MINI REVIEW VOLUME 10 (WAKTU MAGHRIB, THE PASSENGER, HOME FOR RENT, BIRD BOX: BARCELONA, ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD, RUBY GILLMAN TEENAGE KRAKEN, COBWEB, THEY CLONED TYRONE)

 

 

Edisi kesepuluh Mini-Review ini isinya udah kayak pesta di musim panas. Mulai dari zombie hiu ke cewek laba-laba, dari mermaid jahat ke kloningan korporat, dari orang kesurupan ke psikopat hingga ke sekte-sekte sesat. Meriah! I’ve had fun nontoninnya, dan sekarang saatnya mengulas merekaa!!

 

 

BIRD BOX: BARCELONA Review

Bird Box: Barcelona adalah sekuel, yang tidak banyak memberikan jawaban baru atas fenomena khusus yang ia angkat sebagai cerita. Dunia masih tetap ‘kiamat’ oleh keberadaan sesuatu yang membuat setiap orang bunuh diri jika mata mereka melihat cahaya di luar. Sehingga film ini memang bisa bikin penonton yang ingin tahu kelanjutan atau penyelesaian masalah itu jadi kecewa.

Aku pun pastinya bakal menutup mata juga loh kalo saja sutradara Alex dan David Pastor benar-benar tidak punya tawaran baru. But they did have one. Enggak gede, memang, namun buatku sudah cukup untuk membuka sesuatu yang baru dalam experiencing dunia cerita mereka. Hal yang beda kali ini itu adalah perspektif. Kali ini bukan tentang seorang ibu yang memegang teguh harapan dan kepercayaan untuk membawa anak-anaknya ke tempat keselamatan. Melainkan tentang seorang ayah yang ingin melihat keluarganya lagi. Protagonis kali ini bukan orang baek-baek yang pengen survive. Melainkan salah satu anggota cult yang percaya tugas mereka adalah membimbing sebanyak mungkin orang untuk melihat ‘keindahan’ mematikan. Journey protagonis dalam menyadari kesalahannya yang bikin film ini menarik. Gimana nanti dia berinteraksi dan belajar dari calon korbannya.

Mungkin lebih tepat kalo kita menganggap film ini bukan sebagai sekuel, tapi sebagai companion saja dari film pertamanya. Elemen-elemennya memang berulang dan gak banyak development baru. Tapi kalo dibandingkan dengan film pertamanya, journey protagonis kali ini lebih menarik dan menantang.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIRD BOX: BARCELONA

.

 

 

COBWEB Review

Horor ‘makhluk yang tinggal di dalam dinding rumah’ selalu punya pesona tersendiri. I think it’s because kita semua setidaknya pernah sekali seumur hidup kebayang yang enggak-enggak ketika mendengar bunyi derit rumah. Perfect banget buat jadi elemen cerita horor. Melihat ke belakang, film kayak Housebound (2014) atau The Boy (2016), cerita tentang seseorang di balik dinding ini bisa sukses karena faktor surprise di dalam ceritanya, tapi sekaligus juga punya kendala yang sama; bagaimana memasukakalkan orang bisa hidup sekian lama di balik tembok. Mari kita lihat cara sutradara Samuel Bodin menghandle soal itu dalam Cobweb

Again, film ini punya langkah awal yang bagus dari perspektif utama. Anak kecil yang mendengar suara di balik dinding rumah, tapi orangtuanya gak percaya. Dari sini drama horornya berjalan. Enggak dibuat ambigu dan menantang, tapi horornya dirancang untuk hiburan mainstream yang efektif, dari sikap orangtua yang mencurigakan. Membangun ke arah pengungkapan siapa di balik dinding, untuk kemudian diubah film menjadi sajian horor kedua, yakni horor creature. Yang di sinilah buatku film jadi kayak kesangkut sendiri pada jaring horor yang mereka buat.

Walau memang paruh akhirnya jauh lebih seru, tapi bagian itu juga lebih generik. Aku gak tahu apakah karena itu film jadi berusaha membuat si makhkluk jadi bombastis, atau mereka cuma pengen beda, tapi hasilnya film ini jadi konyol dan mungkin lebih tepat kalo dibuat sebagai horor komedi. Film seperti tidak bisa memilih makhuk horornya, apakah manusia atau hantu. Jadi mereka membuatnya basically kayak gabungan keduanya. Perspektif karakternya pun jadi tidak terpakai lagi, padahal diceritakan makhluk itu adalah saudara dari si karakter utama. Maka endingnya pun terasa jadi flat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for COBWEB

 

 

 

HOME FOR RENT Review

Tiga tahun belakangan aku gak terkesan sama horor Thailand. Dua yang tayang, dengan hype besar dan populer itu, actually melempem dari segi cerita karena hanya dibuat sebagai wahana jumpscare. Ekspektasiku buat horor Thailand lagi agak rendah, makanya karya Sophon Sakdaphisit menarik telak buatku!

Ini sudah bukan lagi soal ekspektasiku. Home for Rent memang punya cerita yang kuat di balik sajian horor tentang sekte misterius. Cerita orangtua yang berkubang duka begitu dalam, sehingga rela melakukan sesuatu di luar nalar dan bahkan membahayakan keluarganya. Berkisah tentang film ini actually agak susah, karena satu lagi ‘fitur’ yang dipunya oleh film ini adalah mencacah ceritanya ke dalam beberapa sudut pandang. Kita akan berpindah melihat satu kejadian yang sama, dari sudut karakter yang berbeda. Fitur storytelling yang beresiko, tapi juga punya kelebihan yakni membuat pengungkapan misteri jadi berbobot karena ditambatkan kepada perspektif karakter.

Home for Rent terbukti menggunakan cara bercerita seperti itu tidak untuk menutupi dangkalnya bahasan. Melainkan ya ketajaman naluri sutradara untuk membuat cerita dramatis, sekaligus memperkaya cerita dan misteri lewat lapisan sudut pandang. Perpindahan sudut pandang itu juga tak membuat siapa karakter utama jadi tidak jelas. Naskah tetap tegas, Development dan journey dramatis tetap pada Ning, si ibu, sebagai karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HOME FOR RENT

 

 

 

RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN Review

Jika kraken adalah makhluk laut dengan lengan atau tentakel banyak, maka Ruby Gillman, Teenage Kraken adalah film dengan banyak sekali cabang-cabang yang mengingatkan kita kepada film lain. Yang bikin aku sedikit kecewa adalah kisah tentang makhluk mitos yang menyamar jadi manusia, hidup seperti manusia, ini harusnya kisah yang benar-benar original. Namun sutradara Kirk DeMicco dan Faryn Pearl seperti tidak bisa memutuskan.

Beberapa dari kalian mungkin akan menyebut ini kayak Turning Red (2022). Mungkin ada juga yang memiripkan ini seperti Luca, atau malah Harry Potter. Mungkin film ini memang mengincar kemiripan itu. Karena to be honest, Ruby Gillman bekerja paling kocak saat menjadi parodi. You know, gimana mereka membalikkan status jadi kraken baik dan mermaid jahat. Gimana mereka menggambarkan sosok si jahat itu. Desainnya yang playful dan ngasih komedi tersendiri. Kekecewaanku memang akhirnya terobati dari gimana film ini membentuk para karakternya. Mereka semua terasa mencuat di balik cerita yang not really interesting dan berjuang untuk mengapung sebagai sesuatu yang berbeda. Sebagai tontonan untuk keluarga, tentu saja film ini merupakan alternatif yang baik. Dengan segala pesan ibu-anak perempuan dan persahabatannya. Selain itu, film ini juga punya elemen action yang bikin penonton cilik semakin betah menanti akhir kisahnya

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN

 




THE PASSENGER Review

Terlalu sering kita mendengar nasehat untuk tidak melihat siapa orangnya, tapi lihatlah apa yang dikatakan olehnya. Nasehat yang jelas agak ganjil karena bayangkan kalo kita dilarang menyerobot antrean oleh seorang koruptor, misalnya. Nonton The Passenger karya Carter Smith akan terasa ganjil seperti begitu karena di film ini kita akan melihat protagonis yang sedang dibantu untuk membereskan masalah personal di dalam hidupnya, oleh seorang ‘teman’ yang baru saja membunuhi orang-orang di diner tempat mereka bekerja.

The Passenger adalah road trip intens, bukan oleh aksi-aksi, melainkan oleh dinamika karakternya. Seorang pria muda yang begitu helpless dan terguncang oleh yang ia perbuat di masa lalu sampai-sampai seseorang yang berbahaya, meledak-ledak, tergerak untuk membantunya. Tahun lalu, ada film Piggy (2022) yang mirip seperti ini, cewek korban bully dan body shaming, dikasihani oleh pembunuh psikopat. Tapi film tersebut berkembang jadi thriller bunuh-bunuhan generik. The Passenger mengembangkan ceritanya dengan lebih berfokus kepada drama. Dua karakter sentral dimainkan dengan sangat meyakinkan, emosi mereka terasa raw, rough, tapi memang itulah yang dibutuhkan oleh cerita. Film ini berhasil membuatku bercakap-cakap dengan layar, berusaha ngobrol dengan para karakter. Di satu sisi, kita ingin Bradley melarikan diri dan selamat, tapi di sisi lain kita juga ingin dia menemukan keberanian untuk mengkonfrontasi masa lalunya, dan satu-satunya cara ya lewat Benson yang tak pernah jauh dari pistolnya.

Bukan siapa yang benar-siapa yang salah, siapa yang jahat-siapa yang baik yang ingin dicapai oleh film. Karena dua karakternya itu akan menjadi sesuatu yang lebih dekat dari sahabat tapi juga begitu berjarak seperti musuh paling bebuyutan. Jalinan kuat dan unik yang perlahan terbentuk inilah yang bikin kita betah nonton sampai beres.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PASSENGER

 

 

 

THEY CLONED TYRONE Review

Nah ini baru unik, seru dan kocak juga! Cara mereka ngambil judul aja udah demikian menarik, jika kita lihat konteks ceritanya. Dari luarnya, They Cloned Tyrone seperti cerita ala Groundhog Day, hanya lebih ‘gila’. Jadi si Fountaine ngerasa hidupnya rada-rada berulang gitu. Tapi bukan karena dia masuk time loop. Fountaine sebenarnya telah tewas, tapi dia terbangun seperti biasa di kamar, dan kembali menjalani rutinitasnya sebagai drug dealer seperti gak ada apa-apa. Aslinya, Fountaine sudah dikloning, dan dia baru tahu akan apa yang sebenarnya terjadi dari interaksinya dengan unlikely allies.

Di dalam, They Cloned Tyrone sebenarnya sebuah komentar sosial. Juel Taylor dalam debut penyutradaannya ini bikin sesuatu yang bisa berdampingan dengan horor-horornya Jordan Peele. Karena sesungguhnya film ini juga punya concern terhadap eksploitasi warga kulit hitam. Bukan cuma Fountaine yang dikloning, hampir semua orang di lingkungan mereka ternyata jadi bahan percobaan perusahaan kulit putih yang punya markas di bawah tanah. Waralaba ayam goreng, produk pengecat rambut, hal-hal yang mereka tonton iklannya di TV ternyata adalah alat untuk ‘mengendalikan’ mereka. Semua itu dibikin oleh film sebagai simbol bagaimana stereotipe yang tersemat pada warga kulit hitam sebenarnya tak lebih dari sebuah eksploitasi

Bibit misteri dan komedi tumbuh dengan asik. Trio sentral (John Boyega, Jamie Foxx, dan Teyonah Parris) bikin cerita makin seru dengan enerji dan personality mereka masing-masing. Film ini bisa sangat menghibur. Problem sedikit ada pada pacing pada cerita yang secara natural punya beberapa pengulangan, juga karena bentukannya yang berupa pemecahan misteri. Film pada beberapa kesempatan masih terlihat struggling untuk menjaga pace, menurutku kalo film bisa lincah dalam tempo dan komedi, tentu penceritaannya lebih nonjok lagi.

The Palace of Wisdom gives 6.5  gold stars out of 10 for THEY CLONED TYRONE

 

 

 

WAKTU MAGHRIB Review

Untuk beberapa waktu, horor karya Sidharta Tata ini jadi film Indonesia paling laris di 2023. Dan setelah ditonton, aku bisa paham kenapa film ini menghasilkan kesan dan pembicaraan yang baik. Waktu Maghrib dengan cerdik menjadikan ceritanya berpusat pada karakter anak, tapi dengan horor yang tetap brutal. Konteks ceritanya pun diambil yang ‘dekat’ dengan penonton, kepercayaan bahwa waktu maghrib adalah waktu tabu untuk keluar rumah.

Saat nonton ini, aku kepikiran Forbidden Siren, game horor tentang warga di sebuah desa yang dilarang keluar rumah saat sirine berbunyi di malam hari, yang tetap nekat ya berubah jadi zombie berdarah-darah. Desain horor film ini mirip dengan itu (I think it would be cool kalo suara sirine diganti suara adzan maghrib). Bahasan tentang orang takut ke mesjid karena setan maghrib tentu bakal menarik jika digali. Tapi Waktu Maghrib ternyata hanya memperlihatkan soal itu sekilas. Naskah dan arahannya seperti bergelut pengen menceritakan apa, dan akhirnya memilih jalan yang generik. Waktu Maghrib tak lagi membahas ketakutan tersebut, melainkan jadi literally sosok setan yang membuat anak-anak bunuh diri. Jadi tebak-tebakan misteri siapa yang sebenarnya jahat.

Ketika satu anak mati, cerita pindah ke anak lain. Perspektif berpindah-pindah yang dilakukan Waktu Maghrib tidak sebaik yang dilakukan oleh Home for Rent. Karena di Waktu Maghrib, tokoh utamanya gak pernah jelas. Tidak ada karakter yang mengalami development, karena cerita hanya tentang selamat dari hantu. Plotnya hanya tentang ‘oh ternyata’. Motivasi dan mitologinya enggak berkembang dengan baik. Suasana desanya tidak pernah tergambar detil, padahal set upnya sebenarnya menarik. Kita tahu film ini not follow through idenya sendiri, saat film bahkan gak mampu gambarin suasana maghrib itu dengan genuine.

The Palace of Wisdom gives 3 gold star out of 10 for WAKTU MAGHRIB

 

 

 

ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD Review

Yang aku gak suka dari film ini cuma judulnya. Selebihnya, film ini such a blast! Idenya segar banget. I know for a fact, kalo ini dibikin oleh Hollywood, maka judulnya pasti adalah Zombie Shark, atau Zombie Shark Hero.

Sutradara Yusuke Ishida sebenarnya ngambil setting zombie apocalypse cuma untuk perumpamaan. Karyawan yang kerja pagi pulang malam, nurut-nurut saja sama bos yang toxic berlindung di balik istilah keluarga, atau terus ‘ngedoktrin’ mereka bahwa mereka bukan apa-apa tanpa kerjaan ini, dianggap sebagai zombie. Kalo sedang tidak dikejar zombie, maka si Akira Tendo, karakter utama kita itulah yang jadi zombie korporat. Dia justru tampak lebih hidup saat membasmi zombie-zombie beneran, karena cuma di saat itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri. Akira sampai bikin list sendiri, kegiatan-kegiatan yang ingin dia lakukan mumpung sempat karena dia bisa gak masuk kerja sebab dunia dilanda wabah zombie. Akira dan listnya jadi kontras yang menarik pada genre zombie yang biasanya karakter utama justru si kikuk yang harus jadi jagoan dan punya list berupa aturan yang gak boleh dilanggar kalo mau selamat di dunia zombie. Akira dan listnya malah hidup bersenang-senang saat ada zombie. Yang paling ngakak ya ketika film ini gambarin siapa lawan Akira sebenarnya. Siapa musuh karyawan-karyawan kecil. Ya, corporate shark. Film menggambarkannya jadi literally hiu zombie, Hiu dengan kaki-kaki zombie. Design makhluk horor yang sungguh jenius hahaha. Vibe over-the-topnya masuk dan gak pernah jadi annoying ataupun bikin film jadi bablas receh

Film ini bekerja terbaik ketika mengumpamakan hal tersebut. Vibe cerianya di saat horor sebenarnya jadi ironi yang lucu. Stake di cerita ini bukan dari nyawa Akira yang bisa menghilang kalo dia kena gigit zombie. Melainkan, kita lebih khawatir kalo Akira kembali jadi budak di kantor. Journey Akira juga dipenuhi oleh karakter-karakter manusia yang bakal membantunya menyadari bahwa dia jadi zombie begitu urusan kerjaan dan bosnya tiba. Bagian serunya buatku ya di babak awal, dan di babak akhir. Babak keduanya sedikit generik, meski memang perlu untuk ngebuild up relasinya dengan karakter lain. Kalo film fokus di perumpaman, cerita tidak dipanjang-panjangin oleh kejadian Akira dan gengnya di luar sana dengan zombie-zombie generik, maka film ini akan lebih enak ditonton.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD

 

 





That’s all we have for now

Kita sudah di paruh akhir 2023, dan aku sudah mulai bisa melihat calon-calon yang bakal masuk Top-8 ku untuk tahun ini. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 9 (SISU, RENFIELD, DEAR DAVID, GUY RITCHIE’S THE COVENANT, AIR, A MAN CALLED OTTO, KNOCK AT THE CABIN, CREED III)

 

 

Masa liburan memang biasanya blog ini kosong. Apalagi pas mau-mau lebaran. Wuih, jangankan nulis di depan komputer, menonton film aja aku jarang. Pengennya main video game sepanjang waktu hehehe… Alhasil seringkali aku balik ke realita, dengan pe-er seabrek. Kayak sekarang ini. Begitu banyak film yang dianggurin. Sebagian belum ditulis, sebagian belum kelar ditonton. Jadilah sepanjang bulan Mei ini aku kayak anak sekolah yang ngebut belajar sampai larut malam. Delapan film inilah yang akhirnya terpilih untuk ku kompilasi jadi mini-review volume ke-sembilan!

 

 

 

AIR Review

Sebagai anak nongkrong 90an, kata ‘Air Jordan’ memang cukup familiar buatku, walau aku bukan penggemar sepatu ataupun olahraga basket. Karena waktu itu, Air Jordan memang terkenal banget. Sepatu paling keren di dunia. Sehingga dijadikan guyon. Kalo anak-anak kampung seperti kami beli sepatu baru, pasti tuh sepatu langsung diinjak di tempat sama teman-teman yang lain sambil mereka bersorak “Wuih, sepatunya Air Jordan!!”

Baru di umur seginilah, berkat film Air karya Ben Affleck, aku paham ‘kekerenan’ Air Jordan. Bahwa itu adalah sepatu yang khusus dibuat Nike untuk Michael Jordan. Sepatu yang benar-benar diperjuangan supaya bisa dikenakan oleh calon mega atlet basket itu. Film ini dirancang memang bukan untuk membahas gimana Michael Jordan menciptakan kerjaan endorse, tapi lebih kepada cerita tentang Nike yang mengambil resiko besar. Gambling dengan stake yang begitu besar. Matt Damon’s Sonny, tokoh utama cerita, bahkan mempertaruhkan rumahnya, keluarganya. Stake, itulah yang benar-benar jadi kunci pada film ini. Kita melihat para karakter terus mengorbankan something yang terus membesar, karena mereka percaya pada si Michael Jordan. Film yang arahannya tidak cakap, akan ngelantur kemana-mana, tapi Air tetap pada jalur. Film ini sendirinya mengambil resiko dengan tidak ngecast Michael Jordan. Dalam film, karakternya cuma disorot dari belakang – tanpa dialog berarti dan tidak pernah jadi fokus kamera. Supaya ceritanya tetap pada perjuangan Sonny, pada gambling yang ia lakukan demi perusahaan.

Kekuatan Air berikutnya ada pada akting. Monolog si Sonny saat membujuk Jordan, jelas jadi highlight. Viola Davis juga jadi presence yang dominan meski screen timenya gak banyak. Dan aku juga terhibur sama Chris Tucker, ni orang kocak tapi jarang banget main film! Air dengan mudah jadi cerita dengan drama yang menghibur dan satisfying. Meskipun, dari segi penulisan, aku pengennya film ini lebih menggali Sonny sebagai person lagi. Plot karakternya yang sering ditegor kurang olahraga lebih dipertegas. Karena menurutku film ini kadang agak ‘rancu’ sudut utama di sini adalah Sonny, atau perusahaan Nike secara keseluruhan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AIR

.

 

 

A MAN CALLED OTTO Review

A Man Called Otto karya Marc Forster ini semacam kebalikan dari Air. Karena film justru berangkat dari gak ada stake. Otto ceritanya udah mau mengakhiri hidup. Tanpa teman dan kerabat, dia yang baru saja pensiun merasa urusannya di dunia udah rampung semua. Menyusul istrinya yang udah duluan ‘pulang’. Tapi kemudian tetangga barunya menggedor pintu. Kerap minta bantuan, menginterupsi  Otto yang hendak bunuh diri dengan segala macam urusan sepele.

Perlahan, dramatic irony dan emotional feeling itu terbendung. Kita yang tadinya ngerasa cerita ini gak ada stake, akan terattach dengan Otto sehingga kini kita gak pengen dia bunuh diri. Kita bisa melihat bahwa Otto yang kesepian itu ternyata sangat berarti bagi tetangga-tetangganya (dan juga seekor kucing gelandangan). Bahwa masih ada alasan untuknya hidup di dunia. Journey emosional film ini terletak pada kita ingin Otto melihat alasan itu juga, Kita ingin pria tua penggerutu ini melihat bahwa dia sebenarnya gak kesepian. Film gak berhenti sampai di situ karena babak ketiga film ini bahkan bakal lebih kerasa lagi. Feeling serene, peaceful tapi tak pelak sedih, berhasil tercapai, membungkus film jadi perjalanan manis. Tom Hanks juara banget jadi Otto. Clearly, kisah adaptasi ini lebih tepat untuknya karena akhirnya kita yang muda-muda ini bisa lihat bukti betapa legendnya akting drama Tom Hanks. Sesekali film akan membawa kita ke masa muda Otto – untuk memperdalam bahasan cinta – dan karena aktornya beda, kadang akting di bagian flashback ini kerasa jomplang. Membuat kita pengen cepat-cepat balik lagi ke masa Otto yang sekarang.

However, yang paling menarik dari film ini tentu saja adalah gambaran kehidupan bertetangganya. Dan kupikir film ini bakal punya dampak esktra buat penonton modern yang gak ngalamin lingkungan tempat tinggal seperti ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A MAN CALLED OTTO

 

 

 

CREED III Review

Ketika Michael B. Jordan bilang dalam menggarap aksi film ini dia terinspirasi banyak anime, dia enggak bohong. Dan dia melakukan itu bukan hanya untuk gaya-gayaan, tapi karena dia tahu bahwa Creed III butuh pengadeganan yang khusus untuk mendeliver pukulan-pukulan emosional yang didera oleh karakternya.

Mana lagi coba film tinju yang bikin adegan saat bertinju, dua karakternya tau-tau ada di tengah ring dalam arena kosong melainkan oleh kabut-kabut psikologis. Dan suara yang kita dengar cuma suara mereka bertinju. Sungguh adegan antara dua orang yang sangat personal dan ngasih banyaklayer ketimbang bikin mereka bertinju seperti biasa. Creed III memang gak main-main soal film ini mau memfokuskan kepada karakter Adonis. Masa lalunya memang benar-benar dikonfront lewat banyak hal, yang puncaknya ya menjelma sebagai sahabat yang dulu pernah ia tinggalkan. Dengan kata lain, dalam Creed III terada ada banyak pertarungan, saking berlapisnya cerita.

Yang jadi permasalahan banyak orang dari film ini, termasuk bagiku adalah, mereka sama sekali tidak menampilkan Rocky. Padahal cerita Adonis berkaitan erat dengan Rocky. Heck, perjuangan Damian basically sama dengan perjuangan Rocky, bedanya Damian ini dipenuhi rasa cemburu. Bisa dibilang, Damian adalah Dark Rocky. Aku mengerti kenapa film memutuskan untuk gak menampilkan karakter Rocky dalam kisah yang pure tentang background Adonis. Alasannya sama dengan ketika Air memutuskan untuk gak full nampilin Michael Jordan. Supaya fokusnya tetap pada Adonis. But come on, bahkan Air saja bisa nemuin cara ‘cantik’ dalam menampilkan Michael Jordan. Rocky mestinya bisa tetap tampil dalam kapasitas dan treatment seperti demikian. Menge-cut dirinya secara keseluruhan justru bikin aneh cerita, karena hampir tidak terasa seperti kelanjutan normal franchise ini

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for CREED III

 

 

 

DEAR DAVID Review

Dulu pernah ada serial TV berjudul Aliens in America, yang salah satu episodenya tentang si karakter yang ketahuan suka menggambar vulgar tokoh-tokoh di dalam novel tugas sekolah. Sekolah jadi gempar, sampai buku-buku bacaan siswa diperiksa. Si karakter merasa bersalah, merasa ada yang gak beres dengan dirinya yang selalu mikir jorok, sehingga ayahnya akhirnya memberi penjelasan bahwa semua itu normal dan itu bukan salahnya. Penyelesaian dan pembahasan serial konyol dua-puluh-dua menit itu bahkan terasa lebih grounded dan manusiawi ketimbang Dear David karya Lucky Kuswandi.

Kenapa aku sampai tega bilang begitu? Karena Laras yang ketahuan mengarang cerita vulgar tentang teman sekelasnya, dalam Dear David, tidak pernah dibikin berkonfrontasi dengan gairahnya tersebut. Laras tau-tau di akhir film langsung mantap menyebut itu bukan salah dia, karena sebagai remaja dia punya gejolak. Sedangkan bagian tengah film, dihabiskan dengan ngalor-ngidul membahas hal-hal yang gak benar-benar paralel dengan tema tersebut. Tidak ada interaksi yang mengajarkan Laras atas masalahnya. Saking kemana-mananya, banyak penonton yang merasa tersinggung dan menganggap film ini tidak peka. Dengan malah membuat karakter korban jadi bucin pengen pacaran, misalnya. Padahal jika dilihat konklusi di akhir, film ini sebenarnya menunjuk antagonis pada sekolah. Yang tidak pernah mengayomi korban, tidak pernah melindungi murid, tidak benar-benar menganggap serius yang terjadi pada muridnya, melainkan hanya peduli pada citra sekolah. Tapi itu pun tidak pernah dibangun dengan mulus, cerita tidak langsung fokus kepada masalah itu.

Mungkin film ingin seperti slice of life. Menceritakan keseharian anak-anak di sekolah itu, dan bagaimana mereka bertindak saat ada kasus Laras. Antagonis sekolah bisa mencuat dari sana. Tapi kupikir, untuk mencapai ini, film harus meringankan tone-nya sedikit. Dear David took itself very seriously, sehingga sikap-sikap khas remaja karakternya tadi jadi tampak sebagai kekurangpekaan film.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEAR DAVID

 




GUY RITCHIE’S THE COVENANT Review

Utang budi dibawa mati. Drama perang yang diangkat Guy Ritchie dari kisah-kisah tentara selama Perang Afganistan mencoba menggali bagaimana persahabatan yang begitu kuat bisa tumbuh antara tentara dengan seorang penerjemah lokal. Jake Gyllenhaal jadi sersan John Killey yang nyawanya diselamatkan oleh Dar Salim’s Ahmed, penerjemah yang tadinya kurang ia percaya. Jake dan Salim punya chemistry yang kuat, interaksi karakter mereka selalu menarik untuk disimak. Masalah pada film yang banyak shot survival tembak-tembakan keren dan efek psikologisnya kena ini buatku adalah porsi John ‘berhutang’ actually lebih exciting ketimbang porsi dia mencoba membayar kebaikan Ahmed – yang mana harusnya ini yang dijadikan sorotan utama.

Jadi film ini seperti terbagi atas dua cerita. Pertama saat pasukan John dibantai oleh pasukan Taliban, sehingga tinggal John dan Ahmed saja yang berusaha survive. Sampai akhirnya John tertembak, dan Ahmed menggotongnya, berjalan berhari-hari ke markas Amerika terdekat, tanpa ketahuan Taliban. Bagian kedua adalah tentang John – kini sehat wal afiat di rumahnya di Amerika – berusaha mencari keberadaan Ahmed yang jadi buronan Taliban sejak menyelamatkan dirinya. Bagian kedua ini tidak bisa se-wah bagian pertama, meski nanti John memang kembali ke afganistan, dan mereka jadi buron berdua. Bagian pertama, aksi dan interaksi saat elaborate. Intensnya terasa. Sedangkan pada bagian kedua yang lebih emosional, film tidak pernah yakin untuk fokus ke sana, sehingga bagian ini terasa setengah-setengah.

Bahasan film ini relevan dan penting. Menurutku cuma konsep penceritaannya saja yang mestinya bisa lebih dimainkan lagi karena, untuk kasus film ini, menceritakan dengan linear terasa kurang maksimal.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GUY RITCHIE’S THE COVENANT

 

 

 

KNOCK AT THE CABIN Review

Kita selalu kepikiran M. Night Shyamalan setiap kali dengar kata ‘plot-twist’. Kita selalu expect film-filmnya bakal punya somekind of surprise di akhir. Jadi, inilah kejutan yang ditawarkan Shyamalan pada Knock at the Cabin; tidak ada twist! Film ini ‘serius’ berbincang tentang cinta dan pengorbanan, lewat keadaan yang diset untuk terus membuat kita menebak-nebak.

Empat orang tak dikenal menyatroni kabin di tengah hutan, tempat seorang anak kecil dan dua ayahnya berlibur. Empat orang yang dipimpin oleh Batista itu memang berusaha tampak ramah, tapi mereka punya maksud kedatangan yang mengerikan. Mereka menyandera keluarga tersebut. Mereka bilang dunia sedang kiamat, dan cara menyetopnya adalah salah seorang dari keluarga bahagia di kabin itu harus mengorbankan diri. Bayangkan harus memilih antara bahagia tapi orang lain sengsara, atau berkorban – kehilangan satu orang yang kita cintai – supaya semua orang bahagia. Film ini akan memenuhi pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan. Kesanku nonton ini persis kayak waktu dibentak dan ditanya-tanya senior pas ospek kuliah dulu. Stakenya tinggi, kita merasa tahu ke mana arah semuanya, tapi tetap kita terdiam dalam keraguan. Such power yang dimiliki oleh penceritaan film ini.

Batista sekali lagi nunjukin dia bukan sekadar mantan pegulat yang cari nafkah lain. Karena highlight film ini salah satunya ada pada aktingnya. Di sini dia bakal bawain monolog-monolog, serta juga ada aksi-aksi, dengan permainan emosi yang harus ditahan. Secara akting dan isi, film ini keren. Namun menurutku cerita seperti ini kurang mampu bertahan lama sebagai film panjang yang contained, karena hal bisa terasa repetitif di akhir. Poin-poin yang ditekankan dapat menjadi cringe setelah semua yang disangka oleh penonton ternyata tidak terbukti. Apalagi karena memang film kurang menggali protagonis ataupun karakternya – since mereka semua sebenarnya  ‘cuma’ sebagai konsep, sebagai ‘contoh kasus’ saja.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for KNOCK AT THE CABIN

 

 

 

RENFIELD Review

Relasi antara bos dan karyawan memang bisa jadi begitu toxic. Bos akan terus menjanjikan naik pangkat atau semacamnya, tapi gak pernah delivered. Karyawan yang sudah jadi bergantung, mau nuntut juga susah. Malah digaslight. Mau keluar apalagi. Chris McKay menyimbolkan relasi toxic itu ke dalam hubungan antara Familiar dengan masternya, Drakula. Ini jadi kocak, karena memang di cerita vampir-vampiran, jokes biasanya selalu datang dari Familiar – manusia pengabdi selalu dijanjikan bakal dijadiin vampir, tapi mana ada bos yang mau karyawannya jadi bos juga hahaha

Duet dua Nicolas jadi kunci film ini. Nicolas Cage, sekali lagi nunjukin betapa dia begitu komit dalam peran apapun. Di sini, dia ngasih performance yang sungguh menghibur sebagai Drakula. Seram dan jahat, iya. Tapi dia juga paham assignment, bahwa si Drakula ini adalah bos dari karyawan yang berusaha nuntut hak. Satunya lagi, Nicholas Hoult juga tampak simpatik, sebagai Familiar dia terasa familiar. Akrab. Alias gampang relate. Kecerdasan naskah ini ngasih perlambangan, ngarang pengadeganan, membuat film menjadi kocak menghibur. Bahkan ketika adegan aksi yang penuh gore over-the-top datang. Tetap seru.

Sayangnya film ini kebanyakan main-main. Persoalan polisi dan kelompok mafia pada akhirnya terasa jadi pengganggu dalam cerita Drakula dan abdinya. Membuat sudut pandang jadi ke mana-mana, tanpa ada ujung yang benar-benar ngefek ke cerita utama. Karakter polisi si Awkwafina buatku malah jatohnya jadi annoying, film jadi kayak mencoba too hard untuk membuat si polisi dan si Renfield jadi pasangan yang kocak dan sweet.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for RENFIELD

 

 

 

SISU Review

Salah satu aspek menarik dari John Wick original adalah ketika dia dianggap Baba Yaga. Ketika semua orang-orang dunia hitam itu gemetar membicarakan nama dan reputasinya. Sisu karya Jalmari Helander membawa aspek ini ke level berikutnya.

Sisu bisa dibilang istilah Finlandia untuk momok semacam Baba Yaga. Sisu berarti keberanian, determinasi, tak kenal menyerah, tak bisa mati. Karakter utama kita, seorang bapak-bapak, mantan tentara yang kini hidup sebagai penambang emas. Ketika satu-satunya sumber nafkah itu direbut oleh Nazi yang bertemunya di jalan pulang, bisa dipastikan balas dendam gila akan terus terjadi. Bahkan tentara Nazi gemetar ketika tahu siapa sebenarnya bapak, yang bahkan gak pernah bicara, yang terus mengejar mereka itu. Jalmari Helander memang juga sekalian membawa ‘balas dendam gila’ ke level berikutnya.

Luar biasa memuaskan, melihat aksi-aksi gore brutal yang disajikan film. Inilah yang sepertinya diincar; supaya penonton melihat Nazi kocar-kacir secara mengenaskan. Aksi-aksi tak-masuk akal menghiasi adegan-adegan Sisu yang temponya dijaga cepat. Dan memang menghibur. Tapi ketika hal-hal tak masuk akal diletakkan kepada cara-cara si bapak bisa terus hidup walau sudah digantung atau semacamnya, film tak lagi menyenangkan. Malah jadinya lebay yang merampas kita dari stake cerita. Konsep Sisu yang tak-bisa mati membuat film bebas ngadain banyak cara supaya si bapak bisa tetap hidup, akhirnya membuat keseluruhan film jadi mati konyol bagiku. Tone dramatis yang dibangun film jadi seperti terlupakan. Aku malah perlahan jadi lebih tertarik sama karakter pemimpin Nazi, yang motivasi dan tantangan dan stakenya benar-benar ada – tak dilindungi oleh plot nonsense yang bikin karakternya tak lagi manusiawi.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SISU

 

 




That’s all we have for now

Kita sudah mulai masuk caturwulan kedua 2023, tapi ternyata aku belum menemukan film yang pantas mendapat nilai di atas 8. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 8 (THE WHALE, AFTERSUN, ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT, NOKTAH MERAH PERKAWINAN, ELVIS, INFINITY POOL, WOMEN TALKING, BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER)

 

 

Normalnya, bulan Januari-Februari di bioskop itu agak adem ayem, karena biasanya film yang tayang di awal tahun itu ya tipe film yang ga rame enough untuk tayang di musim-musim liburan. Tapi di blog ini, bulan-bulan tersebut biasanya justru yang paling sibuk. Karena waktu tersebut merupakan last chance buat nontonin film-film yang kelewat di tahun sebelumnya, serta ngejar nontonin film-film yang masuk nominasi Oscar. Tahun yang sudah-sudah, blog ini entrynya paling banyak ya di bulan-bulan awal tersebut. Untuk itulah aku bersyukur bikin segmen Mini-Review.  Karena sekarang ku punya slot khusus untuk film-film itu, sehingga gak perlu kayak kebakaran jenggot lagi ngejar ngulasnya. Jadi, inilah Mini-Review pertama di 2023, yang di antaranya berisi tiga nominasi Best Picture Oscar yang baru saja ketonton!

 

 

 

AFTERSUN Review

Jika dirancang dengan baik, struktur penceritaan dapat mengangkat feeling yang terkandung di dalam narasi menjadi berkali-kali lipat lebih emosional. Aftersun, debut sutradara Charlotte Wells ini contohnya. Kisah seorang perempuan yang mengenang masa-masa liburan bersama sang ayah saat ia masih kecil, tidak diceritakan Charlotte dengan sedatar pakai flashback. Charlotte benar-benar paham dengan apa yang sedang ia sampaikan, dia punya visi yang kuat, sehingga tindak mengenang-masa tertentu itulah yang ia wujudkan lewat struktur dan gaya bercerita.

Nature dari kenangan yang episodik, dan much more dreamy dari reality itulah yang benar-benar divisualkan oleh film. Dijadikan hook emosional juga tatkala kenangan yang diambil itu dibentrokkan dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Di sinilah ketika film sekali lagi berhasil menjelma dengan luar biasa emosional. Sophie yang berumur 11 tahun lagi liburan di Turki bareng ayah, mereka ke pantai, main game, kenalan sama orang baru, berenang – semua yang manis-manis itu ditangkap oleh film lewat estetik, kamera, warna, bahkan suara yang kontras dengan sesuatu yang membayangi. Melalui interaksi mereka, keingintahuan kita tentang ini sebenarnya cerita tentang apa menemukan pegangan pada sesuatu yang lebih naas. Bahwa ini anak yang sedang menelisik ulang, sedang berusaha mengenali lebih dekat siapa sosok ayahnya, lewat kenangan yang bisa jadi satu-satunya yang ia punya tentang sang ayah.  Keputusan film untuk tidak ‘meneriakkan’ yang merundung Sophie saat dewasa, lantas menghantarkan kita pada apa yang menurutku membagi dua penonton film ini. Tidak puas karena tidak ada finality yang jelas. Atau tercenung merasakan aftertaste getir yang luar biasa kuat.

Namun di luar itu semua, aku yakin penonton bakal satu suara soal betapa hangat dan manis (tapi tragisnya) hubungan ayah dan anak itu tergambar. Chemistry antara Paul Mescal dan Frankie Corio tak pelak jadi pesona utama yang bikin kita semua peduli dan menyimak sampai habis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AFTERSUN

.

 

 

ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT Review

Semua film perang basically adalah propaganda anti-perang. Mereka menyampaikan itu dalam berbagai cara, ada yang menelisik propaganda untuk terjun perang itu sendiri, ada yang langsung mengajak penonton mengalami langsung suasana perang, ada yang mengeksplorasi dampak setelah perang, dan lain-lain. Intinya film-film itu akan menunjukkan betapa perang adalah sebuah horor kemanusiaan. Edward Berger dalam film perang adaptasi-novel ini, semacam menggunakan semua cara tersebut. All Quiet on the Western Front sungguh bakal jor-joran  membuat kita melihat horornya perang, dan membiarkan kita terhenyak dalam keheningan di ending, saat semua dar-der-dor dan dag-dig-dug dan asap tembakan itu hilang dari layar.

Momen yang buatku paling nohok adalah saat film actually memperlihatkan gimana para anak muda yang bersemangat jadi tentara itu sebenarnya gak tahu apa-apa, gak nyadar bahwa medan perang ternyata begitu mengerikan. Kontras antara yang mereka rasakan sebelum berangkat, dengan saat sudah berlarian diberondong peluru itulah yang buatku terasa baru di film ini. Sebagian besar dari karakter film ini ketakutan setengah mati! Kemudian emosi itu semakin menjadi-jadi tatkala kita melihat mereka sebenarnya tahu bahwa pihak lawan juga sama takut, sama tak berdaya, dan mungkin sama menyesalnya, tapi mereka tetap harus saling bunuh. Itulah yang buatku paling spesial dari film ini.

Sehingga bagian-bagian yang over-the-top kayak potongan tubuh di atas pohon, mayat-mayat dan sebagainya, teriakan dan desain musik yang agak trying too hard biar seram, terasa tidak lagi benar-benar diperlukan. Film ini sudah berhasil di momen-momen kecil yang menguarkan perasaan para pemuda di medan perang. Gimana mereka menikmati makan angsa colongan, untuk kemudian dikontraskan dengan kejadian di medan perang. Untuk film yang punya kata Quiet pada judul, narasinya sendiri agak terlalu banyak nge-generate noise yang menurutku bisa lebih diefektifkan lagi. But still, film ini tepat menembak sasarannya. Perang itu mengerikan!

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALL QUIET ON WESTERN FRONT

 

 

 

BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER Review

Kepergian Chadwick Boseman certainly ninggalin lubang menganga di hati para penggemar dan kolega-koleganya, dan ini juga tercermin pada franchise superhero yang ia tinggalkan. Lubang menganga dari kepergian karakter T’Challa sebagai protagonis di Black Panther terasa begitu susah untuk ditutup, membuat sekuel yang digarap oleh Ryan Coogler secara naratif terasa berantakan. Rewrite yang mereka lakukan buat karakter-karakter yang ditinggalkan terasa banget membekas, jadi rajutan kasar pada overall sajian filmnya.

Wakanda Forever bekerja terbaik ketika mendalami soal kematian T’Challa. Gimana dampaknya bagi Ramonda yang jadi naik tahta lagi. Bagi Shuri yang merasakan grief sekaligus menyalahkan diri sendiri atas kematian sang abang. Dan pada rakyat Wakanda lainnya. Aku pikir harusnya film menahan diri dan berkutat dulu pada masalah ini. Bikin Wakanda Forever sebagai complete tribute, bagi sang karakter, sekaligus aktornya. Tapi mungkin karena agak segan cashin’ in cerita dari real tragedi, atau mungkin karena film ini bagaimana pun juga adalah roda-gigi dari proyek yang gak bisa segampang itu diubah rancangannya, maka Wakanda juga langsung mentackle sekuel sebagai aksi superhero. Hasilnya mungkin kedua kepentingan itu masih bisa terikat, tapi menghasilkan bentukan yang weird dan terutama agak maksa bagi karakter pengganti superhero utama, si Shuri.

Durasi lebih dari dua jam setengah nyatanya gak cukup untuk bikin naskah superpadet ini rapi. Kita masih akan sering berpindah dari Shuri, ke karakter lain, membuat development Shuri jadi tidak terasa benar-benar earned. Ada aspek dari dirinya yang jadi kayak dilupakan, makanya relasi Shuri dengan Namor tidak pernah benar-benar terasa genuine. Namor pun terasa kayak penjahat random yang aksinya gak benar-benar fit in ke dalam narasi keseluruhan, rencananya terlihat aneh. There’s so much going on. Makanya aku lebih suka Quantumania yang lebih contained dan terarah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER

 

 

 

ELVIS Review

Yang unik dari biografi karya Baz Luhrman ini – selain karakter titularnya yang punya aksi nyentrik di panggung – adalah perspektif cerita. Kita tidak melihat cerita ini dari si Elvis himself, melainkan dari seorang Colonel Tom Parker. Manager sang Raja Rock ‘n Roll. Dan meskipun itu jadi modal film ini untuk bisa langsung netapin motivasi karakter itu sebagai penggerak cerita, dalam perkembangannya perspektif itu tidak pernah benar-benar jadi utama melainkan hanya terasa jadi excuse supaya cerita bisa ‘melayang’ dari satu titik di kehidupan dan karir Elvis ke titik lainnya, tanpa benar-benar mendalami kehidupan itu sendiri.

Padahal Austin Butler sudah benar-benar ‘serius’ menjelma jadi Elvis. Gaya bicara, mannerism, bahkan dandanannya terlihat lebih natural dan inviting ketimbang riasan over yang malah seringkali nutupin kecemerlangan akting Tom Hanks. Tapi film lebih memilih untuk merayakan teknis yang artifisial. Permainan montase dan editing terasa terlalu banyak, dan at times lebih glamor daripada gimana subjek (atau di sini jadi objek?) diperlihatkan oleh ceritanya sendiri. Permasalahan di karir seperti di-cancel TV karena aksi panggung yang seloroh, pandangan rasis waktu periode itu, dan lain sebagainya, tidak terasa benar-benar punya penyelesaian yang saklek. Hubungan naik-turun antara Elvis dan Colonel pun – karena ini supposedly cerita dari Colonel – tidak begitu memuaskan meskipun kita sudah berhasil tersedot untuk peduli.

Tapi di balik confused-nya diriku terhadap penceritaan dan fokus film ini, toh tak bisa dipungkiri juga film ini jadi punya energi luar biasa nyetrum. Dan mungkin inilah tujuannya. Membuat suatu presentasi yang seperti punya ruh Elvis itu sendiri. Sehingga ketika penonton menyaksikannya, film ini lebih dari sekadar menuturkan ulang kisah hidup si Bintang. Melainkan live-and-breath his personality.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ELVIS

 




INFINITY POOL Review

Nama Cronenberg memang tidak akan mengkhianati ekspektasi kita, karena Infinity Pool karya Brandon Cronenberg mungkin memang enggak se-jijik film bokapnya, tapi tetaplah sebuah pengalaman horor yang bikin badan jumpalitan saking aneh dan nekat konsepnya.

Film ini dimulai dengan premis yang sangat menarik. Penulis dan istrinya liburan di resort, mereka kemudian berteman dengan sesama turis, mereka have fun together, lalu uh-oh mobil mereka gak sengaja menabrak orang lokal hingga tewas. Si penulis, yang nyetir, dihukum mati oleh polisi setempat. Nah, hukuman matinya itulah tempat kegilaan konsep Brandon berada.  Ada sesuatu soal kelas sosial yang ingin dibicarakan di sini. Daerah turis yang melihat wisatawan sebagai kantong duit, dan turis yang merasa punya duit berarti bebas melakukan apapun; interaksi itulah yang membentuk konsep aneh cerita film ini.

Jadi aku menunggu. Nunggin buah apa yang bakal kita petik dari Penulis dan teman-teman kayanya sengaja berbuat onar karena mereka punya duit untuk membayar program clone.  Jadi yang dihukum mati adalah clone mereka, sementara mereka sendiri bebas ngelakuin apa saja termasuk kriminal. Tapi ternyata loop yang dimaksud pada judul, memang hanya repetisi. Dengan cepat keseruan tindak mereka jadi datar ketika tidak ada ujung, tidak ada konsekuensi nyata. Film kayak pengen bahas drama dari eksistensi, like, siapa tau si Penulis yang asli justru sudah mati – ketuker ama kloningan. Tapi enggak. Pengen bahas konflik antara Penulis dengan istrinya, juga enggak pernah benar-benar ke arah sana. Pada akhirnya yang kunikmati bahkan bukan gore-nya, namun kegilaan Mia Goth sebagai Gabi yang ternyata jauh lebih sinister dari kelihatannya. Calon adegan favorit tuh, Mia Goth teriak-teriak di babak ketiga hihihi

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INFINITY POOL

 

 

 

NOKTAH MERAH PERKAWINAN Review

Film yang paling banyak direkues nih, untuk diulas. Tapi aku baru bisa menontonnya saat tayang di Netflix. Dan I’m sorry to say, karya Sabrina Rochelle Kalangie ini might be jadi runner up kalo akhir tahun kemaren aku jadi publish daftar Top-8 Film Paling Overrated 2022

Kita udah bahas gimana Aftersun dan Elvis melakukan sesuatu dengan cara berceritanya sehingga film itu jadi terangkat jadi something else. Aftersun menjadi lebih emosional dan genuine, sedangkan Elvis jadi punya perspektif unik sebagai landasan narasi. Noktah Merah juga berusaha membuat nature datar dari cerita rumah tangga yang sus ada perselingkuhan punya spark, dengan sedikit ‘mengacak’ perspektif. Tapi strukturnya itu tidak berbuah apa-apa selain perspektif yang aneh (kalo gak mau dibilang kacau). Film ini narasinya dibuka oleh karakter ‘pelakor’. Seolah dia karakter utama. Dia curhat kepada karakter lain soal dia cinta sama pria yang beristri, tapi yang kita lihat sebagai ‘cerita’ dari dia itu tidak pernah mewakili perspektifnya. Kita melihat drama biasa, yang actually di luar perspektif sang karakter. Cerita ini lebih cocok kalo membuat sang istri jadi karakter utama, jika perspektif istri yang jadi utama. Karena semua masalah itu sepertinya ada di kepala karakter ini. Walaupun nanti si pelakor dan istri bertemu, tapi perspektif para karakter ini gak pernah melingkar, karena cerita resolve (tau-tau) dari persoalan anak. Naskah film ini jadi benar-benar choppy setelah usaha untuk membuat penceritaannya bergaya.

Momen emosional film pun hanya bersandar pada dialog-dialog banal istri dan suami yang saling meledak. Sementara untuk momen-momen yang ‘diam’, yang diserahkan kepada kita untuk merasakan masalah atau emosi, film ini gak benar-benar punya. Karena dengan perspektif yang gak kuat, momen-momen tuduhan istri atau momen yang bisa jadi-masalah, ya hanya terlihat seperti kekeraskepalaan sang istri, atau suami yang ‘melarikan diri’. Momen-momen yang mestinya genuine feeling itu jadi hanya annoying.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NOKTAH MERAH PERKAWINAN

 

 

 

THE WHALE Review

The Whale is beautiful. Sedih, sih, memang. Tapi beautiful, Aku jeles. See, aku orangnya masa bodo dan sering dikatain hidup di dunia sendiri, jadi iri adalah satu rasa yang paling gak relate buatku, tapi ya, aku berhasil dibuat Darren Aronofsky merasa iri kepada Charlie, pria yang really let himself go sampai membahayakan dirinya sendiri.

Aku iri karena Charlie masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia percaya cinta itu ada, dan mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka. Makanya karakter Charlie ini begitu kontras. Di kala sendiri kita melihat his destructive behavior terhadap diri sendiri, makan segitu banyak sampai jantungnya berontak. Gak mau ke dokter karena dia nyimpan duit untuk putrinya. Yang grew up membenci dirinya. Ada begitu banyak adegan yang hard to watch, hingga ke perilaku putri Charlie (Sadie Sink sukses jadi anak paling nyakitin sedunia akhirat) Tapi film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan, melihat Charlie menyerap itu semua sebagai hukuman diri, dan menumpahkan cintanya di balik itu semua. Tanpa harap kembali. Itulah bentuk dia dealing with grief dan rasa bersalahnya.

Drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Ini adalah cerita seorang pria yang nothing to lose, melainkan punya banyak untuk dibagi kepada dunia yang bahkan terlalu jijik untuk memandangnya. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE WHALE

 

 

 

WOMEN TALKING Review

Sebagai nominasi Best Picture Oscar, Women Talking karya Sarah Polley memang benar bicara tentang hal yang relevan, dengan cara yang menggugah pikiran dan hati kita sekaligus. Mengenai perjuangan perempuan, yang masih saja terus seperti berada di posisi jahiliyah di mata kuasa lelaki. Untuk itu saja, film ini mampu bikin kita tetap melek, pasang telinga, menyimak apa yang mereka permasalahkan. Untuk ikut mencari apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ikut peduli sama masalah ini, lebih dari soal feminis tapi jadi soal kemanusiaan pada dasarnya.

Perempuan-perempuan dalam film ini berembuk setelah sekali lagi, salah satu dari mereka terbangun dalam keadaan sudah tak-perawan. Dibius pake obat bius sapi. Diperkosa oleh laki-laki, sekampung sendiri. Para perempuan itu mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal di koloni, dan berontak melawan. Atau pergi dari sana. Sebagian besar durasi film yang warna dan settingnya juga dibikin kayak kisah jadul ini membahas tentang debat para perempuan, mikirin pro dan con dari dua pilihan tersebut. Dan demi Tuhan – oh aku bakal dirujak ngatain ini – film ini jadi boring karenanya. Debat mereka repetitif, dan terasa seperti percakapan yang mengawang-awang ketimbang solving problem.

If anything, aku teringat dan jadi membandingkan ini sama 12 Angry Men (1957). Yang kayaknya kukasih 8 atau bahkan 9 kalo mau direview. Percakapan pada film itu terasa benar-benar lock dan punya weight dan pada gilirannya emosional untuk disimak, karena ironisnya punya dasar logika yang kuat. Orang bilang cowok naturally lebih pakai logika ketimbang perasaan, but no, justru masalah di cerita itu muncul ketika para juri pria itu mendakwa tersangka dengan perasaan. Prasangka. Dengan judgmental. Mereka, para cowok, juga harus belajar melihat dengan logika. Dan di situlah letak mengawang-awangnya Women Talking. Argumen-argumen mereka terasa seperti perbincangan logis yang diputar-putar oleh perasaan. Sehingga masalah itu enggak selesai-selesai. Mungkin memang itu tujuannya. Memperlihatkan bahwa bagi wanita, semuanya susah, apa-apa pasti dijudge, bahkan di antara mereka sendiri. Di sini protagonisnya karakter optimis juga kayak Charlie di The Whale, dia dihamili tapi masih percaya pada potensi dia akan memaafkan sang pelaku, siapapun itu. Sehingga keputusan yang mereka ambil dari sikap-sikap kayak gini jadi terasa emosional dan penting.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WOMEN TALKING

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini semua film nominasi Best Picture Oscar sudah kureview, silakan follow akun twitterku di @aryaapepe karena biasanya menjelang Oscar aku suka bikin prediksi di sana hehehe

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 7 (TAR, THE BANSHEES OF INISHERIN, DECISION TO LEAVE, THE FABELMANS, THE BIG 4, SHE SAID, RRR, HOLY SPIDER)

 

 

Wow, mini-review kali ini gede banget! Lihat saja film-filmnya. Salah-salah, artikel ini bisa disangka daftar film terbaik 2022. Secara banyak kontender Oscar! Sabaarr, daftar terbaikku masih belum keluar. Justru baru akan dikeluarkan setelah mini review ketujuh ini. Mini-review yang berisi batch terakhir dari film-film tahun 2022 yang kutonton dan kuulas. Tahun ini memang dahsyat, maka paling tepat kalo berakhir dengan membahas film-film yang dahsyat juga. Inilah, Mini-Review Edisi Desember, edisi penutup tahun 2022!

 

 

 

DECISION TO LEAVE Review

You named it; si kaya dengan si miskin, anak geng satu dengan geng lawannya, vampir dengan mangsanya, cerita forbidden love selalu seksi. Park Chan-wook mendorong ini lebih jauh lagi dengan menghadirkan romansa antara detektif dengan perempuan yang harusnya ia tangkap. Relationship dua karakter sentral inilah yang bikin kita semakin mantap memutuskan untuk enggak leave saat menonton Decision to Leave. Kebayang dong, gimana susah dan impossiblenya situasi mereka untuk bersama. Apa yang si detektif pertaruhkan untuk bersama dengan perempuan tersebut. Dan film ini gak mau kasih kendor. Semua layer ia isi dengan bobot. Pembahasan soal guilt, obsesi, dinamika rumah tangga dimasukkan oleh Park Chan-wook seolah penyair yang sedang menyempurnakan sajak puisinya dengan rima. Seperti itulah persisnya Decision to Leave. Thriller romance yang puitis.

Aku sempat mikir, film ini kayak berangkat dari anekdot ‘gadis di pemakaman’ yang mungkin kalian sudah pernah juga mendengar. Itu loh, anekdot yang nyeritain seorang wanita yang ngeliat cowok ganteng di pemakaman ibunya, lalu beberapa hari kemudian si wanita membunuh adiknya, dengan harapan bisa ketemu lagi dengan si cowok ganteng. Anekdot itu dikenal sebagai tes psikopat. Dan persis kayak itulah karakter si perempuan love interest detektif di film ini lama-kelamaan. Aku merasa pembunuhan kedua sengaja ia lakukan karena tau si detektif tinggal di daerah yang sama. Saking cintanya orang bisa melakukan hal yang psiko, bahkan si detektif juga menyerempet ‘gak-waras’ saat dia melindungi perempuan yang ia cinta tersebut.

Decision to Leave bisa sangat berat untuk ditonton karena pilihan-pilihan karakternya. Juga karena film memilih bercerita dengan cara yang, not exactly bolak-balik, tapi juga gak lurus. Honestly, aku sempat bingung juga nontonnya. Dibingungkan oleh, I’m sorry to say this, pemainnya kayak mirip-mirip semua. Aku harus nonton ini dua kali. Dan begitu udah tahu gambaran besarnya, aku mulai bisa ‘mengenali’ siapa yang siapa. Dan juga mulai lebih bisa mengapresiasi kejeniusan cara film ini dalam menceritakan bagian penyelidikan ataupun flashback; dengan meleburkan present dan past sehingga seolah karakter cerita itu langsung berada di sana.

 

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DECISION TO LEAVE

.

 

 

HOLY SPIDER Review

Dari cerita kriminal satu ke kriminal lainnya. Hanya saja there will be no love dalam film yang diangkat sutradara Ali Abbasi dari kasus kriminal nyata di kota Iran ini. Malahan, kesan setelah nonton Holy Spider beneran terasa seperti abis melihat laba-laba. Shock, ngeri. Merinding. Jijik.

Menit-menit awal dibuild up sebagai proses perjuangan jurnalis perempuan menulis dan mengungkap kasus pembunuhan berantai PSK di jalanan kota Mashhad. Perjuangan, as in, di daerah muslim seperti itu gerak perempuan seperti Rahimi jelas terbatas. Pertama, perempuan berambut pendek itu harus menutup aurat. Kedua, di sistem yang mengharuskan laki-laki sebagai pemimpin, tentu saja manusia-manusia lelakinya bisa kebablasan power dan Rahimi harus berurusan mulai dari polisi yang balik melecehkan dirinya hingga ke kerjaannya yang dipandang sebelah mata bahkan oleh keluarga korban. Cerita fiksi mungkin akan berakhir happy.  Orang yang jahat akan kalah, dan heroine kita dapat reward. Namun Holy Spider bukan fiksi. Sutradara kita mengambil materi asli bukan untuk lantas mengubahnya menjadi dongeng pengantar tidur. Holy Spider benar-benar akan menelisik keadaan di sana, mengangkat pertanyaan kenapa ini bisa terjadi, dan kemudian membenturkan Rahimi dengan si pelaku kejahatan.

Bagian yang membahas dari sisi pelaku, inilah paruh cerita yang bener-bener bikin kita shock. Gimana si pelaku malah dianggap pahlawan. Gimana keluarga pelaku malah bangga terhadap ayahnya. Film tidak melakukan ini dengan sengaja supaya dramatis, melainkan justru mengajak kita menelisik apa yang salah dengan society dan cara pandang mereka terhadap ajaran agama. Satu momen yang bikin aku percaya film ini dibuat dengan niat yang benar adalah ketika memperlihatkan pelaku kelimpungan ketika istrinya pulang padahal di ruang keluarga, dia baru saja membungkus mayat korban dengan karpet.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for HOLY SPIDER

 

 

 

RRR Review

Aku paling jarang nonton film India, but when I do, film yang kutonton karena katanya bagus itu, biasanya memang bagus. Termasuk RRR karya S.S. Rajamouli ini.

Pikirku aku telah melihat semuanya. Oh cerita dua cowok – yang begitu sama namun  juga begitu berbeda; membuat keduanya jadi kayak ‘good friends better enemies’ – yang dibuild up menuju pertarungan keduanya, kupikir akan berakhir ya di berantem. Namun momen berantem itu sudah muncul jauh sebelum durasi habis. Apalagi yang dibahas? Naskah film ini benar-benar menuntaskan cerita hingga ke sudut-sudut latarnya. Inilah yang bikin film India kayak RRR ini begitu megah, begitu besar. Durasi sepanjang itu bukan hanya digunakan untuk adegan-adegan aksi yang panjang. Bukan hanya untuk adegan-adegan nari yang konyol (toh film ini berhasil memasukkan adegan nari-nyanyi menjadi suatu kepentingan kultural) Tapi bahasan ceritanya juga. Film ini kayak, Goku-Bezita yang dikembangkan oleh berjilid-jilid komik Dragon Ball, dibahas tuntas dan bahkan lebih deep oleh film ini dalam sekali duduk pada Bheem dan Ram.

Dan soal actionnya, man. Film ini gak ragu untuk jadi over the top, tapi gak pernah terasa receh. Action-actionnya gak masuk akal, tapi karena landasan karakternya begitu kuat, kita jadi no problem ngesuspend our disbelief. Kita menikmati itu semua sebagai rintangan, sebagai kait drama yang harus dikalahkan oleh para karakter. Film ini buktiin kalo jadi over-the-top, gak musti harus berarti kehilangan otak dan hati.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for RRR

 

 

 

SHE SAID Review

Enggak beberapa lama setelah nonton Like & Share (2022) yang menurutku terlalu gamblang bicara soal numbuhin empati pake ‘lihat, dengar, dan rasakan’, aku menonton film temannya si ucup ini(“Si Sa-id” hihihi). Dan garapan Maria Schrader ini mengonfirmasi pernyataanku soal empati enggak harus pakai ‘lihat’. Cukup ‘dengar dan rasakan’

Diangkat dari kisah nyata perihal terungkapnya kasus pelecehan seksual dan abuse yang dilakukan oleh produser Harvey Weinstein kepada aktris-aktris selama beberapa tahun, She Said gambarin perjuangan tim jurnalis untuk meliput kasus tersebut. Kesusahan dan rintangan yang mereka temui, sebagian besar datang dari korban yang tidak berani mengakui. Yang sudah terikat hukum yang memihak kepada kubu yang lebih berpower. Yang aku suka dari film ini, yang bikin kita in-line dengan protagonis, adalah gak sekalipun film ini bercerita dengan eksploitatif terhadap korban. Tidak seperti Like & Share yang merasa perlu untuk memperlihatkan adegan diperkosa sampai dua kali supaya kita berempati sama karakter korban, She Said tidak sekalipun menampilkan adegan ‘reenactment’ atau apalah namanya. Spotlight tetap pada cerita korban, dan bagaimana yang mendengar harus percaya, karena itulah bukti yang mereka punya, mendengar itulah satu-satunya cara suara korban ini sampai ke telinga publik. Tanpa judgment lain.

Beberapa kali, aku duduk menatap layar, menggigit kuku dengan bimbang. She Said banyak menggunakan adegan reka-ulang. Setiap kali ada korban yang diwawancara, kita juga melihat adegan rekayasa kejadian si korban saat semua itu terjadi. Film ini akan jatuh eksploitatif jika memperlihatkan the exact moments pelecehan. Tapi tidak pernah, tidak satupun, momen tersebut digambarkan – dipertontonkan kepada kita. Alhasil, film ini jadi lebih powerful. Messagenya pun tersampaikan dengan anggun.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SHE SAID

 




TAR Review

Tod Field berhasil mengecoh banyak orang. Aku juga kecele. Kirain Lydia Tar adalah orang beneran, dan film ini adalah biopik. Ternyata enggak. Tar is completely fiction. Mengapa banyak orang bisa kemakan promo dan menganggap Tar kisah nyata? Jawabannya simpel. Karena Tar meskipun karakternya ‘ajaib’ tapi ceritanya grounded dan permasalahannya juga relevan. Orang bisa jatuh dari posisinya hanya karena berita, sudut pandang sepihak.

Yang menakjubkannya adalah Tar bicara semua itu lewat dunia yang gak familiar, setidaknya buatku. Aku mana paham soal kerjaan konduktor musik, mana ngeh soal seni musik klasik, mana open sama soal-menyoal sponsorhip dan politik untuk sebuah pagelaran konser musik klasik – I don’t even know if I’m using the right words!! Namun directing dan actingnya begitu precise, kita tidak bisa untuk tidak tersedot ke dalam dunia ceritanya. Sekuen ketika Lydia ngajarin anak muridnya yang gak mau mainin musik dari Bach karena si komposer terkenal misoginis, bener-bener akan buka mata kita tentang soal menjadi ‘woke’. Kalo kita masih bertanya-tanya gimana caranya misahin seseorang dengan karyanya, maka dialog Lydia pada adegan tersebut bisa dijadikan tutorial.

Ya, of course, nyawa Tar ada pada karakter utamanya. Ada pada pemerannya, Cate Blanchett. Mannerism-nya, sedikit keangkuhan tapi kita tak bisa menegasi kebrilianan karakter ini, menguar kuat dari penampilan akting Blanchett. Dia juga menunjukkan range luar biasa, saat cerita sampai pada titik terendah Lydia. Enggak semua momen film ini diniatkan serius dan berat, justru kebalikannya. Film ini tampak berusaha memanusiakan karakternya, sehingga kita dapat satu adegan musikal performance yang kocak berjudul Apartment for Sale. Weird Yankovic aja ampe kalah ‘sinting’ dari Lydia!!

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TAR

 

 

 

THE BANSHEES OF INISHERIN Review

Sepintas, dua pria dewasa berantem diem-dieman sampai bakar-bakar rumah terdengar seperti sesuatu yang lucu. Sutradara Martin McDonagh juga memang meniatkan hal tersebut sebagai premis yang lucu sebagai pemantik drama. Tapi aku tahu aku tidak bisa membawa diriku untuk tertawa. Sebab buatku The Banshees of Inisherin hits too close to home. Alias nyaris amat relate sekali.

Film yang dishot secara cantik ini sungguhlah bicara tentang hal yang tragis. Naskah dan arahannya bener-bener tau cara menggarap tragedi menjadi komedi dengan efektif. Komedi di sini bukan untuk mengurangi impact tragedinya, melainkan jadi bangunan perspektif yang kokoh. Like, orang memang bisa sekonyol dan sekeras kepala Padraic ketika mereka tiba-tiba diantepin seperti demikian. Kita seringkali tidak sadar bagaimana orang memandang diri kita. Other people would find us annoying, too much, or… dull, dan kita seperti Padraic tidak bisa melihat itu sendiri. Kita butuh orang lain yang ngasih tau. Dan setelah itu, kita butuh something yang membantu kita mencerna dan mempercayai hal tersebut. Film ini bekerja dengan tone dan perspektif yang kuat dalam menggambarkan keadaan tersebut. Yang membuatnya lantas menjadi bahasan eksistensi, dan mutual respek. yang efektif. Seberapa tangguh kita menghadapi penolakan. Makanya salah satu adegan paling keren di film ini adalah saat ada anak muda yang nembak cewek yang lebih tua. Scene tersebut, udahlah maknanya nyess, tapi juga dimainkan dengan luar biasa oleh Barry Keoghan. I feel for everyone in this movie.

Lihat bagaimana Padraic masih saja melanggar padahal Colm sudah mengancam bakal memotong jarinya sendiri jika Padraic masih nekat bicara kepadanya. Aku terhenyak menonton ini. Aku dulu pernah ngejar ‘pertanggungjawaban’ orang yang ngedieminku, seperti Padraic ngejar Colm. Namun baru melalui film inilah aku ngerti apa yang sebenarnya ‘terjadi’ saat itu.  Film ini benar-benar hits hard.

Sekarang aku pengen bakar rumah.

The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for THE BANSHEES OF INISHERIN

 

 

 

THE BIG 4 Review

Mungkin, mungkin kalo aku masih SMP atau lebih muda lagi, aku bakal suka sama action komedi pertama Timo Tjahjanto ini. Karena The Big 4 adalah film simpel with nothing but aksi kocak, karakter ngelawak, dan kata-kata serapah. Yang paling bisa diapresasi dari film ini adalah melepaskan pemain dan karakter mereka dari belenggu jaim, sehingga kita semua dapat momen-momen gila mulai dari penjahat jago salsa, ariel mermaid joget, hingga ke grown man jatuh cinta sama senjata api. Tambahkan itu dengan adegan-adegan aksi yang benar-benar digarap playful. Jadilah entertainment. Gak perlu nontonnya pake otak.

Satu-satunya cara film ini jadi sesuatu adalah dengan literally ngasih sesuatu yang unik, khas dirinya sendiri. Kenapa? karena to be honest, tahun ini saja kita sudah dapat film semacam RRR dan Bullet Train yang membuktikan action absurd, konyol masih bisa dilakukan dengan naskah yang mumpuni. Bahwa ‘entertainment’ bisa dilakukan tanpa harus ninggalin otak di dalam lemari. Tanpa menciptakan kotaknya sendiri, The Big 4 hanya akan jadi batas bawah dari kelompok action absurd tersebut. Apalagi mengingat film ini memang tidak punya apa-apa lagi. Plotnya standar cerita geng ‘seperguruan’ kayak cerita-cerita film HongKong. Development karakternya gak ada karena ini adalah film yang naskahnya dikembangkan lebih dengan ‘ternyata’ ketimbang journey. Dan akting yang generik komedi-action (akting Abimana cukup mengejutkan, tho)

Film ini toh punya modal untuk jadi franchise aksi komedi yang benar-benar gokil. Semoga kalo dilanjutkan, filmnya digarap dengan jauh lebih baik lagi

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for THE BIG 4

 

 

 

THE FABELMANS Review

Tahun 2022 kita dapat dua film dari Steven Spielberg. Nikmat mana lagi yang mau kita dustakan.

Serius.

The Fabelmans terutama dan utama sekali, membuat kita semakin terinspirasi untuk bisa membuat film yang bagus. Secara ini adalah cerita yang diangkat dari keluarga dan masa kecil Spielberg himself. Film ini lebih impactful buatku ketimbang Licorice Pizza dan Belfast, dua film yang juga dari kisah hidup sutradaranya masing-masing, dan dua film itu jelas bukan film ecek-ecek. The Fabelmans terasa melampaui keduanya karena storytelling yang amat personal dari Spielberg dapat kita rasakan menguar dari adegan demi adegan. Mari bicara tentang adegan-adegan Sammy membuat film kecil-kecilan. Kita melihat dia sedari kecil suka dan bereksperimen dengan kamera. Film dengan keren membuild up kecintaan Sammy terhadap sinema dengan memperlihatkan reaksinya yang selalu terbayang adegan kecelakaan kereta api yang ia tonton di bioskop (awalnya dia takut masuk bioskop). Ini kan obsesi sebenarnya, tapi Spielberg yang paham selangkah tentang bercerita lewat perspektif anak kecil, menghandle itu semua dengan begitu… pure! Ketika gedean dikit, Sammy membuat film koboi untuk diputar di depan teman-teman sekelas. Momen dia menemukan cara untuk ngasih efek ledakan ke pita filmnya, maaannn, momen-momen kayak gini yang kumaksud ketika kubilang film ini menginspirasi. Dan lantas kita diperlihatkan dengan dramatis gimana film yang dibuat Sammy selalu sukses mempengaruhi, selalu menimbulkan kesan mendalam, kepada siapapun penontonnya. Aku pengen bisa kayak gitu!

Bagian itulah yang digunakan Spielberg untuk memasukkan konflik. Sammy menyelesaikan urusannya dengan tukang bully di sekolah. Sammy yang pertama kali menyadari ibunya enggak cinta dengan ayahnya. Lewat kerjaan dia membuat film, mengedit adegan.  Ya, at heart film ini cukup tragis dengan konflik keluarga. Tapi semua itu diceritakan film ini lewat tutur yang beautiful. Lewat akting yang cakep pula. Mulai dari Paul Dano, Seth Rogen, Michelle Williams, cameo David Lynch, serta Gabrielle LaBelle dan aktor muda lainnya (mataku khususnya tertuju kepada Julia Butters – terakhir kali lihat dia adu akting dengan DiCaprio di Once Upon a Time in Hollywood) Spielberg memang masterful dalam ngedirect. Semua visinya seperti mengalir deras ke karakter-karakter. The Fabelmans benar-benar film tentang magic of a movie!

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE FABELMANS

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini rampung sudah reviewku untuk tahun 2022. Film-film yang sudah tertonton tapi belum direview akan kumasukkan ke penilaian 2023, jika ada. Yang jelas; Nantikan bulan depan ada Daftar Top-8 Movies tahun ini, serta My Dirt Sheet Awards yang akhirnya kuadain kembali.

Thanks for reading.

Selamat tahun baru semua. Enjoy cinema!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 6 (SMILE, BARBARIAN, PEARL, BULLET TRAIN, PIGGY, HELLRAISER, PINOCCHIO, THE WOMAN KING)

 

 

Atau bisa juga dibilang ini adalah Mini-Review edisi Halloween! Gimana enggak, bulan kemaren hampir semua film yang keluar dalah film horor, aku sampai kelimpungan nonton, nulis dan edit video reviewnya hihihi. But yea, halloween tahun ini jadi sangat berkesan. Karena memang filmnya sebagian besar bagus-bagus. Kalo saja aku punya waktu lebih dari 24 jam sehari, pastilah film-film di sini kubikinin full-reviewnya. Sayangnya gak ada Peri Biru yang datang mengabulkan permintaanku, sehingga jadilah Mini-Review Volume Keenam ini untuk dibaca oleh kalian yang setia nanyain “mana nih review-reviewnyaa?”!

 

 

 

BARBARIAN Review

Barbarian garapan Zach Cregger adalah dua kejadian struktur yang tak-biasa. Pertama, struktur rumah airbnb yang ada dalam kisah horor ini. Basement bangunan tersebut bukan saja menyimpan ruang rahasia, melainkan lorong panjang tersembunyi seperti labirin, tempat sesosok deformed creature tinggal. Kedua, struktur narasinya. Barbarian yang awalnya mengisahkan Tess, cewek yang menginap di airbnb, tapi rumah itu sudah ditempati oleh penyewa lain (mereka berdua bakal aware ada penghuni satu lagi di bawah sana dalam cara yang mengerikan!) ternyata di tengah durasi juga akan bercerita tentang AJ, cowok terkenal pemilik rumah tersebut, yang pengen menyepi ke sana tapi menemukan ada sesuatu yang aneh yang tidak ia tahu sebelumnya.

Struktur tak-biasa yang dimiliki film ini, pertama memberikan pengalaman horor two-in-one yang cukup seamless (meskipun ceritanya sempat terjeda). Misteri yang melatarbelakangi horor dalam Barbarian jadi punya cara reveal yang unik, memberikan kejutan-kejutan yang tak pernah terasa lebih besar daripada gagasan yang diusung. Kedua, struktur tak-biasa itu walau memberi kita momen untuk terlepas dari cerita saat switch karakter, ternyata juga membuka ruang untuk perspektif yang lebih luas. Dan itulah yang diincar film ini dengan resiko tukar-karakter tersebut.

Bahwa gagasan soal gender perspektif-lah yang ingin dikuatkan. Film ingin bukan saja memperlihatkan bagaimana cowok dan cewek memandang dunia dengan begitu berbeda karena situasi juga meng-treat mereka berbeda, tapi juga membuat kita mengerti bahwa sesungguhnya hal tersebut adalah horor. Tolak banding perempuan dan laki-laki (yang satu bisa seenaknya merasa dirinya baik dengan semena-mena ngatur, sementara yang satunya lagi harus toughen up karena seems like tidak ada tempat aman di dunia bagi mereka) itulah yang membuat Barbarian sebagai horor yang menarik. Karena perspektif itu bukan saja dari Tess dan AJ, melainkan juga dari si creature dan dalang di balik semua.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for BARBARIAN.

.

 

 

BULLET TRAIN Review

Ada masa ketika aku merasa diri sebagai orang paling sial di muka bumi. Email yahoo-ku dulu jaman sekolah literally ‘the most unlucky man’. Guru-guru, dan dosen, ampe ketawa-ketawa membacanya. Disuruh ganti, kutak mau. Aku sial, and proud of it. Duh, coba kalo David Leitch udah bikin Bullet Train pada masa itu!

Di balik fast-pace action di ruangan sempit atau terbatas dan sejumlah karakter unik yang kocak – yang membuat film ini jadi paket hiburan yang seru dan benar-benar menyenangkan – ada filosofi tentang memandang hidup pada narasi. Ladybug yang diperankan oleh Brad Pitt juga merasa dirinya sial. Sepanjang perjalanan di dalam kereta peluru itu, Ladybug yang jadi agen bayaran, rebutan koper dengan geng kriminal, agen saingan, dan pihak-pihak lainnya, dan mereka semua bicara tentang takdir. Tapi manusia adalah beragam karakter, sehingga hidup biarpun lurus seperti rel, manusia bukanlah kereta api yang cuma ngikut rel. Kita melihat begitu banyak ‘perubahan’ dari karakter-karakter. Dinamika mereka membuat film ini semarak dan hanya jadi semakin seru.

Film ini saking kreatifnya dalam menekankan bahwa mereka semua ditakdirkan di sana, bahwa sial atau untung hanyalah tergantung kita – manusia yang gak bisa melihat gambaran besar – memaknainya, membuat semacam flashback introduksi untuk setiap karakter. Yang bahkan botol mineral saja ada fungsi dan pengenalannya! Hihihi

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BULLET TRAIN

 

 

 

HELLRAISER Review

Dari beberapa remake/sekuel modern horor ikonik yang tayang musim halloween kemaren, Hellraiser  adalah yang paling enjoyable, dan terlihat benar-benar dapet inti horor dan respek kepada versi originalnya. David Bruckner mengerti bahwa Hellraiser dan para Cenobite adalah soal manusia dapat menjadi begitu tamak, sehingga dengan pain atau derita saja bisa kecanduan. Di sini, Bruckner memperlihatkan journey seorang perempuan yang kecanduan alkohol untuk menyadari dan berjuang keluar dari neraka dunia yang sedang ia gali sendiri. Dan ya, itu adalah perjuangan berat penuh godaan dan berdarah-darah.

Tantangan untuk film ini adalah membuat protagonis dari karakter seperti demikian. Film tidak berhasil sepenuhnya melepaskan karakter dari label annoying dan mudah untuk dipedulikan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Riley yang diperankan oleh Odessa A’Zion adalah protagonis horor yang bagus, and she will win us over. Bicara soal karakter, Cenobite adalah ikon dari Hellraiser, dan kali ini Bruckner menghidupkan mereka dengan bahkan lebih ngeri lagi. Desainnya benar-benar juara. Aku suka gimana film membuat para Cenobite seperti menyimbolkan manusia yang mengenakan derita mereka. Cenobite di sini gak lagi pakai pakaian berbahan kulit, kulit sendirilah yang seolah jadi pakaian. Lihat saja ‘rok’ si Pinhead, itu kulit tersayat. Jamie Clayton juga dapet banget memainkan persona Pinhead sebagai khas dirinya sendiri.

Soal desain dan horor (body horor) memang film ini peningkatan. Kostum dan efek praktikal dimainkan dengan mulus bersama efek komputer yang digunakan sebagai penunjang. Salah satu adegan yang masih terbayang olehku adalah ketika salah satu karakter ditusuk lehernya pakai jarum, dan kita akan melihat gambar dari sudut dalam kerongkongan si karakter. Ngilu!!

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HELLRAISER

 

 

 

PEARL Review

Masih ingat nenek jablay antagonis di film X sekitaran paruh-awal tahun ini? Sesuai judulnya, Pearl adalah film yang menceritakan backstory si nenek yang namanya Pearl itu. Tapi yang paling penting adalah, Pearl merupaka pertunjukan kehebatan Mia Goth sebagai bintang horor!

Banyak film yang ngangkat tokoh jahat atau pembunuh sebagai protagonis, namun failed malah bablas ngasih simpati sehingga karakter itu jadi tampak tidak jahat lagi. Sutradara Ti West lebih bijak dari film-film tersebut. Pearl di balik keluguan gadis desa yang nyaris kayak anak kecil itu no doubt adalah seorang yang jiwanya ‘agak laen’. Tentu, kita relate ke Pearl soal betapa dia pengen mengejar mimpi; Pearl merasa terkurung di rumah peternakan, dia percaya bisa jadi bintang film terkenal, tapi simpati kita tidak pernah lebih dari itu. Salah satu film yang berhasil menggarap perspektif tokoh pembunuh sebagai karakter utama adalah Henry: Portrait of a Serial Killer (1986), di film itu dramatic irony-nya adalah kita dibuat merasakan yang dirasa oleh calon korban. Kita berpikir mungkin Henry enggak jahat, untuk kemudian di ending film menegaskan orang seperti apa dirinya. Nah, film Pearl memang tidak sampai membuat kita  seperti korban, atau malah menyalahkan korban Pearl. Dramatic irony yang dikeluarkan oleh film ini adalah kita merasa sayang melihat talent dan mimpi polos tersebut harus ada di dalam tubuh dan jiwa dan mental yang sudah beyond repair. Makanya adegan-adegan seperti monolog dan senyum panjang di kredit itu sangat powerful. Pearl bukan hanya membunuh orang tua dan sahabatnya. Pearl membunuh ke-innocent-an dirinya.  Dan glimpse dari itu nongol saat monolog dan senyum tersebut.

Itu juga sebabnya kenapa Mia Goth harus diganjar award tahun ini, apapunlah itu awardnya. Penampilannya sebagai Pearl luar biasa. Selain monolog, dan senyum kredit, yang aku yakin bakal jadi ikonik tersebut, Goth tackle banyak lagi adegan keren, seperti adegan nyanyi saat audisi dan di peternakan. Range yang sungguh luar biasa!

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PEARL

 




PIGGY Review

Premis drama horor/thriller karya Carlota Pereda ini menarik. Sara si anak tukang daging dibully oleh remaja sepantarannya karena berat badan. Sara jadi nutup diri, gak pede. Yang akhirnya datang membela Sara bukan orangtua ataupun sahabat, melainkan adalah seorang pria asing, yang ternyata adalah serial killer.

Piggy jelas menyasar soal bullying. Film Spanyol ini mengeksplorasi gimana pembullyan pada remaja bisa demikian parah dan kasarnya, sehingga berdampak mengerikan bukan saja kepada psikologis korban, namun juga jadi mengacaukan moral korban. Film ini ingin membuat kita merasa Sara berhak marah dan memilih untuk melakukan apa yang ia lakukan. Konflik batin pada Sara inilah yang mestinya kita perhatikan. Jadi diceritakan Sara sebenarnya melihat teman-temannya diculik oleh si serial killer, tapi karena mereka semua jahat kepadanya, maka Sara memilih diam. Tidak lapor ke polisi. Tidak menceritakan ke orangtua. Film bahkan dengan berani mengangkat Sara justru jadi punya hubungan romantis dengan si pembunuh yang telah ‘baik hati’ memberikan dirinya pakaian tatkala teman-teman menyembunyikan bajunya. Saking trauma dan jahatnya pembullyan, Sara sampai dibuat lebih simpati sama serial killer!

Ini pesan dan narasi yang sungguh kuat konfliknya. Melihat Sara terus didera pergulatan personal mengenai apakah yang ia lakukan adalah benar, menghasilkan perasaan yang juga memakan kita dari dalam. Sayangnya, menurutku film kurang ketat menjaga naskah dan arahan. Piggy jadi kurang nendang karena seperti mau mengarah ke satu hal lain yang lebih ekstrim, tapi balik lagi ke hal lain yang lebih grounded. If anything, film ini tampak seperti urungkan horornya, karena masih ingin sopan kepada si subjek. Singkatnya, film ini agak menahan diri sehingga impactnya jadi kurang kuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PIGGY

 

 

 

PINOCCHIO Review

Anak kecil juga tahu, Pinokio adalah dongeng yang ngajarin untuk gak boleh bohong, dan bahwa anak manusia haruslah rajin belajar dan membantu serta menghormati orangtua. Disney, however, dalam usaha minimalnya untuk nyari duit sembari terlihat woke, mengubah cerita si boneka kayu sedemikian rupa, sehingga pesan moral yang jelas tersebut jadi hilang entah ke mana. Pinocchio versi live-action yang digarap Robert Zemeckis hanya menang di visual, sementara dari sisi cerita, film ini ngasih moral yang ngawang lewat pembelajaran karakternya.

Bayangin, Pinokio di film ini menggunakan hidungnya yang memanjang untuk membebaskan diri. Jadi, dia sengaja bohong supaya idungnya sampai menggapai kunci kurungan yang digantung di sebelah pintu. Alih-alih ngajarin supaya anak mengakui kesalahan dan belajar jadi lebih baik dari kesalahan tersebut (dengan tidak mengulangi), film ini membuat Pinokio sebagai tokoh yang tidak punya salah. Dia mau sekolah, tapi sekolahnya yang gak mau nerima dia karena dia berbeda. Pinokio tidak tampak tertarik bersenang-senang di Negeri Nikmat. Dan malah di akhir, Pinokio enggak lagi masalah harus soal jadi anak manusia. Film mengaburkan pembelajaran dengan masukin soal ‘jadi diri sendiri’ yang salah kaprah.

Secara kreativitas, film ini juga kosong sebenarnya. ‘Live-action’nya gak benar-benar live action, karena jam-jam mainan yang lucu-lucu itu saja masih efek komputer. Those are things yang mestinya bisa dibikin beneran oleh studio dengan duit sekenceng Disney. Pinocchio versi baru ini sebenarnya hanya mengulang shot-shot dari film animasi klasiknya, dengan sedikit mengubah dan menambah sana-sini. Peri Biru diubah, tapi hanya muncul satu kali. Ada beberapa karakter baru juga, tapi yaah, tidak menambah banyak untuk bobot narasi. Dan Tom Hanks, maaan, kasian banget main di sini untuk bemper jualan saja. Masih lebih ‘live-action’ Pinokio versi Ateng-Iskak, deh!

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for PINOCCHIO

 

 

 

SMILE Review

Sehabis nonton, aku sadar senyum di wajahku sirna sudah. Sebab Smile ternyata gak sebagus itu. Kuakui aku tertarik melihat trailernya. Adegan orang jalan ke mobil tapi kemudian kepalanya jungkir balik sold me untuk menonton film ini. Dan ternyata memang cuma adegan itu yang benar-benar fresh di seantero film ini buatku.

Karena ternyata Smile yang bicara tentang kutukan berantai misterius hanya punya trik-trik jumpscare. Sutradara Parker Finn menyiapkan cerita yang memang didesain untuk bisa memuat banyak jumpscare. Seorang shrink wanita menyaksikan pasiennya tersenyum lalu bunuh diri, dan setelahnya dia mengalami semua yang dicurhatin oleh si pasien sebelum tewas. Orang-orang yang tersenyum mengerikan. Kejadian-kejadian tak terjelaskan. Film ini sebenarnya telah menyelam ke dalam horor psikologis saat si karakter utama mengalami semua peristiwa ganjil yang entah beneran terjadi atau hanya ada dalam kepalanya. Tapi film hanya menggunakan itu sebagai tempat buat meletakkan jumpscare. Bahasan psikologis tentang trauma tak benar-benar digali, selain menyebut bahwa trauma akan terus berulang.

Investigasi seputar misteri kutukannya pun tidak memuaskan. Karena tidak benar-benar diperlihatkan sumber kutukan, dan bagaimana itu bisa mengait kepada trauma personal karakter. Bisa dibandingkan dengan investigasi kutukan pada film Ring. Menguak misteri kutukan video Ring, mengarahkan protagonis kepada Sadako, dan dia resolve urusan personal berbarengan dengan misteri Sadako berusaha diselesaikan. Dalam Smile, semua itu kayak pointless, karena hubungan-hubungannya tidak diestablish dengan jelas. Nonton film ini jadinya ya hanya menikmati kejutan jumpscare saja.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for SMILE

 

 

 

THE WOMAN KING Review

Aku keingetan Barbarian saat nonton The Woman King. Bukan karena judul Barbarian lebih cocok disematkan kepada film tentang perlawanan suku tribal Afrika terhadap penjajah kulit putih, melainkan karena The Woman King juga seperti dua cerita dalam satu, namun dilakukan dengan lebih nyatu. Tidak ada keraguan, The Woman King adalah tentang karakter Viola Davis, si Miganon alias kapten pasukan warrior perempuan Agojie, yang mengusung gagasan bahwa dalam berjuang kita harus ingat untuk siapa kita berjuang.

Meskipun juga bercerita dari sudut Nawi, gadis desa yang menolak dikawinkan sehingga diserahkan ayahnya kepada Raja untuk jadi ‘tentara’, sutradara Gina Prince-Bythewood tetap mengembalikan semua kepada perspektif Miganon Nanisca sebagai tokoh utama. Pemimpin pasukan itu belajar banyak dari Nawi yang masih polos sehingga masih melihat jelas mana kawan mana lawan. Nanisca bukan hanya tangguh di luar, tapi di dalam dia sudah ‘mengeras’ berkat begitu banyak derita yang ia pendam sehingga perjuangannya membela bangsa jadi perang tanpa-rasa. The Woman King, di balik aksi-aksi berantem yang begitu grounded itu, ternyata punya hati dan jiwa yang kuat mengakar. Film ini juga tidak niat mengadu-adu cowok lawan cewek semata, karena gak ada tuh di sini bentukan kayak cowok jahat, cewek baik dan teraniaya. Semuanya dibikin balance. Dalam kelompok Nanisca, ada raja – cowok – yang gak dibuat bego atau culas. Ada cowok sesama pejuang yang gak lantas kalah jago. Kevulnerable-an menguar kuat di balik ketangguhan. Gak banyak film yang berani dan bisa menampilkan dua sisi ini sekaligus. The Woman King berhasil menghanyutkan kita ke dalam dinamika keduanya.

Gina tidak mengarahkan The Woman King ke nada yang serius ala-ala The Northman. Gina melihat urgensi dari cerita yang ia angkat ini, dan dia mau semuanya dengan mudah tersampaikan. Jadilah film ini dibuat dengan nada yang bisa dibilang agak ngepop, menggunakan trope yang mudah mencapai penonton. Tapi tidak sampai membuat The Woman King terkesan easy. Film ini tetap terasa epik. Karakter-karakternya terasa big dan tetap akrab, ceritanya tetap tampak penting tanpa menjadi ribet. Pengembangan karakter dan sekuen aksinya berjalan seimbang. Ini film epik paket lengkap, yang sayang tidak banyak dibicarakan orang.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE WOMAN KING

 

 




That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 5 (TOP GUN: MAVERICK. 12 CERITA GLEN ANGGARA, SAYAP-SAYAP PATAH, DC LEAGUE OF SUPER-PETS, BEAST, PREY, KAMU TIDAK SENDIRI, LIGHTYEAR)

 

 

Enggak kerasa kita udah berada di caturwulan terakhir 2022 aja! Orang bilang kalo sedang bersenang-senang, waktu memang serasa berlalu bagai terbang. Dan ya, memang empat bulan terakhir sepertinya terasa lebih cepat karena banyak film yang bagus-bagus.  Kayaknya belum pernah aku ngasih skor tinggi sesering beberapa bulan ini.  Dan mungkin jumlahnya masih  bertambah, karena ternyata masih ada beberapa film lagi yang belum sempat kuulas. Di sinilah tempatnya. Sekaranglah waktu untuk mereka. Delapan film, the last batch dari cawu kedua 2022,  inilah mini-review volume kelimaaaa!!

 

 

 

12 CERITA GLEN ANGGARA Review

Masalah utama yang lumrah kita temui dalam film cinta-cintaan remaja adalah tidak mengangkat kenapa si cowok dan si cewek karakter sentralnya harus jadi pasangan. Harus pacaran. Kebanyakan film tidak memberikan alasan yang lebih jauh selain karena kedua karakter itu sama-sama paling cakep, dan ‘cinta tak harus ada alasan’. Meski memang benar juga di dunia nyata toh kita bisa mendadak naksir kesengsem sama orang dalam sekali lihat, and we don’t know why pokoknya kita merasa harus jadian ama si dia, tapi tentu akan ada pelajaran yang kita dapatkan dari saat ternyata kita ditolak dan sebagainya. Singkatnya, cinta – seperti halnya perasaan lain seperti horor, trauma – memang harus digali, karena penggalian itu yang journey pada refleksi dunia nyata yang kita tonton sebagai film.

Karena itulah aku gasuka banget ama film Mariposa (2020), yang dangkal sekali memperlihatkan cewek menguber cowok, dan turns out mereka harus bersama itu benar sebagai reward yang dikasih gitu aja. Makanya juga, 12 Cerita Glen Anggara yang masih satu universe sama Mariposa ini, actually jadi cerita yang jauh lebih kuat dibandingkan film utamanya tersebut. Karena film garapan Fajar Bustomi ini benar-benar menggali kenapa Glen tertarik untuk memenuhi dua-belas permintaan Shena, dan akhirnya dia jadi jatuh cinta beneran. Tema ‘love make you a better person’ mengalir di balik kisah anak muda, yang juga menyisakan ruang untuk cerita persahabatan dan keluarga.

Yang masih kurang bagiku di film ini adalah stake. Tidak terestablish dengan kuat. Malah hampir seperti film takut untuk memberikan rintangan, karena di cerita ini yang diperlihatkan sebagai stake adalah persahabatan Glen dengan teman-temannya. Film seperti ngeri menggali kerenggangan Glen dengan teman-teman, dan akhirnya malah membuat cerita jadi aneh dengan justru bukan Glen yang harus berubah dan memilih sikap. Selain soal itu (dan soal film tidak banyak melakukan perubahan pada trope standar wish-of-dying-girl), film ini adalah peningkatan dari film utamanya, dan one of the better Indonesian’s teenager romantic story

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for 12 CERITA GLEN ANGGARA.

.

 

 

BEAST Review

Satu keluarga yang lagi berkunjung ke Afrika, diserang singa ngamuk yang melukai setiap manusia yang ditemui. Itulah film Beast kalo dilihat dari kulit luarnya. Sebuah aksi survival, kejar-kejaran manusia dengan hewan buas di alam liar. Namun jika ditilik ke lapisan di dalamnya, film garapan Baltasar Kormakur ini bercerita tentang pria, seorang dokter, yang masih diselimuti perasaan bersalah for not being there ketika istri dan keluarga membutuhkan dirinya. Perasaan yang dikontraskan dengan perasaan si singa yang mengamuk karena kawanannya ditembak mati oleh pemburu.

Film ini mengambil pendekatan yang grounded sehingga kita mengerti manusia dan hewan buas yang jadi pusat di sini adalah sama-sama ‘wounded animal’. Yang harus meresolve urusan masing-masing. Inilah yang mengangkat Beast di balik urusan menyelamatkan diri.  Nilai plus berikutnya datang dari kerja kamera. Dalam Beast banyak kita jumpai adegan-adegan long take, yang diambil supaya terkesan tanpa putus. Pengambilan seperti demikian menambah kepada dua hal. Pertama, kamera itu benar-benar menguatkan kesan manusia yang berada di tempat terbuka. Yang juga asing baginya. Kalo mau niruin rekaman audio di bioskop; kesan ‘all around you’ benar-benar tertonjolkan oleh film ini. Kedua tentu saja, menambah ke horor. Singa yang bisa tiba-tiba menerkam dari balik semak setelah kamera berputar mencari-mencari, mengikuti karakternya. Film ini gak gagal soal suspens dan kejutan, serta rintangan yang terus diberikan untuk karakter Idris Elba.

Yang pengen lihat Elba lawan singa, akan terpuaskanlah. Sayangnya, gak semua akting film ini konsisten grounded. Karakter dua putri Elba di sini akting dan sifatnya annoying banget. Mereka masuk ke tipe-tipe karakter konyol dan riweuh yang biasa ada (dan kita pengen mereka mati duluan) dalam genre serupa. Kalo gak ada mereka, atau seenggaknya, penulisan mereka dibikin lebih baik lagi, film ini akan menghibur maksimal

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BEAST

 

 

 

DC LEAGUE OF SUPER-PETS Review

Sayang lebaran sudah lewat. Karena aku mau minta maaf sama film ini. Minta maaf telah meremehkan dan ngirain ini cuma film animasi konyol untuk anak kecil melihat anjing bisa bicara dan bisa terbang. Itulah kenapa kita gak boleh judge film sebelum nonton. Gampang bagi kita untuk mutusin gak nonton hanya dari trailer, dari visual, dan bahkan dari judul. Tapi ketahuilah, film hanya bisa diketahui bagus setelah ditonton, dan kalo kita kelewat film bagus karena keburu judge di awal, kitalah yang rugi.

DC League of Super-Pets adalah contoh film yang gampang diremehkan. Tentu, ini memang proyek jual brand DC ke penonton cilik, tapi itu tidak lantas berarti filmnya jelek dan dangkal. Karya Jared Stern dan Sam J. Levine ini sukses bikin aku ternganga.  Ceritanya (walau simpel dan ‘gampang ketebak’ untuk standar penonton dewasa) actually punya muatan lebih dari sekadar kartun yang menghibur. Universe tempat SuperMan punya anjing peliharaan itu dibangun dengan seksama, kita bukan sekadar melihat ‘what if’ story, melainkan benar-benar ada karakter yang kuat. Di sini, The Rock menyuarakan Krypto, anjing super yang harus belajar makna pahlawan di luar kekuatan-super dari kawanan hewan peliharaan terbuang. Dan pada gilirannya, Krypto turut mengajarkan hewan-hewan tersebut bagaimana menjadi pahlawan. Ini sungguhlah cerita padat, dengan muatan pesan yang baik sekali untuk ditonton oleh anak-anak.

Humornya bisa sedikit agak vulgar, tapi harmless. Anak-anak akan teralihkan oleh kelucuan tingkah polah karakter. Aku yakin, kalo aku nonton ini saat masih berusia SD, film ini pasti akan jadi film favorit yang kutonton berulang-ulang. Sejajarlah dengan film Disney dan Pixar.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DC LEAGUE OF SUPER-PETS

 

 

 

KAMU TIDAK SENDIRI Review

Aku bisa mengerti kesulitan Kamu Tidak Sendiri dalam ‘menjual dirinya’ kepada penonton. Sutradara Arwin Wardhana truly membuat film yang susah untuk dijual, terutama di industri perfilman kita. Kamu Tidak Sendiri dia buat sebagai thriller ruang tertutup, tapi bukan exactly sebuah film kecelakaan lift. Bukan pula film bencana gempa. Ini bahkan bukan tentang whodunit, siapa yang menyebabkan semua itu terjadi. Sebenarnya Kamu Tidak Sendiri adalah drama psikologi seorang karakter yang menutup diri dari sosial – seorang bos yang tampil jutek. Ruang tertutup di sini bukan lift yang rusak itu, melainkan diri si karakter ini.

Jadi ya, film ini akan banyak sekali berisi dialog. Dimainkan oleh Adinia Wirasti, dengan desain karakter yang keras kepala dan unlikeable. Penonton yang mengharapkan kejadian seputar menyelamatkan diri dari bencana di lift akan cepat merasa terkecoh dan bosan begitu masuk ke babak kedua, saat lapisan dan backstory karakter si Adinia ini diungkap, lewat dialog-dialog dan kamera yang cenderung tak banyak bermanuver. It is hard sell buat penonton Indonesia. Makanya jarang film kayak gini muncul di industri perfilman kita. Sehingga, mau gak mau film ini harus kompromi dengan kemauan industri. Dan inilah yang bikin dirinya gak maksimal. Kamu Tidak Sendiri ini kalo mau bagus dan deep, ya memang harus embrace dirinya.  Full dialog tidak akan membuat film jadi boring, asalkan dialog-dialog tersebut benar-benar bermakna dan berfungsi menambah kepada bobot cerita. Tapi yang actually kita lihat adalah sebuah effort yang seperti berpindah-pindah begitu sampai ke titik-mentok, yakni titik yang dianggap gak bakal disukai. Dialog-dialognya juga kurang tight, dan lebih disibukkan dengan masukan candaan – karena takut penonton bosan.

Makanya film ini endingnya jadi lemah banget. Film gak berani bikin nasib satu karakter menyedihkan. Jadi ada satu karakter yang mestinya sudah mati, karena dengan kematiannya, Adinia sadar dan pembelajaran yang dialami karakternya mulai jalan. Tapi film membuat si karakter kunci ini enggak jadi mati (walaupun segala visual clue sudah nunjukin dia lebih cocok untuk mati), dan lemahlah sudah pembelajaran yang dialami karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KAMU TIDAK SENDIRI.

 




LIGHTYEAR Review

Setelah ditonton, kayaknya aku tahu alasan kenapa sensor di kita (dan beberapa negara lain) cukup ketat sehingga film ini tidak jadi tayang di bioskop. Di film ini ada adegan Buzz ke hyper space yang membuat dia mengalami waktu yang berbeda dengan seluruh semesta. Jadi, setiap kali Buzz pergi, semesta bertambah tua empat tahun. Nanti ada montase yang memperlihatkan Buzz kembali ke pangkalan setiap empat tahun sekali, dan setiap kembali, dia melihat rekannya yang cewek meneruskan hidup. Dari pacaran (sama sesama cewek), lalu empat tahun kemudian hamil, empat tahun kemudian punya anak, anaknya udah gede, punya cucu, dan akhirnya mati. Problemnya ada di pasangan sesama jenis yang hamil. Karena montase, maka tidak ada penjelasan, dan ini tentu akan bikin bingung anak-anak. Bisa-bisa mereka menganggap cewek ama cewek bisa hamil juga. It’s complicated things, yang butuh bantuan film menjelaskan.

So yea, Lightyear secara keseluruhan juga sama. Ceritanya yang mengusung tema eksistensi, kehidupan, dan umur, bisa tampak membingungkan bagi penonton anak-anak. Bagi penonton dewasa sih oke. Walau bagiku juga tampak ekstra ribet dengan segala konsep Buzz skip waktu dan sebagainya (nanti revealing Zork bahkan lebih complicated lagi), tapi secara usungan tema, film ini konsisten. Dan tema tersebut diceritakan dengan rapi. Menutup. Juga make sense semua alasan kenapa terjadinya. Urusan visual dan animasi, Lightyear masih memegang kuat standar Pixar. Film ini terlihat clean, mulus, aksi-aksinya banyak hal baru. Buzz yang dihidupkan sebagai manusia, bukan sebagai mainan lagi, terasa fully sebagai karakter, lengkap dengan backstory dan mannerism yang baru sekaligus bikin nostalgia. Mungkin yang sedikit aneh adalah, estetik filmnya yang terlalu keren itu agak terasa kurang cocok dengan ilusi atau gimmick yang studio angkat, yakni film ini adalah film yang ditonton oleh Andy dalam Toy Story tahun 1995. Tapi, yah, itu cuma nitpick kecil yang gak nambah banyak untuk bobot penilaian.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for LIGHTYEAR

 

 

 

PREY Review

Satu lagi film yang teroverlook olehku. Prey ternyata adalah prekuel dari Predator, dan seperti yang diindikasikan oleh judulnya, film ini actually beneran film Predator yang kreatif dibandingkan dengan film-film lain (yang judulnya ‘Predator apalah’ melulu)

Prey mengerti, dan membawa kita kembali ke akar yang membuat Predator jadi salah satu ujung tombak survival horor. Aspek dinamika antara pemburu dan yang diburu. Dalam predator original kita lihat gimana pria-pria militer berotot dan macho itu dioverpower oleh kekuatan lain di atas mereka. Sutradara Dan Trachtenberg semacam mengambil perspektif lain dari situasi ini. Perspektif yang juga fit perfectly ke dalam agenda feminism yang kerap diangkat di era sekarang. Prey kini mengambil sudut dari perempuan, pada masa kuno banget (we talk about tahun-tahun orang suku pedalaman), yang tentu saja masih menganggap perempuan inferior dari laki-laki. Dan begitu ada Predator, si perempuan harus membuktikan bahwa ‘si lemah’ bisa menaikkan status dirinya sendiri menjadi predator puncak.

Apa-apa yang kita rinduin dari survival horor klasik, ada di sini. Prey pun tidak berkutat dengan karakter annoying seperti pada Beast. Melainkan memang fokus memainkan dinamika kelemahan-jadi-kekuatan yang dipunya oleh protagonisnya. Aksinya bahkan lebih seru dengan kontras peralatan jaman dahulu melawan peralatan canggih. Satu lagi perbedaan yang bisa kita bandingkan dengan Beast, Prey menggunakan kamera yang lebih kalem. Di sini lebih banyak wide shot, karena perasaan yang diangkat di sini bukanlah sensasi danger di area terbuka, melainkan karakter yang harus memahami lingkungan di sekitarnya. Memanfaatkan lingkungan dan memperhatikan apa yang berbeda dari sana, semuanya adalah ‘senjata’ untuk berhadapan dengan musuh.

Lucunya nonton film adalah, kita bisa memasukakalkan ada alien pemburu ketemu suku pedalaman, tapi untuk logika seperti karakter yang berpindah tempat kita masih merasa perlu untuk benar-benar ada penjelasan ‘kok bisa’ . Nah, Prey ini bagiku kurang di bagian tersebut karena ada dua kali adegan karakter pingsan dan bangun-bangun dia sudah ada di situasi berbeda – dan  ada satu ‘jump’ ini yang buatku memudahkan penceritaan saja. Prey kurang tight di majunya plot saja. Selain itu, ini adalah film cantik, berbobot, dan sangat seru.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for PREY

 

 

 

SAYAP-SAYAP PATAH Review

Tak disangka tak dinyana, Sayap-Sayap Patah yang awalnya dapat preseden buruk karena isu politik, ternyata berhasil tembus dua juta penonton. Pertumbuhan organik yang benar-benar bisa dilihat keramaiannya. Tapi sebenarnya, kesuksesan jumlah penonton film ini bukan hal yang aneh. Kenapa?

Karena secara teori, sutradara Rudi Soedjarwo dalam comebacknya ini benar-benar memanfaatkan trope dramatis sebagai peluru utama. Trope soldier-with-pregnant-wife sudah terbukti ampuh untuk jadi alur dramatis yang membuat penonton kasihan sama nasib karakternya.  Coba tengok lagi film-film drama perang atau semacamnya, pasti banyak ditemui karakter pejuang yang punya istri hamil yang menunggu di rumah. Sayap-Sayap Patah memanfaatkan ini dengan maksimal. Lewat ngecast Nicholas Saputra, everyone’s darling since AADC, misalnya. Dan jelas membantu pula, film ini diangkat dari tragedi teroris nyata, yang terjadi bisa dibilang masih baru-baru ini. Itulah kekuatan utama Sayap-Sayap Patah. Bangunan dramatiknya secara genuine mengakar.  And that’s it.

Sesungguhnya film ini tidak melakukan banyak pengembangan. Ada tema soal kontras polisi dengan teroris (polisi tidak akan mengorbankan keluarga) sebagai tulang punggung development karakter utamanya, tapi pengembangannya kurang terasa natural karena si karakter ini tidak banyak diperlihatkan langsung bersinggungan dengan paham teroris tersebut pada awalnya. Film tidak banyak mengubah kejadian nyata, dan memasukkan ke dalam bangunan perspektif karakter. Yang dilakukan film hanya memilah, mana yang enak untuk masuk, dan kapannya. Itulah sebabnya film ini masih tampak berkutat sebagai propaganda. Pembahasannya masih kurang berimbang. Teroris diperlihatkan baik karena polisinya baik, tapi kita tidak melihat contoh polisi yang jahat di sini. Jadi seharusnya, semua teroris jadi baik, dong. Tapi tidak juga, karena di sini teroris harus jahat. Nah, bobot dinamikanya itu yang masih dangkal dilakukan oleh film ini.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for SAYAP-SAYAP PATAH

 

 

 

TOP GUN: MAVERICK Review

Bagi yang ngikutin blog ini cukup lama, pasti tahu aku paling kurang-semangat urusan film action. Banyak yang kupilih untuk diskip. Karena buatku, nulis tentang film action itu susah. Bingung mau angkat apa, sebab ya kekuatan film action ya di aksi-aksi itu. Bagaimana dengan budget dan teknologi sekarang, action bisa tercapai dengan semakin meyakinkan. Aku justru lebih tertarik kepada cerita, karena cerita bisa dijadikan bahan tulisan tanpa harus mengerti teknik-teknik bikin adegan kayak pada action. Makanya aku lewatin juga film karya Joseph Kosinski ini. You bet I’m not even watch the first film. Orang-orang yang merekomendasikan sekuel kali ini pun bilangnya “bagus, karena aksinya keren”. Tak menarik buatku.

Tapi nih ya, kalo kemaren ada yang bilang “tontonlah, ceritanya tentang si Tom Cruise yang udah pensiun jadi Top Gun, kini harus balik tapi dalam kapasitas mengajar. Dan salah satu muridnya adalah anak dari sahabatnya, yang tewas saat mereka beraksi di udara”. Aku pasti akan cabut ke bioskop saat itu juga. Nobody tells me about this movie dari ceritanya tentang apa. Dan begitu akhirnya aku nonton film ini, DHUARRR! rasanya mindblown banget melihat cerita mentorship dengan layer drama dan perspektif sekaya ini. I. Love. This movie. Film action yang gak hanya peduli pada aksi-aksi mahal dan menawan. Tapi juga sedemikian dalam menggali dan menghidupkan karakternya. Film sekuel yang tidak sekadar dibikin lagi untuk nostalgia. Tapi benar-benar melanjutkan cerita dari karakter yang begitu disukai.

Begitu tersold lewat penulisan, barulah aku jadi semakin mengapresiasi aksi-aksinya.  Karena ya, kalo kita sudah peduli sama karakter, stake aksi mereka di udara bakalan jadi demikian terasa. Bukan rahasia umum lagi, Tom Cruise selalu melakukan aksi-aksinya sendiri. Di film ini juga begitu, dan maaan, yang ia lakukan di sini bikin kita tahan napas. Karena aksinya grounded, gak terlalu wah, tapi kita tahu bahayanya seperti apa. Film ini punya kejar-kejaran pesawat yang seru dan fun. Yang paling aku suka adalah momen-momen Maverick melatih para Top Gun muda di udara.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TOP GUN: MAVERICK

 

 




That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 4 (RANAH 3 WARNA, INCANTATION, DUAL, PERJALANAN PERTAMA, METAL LORDS, THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT, HUSTLE, CHIP ‘N DALE RESCUE RANGERS)

 

 

So, banyak yang nanya ‘Mini Review ini buat film-film yang kurang penting, ya?’ Nope, Enggak. Bukan. Wrong. Sama sekali tidak. If anything, justru buatku ini adalah tempat film-film yang lebih ‘susah’ untuk diulas. Karena seringnya, aku masukin film ke segmen ini karena aku gak bisa langsung merampungkan ulasan setelah nonton. Masih ada bagian yang harus dipertimbangkan. Masih ada bias yang masih harus diademkan. Atau masih merasa perlu untuk nonton filmnya lagi. Dan karena didiamkan dahulu itulah, filmnya jadi ‘tergilas’ film baru yang tayang berikutnya.  Jadi simpelnya, Mini Review ini gak ada hubungannya ama kelas kepentingan film, melainkan hanya soal aku telat menyelesaikan proses nulis atau nontonnya saja.

Buktinya? Nih lihat aja judul-judul yang terangkum di Volume 4 ini!

 

 

CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS Review

Sebagai anak 90an, mengatakan aku cukup akrab dengan Chip ‘N Dale sungguhlah basa-basi. Dua tupai ini muncul di setiap komik dan majalah Donal Bebek yang kubaca (di kita nama mereka ‘diterjemahkan’ jadi Koko dan Kiki). Dan game petualangan mereka di Nintendo, jadi favoritku waktu kecil. The game was like monopoly, bisa merusak persahabatan. Aku actually bertengkar dengan teman, karena di situ kita bisa salah angkat teman sendiri, dan ‘gak sengaja’ melempar mereka ke jurang. Yea, ‘gak sengaja’ hihihi

Anyway, aku berasa seperti anak kecil lagi saat nonton film ini. Demi ngeliat karakter-karakter kartun dari masa lalu tersebut. But also, conflicted, karena ya tahulah gimana film-film dari nostalgia masa kecil dimanfaatkan sebagai parade IP semata.  Chip ‘N Dale ini juga sebenarnya dibuat dengan niat seperti itu. Namun sutradara Akiva Schaffer mendorong konsep ‘hey, here are your favorite childhood characters‘ lebih jauh lagi. Yang menyenangkan dari film ini adalah mereka memang memperlihatkan perkembangan. Mereka semacam membangun dunia-cerita yang meta, dan mengeksplor cerita dari sana. Dale (disuarakan dengan pas oleh Andy Sandberg) capek jadi sidekick Chip di serial kartun mereka, sehingga memutuskan untuk nyari proyek solo, dan begitulah akhirnya duo ini pisah. Hingga sekarang. Dale operasi dirinya jadi animasi 3D untuk stay relevant dan Chip kerja di balik meja. Dengan setting yang menarik tersebut, film seperti berusaha ngasih lihat perkembangan animasi di balik nostalgia. Mencoba membayangkan gimana para tokoh kartun ini sebagai aktor beneran. Dan hasilnya memang lucu dan supermenarik. Banyak karakter dari berbagai kartun dihadirkan, dan permasalahan mereka disangkutkan dengan soal kartun-kartun bajakan.

Tapi ya itu tadi, film ini tidak pernah diniatkan untuk dibuat mendalam. Hey, ini ada masalah bootleg, ini ada issue soal trend animasi, mari kita bikin cerita yang actually memberikan gagasan tentang semua itu. Tidak. Chip ‘N Dale bukan great film karena memilih untuk membangun penceritaan berdasarkan surprise dan nostalgia value, sehingga banyak menomorduakan kaidah-kaidah film beneran. In the end, ini masih kayak kartun mereka dulu, tapi dengan setting berbeda. Kuharap film ini dibuatkan juga versi gamenya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS.

.

 

 

DUAL Review

Kita biasanya gak peduli sama apa yang kita punya, sampai sesuatu yang dipunya itu hendak direbut oleh orang lain. Kadang nilai sesuatu baru kita hargai, baru terasa, saat kita sudah kehilangan. Kupikir bahasan tentang hal tersebut bakal selalu jadi bahasan yang tragis. Tapi sutradara Riley Stearns somehow berhasil mengarahkannya ke dalam cerita dark comedy. Aku merasa bersalah juga, banyak ketawa miris melihat Karen Gillan yang di sini jadi Sarah yang hidupnya dicolong oleh kloningannya sendiri.

Sarah orangnya pendiam, gak asik, dia bosan ama hidupnya. Gak ada passion lagi ke pasangannya, juga selalu menghindar saat ditelpon ibunya. Momen pertama karakter ini kocak-tapi-sedih banget adalah ketika dia biasa aja saat dikasih tahu dokter hidupnya tinggal beberapa waktu lagi. Sarah justru kayak senang ketika dia sadar masalah hidupnya bakal jadi masalah kloningan. Ya. di dunia antah-berantah tempat tinggal Sarah, ada teknologi klone yang disediakan khusus untuk keluarga pasien yang hendak meninggal. Supaya gak sedih-sedih amat lah. Masalah baru muncul ketika Sarah gak jadi mati, jadi kloningannya sesuai hukum harus ‘dimatikan’ tapi si kloning menjalani hidupnya lebih baik daripada yang Sarah lakukan. Bahkan orang-orang terdekat Sarah lebih suka si kloningan ketimbang Sarah yang asli. Di titik cerita ini, aku benar-benar merasa gak enak udah ketawa.

Kupikir itulah kekuatan sekaligus juga kelemahan film Dual. Berhasil menemukan titik tengah tempat penonton bisa mengobservasi sekaligus berefleksi juga. Medan yang ditempuh film sebenarnya sulit. Sarah, misalnya, harus tampil ‘jauh’, terlepas dari penonton. Dan memang susah ngikutin karakter yang gak ada semangat sama sekali seperti ini. Tapi ketika waktunya tiba, Sarah harus bisa mendapat simpati, dan itu hanya bisa dilakukan dari seberapa kuatnya film menjalin kita lewat situasi metafora. Dual meminta banyak kepada kita.  Tapi memang ketika konek, film ini jadi seru. Paruh akhirnya buatku bisa jadi celah untuk film mulai menggali lebih dalam perihal hidup dan eksistensi. Sayangnya, film ini memilih untuk membungkus cerita dengan cara yang seperti mengelak dari bahasan tersebut. Dan itu membuat journey Sarah jadi mentah, karena ternyata film hanya menjadikan semuanya sebagai ‘hukuman’. Bukan pembelajaran baginya.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUAL

 

 

 

HUSTLE Review

Meskipun setting ceritanya memang di lingkungan basket, tapi sutradara Jeremiah Zagar tidak semata membuat film tentang olahraga basket, melainkan lebih sebagai drama tentang keluarga dan ambisi. Sehingga kita gak perlu untuk jadi penggemar basket dulu untuk menonton Hustle. Malah, dijamin, Hustle akan menyentuh setiap penonton yang menyaksikan ceritanya.

Adam Sandler sekali lagi membuktikan kematangan aktingnya. Dengan ini namanya tidak lagi disinonimkan dengan komedi-komedi receh. Sandler justru memperlihatkan taringnya sebagai aktor drama keluarga yang punya range natural sehingga karakter yang ia mainkan terasa hidup. Di sini dia adalah mantan pebasket yang kini jadi pencari talent karena cintanya dia terhadap olahraga ini. Dan memang penampilan akting Adam Sandler-lah yang membuat film ini menyenangkan untuk diikuti. Yang membuat naik turun dramanya  tidak seperti bola basket yang didrible keras. Melainkan melantun dengan emosional. Center film ini adalah hubungan antara Sandler dengan pria yang ia temukan jago bermain basket, tapi pria ini not yet ready. Jadi dia harus digembleng, dengan segala permasalahan seputar tim Sandler tidak percaya, dan Sandler melatih orang ini menggunakan biaya dari kantongnya sendiri.

See, Sandler sendiri di sini harus bekerja sebagai tim. Apalagi lawan mainnya kebanyakan adalah pemain basket beneran yang baru sekali ini berakting. Mungkin karena permainan Sandler tinggi di atas yang lain itulah, aku merasa agak kurang konek dengan aktor lain. Terutama lawan mainnya. Aku tidak benar-benar merasa si pria bernama Bo ini pengen banget jadi pemain basket. The reason he played juga gak ditonjolin kuat, hingga ke paruh akhir saat permasalahan baru personal bagi dirinya. Inilah yang membuatku agak sedikit kurang berada di belakang perjuangan mereka saat awal hingga pertengahan cerita. Untuk sebagian besar waktu aku merasa duduk di sana untuk melihat the magic of basketball cinema saja, karakternya kurang. Hanya Sandler yang menonjol.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HUSTLE

 

 

 

INCANTATION Review

Yup, there’s no doubt film ini menunggangi kepopuleran The Medium tahun lalu. Hadir dengan tema horor supernatural, kepercayaan dewa-dewa, dan bercerita dengan teknik found footage.

Dalam beberapa hal, sutradara Taiwan Kevin Ko sebenarnya melakukan lebih baik daripada The Medium. Dia bercerita dengan konsep found footage yang lebih solid ketimbang The Medium yang di awal malah tampak seperti mockumentary lalu lantas ngescrap konsep itu dan beralih jadi full cuplikan kamera. Karakter utamanya juga lebih kuat. Incantation ini adalah cerita tentang seorang perempuan yang di masa lalu pernah melanggar suatu ritual, dan sekarang dampak dari perbuatannya berhasil catching up, dan nyawa putri ciliknya jadi taruhan. Gak kayak Medium, perspektif tokoh utama film Incantation ini lebih fokus dan gak pindah-pindah. Dari aspek horor, selain gimmick pov langsung dari kamera, Incantation juga punya elemen body horror yang langsung menyerang fobia penonton. Diperkuat juga dengan bahasan soal persepsi; gimana kutukan dan berkah sebenarnya tergantung cara orang memandangnya.

Hanya saja film ini gak pede. Atau mungkin, film ini terlalu mengincar seru-seruan ketimbang bercerita dengan benar. Karena film ini actually ngebutcher kejadian atau runtutan peristiwanya. Lalu disusun dengan alur bolak-balik, yang seperti tanpa bendungan tensi. Kita akan bolak-balik antara rekaman video karakter di masa lalu dengan di masa sekarang, yang seringkali setiap perpindahan bikin kita lepas dari kejadian sebelumnya. Sehingga nonton ini jadi kerasa capeknya aja. Keseraman, apalagi journey karakternya, jadi nyaris tidak terasa karena sibuk pindah-pindah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INCANTATION.

 

 

 

METAL LORDS Review

Sebelum Eddie Munson yang bikin semua orang bersimpati, sebenarnya Netflix sudah punya kisah rocker baik hati. Metal Lords garapan sutradara Peter Sollett berkisah tentang dua remaja sekolahan misfit yang mencoba naik-kelas popularitas dengan membentuk grup metal supaya bisa menangin Battle of the Bands.

Selain sebagai cerita coming of age dan persahabatan dua remaja cowok (yang akan involving salah satunya deket ama cewek sehingag mereka jadi renggang), film ini punya ruh metal yang kental. Sehingga tampak seperti sebuah surat cinta terhadap genre musik tersebut. Film membahas tentang bagaimana genre ini di kalangan anak jaman sekarang. Yang lantas semakin berdampak kurang bagus bagi keinginan dua karakter sentralnya untuk populer. Pembahasannya sebenarnya cukup formulaik, alias gak banyak ngasih sesuatu yang baru. Tapi hubungan antarkarakter yang menghidupi ceritanya feels real. Seperti saat melihat Eddie di serial Stranger Things yang membuka mata bahwa, yah, rocker juga manusia, film ini juga memberikan kita insight di balik apa yang dianggap banyak orang sebagai stereotipe seorang anak penyuka musik keras.

Ngomong-ngomong soal keras, I do feel like film ini masih sedikit terlalu berhati-hati, like, masih terlalu ngincar feel good moment. Sedikit pull out punches. Tidak banyak adegan memorable terkait drama. Enggak menjadi sedalam Sing Street. Tapi untuk urusan musik metal, well, film ini memang cukup cadas.  Di adegan battle of the bands, kita akan dapat satu performance musikal yang keren. Bersama satu transformasi karakter yang sama kerennya!

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for METAL LORDS.

 

 

 

PERJALANAN PERTAMA Review

Ini film paling baru yang masuk daftar Mini Review. Artikel ini kurampungkan Jumat, sedangkan Kamisnya aku baru saja menonton film ini. Aku sebenarnya punya waktu untuk nulis ini ke dalam review panjang. Namun pas nulis kemaren, aku merasa perlu lebih banyak waktu. Sebelum akhirnya aku sampai pada kesimpulan, bahwa karya Arief Malinmudo ini sebenarnya memang mengandung nilai-nilai baik. Bukan hanya kepada anak, ini bisa dijadikan pelajaran buat kita semua untuk tidak memandang sesuatu dengan mengedepankan kebencian. Tapi dalam penceritaannya, masih clunky. Cerita ini punya dua sudut pandang, dan film tidak mulus – tidak benar-benar paralel dalam membahas keduanya.

Jadi ini adalah kisah tentang anak kecil yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia tidak pernah tahu siapa kedua orangtuanya, kakeknya masih menyimpan rahasia. Sehingga si anak kesel. Ketika si Kakek pergi mengantarkan lukisan pesenan orang, si anak yang tadinya ogah-ogahan akhirnya mau ikut menemani. Di tengah perjalanan, lukisannya dicari orang, sehingga mereka harus menemukan. Tapi masalahnya, si anak gak tahu lukisan kakek seperti apa. Dan si kakek gak mau cerita. Film benar-benar ingin menyampaikan perasaan kesal si anak kepada kita sehingga di paruh awal cerita banyak sekali bagian-bagian narasi yang bikin kesel dan konyol. Ini adalah jenis film yang gets better di akhir, saat semuanya sudah diungkap. Tapi untuk film ini, bagian tersebut agak sedikit terlalu lambat datangnya. Membuat kita berlama-lama di bagian yang gajelas  di awal.

Dialog film ini sebenarnya cukup kaya oleh lapisan. Kayak kalimat ‘orangnya sudah ketemu’ di akhir film yang bermakna dua karena diucapkan oleh karakter yang di awal deny bahwa perempuan harus dicari, bukan mencari. Aku gede di Sumatera, jadi aku tahu Melayu dan Sumatera Barat yang jadi latar film ini memang sangat kuat dalam perumpamaan, dan nilai-nilai budi yang baik. Film ini berusaha menjadi sesuai latarnya itu, tapi tidak benar-benar mulus melakukan. Sehingga di awal-awal banyak muatan adegan-adegan yang seperti pesan-pesan random, kurang integral dengan permasalahan inner karakter. Beberapa malah konyol. Kayak ada adegan mereka ngejar bis, nganterin seorang penumpang anak kecil yang tertinggal. Dan lalu ada suara ibunya yang ngomen dari atas bus, lalu lantas si ibu ngajak anaknya selfie. Konyol sekali.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PERJALANAN PERTAMA.

 

 

 

RANAH 3 WARNA Review

Satu lagi cerita dari tanah Minang, yang juga menjunjung nilai-nilai kebaikan dan berakar kuat kepada adat. Bedanya, Ranah 3 Warna diadaptasi dari novel, dan merupakan cerita sekuel. Sehingga punya advantage dari sisi dunia-cerita dan karakter-karakter yang sudah lebih established. Tapi itu tidak lantas berarti lebih baik dalam penceritaan.

Ranah 3 Warna memang lebih imersif. Di sini karakternya akan berdialog minang dan hanya berbahasa Indonesia kepada karakter yang gak bisa bahasa daerah. Persoalan bahasa benar-benar dikuatkan, karena setting tempat benar-benar masuk ke dalam narasi. Sesuai judulnya, akan ada 3 daerah, banyak budaya, banyak bahasa yang jadi panggung dan mempengaruhi karakter sentral. Tapi ini juga lantas membuat film jadi episodik, karena Ranah 3 Warna diarahkan Guntur Soeharjanto lebih seperti novel, ketimbang seperti film. Dalam film biasanya, konflik karakter akan dibuild up, stake naik, dan solusi baru ketemu di babak akhir cerita, sehingga segala usaha dan pay offnya jadi terasa gede sebagai akhir perjalanan. Ranah 3 Warna ini, konflik itu hadir sebagai permasalahan yang sama dihadapi oleh karakter di setiap tempat yang berbeda. Mereka tidak mengembangkan untuk satu film, tapi satu tempat. Lalu mengulang permasalahan itu ketika karakter kita pindah ke tempat yang baru. Jadinya terasa sangat repetitif.

Apa permasalahannya? soal kesabaran. Jadi ketika di Bandung, karakter kita dihadapkan kepada situasi yang menguji kesabarannya, lalu dia belajar dari nasihat orang, dan lalu ketemu solusi. Adegan berikutnya, pindah tinggal di negara lain. Dan formula konfliknya berulang kembali, walaupun seharusnya karakter utama sudah belajar tentang kesabaran itu di problem sebelumnya. Penonton awam mungkin gak akan masalah, apalagi karena film ini dihidupi oleh karakter-karakter menyenangkan, dengan pesan-pesan yang baik. Film ini bakal menang award cerita berbudi luhur (kalo ada). Tapi sebagai film, ini masih berupa pesan yang disampaikan berulang kali. Nonton ini, aku yang merasa harus belajar sabar.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for RANAH 3 WARNA

 

 

 

THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT Review

Dibuka oleh film meta, ditutup oleh film meta. Yup, sama seperti Chip ‘N Dale yang mengangkat kisah petualangan beneran dari aktor film kartun, film Unbearable ini juga begitu. Mengangkat kisah aktor yang harus ngalamin petualangan beneran. Aktor yang dimaksud adalah Nicolas Cage, yang di sini memainkan versi aktor dari dirinya sendiri. Karakter Nick Cage yang ia perankan dibentuk dari meme, gosip, isu, dan perjalanan karir ikonik yang ditempuhnya dalam real life. So yea, ini adalah film yang sangat lucu, bermain-main dengan karir aktor pemerannya.

Sutradara Tom Gormican tidak lantas membuatnya sebagai perjalanan nostalgia. Melainkan benar-benar mengolah cerita dari sudut pandang aktor Nick Cage. Bagaimana jika persona tersebut dijadikan karakter. Dimainkan langsung oleh Nicolas Cage hanya menambah lapisan di dalam karakter ini. Jika film harus bisa memblurkan antara fiksi dan realita, maka film ini garis tersebut tidak bisa lebih blur lagi. Penceritaannya dibuat ringan, sehingga tidak lantas ujug-ujug jadi  Birdman versi real. Lucunya, film ini membuat hal menjadi lebih besar lagi dengan membenturkan yang namanya film character driven, dengan film action. Dua tone ini meluncur mulus, dan ini membuktikan betapa Nicolas Cage benar-benar fluid dan versatile, di atas punya selera humor yang juga juara.

Tentu saja film bukan hanya tentang satu orang, walaupun basically build around ‘myth’ tentang dirinya. Film juga punya karakter-karakter lain. Dan di sini, semua karakter berhasil mencuri perhatian. At heart, film ini juga adalah tentang persahabatan. Nick Cage akan berteman dengan seorang yang ternyata berkaitan dengan kelompok mafia. Dan persahabatan mereka, yang involving mereka menggarap naskah film bersama-sama menjadi highlight yang bikin ini semakin menyenangkan untuk diikuti.  Jika kalian snob film, film ini akan menghibur tanpa ‘memangsa’ sel otakmu. Jika kalian suka film action heboh, film ini akan membuatmu lebih dari sekadar puas. Jika kalian suka Nicolas Cage, kalian akan treasure this movie forever.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT.

 

 

 

That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 


MINI REVIEW VOLUME 3 (KIMI, AMBULANCE, NO EXIT, JACKASS FOREVER, JAKARTA VS. EVERYBODY, THE BUBBLE, RED ROCKET, UMMA Review)

Sebelum dihebohkan oleh film-film lebaran, di bulan April blog kesayangan kalian (eh masa iya sih kesayangan?) ini memang lagi sepi dulu.  Karena selain karena bulan puasa mager ke bioskop, My Dirt Sheet juga lagi dalam proses pindah-rumah. Jadi memang banyak fase-fase bengongnya.

Untuk itulah maka, Mini Review dihadirkan kembali. Isinya? Ulasan singkat beberapa film yang belum sempat ditulis secara panjang lebar kayak persegi panjang.

 

 

AMBULANCE REVIEW

Ada tiga jenis sutradara di dunia. Pertama, yang sangat berciri khas sampai-sampai bisa jadi begitu idealis. Kedua, yang cuma bikin film untuk jualan dan gak peduli kerja kayak menuhin pesenan produk. Dan yang terakhir, ada Michael Bay.

Ya dia udah terkenal sebagai pembuat film meme-able yang bombastis penuh ledakan, namun  begitu-begitu toh dia tetap stay dengan visi dan punya gayanya sendiri. Ledakan segala kebombastisan itu dijadikannya signature yang membekas. Dan mau gak mau kita harus respek sama ini. Seperti juga yang akhirnya kulakukan kepada film Ambulance. Kisah dua brother (bonded not by blood tapi persaudaraan mereka sangat kuat) yang merampok bank, kemudian menjadikan mobil ambulans – lengkap dengan petugas medisnya – sebagai kedok untuk kabur dari buronan polisi. So yea, wall-to-wall action is to be expected. Mulai dari sekuen perampokan hingga kejar-kejaran mobil hingga ke akhir film, Bay tancap gas. Semua gaya lebay, ledakan – humor – dan tentu saja kamera, dikerahkan Bay atas nama entertainment dan ketegangan untuk kita. Kamera literally beterbangan dari puncak gedung dan sudut-sudut tak terduga, menghasilkan perspektif heboh kepada kita.

Di momen-momen aksi, gaya Bay ini memang work out rather nicely. Ambulance jadi sajian seru yang bisa kita tonton tanpa harus takut nilai IQ berkurang.  Tapi Bay memang kelewatan juga. Dia kayak pengen semuanya di filmnya ini seru. Sehingga kamera juga hiperaktif di momen-momen selow. Kayak, orang jalan masuk garase – tanpa ada konteks suspens – pun direkam Bay dengan cepat-cepat dan frantic. Buatku ini berlebihan. Ini seperti nonton gulat, yang superstarnya selalu pake move-move dahsyat.  Jadinya malah gak spesial lagi.  Film juga seperti itu, butuh momen-momen selow supaya keseruan yang ada semakin berarti. Supaya penceritaannya punya ritme. Ambulance butuh lebih banyak momen-momen karakter. Bukan hanya karena aktornya – terutama Jake Gyllenhaal yang ngangkat banget film ini lewat aktingnya – tapi juga karena di balik kehebohan itu ada cerita kemanusiaan. Arc si petugas medis cewek yang terpaksa ikut mereka sesungguhnya cukup menghangatkan untuk disimak.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AMBULANCE.

.

 

 

JACKASS FOREVER Review

Jackass sebenarnya lebih cocok dianggap sebagai kumpulan video-video konyol daripada disebut sebuah film. Jackass hanya punya premis; sekumpulan orang-orang ngelakuin hal edan. Berbahaya. Menjijikkan. Tapi super fun. Untuk anak-anak generasi MTV, nonton Jackass itu adalah level kekerenan tersendiri. Apalagi kalo sampai berani niruinnya hahaha.

With that being said,  review film keempat Jackass ini sebenarnya pun lebih tepat disebut sebagai komenan aku saja. Terhadap hal-hal baru yang disuguhkan. Misalnya pada cast-nya. Johnny Knoxville dan kru original Jackass udah pada tua-tua. They need some young blood. Inilah yang awalnya bikin aku sanksi. Gimana mereka ngehandle orang-orang baru. Apakah anak-anak muda yang sekarang bisa segila dan senekat original. Turns out, gak ada masalah. Cast yang baru gak canggung dan gak kalah begonya. Level stunt yang dilakukan pun jadi bisa lebih beragam. Kru Jackass bisa mewujudkan ide yang lebih gila. Misalnya dengan double bungee jumping, karena kini ada dua pria tambun yang bisa digunakan. Paling yang kerasa kurang lucu adalah cast yang cewek. Untuk pertama kali ada perempuan dalam kru Jackass, dan dia gak seheboh yang lain. Mainly karena sepertinya Knoxville dan sutradara Jeff Tremaine masih meraba-raba sejauh apa peran cast perempuan bisa digunakan dalam stunt ini. Segimana batasan propernya. Tau sendirilah, sekarang jaman yang agak-agak sensitif.

Overall, Jackass terbaru ini agak sedikit lebih safe, tapi tetep chaos. Cast yang lama sudah terbatas, kita kehilangan dua original kru yang kocak, maka kini semuanya dibebankan kepada Ehren. Yang kasian banget lihat ‘penyiksaan’ yang harus ia dapat di sini (hahaha rasain!) Yang jelas, dengan ini Jackass semakin gak bakal bisa masuk Indonesia.

The Palace of Wisdom decide to not give score for JACKASS FOREVER 

 

 

 

JAKARTA VS. EVERYBODY Review

Yea, yea hidup di Ibukota itu keras. Tapi tentunya bakal banyak perspektif yang bisa diangkat sehubungan dengan perjuangan hidup di Jakarta, kan? Well, sayangnya ‘Everybody’ dalam karya Robby Ertanto hanya segelintir orang yang bersinggungan dengan Dom, pemuda asal Minang yang gagal jadi aktor dan malah jadi orang kepercayaan geng pengedar narkoba.

Naskah film ini ternyata tidak menggali seluas dan sedalam yang harusnya bisa dicapainya. Dom yang diperankan oleh Jefri Nichol sebenarnya karakter yang menarik. Latar belakangnya, motivasinya, bahkan plot untuk developmentnya juga bagus. Passionnya terhadap film juga kerap mencuat keluar. Hanya saja film tidak banyak menggali, melainkan lebih banyak menampilkan Dom berjuang sebagai pengedar – where he good at it – dalam balutan kejadian yang dengan cepat jadi repetitif. Peralihan kerjaannya juga tidak digambarkan dengan mendalam. It is just happen. Dom merasa diperlakukan kasar, dan dilecehkan saat nyari kerjaan akting, dan kemudian saat diajak ‘ikut’ geng karakternya si Wulan Guritno, Dom langsung mau aja.  Walaupun pekerjaan tersebut lebih beresiko, dan gak ada jaminan dia enggak dapat perlakuan yang serupa dengan pengalamannya sebagai pemeran figuran. Jika Dom diniatkan untuk ‘terpaksa’ jadi pengedar, film ini tidak berhasil menampilan kesan ‘terpaksa’ tersebut.

Pertemuannya dengan karakter lain pun tidak banyak menambah narasi. Padahal kita semua juga tahu, design cerita seperti ini adalah Dom bakal belajar banyak dari karakter yang ia jumpai. Tapi lebih seringnya, karakter-karakter pendukung tersebut terlalu banal. Mereka lebih kayak ada buat penyampai dialog ‘bijak’ ketimbang terasa kayak manusia yang beneran punya hidup di luar frame kamera. Sehingga pada akhirnya, film ini terasa kayak menghajar kita dengan curhatan yang sama. Yea, yea, hidup di Ibukota itu keras.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JAKARTA VS. EVERYBODY.

 

 

 

KIMI Review

Whoa tadinya kupikir Zoe Kravitz main jadi Sasha Banks haha. . Ternyata karakternya yang berambut biru adalah perempuan yang bekerja di depan komputer, menanggapi keluhan-keluhan konsumen. Kimi lantas menjadi thriller saat karakter Kravitz mendengar sesuatu yang seperti percobaan pembunuhan dari salah satu file kerjaannya. Jadi sekarang dia harus pergi menggagalkan yang ia dengar, meski itu berarti dia harus keluar rumah. Di era pandemi. Jeng-jeng!!

Kimi adalah satu lagi film yang naskahnya terlalu simpel untuk karakter yang kompleks. Unsur thrillernya sendiri memang kuat mengakar. Sutradara Steven Soderbergh bukan orang awam soal thriller dengan elemen teknologi. Tapi begitu mengingat protagonis kita adalah pengidap agoraphobia – yang membuatnya gampang cemas dan gak percayaan – aku pengennya film lebih bermain-main sebagai thriller psikologis. Benar-benar menggali kecemasan dari perspektif protagonisnya. Tapi yang kita dapatkan di sini adalah cerita yang seperti thriller generik. Apa yang harusnya gabungan dari Rear Window dan gimmick kekinian ternyata hanya menjelma jadi thriller kejadian. Yang aku justru merasa diskonek dengan karakternya.

Bagian terbaik dari film ini adalah babak ketiga. Saat film mulai mengembrace sisi fun dari thriller ini. Aku jauh lebih suka bagian akhir ini ketimbang set up yang boring dan agak sedikit terlalu serius.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KIMI.

 

 

 

NO EXIT Review

Aku lebih suka thriller garapan Damien Power ini dibandingkan Kimi. Meskipun bangunannya sama-sama generik (No Exit bermain sebagai thriller ruang-tertutup dengan sedikit misteri who the bad guy) tapi film ini lebih mengundang. Lebih gampang konek kepada kita.

Pertama karena karakternya. Tentu saja thriller harus mampu merancang situasi sehingga kita bukan saja mendukung protagonis untuk selamat dari misteri, tapi juga mendukungnya untuk menyelesaikan masalah personal. No Exit konsisten menggali keduanya, bersamaan. Tidak seperti Kimi yang di awal-awal kita hanya ‘memandang’ karakternya, No Exit langsung mengundang  kita masuk ke dalam permasalahan protagonisnya.  Darby, yang lagi rehab, tapi mendengar ibunya sakit. Untuk sekali ini, Darby pengen cabut dari tempat rehab bukan karena ingin kabur dan relapse. Ini perjuangan yang lebih gampang kita rasakan. Ketika elemen thrillernya datang – Darby menemukan sesuatu yang membuatnya menyimpulkan ada orang jahat yang berbahaya di antara mereka semua yang sedang terkurung di kabin oleh cuaca buruk – film semakin menarik kita masuk. Kita disuruh ikutan menebak. Karakter-karakternya dibuat compelling semua.

Film ini tidak menunggu sampai babak akhir untuk semuanya jadi seru dan fun.  Seiring durasi bakal banyak yang direveal, membuat kita tetap engage dan menambah intensitas. Hanya memang, hal yang diungkap terasa semakin mengada-ada. Just for sake of surprise. Flashback dipilih sebagai cara pengungkapan, yang membuat pace film ini agak terbata.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO EXIT.

 

 

 

RED ROCKET Review

Lo itu problematik. Pengen sebenarnya bilang itu kepada film Red Rocket, tapi setelah dipikir-pikir justru problematik itu yang dijadikan konteks utama oleh sutradara Sean Baker. Lewat protagonis yang mantan bintang porno, Baker di film ini mengisahkan dark-comedy tentang seseorang bisa begitu gak tahu malu, dia terus bermimpi dan membawa/memanipulasi orang jatuh bersama dirinya.

Red Rocket dihadirkan sangat ringan dan penuh pesona. Kayak cerita kehidupan sehari-hari. Di awal ini seperti kisah penebusan diri seseorang terhadap masa lalunya. Mikey kembali ke Texas, dalam keadaan gak punya apa-apa selain yang ia kenakan. Mikey membujuk istri yang telah ia tinggalkan untuk mau menampungnya tinggal. Mikey berjanji cari kerja dan ngasih kehidupan yang lebih baik. Istrinya percaya, mertuanya percaya, dan bahkan kita juga. Kita percaya ini kisah orang yang mau memperbaiki hidup. Kita akan bersimpati melihat Mikey ditolak beberapa tempat hanya karena dia pernah bekerja sebagai pornstar. Karakter karismatik, bermulut manis, dan keringanan tone sebenarnya adalah film memberi waktu kepada kita untuk mengenali ‘ular’ di depan mata. Film mau kita sendiri yang menyadari problematis karakternya. Seiring berjalannya durasi, pengungkapan yang disebar semakin banyak, kita bahkan melihat Mikey mulai ngegrooming cewek remaja, untuk kepentingan dirinya sendiri – kembali jaya di bisnis adult film.

Di sinilah film dan Mikey mulai berbeda. Film memang didesign untuk problematis karena dia ingin kita tahu seperti apa problematik di dunia sekarang – kita cenderung percaya pada kata-kata dan janji-janji palsu. Sementara Mikey, gak nyadar dia itu problematis. Mikey seperti terlalu optimistis, dari awal sampai akhir dia gak berubah. Pada film biasanya kita pengen karakter berubah, entah itu jadi lebih baik atau buruk, pokoknya karakter harus ada development. Belajar hal. Film ini tidak begitu. Untuk dapat bekerja sesuai tujuannya, Red Rocket harus membuat Mikey gak berubah.  Film ini sejatinya adalah karakter-studi, yang kita penontonnya diharap untuk merasakan tragisnya si karakter, tapi tidak lagi bersimpati kepadanya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for RED ROCKET.

 

 

 

THE BUBBLE Review

Setuju gak sih kalo kubilang The Bubble ini adalah film terburuk pada caturwulan pertama tahun 2022? I feel like segala hinaan buat film Don’t Look Up (2021)trying too hard to be funny, gak cerdas, karakter annoying, gak jelas – lebih cocok dialamatkan untuk komedi satir garapan Judd Apatow ini.

Cerita dengan setting belakang panggung film adalah soft-spot buatku. Aku selalu suka film-film tentang orang bikin film. Tapi tidak untuk film yang satu ini. Aku tidak menemukan yang bisa aku suka, lantaran bagian bikin-filmnya ternyata digarap sebagai satir konyol yang begitu dipaksakan sehingga gak lagi lucu. The Bubble adalah tentang produksi film yang terpaksa berhenti karena pandemi, tapi kru dan artis-artisnya tetap tinggal di hotel yang jadi tempat syuting mereka. Dan di sana, dengan pandemi yang terus merajalela gak tau sampe kapan, semua orang termasuk para pemain film jadi stres. Dan demi menjaga produksi mereka tetap jadi, pihak studio film mulai ngasih kebijakan-kebijakan absurd supaya gak ada yang bisa keluar dari sana. Sounds fun? Yea. Tapi eksekusiknya sama sekali tak bernyawa.

Film ini hanya peduli pada satir apa yang pengen disampaikan, mereka tidak membuat karakter-karakternya kayak ‘manusia’. Mereka kayak melempar semua hal ke dinding, dan melihat apa yang nempel – itulah bentuk film ini. Dari adegan suting, tau-tau karakternya marah, dan lalu berikutnya mereka joget sama-sama. Kayak alurnya gak ada poin selain parade satir. Stakenya ngambang antara benar-benar bahaya atau cuma lucu-lucuan. Dan penampilan aktingnya, maan. Pembawaan komedi di sini membuat bintang-bintang komika yang main film di kita jadi kayak orang-orang paling lucu sedunia akhirat. Mereka di film ini cuma gak-jelas. Lucunya ketinggalan entah di mana.

The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for THE BUBBLE.

 

 

 

UMMA Review

Di perfilman kita yang didominasi horor ada saying yang menyebut “Semua akan main horor (jelek) pada waktunya” Dan, ladies and gentlemen, ini adalah waktunya buat Sandra Oh. Waktu dan tempat kami persilakan!

Banyak yang ngeluh film debut sutradara Iris K. Shim ini jelek karena gak serem. Karena lebih kayak drama ibu-anak yang ada unsur gaibnya. Well, bukan karena itu tepatnya. Horor justru bisa jadi sangat baik muatan drama keluarga. Horor-horor terbaik justru adalah cerita tentang trauma yang menjadikan hantu-hantuan sebagai lapisan yang menyimbolkan trauma tersebut.  Ini berusaha dilakukan Shim di film Umma. Membahas trauma yang turun termurun berkat relationship ‘khas’ ibu dan anak perempuan dalam tradisi Korea. Umma adalah Turning Red (2022) yang diceritakan tanpa panda merah melainkan dengan lapisan horor. Umma sebenarnya bisa sangat haunting dan membekas, penuh dengan local-wisdom dari pembuatnya pula. Namun perkara menyeimbangkan bahasan dan horornya itulah yang belum fasih dilakukan, sehingga Umma terasa seperti eksperiens nonton yang kurang ngena.

Shim kayak gak klik sama Oh, Yang satu kayak try to make impression, yang satunya lagi stay di tempat cerita seharusnya. Sandra Oh berusaha mengeluarkan horor yang lebih natural lewat yang dirasakan dan yang dipilih oleh karakternya, dan film bekerja paling efektif saat fokus ke karakter ini. Tapi di sisi lain, Shim masih banyak berusaha menarik horor dari trik-trik horor yang generik. Sehingga tensi film gak benar-benar klik. Seperti pembuatnya sendiri  yang takut. Takut kalo penonton gak takut jika disuguhkan psikologikal horor yang total.

Jadi, sebenarnya film ini gak sejelek itu, cuma memang tidak maksimal saja.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UMMA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now

Dengan Mini Review Vol.3 ini maka caturwulan pertama film 2022 My Dirt Sheet telah rampung. Untuk rapor film cawu ini bisa disimak di Twitter @aryaapepe.

Selamat libur lebaran semuayaa. Mohon maaf lahir dan batin.

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

SPIDER-MAN: NO WAY HOME, ENCANTO, RED NOTICE, PASSING, VENOM: LET THERE BE CARNAGE, THE KING’S MAN, ESCAPE ROOM: TOURNAMENT OF CHAMPIONS, dan BUKAN CERITA CINTA (THIS IS NOT A LOVE STORY) Mini Reviews

Resurgence bioskop di paruh akhir 2021 memang melegakan, tapi juga membuatku kewalahan. Antara rilisan bioskop, platform, screening khusus film festival, dengan kerjaan edit video dan nulis lainnya, semuanya jadi “too many things but so little time” buatku. Maka kupikir sudah saatnya untuk mengembalikan salah satu segmen blog ini yang pernah kulakukan di 2014-2015 (yea blog ini sudah setua itu haha), yaitu segmen Kompilasi Mini Review!

Jadi, inilah ulasan film-film baru yang kalian rekues di komen itu, yang udah kutonton tapi selalu tertunda nulis ulasannya, berkumpul di satu artikel. Sekaligus sebagai penutup; last entries untuk penilaian periode 2021 di My Dirt Sheet.

ENCANTO Review

Sampai sekarang aku masih susah percaya kalo Maribel Madrigal di Encanto ini adalah ‘orang yang sama’ dengan Detective Rosa Diaz yang ketus di serial komedi Brooklyn Nine-Nine. But hey, inilah testament dari kualitas voice-acting seorang Stephanie Beatrice. Sebagai Maribel, dia jadi gadis ceria, suka bernyanyi, yang tampak optimis. Nun jauh di dalam, Maribel merasa sangat perlu untuk selalu membuktikan dirinya sebagai bagian dari keluarga Madrigal yang penuh keajaiban. Karena cuma dialah, dari seluruh keturunan neneknya, yang tidak lahir dengan kekuatan spesial.

Di balik visual yang juga sama ajaibnya – menghibur setiap mata yang menonton – Encanto bicara tentang makna menjadi spesial itu sendiri. Pembahasan yang tentu saja penting untuk penonton anak-anak. Dan orang dewasa tentunya. Karena orang dewasa inilah yang biasanya suka nuntut yang macem-macem untuk anak mereka. Cerita Encanto difokuskan kepada keluarga ini saja, tidak ada penjahat atau makhluk yang harus dikalahkan, dan bahkan tidak ada petualangan keluar. Tapi bukan di situlah kekurangan Encanto. Karena departemen adventure tersebut sudah dihandle oleh elemen magic. Rumah keluarga mereka juga ajaib, bisa memuat dunia/tempat lain.

Yang membuat Encanto yang cakep ini terasa kurang greget adalah tidak pernah mencapai note-tinggi. Dengan kata lain, semuanya agak berakhir terlalu kentang. Magicnya tidak pernah terlalu besar. Adegan-adegan musikalnya juga tidak pernah tampak terlalu memorable atau benar-benar refleksi cerita. Melainkan lebih sering sebagai eksposisi. Kekuatan para karakter juga gak unik-unik amat. Bahkan elemen Protagonis yang gakpunya superpower juga sudah cukup banyak kita temui, apalagi di anime. Filmnya enak dipandang, imajinatif, meriah, kuat identitas, punya pesan bagus, hanya sendirinya terasa normal-normal saja.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ENCANTO.

ESCAPE ROOM: TOURNAMENT OF CHAMPIONS Review

Escape Room yang ceritanya bland banget dan aktingnya pun standar orang baca naskah itu, bisa ada sekuelnya karena menawarkan dunia yang terlihat bakal bigger, dan konsep death trap berupa game yang lebih fun, less berdarah-darah, sehingga lebih mudah diakses oleh lebih banyak lapisan penonton. Dan sutradara Adam Robitel tampaknya memang sudah merancang semuanya untuk menjadi seperti itu. Film kedua ini malah didesainnya menjadi semacam teka-teki sendiri.

To be honest, aku gak suka (dan gak peduli untuk sampai mau mereview) film pertamanya, tapi toh aku tertarik juga nonton yang kedua. Karena film ini actually dibuat dalam dua versi. Yang tayang di bioskop ama yang tayang di platfom streaming punya perbedaan signifikan pada opening dan ending. Yang membuat franchise ini kayak jadi punya dua jalan yang berbeda. Jadi aku menonton keduanya. Dan memang, kedua versi itu menawarkan thrill yang berbeda, dari konklusi yang berbeda. Namun menurutku, tetap tidak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas film ini secara keseluruhan.

Karakternya tetap generic, aktingnya ada peningkatan sedikit, tapi masih seringkali annoying untuk ditonton. Film kayak meniru konsep pertandingan para juara di Hunger Games, tapi tidak berhasil ngasih konteks kenapa harus para juara. Film  jarang sekali balik ke kenyataan bahwa peserta kali ini pernah menang; mereka masih seringkali bego gak jelas. Malah ada satu karakter yang dibikin gak bisa ngerasain sakit, untuk alasan dan kegunaan pada cerita yang sepele. Game-gamenyalah yang jadi penawar utama kebosanan. Set piecenya masih dibangun dengan sangat niat. Aku paling suka bagian pas di ruangan yang diset kayak isi dalam sebuah bank. And that’s all about it.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ESCAPE ROOM: TOURNAMENT OF CHAMPIONS.

THE KING’S MAN Review

Produser, penulis, dan sutradara – si Matthew Vaughn – bermaksud ingin lebih bebas berkreasi dalam proyek prekuel ini. Dia cuma perlu mengestablish awal keberadaan agency beserta muasal karakter-karakter yang sudah kita kenal baik. Dan selebihnya, dia ingin mencoba sesuatu yang lebih dari spy-action komedi. Hasilnya, The King’s Man jadi banyak film sekaligus. Ada drama perang. Ada trik-intrik politik. Film ini jadi agak penuh sesak, sukar dilihat arahnya ke mana. Kebanyakan penonton hanya kecewa karena enggak terasa seperti franchise yang sama. Barulah saat elemen spy-action komedi yang familiar bagi kita datang, film ini kembali terasa menghibur.

Keseimbangan adalah kunci. Dan di situlah persisnya film ini kesandung. Bagian awal fokus kepada hal-hal yang ternyata gak perlu. Pada karakter yang ternyata bakal “hilang”. Karena film memutuskan sudah saatnya menjadi komedi seperti sedia kala. Sehingga momen-momen dramatis itu jadi tidak mendarat. Film mungkin bermaksud untuk membuild up. Tapi tidak pernah melakukannya dengan proper. Seperti ada satu sekuen komedi seputar menipu Rasputin dengan menggodanya. Build upnya ternyata hanya membuahkan adegan yang aku bisa mengerti akan dipandang menyinggung oleh sekelompok orang.

Ya, di sini ada Rasputin. Ada karakter-karakter sejarah beneran yang lain juga. Setting sebelum Perang Dunia I cerita ini memang ditarik dari kejadian sejarah kita. Film lantas membentuknya menjadi versi mereka sendiri, yang actually diadaptasi dari komik. Jadi, The King’s Man sebenarnya sedang bermain-main dengan sejarah fiktif dan sejarah nyata. Seharusnya konsep ini yang fokus dikembangkan sedari awal. Seharusnya inilah sumber fun sesungguhnya. Tapi nyatanya, selain action yang fluid dan paham ngasih punchline, yang membuat kita terhibur di sini cuma Rasputin. Dan – sialnya – saat ada karakter di seruduk kambing. 

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE KING’S MAN.

PASSING Review

Tadinya kupikir film ini bakal pretentious. Pakai warna hitam-putih for no reason selain pengen terlihat kayak estetik film jadul. Tapi kemudian debut Rebecca Hall sebagai sutradara ini floored me. Passing ternyata berarti dua. Pertama soal perempuan kulit-hitam yang ‘menyamar’ hidup sebagai kulit putih. Dan kedua, passing yang berarti seperti pada ending menyedihkannya nanti.

Menyamar di sini bukan dalam artian pake make up atau bedak, atau menipu dengan sengaja. Melainkan karena karakternya punya warna kulit yang lebih terang sehingga dianggap putih. Terms ini juga menguatkan tema film yakni di balik warna kulitnya semua orang adalah sama. Mereka bisa passing ya karena – selain warna kulit – tidak ada perbedaan antara sesama manusia, tidak ada yang unggul di atas yang lainnya. Tema tersebut diolah ke dalam drama persahabatan dua orang perempuan, dan di sinilah letak kecemerlangan sutradara.

Hall mau menyelami karakter. Film akan mengambil waktu, memperlihatkan reaksi setenang dan sekecil mungkin. Setiap percakapan dalam film ini, dialognya menguarkan karakter. Hall mau menggali sudut pandang sehingga semuanya ya jadi hitam-putih alias abu-abu. Tidak ada sugarcoating, tidak ada agenda. Kita melihat kejadian dari karakter utama Irene, yang mulai gerah sama kelakuan sahabatnya yang udah lolos jadi kulit putih tapi masih suka ikut keluyuran ke gathering kulit hitam, stealing all the spotlights. Dan film bicara blak-blakan lewat ekspresi dan sorot mata karakternya itu. Sebagai perbandingan, baru-baru ini aku nonton Backstage (2021), di situ ada karakter yang juga nanti jadi kayak iri sama karakter lain, tapi film seolah menghindari dari membahas. Melainkan hanya menampilkan saja. Hampir seperti filmnya gak mau kita merasakan negatif feeling dari si karakter utama. Film Passing gak peduli sama ‘memuliakan’ karakter seperti itu. Hall tahu dia sedang menceritakan manusia, jadi dia benar-benar mengulik perasaan manusia. Maka dari itu, film ini jadi drama yang sangat beresonansi.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PASSING.

 

RED NOTICE Review

Satu kata yang paling cocok menilai film ini. Mubazir.

Kalian punya tiga aktor versatile – drama bisa, komedi bisa, action bisa – tiga aktor yang lagi hit-hitnya. Tapi kalian hanya menggunakan aktor-aktor itu untuk namanya saja. Tidak benar-benar memberikan mereka sesuatu yang baru, atau bahkan tidak memberikan mereka karakter dan actual cerita. Film ini mecahin rekor Netflix, karena ya dimainkan oleh The Rock, Gal Gadot, dan Ryan Reynolds. Film ini ditonton, tapi aku yakin seratus persen gak ada satupun dari kita yang merasa dapat apa-apa darinya. Hanya hiburan kosong. Ibarat snack, film ini snack yang isinya angin doang.

Porsi aksinya? Red Notice hanya melakukan ulang aksi-aksi yang sudah pernah ada dalam film action sebelumnya. Pun, film ini tidak melakukan hal yang lebih baik dari film-film itu. Tidak menambah perspektif ataupun sensasi baru. Melainkan melakukannya dengan, kayak malas-malasan. Adegan di scaffold bangunan di awal itu misalnya. Aku bisa menyebut setidaknya dua film action lain yang sudah lebih dahulu melakukan itu dengan jauh lebih baik (Rush Hour 2 dan Shang-Chi). Red Notice, udahlah actionnya gak baru, film pun tidak memberikan karakter untuk dimainkan oleh para aktor gede itu. Film hanya menyuruh mereka jadi ‘diri sendiri’, atau at least jadi diri mereka yang paling menjual kepada penonton. Tidak satu kalipun saat menyaksikan film ini aku merasa peduli ataupun mengkhawatirkan mereka. Karena yang mereka lakukan di sini ya cuma menjalankan aksi-aksi aja dengan lucu-lucuan. Gak ada stake, gak ada rintangan. Seolah film takut gak laku kalo karakternya tampak susah dalam melakukan aksi.

Huh, judul film ini harusnya Red Flag aja. Biar siap-siap untuk yang terburuk saat hendak menontonnya.

The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for RED NOTICE.

SPIDER-MAN: NO WAY HOME Review

Bicara tentang film yang mau bikin senang penonton… Penutup trilogi ‘Home’ Spider-Man ini adalah juaranya! Konsep multiverse akhirnya fully dijalankan, dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesenangan penonton. Tiga Peter Parker bahu-membahu melawan musuh-musuh terkuat dalam film-film mereka selama ini. Interaksinya, nostalgianya. Film juga paham, punya selera komedi yang bagus, sebab kita akan tergelak melihat beberapa kali mereka saling becandain universe masing-masing. Aku sama sekali belum pernah merasakan pengalaman nonton film serame ini. Udah kayak lagi nobar Smackdown! Penonton ngecheer, tepuk tangan, tertawa bersama. Experience yang luar biasa.

Hebatnya, konsep multiverse itu bukan cuma dipasang sebagai cheap way untuk bikin penonton senang saja. Drama film ini actually datang dari pemanfaatan cerita tentang multiverse itu. Di sinilah untuk pertama kalinya Peter Parker Tom Holland harus mengambil keputusan dan bertanggungjawab sendiri. Di sinilah dia baru menyadari penuh resiko dan apa artinya menjadi seorang superhero bagi kehidupan dirinya. Dia pengen nyembuhin para penjahat, memang tampak kayak keputusan bego. Tapi Peter memang masih naif, dia harus benar-benar paham bahwa menjadi superhero itu bahaya, dan betapa pilihan seseorang benar-benar membentuk siapa mereka. Bagaimana dengan Peter-Peter lain dan karakter dari dunia lain? Mereka semua dihadirkan kembali dengan arc masing-masing. Semua bakal dapat pembelajaran, dapat second chance. Semakin menambah bobot drama muatan film ini.

Kekurangan film ini buatku hanyalah beberapa pengadeganan masih terasa seperti template. Kreasi atau katakanlah arahan sutradara belum tampak ciri khasnya, padahal sudah tiga film. Ada beberapa adegan yang awkward, kayak para penjahat berdiri diam gitu aja (kayak nunggu giliran) sementara karakter lain sedang ngobrol. Adegan aksinya juga heavy CGI, dan tidak sering diperlihatkan seperti karakter yang mengalami pembelajaran saat berkelahi itu. Hanya berupa aksi-aksi keren semata.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SPIDER-MAN: NO WAY HOME

THIS IS NOT A LOVE STORY (BUKAN CERITA CINTA) Review

Hidden gem di perfilman Indonesia. Tidak banyak yang bicarain soal film ini, padahal dia dapat award di Jakarta Independen Film Festival 2021 dan masuk short list FFI tahun itu. Aku juga tadinya gak aware. Cuma setelah bete dan kecewa berat nonton Aum! (2021), kami nyetel film ini, dan aku bilang aku jauh lebih suka ama film yang ini!

Ceritanya tentang seorang pemulung yang menemukan perempuan di truk sampah. Perempuan berkursi roda itu ternyata masih hidup, cuma tidak bisa bicara dan tidak mau bergerak. Sepertinya trauma. Maka, si pemulung membawa perempuan itu ke rumah. Tadinya ngarep ada yang nyariin dan dia bakal dapat duit imbalan. Tapi lewat berhari-hari gak ada yang nyariin. Si pemulung akhirnya tetap merawat dan mereka jadi akrab dengan cara mereka sendiri. Man, penampilan akting dan arahannya semua terlihat natural. Gak ada yang dibuat-buat. Gak ada drama yang dipancing-pancing dengan over. Sesuai judulnya, ini bukan cerita si cowok pemulung nanti jadi jatuh cinta. It was more than that. Ini bentuk cinta yang lain. Nonton ini kayak nonton kehidupan asli, dan kita jadi ikut peduli dengan kehidupan mereka. Sidi Saleh juga menambahkan lapisan berupa keinginan pemulung untuk jadi aktor, yang memperdalam bahasan dan karakter cerita.

Dijadikan 3 jam pun kita akan tetap betah menontonnya. Namun film mulai goyah saat keperluan untuk mengungkap misteri siapa perempuan itu datang. Gaktau sih, menurutku sebenarnya gak usah dijawab juga gak apa-apa. Ketika dijawab, justru akan jadi datar. Film juga kayaknya sadar, maka mereka memilih jawaban yang vague. Yang malah bikin akhiran film menjadi lebih tidak memuaskan lagi. Di samping akhiran dan elemen misterinya tersebut, This Is Not A Love Story adalah drama kehidupan yang solid, menarik, dan sederhana. Pure bercerita.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THIS IS NOT A LOVE STORY

VENOM: LET THERE BE CARNAGE Review

Venom dan Carnage adalah karakter yang dimaksudkan sebagai counter dari Spider-Man. Mereka adalah sisi jahat dan keliaran dan chaos. Dan fun. Tapi semenjak film pertamanya, Venom enggak pernah benar-benar fun. Ada sisi menghiburnya, tapi gak seberapa. Gak seperti yang dibayangkan. Maka di sekuel ini, Andy Serkis ingin melipatgandakan semua. Dan hasilnya adalah kebisingan yang nyaris bisa aku nikmati.

Fun dalam film ini adalah ribut-ribut bertengkar bahas makan ayam atau makan manusia. Berantem ngambek-ngambekan. Udah kayak ditulis oleh anak-anak untuk anak-anak. Sony kayak ingin berusaha keras biar bisa kayak Marvel, tapi pada akhirnya hanya ‘menyakiti’ karakter-karakternya. Carnage direduce dari serial killer menjadi… serial killer yang gak ngelakuin hal yang unik. Sia-sia aja pakai Woody Harrelson, yang udah pengalaman jadi pembunuh dalam film. Tom Hardy di sini juga kayak berusaha keras untuk tampak vulnerable, dia pengen jauh-jauh dari kehidupan Venom, namun pada akhirnya jadi bucin juga. Karena film actually juga membahas tentang hubungan cinta. Sampai-sampai ada juga yang menghubungkan Venom dan Eddie Brock sebagai relationship queer. LOL. Itulah yang terjadi kalo film yang benar-benar ngasih pegangan; Penonton bakal menggapai, meraih apapun dengan liar untuk jadi pegangan.

Film ini mau bicara banyak tapi bangunan ceritanya sendiri begitu sederhana. Dan pada akhirnya mereka tetap bertumpu pada aksi. Yang memang lebih menghibur daripada film pertamanya. Kali ini pencahayaannya gak gelap-gelap amat. Mereka berusaha sebisanya ngasih adegan berantem dua monster pemakan manusia menjadi tetap seru dengan rating sensor PG-13. Adegan paling penting film ini saja sebenarnya hanya adegan extra saat kredit penutup, yang sekarang terbukti cuma bait kosong saja.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for VENOM: LET THERE BE CARNAGE

 

That’s all we have for now

Dengan ini, berakhirlah sudah penilaian untuk 2021. Jangan lupa cek Youtube My Dirt Sheet untuk Rapor Film Caturwulan III, yang bakal ngasih insight soal penilaian dan periode akhir. Dan setelah itu, tungguin juga daftar TOP-8 MOVIES 2021 yang bakal publish segera di blog ini.

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA