara kerja dunianya. Membuat kita jadi lebih mudah menyimak apa yang terjadi kepada karakter, baik secara inner maupun outer journey. Dan aku lebih suka mikirin soal karakter manusia itu ketimbang berpusing ria mikirin ‘how pseudo-technology atau science gaib atau time-inverse works’.

Untung kedua tokohnya gak mirip, bisa-bisa ntar ada sutradara yang bikin tulisan panjang lebar soal teori kenapa muka orang Korea sama semua

 

 

Namun, penutup film ini toh memang bikin bingung setengah mati. Aku baca di timeline Twitter, banyak penonton yang ngeluhin soal extra-ending film ini. Banyak juga yang membahas teori-teori kejadian sebenarnya yang mungkin terjadi. Untuk tidak menge-spoil keasyikan kalian ikut berteori, maka aku hanya akan nulis ngambang aja soal pendapatku terhadap adegan tersebut, dan maknanya. Menurutku adegan ekstra tersebut bisa saja diniatkan untuk membuka peluang sekuel – karena toh interaksi kedua karakter sentral ini menarik dan bikin nagih – tapi honestly, buatku ending di ekstra itu adalah akhiran yang paling pas untuk mengikat arc si Seo-yeon. She totally deserves whatever she got in the end. Karena dia-lah yang duluan ingin mengubah masa lalunya. Dia-lah yang nyalahin ibu dan gak mau menerima kenyataan – yea, kupikir si Young-sook berkata jujur saat mengungkap kejadian sebenarnya di tragedi ayah Seo-yeon. Sedari awal Young-sook yang gila itu enggak pernah memanipulasi Seo-yeon untuk berbuat sesuatu, dia hanya menelepon. Aksi dan pilihan tindakan Seo-yeon lah yang memutarbalikkan semua. Buatku memang film ini sangat powerful jika dipandang sebagai cerita peringatan.

Orang yang berkubang di masa lalu pada akhirnya enggak akan mendapat masa depan, dan itulah yang persisnya terjadi kepada Seo-yeon di ending itu. Sementara orang yang beraksi di masa kininya, akan bisa ‘mengendalikan’ masa depannya sendiri nanti, seperti yang kita lihat terjadi pada Young-sook.

 

Sesuai dengan perkembangan/development karakternya itu, kita akan menemukan bahwa si Seo-yeon makin ke belakang, akan semakin ‘lemah’ posisinya sebagai tokoh utama. Dalam konfrontasi final, misalnya, protagonis ini malah tidak berbuat apa-apa. Tidak ikut beraksi. Cuma duduk di sana menyaksikan dua karakter lain berantem. Secara pengembangan cerita, aku bisa paham. Namun protagonis seharusnya tidak bisa diposisikan seperti itu. Buatku ini jadi nilai minus yang tak bisa dihindari karena gagasan film mengharuskan kejadiannya seperti itu. Mungkin yang bisa film ini perbaiki adalah efek visualnya. Saat masa lalu berubah, masa kini Seo-yeon turut mengalami perubahan drastis. Film memvisualkannya dengan efek yang ‘wah’, seperti mobil yang tiba-tiba menyerpih menghilang, kaca-kacanya pecah, dan segala macam. Efek ini buatku agak sedikit over dan kurang mewakili perasaan karakter. Mestinya efek menghilang itu bisa dibikin lebih kuat lagi ‘merenggut’ karakter yang ada bersamanya.

 

 

 

Cerita yang bolak-balik masa kini dengan masa lalu ternyata bisa diolah menjadi sesuatu yang mengerikan. Memparalelkan dua waktu tersebut ternyata tidak selalu harus dibikin ribet. Film ini berhasil menyajikan thriller yang menegangkan, dengan interaksi yang menarik antara karakter dari dua periode waktu berbeda. Secara teknis, film ini didukung oleh penampilan akting dan editing yang sangat cakap. Membuat arahan film berjalan dengan mulus. It does work really well as a warning story, buat orang-orang yang merasa gak bahagia karena tragedi di masa lalu. Akhir ceritanya memang bisa membingungkan, tapi jika kita berpegang kepada pemahaman terhadap apa yang dipelajari oleh karakter, bagian membingungkan tersebut bisa terjelaskan dengan sendirinya, dan bukanlah jadi masalah besar, at all.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE CALL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya teori sendiri tentang apa yang terjadi di adegan credit? Bagaimana pendapat kalian tentang Seo-yeon yang harus kehilangan segalanya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

REBECCA Review

29 Thursday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ 7 Comments

Tags

2020, adaptation, comparison, drama, life, love, mature, mystery, netflix, novel, psychological, review, romance, spoiler, thought

“The shadow of someone’s greatness is not a good place to dwell.”

 

 

 

Sudah 2020 akhir, dan sampe sekarang aku masih belum benar-benar paham tujuan orang ngeremake atau ngereborn sesuatu, selain karena soal duit. Tapi tampaknya memang begitu; hanya untuk mendulang untung semata. Makanya yang dibuat ulang itu selalu merupakan hal-hal yang populer. Atas nama nostalgia. Sesuatu yang sudah bagus, perfectly fine, juga sering banget dibikin lagi versi barunya. Alasannya tentu saja untuk diremajakan, disesuaikan dengan keadaan modern, sebagai upaya pelestarian. Alasan tersebut sebenarnya masuk akal kalo memang dibarengi oleh usaha yang benar-benar kelihatan. Namun kebanyakan ya setengah-setengah. Memaksa narasi masuk ke dalam sebuah catatan zaman yang sebenarnya memang susah untuk diubah. Tengok aja adaptasi live-action Disney yang gagal dengan gemilang karena menjejalkan agenda-agenda sosial yang baru, tanpa diiringi dengan proses adaptasi yang lebih matang. Atau gimana horor seperti Pengabdi Setan atau Ratu Ilmu Hitam yang menanggalkan identitas lokal hanya untuk sebentuk gagasan progresif (ustad gak selamanya menang lawan hantu!) tanpa menawarkan solusi baru.

Jadi, yaa, aku heran aja sama remake; kenapa yang dibuat ulang itu bukan film atau cerita yang berpotensi tapi gagal untuk konek. Istilahnya, kenapa bukan film-film jelek yang diremake supaya bisa diubah menjadi lebih bagus. Lebih prestasi kan kalo gitu, like, ‘Gue dong bisa bikin film jelek jadi bagus!’ daripada malah dikenal membuat film yang gagal live up ke keberhasilan film versi jadul. Bukankah berkarya bisa lebih luwes jika tidak ada bayang-bayang gede yang memayungi. Perihal Rebecca versi Netflix ini juga; aku paham sutradara Ben Wheatley bilang karyanya ini merupakan adaptasi terbaru dari novel sumber ceritanya. Dan aku juga paham bahwa sudah ada banyak sebelum ini yang menjadikan cerita Rebecca sebagai inspirasi – sudah banyak ‘adaptasi’ bebas dari cerita ini. Namun tetep saja, film ini tidak bisa lepas – tidak bisa untuk tidak kita bandingkan – dengan bayang-bayang gede yang sudah diciptakan oleh Rebecca versi 1940an. Dan ini ironi. Sebab film yang terjebak di bawah bayang-bayang film sebelumnya ini jadi persis sama seperti ceritanya sendiri.

Rebecca adalah cerita tentang seorang wanita muda, yatim piatu, yang jatuh cinta kepada seorang pria kaya. Tentu saja tadinya wanita ini tak pernah bermimpi bisa jadi nyonya di rumah besar itu. Pertemuan mereka kasual saja. Di Monte Carlo saat si wanita masih menjadi asisten pribadi seorang wanita terpandang. Dia bahkan belum tahu kalo Maxim de Winter yang lebih tua itu sebenarnya siapa. Barulah ketika bosnya mengajak ke New York, wanita ini resah. Dia tidak siap berpisah dengan Maxim yang sudah beberapa waktu ini terus bersamanya. Maxim juga begitu. Tak ingin berpisah, pria itu lantas langsung ngajak nikah! Si wanita diboyong ke rumahnya, Manor Manderley. Tapi kebahagian hidup baru si wanita ini bukan tanpa beban. Karena ternyata Maxim adalah duda. Dan hantu Rebecca, mantan istrinya, masih ada di rumah besar tersebut. Menghuni setiap sudut rumah. Hidup di dalam kenangan dan cerita para pelayan. Hidup, di dalam kepala wanita muda yang malang.

The Haunting of Manderley Manor

 

Jika Mrs. de Winter yang baru tersebut hidup dalam bayang-bayang Rebecca, maka film Rebecca versi Netflix ini dibayangi oleh Alfred Hitchcock; sebagai sutradara film versi jadul. Dan bayang-bayang itu tak pelak adalah bayang-bayang yang besar, lantaran Hitchcock merupakan master dari horor dan suspens. Dalam kemudinya, Rebecca mencuat sebagai roman dengan nuansa psikologikal misteri yang mencekam. Rebecca Hitchcock yang hitam putih hadir mempesona sekaligus daunting berkat teknik storytelling. Sedangkan Rebecca baru ini cantik karena lebih vibrant oleh warna dan terasa punya nada berbeda yang berakar dari karakterisasi yang memang ditulis sedikit berlainan dengan materi aslinya.

Hal tersebut actually adalah peningkatan yang berhasil dilakukan oleh film ini. Ketika di film yang lama, perspektif ceritanya seperti berpindah karena si wanita muda ini lebih pasif dan tidak memikul banyak aksi, maka Rebecca baru ini memposisikan Mrs. de Winter itu lebih kuat sebagai tokoh utama. Ini bagian dari agenda progresif yang disematkan kepada film ini. Bahwa zaman sekarang wanita haruslah kuat, capable dalam memutuskan dan beraksi sendiri. Wanita Muda memang jadi lebih menonjol, pada babak ketiga arcnya terasa lebih dramatis. Kita tak pernah lepas darinya. Tokoh ini lebih solid sebagai tokoh utama dibandingkan dirinya versi jaman dahulu. Tapi juga, perubahan karakter ini menjadi akar utama masalah yang hadir dalam keseluruhan tone dan presentasi film ini.

Lily James yang memerankannya cantik, no doubt. But Joan Fontaine, pemeran versi 1940, was just on another level. Kecantikan Wanita versi Joan bersumber dari betapa lugu, inosen, dan nervousnya dia. Kunci dari suksesnya suspens psikologis cerita ini adalah rasa percaya kita terhadap si Wanita Muda bahwa ia adalah seorang yang fragile. Secara emosional dan fisik dia merasa inferior dibandingkan banyak orang lain. Apalagi terhadap Rebecca yang eksistensinya masih terasa di Manderley. Itu inti ceritanya. Si Wanita merasa kecil, dia membandingkan dirinya sendiri dengan Rebecca – yang sosoknya ia bangun sendiri dari cerita-cerita para pelayan – dia menciptakan sosok yang ia merasa iri sendiri kepadanya. Lily James yang memerankan Wanita Muda dengan karakterisasi kekinian tidak pernah tampak serapuh ini. Tokohnya dituliskan tetep sebagai orang yang polos dan inosen, tapi juga lebih pede, lebih tangguh. Bahkan secara emosional tampak lebih dewasa, menyamai Maxim yang harusnya jauh lebih matang dan kokoh. Sehingga feel dan tensi psikologis yang menderanya tidak utuh tersampaikan kepada kita. Menjadikan keseluruhan film terasa lebih datar karena nada yang diniatkan untuk tidak dapat tercapai, karena terinterferensi oleh karakter yang dibuat kuat sekarang.

Terlalu keras berusaha menjadi seperti seseorang, berusaha untuk menggantikan mereka di mata orang lain, hanya akan membuat kita layaknya bayangan hampa dari sosok mereka. Wanita Muda itu harus belajar untuk tidak tenggelam ke dalam rasa iri ataupun rasa khawatirnya terhadap apakah Rebecca lebih cantik, lebih pintar, atau lebih penyayang ketimbang dirinya. Tidak seorangpun mesti membandingkan diri dengan orang lain seperti itu. Kita seharusnya menciptakan bayang-bayang kita sendiri.

 

Karakter yang kuat ini juga membuat para pendukung tidak lagi begitu mengintimidasi. Salah satu faktor penting yang membuat Wanita Muda begitu keras membully dirinya sendiri adalah karena ia percaya setiap pelayan – terutama Kepala Housekeeper – membenci dirinya yang berusaha menggantikan posisi Rebecca. Si Mrs. Danvers itu memang bertingkah paling dingin, tapi ketika dipadukan dengan Wanita Muda versi Lily James, dinamika menekan-dan-tertekan itu tidak terasa. Aku bukannya mau bilang Wanita Muda harusnya tetap dibuat lemah, ataupun karakter itu tidak boleh kuat. Melainkan, harusnya ada usaha lain dari sutradara untuk mengakomodir karakter yang secara natural telah dibuat kuat ini. Singkatnya, ini kembali kepada kemampuan sutradara. Hitchcock membangun suspens dengan gerakan/permainan kamera. Setiap interaksi tokoh utama dengan pelayan atau penghuni rumah selalu diakhiri dengan kesan Si Wanita merasa dirinya menjadi semakin kecil. Yang dicapai simply dengan menjauhkan kamera dari si Wanita, atau mendekatkan kamera ke lawan bicaranya. Rebecca yang baru tidak punya ‘permainan’ seperti demikian.

Penekanan di babak ketiga saat si Wanita kemungkinan harus membela seorang pembunuh juga tidak lagi terasa

 

 

Tidak ada close-ups cantik, saat kamera lingering wajah satu tokoh yang memikirkan gejolak yang melandanya. Rebecca yang baru berserah kepada permainan dan teknologi visual untuk meng-elaborate maksud. Namun tidak konstan berhasil menghasilkan kesan surreal atau disturbing. Film ini menggunakan adegan-adegan mimpi – berjalan di lorong sepi lalu ada sulur-sulur tanaman yang menarik diri ke lantai, sementara film yang lama cukup memperlihatkan tokoh yang tidur dalam keadaan gelisah. Bergerak-gerak resah di atas ranjang. Membuat imajinasi kita terbang mengenai mimpi semengerikan apa yang ia lihat, perasaan segundah apa yang menggerogoti pikirannya.

Yang paling membedakan buatku – yang paling menentukan keberhasilan film ini dalam menafsirkan cerita aslinya buatku – adalah poin soal tokoh Rebecca itu sendiri. Ini krusial karena berkaitan dengan tokoh utama, dan aku yakin merupakan konsep paling utama yang harus dibangun oleh siapapun, media apapun yang bakal menceritakan ulang. Sosok Rebecca. Sosok itu haruslah tidak pernah terlihat. Karena dialah yang dikontraskan dengan si Wanita Muda. Tokoh utama kita tidak pernah disebutkan namanya, but she’s there. Nama Rebecca terus bergaung meskipun dia sudah tidak ada di dunia. Dinamika kontras ini harus dijaga oleh si pencerita karena bagian dari keresahan si tokoh utama. Membuatnya merasa eksistensinya semakin kecil, kalah sama orang yang tinggal nama. Menghadirkan sosok Rebecca, meskipun hanya dari belakang dan di dalam kepala tokoh, membuyarkan bangunan kontras ini. Karena bagaimanapun juga bagi kita yang melihat, ya tokoh itu jadi ada. Dinamika itu tidak utuh lagi. Dan ini actually dilanggar oleh film Rebecca yang baru. Sehingga bagiku yang timbul kesan si pembuat belum mengerti benar, atau mungkin lupa, terhadap apa sih sebenarnya kekuatan dari cerita ini.

 

 

 

Bayang-bayang yang menaunginya sangatlah besar, film ini tidak bisa untuk tidak dibandingkan dengan pendahulunya. Ada banyak perbedaan antara kedua film tersebut, tapi yang paling terasa adalah perbedaan arahannya. Absennya suspens ala Hithcock. Bagaimana dengan penonton yang belum pernah menonton versi jadul? Tidak akan berpengaruh banyak. Karena meskipun kita bisa mengapresiasi alur yang lebih nutup, tokoh utama yang lebih kuat, romance yang lebih hangat, dan vibrant yang lebih berwarna, film ini hampa dari segi misteri. Dan mengingat misteri tersebut krusial untuk penyampaian emosinya, maka film ini pun tidak berhasil menghantarkan emosi yang kuat. Seperti menyaksikan misteri terungkap di depan mata kita, begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for REBECCA

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian terhadap karakter Rebecca di film ini – apakah dia seorang wanita yang kuat? Mengapa dia bisa begitu berpengaruh terhadap penghuni Manderley?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM Review

25 Sunday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, comedy, drama, funny, mature, mockumentary, politic, review, satire, sequel, spoiler, thought, vulgar

“The truly intelligent person is one who can pretend to be a fool in front of a fool who pretends to be intelligent.”

 

 

 

Luar biasa memang usaha Sacha Baron Cohen dalam mengkritik negaranya!

Empat belas tahun lalu aktor ini nongol sebagai Borat, jurnalis fiktif dari Kazakhstan. Dia ke Amerika untuk studi budaya. Yang pada kenyataannya adalah Sacha sedang memperlihatkan betapa konyolnya ke’open-minded’an ketika diterapkan oleh orang-orang di sana. Sebagai pendatang dari negara yang jauh lebih inferior, Borat ditampilkannya jujur dan polos, namun juga begitu terbelakang. Borat bukan saja memperlihatkan bagaimana sebenarnya orang Amerika ketika dihadapkan kepada sesuatu yang berbeda dengan mereka,  tapi juga bagaimana mereka menyingkapi ‘budaya’ mereka sendiri jika budaya tersebut diterapkan dengan cara berbeda. Dua tahun lalu, Sacha mengambil gaya mockumentary yang lebih berani lagi pada serial Who is America. ‘Prank’ yang ia lakukan langsung menyasar ke orang-orang penting. Dia menyamar sebagai sesosok pro- (politik, kepemilikan senjata api, dll), berdialog dengan tokoh-tokoh politik, dan dengan kocak mengekspos kedogolan mereka. Dan sekarang, tepat di bawah hidung kita semua, Sacha Baron Cohen telah sekali lagi mengenakan ‘topeng’ Borat. Kembali ke U.S.and A. Meletakkan cermin itu ke tengah-tengah warga Amerika yang kini berada di bawah kepemimpinan Donald Trump. Gerakan feminis. Dan Covid-19.

Kalo kita mau ikutan berkaca di cermin yang sama, tentulah kita juga akan menemukan sindiran-sindiran yang dilontarkan oleh film ini ikut mengena ke negara kita. Represi, sexism, apapun dijadikan adu kubu politik, sudah jadi masalah sehari-hari. Di negara kita pun bukannya tidak ada gerakan protes ataupun kritik cerdas seperti yang dilakukan oleh Sacha Baron Cohen. Baru-baru ini, Najwa Shihab udah bikin kita berdecak kagum lewat aksinya mewawancarai kursi kosong sebagai ganti Pak Menteri Kesehatan yang menolak hadir saat diundang ngobrol. Kita butuh lebih banyak kritikan-kritikan cerdas seperti yang dilakukan oleh Najwa atau Borat ini. Kritikan yang sayangnya juga harus disematkan kata nekat setelah predikat cerdas tadi. Nekat karena memang ada ‘bahaya’ yang membayangi. Kita lantas mencemaskan Najwa kalo-kalo nanti ditelikung pemerintah. Borat sendiri harus mengenakan rompi antipeluru di balik kostum penyamarannya saat merekam film ini. Dan itu memperlihatkan betapa powerfulnya film yang ingin ia sampaikan ini.

 

 

Dengan berpura-pura bego duluan, Sacha mengekspos kebegoan yang lebih paripurna

 

 

Ada lebih banyak layer pada film Borat kedua ini jika dibandingkan dengan Borat yang pertama. Tajuk originalnya cukup panjang, berbunyi “Delivery of Prodigious Bribe to American Regime for Make Benefit Once Glorious Nation of Kazakhstan”. Dari judul tersebut kelihatan bahwa cerita ini punya target yang lebih spesifik dibandingkan film pendahulunya yang abstrak ke sosial Amerika. Kali ini yang diincar adalah ‘American Regime’. Film kali ini seperti memadukan gaya film pertama dengan serial Who is America. Borat dan, kali ini partner in crimenya adalah putrinya; Tutar, yang berusia 15 tahun, akan semacam menginterview beberapa tokoh (ranging from aktivis feminis, ke  pendukung Trump hingga ke major politican) dengan konteks narasi yang lebih ditonjolkan. Narasi yang berakar pada relasi ajaib antara Borat dengan Putrinya itu menjadikan film ini tontonan yang lebih berarah, dan suprisingly lebih emosional, karena jadi bermuatan drama.

Drama ayah-anak ini dijadikan oleh sutradara Jason Woliner sebagai pengikat sketsa-sketsa ‘prank’ di dunia nyata yang dilakukan oleh Borat dan Tutar dari waktu ke waktu. Beberapa hal yang dikritik (dan dibuktikan) oleh film Borat 2 ini antara lain adalah soal salah kaprahnya gerakan feminis, soal negara yang seperti melanggenggkan perdagangan perempuan, soal sikap negara terhadap perempuan itu sendiri – dan juga terhadap minoritas, soal sikap terhadap jurnalistik, dan tentu saja soal penanganan dan propaganda terhadap pandemi virus Corona. Drama ayah-anak yang jadi tulang punggung narasi akan memberikan setiap sketsa bermuatan kritik-kritikan tadi konteks yang mengikat yang menjadikannya punya bobot lebih sebagai tontonan. Meskipun memang drama ayah-anaknya itu sendiri konyol alias absurd. Resolusinya menghangatkan dan membawa banyak harapan untuk dunia yang lebih baik, tapi juga tidak sepenuhnya terasa baru. Borat ingin memberikan putrinya tersebut sebagai hadiah untuk Vice President. Ini adalah misi yang diberikan negara baginya, karena Kazakhstan ingin mengapresiasi Amerika yang sudah kembali menjadi negara kuat yang bisa dijadikan panutan. Journey putrinya Borat (dimainkan dengan berdedikasi dan luar biasa oleh Maria Bakalova) sangat dramatis meskipun di awal karakternya ditulis sangat komikal demi satire yang diincar oleh film.

Semua kekonyolan karakter pada film ini fits perfectly ke dalam konteks satir yang diincar. Penekanannya sekali lagi adalah pada cara bercerita sambil menyindir itu sendiri. Film Borat percaya untuk melakukannya dengan mengolok diri sendiri terlebih dahulu. Untuk mengekspos seseorang yang pura-pura pintar, kita harus berpura-pura bloon di hadapannya terlebih dahulu. Untuk membuat mereka merasa makin superior, dan ketika kepala itu sudah demikian gede, maka jatuhnya akan semakin keras.

 

Maka film melandaskan betapa terbelakangnya Borat dan Tutar dan negara Kazakhstan itu sendiri dibandingkan dengan Jerry, atau Jim, atau Karen; dengan Amerika yang superior. Jika kalian enggak suka dengan humor vulgar yang dilakukan tanpa ditahan-tahan dari karakterisasi Borat dan Tutar, maka kalian akan susah untuk menyukai film ini walaupun mungkin kalian sepaham dengan gagasannya. Karena kelucuan cerita film ini memang bertumpu pada pengkarakteran ‘polos tapi barbar’ tersebut. Film harus membuild up gap antara Borat dengan Amerika supaya komedinya dapat berjalan. Dan ketika sudah berjalan, memang film ini jadinya lucu sekali. Misalnya adegan ketika Borat membeli kandang untuk putrinya, si penjual bingung atas permintaan si pembeli tapi kelihatan dia berusaha untuk open minded dan gak ikut campur. Sementara itu si Borat terus memancing reaksi. Sampai di satu titik akhirnya Borat berkata soal bukankah normal membeli kandang untuk tempat tinggal anak perempuan karena presiden “McDonald Trump” toh mengandangi anak-anak Mexico. Ataupun ketika Tutar gak sengaja menelan hiasan bayi pada kue yang disuapi oleh Borat, lalu mereka pergi ke dokter untuk mengeluarkan bayi yang tertelan tersebut. Sampai di sini aku yakin kalian bisa membayangkan bagaimana kocaknya Borat dan Tutar memainkan keadaan yang mengetes keopen-mindedan dokter yang menangani mereka.

Borat 2 juga bercanda dengan twist yang mereveal penyebab sesungguhnya pandemi Corona

 

 

Kehadiran Tutar sebagai pemain kunci cerita bukan saja menghantarkan kritik terpenting yang disampaikan oleh film, melainkan juga berfungsi sebagai penanda eksplorasi lebih jauh yang dilakukan oleh film ini sehubungan dengan statusnya sebagai sekuel dari tontonan yang begitu berpengaruh terhadap rakyat Amerika itu sendiri. Mau tidak mau memang yang paling duluan kita ingat dari Borat adalah tingkah antiknya. Ucapan-ucapannya yang katro sekaligus porno. Sosok Borat udah jadi salah satu ikon pop-culture yang tidak mungkin tidak dikenali. Sekuel ini juga bermain-main dulu dengan hal tersebut. Ia menunjukkan kepada kita bahwa Borat udah jadi ‘selebriti’ di Amerika. Orang-orang di jalan pada berebut memanggilnya. Bahkan sudah dijual kostum untuk orang yang mau cosplay jadi Borat di malam halloween nanti. Hal ini hanya mendorong film Borat untuk merancang cerita yang lebih beda lagi, dan tokoh Tutar adalah jawabannya.

Resep keberhasilan sekuel Borat ini adalah tempat dan waktu. Tempat; Amerika sebagai negara yang supposedly berpikiran terbuka, memungkinkan cerita seperti Borat ini dilakukan. Membuat kelucuan yang datang dari kontrabalans antara aksi dan reaksi yang timbul dari mindset dan pola pandang yang mereka anut sendiri. Waktu; karena film ini begitu relevan. Ia mempermasalahkan hal-hal yang memang sedang kita hadapi sekarang. Menargetkan keadaan politik Amerika, dan tayang hanya sebulan sebelum election berikutnya di negara itu. Perihal covid, film juga berhasil memasukkannya ke dalam konteks cerita. However, jika kita melihatnya dari sudut lain, kita juga bisa bilang film ini berkat ke-happening-nya, bakal dengan cepat terasa out-of-date. Memang, hanya waktu yang akan menentukan. Namun kita bisa membayangkan bagaimana jika kita menonton film ini untuk pertama kali di tahun 2025, katakanlah saat pandemi sudah berakhir. Joke/pranknya mungkin tidak lagi semuanya mengena. Untuk perbandingan, film Borat yang pertama; meskipun tidak menonjol di tubuh narasi, ia diingat melalui prank2 sindiran Borat leading up ke dia nyulik Pamela Anderosn. Dan itu karena yang disindir Borat adalah kebudayaan Amerika di masa modern secara keseluruhan. Yang secara waktu, jangkauannya lebih luas. Kita masih mengingatnya. Aku pikir ketimeless-an tersebut lebih susah dicapai oleh film yang kedua ini. Also, film ini juga sedikit terlalu mengandalkan popularitas Borat itu sendiri, mengandalkan ke semua penonton sudah tahu siapa Borat itu sebelumnya.

 

 

 

Komedi satir dengan konsep yang menakjubkan. Luar biasa tajam, dan nekat. Film ini enggak ragu untuk ‘menipu’ narsumnya demi memberikan mereka pandangan yang lebih terbuka, penyadaran, dan merefleksikan kepada kita keadaan yang sebenarnya. Di balik itu semua, film ini masih mampu untuk menghadirkan drama ayah anak yang cukup dramatis dan mencuri emosi kita. Hanya komedinya yang mungkin gak untuk semua orang. Kasar, vulgar. Terutama untuk orang-orang yang kesindir langsung oleh gagasan film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian bisakah film seperti ini tercipta di Indonesia, mengingat iklim politik dan pola pikir orang indonesia itu sendiri? Apakah menurut kalian jurnalis seperti Najwa Shihab atau seniman seperti Sacha Borat Cohen ini melanggar etika ketika mengekspos ‘bintang tamunya’ sehingga jadi bahan olokan?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • NOMADLAND Review
  • MINARI Review
  • PROMISING YOUNG WOMAN Review
  • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
  • TARUNG SARUNG Review
  • SHADOW IN THE CLOUD Review
  • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
  • ANOTHER ROUND Review
  • SOUL Review
  • ASIH 2 Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • Setelah Resesi, kota tempat Fern dan mendiang suaminya tinggal menjadi kota hantu. Jadi Fern membawa hidupnya ke… twitter.com/i/web/status/1… 14 hours ago
  • Wow Servant season 2 udah keluar ternyata! #Servant 15 hours ago
  • RT @WWE: .@KalistoWWE joins @wandavision stars Elizabeth Olsen and @Paul_Bettany for an in-depth conversation about the new @MarvelStudios… 19 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
%d bloggers like this: