MINI REVIEW VOLUME 22 (TERRIFIER 3, CUCKOO, STRANGE DARLING, SALEM’S LOT, APARTMENT 7A, WOMAN OF THE HOUR, IT’S WHAT’S INSIDE, V/H/S/BEYOND)

 

 

Edisi halloween (yang tertunda!) hahaha booo gak paten, gak paten… Jadi, edisi ini terpaksa harus telat karena masalah klasik server blog error, alhasil aku ngabisin halloween dengan berdebat di Twitter soal hasil 6:2(1+2). Anyway, edisi mini review kali ini sebenarnya paling aku antisipasi karena tahun ini horor memang lagi banyak banget. Sebulanan itu aja, aku puas hampir tiap hari nonton horor. Saking banyaknya, gak semuanya bisa tercover, karena di sini cuma muat delapan film. Maka, aku ngutamain film-film yang aku tu bener-bener pengen menyampaikan sesuatu buat filmnya. Jadi, film-film kayak Caddo Lake, Tebusan Dosa, Kuasa Gelap, Don’t Move, Bagman terpaksa enggak dulu. Mungkin bisa disempilin di edisi-edisi berikutnya.

 

 

APARTMENT 7A Review

Apartment 7A ceritanya adalah prekuel dari Rosemary’s Baby (1968). Dan Rosemary’s Baby adalah salah satu dari horor favoritku sepanjang masa. Jadiii, aku mungkin saja agak sedikit terlalu keras dalam menilai film karya Natalie Erika James ini.

For once, aktingnya gak ada yang jelek. Julia Garner sekali lagi ngasih penampilan yang solid dan meyakinkan. Tiga film dia yang kutonton, kualitas aktingnya tinggi terus, Garner salah satu yang bisa ngasih balance penampilan akting yang ‘diam’ dan yang berdialog. Karakter dan ceritanya pun sebenarnya up to standard horor modern. Aku bisa melihat penonton muda yang belum nonton film aslinya akan terhanyut ke dalam misteri, dan akan mendukung karakter Garner – Terry – karena bentukan karakternya agak beda. Alih-alih prekuel, film ini lebih cocok kalo disebut Rosemary’s Baby versi perempuan yang ngejar karir. Dari sisi karakter menarik, karena Terry gak mau punya anak – beda ama Rosemary – namun film gagal mengangkat bahasan ini. Dari sisi galian horornya, film ini terjebak menggunakan formula dan elemen-elemen film original. Terjebak di bahasan lore dan cult di dalam cerita

Alhasil, film ini juga jadi tidak banyak beda dengan cerita ‘hamil anak setan’ yang berusaha meniru Rosemary’s Baby yang sudah kita temui entah berapa kali (I’ve lost count) di tahun ini saja.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for APARTMENT 7A

 

 

 

CUCKOO Review

Cuckoo karya Tilman Singer punya metafora yang menarik sehingga ceritanya menjadi cukup aneh, yang membuat film ini menggugah rasa penasaran. Singer membicarakan soal keluarga (khususnya sisterhood) gak harus soal hubungan darah ke dalam lingkungan creepy yang dibuatnya bertema ‘burung cuckoo’ – burung yang dikenal suka menyimpan telurnya di sarang burung lain untuk ditetaskan, dan lantas anak burung yang menetas tersebut akan ‘menyingkirkan’ anak burung pemilik sarang. Dan tema tersebut benar-benar jadi semesta cerita. Anak yang asing dari orangtua, evil being yang ngeluarain suara kukuk-kukuk kayak burung – yang ultimately bisa mengacaukan memori dan persepsi waktu.

Nonton ini kayak kita sedang mimpi yang super aneh hingga kita ngerasa cuckoo – alias gila! Aku biasanya suka film aneh seperti ini. Paruh pertama Cuckoo aku pantengin dengan excitement yang tinggi. Tapi perlahan excitement itu semakin berkurang. Penyebab utamanya adalah film ini terlalu ingin memake-sensekan semua, Mastermind jahat yang diperankan oleh Dan Stevens pun terkesan berubah dari eksentrik menjadi generik type of leader genius yang gila. Bahasan kemanusiaan dari eksprimen bentrok sama konsep sci-fi absurd. Perekat cerita kini bergantung kepada karakter utama dengan adik (yang bukan adik kandung) yang bisa sewaktu-waktu berubah jadi monster. Bagian ini pun terasa kurang kuat karena yang dibuild up lebih proper di awal adalah soal Gretchen dengan ayahnya ketimbang soal Gretchen dengan adiknya ini.

Sukur film ini masih nyisain satu hal menarik di konfontrasi akhir, yakni ada tiga kubu yang berseteru alih-alih dua seperti pada cerita yang biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CUCKOO.

 

 

 

IT’S WHAT’S INSIDE Review

Sekelompok teman bermain satu permainan, berakhir dengan hal mengerikan yang teramat sangat salah. Premis yang sudah cukup lumrah. Somehow,sutradara Greg Jardin berhasil membuatnya unik. Dari jenis permainannya aja dulu; bukan jelangkung, bukan permainan kartu ataupun board game. Tapi bertukar tubuh!

Film ini tahu dirinya punya konsep kejadian yang unik, yang easily bisa menangkap perhatian penonton. Tentu saja seru melihat dan ikut menebak-nebak siapa kini berada di dalam tubuh siapa. Film ini pun punya variasi penceritaan untuk menggambarkan siapa di dalam siapa. Yang bikin keren film ini bukan soal itu. Melainkan justru film gak bersandar kepada ‘kejadian’ tersebut. Film bijak untuk menghadirkan konteks alias perbincangan karakter yang membuat skenario bertukar tubuh mereka menjadi semakin menarik lagi. Konteks tersebut sebenarnya standar. Soal isu gender. Namun karena konsep dan konteks ini dipertemukan dengan kreatif jadinya tetap berbobot dan engaging. Aku sendiri berpikir karakter Shelby annoying, karena dia yang mancing-mancing. Tapi ya seru juga ngeliat ketika dia gak mau balik ke tubuhnya yang asli karena kita dibuat mengerti kecemburuannya berasal dari mana. Bentrokan dengan sudut pandang karakter lain, backstory dari karakter yang membentuk persepsi mereka, plus kefleksibelan dan kretivitas film dalam menceritakan membuat film ini tetap seru.

Sehingga judulnya itu bergaung true. Semuanya tergantung persepsi, dan persepsi itu terbentuk dari background atau lingkungan sekitar, jadi semacam paradoks kan ya?

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for IT’S WHAT’S INSIDE

 

 

 

SALEM’S LOT Review

Bukan sekali ini cerita vampir Salem’s Lot tulisan Stephen King berusaha dialihwahanakan jadi film ataupun serial.  Tapi belum ada yang benar-benar memuaskan. Bukan apa-apa, King kalo udah bikin cerita tentang satu kota, biasanya ceritanya memang panjang banget, Thoroughly bahas perspektif penduduknya, sehingga si kota jadi kayak karakter tersendiri. Itulah tantangan yang harus dijawab oleh filmmaker yang nekat mencoba ekranisasi novelnya. Gary Dauberman ngacung untuk menjawab tantangan ini. And he failed graciously.

Secara gaya pengarahan sih, Dauberman masih mumpuni. Sekuens dua anak berjalan di pinggir hutan senja hari, misalnya. Kengeriannya visualnya terasa, karena Dauberman mengambil sudut dari dalam hutan sehingga objek yang kita lihat adalah bayangan si dua anak berjalan di antara bayangan pepohonan. Well, sampai ada satu bayangan lain yang tiba-tiba muncul, menculik salah satu anak. Pak sutradara clearly punya visi horor. Efek salib menyala pun digunakannya untuk mempertegas simbol faith seseorang. Benturannya sama dengan sudah-sudah. Materi yang terlalu beragam. Film adaptasi pertama cerita ini durasinya sekitar 3 jam, film itu berusaha stay di perspektif jurnalis yang pulang ke kota Salem tersebut. Still, the wholeness of that town gak kerasa benar-benar hidup. Film kali ini, mencoba untuk lebih fluent dengan perspektif supaya kota dan aktivitasnya hidup. Tapi hasilnya, film ini justru terasa loose. Perspektif utamanya ngambang. Tokoh utamanya gak jelas siapa.

Mungkin harusnya film ini berangkat dari mencoba mengambil perspektif lain sebagai tokoh utama. Mungkin dengan begitu kita bisa dapat cerita yang lebih fresh dengan perspektif yang solid. Yang jelas, menurutku, materi se’tebal’ ini ya diapproach bukan dengan mencoba mengemulasi semua yang tertulis. Tapi lihat dari sisi banyak perspektif di buku berarti banyak pilihan bagi filmmaker untuk menghidupkan cerita seluruh kota dari perspektif utama yang mana.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SALEM’S LOT

 




STRANGE DARLING Review

Setelah menyelami berbagai persepsi dan praduga karakter dalam It’s What’s Inside tadi, coba deh langsung nonton Strange Darling. Psikologikal thriller karya JT Mollne, yang gantian bermain-main langsung dengan persepsi dan praduga kita!

Karakternya gak bernama. Inti ceritanya dibagi ke dalam enam chapter. Tapi urutannya diacak. Jadi timeline ceritanya gak linear. Yang pertama kali teringat sama aku saat nonton adalah Pulp Fiction (1994), film Tarantino itu juga dibagi per chapter dengan urutan waktu yang diacak. Pengacakan babak seperti demikian memang efektif untuk membuat setiap kejadian terasa lebih impactful, misalnya dalam Pulp Fiction yang per babaknya itu adalah karakter yang berbeda. Susunan acak membuat momen para karakter bertemu terasa lebih engaging, sehingga narasi pun juga terasa lebih nendang. Nah gimana dengan Strange Darling yang karakternya cuma dua, tanpa nama pula (yang cowok cuma dilabeli “The Demon”, dan yang cewek “The Lady”)? Yang diincar oleh film ini dengan susunan acak adalah selaman terhadap bagaimana persepsi dan praduga kita terbentuk. Untuk kemudian kita akan sensasi dramatis ketika urutan kejadian terkuak dan ternyata sebenarnya seperti apa.

Film ini menelisik isu gender lewat thriller berdarah. Cewek selalu jadi korban, cowok adalah psikopat? Belum tentu begitu, kata film ini. Susunan acak tersebut bukan pula cuma sebatas untuk bermain kejutan, bukan soal “ternyata-ternyata” doang. Sebab susunan acak tersebut paralel dengan state of mind karakter yang diperankan Willa Fitzgerald (gila banget Willa di sini, adegan sakaratul maut di epilog itu loh!) Jadi ketika susunan acak itu membuat kita katakanlah ‘tertipu’, tapi kontras dengan itu kita melihat dia sendiri percaya dan hidup dalam ‘tipuan’ tersebut. Dia percaya dia tetap victim di skenario itu. Cewek memang gak pernah salah, ya haha

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STRANGE DARLING

 

 

 

TERRIFIER 3 Review

Damien Leone kembali untuk memuaskan dahaga gore kita, while juga berhasil memperkuat posisi Art the Clown dan Sienna sebagai ikon slasher horor modern.

Kerja terbaik film ini memang di sadis-sadisan. Suasana natal berhasil film ini merahkan oleh darah. Sekuen Art minum-minum bareng sinterklas di bar itu aku suka banget. Kali ini film sepertinya benar-benar mengeksplor sisi jahat Art dan kemudian mengontraskannya dengan kesucian natal. Terrifier 3 kembali ke formula horor klasik. Kebaikan vs. Kejahatan yang disimbolkan oleh agen setan dan agen tuhan. Tapi betapapun sadisnya Art yang bahkan di film ini sampai membunuhi anak-anak – adegan openingnya aja dia nyamar jadi sinterklas dan menghadiahi penghuni satu rumah dengan tiket satu arah ke alam barzah – film tetap ‘classy’ dengan tidak sekalipun memperlihat adegan pembunuhan anak-anak tersebut secara on-cam. Gak kayak Sumala kemaren tuh. Filmmaker horor Indonesia harus banyak belajar dari film ini.

Cuma kalo dibandingkan dengan film keduanya tahun lalu, Terrifier 3 terasa kurang ‘absurd’. Pesona ganjil dan dunia surealis agak berkurang, mengalah ke sadis-sadisan yang diperbanyak. Cerita dari sisi Sienna juga kurang. Film cuma menjawab sedikit lore soal hubungan dia dan ayahnya, tapi film yang timeline ceritanya lima tahun dari film kedua menempatkan Sienna di ‘keluarga’ baru  yang membuat mainly kisah dia ‘reset’, Kembali ke soal gak mau kehilangan keluarga (lagi). Singkatnya, keberlanjutan kisah masih belum banyak, tapi film ini cukup memuaskan dengan melanjutkan feud Sienna dengan Art di lokasi yang berbeda.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for TERRIFIER 3

 

 

 

V/H/S/BEYOND Review

Makin ke sini, aku rasanya makin ilang gairah sama seri film V/H/S/. Kayak pas nonton yang Beyond ini aja. Pembukanya kan tentang dokumenter penampakan alien gitu, itu aku tertarik, tapi pas ganti segmen jadi tim penyergap nembak-nembak makhluk gitu, aku jadi bosen. Apalagi pas segmen berikutnya yang dari India tentang paparazzi dan bintang musik, duh goyang-goyang kameranya bikin capek. Secara subjektif, mungkin aku memang lagi jenuh aja sama konsep ‘rumahan’ begitu. Tapi secara objektif juga, aku males sama V/H/S/ karena selalu setengah-setengah dalam ngikutin tema.

Mestinya sekarang ini kan temanya tentang alien. Beyond, as in beyond our universe, beyond our comprehension, dsb-lah. Tapi beberapa ceritanya ya lebih mirip creature general aja. Sekalinya ada alien kayak segmen yang nyeritain sekelompok sahabat yang pesawat mereka nabrak UFO, ujungnya ya tetap kejar-kejaran creature. Makanya yang segmen dokumenter itu lebih menarik, karena kita di-engage dari misteri seputar yang mereka bicarakan di dalam dokumentasi tersebut. Sensasi eksplorasi dan discoverynya kerasa, dan dua itu adalah elemen relevan dalam cerita yang bertema ketemu dengan makhluk planet lain. Segmen “anabul” juga aku suka. Walaupun ini juga bukan exactly alien, tapi lebih ke kayak creature eksperimen dan psikopat gitu, tapi karena penceritaannya lebih absurd tapi juga lebih ‘kalem’ ngikutin ceritanya juga jadi lebih yahud. Kalo diitung-itung, dari lima cerita, aku cuma suka 2.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for V/H/S/BEYOND

 

 

 

WOMAN OF THE HOUR Review

Nah, kalo film ini kebalikannya. Aku justru excited sekali. Karena ini debut penyutradaraan Anna Kendrick! Selain akting dan nyanyi, bisa ngedirect juga, gimana gak keren tuh. Gak tanggung-tanggung juga, cerita yang ia kawangi ini ternyata berdasarkan kisah nyata. Rodney Alcala, serial killer yang beneran pernah jadi peserta dating show di televisi.

Anna Kendrick ternyata punya concern yang gede terhadap isu feminisme. Gimana perlakuan terhadap perempuan di industri hiburan, seperti film dan televisi. Bukan tidak mungkin, aspek-aspek yang ia hadirkan di sini adalah aspek yang dia ngelihat sendiri sebagai yang lama berkecimpung sebagai aktris Hollywood. Lensa berhasil membuat film ini tampak personal. Kendrick tahu persisnya feeling kayak ketika perempuan ‘dikecilkan’ jadi cuma kayak eye candy, gak boleh terlihat pintar di layar, ataupun ketika  dikuntit di lapangan parkir yang kosong. Adegan-adegan ‘predatory’ seperti begitu, sangat menyala di film ini. Seandainya Kendrick fokus di satu aspek seperti acara show dan dunia hiburan itu  saja, film ini pasti keren.

SayangnyaKendrick dapat naskah yang melebar. Actually, ceritanya punya range kurun yang luas. Mengikuti ‘kiprah’ si serial killer gondrong yang modusnya mau motret cewek-cewek untuk kontes, lalu menyorot perspektif perempuan-perempuan yang pernah bertemu dengannya. Some of them tewas. Tapi ada satu karakter yang selamat, yang kisahnya sebenarnya lebih menarik, yang bahkan film ini sendiri menjadikan kelanjutan karakternya sebagai info tertulis di penutup. Ini kan jadi sinyal kalo sebenarnya cerita si karakter ini lebih menarik. Tapi bagian tersebut dibahasnya di akhir, sementara bagian tengahnya adalah tentang dating show tadi. Jadi film ini kayak bingung sendiri memilih mana yang harusnya dijadiin utama, sehingga akhirnya memilih jalan tengah memperlihatkan semua. Yang buntutnya jadi clash, karena dengan begini berarti harusnya karakter utama adalah si serial killer karena bentukan film ini episodik dengan cuma karakter serial killer yang selalu ada di tiap ‘episode’, Cocoknya judulnya jadi Man of the Hour, atau kalo memang harus cewek-cewek, ya Womens of the Hour.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WOMAN OF THE HOUR

 




 

 

That’s all we have for now

Maaf atas telatnya edisi halloween ini. 2024 tinggal dua bulan lagi, semoga aku bisa ngejar ketertinggalan untuk nyelesaiin rapor film akhir tahuunn

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 21 (HOME SWEET LOAN, MAHARAJA, LAURA, SUMALA, KANG MAK, RIDDLE OF FIRE, BLINK TWICE, BADARAWUHI DI DESA PENARI)

 

 

Sori beribu sori dua bulanan ini konten reviewnya sepi. Nontonnya sih tetep jalan, cuma memang waktu untuk nulisnya yang semakin sempit. Kudu disempet-sempetin. Untung kali ini dapet waktunya, inilah film-film bulan Agustus dan September yang dirapel, beberapanya mungkin sudah ditunggu karena memang crowd’s favorite. Semoga Volume ini tidak diamuk massa haha..

 

 

BADARAWUHI DI DESA PENARI Review

Badarawuhi adalah peningkatan dari film pertamanya. Tapi mengingat film KKN di Desa Penari (2022) itu memanglah teramat bobrok, maka peningkatan pada sekuel ini sebenarnya adalah keharusan. Tuntutan yang kudu dipenuhi. Karena kebangetan kalo masih kayak gitu juga!

Peningkatan film ini ada pada pengarahan horornya. Kimo Stamboel yang kali ini di kursi sutradara. Kimo membawa ceritanya ke arah yang lebih personal bagi karakternya. Gadis yang mencari kesembuhan ibunya (dari penyakit yang sepertinya kutukan) ke desa terpencil tempat asal sang ibu. Horornya jadi turun temurun as gadis itu mungkin harus menyerahkan dirinya kepada Badarawuhi sebagai ganti ibunya. Jadi Kimo di sini bermain-main dengan mistisnya sosok Badarawuhi yang dia bikin menyelimuti satu desa, lewat mata karakter utama. Durasi panjang film ini kebanyakan disebabkan oleh Kimo benar-benar ngasih momen yang extended perihal penampakan atau kemunculan sosok Badarawuhi. Misalnya ketika hantu itu ‘menarik’ Mila ke kolam. Atau adegan nari mistis yang harus dilakukan sebagai ritual. Film ini lebih atmosferik ketimbang film pertamanya yang bland.

However, film ini masih halfway there. Sebagian besar waktu film ini masih terasa generik, jinak, dengan alur yang masih bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Ini mengecewakan mengingat film ini tayang internasional.Badarawuhi punya potensi untuk jadi ikon horor modern, tapi filmnya harusnya berani embrace sisi gelap horor legenda. Afterall, horor 80an kita bisa dapat status cult di luar sana apalagi kalo bukan karena ‘keliaran’ cerita dan efeknya.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BADARAWUHI DI DESA PENARI

 

 

 

BLINK TWICE Review

Menjawab tag linenya. no, I’m not having a good time. Tapi itu bukan karena filmnya parah, melainkan justru itu bukti kalo psychological thriller ini berhasil bikin aku gak nyaman. Bukti dalam debut penyutradaraannya ini, Zoe Kravitz berhasil ngangkat cerita perempuan di dunia laki-laki, dunia yang suka semena-mena dan ena-ena dengan power, beneran kerasa urgen dan relevan.

Basically sebenarnya konsep thriller ini sederhana. Karakternya yang diundang oleh milyuner idolanya untuk bersenang-senang di pulau private – hal yang seperti too good to be true, yang lantas memang ada hal mencurigakan di baliknya. Ada momen-momen yang gak bisa diingat Frida, dan momen-momen itu seperti red flag tapi yah, gak ada satupun yang ingat sampai semua terlambat. Naturally kita sebagai penonton akan menatap layar lekat-lekat berusaha menangkap clue apa yang exactly happened kepada Frida dan para tamu. Arahan Zoe membuat konsep ini jadi ‘berbeda’. Zoe beneran gak ingin kita ngedip. Adegan yang banyak close-up dan cut-cut yang begitu abrupt, itulah yang kita pelototi. Ngasih  sensasi gak nyaman yang relevan dengan ceritanya.

Untuk tone atau voice, Zoe berusaha untuk imbang meski memang ceritanya tentang gender. Kekuasaan semena-mena pria terhadap wanita. Suara-suara berimbang dihadirkan lewat karakter yang memang banyak di dalam cerita. Misalnya ada karakter cowok yang sebenarnya gak ikut-ikutan, tapi dia juga itungannya complicit karena gak ngelakuin hal yang benar. Ataupun ada karakter cewek yang justru membenarkan kelakuan karakter Channing Tatum untuk suatu alasan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BLINK TWICE.

 

 

 

HOME SWEET LOAN Review

Bukannya mau jadi pick-me atau gimana, tapi Kaluna dalam karya terbaru Sabrina Rochelle Kalangie, Home Sweet Loan, kurang terlalu relate buatku. Dan itu mungkin karena aku tipe perantau. Dan tipe perantau biasanya selalu kangen balik ke rumah, sesumpek atau sedrama apapun. Dan ya, lebih relate ke umang-umang yang kemana-mana bawa rumahnya sebenarnya…

Tapi sebodo amat aku relate atau enggak, toh naskah film ini memang kentara kuatnya. Nice banget gimana ceritanya mengarahkan Kaluna yang sedari awal ‘berjuang’ karena ingin punya rumah sendiri, namun ketika kesempatan itu ada dia jadi malah harus memilih antara ambil rumah itu atau menggunakan tabungannya untuk menyelamatkan keluarga yang dia ingin terbebas dari mereka sejak lama. Dari perspektif penulisan, ini adalah bentukan karakter dan drama yang kuat. Bumbu pedes sebenarnya, yang bikin mata kita berair sebenarnya, datang dari drama yang membuat Kaluna ingin hidup sendiri. Drama dengan keluarganya. Terkait posisinya sebagai si bungsu yang kerap ‘dikecilkan’ atau di-overlook peranannya oleh keluarga besar.

Menurutku ini film Sabrina yang paling enjoyable sejauh ini. Walaupun aku gak relate, tapi kerasanya ‘honest’ aja gitu filmnya. Lagu latarnya gambarin keadaan Kaluna lebih dalam lagi. Ngomongin lagu, aku jadi teringat penggalan lagu Alessia Cara pas nonton ini “The house that you live in don’t make it a home”. Pengadeganan film ini juga dibikin grounded, dengan juga masih mampu menambahkan bumbu jenaka. Kayak pas lagi makan malam di meja makan sederhana mereka, lalu kakaknya sambil nyuapin anak nanya gimana hubungan Kaluna ama pacarnya. Reaksi mereka sekeluarga mendengar jawaban Kaluna terasa real tapi juga lucu karena si anak malah kelupaan disuap, sendoknya masih gantung di udara di depan mulut mangapnya. Film ini cuma terasa agak goyah saat mencapai akhir, dengan resolusi pindah-kerja yang bikin jadi kayak “how’s that add to the story?” gitu.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOME SWEET LOAN

 

 

 

KANG MAK (FROM PEE MAK) Review

Ngeremake film luar yang populer tampaknya masih jadi strategi andalan Falcon Pictures. Kali ini Herwin Novianto ditunjuk menyutradarai komedi horor asal Thailand. Pee Mak, diadaptasi jadi Kang Mak. Dan bisa dibilang ini juga remakenya asal-mirip-doang.

Yang lebih baik dilakukan oleh film ini daripada film aslinya adalah pace atau tempo. Kang Mak terasa punya pace yang lebih baik karena membuang beberapa adegan komedi yang tidak relevan dari film aslinya (misalnya adegan main charade atau tebak kata) sehingga Kang Mak bisa lebih segera menuju ke drama atau hati cerita dan gak melulu bikin capek di komedi teriak-teriak ngebahas siapa yang sebenarnya hantu. Tapi selain itu, film ini ya plek-ketiplek sama. Tidak ada muatan baru atau lokalisasi penting yang dilakukan. Film ini masih seperti ada di Thailand, ketimbang di tanah Sunda. Komedinya memang ada yang direwrite, tapi itu juga sama aja garingnya dengan film aslinya, sehingga ya tidak menambah poin juga. Perspektif cerita pun tidak diperbaiki, Kang Mak juga sering pindah-pindah dan gak punya tokoh utama yang jelas. Karena konteks film aslinya yang berantakan itu masih dipakai; apakah ini cerita tentang Mak yang harus nerimo istrinya telah meninggal, apakah ini tentang dilema istrinya di antara dua dunia, atau apakah tentang teman-teman yang berusaha ngasih kebenaran. Cerita ini bisa lebih terarah jika mengambil salah satu, bukan amprokan tentang semuanya

Ngomongin soal adaptasi, aku ngeliat ini jadi ngerasa kita udah punya ‘adaptasi unofficial’ Pee Mak yang lebih original dan far more better, yaitu Agak Laen (2024). Karena sama-sama ada rumah hantu, hantu beneran, dan bahkan soal penggambaran ‘saksi bisu’. Tapi yang paling kasian sih ibu-ibu yang nonton ini karena pengen lihat Jirayut. Public figur itu digunakan heavily pada promo, tapi pada film aslinya dia gak muncul, melainkan hanya di kredit penghias.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KANG MAK (FROM PEE MAK)

 




LAURA Review

Disclaimer dulu; I know cerita Laura di film ini diangkat dari kisah nyata seorang selegram bernama Laura, tapi karakter Laura dan ceritanya yang aku kritisi di review ini adalah Laura dalam frame film – sebagai sebuah cerita film. Dan the fact aku perlu ngasih disclaimer ini dulu membuktikan flaw utama dari film karya Hanung Bramantyo ini. Yaitu film ini didesain ada di pihak Laura sedari awal, bahwa filmnya bekerja seolah kita semua sudah tahu tragedi Laura dan kita bersimpati kepada sisi Laura yang ingin mereka jual. Jadi ini bukan objective view, bukan exactly cerita tentang perkembangan karakter.

Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari adegan kecelakaan  saat Laura dan pacarnya mengendarai mobil sambil mabuk. Film ngetreat kecelakaan ini dengan dramatis, ada build up cukup lama dan segala macem. Supaya kita menyayangkan kecelakaannya. Sedari adegan itu bahwa Laura mau gimana pun kelakuannya, harus mendapat simpati kita. Dan ini akan semakin susah untuk kita lakukan karena cerita akan berlanjut tentang Laura terjebak dalam toxic relationship dengan alasan yang tidak diselami, again, karena kita harus bersimpati aja sama Laura. Ada dialog Laura nangis bilang dia gak bisa lepas dari Jojo karena dia ngerasa dalam kondisinya sekarang cuma Jojo yang masih mau sama dia. Padahal red flagnya Jojo sudah diperingatkan oleh teman-teman dan keluarga sejak sebelum mereka kecelakaan. Menurutku film ini harusnya menyelami persona Laura di depan maupun di belakang kamera. Kerjaannya sebagai influencer juga harus dibahas, supaya tidak cuma jadi convenience dalam cerita. Kita harus benar-benar melihat kenapa dia ini fighter dan sikapnya tegarnya mempengaruhi orang sekitar walaupun mungkin tegarnya cuma di depan kamera.

Menurutku film ini harusnya bisa jauh lebih besar lagi daripada sekadar menjual tragedi. Akting Amanda Rawles sudah menjelma menjadi sosok lain, tapi karena momen-momen Laura hanya memperlihatkan momen dia on-cam di show atau podcast, penampilan akting tersebut tidak terasa demikian konsisten karena hanya kayak meniru dari materi yang sudah ada. Kita perlu melihat Laura versi Amanda, kita perlu mendengar Laura versi Hanung, untuk film ini menjadi benar-benar bagus.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LAURA

 

 

 

MAHARAJA Review

Maharaja film dari Telugu certainly have a strong mainstream appeal berkat konsep bait-and-switch yang jadi jualan utama. Twist. Sutradara Nithilan Sarninathan dengan cakap ngecraft cerita yang bermain-main dengan ekspektasi kita, kemudian lantas membelokkannya – mengungkap yang sebenarnya. Penutupnya juga sangat kuat ngasih disturbing feelings, udah kayak Oldboy versi pembalikan.

Namun menurutku, memilih konsep itu membuat film ini mengorbankan banyak perspektif yang dapat membuat film ini jauh lebih kaya dan berisi. Perspektif anak perempuan Maharaja, misalnya. Film dimulai dengan si anak sebagai narator, seperti dia tokoh utama cerita, tapi ternyata tidak. Film berpindah menyorot Maharaja, dan bahkan di akhir bobot dramatis itu diterima oleh karakter penjahatnya. Film melakukan banyak pindah perspektif karena ingin ‘nutupin’ kejadian sebenarnya. Feelingnya memang jadi seru ketika kita tau ternyata kejadian sebenarnya seperti apa, tapi ya perasaan “ph ternyata begitu” yang nempel ke kita. Padahal kalo perspektif anaknya digali, relationshipnya dengan Maharaja apakah berubah atau tidak ketika dia mengetahui kejadian sebenarnya. Ataupun kenapa Maharaja tidak ngasih tau kejadian sebenarnya. Begitu banyak potensi untuk bikin cerita jadi dalam dengan perspektif yang jelas, tapi film mengambil konsep yang membuat perspektifnya jelas tidak bisa dikembangkan lebih jauh.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MAHARAJA

 

 

 

RIDDLE OF FIRE Review

Debut film panjang sutradara Weston Razooli ini benar-benar bikin kita kangen masa kecil. Masa ketika belanja ke toko supaya dapat izin main video game dapat menjadi petualangan yang gak kalah serunya dengan permainan video game itu sendiri! Petualangan anak-anak dalam Riddle of Fire memang akhirnya jadi hilariously besar dan out of control supaya ngasih pelajaran buat anak-anak bandel tersebut sehingga mereka jadi punya development, tapi aku pikir Weston berhasil mendaratkan ceritanya ini kembali grounded. Membuatnya tidak kehilangan hati.

Kekurangan film ini justru datang dari ketika cerita menjadi out-of-control tersebut. Weston masih terasa terlalu berhati-hati. Sehingga film ini jadi kayak surealis belum nyampe, tapi juga gak mungkin lagi disebut realisme. Weston harusnya jor-joran aja di pertengahan film. Bikin cerita yang benar-benar aneh sekalian. Karena itu bakal lebih nunjukin kenekatan dia, kekuatan visinya, terlebih ketika toh dia mampu membawa cerita ini kepada penutup yang grounded. Makanya karakter anak-anaknya jadi  kurang membekas. Padahal mereka ini bandel-bandel loh, lucu. Relationship di antara mereka benar-benar dikembangkan, dengan backstory segala macem. Mereka juga ntar dapat teman baru dengan kekuatan aneh. Film memastikan cerita bergulir dari sudut pandang mereka jadi bakal banyak keputusan yang konyol dan bikin ngakak. Tapi kupikir harusnya tim anak-anak Riddle of Fire bisa jadi lebih kuat dan memorable lagi jika sutradara totally jor-joran ngegarap cerita ini jadi fantasi atau surealis, at least pada bagian petualangan mereka.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold star out of 10 for RIDDLE OF FIRE

 

 

 

SUMALA Review

Ngomongin soal film tentang anak kecil, Sumala sukses bikin aku bertanya-tanya jangan-jangan Lembaga Sensor menyensor film ini sambil merem. Karena bahkan untuk ukuran film berating Dewasa pun, kayaknya kita jarang nemuin adegan kekerasan anak terhadap anak yang begitu frontal; anak nusuk anak, anak menggorok anak. anak kecil saling bunuh semuanya on-cam dan jelas. Bahkan ada juga adegan bapak membunuh bayinya yang baru lahir, dengan menusuk si bayi dengan keris. Hahaha, Rizal Mantovani is a twisted human being!

Sumala adalah tentang suami istri kaya yang pengen punya ahli waris, jadi si istri ke dukun hitam supaya cepat punya anak. Anak yang lahir kembar, Kumala yang cakep dan baik, Sumala yang jelek dan iblis – literally. Sumala ini pas lahir langsung dibunuh oleh ayahnya. Tinggallah Kumala sendiri. Tumbuh cukup tersiksa karena cacat fisiknya membuat dia dibully. Hantu Sumala ternyata terus menemani Kumala, dan siap membalas orang-orang yang nyakitin Kumala. Puncaknya ya Sumala ngamuk, membunuh semua orang termasuk ibu dan ayah yang jahat sama mereka berdua. Kalo ceritanya seperti itu, naturally kita akan nganggap Kumala sebagai tokoh utama, karena banyak bobot dramatis yang ada dia emban. Tapi enggak, tokoh utama film ini justru si ayah yang tadi membunuh bayinya pake keris, on cam! Ayah yang sepanjang cerita sangat satu dimensi – orangtua galak yang suka masung bahkan menyalip anaknya di kebun. Tapi ujug-ujug dia bakal dikasih momen menyesali diri, dan ada backstory. Ini contoh naskah yang benar-benar tidak rapi dan gak tau apa yang dilakukan.

Hahaha film ini isinya memang cuma eksploitasi kekerasan. They do violence because it sells. Gak ada permainan kamera ataupun treatment lain yang elegan. Luna Maya cuma ada di sana pasang tampang horor, menunggu untuk dibunuh. Makanya di iklim real world yang banyak kasus kekerasan dengan baik itu pelaku ataupun kepada anak-anak, aku heran kok film yang nonjolin kekerasan segamblang ini bisa lolos. Menurut kalian, apakah sebabnya? Silakan share pendapat di Komen yaa..

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SUMALA

 




 

 

That’s all we have for now

Semoga Oktober ini bisa bikin mini review khusus horor. Aminn..

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 20 (FURIOSA: A MAD MAX SAGA, IN A VIOLENT NATURE, PEMANDI JENAZAH, DESPICABLE ME 4, LOVE LIES BLEEDING, THE BIKERIDERS, SPACE CADET, KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES)

 

 

Keeping up with new movies pada masa-masa liburan kian makin jadi tantangan buatku. Terutama jika filmnya punya durasi panjang banget. Faktornya banyak. Bisa karena mager ke bioskop, males rame. Bisa justru susah ngatur waktu karena biasanya bioskop ngasih jadwal dan sebaran filmnya kurang enak kalo ada film yang hits atau berdurasi panjang. Atau bisa juga karena filmnya malah gatayang sama sekali di bioskop tempatku liburan. Dengan alasan itulah, maka daftar ini dibuat, terutama buat ngejar ketinggalan nonton Furiosa. Let’s go.. brrrrmm.. brrrmmmm!!

 

 

DESPICABLE ME 4 Review

Setelah absen pada film ketiga tujuh tahun yang lalu, sutradara Chris Renaud kembali, seolah ingin me-reset dunia Despicable Me kepada sebuah fresh start. Karena itu juga yang terjadi kepada Gru dan keluarga kecilnya di dalam cerita film keempat ini. Musuh bebuyutan dari jaman sekolah kabur dari penjara, dendam kesumat kepada Gru, sehingga demi keamanan, mereka semua ikut semacam program perlindungan saksi; Gru sekeluarga diberikan alamat baru, serta identitas baru. And oh wait, keluarga mereka sendiri juga punya anggota baru, Gru Junior!!

Set up tersebut menanam banyak sekali permasalahan yang menarik. Gru harus berusaha jadi live up identitas barunya, yang berarti dia gak boleh jadi despicable self yang biasa – dan ini berkonflik dengan keinginannya untuk jadi suri tauladan yang baik – as in menjadi villain yang ‘baik’ kepada putranya. Karakter kesayangan kita yang lain juga dapat cerita sendiri; Margo harus mulai journey sebagai murid baru di sekolah yang baru, sementara Agnes – anak seimut itu harus berkonflik batin dengan dirinya harus ‘nyamar’ jadi identitas baru sementara dia gak mau berbohong. Sayangnya, bibit-bibit ini tidak berbuah jadi sebagaimana mestinya. Lantaran Despicable Me 4 yang menargetkan diri sebagai tontonan untuk anak-anak, memutuskan bahwa anak-anak gak mampu untuk musatkan perhatian pada… hey look, Minion! papoy, papoy, banana!!!

Look, udah film keempat – itu kalo kita gak ngitung film spin off dan lain-lainnya. Kita pahamlah, vibe film ini gimana. Rusuh, dan jualannya candaan dengan Minions. It’s okay mempertahankan itu. Tapi film ini, rusuhnya tu ekstra. Sampai-sampai semua permasalahan tadi itu melebar ke mana-mana.  Gru malah bertualang dengan anak lain, Minion tau-tau jadi parodi superhero. Aku akui, film dengan karakter yang tadinya villain, lalu ada dialog yang bilang “I’m sick of superheroes” merupakan celetukan yang cukup badass, tapi yah sebagai sebuah cerita, film ini masih belum matang. Bayangkan para Minions lagi memasak film ini di dapur. Hasilnya, dapur berantakan karena rusuh, dan masakannya sama sekali gakjadi – kalo gak mau dibilang kacau. Begitulah state film ini.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 4

 

 

 

FURIOSA: A MAD MAX SAGA Review

Chris Hemsworth bilang “Amerika punya Star Wars, Inggris punya Harry Potter. Australia punya Mad Max” Aku setuju. Mad Max memang sebesar itu pengaruhnya terhadap pop culture. Geng-geng motor, adegan kejar-kejaran kendaraan yang beringas, dunia post-apocalyptic. Mad Max bahkan menginspirasi Fist of the North Star, manga yang berkembang menjadi franchise tersendiri. Dan kini, Mad Max bakal makin gede lagi karena George Miller punya lore karakter baru di dunia wasteland tersebut. Furiosa.

Kita sudah kenalan sama cewek botak ini di Mad Max: Fury Road (2015). Sekarang, kita diajak masuk untuk truly mengenal dia sedalam-dalamnya. Kenapa Furiosa penting untuk dikenali? Karena ceritanya literally sebuah oase di tengah gurun. Membedakannya dengan galian cerita Mad Max yang lebih tentang harapan dan kepahlawanan, Furiosa dibentuk sebagai kisah yang lebih kompleks dan kelam. Cerita tentang menumbuhkan hidup dari balas dendam, dari kebencian, seperti yang diperlihatkan pada ending yang menurutku menyentuh – dalam caranya sendiri – you know, gimana Furiosa dan Dementus (antagonis yang dimainkan charismatic oleh Chris) ‘menuntaskan’ permasalahan mereka.

Film ini juga berhasil ngembangin lore dunia wasteland itu sendiri. Ketika kita menonton kejar-kejaran spektakuler dengan kendaraan perang unik di gurun pasir saja, karakter dan motivasi mereka menempel sehingga semuanya terasa berarti. Cara film ini ngasih lihat karakterisasi juga beragam dan sama well-design-nya dengan wujud mereka. Furiosa aja misalnya, karena diceritain dari dia kecil maka Anya Taylor-Joy baru akan muncul di pertengahan, tapi kita bisa merasakan journey-nya nyambung. Karakternya benar-benar terbentuk dari sana. Kita bahkan bisa dengan mulus ngoneksikan Furiosa ini dengan Furiosa dewasa di film sebelumnya. Dan kerennya lagi, dialognya minim banget. Semuanya benar-benar diserahkan kepada akting mata dan ekspresinya Anya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FURIOSA: A MAD MAX SAGA

 

 

 

IN A VIOLENT NATURE Review

Janji film ini adalah menghadirkan slasher tapi lewat perspektif pembunuhnya. Slashernya bukan dari pembunuh-serial yang biasanya charming dan punya pemikiran ideal sendiri. Tapi dari backwood ‘monster’ superhuman ala Jason Vorhees. Janji sutradara Chris Nash ini memang manis. Sebab tentu saja akan sangat menarik jika kita dibawa menyelam ke sudut pandang seperti demikian. Apa yang si monster pikirkan. Kenapa dia membunuh. Kenapa harus sadis banget. Apakah dia merasakan penyesalan. Atau ragu. Atau takut. Bagaimana dia memandang korban-korbannya. Bagaimana dia bisa menguber mereka tanpa terdeteksi, sampai semuanya sudah terlambat.

Eksekusi janji tersebut, sayangnya terhuyung-huyung. Film ini cuma deliver, maybe dua, di antara ekspektasi kita ketika mendengar ‘film dari sudut pandang pembunuh.’ Beberapa hal memang menarik. Kayak gimana si pembunuh mengarungi hutan, mendengar ada orang ngobrol lalu dia berjalan ke arah mereka. Eh ternyata mereka lagi ngegosipin dia. Kemudian dia jalan lagi, lalu membunuh mereka satu persatu dengan cara yang entertaining abis! Sesekali kita juga ‘mendengar’ memori si pembunuh terkait informasi apa motivasinya. And that’s it. Ketika diwujudkan sebagai film, janji-janji itu terlihat seperti film slasher biasa, cuma lebih boring karena most of the time habis melihat si pembunuh berjalan. Karena ini soal dia memburu manusia lemah dan bersalah, maka tidak ada suspen yang terbangun. Tidak perlu musik. Bahkan filmnya sendiri gak yakin akan konsepnya, sehingga kadang jalannya si pembunuh ‘dipercepat’ dengan editing. Film masih takut untuk terasa boring. Ketika si pembunuh masuk air, berjalan di dasar, kita gak ikut nyemplung. Film masih berpindah ke sudut pandang mangsanya. Dan ini menurutku pelanggaran janji yang paling fatal. Dalam artian film gak konsisten.

Akhiran film membuat kita benar-benar lepas dari sudut pandang si pembunuh. Totally. Pindah ke sudut pandang final girlnya. Alih-alih big chase scene, atau apa kek terkait penyelesaian si pembunuh, film malah ngasih monolog yang terdengar sok misterius dan preachy, dari karakter yang bahkan baru nongol untuk sekuen itu saja. I don;t know, man. Lain kali kalo mau bikin dari sudut pandang pembunuh, mungkin yaah, desain dululah penulisan yang bagus untuk karakternya.

The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for IN A VIOLENT NATURE

 

 

 

KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES Review

Bersetting 300 tahun dari akhir trilogi Planet of the Apes modern, cerita yang dipunya Kingdom ini sebenarnya menarik, tapi apesnya, arahan Wes Ball dalam membuat ini sebagai set up dari trilogi yang baru membuat film ini jadi biasa aja.

Gimana gak menarik coba? Sekarang ceritanya dunia udah dikuasai oleh bangsa kera, tapi mereka terpecah-pecah karena punya interpretasi berbeda terhadap apa yang pemimpin, leluhur mereka – Caesar – mau. Ajaran Caesar buat bangsa kera, ternyata dimaknai berbeda oleh tiap golongan. Ada yang mengaku jadi penerus Caesar segala. Memerintahkan dengan tangan besi untuk semua kera tunduk kepadanya. Sementara keretakan terjadi di antara mereka, tokoh utama kita – kera bernama  Noa yang desanya diserang dan keluarganya dibawa paksa oleh kelompok kera jahat – menemukan pemahaman sendiri terhadap ajaran Caesar tentang manusia. Karena dalam perjalanannya untuk menyelamatkan kerabat, Noa bertemu dengan anak manusia bernama Mae.

Jadi setidaknya ada tiga pihak dengan konflik yang menarik jadi motor penggerak alur film ini. Sesama bangsa kera yang udah kayak cerminan gimana manusia terpecah belah karena keyakinan dan paham yang berbeda. Lalu antara kera dengan manusia, ada yang menganggap manusia harus dimusnahkan, dan ada yang percaya bahwa Caesar mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Ending film yang nunjukin interaksi/konfrontasi Mae (yang ternyata cerdas) dengan Noa buatku juga sangat menarik, menantang dan cocok sekali untuk mengirim kita ke lanjutan ceritanya. Tapi gak tau deh, ada something missing dari arahan film yang bikin menontonnya kayak biasa aja. Aku merasa durasi penceritaannya yang terlalu ngulur-ngulur, sehingga alih-alih menantang kita dengan konflik ideologi dan dilema personal, film jadi lebih kayak rescue-adventure dengan karakter sedikit lebih dalem aja. Menurutku film ini belum mencapai potensi yang sesungguhnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES

 




LOVE LIES BLEEDING Review

Love Lies Bleeding adalah tipe film yang susah dikategorikan ke dalam genre tertentu. Semuanya ada. Drama, romance, thriller, misteri, crime, action, bahkan ceritanya sempat pula masuk ke ranah surealisme. Dream-like. Yang gak ada cuma komedi, tapi walaupun begitu bukan berarti karakternya gak punya ‘selera humor’. Baru film keduanya, tapi sutradara Rose Glass udah seberani ini. Dari urusan tema pun, film ini berani mengangkat banyak. Love Lies Bleeding jadi terasa seperti dunia tersendiri yang intens, brutal, dan kelam.

Tema utamanya sih tentang obsesi. Atau mungkin candu. Hal yang kita tahu salah, not good for us, tapi tetap kita pegang atau pertahankan, karena tanpanya kita merasa diri kita kecil. Gak bisa apa-apa. Dua karakter sentral di film ini – Kristen Stewart yang kerja di gym, dan Jackie sebagai bodybuilder yang kebetulan singgah dan on her way to kompetisi binaraga -sama-sama berjuang dengan hal tersebut, yang satu kecanduan steroid, satunya lagi berurusan dengan keluarga besar yang toxic mulai dari ayah crime lord dan kakak yang punya suami ‘ringan tangan’. Sementara juga ironisnya, hubungan cinta mereka pun jadi sama ‘tak-sehatnya’ karena sudah menyangkut melindungi pembunuh. See, film ini ceritanya kompleks banget, tapi berkat penceritaan yang benar-benar jumawa. Berani dan mantap dalam mengarungi naskah itu sendiri, film gak pernah goyah ketika harus jadi crime thriller, jadi romance panas, ataupun ketika jadi simbol-simbol ‘aneh’ saat di akhir karakternya menjadi raksasa. Kita dibuat terus menatap lekat kepada dunia, kepada cerita, kepada karakternya. Bisa dibilang, penceritaannya membuat kita terobsesi sama mereka.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOVE LIES BLEEDING

 

 

 

PEMANDI JENAZAH Review

Jadi pemandi jenazah itu urusannya sama dengan lagu tema Pretty Little Liars. Harus menjaga rahasia yang dibawa mati oleh si jenazah. Menjaga aibnya. Membawa ini ke ranah masyarakat sosial yang penuh prejudice – khususnya masyarakat lokal yang lagi hitsnya ama term pelakor – Hadrah Daeng Ratu sebenarnya bisa aja strike the gold dengan Pemandi Jenazah. Sandungan baginya masih seperti biasa, arahan dan penulisan yang clumsy,

Potensi emas film ini bisa langsung kita saksikan dan rasakan. Pemandi Jenazah punya dunia yang aktif digali, ibu-ibu di masyarakat cerita satu-persatu mati seperti kena kutuk. Santet, kalo kata filmnya. Dan diungkap ada semacam rahasia masa lalu di antara ibu-ibu yang jadi korban tersebut. Cerita ini ditembak dari sudut pandang Lela, anak salah seorang korban, yang kini terpaksa harus melanjutkan kerjaan ibunya sebagai pemandi jenazah. Pengembangan dunia dan karakter film ini sebenarnya menarik. Lela misalnya, film gak ragu untuk ngasih dia konflik dan nunjukin vulnerabilitas bahwa dia gak mau jadi pemandi jenazah karena takut. Takutnya ini yang sampai dan relate ke penonton. Ini jalan masuk ke penonton yang sudah berhasil dicapai oleh film. Tinggal urusan misteri dan penyelesaiannya. Yang bisa kita lihat, film benar-benar berusaha, dan punya pesan yang baik soal memutus siklus saling benci. Untuk rukun.

Arahan, pengadeganan, dialog, harusnya bisa lebih diperbagus lagi. Misalnya aspek horornya. Di luar adegan horor saat mandiin mayat (they talk!!) film ini sering mengandalkan adegan-adegan horor yang kayak niru horor lain – yang pernah kita lihat. Jika aspek horor lain itu dibuat lebih original, film ini tentu lebih memorable ini. Kalo dari pengadeganan dan penulisan, yang paling parah langsung terasa clumsy itu adalah sekuen finale-nya yang melibatkan rombongan ibu-ibu lay their own justice. Harusnya bisa dilakukan lebih ‘sinematik’ lagi, enggak kayak adegan sinetron.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PEMANDI JENAZAH.

 

 

 

SPACE CADET Review

Aku dulu pengen banget jadi astronot. Tapi urung, karena ngerasa gak bakal bisa. Badanku pendek, dan mataku minus. Plus otak yang pas-pasan. Kalo dulu itu aku udah nonton Space Cadet, aku pasti tetep nekat pergi mendaftar jadi astronot. Karena komedi karya Liz W. Garcia ini berhasil ngalahin Armageddon (1998) dalam hal nunjukin bahwa jadi astronot itu gampang bangeett

At the best, Space Cadet adalah komedi ringan – sedikit mustahil – dengan vibe positif mendorong penontonnya untuk mengejar mimpi. Kita bisa nonton ini cuma buat ngeliat Emma Roberts ngelakuin hal ‘gila’, dan terhibur olehnya. kita bisa nonton ini buat ngintip aktivitas calon astronot di NASA (dan mupeng). Tapi film ini gak bakal ngasih drama yang benar-benar berbobot. Karakternya tipis. Gadis yang sebenarnya pintar dan pengen jadi astronot, tapi keadaan membuat dia untuk kuliah aja gak bisa. Film never really touch upon that aspect, melainkan lebih memilih ke soal gimana Rex – si gadis – malsuin CV supaya keterima intern di NASA. Gimana nanti dia yang udah akrab sama sejawat di sana, ketahuan, dan terjadilah drama di sana. You know, ini kayak film-film feel-good sederhana yang sering ditayangin di tv jaman-jaman 90an.

Namun bahkan untuk target sesederhana itu saja, Space Cadet masih kurang berhasil membuat karakternya lepas landas dengan benar. Karena Rex lebih seperti bereaksi ketimbang beraksi. Karena yang malsuin data-data lamarannya, bukan dia. Tapi temannya. Jadi Rex sebenarnya cuma play along dan berusaha gak ketahuan saat dia ngeh dirinya keterima karena surat lamarannya sudah diubah oleh temannya tersebut. Aku gak tahu kenapa film memilih harus menyerahkan aksi penggerak ini kepada karakter pendukung yang just another comedic relief, padahal bisa langsung diserahkan kepada tokoh utama. Toh Emma Roberts bukan aktor jaim yang gak lepas saat mainin komedi.

The Palace of Wisdom gives 4.5 gold star out of 10 for SPACE CADET.

 

 

 

THE BIKERIDERS Review

Dilan versi Hollywood! Ahahaha aku ngakak pas baca sinopsis. “Kathy (Milea) tertarik kepada Benny (Dilan), anggota geng motor. Begitu geng motor semakin menjurus kepada kekerasan, Benny (Dilan) harus memilih antara Kathy (Milea) atau gengnya.”

Tapi pas ditonton, karya Jeff Nichols neither mirip Dilan ataupun soal Benny dan pilihannya itu sendiri. First of all, ini beneran anak geng motor. Bukan anak mami yang cosplay jadi sok jagoan. Perspektifnya memang mature dan dihandle dengan sedewasa itu. Ketika ada romance anak motor dengan cewek rumahan, romancenya bukan tau-tau si anak motor jago gombal, lalu segala top. Romansa film digali tetap pada bingkai bagaimana anak motor itu sebenarnya. Benny akan nunggu di depan rumah Kathy, nyender di motornya – dari malam sampai pagi – sampai cowok Kathy nyerah dan pergi ketakutan, padahal Benny gak ngapa-ngapain. Itu baru romantis yang kita percaya ada di kepala anak motor. Romantis menurut si anak motor itu sendiri.

Tapi sesungguhnya tokoh utama film ini bukan Benny, ataupun Kathy. Melainkan geng motor itu sendiri. Kita akan melihat gimana perkembangan geng motor tersebut dari tiga perspektif sentral. Benny yang menganggap itu geng tersebut keluarganya, Kathy, sebagai orang baru yang masuk karena cinta, dan Johnny sebagai ketua, pendiri geng motor itu sendiri. Melalui tiga karakter inilah, journey kelompok ini sebagai saudara jalanan, berurusan dengan anak-anak muda yang pengen masuk karena menyangka geng motor adalah geng ugal-ugalan semata, dikembangkan. Jadi nonton film ini tuh kerasa banget apa-apa saja statement ataupun pandangan dari dunia geng motor itu sendiri. Ceritanya imersif, cuma karena sering pindah-pindah karakter – dan juga pindah periode waktu -, pace film bisa agak ‘terasa’. Sampai mampu membuat kita bingung, film ini ujungnya gimana

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE BIKERIDERS

 




 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Mad Max?  Kalo Australia punya Mad Max, Indonesia kira-kira apa ya franchise film yang punya potensi mendunia sambil kuat megang identitas kita?

Silahkan share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 19 (HIT MAN, TRIGGER WARNING, THE WATCHERS, UNDER PARIS, AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR, MALAM PENCABUT NYAWA, THE STRANGERS: CHAPTER 1, DILAN 1983: WO AI NI)

 

 

Delapan film yang terangkum dalam Volume 19 ini mengawali kita masuk ke pertengahan tahun, sebelum layar diberondong oleh film-film blockbuster musim panas. Ada manusia dengan hiu, manusia dengan jaguar, hingga ke manusia dengan peri. But I must say,  kloter pembuka ini gak really hot. I mean, cuma Hit Man (manusia dengan banyak penyamaran!) yang benar-benar sukses jadi tayangan entertain – selain juga ngasih kualitas dan something yang fresh. Selainnya,  either ada yang kurang, dan lumayan banyak juga yang flat out jatohnya mengecewakan. Yuk mulai saja kita bahas satu persatu:

 

 

AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR Review

Nonton kisah persahabatan antara manusia dengan hewan memang cenderung ngasih perasaan yang uplifting serta mengharukan. I like those feelings. Hmm.. tahun ini cukup banyak deh kita dapet cerita tentang persahabatan dua makhluk kayak begini, bisa kayaknya jadi kategori spesial di next My Dirt Sheet Awards hihihi.. Anyway,  kuncinya memang di ‘dua makhluknya’; semakin unlikely, semakin dramatis pula ceritanya bisa dikembangkan. Sutradara Gilles de Maistre udah paham lah bikin kisah anak dengan hewan buas. Sebelumnya dia pernah bikin anak kecil dengan singa putih, dan kini dia bawa kita ke hutan untuk melihat Autumn dengan sahabatnya; seekor jaguar hitam bernama Hope.

Bobot dramatis dari persahabatan ini dikembangkan dari Autumn yang sudah lama berpisah dengan Hope, kembali lagi ke hutan untuk menyelamatkan Hope yang diburu pemburu gelap. Autumn ingin mencari dan membawa Hope lebih jauh ke dalam hutan. Masalahnya, sebagaimana Autumn sudah bukan anak kecil lagi, Hope juga sudah besar. Tidak ada satupun yang bisa menjamin Hope masih ingat dengan Autumn, ataupun apakah Hope tidak menjadi buas. Dalam bahasannya ini, film juga memuat persoalan tentang perdagangan satwa, tentang perburuan liar, dan gimana orang kota mau mengeksploitasi isi hutan. Untungnya, tidak seperti Petualangan Sherina 2 (2023), bahasan ‘peduli satwa’ tidak dibahas setengah-setengah oleh film ini. Autumn beneran berinteraksi dengan jaguar yang diselamatkan. Not only that, mereka beneran seperti sahabat. Itu yang terutama bikin film ini seru. Banyak adegan yang bikin aku bergumam “itu sutingnya beneran?” Karena film ini beneran membuat aktor-aktornya berinteraksi dengan hutan, dan isinya.

Tema dan cerita genuinely konek. Tapi masih ada lagi. Autumn and the Black Jaguar juga adalah tentang Autumn – yang kehilangan ibu karena pemburu, persis seperti Hope – dengan ayahnya. Juga tentang Autumn dengan guru biologinya; yang tau teori tapi belum pernah sama sekali turun ke ‘lapangan’. Dinamika Autumn dengan ibu guru akan mengundang tawa karena si ibu ini bakal heboh dan ribet banget di hutan. Khas kayak kalo orang kota masuk desa. Kontras dengan Autumn yang udah nganggep hutan kayak kampung halaman atau rumah sejatinya. Masalah dalam penceritaan film ini terjadi tatkala karakter si ibu guru mengoverpower Autumn yang tokoh utama. Dalam artian,  yang kita tonton ternyata lebih banyak soal development ibu guru. Reaksi ibu guru terhadap putusan Autumn, terhadap lingkungan sekitar, akhirnya menjadi sajian yang mengisi layar dengan hal yang lebih variatif ketimbang Autumn bermain-main dengan Hope. Ibu guru pun punya journey yang lebih kuat, pembelajaran dia antara di awal dengan akhir cerita, lebih jelas. Sedangkan Autumn, gak banyak perubahan, issue dia dengan ayahnya berakhir ‘damai’ begitu saja. Ditutup hanya karena filmnya udah mau tamat.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR

 

 

 

DILAN 1983: WO AI NI Review

Berhubung Dilan versi mini, maka reviewnya juga kebagian yang mini, yaa.. haha enggak ding. Aku cuma bingung Pidi Baiq dan Fajar Bustomi di film ini niatnya pengen bahas atau nunjukin apa. Kayaknya kuncinya ya pada ‘Dilan versi mini’ itu. Alih-alih menceritakan masa kecil Dilan yang sudah kita kenal masa remajanya; si kapten anak motor, tukang berantem, dan punya segudang cara ajaib buat gombalin cewek, film ini kayak cuma menceritakan Dilan yang itu, cuma sekarang versi dia di dunia anak SD. Karena gak ada sense of growth di sini. Gak kayak Riley, misalnya. Kita bisa lihat ‘perbedaan’ antara saat Riley masih kecil di Inside Out (2015) sama ketika dia masuk usia remaja di Inside Out 2 (2024). Ada emosi baru, ada bahasan yang berbeda terkait emosi itu. Sementara Dilan, film ini bahkan bukan ‘origin story’ kenapa Dilan bisa jago gombal. Sejak kecil ternyata dia sudah seperti itu!

Jadi yang diceritakan adalah Dilan kembali ke Bandung, ke sekolah lamanya. Di kelas, ada anak yang baru dilihat Dilan. Cewek. Namanya Mei Lien. Dilan langsung suka. Dia menggoda Mei Lien, baik dengan gombalan maupun dengan sikap yang sama ajaibnya. Teman dan ibu gurunya pada ketawa ketika Dilan bacain puisi berjudul “Kau” (plesetan Chairil Anwar’s “Aku”) kepada Mei Lien di depan kelas. Kenakalan dari sudut pandang anak biasanya innocent. Karena mereka polos. Aku bandingkan salah satunya dengan Lupus Kecil (yang dibuat setelah Lupus SMA hits); ceritanya ya seputar keseharian kayak dia bolos karena pengen ke mall, dia pura-pura sakit, dia main permainan anak-anak di masanya. Sedangkan Dilan kecil ini, jatohnya creepy. Kepolosannya memang digambarkan; cara dia nanggepin hukuman, ‘seteru’nya dengan akang penjaga mesjid, relasinya dengan Bunda, Ayah, kakek, dan Mak Syik – yang cara didik masing-masing seems mempengaruhi perkembangan Dilan, tapi adegan-adegan tersebut dengan cepat dikesampingkan karena begitu Dilan udah ketemu Mei Lien, pov anak ini balik kayak remaja yang udah kita kenal. Man, bahkan Sadam ngejailin Sherina terasa lebih genuine ketimbang Dilan yang udah punya bakat dipuja sejak dini.

Dua jam pun habis dengan cerita ngalor-ngidul tanpa ritme. Padahal sebenarnya hal yang bisa jadi daging cerita itu ada di sana. Dari situasi sosial pada era itu, misalnya. Film ini bisa saja membuat Dilan not aware ama situasi Mei Lien, karena dia masih anak-anak.  Film bisa saja mengontraskan dunia anak-anak mereka dengan realita di background, sehingga cerita bisa lebih menggigit. Atau ya, persoalan persahabatan Dilan dan Mei Lien langsung aja dijadikan fokus. Menjadikannya cuma muncul di akhir membuat film jadi terlalu mengulur. Dan karena di akhir film, dengan cepat persoalan itu terlepas. Bahwa film tetap tidak fokus di sana. Fokusnya ya Dilan saja. Mei Lien cuma love interest yang ‘lepas’ tapi masih dikenang.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DILAN 1983: WO AI NI

 

 

 

HIT MAN Review

Tadinya kukira film ini ala John Wick, you know, tipikal ‘pria biasa yang dipush untuk balas dendam, dan ternyata dia memang mantan assassin handal” seperti yang lagi ngetren belakangan. Oh, I couldn’t be more wrong. Hit Man karya terbaru Richard Linklater mematahkan ekspektasi remehku, sembari mematahkan ekspektasi semua orang tentang pembunuh bayaran; image yang kita bentuk lewat gambaran media. Terinspirasi dari Gary Johnson yang kerjaannya jadi pembunuh palsu untuk membantu polisi nyetop kriminal, Hit Man dibuat oleh Linklater sebagai dark rom-com(?) yang bukan saja menghibur tapi juga punya bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri.

Gary di cerita film ini seorang profesor psikolog. Di kampus, dia ngajarin soal gimana kita terkadang terhanyut dalam identitas karangan sendiri. Tanpa dia sadari, soon pria yang happy dengan hidupnya yang aman dan biasa-biasa saja itu kemakan omongan sendiri. Karena di kerjaan sampingannya, Gary diminta polisi untuk membantu memancing pengakuan dari orang yang ingin melakukan pembunuhan, dengan menyamar sebagai pembunuh bayaran. Sebagai psikolog, Gary suka meriset ‘klien’nya, dan dia bakal muncul sebagai persona hit man yang berbeda-beda tergantung klien. Inilah ketika Gary mencicipi banyak identitas, dan dia mulai hanyut ke dalam salah satu persona, yaitu Ron. Hit man cool untuk klien wanita cantik yang ingin membunuh suaminya.

Bahasan identitas dan psikologisnya ini yang membuat Hit Man jadi sangat menarik. Film ini sepert sisi mata uang sebaliknya dari The Killer (2023).  Basically, film itu  membahas gimana assassin gak mesti jago banget, eventho tiap orang bakal berusaha ngasih the best dalam pekerjaan mereka. Sedangkan film ini, implies, orang biasa seperti Gary bisa percaya mereka as a person adalah pembunuh bayaran yang handal, jika mereka serius membangun identitas itu. Nonton ini aku semakin ngakak karena kebayang si Gary ini kalo main kuis-kuis trivia ‘personality/karakter apa kamu?’ dia pasti milih hasilnya dulu, lalu baru menjawab tiap pertanyaan dengan hasil pilihan tadi sebagai patokan. Naskah dan arahan yang cerdas ini semakin lengkap menghibur karena cast yang tepat. Glen Powell, yang dulu aku taunya dari serial Scream Queens yang di sana dia smooth banget jadi jerk, love interestnya Emma Roberts, main sangat hilarious menjadi banyak ‘cosplay’ pembunuh bayaran. Glen sendiri mungkin lebih jago dari karakternya, Gary, karena dia tidak kehilangan beat dan tidak larut ke dalam begitu banyak ‘karakter’. Melihatnya, kita tetap bisa melihat di dalam sana ada Gary yang mencoba berpegang pada siapa dirinya, tapi hal menjadi semakin rumit, dan mendorongnya untuk mencoba hal ‘baru’ – sesuatu yang sedari awal tampak bikin dia penasaran di balik sikap sederhananya.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for HIT MAN

 

 

 

MALAM PENCABUT NYAWA Review

Walau film buatannya pernah laku, tapi aku belum menemukan hal ‘original’ dari arahan horor Sidharta Tata. Malam Pencabut Nyawa, horor yang melintas ke garis genre superhero karena aspek protagonis punya kekuatan untuk memberantas penjahat, pun buatku masih terasa seperti ‘adaptasi’ dari unsur-unsur yang sudah pernah ada. Pertama, tentu saja cerita makhluk jahat yang membunuh orang di alam mimpi mengingatkan kita kepada Freddy Krueger dan franchise film A Nightmare on Elm Street. Kedua, aku toh memang merasa ceritanya banyak mirip dengan game Fatal Frame 3. Game horor tentang karakter yang merasa bersalah atas kematian kekasihnya, sehingga setiap tidur dia mimpi mengikuti kekasihnya ke sebuah rumah besar. Di dalam sana, dia melihat orang lain terbunuh oleh hantu perempuan di sana, dan saat terbangun dia mendengar berita kematian dari orang yang ia lihat di dalam mimpi. Si hantu perempuan adalah korban ritual, ditumbalkan oleh desa, dan dia punya pacar yang menangisi kematiannya. Membuat dia bangkit jadi hantu alam mimpi. Kurang lebih mirip gak sih dengan Respati yang selalu mimpiin hantu orangtuanya yang kecelakaan, yang di alam mimpi melihat orang lain dibunuh perempuan yang jadi hantu karena dibunuh warga, dan si hantu punya anak kecil yang menangisi kematiannya? Shot mata Sukma menjelang ajalnya bahkan mirip dengan shot mata Reika Kuze saat jadi tumbal ritual.

Pada akhirnya memang bukan kemiripan atau katakan saja, cocokologinya yang jadi kekurangan. Tapi karena kekurangmantapan film ini membentuk ceritanya, sehingga jadi kerasa kayak gabungan dua elemen. Sukma si hantu ratu ilmu hitam di alam mimpi harusnya bisa jadi ikon villain horor lokal, seperti gimana Freddy jadi begitu ikonik, tapi statusnya sebagai final boss seperti Reika jadi melemah karena film ini ngasih twist ada manusia yang jadi dalang semua. Sukma akhirnya jadi kayak puppet saja. Battle antara Respati yang jadi Dream Warrior – kalo mau minjam istilah di film Elm Street – dengan Sukma jadi terasa kurang penting karena dengan si dalang-lah sebenarnya journey Respati punya keparalelan. Film ini tidak berhasil membangun alam mimpi itu sebagai momok karena sebenarnya ada musuh yang lebih ‘nyata’ di dunia nyata. Bentukan cerita film ini jadi aneh. Di awal juga sebenarnya aku ngerasa ada yang janggal dari gimana film ini ngebuild Respati gak bisa tidur sebagai insomnia. Karena kayak gak nyambung. Apakah Respati gak bisa tidur malam karena takut didatangi hantu orangtuanya? Kenapa dia takut kalo sebenarnya konflik personalnya adalah merasa bersalah atas kecelakaan mereka? Sekali lagi, ini membuatku merasa naskah seperti campuran yang belum lagi rapi dan matang, antara elemen remaja yang ngalami fenomena takut tidur karena takut dibunuh Freddy di mimpi, dengan elemen Fatal Frame 3 yang karakternya justru pengen tidur terus karena mau bertemu dengan roh kekasih, karena dia masih merasa bersalah dan pengen bertemu satu kali lagi dengannya.

Yang belum matang sayangnya gak cuma naskah. Tapi juga arahan dan akting. Kadang kita ngerti arahan editingnya apa, kayak sekali waktu saat film ingin menerapkan editing komedi. Tapi aktingnya yang gak jalan. Ekspresi muka yang gak kontinu. Raut yang gak jelas sedang merasakan takutkah, atau sedihkah, atau ngantukkah. Terus ada juga editing yang bikin mestinya gak lucu tapi jadi lucu. Misalnya ketika ada tangan setan muncul tiba-tiba dari dalam lubang di pohon. Alih-alih langsung munculin tangan, film malah kayak ngecut dan nyambungin videonya dengan shot yang ada tangan setannya. Jadinya film ini awkward, padahal kalo digarap lebih matang, bisa saja film ini jadi Elm Street versi lokal sehingga fresh sendiri, dengan cerita karakter yang lebih natural.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MALAM PENCABUT NYAWA




THE STRANGERS: CHAPTER 1 Review

Ini siapa sih yang ngide bikin The Strangers – thriller home invasion yang jadi cult-success – ke dalam chapter-chapter? And worse, dengan treatment berupa membagi chapternya itu beneran berdasarkan per babak sehingga film Chapter 1-nya ini literally baru babak satu dari tiga-babak film superpanjang? Karena alhasil, film Renny Harlin ini jadinya boring banget.

Masih mending kalo bahasan di film ini mendalam. Nyatanya, gak ada yang bisa kita bicarain di sini karena filmnya memang gak bicara apa-apa. Cuma nunjukin sepasang kekasih, mobil mereka rusak sehingga harus menginap di kabin terpencil di ujung kota kecil, dan malam itu mereka disatroni tiga orang asing bertopeng. Ini film satu jam habis cuma ngeliatin mereka mengendap-ngendap, lalu ketangkep, dan lantas bersambung. Tidak ada bantering yang berarti dengan pembunuh. Tidak ada adegan sadis yang ‘menghibur’. Tiga puluh menit sebelumnya pun tidak diisi dengan set up karakter yang proper, Maya dan Ryan begitu bland, dan yah, mereka masuk kategori standar; karakter yang ngelakuin hal-hal bego. Padahal dalam horor yang bagus, penting bagi film untuk memberikan karakter yang dalam situasi mencekam, keputusan mereka realistis, atau at least bisa kita setujui sebagai tindakan yang ‘benar’.  Karena itu yang membuat kita peduli dan mungkin relate dengan survival mereka. Jika film gagal membuat mereka melakukan hal tersebut, maka penonton bisa dengan cepat berbalik menjadi ngecheer pembunuh untuk segera melakukan hal-hal ‘menghibur’ kepada mereka. Sebenarnya, masih bisa fun neriakin karakter yang keputusannya blo’on kayak gitu, tapi film ini begitu menjemukan, build up terornya cuma kayak ngulur-ngulur – karakter pembunuhnya pun sama boringnya karena gak benar-benar melakukan apa-apa. Sehingga aku bahkan gak punya tenaga untuk sekadar neriakin mereka buat seru-seruan.

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE STRANGERS: CHAPTER 1

 

 

 

THE WATCHERS Review

Ishana Shyamalan, dalam debut penyutradaraannya ini, berhasil melampui sang ayah. Ya, dia berhasil membuat film yang bahkan lebih payah daripada The Happening (2008). The Watchers, horor fantasi yang diadaptasinya dari novel, tampak asik sendiri di dalam bangunan misteri dari mitologi yang tak-menginspirasi. Penceritaannya gak punya ritme, arahan dan aktingnya cringe banget kayak produksi untuk televisi.

Looksnya aja yang kinclong. Padahal bayangin aja mentoknya antara vibe di hutan kelam yang menyesatkan dan mendekam di ruangan kotak, dengan kamera atau gambar yang super jernih. Sama sekali tidak menyokong pada vibe misteri yang berusaha disampaikan. Yang ada, film malah jadi kayak dongeng yang dibuat-buat.  Nonton ini kayak kita mendengar bualan orang yang awalnya aneh sampai bikin penasaran, tapi semakin ke sini anehnya semakin terasa gaje sehingga kita jadi gak peduli lagi dan membiarkannya bicara apapun sesuka hati. Apalagi karena Ishana berusaha bermain dengan pesona khas ayahnya, yakni memasukkan twist untuk ngespark cerita. Tapi twist-twistnya tersebut tidak pernah terasa signifikan, sebab cuma pengungkapan yang sebenarnya juga gak perlu ditreat sebagai twist.

Mitologi peri dan hubungan makhluk itu dengan manusia harusnya sudah dilandaskan supaya kita punya pegangan jelas terhadap arahan dan ritme cerita. Supaya kita gak tersesat kayak para karakternya. Yang penampilan aktingnya pun terasa ala kadar. Aku kaget banget saat sadar bahwa pemeran protagonisnya itu Dakota Fanning. Aku takjub bahwa ada juga sutradara yang bisa bikin karakter yang begitu underwhelming sampai-sampai sekelas Dakota aja gak keluar pesona aktingnya. Bahkan di Twilight aja masih bisa bikin dia kinda memorable. Ah, mungkin itu satu lagi ‘keberhasilan’ Ishana.

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for THE WATCHERS.

 

 

 

TRIGGER WARNING Review

Ternyata justru film Mouly Surya ini yang ala John Wick. Hebat ya, sutradara kita actually ngedirect film luar. Cuma masalahnya, gak ada yang ordinary dari jagoan cewek ala John Wick di sini. Parker, diperankan oleh Jessica Alba (Hebat ya, sutradara kita ngedirect Jessica Alba!!) adalah cewek serbabisa, serbacakap, yang membalas dendam.  Walau Mouly berusaha keras bikin protagonisnya ini tampak vulnerable di momen-momen personal, tapi bentukan karakter pada naskah Trigger Warning terlalu Hollywood. Ini adalah film yang dibuat hanya layaknya mesin untuk agenda ‘cewek jaman sekarang kudu jagoan’.

There’s no other ways to say it. Sutradara kita ternyata hanya jadi korban berikutnya dari kebiasaan Hollywood yang suka ambil sutradara asing atau ‘indie’, dan completely missed the points, dengan memberi mereka proyek yang seperti versi simpel dan mainstream dari apa yang membuat sutradara tersebut diperhitungkan. Kurang lebih sama-lah kayak waktu Chloe Zhao ketika didaulat untuk direct superhero Eternals (2022). Practically cuma buat sinematografi battlefield doang, mentang-mentang Zhao sukses bikin drama kehidupan nomad di gurun yang menggugah. Film Trigger Warning hampir seperti cuma ngeliat betapa Marlina yang menggotong kepala pria di padang ala western sebagai simbol feminis yang badass, dan itulah yang diassign kepada Mouly Surya. Bikin karakter cewek hard, jagoan, dan jadikan itu ke dalam gambar-gambar ciamik. Sementara naskahnya relatif dangkal dengan hal-hal stereotipe (yang bahkan menyerempet ranah kurang sensitif) dan muatan crime yang pengen kayak thriller misteri tapi ternyata pay offnya begitu sederhana, dan  predictable nyasarnya bakal ke mana.

Untuk actionnya memang tidak diarahkan untuk stylish, tapi cenderung rough. Dan ini sebenarnya bagus, jadi ‘karakter’. Aku awalnya juga tertarik, karena Parker yang kembali ke kampung karena ayahnya meninggal terlalu mendadak untuk dibilang wajar, itu punya senjata pilihan yaitu pisau. Yang juga merupakan simbol koneksi dia dengan sang ayah. Aku pikir film sedang ngebuild up perihal keparalelan antara dia dengan pisaunya, dan dia dengan ayahnya. Tapi hal tersebut ternyata dengan cepat jadi gak penting, karena ya, Parker nanti berjuang membalas dendam dengan banyak senjata lain.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for TRIGGER WARNING.

 

 

 

UNDER PARIS Review

Untuk film terakhir di Volume ini, kita berenang ke Perancis. Dan kita berenang bersama hiu! Premis horor binatang buas karya Xavier Gens ini sebenarnya menarik. Dia memanfaatkan kota Paris dan keunikan struktur jadi panggung berbeda dari sebuah action survival manusia dari serangan hiu. Namun ada gangguan mayor yang menghalangi kita untuk fully menikmati sajiannya ini. Karakter manusia yang sebenarnya technically gak bego (karena ilmuwan), hanya saja mereka hampir semuanya cenderung annoying.  Film bahkan udah ngeset up betapa annoyingnya pilihan karakter di film ini sedari adegan opening. Hasilnya tetep sama sih. Kita neriakin “Goblog!!” ke layar.

Film ini masih bisa worked out semisal mereka ada di arahan yang over-the-top. Tapi film ini memilih untuk serius. Like, di balik teror hiu film ini menyimpan pesan untuk lingkungan. Kota Paris dan keadaan sungai Seine  dibikin berperan, benar-benar dieksplorasi sebagai ‘habitat’ karakter manusia yang di-examine oleh cerita. Film ini menyentil politisi yang kebijakannya hanya untuk cuan, tidak untuk kepentingan masyarakat ataupun peduli sama lingkungan. Film juga melihat ke dalam lingkungan aktivis alam dan satwa. Dan lucunya, aku kepikiran jangan-jangan film ini adalah cara pembuatnya nyampein ajakan untuk bersihin sungai. Karena memang, di akhir cerita, film berubah menjadi lebih seperti film bencana-alam. Konsekuensi atau dampak terbesar justru datang bukan dari serangan hiu-hiu tersebut.

Atau ya, kalo memang mau seserius itu, film ini kudu ngasih naskah perhatian yang lebih. Karakter diperdalam, berikan development. Konflik mereka jangan dibuat datang dari betapa annoyingnya masing-masing memegang kepercayaan (dan kalo bisa, solusi yang mereka percaya itu jangan bego-bego amat) Put more thought on it, dan film ini akan bisa hit us different.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UNDER PARIS.

 




 

 

That’s all we have for now

Bener kan, volume pembuka musim panas ini belum benar-benar menggugah selera. Semoga bulan depan film-filmnya lebih seru!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 18 (CIVIL WAR, TUHAN IZINKAN AKU BERDOSA, THE FALL GUY, THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE, GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE, BOY KILLS WORLD, MONSTER, CHALLENGERS)

 

 

Ngepublish Mini Review Volume 18 ini, sebenarnya aku agak gak rela. Karena lihat saja film-filmnya, banyak di antaranya masih baru banget, dan banyak juga yang ingin aku bicarakan panjang lebar. Namun sekali lagi, waktu tidak berpihak padaku. Bulan Mei ini aku kembali harus menghabiskan banyak waktu di jalan, jadi yah, aku harus ikhlas menuliskan film-film keren ini dengan lebih singkat. Kalian yang sekiranya belum puas juga, boleh kok ngajak diskusi yang lebih panjang di kolom komen. Ketemuan di sana yaa, abis baca delapan ulasan ini:

 

 

BOY KILLS WORLD Review

Ngeliat posternya, jujur aku ngirain ini adaptasi dari game Double Dragon. Ternyata bukan. Meskipun memang, debut film panjang sutradara Moritz Mohr ini seperti mendapat inspirasi dari video game beat’em up dan fighting. Boy Kills World menceritakan pemuda yang ingin balas dendam kepada penguasa, yang telah membunuh ibu dan adiknya, jadilah dia mengarungi petualangan gebuk-gebukan, yang oleh film adegan berantemnya ditreatment kayak berantem di game, apalagi dengan banyaknya ‘boss fight’ yang harus dikalahkan di masing-masing stage alias tempat.

Boy Kills World memang banyak gaya. Salah satu gayanya adalah gak banyak bicara. Dan gaya tersebut mengembang menjadi gaya-gaya lain. Aku bisa mengerti kenapa Mohr bersandar pada gaya, atau katakanlah gimmick, seperti ini. Yaitu karena cerita berantem karena revenge ini udah sering. Monkey Man (2024) yang baru bulan lalu kureview aja contohnya, juga cerita anak yang jadi petarung demi balas dendam atas kematian ibu di tangan penguasa. Tapi tidak seperti Dev Patel yang punya akar galian berupa mitologi Hanoman dari budaya lokalnya, Mohr berusaha membuat Boy Kills World berbeda dari campuran banyak gaya/gimmick. Dia membuat Bill Skarsgard meranin pemuda yang tak banyak berdialog, melainkan lebih banyak berbicara kepada kita sebagai narator. Si Boy ini sudah lama tidak bicara dengan orang sehingga dia sendiri lupa ama suaranya, sehingga suara narator yang kita dengar adalah suara narator video game – karena main game adalah kenangan indah yang selalu diingatnya. Dan untuk menggambarkan si Boy bicara dengan dirinya sendiri, film membuat Boy ini sering ‘halu’ berinteraksi dengan sosok adiknya yang telah tewas saat kecil. Jadi fun nonton ini datang dari tingkah laku ‘ajaib’ si Boy alih-alih karakternya. Dari aksi-aksinya, alih-alih plot. Plot dan dunia film ini, sama tipisnya. Meski Mohr mati-matian berusaha supaya menarik. Salah satunya dengan mengambil elemen Hunger Games.

Oh iya, ada Yayan Ruhian juga.

Pilihan film ini untuk mendahulukan gimmick memang dengan segera terasa jadi ganjalan. Like, babak pertama yang harusnya mengset up relasi si Boy dengan Yayan, hanya ditampilkan berupa montase dan voice over narator yang panjang. Padahal kalo diadegankan secara biasa, dua karakter tersebut  bisa terbangun dengan lebih baik. Yayan juga bisa kebagian dialog, enggak cuma kayak dicast buat adegan berantem doang. Apalagi relasi Boy dan dukun yang menyelamatkan dan mengajarinya berantem itu ternyata merupakan relasi kunci di akhir cerita. Sebuah film sah-sah saja memilih untuk karakternya sedikit bicara, banyak bergaya, namun tentu film itu sendiri harus tetap bicara tentang sesuatu.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BOY KILLS WORLD.

Sayangnya, ini bukan film terakhir di Volume ini yang irit ngomong dan actually gak bicara tentang apa-apa…

 

 

CHALLENGERS Review

Sementara itu, Challengers karya Luca Guadagnino is all about style. Film tenis yang not really bicara tentang tenis, tapi lebih ke bicara soal relationship. Seperti yang diucapkan oleh karakternya, tenis adalah relationship. Dan Luca, masterfully, merancang kisah romansa segitiga ini ke dalam dunia olahraga tenis. Bahkan kita sebagai penonton, akan dibuat sama seperti bola yang dipingpong (mau bilang ditenis, tapi kok ya janggal hhihi), melesat dari satu ‘pemain’ ke ‘pemain’ lain dalam artian literal maupun penggambaran. Literal karena memang ada adegan yang membuat kita berada dalam pov bola tenis yang melayang ke sana kemari, dipukul oleh dua pemain yang sedang saling mengkomunikasikan perasaannya lewat pukulan-pukulan penuh passion tersebut.  Penggambaran, karena well…

Kita dipingpong oleh flashback. Challengers tidak diceritakan oleh Luca secara linear. Style-nya yang ingin memparalelkan semua ini ke dalam dunia tenis, membuat Luca bicara dengan bolak-balik. Kita melihat tiga karakter sentral di masa sekarang – dua di antaranya sedang bertarung di lapangan, sementara yang satu menonton di bangku depan – tidak tahu sebenarnya dia mendukung yang mana. Atau bagaimana mereka terhubung. Lalu film lompat ke 13 tahun lalu; lompat ke delapan tahun kemudian, balik ke masa kini, mundur lagi. Memang asyik cara Luca membuka siapa sebenarnya mereka, apa yang terjadi di antara mereka. Dua cowok itu ternyata sahabatan, satu tim, dan mereka sama-sama ‘mengidolakan’ si cewek. And that’s pretty much about it. Setiap lompatan flashback membuka informasi baru, membawa kita informasi satu lalu informasi berikutnya. Emosi kita memang ikut bergolak ke dalam asmara mereka, kita either bakal peduli sama satu karakter begitu terungkap seperti pasangannya lebih cinta ke siapa, atau kita gak peduli sama siapapun karena ya tiga-tiganya player – and they know it.

Inilah resiko yang diambil oleh Luca ketika memilih gaya bercerita pada film yang kini sudah begitu populer berkat potongan adegan bertiga dan adegan tenisnya. Karena hanya momen itulah yang akhirnya nempel. Gak lagi exactly tentang filmnya. Karena development karakternya – jika memang ada – tercacah oleh lompatan-lompatan waktu. Lompatan yang bukan dilakukan untuk membuka perkembangan, tetapi membuka kepada informasi ‘ternyata-ternyata’. Tiga karakternya adalah orang penuh passion yang enggak satu-dimensi, mereka berlapis, cuma kita tidak pernah stop begitu lama, tidak dibiarkan stay pada satu di antara mereka. Film ini tidak mengajak kita bermain bersama karakternya. Heck, kita bahkan tidak ‘menonton’ mereka bermain cinta. Ingat, di sini kita seperti bola yang dipingpong. Kita yang sedang dipermainkan. Dan sama seperti dipermainkan cinta, we all like it so much.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHALLENGERS.

 

 

 

CIVIL WAR Review

Film kehancuran dunia bukan semata bahasan bencana alam ataupun zombie, film roadtrip bukan cuma soal bersenang-senang, dan film perang bukan cuma milik prajurit atau tentara. Begitu kira-kira gambaran Civil War dalam menjadi tidak biasa. Menilik kehancuran karena perang saudara, lewat sudut pandang jurnalis yang mempertaruhkan nyawa berkeliling mengejar titik kerusuhan untuk meliputnya dari jarak dekat. Lalu kemudian sutradara Alex Garland balik bertanya; Yakin, tentara dan jurnalis itu berbeda?

Ada semacam duality pada konsep dan cerita yang membuat film ini jadi menarik. Pertama-tama, tentu saja film ‘melaporkan’ susah dan bahayanya pekerjaan jurnalis dalam meliput perang. Untuk berada begitu dengan ancaman. Juga ada gambaran yang menyinggung perbedaan ‘kelas’ antara jurnalis tv dengan jurnalis media cetak. Pekerjaan mereka sangat dibutuhkan sebagai media yang mengabarkan keadaan dengan aktual, faktual, supaya orang percaya dan melihat kebenaran di tengah suasana sechaos perpecahan kubu dalam satu negara. Sebaliknya, untuk dapat melakukan kerjaan mulia itu, mereka membutuhkan nyali dan tekat dan stamina, dan moral? Apakah integritas di atas segalanya? Inilah yang memakan karakter Kirsten Dunst sebagai protagonis dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, dia telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Lee memang tidak pernah mengutarakan konflik internalnya, tapi dari sikap dan pandangannya kita mengerti. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera.

Lalu ada karakternya Cailee Spaeny. Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Tegangnya film memang bukan masalah karena sukses tergambar lewat pengadeganan aksi jurnalis membuntuti kecamuk perang berkat kamera dinamis dan editing konsep fotografi yang precise. Namun dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.

Sebagai salah satu film yang paling kuantisipasi tahun ini. Civil War tidak mengecewakan. Bahkan shot-shotnya saja bisa demikian tak akan segera terlupakan. Buat kalian penggemar film dan pengen merasakan lebih banyak perbedaan storytelling, kalian bisa coba bandingkan adegan Cailee Spaeny dalam lubang mayat di film ini dengan adegan Kathryn Newton dalam kolam mayat di film Abigail (2024). Kalian bisa sampaikan pandangan kalian di komen, yaa

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CIVIL WAR.

 

 

 

GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE Review

Aku butuh satu film lagi buat melengkapkan Volume ini jadi delapan-film. Who do I gonna call? Ghostbusters!! Haha, engga ding. Sebaliknya, aku udah nonton film sedari rilisnya Maret lalu, tapi selalu terundur-undur ulasannya. Spotnya selalu tergugurkan oleh film lain. Penyebabnya satu; walau sekuel Ghostbusters modern ini fun, tapi film ini terasa kurang urgent. Apalagi di masa yang udah sumpek oleh revival franchise yang sebenarnya kekuatan utamanya pada curi-curi memerah nostalgia.

Terkait nostalgia act, film ini bermain hormat dan punya caranya tersendiri. Cast lama (baca: legend!) disatukan jadi tim bareng cast baru. Film berhasil membuat mereka tidak tampak awkward ataupun mencuri spotlight. Frozen Empire tetap mendevelop cerita dari karakter baru. Phoebe yang diperankan oleh McKenna Grace menyetir film dengan arc yang benar terasa modern dan berdiri sendiri. Untuk melengkapi karakternya itu, film ini menciptakan hal yang kalo aku gak salah ingat, belum pernah ada di Ghostbusters sebelumnya. Yakni karakter hantu yang full ter-flesh out sebagai jiwa manusia yang tertinggal di bumi. Hubungan mereka mengangkat film ini, ngasih bobot drama. Sehingga film ini bukan sekadar petualangan menangkap hantu.

Namun di situ jugalah masalahnya. Gil Kenan, yang menulis skenario di film sebelumnya, kini duduk juga di kursi sutradara. Dan dia tersandung masalah yang sama, yang seringkali kita temui pada film setiap kali yang tadinya penulis skenario, sekarang juga menyutradarai ceritanya; Cerita tersebut cenderung menjadi penuh sesak. Frozen Empire either lebih baik dijadikan serial, atau ya pembuatnya harus ‘rela’ ngetrim cerita supaya lebih lugas dan tidak terasa berjubel baik itu oleh karakter, subplot, ataupun adegan-adegan hiasan atau hiburan. Karena begitu padatnya inilah, keurgenan film jadi tidak mencuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE.




MONSTER Review

Kesamaan karya Rako Prijanto ini dengan buatan Kore-eda hanya sebatas pada judul dan karakternya anak-anak. Selain itu, sebaiknya jangan dibandingkan. Monster buatan Rako adalah thriller yang menempatkan anak kecil di lokasi tertutup, untuk bermain kucing-kucingan nyawa dengan orang jahat sindikat pembunuh dan penyiksa anak-anak. Gimmicknya adalah tanpa dialog, dan film ini sendirinya actually memang tidak bicara apa-apa di balik tujuan genrenya.

Ya, of course kita akan peduli dan ikut khawatir sama keselamatan karakter utamanya. Siapa yang tidak kasihan melihat anak berseragam pramuka SD tersebut memutar otak untuk menyelamatkan bukan saja dirinya sendiri, tapi juga teman yang disekap – againts orang dewasa bersenjata tajam. Dalam lingkup genrenya sendiri saja, hal tersebut adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan seorang pembuat film. Meniadakan dialog sekilas tampak seperti creative choice, tapi jatohnya jadi kayak males saat film ini tidak punya lapisan apa-apa. Kita bahkan tidak kenal karakternya. Sehingga durasinya yang 80menitan itupun jadi terasa bahkan lebih panjang daripada durasi Ghostbusters barusan – yang dikritik kepanjangan oleh banyak pengulas. Isinya ya dragging aja, si anak sembunyi, ketahuan, struggle, kabur untuk sembunyi lagi, on repeat. Satu-satunya momen yang bikin melek adalah ketika mbak Marsha Timothy dapat The Shining moment versi dirinya sendiri. Udah.

Selain itu, yang bikin kita ikhlas nonton sampai habis adalah demi mengapresiasi akting Anantya Kirana. Film ini bersandar pada akting ketakutan dan survivalnya (eventho naskah – yang ternyata ditulis tiga orang – terus saja membuat protagonis utama kita ini khas karakter dalam horor yang pilihan aksinya blo’on)

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Rako Prijanto’s MONSTER. 

 

 

 

THE FALL GUY Review

Based on action tv series 80’s, The Fall Guy dari luar memang heboh oleh adegan-adegan aksi stunt yang bisa dibilang over the top, tapi on the inside, sutradara David Leitch ngambil kebebasan ngembangin cerita dan dia memilih rute komedi romantis. Hasilnya, wuih The Fall Guy jadi salah satu film paling sukses menghibur kita tahun ini. Sebab Leitch menemukan cara yang sungguh brilian dalam menggodok semuanya.

Ryan Gosling dan Emily Blunt jadi pasangan yang tak biasa. Gosling adalah Colt, seorang stuntman film blockbuster yang sempat hengkang dari industri karena kecelakaan saat stunt, dan Blunt adalah Jody, juru kamera yang kini jadi sutradara film distopia luar angkasa (bayangkan Mad Max digabung Star Wars) Relationship mereka jadi hati, karena alasan satu-satunya Colt mau diminta balik jadi stuntman karena itu adalah filmnya Jody. Tapi Jody belum siap dengan ‘kejutan’ tersebut. Jadilah kita mendapat banyak sekali adegan awkward-bagi-mereka, kocak-bagi-kita saat Jody terus-terusan ngetake ulang adegan berbahaya yang dilakukan Colt karena she doesn’t feel it right. Yang berujung pada keduanya membahas cerita film – yang sebenarnya paralel ama kehidupan cinta mereka – over loudspeaker, di tengah syuting, di depan semua kru. Keadaan sebenarnya jauh lebih pelik, karena Colt juga diminta untuk menemukan aktor utama di film tersebut yang – tidak diketahui oleh Jody dan kru lain – menghilang secara misterius. Dari sinilah, adegan-adegan action seru yang sebagian besar dilakukan oleh Gosling sendiri, bisa terjadi. Sehingga walaupun di awal, film agak terseok dalam usaha memunculkan konflik, setelahnya film melaju mulus. Naskah gak punya masalah dalam melakukan transisi antara Colt yang bereaksi terhadap misi yang tak ia mengerti betul dengan pilihan-pilihan Colt demi film yayangnya sukses.

Kayaknya untuk urusan adegan action, kalian bisa bayangin sendirilah. Leitch sendiri berasal dari seorang stuntman. Selain ngerti banyak soal cara menangkap adegan aksi yang seru, dia juga begitu paham sama dunia stunt itu sendiri. Makanya, di balik itu rom-com dan aksi itu, Leitch punya misi mulia. Film yang konsepnya film dalam film ini ia gunakan sebagai komentar meta terhadap bidang kerjaan yang fungsinya penting dalam sinema ini.  Gimana suka duka kerjaan sebagai stunt. Gimana posisi mereka terhadap aktor yang mereka ‘gantikan’. Gimana kerjaan seberbahaya dan sepenting ini belum ada ganjaran awardnya. Semua itu dilakukan dalam nada ringan yang menyokong kepada kocaknya komedi film ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE FALL GUY.

 

 

 

THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE Review

Basically, mereka adalah preman. Untungnya yang mereka basmi bukan pemuda-pemuda yang dikambinghitamkan sebagai PKI. Tapi beneran prajurit Nazi. Sehingga nontonnya seru dan fun. Kelewat fun, malah. Guy Ritchie sukses menghasilkan adegan-adegan pembantaian yang sadis tapi stylish. Namun, film yang sepertinya juga terinspirasi dari Akira Kurosawa’s Seven Samurai ini (hitunglah, mereka tujuh preman bawahan pemerintah!) lupa memasukkan sisi yang bisa jadi kelemahan ataupun obstacle berarti bagi karakternya. Stake dan resiko justru adanya pada Winston Churchil sebagai orang yang memerintahkan mereka. Hanya saja, stakenya not really about life and death – tidak sejalan dengan aksi dan bahaya yang jadi sajian utama.

Mulai dari aksi pura-pura saat ketahuan patroli Nazi hingga ke aksi infiltrasi ke kamp-kamp dan kota pelabuhan, bahkan ketika rencana mereka mendadak berubah dan harus mencuri kapal alih-alih meledakkannya, tim yang dipimpin oleh Henry Cavill tidak pernah punya kesulitan yang berarti.  Mereka semua jago dalam bidang masing-masing. Mereka selalu menemukan cara. Tidak pernah ada momen dalam film ini yang kita merasa khawatir sama keselamatan atau keberhasilan mereka. Kapten Nazi yang sepertinya pintar, tidak lengah, dan paling galak – yang sepertinya dibuild up untuk jadi final boss – saja ujungnya kalah begitu saja oleh anggota tim yang terlihat paling vulnerable. Sehingga nonton film ini jadinya lempeng aja. Fun, seru, tapi ya lempeng. Tidak ada gejolak emosi di sana-sini.

Karakternya yang satu tim itu bahkan tidak punya momen saling berantem, atau berdebat, atau ada percikan trust issue atau semacamnya. Benar-benar film ini tidak ada tantangan berarti sama sekali. Tidak ada konflik, kalo boleh dibilang. Kita hanya menyaksikan orang-orang super kompeten melaksanakan tugas ilegal mereka, dengan overcoming all the odds yang tidak benar-benar tampak seperti odds bagi mereka.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE.

 

 

 

TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA Review

Sebelumnya, izinkan aku mengutarakan rasa skeptis yang sempat terbit di hati; begitu baca bukunya (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur), aku ngerasa ragu cerita ini cocok ditangani oleh Hanung Bramantyo. Walau memang topik kontroversialnya Hanung banget, tapi penceritaan Kiran di buku lebih ke arah kontemplatif. Dia lebih banyak berdialog di dalam kepalanya sendiri – menuntut Tuhan. Penceritaan yang sepertinya bukan ranah Hanung yang terkenal jagonya dalam konflik-konflik ke luar yang dramatis. Tapi aku salah. Satu yang aku lupa dari mas Hanung; bahwa dia adalah satu dari sedikit sekali sutradara yang aktif saat ini yang berani mengeluarkan visi. Yang berani mengadaptasi secara benar-benar, dalam artian gak harus mengikuti sumbernya. Maka itulah rasa skeptis itu aku tinggalkan saat menonton. Karena ternyata Hanung benar-benar mengubah banyak hal – bukan hanya judul. Penceritaan, karakter, alur, dan vibe cerita ini, ia ambil dan jadikan sesuai dengan kekhasan dan kepiawaian dirinya.

Karakternya, Kiran bakal bisa jadi sobat akrab si Sita di film Siksa Kubur (2024). Karena Kiran juga adalah perempuan yang merasa dikecewakan, ditelantarkan oleh agama yang tidak lagi ia percaya ajarannya karena melihat kelakuan orang-orang di sekitarnya yang mengaku penganut taat. Hanya, langkah yang diambil Kiran berikutnya sedikit lebih logis daripada Sita. Kayak anak kecil yang marah sama ortunya, Kiran ngambek. Pundung. Manggok. Yang tadinya alim, Kiran jadi ogah beribadah. Dia malah menceburkan diri ke pergaulan bebas, sampai akhirnya mau untuk ikut permainan dosennya yang ternyata germo. Kiran mau karena dia punya suatu maksud. Film ini mengenakan kontroversi tanpa malu-malu. ini menjadikannya sungguh sebuah film yang menantang. Misalnya, Hanung mengontraskan gimana cara berpakaian Kiran yang alim dengan saat dia sudah bandel – dan itu dilakukannya dengan sama-sama masih mengenakan atribut agama. Aghininy Haque pun menaikkan level aktingnya, kini dia sudah bisa bermain di akting suara, bukan hanya postur dan gestur. Sehingga terasa sekali perbedaan antara Kiran yang dulu dengan yang sekarang.

Ngomong kembali soal perbedaan. Yes, Hanung took this story and make it his own, successfully and masterfully. Meskipun kalo mau dibandingkan, aku lebih suka versi buku dibandingkan versi film. Kiran versi buku lebih ‘dingin’, misinya untuk mengekspos kelemahan lelaki – dan ia menemukan itu setiap kali para lelaki selesai tidur dengan dirinya. Penceritaan di buku mengambil sisi dramatis dari transformasi, atau katakanlah degradasi, Kiran. Saat menonton film ini, aku bingung karena Hanung tidak tampak mengincar hal serupa. Kisah Kiran tidak diceritakan linear, melainkan seperti Challengers tadi. Banyak bolak-balik antara Kinan dulu dengan Kinan sekarang. Yang aku takutkan adalah kita gak akan bisa merasakan dramatisnya kejatuhan Kiran menjadi pendosa, karena sedari awal kita sudah diperlihatkan Kiran yang sekarang sikapnya sudah begitu. Tapi sekali lagi aku lupa. Hanung sudah membentuk ulang cerita ini sehingga dramatisasinya bukan lagi dari transformasi. Lupa bahwa Hanung adalah sutradara yang bisa membuat instan dramatisasi dari dua atau satu momen saja. Dan memang itulah yang dilakukannya. Kiran menantang Tuhan di atas gunung. Petir menggelegar, DHUAR!! Selesailah sudah kekhawatiranku.

Karena setelah itu aku merasakan film ini berjalan di rodanya sendiri. Kiran di film banyak berkonflik langsung dengan karakter lain. Bentukannya dari khas auteur lelaki mengapproach cerita ini, yaitu Kiran menjadi victim di dunia yang dikuasai laki-laki. Kiran mengalami banyak siksa dunia – bukan siksa kubur seperti Sita – sebelum akhirnya dia sadar dan gain strength dari pengetahuannya bahwa para lelaki itu munafik dan tidak lebih kuat darinya. Kiran menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan dengan caranya sendiri. Mengekspos kemunafikan di dunia.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA.

 




 

 

That’s all we have for now

Wah sepertinya ini menjadi mini review terpanjang ya hihihi!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 17 (MONKEY MAN, LATE NIGHT WITH THE DEVIL, SIKSA NERAKA, IMMACULATE, ARTHUR THE KING, PERFECT DAYS, KUNG FU PANDA 4, DUNE: PART TWO)

 

 

Dari panda jago kung fu ke anjing pintar yang ikut adventure race; dari pria yang contempt dengan keseharian ke pria jalanan yang ingin balas dendam kepada polisi, ke ‘the chosen one’ yang akhirnya naik tahta;  dari acara bincang-bincang ke penyiksaan, bahkan di tempat yang mestinya sakral sekalipun. Mini Review Vol.17 sudah siap untuk disantap!!

 

 

ARTHUR THE KING Review

A feel-good movie adalah film yang paling susah untuk direview. Karena susah banget buat gak bias kepada film yang udah berhasil menyentuh hati kita. The movie feels so good, susah buat melepaskan apa yang kita rasakan dengan hal-hal yang katakanlah lebih objektif untuk penilaian. Contohnya ya kayak film buatan sutradara Simon Cellan Jones ini.

Arthur the King, dari kisah nyata yang begitu inspiratif tentang seorang adventure racer yang di tengah-tengah lomba bertemu dengan anjing jalanan yang penuh luka. Development karakter Michael, si racer, adalah dia yang tadinya berlomba untuk menang berubah menjadi lebih peduli sama teman tim – termasuk pada anjing tadi. Sehingga filmnya pun berevolusi, dari yang awalnya bersemangat kompetisi (sampai ada bagian drama ngumpulin teman-teman tim segala) menjadi tentang bonding dengan anjing yang serta merta jadi maskot tim, dan ultimately menjadi tentang penyelamatan sang maskot yang ternyata mengidap bakteri mematikan di dalam lukanya.

Jika dilakukan properly, tipe film yang berevolusi seperti begini biasanya (walau jarang nemu) aku kasih nilai 9. Arthur the King hits all the emotional notes. Yang ‘berubah’ menjadi better person pun bukan cuma Michael seorang, film berhasil menunjukkan pengaruh Arthur bagi anggota tim yang lain. Bahkan bagi dunia yang menonton perlombaan mereka. Ketegangan lomba di alam bebas yang treknya dipilih dengan bebas juga oleh peserta juga dapet banget. Karena serunya, tim Michael selalu milih trek yang paling menantang. Yang akhirnya membuatku urung  ngasih 9 untuk film ini adalah mereka belum maksimal ‘mengintroduce’ Arthur ataupun memparalelkannya dengan Michael. Supaya tidak terkesan tiba-tiba berubah menjadi film tentang penyelamatan anjing sekarat, film memang bijak me-reka sendiri gimana Arthur sebelum bertemu Michael. Kisah Arthur di jalanan disisip-sisipkan di antara set up Michael menuju hari H perlombaan. Kita butuh lebih banyak dari satu adegan dia dikejar anjing liar untuk melandaskan Arthur memang anjing tangguh , sehingga misteri atau keajaiban kenapa Arthur bisa mengikuti tim Michael bisa lebih ‘believable’ – bukan lagi terkesan sebagai dramatisasi film

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ARTHUR THE KING

 

 

DUNE: PART TWO Review

Denis Villeneuve mencacah novel epic Dune menjadi (yang sepertinya) banyak film. Film Dune bagian pertamanya, aku lumayan suka, tapi menurutku, selain visual storytelling yang amazing, film itu bukan film yang benar-benar bagus. Narasi dan journey karakternya terasa incomplete karena harus bersambung ke film bagian kedua yang kala itu beritanya entah beneran akan dibuat atau tidak. Now, here we are, dan Dune Part Two beneran terasa lebih padat dengan journey yang ‘complete’ karena mengambil fokus kepada proses Paul Atreides menjadi sosok legenda Lisan Al-Ghaib.

Baru di film keduanya ini visi Denis kerasa kuat. Dia menjadikan cerita ini ke dalam beberapa bagian untuk tujuan adaptasi yang lebih ‘besar’. Di film keduanya ini Denis ‘went off book’, dia ngasih sensasi tragis dari terpenuhinya prophecy, dia meminta kita untuk turut fokus kepada karakter Chani-nya si Zendaya sehingga kontras dramatis dari journey Paul yang tadinya enggan dianggap penyelamat kemudian malah total jadi messiah, benar-benar jadi vibe yang menguar membuat film jadi tidak hanya spektakel luar angkasa. Dune: Part Two sangat padat, dan kupikir film ini bisa berdiri sendiri. Kita tidak benar-benar perlu untuk belajar sejarah dunianya, ataupun menonton ulang film pertama untuk bisa ngerti, karena di sini journey triumphant-namun-gelap Paul dibuat sangat melingkar. Endingnya pun (yang juga seperti mengarah kepada interpretasi Denis yang lebih bebas dari sourcenya) tidak demikian terasa seperti menggantung karena akhir film ini sudah mengestablish sisi kelam dari Paul yang sudah jadi Lisan Al-Ghaib.

Yang bikin angker mungkin memang durasinya aja. Tapi untungnya film ini punya pace yang kejaga. Tidak pernah terlalu slow ataupun terlalu lompat-lompat. Film justru memastikan kita mengexperience semua yang terjadi kepada karakter di planet gurun itu. Mulai dari surfing di atas cacing raksasa, hingga duel satu lawan satu, kamera film selalu berhasil menekankan kepada skala dan dunianya sehingga elemen sci-fi adventurenya bener-bener hidup sebagai pencapaian sinema modern.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DUNE: PART TWO

 

 

 

IMMACULATE Review

Urgh aku gak mau bayangin misalnya Rosemary’s Baby dibuat di masa sekarang; hasilnya pasti gak jauh beda dari film Immaculate ini. Horor yang seperti diejakan, harus ada pihak yang jahat, dan tentu saja dengan nada feminis. It’s not really about character, tapi lebih ke tentang pemerannya disuruh ngelakuin apa. It’s not really about story, tapi lebih ke ending/penjelasan mencengangkan terkait pesan/gagasan yang diusung.

Oleh karena itulah, Immaculate karya Michael Mohan terasa mengecewakan. Feels like, mereka cuma ngandelin Sydney Sweeney yang meranin suster taat sebagai protagonis dan berharap apapun yang mereka lempar kepadanya worked. Masalahnya mereka tidak pernah melempar sesuatu yang unik, ataupun wah, melainkan malah kayak cenderung main aman. Padahal jelas kontras yang diniatkan dari judul, setting, tema, adalah hal brutal yang mengeksplorasi tubuh perempuan (kehamilan). Untuk menjadi sekadar body horor biasa pun, film ini enggan. Instead, mengambil bentukan horor cult yang misterinya pun tidak engaging. Yang sedihnya, di film ini aku malah melihat si Sydney jadi kayak versi knock off dari Mia Goth dan tipe karakter horor yang biasa ia mainkan.

Tapi memang yang patut ditiru dari horor barat adalah mereka gak pernah ragu untuk ‘menyiksa’ protagonis, yang memang kebanyakan cewek. Karena audiens dan pembuatnya tahu, ‘siksaan’ itu semata adalah simbol perjuangan yang harus mereka lalui, bahwa ini bukan soal survive dari makhluk jahat, tapi juga pergulatan diri untuk lepas dari bentuk ikatan atau kungkungan tertentu.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for IMMACULATE.

 

 

 

KUNG FU PANDA 4 Review

Momen sinema yang paling melegakan 2024 sejauh ini bagiku adalah tidak jadi mendengar suara teriakan Awkwafina di Kung Fu Panda 4 saat adegan karakternya ingin menyampaikan pengumuman penting untuk satu kota yang ribut, aku udah siap-siap nutup telinga karena si rubah itu udah ambil napas untuk teriak, tapi lalu tidak jadi hahaha sukurrr…… Well, ya, sebagai sekuel yang tidak disangka oleh semua orang (termasuk penggemar Kung Fu Panda) film ini memang bisa dibilang ambil resiko dengan tidak lagi menghadirkan The Furious Five (beserta aktor-aktor kawakan pengisi suaranya) sebagai teman Po (Jack Black) bertualang, instead menggantinya dengan presence seseorang (dan secempreng) Awkwafina yang jadi rubah pencuri.

Dinamika Po dan Rubah Zhen terutama terasa awkward karena sebenarnya mereka lebih mirip sebagai pasangan di dalam film aksi spy ketimbang komedi kungfu seperti vibe tiga film terdahulu. Kung Fu Panda 4 terasa lebih buru-buru, dan lebih mengandalkan kepada aksi-aksi konyol, dengan hiasan celetukan atau komentar atau rekasi yang berusaha memancing komedi dari para karakter. Harusnya film ngerem sedikit dan benar-benar embrace bahwa relasi yang mereka punya sebagai heart of the story adalah relasi yang baru, yang dua karakternya ini butuh dibuild up benar-benar terlebih dahulu. Tapi di sini, being more like an action, ceritanya lebih menyibukkan diri kepada twist&turn karakter.

Padahal dari sisi tema/gagasan, film ini lumayan berbobot. Po enggak siap untuk menyerahkan gelar Dragon Warrior kepada penerus, Po merasa belum sebijak gurunya dalam menggembleng murid (itu juga kalo dia berhasil menemukan dan kalo ada yang sudi berguru kepada dirinya yang merangkai kata-kata wisdom aja gak bisa). Bahasannya mengangkat soal kita adalah apa yang kita lakukan, dan bagaimana kita harus bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan, karena gimana pun kita gak boleh stuk terus, kita harus berkembang as a person. Semakin dipertajam bahasan ini dengan desain karakter jahatnya, yaitu Chameleon yang bisa berubah wujud menjadi siapapun, termasuk musuh yang sudah dikalahkan oleh Po. Sepertinya arahan Mike Mitchell dan Stephanie Stine memang terlalu gasrak-gusruk dalam menceritakan tema tersebut.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KUNG FU PANDA 4




LATE NIGHT WITH THE DEVIL Review

Konsepnya dibikin kayak sebuah dokumenter dari acara talkshow di televisi. Sebelumnya, kita diberikan backstory oleh narator mengenai host talkshow tersebut; Jack Delroy, yang naik daun berkat program tersebut, lalu gimana dia dirumorkan terlibat dalam sebuah sekte misterius, dan gimana dia sempat depresi setelah istrinya meninggal dunia karena kanker. Lalu film berfokus kepada ‘rekaman’ show terakhir dari Jack Delroy. Show spesial Halloween, bintang tamunya antara paranormal beneran, paranormal yang kini jadi skeptis, serta seorang ilmuwan dan subjek penilitian yang kini sudah dianggap anak sendiri; remaja yang berbagi tubuh dengan setan. ‘Menonton’ talkshow ini sudah jelas bakal lain dari biasanya, karena kejadian aneh semakin menjadi-jadi.

Sutradara Cameron dan Colin Cairnes sukses membius kita semua. Bukan saja menonton film ini terasa seperti nyaksiin ‘talkshow beneran yang gone wrong beneran‘, tapi juga karena sepanjang acara itu kita juga dibuat terombang-ambing. Orang bilang “the greatest trick the devil ever pulled was convincing the world he doesn’t exist”, nah film ini seperti the devil itu sendiri. Atau setidaknya, film ini berhasil bikin kita gonta-ganti pendapat siapa setan beneran di cerita ini.

Sama seperti karakter-karakternya yang mempertahankan ilusi/gimmick masing-masing, film ini pun menaruh perhatian yang sangat detil untuk menciptakan dunia panggungnya. Ketika lagi mereka lagi on-air, treatment yang diberikan film pada kameranya akan berbeda dengan saat nanti mereka break iklan dan kita ‘dipersilakan’ melihat ke panggung tempat mereka benerin make up, atau juga ke backstage saat si host mulai mencemaskan yang terjadi di panggung tadi itu adalah trik produser atau memang fenomena gaib. Kesan 70an pun menguar kuat lewat cara bicara, pakaian, dan style acara. Ketika iklan, mereka memperlihatkan animasi ‘we’ll be back’ khas acara televisi. Begitu juga ketika nanti horor beneran terjadi, efek praktikal digunakan dengan berani. Menjadi horor psikologis pun film ini tidak ragu, beberapa menit terakhir film menunjukkan kebolehan arahan dengan menggunakan klip-klip yang mirip dengan montase pembuka hanya kali ini dengan angle dan perspektif yang membuatnya beneran tampak eerie, sureal, dan disturbing.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LATE NIGHT WITH DEVIL

 

 

 

MONKEY MAN Review

Legenda Hanoman digunakan oleh Dev Patel sebagai tema/gagasan yang mengelevasi kisah action revenge yang jadi debut penyutradaraannya, memberikan genre tersebut sedikit bobot dan akar identitas budaya yang merekat. Hasilnya, sure, Monkey Man punya aksi brutal menghibur ala John Wick (film ini sendirinya menyebut John Wick, for fun), backstory karakternya yang kesumat mencari polisi jahat yang dulu membunuh ibu pun tampak plot standar, tapi setidaknya di balik itu semua kita ditahan di tempat duduk oleh paralel antara si monkey man dengan Hanoman yang dulu sering diceritakan oleh ibu, melawan raksasa Rahwana.

Baik akting maupun directing, Dev Patel di sini tampak sangat ambisius. Dari sinematografi saja, Monkey Man sudah sedahan di atas film laga biasa yang cuma ngandelin cut-cut cepat. Di film ini, aku kagum sekali sutradara pertama seperti Patel, mampu menghadirkan adegan-adegan berantem yang seperti punya ritme. Kalo film bollywood menari lewat adegan tari-tarian, Monkey Man (yang nyatanya suting di negara kita ini) ‘menari’ lewat adegan berantem. Setiap adegan berantem menceritakan kisah/state si monkey man pada saat itu. Sehingga masing-masing adegan berantem terasa berbeda, dan terasa punya bobot emosi yang berbeda. Patel memang tampak ingin menitikberatkan kepada journey personal protagonisnya yang penuh duka dan trauma. Hal yang termanifestasi pada telapak tangannya yang bergurat-gurat bekas lecet dan api. Patel juga sering membawa kita berayun ke dalam memori-memori pahit karakternya, menciptakan imaji-imaji yang tak kalah heavy dari sana.

Sandungan film ini menurutku cuma nature dari genrenya yang memang generik. Gak peduli betapa jauh Patel ngajak kita ke identitas dan culture yang ia angkat, film ini tetap balik dan berjalan pada poros yang sangat familiar. Sehingga, tur ke kepala protagonis, justru dapat berbalik membosankan bagi penonton yang ingin segera balik ke aksi-aksi. Menurutku pribadi, yang kurang dieksplorasi dari film yang memang terlalu fokus pada satu karakter ini adalah, tokoh jahatnya. Si kepala polisi masih terlalu satu dimensi. Sementara ada satu lagi, yang merupakan paralel tuhan/dewa dalam kisah hanoman – seorang guru bernama Shakti Baba yang tadinya juga nobody tapi jadi penguasa yang menggerakkan semua kejahatan politik di balik kedok orang suci – tidak benar-benar dieksplorasi sebagai lawan ‘sesungguhnya’ dari protagonis kita.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for MONKEY MAN.

 

 

 

PERFECT DAYS Review

Beberapa tahun lalu pernah ada film yang seperti ini, judulnya Paterson (2017). Filmnya hening, kisah keseharian seorang driver bus, dan mengisi waktu luangnya dengan menulis puisi. Perfect Days karya Wim Wenders bedanya cuma protagonisnya seorang janitor taman-taman kota, dan mengisi waktu luang dengan mendengarkan musik (dari kaset tape),membaca buku sastra, dan memotret pohon-pohon. Mengikuti rutinitasnya sehari-hari, kita akan menjadi semakin kenal dengan pak Hirayama, dan we might learn satu-dua hal tentang latar belakangnya, yang membuat pilihan hidupnya sekarang semakin emosional bagi kita.

Perfect Days memang bukan film yang bakal ada kejadian besar. Film ini justru memusatkan kita pada hal-hal rutin dan kecil yang berlangsung di hari-hari yang tampak disukuri sekali oleh pak Hirayama. Film membawa kita ngikutin beliau mulai dari bangun tidur di apartemen kecilnya, berkeliling ke ‘kantornya’ yakni toilet-toilet taman Jepang yang unik-unik dan estetik (mindblowing banget lihat toilet transparan yang seketika memburam pas pintunya dikunci), istirahat makan siang di taman, sebelum pulang mampir ke bar kecil yang ibu penjaganya jago nyanyi, lalu tidur. Begitu terus. Aku terutama tertarik pada bagian ketika Hirayama tidur. Karena dia pasti mimpi, dan mimpinya – yang digambarkan hitam putih, lewat berbagai image random – terlihat kadang seperti masa lalunya, atau mungkin juga penyesalannya, atau juga hal yang ia rindukan.

Film, seperti juga Hirayama, memang menolak membicarakan masalahnya secara langsung. Tapinya lagi, memang itulah konteks gagasan film ini. Bukan soal resolving problem. Melainkan gimana kita mengusahakan hidup mensyukuri hal-hal kecil tanpa terdistraksi oleh masalah fana ini. Pentingnya kita untuk menyadari setiap hari adalah hari yang sempurna untuk mensyukuri hidup; dengan rutinitas masing-masing, dengan fungsi masing-masing, regardless ada masalah atau tidak.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for PERFECT DAYS.

 

 

 

SIKSA NERAKA Review

Neraka bukan setting baru dalam sinema. Kebanyakan film membangun neraka versi mereka sendiri, sebagai tempat mengerikan yang berkaitan dengan karakternya. Makanya nerakanya beda-beda, kadang ada yang tempat panas, ada yang tempat penuh mayat hidup, kadang ada Hadesnya, kadang merujuk pada kepercayaan tertentu yang kemudian dibentrokkan dengan keadaan karakter; neraka bagi Frieza justru tempat yang ramah dan menyenangkan (karena penjahat di Dragon Ball tersebut gak tahan sama yang namanya kebaikan). Atau neraka dalam Pan’s Labyrinth justru seperti tempat kerajaan negeri dongeng, di mana protagonis kita akhirnya menjadi putri raja. Yang jelas, neraka selalu adalah tempat mimpi buruk personal, yang seringkali berupa tempat supernatural yang berbeda dengan realitas di Bumi.

Ketika Anggy Umbara menggarap Siksa Neraka, referensinya adalah buku komik untuk anak-anak belajar tentang surga dan neraka sesuai dengan ajaran agama Islam, buku komik yang memang penuh gambar-gambar sadis orang-orang yang disiksa. Di sinilah hal menjadi ruwet. Mengadaptasi adegan-adegan neraka tersebut berarti dengan pedenya memvisualkan gambaran neraka menurut agama. Sutradara yang lebih humble akan membelokkan gambaran tersebut sebagai sesuatu yang lebih dekat kepada neraka personal (keadaan psikologikal), atau at least mengeset dunia-ceritanya punya neraka versi sendiri. Tapi Umbara, yang juga gagal berpijak pada satu perspektif utama dalam mengembangkan cerita ini, membuat seolah benar neraka yang dikunjungi karakternya benar adalah neraka yang kita percaya, dan filmnya benar memuat ajaran dan pesan supaya para penonton tobat.

Inilah kenapa aku menyebut kita gak bisa menilai film hanya secara subjektif dari pesan yang diangkat. Karena semua film, bagus ataupun jelek, pasti punya bahasan atau pesan moral yang bisa dipetik, tergantung subjektivitas yang nonton. Dan membahas pesan tersebut memang bisa seru, tapi untuk penilaian harusnya dikembalikan kepada filmnya. Apakah pesan tersebut disampaikan lewat storytelling yang baik atau tidak. Di Siksa Neraka, storytellingnya kacau. Ceritanya berpusat pada empat anak ustad yang celaka saat menyeberang sungai yang meluap (karena one of them insist supaya cepat sampai tujuan sebaiknya jangan lewat jembatan tapi langsung masuk ke sungai!) dan keempat-empatnya ended up di neraka dan disiksa karena dosa mereka di dunia. Hanya satu yang ada di sana sebagai out of body experience (mati suri) dan tidak benar-benar disiksa karena bukan waktu dan tempatnya. Harusnya cerita tetap stay di perspektif yang selamat ini supaya nerakanya tetap ambigu, toh film sudah melandaskan logika-dalam si anak dari kecil dapat melihat hantu. Tapi film memindah-mindahkan perspektif. Pertama kita melihat anak pertama disiksa, lalu kilas-balik ke kisah hidup dia saat melakukan dosa, begitu terus polanya. Sehingga semua neraka yang clumsy dan bad cgi itu nyata.

Jadi film ini sebenarnya lebih terasa sebagai torture-fest, yang berkedok ajaran kebaikan (untuk bertobat dari perbuatan dosa). Sebagai drama horor keluarga yang religious-based pun, film ini tetap terasa kosong karena karakterisasi dan dialog yang dangkal. Arahannya cuma mau berasik-asik siksa menyiksa, penulisannya pun tak bisa ngembangin bahasan lebih dalam (wong, stay true kepada ajaran sourcenya aja dia gabisa)

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for SIKSA NERAKA.

 




 

 

That’s all we have for now

Walau telat, mohon maaf lahir batin semuaa!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 16 (GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE, ARGYLLE, IMAGINARY, MILLER’S GIRL, MEAN GIRLS, NOT FRIENDS, ROAD HOUSE, LISA FRANKENSTEIN)

 

 

Di bulan Film Nasional ini pun aku ternyata kembali gagal menonton film-film Indonesia. Instead, karena kesibukan mudik dan sebagainya, maka kompilasi Volume 16 ini berisi oleh satu film impor baru, dan film-film impor pilihan yang terlewatkan di bioskop beberapa bulan lalu – also film yang memang tidak tayang di bioskop kita – yang menurutku layak untuk kita bahas dan bicarakan.

 

 

ARGYLLE Review

Argylle, kalo aku gak salah itung, adalah film ketiga dalam beberapa bulan ini yang punya konsep memvisualkan aksi dari tulisan/karangan protagonis. Dan Argylle ini punya cara spesifik – yang sayangnya sering jatoh annoying – dalam melakukan konsep tersebut.

Jadi ceritanya, karakter yang diperankan oleh Bryce Dallas Howard adalah seorang penulis novel action spy populer. Namun, walau dia merasa tidak tahu sama sekali tentang dunia ataupun profesi yang ia tulis sebagai karangan, para penjahat dan spy beneran tertarik untuk mengetahui ceritanya lebih dalam, karena ternyata there are some truths pada karangannya tersebut. Alhasil, perempuan dan kucing peliharaannya itu terseret ke dalam petualangan seru seperti cerita karangannya, only it’s real. Yang bagi kita, sayangnya lagi, film ini semakin berjalan, semakin mengada-ada.

Berniat untuk bikin jadi fun, plot film ini dibuat dengan bersandar pada twist demi twist. Karakter-karakternya bakal bikin kita “oh ternyata dia jahat, eh, ternyata bukan! Eh, bener jahat, ding!! Eh, baik sih kayaknya.” hingga berakhir dengan “Eh… aduh, ini apa sih sebenarnyaaa” Konsep memvisualkan aksi dalam karangan pun tampak aneh dan chaos karena film memilih untuk melakukannya dengan membuat Bryce melihat seorang spy beneran – atau juga dirinya sendiri – sebagai karakter di dalam karangannya, dan switch visual itu dilakukan terusmenerus sepanjang sekuen action. Menurutku memang ini sayang sekali, selain karena film ini bertabur-bintang, tapi terutama karena sutradara Matthew Vaughn sebenarnya punya arahan aksi yang menarik. Ketika film tidak sibuk dengan konsep pengungkapan yang overstylish, film ini baru terasa benar-benar  fun. Misalnya pas sekuen aksi skating di tumpahan minyak. Itu konyol tapi juga memberikan karakternya aksi yang unik.

The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for ARGYLLE

 

 

GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE Review

Godzilla dan Kong adalah tag team that we all deserved, tapi sebaliknya, we are all deserved a better Gozilla Kong movie than this. Karena meski yang ditawarkan Adam Wingard ini memanglah sungguh spectacle porsi titan, tapi spectacle tersebut terasa masih hampa. Masalahnya ada pada pilihan kreatif yang sama sekali tidak menguntungkan bagi spectacle ini.

Yang menarik dari Godzilla, ataupun Kong, adalah melihat mereka yang super size itu berinteraksi dengan manusia. Ya aksinya, ya ‘relationship’nya. ‘Movie magic’ dari film seperti ini adalah melihat mereka hidup di antara kita. Dampaknya apa, ancamannya apa, simbolismenya apa. Sama seperti menonton gulat, pertandingan baru akan menarik jika pihak-pihak yang terlibat dikembangkan, kontrasnya dicuatkan, diberikan cerita. Pada aspek itulah film terasa unbalanced. Cerita yang mengambil tempat di Hollow Earth – dunia yang memang dihuni oleh banyak makhluk raksasa dan menakjubkan lainnya – membuat Kong dan Godzilla kehilangan kontras mereka yang menakjubkan. Melihat mereka di film ini ya kayak ngeliat monster di hutan saja.

Cerita dengan pihak manusia pun terlalu basic. Plot the chosen one, lalu ada juga soal ibu angkat yang mungkin harus berpisah dengan anaknya, tema soal kembali kepada your own clan, tidak cukup kuat dan menarik sebagai fondasi final battle yang megah. Terasa seperti kita bisa langsung skip nonton final battle, tanpa melewatkan banyak hal baru – ataupun malah hal penting. Yang bikin aku makin jenuh adalah karakter manusianya yang template film-film spectacle hiburan. Sekelompok orang eksentrik yang suka nyeletuk lucu.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE

 

 

 

IMAGINARY Review

Ngomongin soal klise, well, horor karya Jeff Wadlow bersama Blumhouse ini akan terasa seperti bunch of other horrors dan yea, kemiripan itu bukanlah imajinasi kita semata. Film ini dikembangkan dari elemen-elemen horor populer lain seperti masuk ke dunia ‘gaib’ kayak Insidious, dan yea tentu saja trope anak yang berteman dengan hantu.

Teman khayalan umum dimiliki oleh anak kecil, apalagi yang sedang dalam masa kesulitan untuk bersosialisasi. Efek baik dari punya teman khayalan ini sekiranya dapat membantu anak dealing with their emotions karena ini basically bicara pada teman yang tak nyata itu adalah bicara dengan diri sendiri. Efek buruknya, ya tentu saja bicara dengan yang tak ada terlihat creepy sehingga dijadikan film horor. (Makin-makin kalo filmnya kurang tergarap baik seperti film ini). Pertama karena Imaginary membahas teman khayalan lewat sudut yang ribet. Perspektif utamanya adalah seorang ibu tiri yang dulu punya teman khayalan, nah si teman inilah yang ternyata beneran hantu dan kembali untuk meneror anak angkatnya. Tapi bahasannya itu tidak pernah dalem. Cuma ada satu bahasan psyche si karakter utama yang menarik (ketika there is no bear!). Film tampak lebih tertarik mention-mention Bing Bong dari Inside Out – mentone down bahasan ketimbang benar-benar mengolahnya. Hingga akhirnya film ini kena masalah yang kedua, yaitu klise tadi.

Tahun ini kita actually bakal dapat dua film tentang imaginary friend, dan setelah menonton film ini, ekspektasiku buat  film yang buatan John Krasinski jadi tinggi. Semoga pada genrenya dia tidak mengecewakan seperti film ini pada horor.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for IMAGINARY.

 

 

 

LISA FRANKENSTEIN Review

Lisa Frankenstein debut penyutradaraan film panjang Zelda Williams sebenarnya juga sama kayak Imaginary dalam hal ngejahit banyak elemen film lain ke dalam pengembangan ceritanya, like, ini literally based on Frankenstein, tapi film ini benar-benar mengembrace elemen-elemen tersebut, dan sama seperti si monster buatan itu, film wear those parts proudly sehingga jadi berjalan seperti diri sendir dan dengan menyenangkan pula.

Film enggak peduli sama moral, wokeness bahkan dijadikan salah satu running komedi. Ceritanya tentang Lisa, remaja yang trauma sepeninggal ibu, dia jadi suka ngadem di kuburan, dan dia tertarik sama satu nisan patung, dan dia make wish bisa bersama si mayat. Petir menyambar, mayatnya hidup, dan mereka berdua semacam went on killing spree untuk mengganti anggota tubuh si mayat hidup yang busuk dengan anggota tubuh orang lain. Mulai dari dialog, karakter, hingga kejadian, film ini gotik-gotik kocak. Arahan Zelda membuat film ini jadi punya awkwardness yang charming. Saking cueknya, film ini gak peduli bikin adegan main piano yang supposedly romantis, tapi Kathryn Newton yang jadi Lisa gak bener-bener bisa nyanyi tapi tetep disuruh nyanyi. Yang jelas, ini bakal jadi nomine yang paling unik di Best Musical Performance award blog ini tahun depan.

Mungkin karena nyeleneh itu juga film ini gak tayang di bioskop kita. Sayang, karena bisa jadi kita keskip kesempatan nonton di layar lebar apa yang sepertinya bakal jadi modern cult classic di masa depan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LISA FRANKENSTEIN




MEAN GIRLS Review

Oh, boy! Bicara soal modern cult classic, here comes remake musikal dari salah satu teenage movie terbaik, instant classic dari era 2000an…. kalo aku punya Burn Book, aku akan nulis film karya Samantha Jayne dan Arturo Perez Jr. ini ke dalam buku tersebut.

Mean Girls 2024 hanyalah remake plek-ketiplek dari film originalnya. Jadi bayangin aja, dialog-dialog ikonik film originalnya, adegan-adegan populer yang aku yakin banyak devoted fans yang apal luar kepala, dibawakan ulang dengan canggung dan lewat arahan komedi yang downgrade dari aslinya. Yang diubah pada film ini basically cuma dua, menambah diversity pada cast dan nambah adegan-adegan musikal. Sementara pada jejeran cast, film ini masih bisa terasa fresh, namun modernisasi dari karakter mereka malah membuat mereka tampak annoying.

Adegan musikalnya digunakan untuk menyuarakan perspektif karakter lain, bermaksud supaya kita lebih dalam mengenal mereka – lebih dari sekadar geng plastik – hanya saja, film originalnya udah melakukan itu tanpa perlu banyak mengejakan, tanpa lagu yang jadi eksposisi feeling mereka, kita udah dapat menangkap, misalnya gimana Regina George juga punya rasa insecure sendiri deep inside. Sehingga adegan musikal di film ini terasa redundant, dan membuat film ini tampak seperti ya itu tadi, mengejakan. Dan adegan-adegan musikal itu memperlambat tempo karena film tidak pernah benar-benar menggubah naskah sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk musikal. Film ini berjalan kayak film yang original, dengan diselingi adegan-adegan nyanyi dari beberapa karakter pada saat momen-momen mereka. Kalo ada yang masih ingat di ending film original, ada 3 junior plastic yang dibayangkan oleh Cady ketabrak bus, nah film ini persis kayak tiga junior plastic itu.  Cuma pengen meniru-meniru melanjutkan legacy yang lebih populer.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MEAN GIRLS VERSI 2024.

 

 

 

MILLER’S GIRL Review

Jade Halley Bartlett setidaknya ‘berhasil’ membuat apa yang di dunia nyata jelas siapa yang harus bertanggungjawab menjadi cerita yang tampak kompleks dan berimbang dari dua sudut pandang. Membuatnya jadi kontroversial. Sehingga, mengulas film debutnya inipun jadi terasa sama ‘berbahaya’nya dengan terpikat masuk ke pikiran gadis remaja.

Dengan penampilan akting yang terukur all-around, dengan karakter yang dibuat abu-abu – kalo gak mau dibilang sama bercelanya – Miller’s Girl yang basically tentang guru dan murid saling tertarik dengan pikiran dan kehidupan masing-masing (sama-sama dalam state haus pengakuan) harusnya bisa jadi tontonan yang menantang. Yang mencegah film ini untuk mencapai potensi maksimalnya itu adalah ‘kehati-hatian’ arahan dan naskahnya itu sendiri. Film ini berdiri terlalu dekat dengan objeknya. Sehingga alih-alih membuat kita mengobservasi mereka, film ini lebih seperti mengajak kita untuk ‘supportive’ untuk lalu kemudian mematahkan dengan semua bahasan dan gagasan utama yang ingin diangkat. Sehingga pada akhirnya film ini sendiripun terasa seperti karangan yang dibuat oleh karakter si Jenna Ortega – karangan picisan yang ternyata jebakan.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for MILLER’S GIRL.

 

 

 

NOT FRIENDS Review

Not Friends dari Thailand terasa seperti nostalgia yang tak pernah kualami. Film ini kayak ngingetin kembali sama masa-masa dulu nyoba-nyoba bikin film ala kadar bareng teman, sekaligus juga ngingetin ke masa-masa sekolah, hanya saja bagi diriku dua masa itu sama sekali tidak berhubungan. Itulah yang bikin aku sadar sutradara Atta Hemwadee berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang pas buat anak sinefil kayak kita-kita (kita?)

Passionnya memang sangat kentara. Melihat mereka bergabung menjadi tim, berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Hebatnya film gak pernah terlalu in the face dalam menggarap adegan-adegan bikin film ataupun celetukan teknikal lainnya. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter.

Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak. Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for NOT FRIENDS.

 

 

 

ROAD HOUSE Review

Enggak seperti Mean Girls versi modern tadi, remake Road House karya Doug Liman mengambil resiko yang lebih  bijak dalam meremajakan kisahnya. Dia membawa cerita ini ke setting lebih modern, sehingga jadi ada kontras vibe yang menarik, dan langka, karena pada intinya Road House adalah cerita jadul yang kayaknya udah jarang dibuat. Karena ini bukan soal pria yang ternyata jago berantem dan dia terpaksa oleh untuk membalas dendam. Ruh tipikal modern itu memang masih terasa, tapi pada awalnya Road House tetap adalah cerita ala western, di mana seorang pria yang ternyata jagoan, datang ke suatu tempat, dan akhirnya menyelamatkan rakyat di tempat itu dari cengkeraman tuan tanah yang jahat. Hanya saja pada Road House, koboynya adalah seorang mantan petarung UFC, dan tempat yang ia lindungi adalah bar tempat dia disewa sebagai bouncer.

Kontras cerita jadul di dunia modern, serta penampilan akting dari Jake Gyllenhaal yang memang jarang sekali mengecewakan, membuat film ini jadi menarik. Komedi dari celetukan/smark juga masih ada, dan dijaga untuk tidak benar-benar membuat film ini jadi kayak over the top. Paruh pertama film ini terasa fresh dan everything just work fine. Aku tertarik melihat Dalton berinteraksi dan menjalin pertemanan dengan orang-orang di bar dan sekitarnya. Bagaimana dia perlahan membuka kepada mereka, juga berarti dia perlahan membuka kepada kita, mengetahui masa lalunya sebagai petarung UFC perlahan membuat kita semakin simpati.

Pada paruh kedualah film mulai agak goyah dalam mempertahankan kontras.  Penanda kegoyahan ini adalah kemunculan ‘algojo’ yang diperankan oleh Connor McGregor. Connor sendiri sebenarnya tampak have fun dan menghibur memainkan karakter ini. Karakternya yang brutal tampak menarik, dan benar-benar jadi hambatan yang sepadan untuk Dalton. Tetapi saat dia muncul dan cerita berlanjut, film ini seperti kebobolan pertahanan dan akhirnya menjadi over-the-top seperti film originalnya. Dan itu berarti film tidak lagi konsisten dengan vibe yang sedikit lebih dewasa yang dilandaskan di awal. Mereka membuat karakter Connor terlalu ‘dominan’ as in terlalu besar berpengaruh kepada arahan dan tone film keseluruhan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ROAD HOUSE.

 




 

 

That’s all we have for now

Selamat Hari Film Nasional, dan have fun liburan menuju lebaraannn!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 15 (SINDEN GAIB, THE ANIMAL KINGDOM, ORION AND THE DARK, NO WAY UP, SUNCOAST, #OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER, NIGHT SWIM, MEMORY)

 

 

Februari kita boleh saja mengecewakan karena 14 Februari yang bikin ‘blue’, namun kompilasi edisi kali ini meski dominan biru juga, at least bakal bikin terhibur juga. Karena itulah hebatnya film. Tidak perlu ‘bagus’ untuk menghibur. Tapi juga jangan salah, daftar ini juga memiliki beberapa film yang sukses jadi bagus dan menghibur. Mari kita lihat satu-satu

 

 

#OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER Review

Debut penyutradaraan aktor Dimas Anggara ini menawarkan sesuatu, tapi berakhir menjadi sesuatu yang lain.

Dari gimana ceritanya dimulai, film ini tampak seperti kisah mahasiswi desainer di luar negeri yang ingin menyelesaikan pagelaran fashion yang mencuatkan nilai budaya tanah air, sebagai tugas akhir kuliah. Aku menikmati, sebenarnya, cerita di awal-awal ini. Karena walau bukan film fashion pertama, tapi setting dan perspektifnya toh memang menarik. Melihat Nare-nya Jihane Almira berusaha mencari ide, bersosialisasi dengan teman-teman modelnya, menjalin romansa dengan fotografer. It is a nice change of pace-lah, meskipun secara arahan belum tajem karena adegannya banyak yang masih terasa kayak sekadar lintasan klip berlatar bagus (Lagu latar yang itu-itu melulu bakal bikin kita either ngakak atau jengkel setengah mati). Tapi kita peduli karena challenge yang harus dikerjakan protagonis menarik, sementara soal latar belakang keluarga antara dia dengan cowoknya juga dibuild up seolah bakal jadi konflik utama nantinya.

Ternyata, konflik utama film romance ini bakal beda lagi. Hubungan mereka mendapat tantangan ketika Nare ‘bablas’ saat mabok di pesta. Bahasan atau penanganan konfliknya sebenarnya gak buruk, menurutku lumayan sudut pandang baru juga dari bagaimana Nare menghandle situasinya. Like, kalo yang menimpa dia terjadi di dalam negeri, pada karakter yang lifestylenya ketimuran, mungkin choice actionnya bakal beda. Jadi, poin plus sebenarnya adalah film ini bener-bener ngasih sudut pandang asimilasi dari Nare yang orang Indonesia tapi punya cara pandang yang lebih, katakanlah, barat. Cuma, ya itu, film ini kayak masih banyak sekrup yang longgar. Dari naskahnya juga masih melebar sehingga jadi kayak dua cerita dalam satu, alih-alih melebur dengan mulus.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for #OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER

 

 

MEMORY Review

Orang yang gak bisa lupa, bertemu dengan orang yang pelupa. Kalo ini film komedi, mungkin premisnya cukup segitu. Tapi yang dibuat oleh Michael Franco bukan komedi, jadi seolah premis tadi dia kasih layer terus. Dan jadilah sebuah kisah cinta paling menyembuhkan yang bisa kita tonton tahun ini. Seorang perempuan yang masih dibayangi trauma dari kekerasan seksual yang dia alami waktu kecil, bertemu dengan pria dengan gangguan dementia.

Cara film menangani yang diderita oleh masing-masing karakter, benar-benar subtil tapi lantang. Aku gak ngerti gimana ungkapannya yang tepat haha.. tapi di sini kita sekali lihat karakternya Jessica Chastain, kita tahu dia punya trauma dan itu bikin efek gak enak ke kehidupannya sekarang, ke orang-orang sekitarnya sekarang. Film gak ragu menggali ke keluarga, tapi juga gak lancang dalam melakukannya. Timing penceritaannya begitu pas. Pertama kali Sylvia itu dan Saul ketemu, aku sampe rasanya gak sanggup nonton karena di awal itu Sylvia yakin Saul adalah kakak senior yang dulu pernah melecehkan dirinya di sekolah. Dan akar trauma Sylvia bahkan bukan peristiwa di sekolah. Film ini ngehandle segitu besar dan banyaknya raw emotions. Dan perlahan emosi-emosi itu digodok, dileburkan, diademkan

Makanya ngeliat relationship mereka terbentuk tu rasanya healing banget. Walau mungkin kita gak ngalamin yang tepatnya terjadi kepada karakter, tapi kita bisa ikut merasakan healing-nya mereka, have found each other like that. Nonton film ini kayak ngeliat kayu bakar kebakar api, tapi perlahan apinya padam, dan berangur kayu tersebut tumbuh lumut dan daun-daunnya menghijau kembali.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MEMORY

 

 

 

NIGHT SWIM Review

Keluarga pindah ke rumah baru, rumah tersebut ada kolam renang – yang perfect buat terapi kaki ayahnya, dan buat tempat bersantai dua anaknya – tapi ada sesuatu pada air di kolam tersebut yang menarik orang-orang tenggelam ke dalamnya.

Cerita horor keluarga yang sebenarnya simpel. Level enjoyablenya setara-lah dengan cerita-cerita horor di buku Goosebumps. Namun sutradara Bryce McGuire ternyata menemui kesulitan mengembangkan horor ini, kesulitan membuat bagaimana kolam tersebut seram tanpa membuat adegan-adegannya terasa repetitif dan makin ke sini semakin kayak mengada-ada. Jika kita melihat drama keluarga di baliknya, kita bisa melihat sumber masalah dari penceritaan film ini. Sudut pandangnya. Bayangkan jika The Shining tokoh utamanya bukan Jack Torrance. Bayangkan jika kita hanya melihatnya sebagai orang yang jadi gila dan pengen membunuh keluarganya, tanpa benar-benar kita dibuat menyelami kenapa dia bisa begitu. Kayak ‘skenario’ itulah Night Swim bekerja. Film ini anehnya, justru berpindah dari galian sudut pandang ayah ke ibu, begitu ayah mulai berperilaku aneh.

Jadi kentara kenapa film ini horornya gak kerasa, malah cenderung membosankan. Karena siapa juga yang bisa membuat tiga orang ‘dikerjai’ oleh kolam renang, tanpa membuatnya jadi itu-itu melulu. Penggalian harusnya datang dari karakter Ayah. Horor harusnya datang dari konflik dia yang ingin sembuh dan tertarik nurutin ‘kata-kata’ kolam, tapi tradenya keselamatan keluarga.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for NIGHT SWIM.

 

 

 

NO WAY UP Review

Satu lagi film horor/teror di air, dan sayangnya film yang satu ini juga enggak bagus. But at least, Claudio Fah tahu dia sedang bikin cerita yang konyol, sehingga film hiu ‘masuk’ pesawat ini berjalan mantap di garis standar rendahnya tersebut.

Karena bagaimana pun situasinya, dimangsa hiu tetaplah sebuah kejadian mengerikan yang gak ada satu orang pun yang mau terjadi kepadanya. Menambahkan setting pesawat yang tenggelam – dengan beberapa korban masih hidup dan harus segera berenang ke permukaan sebelum pesawat beneran terjun ke dasar – hanya akan menambah hal-hal tidak masuk akal yang harus dilandaskan Fah sebagai pembuat film kepada kita. Ya pada intinya, sebenarnya film ini sama kayak pesawat di air itu. Udah gak ketolong. Sutradarnya cuma bisa ngasih something supaya kita sedikit lebih betah.

Dan apa yang dia kasih? background karakter yang sebenarnya menarik – protagonis anak presiden, yang liburan  sama temen-temen, tapi bawa-bawa bodyguard. Ada anak kecil sama kakek neneknya yang veteran di medan perang. Dua karakter itu berusaha dijadikan simpatik, sementara karakter-karakter lain tipikal karakter annoying yang berusaha ngelucu, atau teriak-teriak ribut sepanjang waktu. Bare mininum, yang akhirnya tercoreng dan gak jadi menarik juga karena annoying. Dan bahasan karakter yang dangkal.

The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for NO WAY UP




ORION AND THE DARK Review

Seorang anak kecil, bisa takut gelap. Takut bicara di depan kelas. Takut menyapa anak yang disukai. Takut jatuh dan terluka saat bermain. Takut dimarah orangtua. Banyak deh pokoknya hal yang bisa bikin takut anak-anak. Dan Orion and the Dark, supposedly adalah cerita petualangan yang bakal ngajarin anak untuk menumbuhkan keberanian dengan menghadapi rasa takut, bukan menghindarinya. Sementara itu, aku rasa fair juga kalo kita bilang, orang dewasa juga bisa ngalamin ketakutan yang sama (karena rasa takut saat kecil itu belum ‘sembuh’) Jadi mungkin itulah sebabnya film adaptasi karya Sean Charmatz ini kayak bingung, dirinya untuk anak kecil atau orang dewasa.

Aku senang sekali kreativitas film ini. Konsep kegelapan adalah makhluk, bahwa dunia malam penuh oleh makhluk-makhluk lain yang bekerja menjaga kestabilan alam dan bikin manusia tidur untuk istirahat, bahwa malam atau siang punya fungsi masing-masing, dan sama pentingnya, digambarkan menjadi karakter-karakter yang sangat imajinatif. Yang aku kurang sreg adalah bangunan cerita film ini. Film seperti pull the rug ketika di akhir babak pertama, cerita Orion adalah kisah yang sedang diceritakan Orion dewasa kepada putrinya. Like, kenapa gak sedari awal saja di set up ada anak perempuan yang sedang ‘dibacain’ cerita oleh Orion. Film ini pun jadi semacam mendua kayak OOTD tadi, apakah ini beneran tentang anak yang takut gelap, atau tentang orang tua yang sedang berusaha bonding dengan anaknya lewat mengarang cerita bersama.

Bahasan-bahasan itu memang akhirnya diikat juga oleh film sebagai satu bangunan cerita. Tapi tetap saja, untuk bercerita kisah untuk orang tua dan anak ini, Orion and the Dark memilih cara yang paling ribet – dan justru menyuapi penonton dengan pertanyaan yang diejakan oleh karakter, ketimbang berimajinasi dan berpikir kritis sendiri.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ORION AND THE DARK.

 

 

 

SINDEN GAIB Review

Ada adegan ketika para sinden melantunkan Lingsir Wengi – yang sudah lama dikenal jadi tembang pemanggil kunti –  tiba-tiba sosok Ayu yang kerasukan Mbah Sarinten langsung menyanyikan Soro Wengi. Aku ngerasa adegan tersebut adalah sebuah statement dari Faozan Rizal, bahwa inilah ‘lagu hantu’ terbaru. Bahwa film ini adalah perkenalan kita dengan sosok mistis yang bisa jadi ikon horor terbaru.

And yea, they could be. Penampilan Sara Fajira cukup memorable juga dalam membawakan karakter yang unik ini. Makhluk gaib dan manusia dalam raga yang sama. Mereka cuma butuh cerita yang lebih solid. Karena film yang katanya diangkat dari kisah nyata Ayu ini seperti terkena ‘penyakit’ yang sama dengan film-film lain yang diangkat dari cerita orang asli. Terlalu ‘mengistimewakan’ si sosok. Dalam artian, cerita jadi kurang menyelami, melainkan hanya sebatas sosok itu menarik karena hal yang ia lakukan.

Kita gak dilihatkan siapa Ayu sebelum dia kesurupan, kita gak tahu journey personal dia apa. Kita gak tau apa peristiwa kesurupan Mbah Sarinten bagi dirinya, mereka memilih ‘bekerja sama’ di cerita hanya karena ada faktor luar. Alih-alih menggali karakter unik ini, film malah pindah fokus ke drama tiga orang yang datang menyelidiki dan hendak menolong kasus Ayu kesurupan. Film cuma menjadikan karakter unik Ayu sebagai sarana untuk peristiwa-peristiwa horor yang standarlah dilakukan oleh film horor pada umumnya. Jadi menurutku film ini benar-benar sebuah missed opportunity dalam penggalian sosok yang berpotensi jadi ikon baru.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for SINDEN GAIB.

 

 

 

SUNCOAST Review

Menarik sekali gimana Laura Chinn menceritakan hubungan antara remaja perempuan dengan ibunya dalam Suncoast ini. Kita tahu anak cewek dan ibu seringnya udah kayak tinggal menunggu waktu berantem. Sylvia di film Memory tadi, juga ‘berantem’ dengan ibunya. Dan berantem mereka ini selalu adalah soal komunikasi yang gak kena. Makanya cerita keluarga kayak itu bakal mengaduk-aduk emosi.

Yang bedanya, di Suncoast mereka gak lantas ribut. Doris tetap nurut apa kata ibunya, yang memang terlalu occupied oleh keadaan anak laki-laki – abang Doris – yang sakit, katakanlah dalam state tinggal nunggu waktu.  Ibunya terus menyuruh Doris ini itu, ngelarang ngapa-ngapain. Ibunya ditulis nyerempet-nyerempet garis annoying, tapi seperti Doris, kitapun gak bisa sepenuhnya membenci si ibu. Karena kita tahu keadaan emosional mereka. Doris enggak meledak karena dia punya ‘pelampiasan’ yakni berteman dengan geng keren di sekolah, dan punya teman curhat berupa Woody Harrelson yang ceritanya selalu mengingatkan dia untuk mensyukuri hidup.

Suncoast kayak cerita sehari-hari, menyenangkan melihat karakter dan penampilan akting mereka yang ‘supel’ dan gak dibuat-buat, dan juga sedikit intens karena kita tahu kesedihan dan pertengkaran itu bisa ‘meledak’ kapan saja. Di antara film-film di kompilasi volume ini, menurutku film ini yang paling bergizi untuk ditonton bareng keluarga. Muatan dan pesan soal ‘cherish yang ada bersama kita’ sangat berharga. Kekurangannya cuma, sometimes kejadian film ini terasa terlalu dipas-pasin biar seru.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold star out of 10 for SUNCOAST.

 

 

 

THE ANIMAL KINGDOM Review

Dari anak perempuan dan ibunya, kita beralih ke koneksi antara anak laki-laki dengan ayahnya. The Animal Kingdom bertempat di dunia yang penduduknya terkena wabah misterius; yakni tiba-tiba, perlahan-lahan mulai berubah menjadi random animal. Dan karena belum ada obatnya, perubahan tersebut berbahaya bagi masyarakat. Para penderita jadi dijauhi. Mereka ditangkap untuk diteliti. Karakter sentral adalah Emile dan ayahnya, yang pindah ke kota kecil yang lebih dekat dengan facility tempat ibu yang kena wabah hendak diobati. Tapi si ibu lepas bersama sejumlah pasien lain. Mereka sembunyi di hutan. Dan Emile, mulai merasakan gejala dirinya berubah jadi serigala.

Karya Thomas Cailley ini terasa unik tapi sekaligus kayak belum maksimal. Unik karena dunia yang dia gambarkan begitu solid. Society yang ngeshun ‘animal people’. Orang-orang yang terpinggirkan. Kita bisa ngegrasp gagasannya soalnya how to treat each other equally. Elemen fantasy-nya pun terasa oke, karena makhluk setengah manusia dan setengah hewan itu tergambar meyakinkan. Struggle mereka pun meyakinkan, kita dibuat bisa merasakan pergulatan insting hewan mereka dengan kemanusiaan yang masih tersisa di dalam diri mereka. Gimana seseorang berusaha berpegang kepada kemanusiaannya, itulah yang paling utama ditonjolkan oleh film ini

Sehingga cukup sering, drama sentral antara Emile dan ayahnya tertahan, dan baru agak lama dibahas lagi. In a sense, maksudku adalah film ini masih agak terlalu bloated. Belum bekerja secara precise. Bahasan dan dunianya terlalu ‘luas’ sedangkan penceritaannya bergerak lebih ke arah kontemplatif. Dua hal itu membuat film terasa punya banyak rongga yang mestinya bisa diisi dengan sesuatu yang lebih menggenjot percakapan kita dengan filmnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE ANIMAL KINGDOM.

 




 

 

That’s all we have for now

Lima volume mini-review tayang tiap bulan berturut. Mungkin karena semangat tahun baru, but I must warn you, bulan depan dan April mungkin review gak bisa sebanyak ini. Karena kalo mudik, aku jarang bisa nonton film hahaha.. So, kesempatan ini aku gunakan untuk mengucapkan selamat menuju bulan puasa hahaha

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 14 (SOCIETY OF THE SNOW, SELF RELIANCE, NAPOLEON, WONKA, SOUND OF FREEDOM, EILEEN, NEXT GOAL WINS, MAESTRO)

 

 

Kompilasi pertama di tahun 2024 ini disusun sebagai semacam penebusan rasa bersalahku buat film-film Indonesia yang tahun lalu cukup sering dicuekin. Maka, bulan Januari ini, film-film Indonesia yang dapat review full, sementara film impornya dikumpulin untuk edisi iniii. Here they are!

 

 

EILEEN Review

Udah cukup lama gak nemu trope Manic Pixie Dream Girl, eh tau-tau muncul dalam film garapan William Oldroyd, dan ini bukan romance atau something yang fun. Melainkan sebuah thriller psikologis!

Gak banyak yang ngomongin soal film ini, padahal ceritanya lumayan intriguing, dengan ending yang dibikin open perihal akhir dari dua karakter sentralnya. Atau mungkin satu karakter? Di situlah menariknya. So it’s about perempuan muda bernama Eileen, yang gak pernah kemana-mana karena harus ngurus ayahnya; pensiunan sheriff yang kasar dan paranoid, perempuan yang meskipun kerja di penjara tapi hidupnya datar dan bosenin. Sampai penjara tempatnya bekerja kedatangan psikolog baru; Rebecca. Perempuan yang lebih dewasa, lebih berani, lebih luwes, ah betapa menariknya si pirang itu di mata Eileen. Rebecca clearly perwujudan dari hidup ‘impian’ Eileen, relasi mereka benar-benar digali namun dengan underline ambigu dan cukup dark. One thing right yang dilakukan oleh film dalam relasi mereka adalah dengan establish bahwa Eileen bukanlah sudut pandang yang reliable.

Banyak adegan yang caught me off guard, Eileen tiba-tiba menembak kepalanya sendiri, lalu aku baru nyadar adegan itu cuma yang dibayangkan oleh Eileen dan yang dia lakukan sebenarnya berbeda total. Hal-hal kayak gini yang bikin menarik karena kita seperti berjalan di dalam kepala Eileen. Kepala yang punya banyak dark dan deep thought. Tapi di sisi lain, aku bisa melihat kenapa film ini score audiens Rotten Tomatoes-nya rendah. Simply, tidak akan memuaskan jika cerita tidak ngasih kejelasan yang lebih clear dari karakter-karakternya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for EILEEN

 

 

MAESTRO Review

Honestly ini satu film di akhir 2023 yang sengaja kulewat karena kelihatan tipe Oscar bait, biografi berat, method acting, dan banyak ngobrolnya. Tapi ternyata baitnya itu banyak juga yang kena masuk nominasi-nominasi penting di Oscar. Jadi sekarang aku punya PR berat harus nonton film karya Bradley Cooper ini.

Dan setelah nonton, aku rasa aku punya pendapat aneh soal film ini. I know ini adalah cerita tentang komposer legendaris Leonard Bernstein, tentang karir dan kehidupan cintanya. Tapi kok rasanya lebih menarik jika dibahas dari sudut pandang istrinya – yang diperankan oleh Carey Mulligan? Karena istrinya ini yang kayak lebih banyak menanggung drama perihal suaminya yang openly kepada kerabat juga suka lelaki. Konflik internal Leonard memang diselami, gimana dia merasakan efek hampa dari rumah tangganya terhadap performanya menggubah musik. Tapi karena juga dibangun dia seorang genius, dan dia gak pernah benar-benar memilih, cerita dari sudut pandangnya ini jadi lebih kerasa kayak momen-momen untuk showcase ‘bagaimana menjadi seorang Leonard Bernstein’ saja ketimbang beneran sebuah journey karakter.

Makanya film ini jadi terkesan pretentious. Dengan segala treatment hitam putih dan segala macam, film ini masih terasa bermain di area luaran dari kehidupan karakter titularnya.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MAESTRO

 

 

 

NAPOLEON Review

Satu lagi biografi yang masih bermain di luaran. Karya Ridley Scott ini supposed to be epic, tapi malah kayak skip-skip kisah perjuangan Napoleon Bonaparte tanpa banyak menyelami tokohnya sebagai karakter dengan segala kericuhan emosi manusiawi.

Napoleon yang di medan perang gagah naik kuda putih, di rumah tangga ‘galau’ karena pengen punya anak, tapi istrinya yang suka selingkuh, tidak bisa memberikannya anak. Yang diincar film ini sebenarnya kita bisa mengerti; film ingin mengontraskan gimana Napoleon di medan perang, dengan ketika dia di rumah. Dan tentunya juga gimana ketika dua itu bersatu. Apa yang bakal diprioritaskan oleh pejuang yang cinta tanah airnya tersebut. Namun permasalahan utama datang dari pijakan siapa Napoleon itu sendiri. Kita tidak pernah diajak mengenal dia terlebih dahulu. Kita hanya tahu dia orang ambisius, yang punya strategi dan also flawnya tersendiri. Kita tidak melihat ke dalam, kenapa dia bisa menjadi seambisius itu.

Aku gak pernah terlalu mempermasalahkan keakuratan sejarah, kostum, atau malah bahasa sekalian. Karena aku sendiri juga gak paham, dan kurang banyak baca. Hanya, ketika karakternya tidak bisa kita ikuti, ketika kita hanya disuruh lihat kehebatan dan kejatuhannya, film jadi masalah karena hanya kayak cerita kosong. Hiburan nonton film yang durasinya panjang banget ini cuma adegan-adegan perangnya saja. Adegan perang di salju buatku lumayan memorable.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NAPOLEON.

 

 

 

NEXT GOAL WINS Review

Dari kisah nyata tim sepakbola American Samoa yang bukan hanya gak pernah nyetak gol, tapi juga terkenal lantaran pernah kalah dengan skor lebih dari 30 – kosong lawan Australia. Aku bahkan bukan penggemar sepakbola, tapi aku tetap nonton karena tau ini buatan Taika Waititi, jadi aku ngerti ngarepin humor yang seperti apa. Dan aku memang beneran terhibur menyaksikannya sampai habis.

Humor khas Waititi udah kayak acquired taste. Waititi mendaratkan karakter sebagai manusia dengan membuat mereka bertingkah konyol dan norak. Terkadang konsep ini susah diterima oleh penonton, terutama ketika manusia yang jadi subjek cerita diambil dari misalnya tokoh nyata, atau sesuatu yang dipandang lebih serius. Waititi pernah mencupukan drakula, menorakkan Dewa Asgard, pernah mengkonyolkan ideologi nazi, dan kali ini dia mengkarikaturkan perjuangan atlet sepakbola. Buatku ini gak masalah. Yang perlu diingat adalah dia tidak melakukan itu untuk semata meledek, tapi untuk membantu kita melihat karakternya di level yang menapak. Hati di balik ceritanya masih terasa serius. Kayak di film ini.

Secara plot, memang ini formula standar tim/karakter underdog yang bakal berjaya di pertandingan/kompetisi. Mereka menang sebagai bentuk menjadi diri yang lebih baik, yang ‘dipelajari’ selama latihan dan menjalani hubungan persahabatan bersama. Tapi dengan konsepnya, Taika Waititi bisa membuat ‘match puncak’ cerita ini punya penceritaan yang berbeda. Dan konsep penceritaan itu works, karena karakter-karakternya lebih mudah untuk kita dekati. Protagonis utama film ini adalah pelatih kulit putih yang dikirim untuk melatih tim samoa, awalnya sebagai hukuman. Bagi si pelatih, ini juga adalah journeynya menemukan peace terkait sepakbola dan hubungannya dengan putrinya. Taika Waititi juga ngasih pendekatan baru sehubungan dengan relasi putrinya tersebut. Jadi, kelihatan usaha untuk tidak membuat cerita ini kayak white savior story, dengan bahasan ke grup sepakbola dan protagonis sama-sama berjuang memperbaiki diri. Menurutku sebenarnya film ini bisa lebih banyak lagi bermain di arahan yang kuat, dan mestinya bisa benar-benar lepas dari formula bangunan cerita yang sudah seperti ada standarnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NEXT GOAL WINS.

 




SELF RELIANCE Review

C’mon. Ada Anna Kendrik, ada Jake Peralta, dan ini film dibuat oleh Nick Miller! Of course, I’m gonna watch it and like it!!!

Bias aside, kupikir komedi-thriller debut penyutradaraan Jake Johnson ini dosanya cuma satu. Kurang aneh. Pembelajaran karakternya terlalu on the nose diakui oleh si tokoh utama. Sepanjang ngikutin cerita menguak itu, kayak, kita ngarepin kekonyolan yang lebih wah, tapi film seperti menahan diri. Hampir seperti agak sedikit terlalu mengasihani karakter utamanya. Atau mungkin, Jake gak mau terlalu absurd pada film pertamanya ini, jadi merasa kudu jaim dikit.

Padahal dari ceritanya aja udah gak biasa. Pria bernama Timmy kesepian yang bosan sama hidupnya (bukan bosan hidup loh) terpilih ikut game dark web aneh berhadiah uang yang banyak. Selama sebulan dia akan jadi buruan, orang-orang akan membunuhnya, jika dia tidak bersama orang lain. Jadi Timmy berusaha meyakinkan kerabat untuk terus bersamanya. Dia sampai membayar gelandangan untuk basically jadi bayangannya ke mana-mana. Premis yang menggelitik. Karakter-karakternya ajaib, mulai dari keluarga Timmy yang gak percaya, sampai pemburu-pemburu dengan ‘cosplay’ unik. Yang paling bikin ku ngakak adalah ‘ninja-ninja’ tim produksi dark web yang ngikutin Timmy tanpa disadari. Bahasan yang dikandung di balik itu semua sebenarnya juga sama menariknya, tema utamanya adalah soal hubungan kita dengan orang lain – kepercayaan, ketergantungan, dan sebagainya. Menurutku film ini berhasil ngehandle bahasan tersebut dengan baik di balik karakter dan situasi yang gak biasa.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SELF RELIANCE.

 

 

 

SOCIETY OF THE SNOW Review

Kita tahunya cerita tentang tim rugby Uruguay yang pesawatnya jatuh di pegunungan Andes 70an adalah cerita yang cukup sensasional. Horor, kalau boleh dibilang. Karena mereka survive berminggu-minggu itu dengan terpaksa jadi kanibal. Makan daging dari teman-teman mereka yang gugur lebih dulu. Sutradara Spanyol J.A. Bayona mengadaptasi buku yang menceritakan kisah survivor, menjadi film yang tidak menjual horor keadaan tersebut, melainkan film yang dengan respek menyelami keputusasan personal dari yang masing-masing para penyintas kejadian tersebut alami.

Lihat saja gimana film menceritakan soal makan mayat itu sendiri. Dilema moral yang dialami para karakter terasa bahkan lebih menusuk daripada angin salju mematikan yang harus mereka tahan. Dulu Hollywood pernah bikin film dari kisah ini. Film Spanyol ini melakukan banyak hal lebih baik dari yang dilakukan oleh film tersebut. Film ini benar-benar membangun para survivor sebagai satu tim. Kita melihat mereka sebelum, saat, sesudah kejadian naas tersebut. Karenanya, kita dibuat merasakan langsung naik turun dan penderitaan mereka. Cara film membalancekan porsi, serta juga tone cerita juga sangat apik. Jelas ini bukan cerita satu tim yang bisa diapproach dengan komedi seperti yang dilakukan Waititi di Next Goal Wins tadi, tapi film ini paham untuk tidak serta merta menjual tragedi dari tim ini. Hubungan erat mereka yang terjalin semakin erat dipotret benar seperti dari sudut pandang anak muda. Momen-momen kayak mereka menikmati secercah cahaya mentari terasa sama kuat dan menggetarkannya dengan momen mereka harus meringkuk saling menghangatkan badan di tengah dinginnya malam.

Yang dilakukan sedikit aneh oleh film ini menurutku cuma naratornya. Berbeda dengan film Alive buatan Hollywood tahun 1993 dulu, film ini gak punya karakter utama yang jelas. Narator yang ‘bicara’ kepada penonton actually adalah tokoh yang enggak survive, tewas di pertengahan cerita. Mungkin ini disadur langsung dari bukunya. Menurutku, paling baik jika kita menganggap karakter utama film ini adalah mereka semua sebagai satu tim. Bukan sebagai perseorangan. Walau, sangat jarang sekali ada naskah yang mengtreat sudut pandang utama seperti begitu.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for SOCIETY OF THE SNOW.

 

 

 

SOUND OF FREEDOM Review

Film ini bukannya tanpa kontroversi. Meski maksudnya baik. Sutradara Alejandro Monteverde mengangkat isu perdagangan anak, crime serius yang berlangsung – ngerinya – di berbagai belahan dunia. Lewat film ini dia ingin supaya kepala-kepala kita lebih serius menoleh ke persoalan ini. Betapa mengerikannya bagi orangtua untuk kehilangan anak. Sindikat dan tindak kriminal ini harus segera diberantas hingga ke akar-akarnya. Dan ultimately jangan sampai ada anak lain yang jadi korban.

Masalahnya film ini easily fall ke jebakan cerita yang seperti diacknowledge Taika Waititi di Next Goal Wins tadi. Bahwa ceritanya bakal jadi kayak glorifikasi white savior belaka. Lubang jebakan inilah yang tidak diberhasil terhindari sepenuhnya oleh penceritaan Sound of Freedom. Alih-alih mencuatkan awareness kita terhadap kasus perdagangan anak, film yang diangkat dari penyelamatan nyata ini hanya seperti mengadegankan ulang dengan fokus cerita kepada keberhasilan si karakter utama, polisi kulit putih, memenuhi janjinya kepada ayah korban. Walaupun si protagonis ini reflect so hard soal dia juga sebagai ayah, dan bisa saja itu terjadi kepadanya, tapi film ini memang tampak seperti terlalu Hollywood dengan aksi penyelamatan heroik dan sebagainya. Seolah itulah jualan utamanya.

Belum lagi gambaran penculikan anak, dan keadaan anak-anak yang jadi korban itu divisualkan terlalu sering dan terlalu gamblang. Yang sebenarnya gak perlu. Seperti yang kusebut waktu review Like & Share (2023), kita tidak perlu ‘melihat’ langsung untuk bisa bersimpati.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for SOUND OF FREEDOM

 

 

 

WONKA Review

“Oompa, Loompa, doompa-dee-doI’ve got another review for youOompa, Loompa, doompa-dee-deeIf you are wise, you’ll listen to me”

Hahaha enggak ding. Aku suka aja sama lagu Oompa Loompa, baik itu di versi film original maupun versi film Tim Burton. Such a classic characters, Willy Wonka dan Oompa Loompa. Ketika ada film barunya, digarap oleh Paul King yang udah sukses ngasih dua film Paddington yang penuh fantasi dan komedi, aku dilanda ekspektasi dan kebingungan sekaligus. Wonka versi mana yang bakal diikutin. Turns out, film ini seperti berhasil mengambil jalan tengah dalam mempersembahkan kisah Willy Wonka waktu masih muda. Dan film ini pun dengan gemilang mengadaptasi karakter-karakter unik – yang di film-film terdahulu bisa kita perdebatkan ‘sedikit usil atau memang secretly jahat’ – ke dalam sebuah penceritaan magical dan kini terasa lebih bersahabat. Lezat!

Seperti coklat, what’s not to like dari film ini? Paling mungkin si Wonka-nya sendiri, yang tampak agak terlalu optimis dan terlalu baik. Film ini ceritanya tentang Wonka yang tiba di kota, bermaksud membuka toko coklat sendiri. Tapi buka usaha itu gak gampang. It’s about rebutan pasar. Bisnis vs. idealis. Wonka ketipu dan kini dia malah harus menebus dirinya kerja di laundry, never to make chocolate again. Bersama teman-teman yang tersentuh oleh coklat dan keajaibannya, Wonka berjuang membangun tokonya sendiri. Karakter Wonka ini toh punya vulnerable dan misi personalnya sendiri. Dia pengen penuhin janji kepada ibu. Dan ini yang mendaratkan karakter yang punya segudang coklat ajaib itu. Kemudahannya membuat coklat, keajaiban-keajaiban sulapnya, itu bukan exactly yang ingin dibahas oleh film. Struggle seorang seperti Wonka-lah yang jadi menu utama.

Tone sebagai hiburan keluarga terasa kuat, adik-adik yang baru kenal akan terhibur karena di sini juga banyak musical numbers yang sama ajaibnya, sementara kakak-kakak yang pengen nostalgia akan seseruan melihat gimana awal Wonka bisa kerja sama ama Oompa Loompa

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for WONKA.

 




 

 

That’s all we have for now

Januari memang kerasa panjang banget. Dengan mini review ini, berarti ada total 14 film yang berhasil direview bulan ini. Awal yang bagus untuk 2024. Semoga bisa bertahan di sekitaran ini untuk ke depan yaa hahaha

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 13 (13 BOM DI JAKARTA, SALTBURN, MAY DECEMBER, PRISCILLA, THE FAMILY PLAN, DREAM SCENARIO, THANKSGIVING, THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES)

 

 

Batch terakhir sebelum ngisi rapor buat nyusun daftar Top-8 Movies of 2023, who’s excited? Dengan Volume ini, pr-ku rampung, dan semoga bisa liburan dengan tenang. Karena film-film di Volume ini bener-bener aku kejar tayang nonton! (eh, apa ‘kejar nonton’ aja kali istilahnya, ya?) Tapi sebagai penutup tahun, film-film ini ngasih experience yang ‘wah’ juga. So sebelum liburan dimulai, mari kita langsung saja ‘hajar’ dengan ulasan!!

 

 

13 BOM DI JAKARTA Review

Wow Volume 13, pembukanya film 13 Bom haha.. Anyway, tahun lalu sukses dengan action heist, Angga Dwimas Sasongko kini kembali dengan tawarkan action yang lebih gede. ‘Film action Indonesia terbesar tahun ini” begitu bunyi tagline di posternya. Kurang gede apa coba. Pasalnya, tahun lalu itu ‘kebetulan’ saja film Mencuri Raden Saleh disukai karena ngasih genre yang tergolong baru di film kita. Filmnya sendiri, seperti yang kuulas di sini, sebenarnya overrated lantaran naskahnya lemah. Pada 13 Bom di Jakarta terulang lagi kelemahan yang sama (kalo gak mau dibilang lebih parah). Actionnya sangat gede dan elaborate, tapi tanpa atau dengan sedikit sekali hal yang make sense soal kenapa action itu bisa sampai terjadi atau dipilih oleh karakter ceritanya.

Menarik sebenarnya, persoalan yang diangkat film ini. Soal terorisme, yang enggak terjebak di dalam lingkaran agama. Melainkan lebih ke celetukan sosial tentang gambaran keadaan ekonomi masyarakat. Jadi ceritanya sekelompok teroris tak dikenal mengancam Jakarta dengan 13 bom yang akan diledakkan satu per satu jika tuntutan mereka tak dipenuhi. Para teroris gak mau duit tunai, mereka meminta duit digital. Krypto. Bitcoin. Sehingga dua pemuda pemilik start-up bitcoin yang dipakai oleh teroris jadi terseret ke dalam kasus. Dicurigai, nyaris jadi korban. Kesalahan pertama naskah film ini adalah tidak dengan clear menunjuk siapa karakter utama. Apakah pemuda start-up. Apakah pimpinan teroris. Apakah agen perempuan di Badan Anti-Teroris yang somehow selalu ‘dilawan’ oleh partner cowoknya. Atau apakah pemimpin dari pasukan antiteroris itu sendiri. It would be much better jika film sedari awal mengarahkan ini sebagai cerita dari banyak perspektif.

Actionnya sendiri enggak jelek, tapi arahannya agak-agak cheesy. Film ini, aku bilang, kayak kalo Michael Bay trying to make film Nolan. Like, Bay mau bikin action explosive tapi dengan ‘kecerdasan’ ala Nolan. Hasilnya, film ini jadi snob yang berusaha kelihatan jago, berusaha terdengar pinter. Dengan ‘twist’ standar soal ada karakter yang sebenarnya jahat, dan scheme teroris yang sekilas tampak massive. Tapi kok ya dipikir-pikir sangat unnecessary. Like, kenapa musti 13 bom kalo ternyata si teroris sudah menyusupkan orang yang bisa dengan gampang langsung melancarkan ‘bom pamungkas’.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 13 BOM DI JAKARTA

 

 

DREAM SCENARIO Review

Karya Kristoffer Borgli ini bikin aku ngakak begitu menyadari bahwa komedi horor ini sebenarnya kayak dream counterpart dari yang dibahas oleh Budi Pekerti (2023). Film ini bahkan ada menggunakan istilah ‘pendagogy’ as opposed to Budi Pekerti yang judul internasionalnya adalah ‘andragogy’

Kenapa kusebut dream counterpart? Karena unlike di Budi Pekerti yang karakter gurunya jadi dimusuhin satu kota gara-gara videonya viral di sosial media, Dream Scenario bercerita tentang dosen yang diantagoniskan semua orang karena si dosen (yang diperankan dengan brilian oleh Nicholas Cage, yang tau betul timing dan pembawaan antara akting ‘nyata’ dengan ‘sureal’) for some reason, muncul dalam mimpi orang-orang. Jadi dosen ini dijauhi karena hal yang bahkan tidak ia lakukan hahaha… Dia yang tadinya menikmati perhatian semua orang karena dia jadi terkenal muncul di mimpi orang-orang sebagai bystander yang doing nothing, jadi stress saat mimpi orang-orang itu semakin aneh. Di mimpi mereka, si dosen jadi pembunuh!

Sebenarnya ini gambaran perilaku manusia yang jenius sekali sedang dilakukan oleh naskah. Tentang gimana kita, manusia pelaku media sekarang, suka kemakan khayalan sendiri. Kita mengelukan berlebihan orang yang tidak benar-benar kita kenal – karena tren tertentu, misalnya – dan lantas kita terganggu sendiri saat ‘image-image’ tentang orang tersebut, yang kita ciptakan sendiri secara kolektif, menjadi semakin liar. Kita menciptakan ‘dream scenario’ sendiri, dan menelannya bulat-bulat sebagai fakta. Kita kegocek ‘fakta impian’ kita sendiri. Buatku film ini berhasil menceritakan itu lewat kehidupan karakter yang bukan hanya terseret, tapi juga tetap ada pembelajaran dalam dirinya. Lapisan di balik karakterisasi dan situasi yang ia alami – aku gak bilang sampai demikian kompleks – tapi berhasil tersusun menjadi sebuah hiburan surealis. Bakal langka banget film kayak gini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DREAM SCENARIO

 

 

 

MAY DECEMBER Review

Dari komedi berlapis satu ke komedi berlapis yang lain. May December karya Todd Haynes ranahnya bukan sureal, tapi lebih ke drama psikologis dengan undertone yang sebenarnya dark. Sekilas, kayak kisah inosen seorang aktris yang ingin mendalami peran. Peran yang sedang dirisetnya itulah letak darknya. Dia memerankan seorang perempuan yang menikah dengan ‘daun muda’, yang jauh banget rentang usianya. Mereka menikah karena melakukan hal yang basically, itungannya udah tindak kriminal. Tante-tante kepada seorang anak SMP. Jadi, si aktris ini, Elizabeth, selama beberapa waktu hidup di keseharian keluarga ‘bermasalah’ tersebut, Gracie dan suaminya yang kini sudah dewasa, dan mereka punya tiga anak yang sudah masuk usia kuliah. Demi method acting, si Elizabeth ingin mengenal kehidupan Gracie, supaya dia bisa memerankannya nanti dengan lebih baik, lebih mengerti tentang apa yang dilalui Gracie. Karena, katanya, dia ingin bikin film yang tidak menjudge kehidupan Gracie dan keluarga.

Nonton ini bikin kita sadar bahwa there’s no way kita bisa mengerti kehidupan orang. Urusan orang, seharusnya jadi urusan mereka sendiri. Walaupun memang di film ini kita melihat Elizabeth jadi katalis bagi orang-orang di sekitar Gracie – terutama suaminya – untuk bisa melihat apa yang sudah ia lewatkan di dalam hidup. Mungkin inilah yang paling keren dilakukan oleh film. Membuka luka, memaksa karakter melihat luka, tapi bukan untuk disalah-salahin. Film ini menceritakan imbang, semuanya dikembalikan kepada karakter masing-masing. Bagi yang kelewat batas, mereka akan jadi seperti Gracie dan Elizabeth.  Dua orang yang bukan cuma ‘dimiripin’ secara fisik, tapi sebenarnya punya ‘masalah’ yang sama. Sama-sama terlalu naif, dan menggunakan kenaifan itu sebagai defense. Film berakhir ketika masing-masing mereka dihadapkan kepada akibat dari kenaifan tersebut.

Natalie Portman dan Julianne Moore. Man. Di sini akting mereka beneran ada berlapis-lapis. Susah kita menunjuk garis mana ketika Natalie jadi Elizabeth sebagai Elizabeth, mana ketika jadi Elizabeth try to be Gracie. Mana batas aktingnya. Mana batas Gracie bohong dan mana yang dia beneran sudah nerimo.  Aku selalu punya soft spot buat film yang nunjukin adegan-adegan belakang layar bikin film, dan ending film ini buatku adalah one of the best yang nunjukin gimana seorang aktris berusaha berakting karena sudah merasa sudah ngerti karakternya, tapi kemudian dia ragu sendiri.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MAY DECEMBER

 

 

 

PRISCILLA Review

Kadang aku takjub sendiri ama yang namanya kebetulan. Like, kompilasi ini kan urutannya berdasarkan abjad, tapi ternyata bisa nyambung. Tadi dari komedi berlapis, kini nyambung dari cerita relationship dengan minor satu ke yang lain. Film tentang Priscilla yang waktu masih sekolah, kebetulan, bertemu dengan orang yang kenal dengan Elvis Presley, dan mengajaknya ketemu Elvis. Sehingga Elvis jadi jatuh cinta kepada Priscilla. Sofia Coppola membuat ini sebagai biografi yang benar-benar menelisik romansa kompleks yang dirasakan seorang Priscilla ketika berhubungan dengan salah satu manusia paling tersohor di jagat dunia hiburan.

The respect is there. Kepada kedua sosok. Tapi yang paling bersinar tentu saja adalah karakter Priscilla. Yang benar-benar diselami. Ini particularly menarik, karena di awal tahun ini kita sudah melihat mereka dari sudut pandang cowok di biografi Elvis. Menarik kedua buatku adalah karena yang jadi Cilla adalah Cailee Spaeny, yang awal muncul di film yang lebih mainstream kayak Pacific Rim atau Bad Times at the El Royale. Di sini dia main bagus bangeett. Bukan mau bilang pasangan Elvis-Cilla bukan ‘mainstream’, loh. Cumak memang filmnya ini diarahkan bukan sebagai tontonan sensasional, melainkan lebih ke sebuah selaman terhadap tokoh figur itu sebagai sebuah karakter cerita. Film enggak main gampang, menuding Elvis sebagai predator atau manipulatif, misalnya. At least, di film ini dia diperlihatkan menegaskan Cilla untuk melanjutkan sekolah dulu. Perasaan Cilla sebagai seorang gadis biasa yang punya pacar superstar, yang berkecamuk oleh gairah, oleh insecurity. itu yang difokuskan oleh film.

Tapi juga sebagaimana film-film dari tokoh nyata, dari kehidupan mereka. ada aspek-aspek cerita yang enggak benar-benar klop untuk dimasukkan ke alur film. Ada beberapa hal yang mestinya bisa dibikin lebih dramatis atau gimana, tapi enggak bisa karena ‘bukan begitu kejadian aslinya’. Film ini buatku sering terkendala di hal-hal seperti begitu. Naik turun alurnya enggak bisa benar-benar diatur ke flow atau struktur film. Kadang konfliknya muncul, ilang lama, lalu muncul lagi. Gitu-gitu.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PRISCILLA

 




SALTBURN Review

Ingat tadi aku ngomongin soal kebetulan di urutan kompilasi ini? Well, yah, yang jadi Elvis di Priscilla adalah Jacob Elordi. Tahun ini dia main di tiga film lagi selain itu. Tebak satu judul film lainnya. Yup. Saltburn karya Emerald Fennell ini. But while Jacob Elordi di sini masih punya vibe superstar kayak Elvis, toh bintang sebenarnya di Saltburn adalah Barry Keoghan. Aktor satu ini, gila, dia tuh udah kayak spesialis karakter awkward gak ketebak tapi sekaligus juga tampak berbahaya. He was born for this role, for this story.

Saltburn juga actually sebuah dark comedy, yang benar-benar menekankan kepada kelamnya itu sendiri. Keoghan di sini jadi Olliver, maba (mahasiswa baru) yang cupu. Awalnya film ini tampak seperti kisah Olliver yang berusaha memberanikan diri untuk masuk ke circle karakternya si Elordi. Kita melihat cowok jangkung itu melalui gaze-nya Olliver, kita pikir ada cinta ‘terlarang’ di sana. Tapi perlahan gaze dan sikap Ollie tersebut menjadi semakin intens. Dari gairah menjadi semacam ingin memiliki. Ingin menguasai. Transformasi film lewat karakter utamanya itulah yang jadi kehebatan, sekaligus juga kelemahan pada film ini.

Secara penampilan akting, seperti yang disebut tadi, Keoghan terutama sangat fenomenal. Dia total banget. Adegan-adegan creepy dia hantam tanpa canggung. Film ini punya banyak ‘WTF’ momen. Nekat banget mereka bikin adegan kayak gitu. Kelemahan yang hadir dari cara bercerita ini adalah karakter si Ollie itu sendiri tidak punya growth. Dia tipe karakter ‘ternyata’. Kita tidak menyelam kepada siapa sebenarnya dirinya. Dia tidak punya development, melainkan sebuah revealing yang membuat kita melihat dia ternyata bukan seperti di awal. Perubahan dia bukan karena terdevelop tapi karena aslinya dia disimpan untuk ‘kejutan’ cerita. Jadi secara teknis, sebagai film, Saltburn is not really good, tapi sebagai tontonan, dia menghibur dan nawarin suatu kegelapan dengan perspektif tak biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SALTBURN

 

 

 

THANKSGIVING Review

Origin film ini begitu menarik. Thanksgiving tadinya cuma fake trailer, segmen pendek dalam film horor Grindhouse tahun 2007. Cuma parodi dari skena horor gore yang dibuat oleh Eli Roth. Tapi fans tertarik melihat konsep pembunuh yang kayak jadi saingan Halloween tersebut. Permintaan fans akhirnya terkabul, Eli Roth benar-benar membuat film Thanksgiving. Dan aku agak kecewa sama hasilnya.

Mungkin karena bias dari pengaruh originalnya yang vibe-nya beneran low budget dan rough dan konyol tapi seru. Film actualnya ini terasa tidak memenuhi harapan. Sure, momen-momen yang ada di fake trailer, kayak pembantaian saat pawai, dimunculkan. Satir soal perilaku konsumtif orang Amerika terkait ‘tradisi’ Black Friday yang mengalahkan esensi sebenarnya dari Thanksgiving, juga ada. Gore-nya yang over the top dengan kematian-kematian sadis yang unik, juga berhasil menghiasi film menjadi nilai jual. Tapi overall, film ini terasa kosong. Karakter-karakternya cuma ada di sana untuk berusaha survive, menduga-duga siapa pelaku. Sementara naskahnya juga ke sana kemari ngasih red herring supaya pelakunya gak ketebak. Akhirnya film ini pun terasa jadi either terlalu Scream, terlalu I What You Did Last Summer. Terlalu gak really spesial karena toh sudah banyak thriller whodunit yang menjual hal serupa

Kalo dibilang membosankan sih, enggak. Cuma ya, biasa aja. Mendingan nonton Saltburn tadi sekalian. Kejutan dan momen WTF nya lebih membekas.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THANKSGIVING

 

 

 

THE FAMILY PLAN Review

My ultimate guily pleasure of the year hahaha… Komedi keluarga karya Simon Cellan Jones ini enggak bagus-bagus amat, tapi aku terhibur menontonnya. Enggak ngerasa bosan meskipun formulaic, dan bahkan konsepnya yang gabungin liburan keluarga dengan aksi assassin enggak dikembangkan dengan maksimal. Aku terhibur karena lucu aja melihat Mark Wahlberg jadi ayah yang sekilas kayak suami rumahan banget ternyata punya masa lalu tak terduga. Dia mantan assassin yang punya banyak musuh. Dia berhenti dari kerjaannya, dan sekian tahun ‘menyamar’ jadi pria biasa-biasa saja, sampe kemudian identitasnya kelacak dan dia terpaksa kabur. Membawa keluarganya yang tak tahu apa-apa, dengan dalih mau ngajak roadtrip.

Menurutku film ini mungkin bisa lebih mudah diterima penonton kalo dibikin sebagai animasi, kayak Boss Baby. Karena memang film ini seperti berjalan di garis antara gak make sense dengan cerita yang grounded tentang hubungan keluarga. Para karakter sentral, Mark dan keluarganya bermain di porsi yang pas, tapi harus diakui melihat mereka sebagai manusia ‘beneran’ membuat penonton bisa kesulitan memaklumkan banyak hal. Misalnya, bayi yang tahu rahasia ayahnya. Film tidak bisa maksimal melandaskan konsep yang diniatkan. Ketika bagian action, tidak bisa terlalu ‘gila’. Ketika bagian yang grounded, terasa gak klop. Jadinya film ini terasa setengah-setengah. Makanya, mungkin kalo dibikin sebagai animasi, mereka bisa meningkatkan aksi mustahil dan hati grounded yang dimiliki oleh naskahnya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for THE FAMILY PLAN

 

 

 

THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES Review

Hunger Games sering dibandingkan dengan Harry Potter, dan kupikir, film prekuelnya ini sukses bikin malu franchise Harry Potter yang film prekuelnya begitu maksa sehingga tidak terasa ditulis dengan proper. The Ballad of Songbirds & Snakes actually memang diangkat dari novel prekuel (bukan buku spin-off non-cerita yang dikembangkan serabutan) dan penulisannya kelihatan memiliki bobot. Karena di adaptasi karya Francis Lawrence ini kita benar-benar dikasih lihat development dari seorang Coriolanus Snow sebelum ia menjadi presiden yang ruthless.

Sering heran kok di luar sana banyak contoh mahasiswa aktivis ketika jadi ‘orang gede’ ternyata korup juga? Nah, journey Snow di film ini basically seperti itu. Kita melihat Snow dari yang awalnya dia mahasiswa pintar, yang actually peduli sama tribute dalam permainan Hunger Games. Kita melihat background dia dari keluarga macam apa. Apa yang dia inginkan. Dan bagaimana pada akhirnya dia memutuskan pilihan, bagaimana dia menjadi sampai seperti yang kita kenal di cerita Hunger Games original.  Inner journeynya tersebut yang membuat film ini layak ditonton. Hubungannya dengan Lucy Gray jadi heart of the story. Tak lupa film juga menyiapkan referensi ke Hunger Games-nya Katniss di sana-sini, supaya penonton merasakan gejolak nostalgia dari something yang familiar. Dan memang film ini berhasil menghadirkan vibe yang selaras dengan film-film Hunger Games sebelumnya. Desain produksinya total menghadirkan dunia itu kembali. Prekuel ini memang terasa seperti fondasi dari kejadian di film yang sudah kita kenal.

Tapi dari novel juga membawa sedikit sandungan bagi film ini. Durasi yang amat panjang, karena film terasa seperti pengen sama dengan novel, at least secara urutan. Dan ini membuat dirinya sebagai film, terasa agak aneh. Karena film ini kayak dua film yang disatukan. Bagian hunger gamesnya, dan bagian aftermath dari hunger games tersebut. Bagian yang satu terasa lebih menarik dibanding bagian lainnya. Menurutku harusnya cerita bisa lebih digodok lagi, bangunan ceritanya bisa lebih dimainkan lagi, supaya kesan terbagi dua ini bisa lebih mengabur. Supaya film bisa berjalan lebih mulus, dan penonton tidak diberikan momen untuk terlepas dari cerita yang disajikan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES

 




 

 

That’s all we have for now

Dengan ini, resmilah, review tahun 2023 sudah tutup buku. Film-film 2023 yang tayang setelah post ini terbit akan kuanggap sebagai film tahun 2024 (jika direview), dan itu at least ada dua film yang kayaknya memang gak tayang di kita jadi terpaksa nunggu digitalnya tahun depan. Akhir tahun nantikan rapor film 2023 di twitterku @aryaapepe dan menyusul beberapa hari setelahnya, tentu saja, daftar Top Movies 2023 di blog ini. Sampai ketemu tahun depan!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA