TERSANJUNG: THE MOVIE Review

“No man flatters the woman he truly loves”

Tersanjung: The Movie dan review-review positif yang dituainya – dengan asumsi review-review tersebut bukan dari golongan buzzer – adalah bukti bahwa sinetron masih akan terus laku di Indonesia. Karena, film Tersanjung ini adalah film paling nyinetron yang kutonton sejauh tahun ini berlalu. Kalimatku tadi itu bisa make sense dimaklumkan hanya karena Tersanjung: The Movie memanglah adaptasi bebas dari sinetron Tersanjung yang fenomenal di Indonesia tahun 90an. Maka, sutradara Hanung Bramantyo dan Pandu Adjisurya tentu saja berkewajiban untuk membuat film ini punya rasa yang menyerupai sinetron tersebut. And in that sense, mereka berhasil.

Elemen-elemen cerita dari ratusan episode sinetronnya yang dulu itu, dikutip, dikumpulkan, lalu disulap menjadi cerita yang lumayan baru. Generasi yang belum lahir saat sinetronnya booming masih akan bisa mengikuti film ini. Karena film ini seperti sudah disiapkan untuk menjadi cabang franchise Tersanjung yang baru. Film ini mengisahkan tentang Yura, perempuan muda yang sedang dalam proses perjodohan oleh keluarganya. Perjodohan Yura tersebut terjadi dalam rangka menyelamatkan karir bapaknya, Dalam artian, menyelamatkan ekonomi keluarga mereka. Tentu saja sebenarnya Yura-lah yang paling butuh untuk diselamatkan di sini. Terlebih ketika perjodohan tersebut hampir berubah menjadi suatu trauma mimpi buruk. Dua cowok sahabat Yura-lah yang datang membantu. Persahabatan Christian dan Oka menguatkan Yura. Bahkan secara finansial Yura pun mulai terbantu karena mereka bertiga kini membangun bisnis kuliner bersama. Tapi situasi pelik tampaknya belum reda bagi Yura, karena salah satu dari sahabatnya itu menyatakan cinta, membuka siapa dirinya sebenarnya, untuk kemudian menghilang selamanya.

See, sekarang mungkin kalian sudah mulai sedikit mengerti kenapa aku menyebut ini film ini me-nyinetron. Aku bahkan tidak bisa menuliskan sinopsis tanpa membeberkan hingga ke kejadian-kejadian di akhir film. Itu karena film ini tidak memberikan arc yang clear kepada karakter utamanya, yakni si Yura, melainkan memberikan arc singkat yang terus diulang sehingga seperti jadi episode-episode. Dia nemuin cinta, terus terluka, begitu terus sampai kemudian jadi happy karena durasi sudah terpenuhi. Tapi tetap di akhir itu tidak terasa seperti ending, melainkan lebih mirip berupa cliffhanger ala sinetron. Percaya deh, kita seakan nyaris bisa melihat ada tulisan “bersambung” pada shot terakhir film ini. Hanya seperti masalah yang udah kelar, lalu lantas disambung kembali oleh masalah baru.

“Ooooooo… kubersambung~

Secara kualitas design produksi sih, film ini jauh di atas film-film ala sinetron. The film certainly looks good. Cantik banget malah. Aku maklum sekali kalo pujian-pujian berdatangan dari sini. Banyak shot-shot cakep. Misalnya, shot dari langit adegan Yura nangis di pusara ibu kandungnya, memperlihatkan barisan kotak-kotak kuburan. Sepi. Hening. Benar-benar sesuai dengan perasaan yang sedang dialamatkan kepada kita. Sutradara Hanung memastikan adegan-adegan tetap hidup dengan depth. Setiap kali memungkinkan, dia akan memasukkan banyak kegiatan yang berlangsung di belakang kejadian utama pada setiap framenya. Seperti pada saat di perkampungan, Hanung membuat kampung itu hidup oleh suasana warga sekitar. Ngomong-ngomong soal suasana, cerita film ini mengambil tempat di tahun 90an. Dan nyaris setiap shot menguar banget suasana 90an tersebut. Kerasa banget suasananya. Bukan hanya pada kostum dan properti, tapi juga dari ‘napas’ yang dihembuskan oleh ceritanya. 90an akhir adalah masa-masa chaos di Indonesia, dan film ini menyangkutkan permasalahan kerusuhan tersebut ke dalam cerita. Topik-topik khas sinetron 90an seperti perjodohan dan ketimpangan kelas menghiasi film ini. Beberapa kelebayan khas sinetron tahun segitu juga ditampilkan, seperti ibu tiri yang ngeselin, ibu mertua yang jahat. Semua itu digunakan untuk nostalgia sekaligus identitas. Gaya sinetronnya kuat. Namun gaya visual yang dilakukan Hanung tadi-lah yang mengelevasi film ini. Seperti dibuat dan disyut tahun 90an, tapi dengan peralatan kekinian.

Bagi para pemain pun, Hanung memberikan pengadeganan, banyak ruang untuk melakukan lebih dari yang diminta naskah sehingga aktor-aktor muda seperti Clara Bernadeth, Giorgino Abraham, Kevin Ardillova, dan Marthino Lio enggak hanya ada di sana sebagai penambah cantik visual semata. Bahkan pemenang Gadis Sampul 2018 Allya Syakila yang jadi adik Yura juga diberikan porsi yang lumayan gede; ya kalian tahu dong, aku senang sekali kalo ada anak Gadsam yang dapat peran di film. Para cast utama diberikan lahan bermain salah satunya berupa dialog-dialog yang quoteable, dan mereka berhasil mendelivernya tanpa terdengar kikuk ataupun cheesy.  Ketika tidak sedang sibuk menjadikan adegannya terasa sinetron, Hanung mendaratkan film ini lewat celetukan-celetukan khasnya yang lumayan nyeleneh alias menantang. Misalnya, di film ini diperlihatkan orangtua suka menyebut anak mereka dengan panggilan sayang berupa ‘monyet’. Ataupun soal bagaimana orang Indonesia yang kebule-bulean ternyata kalah manusiawi daripada bule yang nge-indonesia. Aku pikir there must be deeper something in this, tapi untuk sekarang elemen-elemen demikianlah yang membuatku terhibur dan lupa sama panjangnya durasi ‘film-sinetron’ ini.

Jadi sebenarnya yang bagaimana lagi sih film yang menyerupai sinetron itu?

Tentu saja melihatnya dari cerita yang terlalu convenient. Alias cerita yang terlalu digampangkan. Sinetron kan biasanya penuh oleh elemen kebetulan, berpindah cepat antara satu konflik/drama ke konflik lain tanpa mengeksplorasi perjuangan atau struggle dalam cerita. Film Tersanjung ini persis seperti begitu. Ada beberapa kali ketika muncul bahasan yang sepertinya menarik jika diceritakan. Seperti bisnis kuliner yang dibangun Yura. Tadinya kupikir film ini bakal membahas struggle tiga sahabat yang diam-diam tumbuh cinta ini dalam membangun bisnis tersebut. Tapi ternyata tidak. Bisnis mereka berjalan dengan gampang. Tau-tau udah laku aja. Atau juga misalnya lagi, ketika cerita film ini sampai pada situasi seperti Crazy Rich Asians (2018).. Tadinya kupikir cerita benar-benar berubah haluan menjadi ke arah sana; ada sejumlah karakter baru yang muncul (dan di-mention) sehingga seolah bakal penting untuk ke depannya. Tapi ternyata juga enggak. Film glossed over this part. Either berfungsi sebagai penempatan kameo, atau memang ditahan untuk sekuel. Padahal kan bisa jadi cerita yang menarik.  Bayangkan kalian mengetahui sahabat kalian ternyata seorang sultan, dan dia mencintai kalian. I’m pretty sure that is a lot to take, tapi Yura kelihatan biasa-biasa saja. Dan bagaimana denagn Yura yang trauma nyaris diperkosa? Nope, tak ada waktu untuk membahas ini. Perihal Yura membantu orangtuanya juga gak problematis amat. Bakat nyanyi ayahnya ternyata nurun ke dia, Yura cakap bernyanyi, sehingga heran juga kenapa keluarga mereka masih bergantung kepada kontrak ayahnya in the first place. Seharusnya ada yang bisa digali di sini. Relasi ayah dan anak itu mestinya bisa dieskplorasi. Tapi, sekali lagi, tidak. Semuanya harus digampangkan, gak perlu repot-repot yang membahas yang seperti itu di sini.

Ketika pengen nembak tapi belum siap

Sinetron biasanya hobi banget pake soundtrack, ngulang-ngulang lagu sebagai cue adegan sedih, misalnya. Film ini, meskipun enggak separah itu, tapi tetep aja sangat bergantung kepada lagu soundtrack di latar untuk mengeja perasaan apa yang sedang disampaikan. Lucunya lagi, seringkali lagu latar tersebut enggak klop sama adegan yang sedang ditampilkan. Contohnya ketika berkumandang lirik “..kau penuhi janjimu itu…”, tapi adegan yang kita lihat sama sekali tidak ada orang yang sedang memenuhi janji. Adanya malah karakter yang disuruh berpura-pura menjadi suami Yura sedang dipaksa jadi partner senam hamil. Sejujurnya buatku bagian si karakter ini ‘dipaksa’ inilah yang membuat film ini jadi punya nilai minus. Ceritanya jadi sungguh canggung, dan juga sangat convenient. Inilah yang benar-benar memberikan cap film ini menjadi seperti sinetron. Aku gak bisa bilang banyak karena bakal spoiler berat. Aku paham yang diincar oleh film, yakni untuk menunjukkan bahwa feeling mereka memang mutual dan ada consent and everything. Hanya saja, film menunjukkannya dengan menyembunyikan di awal lalu kemudian melakukan pengungkapan kilas-balik. Ini menimbulkan banyak kekonyolan, seperti ibu tiri Yura jadi terlihat seperti mastermind dari semua hubungan tersebut. Cerita akan lebih bagus dan sama sekali tidak perlu flashback jika feeling karakter tersebut sudah diperlihatkan dan dibangun sedari awal. I mean, penonton toh sudah tahu (dari poster dan dari sinetronnya) bahwa Tersanjung adalah cinta segitiga, jadi kenapa masih pakai penceritaan dengan formula ‘ternyata’. 

Yura dua kali terkecewakan oleh pria yang menyanjungnya. Dengan harta. Dengan kesempatan. Dengan janji. Perempuan itu kemudian menyadari cinta sejati tidak perlu sanjung-menyanjung. Cinta sejati langsung membuktikan dengan perbuatan. Dan sekarang, kepadanyalah Yura berpaling.

Sebenarnya sedari awal, film telah melakukan hal yang gak klop. Narasi voice-over Yura yang membimbing kita melewati adegan demi adegan, di bagian pembuka mengatakan bahwa cinta itu berawal manis. Tapi yang kita lihat saat itu justru tensi yang menguar dari adegan perjodohan. Ketidakterimaan yang menguar dari ekspresi ayah Yura, dan keengganan yang terpancar dari Yura sendiri. Mungkin memang inilah yang sedang diset oleh film. Bahwa keenggak klop-an akan konsisten hingga di akhir. Karena tahu tidak, lagu 90an apa yang diputar sebagai latar di adegan menjelang terakhir yang ceria di pernikahan? “Saat bulan purnama bersinar…” Ska dong! Tone-nya jadi drastis banget. It’s not even a 90’s song!  

 

 

Apa lagi yang bisa kubilang? Film ini tahu persis dia mau jadi seperti apa. Mungkin memang ada tantangan tersendiri membuat film yang berasa sinetron. Siapa yang tahu? Yang jelas film ini berhasil menghidupkan kembali ruh sinetronnya. Dan tampil sangat cantik dalam melakukan itu semua. Konflik perasaan yang tak abis-abisnya. Penggambaran si kaya dan si miskin yang too good to be true. Dialog-dialog manis yang enak dipajang jadi caption instagram. Banyak hal dalam film ini yang bisa disukai oleh penonton kita. Tapi apakah ini termasuk film bagus? Aku pikir tidak. Cocoklah tayangnya di Netflix saja. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TERSANJUNG: THE MOVIE.

 

 

That’s all we have for now.

Berhubung filmnya kayak end-credit film superhero, sepertinya film ini pantas untuk diteori-teori-in, don’t you think? Nah, bagaimana, apakah kalian punya teori tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada Christian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BEBAS Review

“A dream you dream together is reality”
 

 
Bebas, garapan Riri Riza, merupakan versi Indonesia dari drama komedi persahabatan asal Korea; Sunny (2011). Jika ingin tahu seperti apa Bebas dibandingkan dengan Sunny, maka kalian tinggal membayangkan film-film live-action remake animasi buatan Disney. Narasi dan urutan cerita bahkan dialog-dialognya sama persis, dengan beberapa perubahan atau penambahan elemen bertindak sebagai hiasan karena perubahan atau penambahan tersebut tidak benar-benar berani dikembangkan.
Hits berat pada zamannya, actually jadi film terlaris kedua di Korea Selatan di tahun 2011, Sunny menuai banyak pujian dari penonton dan kritikus. Bebas pun langsung dapat dengan mudah disukai. Walau raihan penontonnya kurang mencengangkan, tapi di sana sini aku mendengar banyak pujian dialamatkan kepada film Bebas. Menyenangkan, nostalgic! Aku menonton Bebas sama seperti ketika aku menonton Cinta itu Buta (2019) yang juga adaptasi plek-plekan dari film luar; Aku nonton dua film ini tanpa pernah menonton film aslinya. Namun kesan menontonnya berbeda. Pada Bebas, aku merasa hampa. Aku enggak merasa benar-benar konek dengan cerita yang berselingan masa kini dengan masa lalu, dengan karakter yang belasan jumlahnya. Maka aku kemudian menonton film aslinya. Dan menemukan perbedaan mendasar yang menjawab kenapa Bebas yang dirancang sedemikian sama, tidak berhasil menguarkan rasa yang serupa dengan Sunny.
Yang dipakai pada naskah Bebas – yang mengikuti naskah Sunny – bukanlah struktur tiga babak seperti film kebanyakan. Diceritakan seorang ibu rumah tangga bernama Vina Panduwinata dengan kehidupan biasa-biasa saja bertemu kembali dengan salah satu sahabatnya di masa SMA. Sang sahabat itu dulunya adalah ketua geng mereka di sekolah. Dan merupakan permintaan terakhirnya sebelum tutup usia karena kanker kepada Vina untuk mencari dan mengumpulkan seluruh anggota geng mereka. That’s basically the whole set up of this movie. ‘Sisa’ durasi kita akan melihat Vina berusaha untuk menghubungi mereka yang ia tak tahu ada di mana, sementara Vina juga berjuang untuk lebih berperan dan akrab dalam hidup putri remajanya. Kita akan dibawa bolak-balik ke masa lalu Vina dan Geng Bebas masih remaja, sehingga sedikit demi sedikit ‘sejarah; mereka kita ketahui. Drama datang dari kita mengenali impian masa muda mereka dan melihat menjadi seperti apa masing-masing dari mereka sekarang. Sejauh mana pertemanan masa lalu akan berpengaruh kepada diri kita saat sudah dewasa terpapar oleh kenyataan hidup.

kemudian teman hanya sebatas ngucapin selamat ultah

 
Gagal jadi seniman, Vina merasa datar tapi kemudian perjalanan memori dan ‘reuni’ membuatnya sadar hidupnya lebih baik daripada teman-temannya. Vina selalu memandang pengen sejak kecil; pengen secantik Suci, pengen sekaya Gina, pengen sekeren Kris, pengen seluwes Jojo. Di saat dewasa she realizes dia yang paling ‘beruntung’ di anatara teman-temannya. Hidupnya yang paling ‘bener’. Vina tidak perlu dikasih rumah, dicariin kerja, ataupun dipinjamin uang. Dia punya keluarga sendiri, dan dia sadar dia harus mengendalikan hidup sebagai miliknya sendiri. Aku mengerti semua itu dari menonton Sunny, setelah menonton Bebas. Dan itu bukan karena nonton untuk kedua kali baru bisa mengerti, melainkan karena memang Bebas tidak berhasil menonjolkan apa yang sebenarnya ingin ia ceritakan. Pada Bebas, gagasan dan cerita utamanya kalah menonjol oleh deretan cameo pemain, isu-isu sampingan yang hanya jadi latar, dan musik-musik dan hura-hura.
Isi bisa disamakan, tapi penyampaiannya tidak akan segampang itu untuk diduplikasi. Di sinilah Bebas tertinggal dari Sunny. Cerita dengan dua versi tokoh (masa remaja dan masa dewasa) yang silih berganti membentuk narasi utuh sangat bergantung kepada flashback. Tentu saja teknik editing sangat krusial di situ. Sunny sangat seamless menjalin dua periode di dalam cerita. Film itu menggunakan pergerakan kamera yang tak pernah sekadar mengikuti pemain untuk dijadikan transisi yang antara masa lalu dengan masa kini. Time images yang ditangkap oleh kamera, diteruskan dengan menyenangkan ke dalam pikiran kita. Sedangkan pada Bebas, masalah editing-lah yang langsung menyeruak mengganggu. Kita hampir bisa melihat garis-garis pembatas pada setiap perpindahan periode dalam Bebas. Dari satu adegan ke adegan lain terasa abrupt. Banyak sekali cut-cut yang membuat kita semakin terlepas. Pergerakan kamera pun terasa standar. Coba deh bandingkan adegan berantem di antara tawuran dalam film Sunny dan Bebas. Banyak adegan dalam Bebas yang terasa putus emosinya. Kesan paralel antara flashback dengan kejadian yang mengikutinya menjadi hilang. Kita tidak merasa masuk dan keluar dengan benar dari flashback.
Flashback seharusnya dijadikan alat untuk mendukung dan memajukan kejadian di masa kini. Kita melihat dua Vina; Vina remaja yang anak polos pindahan dari kampung berubah menjadi ‘gaul’ bersama teman gengnya, dan Vina dewasa yang hidupnya tampak biasa saja berubah menjadi lebih menarik sejak dia bertemu kembali dengan teman-teman gengnya. Sebagai karakter, ada dua Vina bergerak dalam dua arc yang sama. Teknik penceritaan flashback dilakukan harusnya membuat dua Vina dan dua arc ini menyatu sehingga tampak sebagai satu Vina dalam satu perjalanan. Bebas berusaha mengemulate kerja Sunyi menampilkan ini. Bukan perkara yang mudah, terlebih karena cerita ini juga memuat banyak narasi sampingan seperti persoalan Vina dengan putrinya, Vina dengan kakak cowoknya, dengan masing-masing anggota geng, dengan suaminya, dengan cowok yang pernah ia taksir. Bebas seperti kesusahan menangkap esensi sehingga semua narasi itu disajikan begitu saja, dengan potongan-potongan abrupt. Kita akan bingung harus berpegangan pada yang mana. Semua hal di sekitar Vina tampak lebih dominan daripada dirinya.
Vina ditampilkan sebagai karakter yang sangat datar, terutama di awal-awal saat dia masih anak baru. Ketika adegan di dalam kelas, Vina remaja langsung kalah pamor – film lebih menyorot temannya yang obses sama bulu mata, sama temannya yang ketua geng, sama gurunya yang hamil. Perhatikan betapa besar porsi mereka dibanding Vina. Memang, adegan tersebut memposisikan Vina sebagai observer, ia melihat banyak hal baru yang belum pernah ia jumpai di tempat asalnya. Tapi Bebas memperlakukan Vina seperti tokoh utama pasif game RPG yang dialognya hanya berupa option yang kita pilih. Dalam Sunny, adegan di dalam kelas di awal itu tidak sampai membuat si tokoh utama tenggelam. Personalitynya tetap ditonjolkan. Saat dewasa pun Marsha Timothy mengambil pendekatan yang terlalu muram untuk karakter ini. Sehingga Vina akan jarang sekali tampak sebagai tokoh utama yang menarik. Resolusi film yang terlalu ideal malah membuat Vina tak melakukan banyak pada penyelesaian cerita, padahal di cerita aslinya kita bisa melihat perannya dengan jelas.

Waktu muda kita belum punya hidup, kita hanya punya impian. Sedangkan saat dewasa, kenyataan sudah sepenuhnya milik kita. Kenyataan yang membuat kita terpaksa melupakan mimpi. Salah satu adegan paling emosional dalam Bebas adalah ketika Vina remaja dan geng Bebas membuat video untuk mereka di masa depan; video yang menyerukan impian dan cita-cita masing-masing. Video itu ditonton sambil menangis oleh Vina di masa kini, karena ia sadar impian mereka tak ada yang tercapai karena mereka terpisah. Padahal impian bisa jadi kenyataan dengan diwujudkan bersama-sama.

 
Bahkan lagu soundtrack pun terdengar lebih dominan ketimbang Vina dan ceritanya. Film Bebas semakin terasa sok-asik karena lebih memilih untuk mengandalkan lagu ketimbang penceritaan. Hampir setiap adegan ada lagunya, supaya penonton terbawa asik. Ada satu sekuen geng Bebas menari sambil nyanyi lip-sync muterin musik hampir satu lagu Cukup Siti Nurbaya penuh. I mean, I love 90’s songs as much as you do, tapi dalam film aku lebih suka mendengar lagu yang actually menambah bobot kepada narasi. Lagu yang enggak random muncul hanya karena lagunya enak dan menghentak dan bikin kita teringat masa lalu.

musik 90an memang terbaik!

 
Toh Riri Riza tak tahan juga untuk membiarkan cerita sama persis tanpa perubahan. Seiring dengan pemilihan lagu, latar waktu juga ditarik menjadi di sekitar paruh akhir 90an. Memasuki era reformasi. Tapi di elemen ini pun Bebas hanya sekadar mencari paralel dari keadaan 80an Korea saja, tanpa benar-benar menyelami situasi dan keadaan sosial. Tawuran pelajar dengan polisi, demo pemerintahan, kekerasan pada lingkungan anak-anak sekolah, termasuk sistem pendidikan yang keras, dijadikan oleh Sunny sebagai panggung, untuk kemudian didekati dengan nada komedi. Bebas cuma sebatas mengikuti. Kerusuhan demo, geng pelajar, situasi Indonesia dimirip-miripkan. Para tokohnya terasa tak terlalu tersentuh oleh hal tersebut. Makanya ketika geng Bebas dibubarkan karena sebuah tragedi, kejadian itu terasa seperti sebuah perlakuan tidak adil. Kok malah mereka yang dihukum? Karena hanya mengambil konsep geng di Korea. Dalam Bebas, geng Vina tak lebih jauh dari sekadar kelompok bermain antarsahabat. Padahal secara konteks yang ia sadur, geng itu adalah sebuah clique, sebuah hirarki – terlebih mereka tercipta di lingkungan sekolah yang seluruh muridnya adalah perempuan.
Salah satu perubahan terbesar yang dilakukan oleh Bebas adalah mengubah ensemble menjadi hanya enam orang, dengan satu cowok. Mereka bersekolah di sekolah umum, bukan sekolah khusus wanita seperti pada Sunny. ‘Musuh’ Vina di sekolah juga diubah menjadi cowok berandal. Perubahan ini seharusnya diikuti oleh perubahan konteks cerita, sebab elemennya sudah jauh berganti. Ada narasi baru yang ditambah. Tapi film masih memperlakukannya serupa dengan Sunny. Cowok dalam geng Bebas dibuat kecewekan, sifatnya sama persis dengen cewek ringan-mulut versi Sunny. Sempat diangkat soal sifat si cowok di mata orangtuanya, tapi hanya sebatas dialog dan tak pernah lagi dieksplorasi kemudian. Membuat perubahan itu jadi sia-sia belaka. Niat Bebas mungkin untuk memperlihatkan persahabatan cowok dan cewek. ‘Musuh’ yang mereka hadapi mengaku ia pengen masuk ke geng mereka – ada hint film ingin menyentuh toxic masculinity, tapi sekali lagi tetap terasa half-assed karena si cowok dibuat sedang mabuk saat mengatakan itu sehingga semua yang ia lakukan tak-bisa dipercaya. In the end, Bebas malah tampak seperti berlaku tak adil kepada tokoh-tokoh pria dalam film ini.
 
 
Sunny versi Indonesia ini punya ensemble cast yang menarik, juga disertai banyak penampilan-penampilan ekstra yang menjadi kejutan menyenangkan, musiknya membawa kita bernostalgia. Tapi jika musiknya dilucuti, maka film ini akan terasa hampa karena penceritaan yang gagal untuk meniru yang berhasil dilakukan oleh Sunny. Editing membuat cerita terbata, film somehow luput menampilkan hal-hal detil untuk memaklumkan kenapa kejadian dalam film itu bisa terjadi sedemikian, membuat para tokoh jadi tidak maksimal chemistrynya. Latar film ini juga tidak berhasil dibuat hidup. Emosi yang kita rasakan hanyalah emosi yang timbul dari lagu-lagunya. Tetap masih bisa asik untuk ditonton. Tapi jika dibandingkan – and it’s hard not to compare these movies – film ini hanyalah versi jinak dan clueless dari film Sunny.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BEBAS.

 

Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]

 

Semua orang maunya terkenal. Setiap orang pengen diakui. Jadi, kita getol untuk berkarya. Kita bekerja dengan giat. Ada ungkapan yang bilang “Bekerjalah sampai kau tidak perlu lagi untuk memperkenalkan diri.”

Buat remaja kayak Alessia Cara enam-tujuh tahun yang lalu, muncul di televisi tak pelak adalah ultimate recognition. Sekarang, Alessia sudah ngantongin Grammy. Lagunya langganan nongkrong di Top 10. Apakah pemilik suara raspy yang enak banget didenger ini bahagia? Tentu saja! Siapa sih yang enggak. Tapi bukan berarti semuanya lantas terasa baik-baik saja baginya.

Hit single Growing Pains dari album terbaru penyanyi asal Italia ini dapat kita artikan sebagai curhatan Alessia mengenai kondisi mentalnya sekarang. Jika kesuksesan adalah kemeja, bagi Alessia – kita bisa lihat dari sampul albumnya – yang ia kenakan adalah kemeja yang kedodoran. Dirinya terbungkus di dalam sana. Berusaha menge-pas-kan diri. Kecil. Mungkin tak nyaman.

Aku gak tahu, aku merasa belum cukup sukses untuk bisa beneran masuk ke dalam sepatu Alessia. Namun begitu, aku pikir lagu ini relatable, mencapai, banyak orang. Karena kita semua mengalami perjalanan dari kanak-kanak hingga menjadi orang sukses. Hanya, percepatan perjalanannya saja yang berbeda.

 

 

[Intro]
You’re on your own, kid
You are 

Exactly.

 

 

[Verse 1]
Make my way through the motions, I try to ignore it
But home’s looking farther the closer I get
Don’t know why I can’t see the end
Is it over yet? Hmm 

Kita menempuh banyak hal dalam perjalanan kita meraih mimpi. Di mana terkadang kita merasa ada yang kurang; kita merasa kehilangan sesuatu. Namun semua itu kita acuhkan, karena fokusnya kita ke tujuan yang ingin dicapai. Tapinya lagi, semakin dekat kita dengan yang dituju, kita semakin merasa jauh dari hal-hal yang akrab dan nyaman bagi kita.

Alessia mengibaratkannya dengan sebuah rumah – di mana saat kita pergi kerja, kita akan meninggalkan rumah. Dalam sudut pandang Alessia, antara padatnya jadwal manggung dengan produktivitasnya menulis lagu, bahkan rumah sudah menjadi asing baginya. Orang yang bekerja juga sering merasa begini; saking sibuk di kantor jadi kurang akrab dengan anak-anak sendiri. Ada yang harus ditinggalkan demi mencapai tujuan. Hal inilah yang membuat rindu. Dan capek. Sehingga Alessia bertanya ‘kapan sampainya?’

A short leash and a short fuse don’t match
They tell me it ain’t that bad, now don’t you overreact
So I just hold my breath, don’t know why
I can’t see the sun when young should be fun 

Menurutku ini adalah bagian lagu yang sangat personal bagi Alessia Cara; Alasan dia menulis lagu ini. Alessia merasa dia tidak bisa benar-benar menikmati masa mudanya. Dia harus membagi antara pekerjaan dengan pribadinya. Yang tadinya ia menulis lagu untuk bersenang-senang, ia nyanyi dan ngerekam di youtube supaya dikenal orang, dan sekarang semua itu berubah menjadi tanggung jawab.

Ketika kita sudah berhasil mencapai apa yang kita impikan, saat orang-orang sudah melihat kita sebagai ‘sesuatu’, akan semakin sulit untuk mengekspresikan sesuatu yang kita rasakan hilang dari dalam diri, katakanlah mungkin kejenuhan atau apa, karena kita tidak ingin dicap sebagai orang yang tak tahu cara bersyukur. Aneh rasanya merasa hampa setelah meraih kesuksesan yang diimpikan, maka semua itu pada akhirnya hanya ditahan. Atau dalam kasus Alessia Cara; dijadikan sebuah lagu.

 

 

[Pre-Chorus]
And I guess the bad can get better
Gotta be wrong before it’s right
Every happy phrase engraved in my mind
And I’ve always been a go-getter
There’s truth in every word I write
But still, the growing pains, growing pains
They’re keeping me up at night

Apa yang membuat kita terus bertahan adalah keyakinan sesimpel semua akan indah pada waktuya. Kita tahu kita tidak bisa berhenti gitu aja, terutama jika kita memang suka dengan apa yang kita kerjakan. Kita mencoba meyakinkan diri bahwa perasaan sedih itu ya cuma ‘perasaan’. Meski rasa hampa itu terus membesar. Semakin menjadi-jadi saat malam tiba, ketika semua kesibukan berakhir dan kita terbaring di tempat tidur. Inilah yang dimaksud Alessia dengan liriknya yang tadi soal gimana rumah menjadi terasa jauh baginya – kenyamanan itu ketutup oleh perasaan sedih nan hampa yang semakin membesar.

 

 

[Chorus]
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
And I can’t hide ’cause growing pains are keeping me up at night

Di sini aku membayangkan betapa susahnya bagi seseorang yang merasakan semua itu dalam mencari tempat berlindung. Berusaha senang dengan “hey hey yeah”. Aku kebayang Alessia yang tak menemukan teman curhat yang bisa mengerti apa yang ia rasakan. Sekali lagi, hal kayak gini gak bisa diumbar begitu saja karena kita enggak mau terlihat sebagai tukang ngeluh – karir bagus kok malah sedih?

 

 

[Verse 2]
Try to mend what’s left of my content incomprehension
As I take on the stress of the mess that I’ve made
Don’t know if I even care for “grown” if it’s just alone, yeah

Dengan semua stress itu, menjadi anak-anak akan tampak sangat menyenangkan. Gimana saat masih kecil kita tak banyak tahu, dan ini yang paling penting; orang-orang lain banyak yang mengerti kita. Karena hidup saat bocah itu simpel. Kita ingin kembali melihat – dan dilihat – dunia seperti demikian. Karena, bertumbuh dewasa berarti kita semakin sendirian. Tak banyak mengerti kita. Mungkin kalian juga merasakan, lingkaran pertemanan itu semakin menyempit seiring bertambah usia, seiring bertambahnya pemahaman kita terhadap dunia. Kita mulai sibuk sendiri-sendiri. Alessia dalam lagunya ini mengatakan kalo tahu dewasa berarti sendirian seperti begini, kayaknya ia gak mau deh cepat-cepat tumbuh. 

 

 

[Bridge]
Starting to look like Ms. Know-it-all
Can’t take her own advice
Can’t find pieces of my peace of mind
I cry more than I want to admit
But I can’t lie to myself, to anyone
‘Cause phoning it in isn’t any fun

Aku suka gimana di bagian ini Alessia semacam bikin koneksi ke albumnya yang pertama, Know-it-All. Istilah yang literally cocok digunakan untuk orang dewasa, karena orang gede suka ‘sok tau’ dengan segala pengetahuan yang mereka punya. Ketika kita sukses,  kita akan senang membagi ‘rahasia kesuksesan’. I mean, bahkan belum sukses apa-apapun kita suka bikin kultwit, kita senang berbagi ide dan saran. Padahal yang sebenarnya tak jarang orang yang paling membutuhkan saran dan ide tersebut adalah diri kita sendiri di malam hari, di saat kita merasakan hampa dan sepi. Tapi Alessia bahkan tidak bisa mempercayai sarannya sendiri, sekali lagi, karena dia, sebenarnya ingin kembali ke dirinya yang dulu. Tapi toh, Alessia, juga kita pribadi, tidak bisa membohongi diri sendiri.

Can’t run back to my youth the way I want to
The days my brother was quicker to fool
AM radio, not much to do
Used monsters as an excuse to lie awake
Now the monsters are the ones that I have to face

Bahwa sekali maju, kita tidak bisa mundur. Alessia tidak bisa balik lagi menjadi dirinya saat masih mendengarkan radio bersama adiknya. Ke saat di mana kita mengarang cerita tentang monster biar enggak disuruh tidur. Sekarang, monster selalu hadir saat kita mau tidur. Monster bernama kesadaran dan pemahaman diri. Monster itu adalah diri kita sendiri yang kini sudah dewasa dan sedih menyadari apa yang sudah kita lewatkan – yang tidak bisa kita ambil kembali – dalam mencapai titik kehidupan kita yang sekarang.

 

 

[Outro]
No band-aids for the growing pains

Ini adalah realisasi bahwa perasaan hampa yang kita rasakan saat sudah dewasa, saat sudah jadi orang sukses; perasaan tersebut tak ada obatnya. 

 

 

 

Jika dilihat dari judulnya saja, Growing Pains sudah memiliki dua makna; Pains yang senantiasa terus membesar, atau betapa tumbuh besar itu menyakitkan. Setiap hari kita berjuang mendapatkan apa yang kita impikan. Setiap orang memilih karir yang disenangi oleh hati. Lagu ini membahas tentang rasa rindu terhadap hal-hal yang kita lewatkan dalam rangka mengejar cita-cita, perasaan yang menjelma menjadi suatu kehampaan yang menerjang di kala kita sendirian. Bukan berarti kita tidak bersyukur. Bukan berarti kita tidak bahagia. Adalah hal natural merasakan itu semua, terlebih jika seperti Alessia; kita sudah bekerja sejak remaja.

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa tidak tahu dan tidak suka ama siapa diri kalian saat sedang menatap langit-langit kamar sebelum tidur? Menurut kalian apa sih yang sebenarnya dirasakan oleh Alessia Cara? Bagaimana pendapat kalian tentang lagu ini?

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION Review

“Celebrate our differences”

 

 

 

Monster juga sama kayak manusia. Punya rasa, punya hati. Buktinya, Dracula yang kini sudah menjomblo beratus-ratus tahun mulai merasa kesepian. Kita lihat dia diam-diam main Tinder versi monster. Namun dari sekian banyak “Ping”, Drac belum juga menemukan yang benar-benar nge-”Zing!”. Meskipun belum tahu soal gundah gulana ayahnya, toh Mavis kasian juga demi ngelihat gelagat Drac. Vampir cewek ini mikir, mereka sekeluarga butuh liburan, Drac butuh jalan-jalan keluar dari kesibukan di Hotel. Jadi, Mavis nge-book perjalanan naik kapal pesiar untuk seluruh keluarga dan kerabat monster. Liburan mewah khusus monster sehingga Drac bisa bertemu dan kenalan ama mahluk-makhluk baru. Mulai dari yang seram, yang berbulu, yang bermata banyak, yang manusia, hingga ke yang berusaha membinasakan keluarga mereka.

kukira Zing itu shampoo anti ketombe

 

Sutradara Genndy Tartakovsky – yang kali ini juga turut menulis naskahnya – mempertahankan keunggulan yang dimiliki Hotel Transylvania sejak film pertama; keunikan desain para tokohnya. Pada film ketiga ini, bahkan animasi mereka tampak lebih ‘liar’ lagi. Aku benar-benar menikmati level kreativitas yang dihadirkan oleh film ini, karena hal itulah yang sebagian besar membuat kita bertahan menonton film ini. Kita akan penasaran komedi apalagi yang bakal mereka eksplorasi in regards of karakteristik dan kemampuan dari masing-masing monster. Lelucon dan animasi film ini bukan tipikal animasi normal, katakanlah seperti Pixar. Menonton film ini akan lebih terasa seperti menonton kartun konyol Bugs Bunny ketimbang Toy Story. Latar belakang Tartakovsky sebagai pembuat kartun-kartun Nickelodeon semacam Dexter’s Laboratory dan Samurai Jack benar-benar menunjukkan taringnya. Salah satu sekuen ‘gila’ favoritku adalah ketika Drac dan dunsanaknya terbang naik pesawat, yang dikelola oleh makhluk-makhluk Gremlin. Banyak sekali candaan sehubungan dengan apa yang Gremlin lakukan – you know, bahwa mereka adalah makhluk perusak. Di penerbangan paling-tak-nyaman tersebut, pramugara pramugari kru kabin Gremlin gak peduli sama penumpangnya, lihat saja gimana cara mereka menangani koper dan masker udara. Ada banyak momen seperti demikian, yang membuat kita tertawa tanpa merendahkan IQ, lantaran ada kreativitas dan tentu saja pesan di dalamnya.

Satu hal lagi yang dilakukan berbeda oleh Tartakovsky adalah gimana dia membuat kontinuitas terhadap tokoh, dengan tidak mengorbankan komedi yang ia sampaikan. I mean, detil seperti Dracula yang tertancap sejumlah anak panah, dan di adegan berikutnya anak panah tersebut masih ada di badannya – tidak lantas menghilang kayak di animasi kebanyakan – adalah bukti bahwa kekonyolan yang ada di permukaan tersebut enggak dibuat asal-asalan. Ada pemikiran di baliknya, ada perhatian ekstra yang diberikan oleh pembuatnya. Dalam istilah singkat, filmnya boleh tampak ugal-ugalan, tapi tidak sembarangan receh.

Hotel Transylvania 3 benar-benar total – lebih sebagai film kartun yang menghibur, akan tetapi tidak membuat kita merasa seperti orang blo’on. Kita bisa menikmati keunikan tokoh-tokohnya, kita menertawakan situasi yang menimpa mereka. Sekaligus kita bisa mengapresiasi imajinasi dan pesan tersembunyi yang dimiliki film seputar manusia dan monster dapat hidup berdampingan.

 

Dari segi cerita, memang Hotel Transylvania 3 ini bisa dengan mudah kejegal. Jika film pertama membahas mengenai halangan cinta antara vampir dan manusia, dan film kedua menelaah soal ketakutan Drac apakah keturunannya malah menjadi makhluk mortal ketimbang mengikuti garis darah abadinya, maka film kali ini tak lebih dari sekadar liburan keluarga. Khas Adam Sandler banget! Kita bisa mengritik gimana film ini udah gak sesuai ama judulnya lagi, karena tempatnya udah bukan di Hotel. Kita bisa nyeletuk bahwa cerita film ini hanya sekedar rentetan lelucon dan seri sketsa komedi konyol tentang monster. Tubuh utama cerita adalah tentang teman dan keluarga Drac yang berusaha untuk membantu si “Blah-blah-blah” mendapatkan pasangan baru, dan enggak banyak yang bisa kita salami dari permukaan cerita ini. Dalam cahaya yang positif, bagaimana pun juga, film ini mencoba untuk mencari keseimbangan antara hiburan untuk anak kecil dan orang dewasa. Karena film ini diniatkan untuk menjadi ‘Liburan Keluarga’ yang sesungguhnya.

Setiap kali engkau menambah kata “keluarga” ke sesuatu, niscaya sesuatu itu akan menjadi riweuh

 

Ketika anak-anak terhibur oleh wajah-wajah seram yang sudah mereka anggap lucu, karakter-karakter yang sudah mereka kenal, para orang dewasa niscaya akan bisa mendapat lebih dari humor yang dituturkan oleh film ini. Sebab banyak humor ‘bapak-bapak’ yang diselipin dalam adegan-adegan film ini. Seperti misalnya ketika keluarga manusia serigala yang punya anak satu RT melihat tempat penitipan anak di kapal. Anaknya segitu banyak, beberapa mereka gendong, atau lebih tepatnya gelayutan di badan begitu saja, dan sisanya berlarian ke sana ke mari. Dua pasang manusia serigala ini tak punya waktu kosong, sibuk ngurusin anak, muka mereka kelihatan letih sekali. Dan ketika mereka mendengar penitipan anak itu bilang mau mengurusin anak mereka, by choice – you know – reaksi mereka mendengar “by choice” ini benar-benar bikin terbahak. Yang aku paham anak kecil gak akan ngerti karena ini merujuk kepada pemahaman bahwa anak-anak mereka itu semua karena ‘kecelakaan’ sebab mereka adalah werewolve yang ‘buas’. Jadi, memang film ini memfokuskan diri dalam menyeimbangkan lelucon yang bisa mereka gali dari karakteristik tokoh-tokohnya, alih-alih kedalaman cerita. Bahkan ada lelucon mengenai tentakel yang seratus persen anak kecil belum ngeh di mana lucunya.

Semua makhluk diciptakan berbeda, bahkan manusia punya warna kulit, rambut, bentuk wajah yang berbeda. Kita tidak harus meniadakan perbedaan tersebut, embrace it. Karena yang terpenting adalah bukan bagaimana kita dan mereka adalah sama, melainkan adalah kita bisa mengapresiasi setiap orang meskipun berbeda dengan kita. Pesan inilah yang bisa dibawa pulang oleh anak kecil, dan semoga mereka mengaplikasikannya dalam hidup mereka yang masih tak-berdosa.

 

 

Sesuka-sukanya aku sama arahan kreatif film ini. Sama gimana presisinya timing dan editing dan penyampaian yang mereka punya. Toh, kurangnya elemen kebaruan masih terasa mengganggu buatku. As far as the storytelling goes, nyaris tahap demi tahap ceritanya bisa kita tebak. Siapapun yang pernah menonton film bakal bisa menyimpulkan ke arah mana cerita akan berjalan. Kita akan mengantisipasi pilihan-pilihan yang bakal diambil oleh para tokoh dan apa yang terjadi sesudahnya. Yang bikin beda cuma karena film ini bergerak dengan cepat, dan betul-betul edan. Mereka mengerahkan semuanya demi kekocakan dan hiburan. Satu hal yang took me by surprise, dan aku gak bisa bilang aku menyukainya, adalah ujung-ujungnya masalah selesai lewat tarian dan nyanyian. Jenaka, tapi aku akan lebih suka kalo film mengeset elemen ini sedari awal, sedari sepuluh menit pertama. Sebab, dari saat aku menonton, adegan flashback di awal tersebut terlihat kayak melandaskan film ke arah yang totally berlawanan dengan nyanyi-nyanyian. Mereka ngebuild Dracula dengan musuh bebuyutannya, Abraham Van Helsing, manusia yang sangat membenci monster dan bagaimana Dracula bisa meloloskan diri darinya. Dan later, kita mendapat konfrontasi di antara kedua orang ini dalam sebuah show down yang terasa seperti out-of-place buatku.

 

 

 

 

Film yang banyak memakai referensi monster-monster bersejarah sebagai materi komedinya ini memang tidak akan tercatat di dalam buku sejarah sebagai animasi klasik yang berpengaruh besar dalam dunia perfilman. Ia bahkan tak sanggup melebihi film pertamanya, meski aku pikir seimbang dengan film yang kedua. Tapi dia digarap dengan perhatian khusus sehingga menjadi sajian yang total menghibur, namun tidak terasa totally receh. Gila dan tampak kacau, memang, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa diapresiasi oleh seluruh anggot akeluarga yang menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WAGE Review

“Music can change the world because it can change people”

 

 

Karya musik tidak bisa sepenuhnya kita hargai tanpa mengenal penciptanya. ‘Mengenal’ bukan sekedar tahu nama loh. Melainkan mengetahui dari mana dia ‘berasal’. Apa yang sudah ia laluli sehingga bisa dapat ilham mengarang lagu. Selama ini, kita mungkin hanya tahu siapa nama pencipta lagu Indonesia Raya, lagu Ibu Kita Kartini. Kalo ada sepuluh orang yang kita tanyai, mungkin sembilan orang bisa menjawab “WR Supratman” dengan benar. Jika pertanyaannya dilanjut menjadi apa kepanjangan dari WR itu, mungkin hanya setengah dari sepuluh tadi yang bisa menjawab. Jika ditambah lagi pertanyaannya menjadi siapa yang tahu perjuangan apa yang dilakukan WR Supratman dalam menciptakan kemudian mengumandangkan lagu tersebut? Kesepuluh orang tadi kemungkinan gede hanya bisa diem. Aku sendiri dulu sempat kesel kenapa Indonesia Raya enggak diciptain lebih pendek,  empat baris aja gitu, supaya gak perlu berlama panas-panasan setiap kali upacara bendera. Dan setelah nonton film Wage, serta merta aku merasa durhaka pernah berpikiran seperti demikian.

dan kalo pertanyaannya nyuruh nyanyi, aku mundur duluan

 

Dalam film Wage, kita akan melihat hidup komponis ini sedari kecil. Supratman cilik sudah suka dengan musik, dia tertarik pengen mainin alat musik. Akan diperlihatkan banyak sisi kehidupan tokoh kemerdekaan ini yang belum kita tahu; bahwa dia pernah gabung ama band jazz, bahwa dia pernah mengadu nasib jadi jurnalis, bikin cerita roman.  Oleh seorang Belanda, dia diberi nama Rudolf, dan diajarkan main biola – alat musik pamungkasnya. Dengan biola, Supratman berhasil menciptakan musik yang mempengaruhi banyak orang.  Sampai-sampai pemerintah Belanda merasa terancam. Musiknya menghimpun keberanian rakyat, Supratman dianggap penghasut. Sebagai orang yang berbahaya. Fokus cerita sebagian besar adalah soal ‘perang dingin personal’ antara Supratman dengan polisi utusan Belanda, seorang yang berdarah campuran Belanda-Indonesia, yang ditugaskan untuk menangkapnya.

Ketika aku mendengar bahwa Wage disebut sebagai film noir, seketika itu juga aku tertarik. Alasannya simpel; Kita tidak bisa membuat sebuah cerita tentang pahlawan ke dalam cerita yang hitam – ke dalam cerita antihero. I mean, how could you. Noir bukan semata tentang pri berjas, berstelan rapi, yang merokok. Ultimately, film noir bukan film yang berakhir bahagia. Noir adalah cerita yang penuh muslihat, tentang kemunduran seorang tokoh. Jika bicara tentang cinta, maka film noir akan menyebut cinta satu nafas bersama kematian. Aku tertarik karena kupikir Wage akan diarahkan sama sekali berbeda dengan biopik kepahlawanan Indonesia yang sudah ada. Kupikir pembuat filmnya punya satu sudut pandang unik yang dengan nekat dia jadiin film. Kupikir sutradara John De Rantau mampu mengubah kepahlawanan menjadi anti hero yang bakal bikin kita tercenung. I know, it’s a hard thing to achieve. Dan ternyata memang, Wage enggak bisa. Menyebut film ini sebuah noir sesungguhnya adalah mislead. Wage lebih sebagai sebuah DRAMA YANG TERINSPIRASI OLEH GAYA NOIR.

There’s just no way kita bisa melihat Supratman sebagai antihero dalam film ini. Sepuluh menit pertama kita dibuat bersimpati dengan melihatnya kena cambuk, melihatnya menangis ditinggal meninggal oleh sang ibunda. Ada beberapa sekuens di babak awal yang memperlihatkan Supratman sebagai pemuda pemusik yang pesta pora, dia literally bobok di atas uang, namun kemudian film dengan cepat menetapkan Supratman sebagai pihak putih. Dia dibuat sadar, dia beribadah, dan dia bertekad untuk membantu kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri; lewat musik. Ini adalah perjalanan karakter yang progresif.

Musik yang hebat dapat mengubah dunia. Musik dapat menggerakkan massa, menjadi alat pemersatu bangsa seperti yang sudah dibuktikan oleh Wage dan Indonesia Raya. Karena musik adalah bentuk ekspresi seni yang punya keuntungan mudah dipahami dan diresapi. Ini adalah bahasa universal yang bisa menginspirasi banyak orang karena kita mendengarkan musik dengan cara yang sama.

 

Kita memang melihat perjuangan Supratman menciptakan lagu, tapi film menunjukkan aspek ini dengan sedikit berbeda dari yang kubayangkan. Kita melihat Supratman terinspirasi oleh suara denting-denting penempa besi, kita lihat dia berulang kali merevisi nada di catatan partitur. It’s nice ngeliat detil dan usaha seperti demikian, namun yang sebenarnya pengen kita lihat adalah usaha dia sebagai komponis yang ingin memperdengarkan lagu. Kita ingin lihat dia menentang aturan, kita ingin lihat dia sembunyi-sembunyi bermain musik, kita ingin lihat his ups-and-downs, perjuangan mati-matian. Rendra Bagus Pamungkas sangat hebat menghidupkan tokoh ini, sehingga semakin disayangkan naskah tidak memberinya banyak hal untuk dilakukan. Sebagian besar waktu, Supratman kita temukan diberi saran oleh teman-temannya. Dia disemangati. Padahal tokoh ini punya api yang berkobar di hati, film menyia-nyiakan ini.

Lihat saja betapa menariknya Wage setiap kali dia mempertemukan Supratman dengan polisi Belanda yang terus mengikutinya, Fritz. Aku gak yakin banget, tapi sepertinya Fritz bukan tokoh sejarah asli dan murni diciptakan oleh film. Dan Teuku Rifnu Wikana benar-benar total menjual peran tersebut. Meskipun scoring film terkadang membawanya ke ranah ‘over-the-top’, namun Teuku Rifnu berhasil mengrounding tokoh ini. Fritz adalah tokoh yang paling menarik, dia setengah Belanda – setengah Indonesia, dia ditugaskan mengikuti Supratman, menangkapnya at once begitu kaki Supratman melanggar batas. Tetapi Fritz merasa lebih banyak dari yang diperlihatkannya. Dia tahu enggak segampang itu mememenjarakan Supratman, dia mengerti reperkusi tindakan tersebut. Fritz pintar, dinamikanya dengan Supratman yang juga cerdas dan berkemauan keras adalah penyelamat kebosananku saat nonton. Tindakan Fritz kadang menjadi jalan selamat buat Supratman. Dari sekian banyak yang ia lakukan (atau tidak ia lakukan), kita tidak pernah pasti Fritz sengaja melakukannya, ataupu apakah darahnya bergejolak jua diam-diam mendengarkan lagu-lagu Supratman.

Violin Hero!

 

Adegan antara Supratman dengan Fritz itu layaknya emas di tengah-tengah hamparan batu-batu yang bopong. Di waktu-waktu ketika bukan percakapan mereka yang jadi pusat, dialog-dialog film ini terasa sangat tak-bernyawa. Eksposisi selalu tak terhindar dalam film sejarah, hanya saja mestinya bisa dikemas dengan lebih menarik. Pada Wage, dialog-dialog sejarah itu terasa disadur flat out dari buku sejarah. Kita tidak merasakan apa yang mereka obrolkan, situasinya tidak tergambar, emosinya tersampaikan dengan datar. Mereka kayak ngobrolin teks-teks di buku sejarah, tanpa ada bobot emosi yang meyakinkan di dalamnya.

Film ini juga gemar membangun sesuatu tanpa berujung apa-apa. Ada adegan rapat Kongres Pemuda lagi ribut membahas bahasa persatuan, dan mereka memainkannya lebih seperti kepada untuk tujuan humor – you know, bahasa-bahasa daerah saling cekcok, kan lucu tuh kedengerannya – lantaran kita tidak diberikan penyelesaiannya. Gak dibahas lagi.  Pertemuan Supratman dengan tokoh Prisia Nasution malahan hanya dibuild sekali – Prisia ngeliat Supratman main biola – dan kali lain kita melihat mereka, mereka sudah seperti pasangan. Dan Prisia tidak muncul lagi dalam adegan manapun setelah itu. Banyak aspek yang dibangun hanya untuk jadi latar belakang saja. Contohnya lagi ketika Supratman ngasih harga tinggi buat nampil di kafe, dia keren sekali saat menolak itu, tapi kemudian kita malah melihat dia tau-tau jadi jurnalis berita maling ayam. Katanya dia mulai bosan main musik. Aspek-aspek cerita didorong ke background, dan itupun tidak rapi keiket.

Adegan yang paling bikin aku penasaran adalah gimana mereka bakal nampilin debut Supratman dengan Indonesia Raya di Kongres Pemuda II, kalian tahu, adegan yang sering jadi pertanyaan saat ujian sejarah di sekolah. Build up menuju ke sana padahal bagus banget. Kita lihat Supratman dilarang begitu nada pertama mulai digesek. Kita melihat mereka membicarakan, menego agar bisa ditampilkan, dan akhirnya Supratman benar-benar berdiri di depan semua orang memainkan Indonesia Raya untuk pertama kali. Syaratnya satu; tanpa lirik. Kita semua tahu gimana kejadiannya di buku sejarah. Film lantas ngeclose up dawai, menunjukkan tetesan air, hal-hal yang jadi inspirasi Supratman mencipta. Dan ketika lagu tersebut actually dimainkan, kita mendengar lagu yang ada liriknya. I mean why? Kenapa gak musik aja seperti di kejadian nyata. Kan bisa juga nanti setelah itu baru dimasukin lagu berlirik. Seolah malah film ini sendiri yang gak yakin sama kekuatan musik. Seolah film ini gak yakin sama kekuatan Indonesia Raya tanpa lirik. Seolah film gak yakin penonton enggak tahu kalo itu adalah lagu kebangsaan jika tampil tanpa lirik.

 

 

Orang-orang akan lebih banyak menonton film Indonesia lain yang tayang barengan film ini. Padahal mestinya ini adalah film sejarah yang benar-benar penting untuk diketahui. Relevan dan juga baru banget, belum pernah ada yang mengangat sudut pandang lagu kebangsaan. Namun sepertinya sudah tiba waktunya bagi pembuat film biopik tanah air untuk mengerti (dan berani!) bahwa biopik enggak mesti menceritakan dari kecil. Bahwa mereka bisa saja mengambil satu peristiwa penting dalam sejarah dan memfilmkannya. Mereka bisa bikin sesuatu yang lebih menarik dan fokus jika misalnya mereka mengeksplorasi dari Kongres Pemuda Dua saja; bikin contained ruang tertutup kayak 12 Angry Men (1957) di mana selisih di adegan rapat dan Supratman berusaha lagunya dimainkan demi persatuan. Atau kalo memang mau bikin film noir, sudut pandang Fritz sebagai tokoh utama akan bisa lebih pas – karena tokohnya dengan gampang ditulis sebagai antihero yang terpengaruh oleh lagu Supratman, believe in him, tapi tetap memihak kepada Belanda. Ada begitu banyak yang bisa mereka lakukan, namun film ini memilih untuk tetap di jalur yang tak membawa perubahan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 god stars for WAGE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

ONE FINE DAY Review

“We lie best when we lie to ourselves.”

 

 

Syuting ke luar negeri, bagi film Indonesia, ekuivalen dengan penggunaan efek komputer yang canggih. Semacam, PH punya duit banyak, namun teknologi yang ada belum memadai, jadi yeah film-film lokal banyak stak dengan cerita berlayer sedikit (malah sering juga satu) dan sebagai gantinya mengandalkan kepada jalan-jalan ke tempat mewah penuh pesona peradaban kayak New York, London, Amsterdam, Paris. Dan kali ini Barcelona. Film-film jenis begini musti mampu menjalin cerita yang benar-benar mengconvey kota yang dijadikan latar, membuat cerita beserta karakter-karakternya punya kepentingan untuk berada di sana. Paling enggak, mereka harus bisa menjelaskan lebih dari sekadar “dunia ini sempit” kenapa pelancong dari Indonesia kerap bertemu ataupun rasanya banyak banget orang Indonesia di negara tersebut. One Fine Day, misalnya (bukan yang film George Clooney dan Michelle Pfeiffer loh ya),  film ini memasukkan elemen pengawal pribadi yang membuat ceritanya memang kudu terjadi di luar negeri.  Elemen musik dengan genre  yang lagi hits juga dibuat film ini sebagai salah satu alasan kenapa ceritanya harus berlokasi di Barcelona.

nyaingin Despacito ni yee

 

Aku sendiri juga sebenarnya enggak punya kepentingan apa-apa pergi nonton film ini. Aku tahu benar drama cinta anak muda kekinian bukanlah genre yang biasa kunikmati. Aku gak ngefans sama pemain-pemainnya. Aku gak pernah mimpi jalan-jalan ke Barcelona. Niatku adalah paling enggak, keluar dari studio aku bisa bikin tulisan yang mengedukasi gimana sih drama yang bagus itu semestinya. Jadi, aku masuk mengharapkan yang terburuk. Dan film ini  ternyataaa….. sepertinya judulnya, IT WAS FINE. Digarap dengan cukup kompeten. Punya skenario yang strukturnya bener. Dari tokoh-tokohnya juga, film ini punya sesuatu yang ingin disampaikan. Ada titik ketika film terasa jadi terlalu dramatis sih, ada bagian-bagian ketika cerita menyerah ke kepentingan untuk bikin baper penonton sebaper-bapernya, dan para aktor benar-benar up for it. Penampilan mereka tepat menghasilkan kesan dan reaksi seperti yang ditargetkan.

Jefri Nichol di sini berperan sebagai Mahesa, seorang yang easy going, sepertinya sedikit slengekan, dia beredar banget di jalanan, dia menyapa orang-orang, terutama cewek. Polisi juga tampak kenal padanya, “hey kamu, jangan lari!” hihihi. Mahesa ini anak band juga, a shirtless band, yang dari main di jalanan bersama dua temannya, sekarang mereka terkenal di youtube.  Dalam rentang sepuluh menit pertama, kita diperlihatkan gimana Mahesa dan kedua temannya itu ngescam cewek cakep yang kaya dan desperate. Itulah yang trio ini lakukan di waktu senggang mereka – yang mana hampir sepanjang waktu – nilep duit cewek dengan memanfaatkan kegantengan Mahesa. Susah untuk peduli pada karakter ini di awal,  apalagi stake cerita ini personal banget bagi Mahesa, dan kita butuh untuk segera di belakang tokoh ini. Namun melakukan itu bahkan lebih susah lagi ketika sedikit demi sedikit pribadinya terbuka. Karena, Mahesa jatuh hati pada Alana’s Michelle Ziudith, dan di sekitar cewek itu Mahesa nunjukin sisi baik, namun kita masih gak yakin apakah baiknya itu beneran dari hati atau muslihat si Don Juan.

KEBOHONGAN DAN KEJUJURAN menjadi tema utama cerita yang muncul berulang dan menjadi benang merah antara tokoh-tokoh yang ada. Bagusnya, benang tersebut enggak tersimpul atau malah putus di akhir. Setiap tokoh diberikan resolusi memuaskan, meskipun beberapa cheesy. Tokoh bodyguard pun mendapat subplot yang sejajar dengan tokoh-tokoh mayor sehingga Surya Saputra yang bermain really contained tidak terlihat seperti tokoh yang out-of-place. Alana, aku sempat cuek juga sama tokoh ini, keinginannya sepertinya cuma punya pacar. You know, kita liat dia duduk sendirian, terus entah kenapa dia punya bodyguard. Tapi kemudian as the story goes, kita mengerti dia sudah punya cowok, dia enggak bahagia dengan relationshipnya, dan bodyguard itu ditugaskan oleh si cowok untuk menjaga Alana ke mana-mana.

Setiap kita pernah gak jujur kepada orang lain, pura-pura, ngeles, atau malah kayak Mahesa – penipu ulung. Namun, kita adalah pembohong yang sangat baik ketika kita berbohong kepada diri sendiri. Pesan inilah yang menggarisbawahi narasi. Sebagian besar poin cerita yang terlihat  lemah di awal; Aku mencibir ketika Mahesa bilang ke Alana “Saya yang bisa jaga kamu” dan Alana percaya, sebab aku masih ingat Alana pertama kali ketemu Mahesa; Dia ngeliat sendiri Mahesa lagi ngedate sama cewek bule, kemudian dia dihajar oleh penagih hutang, di meja kafe. Meski dari sisi Mahesa itu hanya skenario, tapi kalo jadi Alana, aku akan takut pacaran sama orang ini, apa jaminannya dia enggak berantem lagi. Juga poin cerita yang belum-terjelaskan; karena selalu dikawal, Alana ingin bersama orang yang membuat ia merasa bebas, walau mungkin kebebasan tersebut ada harganya. Kemudian datang adegan yang kontras dengan itu, ketika Mahesa nyuruh Alana untuk diam di tempat, dan Alana benar-benar enggak bergerak. Tidak bisakah ia melihat Mahesa gak begitu berbeda dengan cowoknya? Poin-poin cerita tersebut, juga hubungan yang rasanya terjalin terlalu cepat antara Mahesa dan Alana, ternyata bekerja dengan baik dalam konteks pesan ‘kita penipu ulung diri sendiri’

Setiap karakter film ini berbohong kepada diri mereka. Danu, pacar Alana, tahu bahwa Alana gak cinta kepadanya, jadi dia memakai pengawal untuk menjaga agar Alana tidak diambil orang. Danu bohong kepada dirinya sendiri, dia bertindak seolah Alana ada di dekatnya karena cinta, karena nyaman. Tapi enggak. Begitu jua dengan Alana; dia tahu rasa cintanya kepada Danu sudah tergantikan oleh Mahesa, tapi dia tetap balik ke Danu ketika dia mendengar di balik apa yang selama ini dilakukan Mahesa. Cuma Mahesa yang enggak bohong ke diri sendiri, dia hanya bohong kepada orang lain. Mahesa dengerin kata hati, dan ultimately dia belajar untuk tidak bohong sama sekali.

Kita bohong kepada hati. Kita cenderung suka mengabaikan kata hati sendiri hanya demi nyenengin orang lain. Hanya demi memuaskan kebutuhan yang enggak benar-benar kita perlukan. Hanya demi secuil rasa security.

 

Dari nonton film ini, sepertinya aku jadi bisa ngerti kenapa drama cinta Indonesia itu kebanyakan kayak dibuat-buat, gak genuine. One Fine Day adalah cerita yang mature by nature, konfliknya dewasa. Bicara soal kejujuran, soal passion, pilihan hati. Aku paham film ingin membahas sesuatu yang serius dalam tone yang lighthearted, namun tetep terasa ada batasan-batasan adegan yang tidak bisa dilakukan. Tokoh dalam film ini mestinya sudah dewasa, tapi gak benar-benar meyakinkan karena acapkali mereka terasa seperti anak baru gede. Di sinilah letak masalahnya. Tokoh-tokoh tidak meyakinkan, mereka tidak terasa nyata karena tidak bertindak dalam bingkai-usia yang benar. Dialognya sering revert back ke kutipan-kutipan yang cheesy. Film ini juga catering ke pasar terlalu banyak dari yang semestinya mereka lakukan. Penggarapan filmnya, arahan, cara pengadeganan diolah untuk menyampaikan pesan masih mengandalkan trope dan pancingan dramatis yang over. Dalam film ini kita akan melihat montase pacaran, lengkap dengan musik yang ngehip. Soal musik, ya eksesif sekali, maksudku, mereka memasang di adegan sedih seolah akting nangis Ziudith belum cukup untuk menyampaikan rasa. Narasi juga terasa convenient. Ada banyak kebetulan yang terjadi, seperti kebetulan sekali cewek-cewek yang ditipu oleh Mahesa dan teman-teman tidak pernah nonton video youtube mereka atau melihat mereka nampil. But mainly, kebetulan-kebetulan digunakan oleh film untuk memancing tawa ataupun sepercik drama tambahan.

ini cuma aku sih, tapi aku cukup kecele oleh judul, kirain ini film real-time satu hari

 

 

Pada akhirnya semua plot keiket. Yang jahat kena batunya. Yang baik muncul ke permukaan dengan bahagia. Menari dan menyanyi. Berpelukan. It’s a fine day for everyone. Dan aku enggak akan bohong, ini adalah film yang oke. Punya cerita untuk disampaikan, dan tau cara menceritakannya. Kalian bisa ngajak seseorang yang spesial untuk nonton bersama, dan belajar soal kepercayaan. Kejujuran dan kebohongan. Tapi hanya itu. This movie doesn’t break any ground, or taking risk, atau menjadi lebih menantang – atau bahkan lebih dewasa, or anything else di luar jangkauan target pasarnya. If anything, justru malah bisa jadi lebih baik lagi jika tidak terlalu terpaku kepada trope-trope drama.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ONE FINE DAY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

ATOMIC BLONDE Review

“A secret makes a woman, woman.”

 

 

Perang informasi dan spionase selalu adalah soal fleksibilitas moral, atau bahkan meniadakan moral sejenak, hanya untuk menghancurkan musuh.

 

Makanya, historically setelah Perang Dunia Kedua, secret services MI6 mulai merekrut pria-pria pemakai narkoba, alkoholik, dan para homoseksual untuk dijadikan mata-mata. Lagian, kelompok orang-orang yang dianggap gampang menanggalkan moral tersebut sudah luar biasa berpengalaman dalam menyimpan rahasia. Kalo soal moral sih, yang namanya manusia ya jelas bukan malaikat. Namun, sebenarnya, cewek lebih ampuh dalam menyimpan rahasia. Serius, cewek mana pun yang tahu banyak akan berkata bahwa mereka belum pernah melihat ke dalam hati pria. Dan lagipula aku punya teman cowok yang kalo bohong pasti langsung ketahuan karena terlalu banyak ngedip dan keringetan, persis Nick di serial New Girl.

Di luar kemasannya yang mirip John Wick versi cewek, Atomic Blonde yang diadaptasi dari graphic novel The Coldest City adalah cerita tentang mata-mata. Kalo biasanya di akhir setiap review aku bilang, “in life there are winners and there are losers”, maka film ini punya petuah yang sedikit berbeda. Di dunia dengan orang-orang yang memakai nama alias itu, hanya ada kebohongan dan kebenaran. Kelemahan adalah ketika seseorang mempercayai orang lain. Jadi, jangan heran akan ada BANYAK TWIST-AND-TURN dalam cerita Atomic Blonde.

Paralel dengan setting sejarahnya yang menjelang peruntuhan Tembok Berlin, film ini bilang bukan senjata yang membuat kita saling tak-percaya. Senjata ada karena kita enggak bisa percaya pada siapa-siapa. Charlize Theron adalah agen mata-mata bernama Lorraine Broughton, dia tersohor oleh kemampuan penyamaran sekaligus keahlian kombatnya. Oleh atasan dan CIA, Lorraine diminta untuk berangkat ke Berlin demi menemukan List ‘penting’ berisi nama-nama orang yang diduga double-agent. Di Berlin, Lorraine akan dibantu oleh Percival (sekali lagi James McAvoy devilishly menghibur). Mereka juga harus melindungi seorang agen yang rumornya sudah hafal isi List tersebut, sehingga dia juga ikutan buron oleh orang-orang jahat.

Bukan List of Jericho loh ya!

 

Meskipun ini lebih kepada sebuah cerita mata-mata yang kompleks dengan ledakan aksi, maaaan, enggak usah ragu deh sama sekuens berantemnya. Setiap masing-masing mereka dihandle dan difilmkan dengan gaya keren, juga intens. The shots were beautiful. Lorraine bener-bener menghajar banyak orang. Kabarnya, Theron menampilkan sebagian besar adegan aksinya tanpa peran pengganti, which is incredibly amazing! Atomic Blonde digarap oleh salah seorang sutradara John Wick (2014). Dan David Leitch sekali lagi membuktikan kepiawaiannya mengarahkan adegan pertarungan tangan kosong, ataupun kejar-kejaran mobil. Bandingkan deh editing dan gerak kamera pada sekuens aksi film ini dengan Kidnap (2017). Oke, aku akan nunggu sampai sakit kepala kalian mereda setelah ngeliat adegan Kidnap.

Udah?

Well, Leitch membuat setiap bak-bik-buk terlihat menakjubkan. Gerak kameranya mulus sejalan dengan arah mata kita. Particularly sekuen pertarungan di tangga, yang kemudian berlanjut di jalanan Berlin yang ramai oleh warga yang demo. It is such a blast. Salah satu porsi aksi sinema yang paling stand out di tahun 2017.

Theron excellent banget. Ada sesuatu dari tokoh Lorraine yang membuat kita terinvest. Ya, cerita memang mengeksploitasi dirinya yang seorang cewek, but again, itu untuk menunjukkan cewek adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan spy yang badass. Lorraine ditulis sangat dingin. Personanya udah Ice Queen banget. Itu bukan hanya karena kita ngeliat dia dua kali mandi berendem dalam es batu, ataupun minumnya selalu es kosong campur Vodka. Karakter ini seolah diselubungi misteri. Dia pintar, kata-katanya tajam, tindakannya tangkas, dia membuktikan dirinya adalah orang yang tepat untuk tugasnya. Tapi ada secercah vulnerabilitas di dalam pribadi cewek ini yang kadang terlihat. Film ini mencerminkan personality Lorraine lewat penggunaan warna. Most of the time, di momen-momen cool, Lorraine akan didominasi oleh warna biru seperti kita melihatnya di bawah air dari balik akuarium. Kemudian semburat merah akan lantas mewarnai sosok ini, entah itu api dari pemantik ataupun cahaya neon, dan sekilas kita melihatnya kembali sebagai ‘manusia biasa’. Pun begitu, Lorraine enggak selalu langsung menang berkelahi. Adegan pertama kita melihat tokoh ini, dia dalam keadaan babak belur. Karakter dan treatmentnya sendiri akan membuat kita tetap tertarik, kayak cowok kalo lagi naksir ama cewek kece yang jutek.

 

Namun tertarik enggak bisa membawa kita jauh-jauh amat. Sebab selalu ada saatnya kita ingin belajar lebih banyak tentang karakter tersebut. Hingga menjelang babak akhir, aku enggak pernah benar-benar mengerti apa sih motivasi si Lorraine. Ataupun kenapa banyak orang mengincar daftar nama yang menjadi masalah tersebut. Oke, Lorraine dan teman-temannya ingin mengamankan List, dan bad guys pengen menjualnya, tapi inner motivasi dari kenapa mereka bersedia melakukan itu adalah hal yang bikin kita berjuang untuk mengerti. Dunkirk (2017) membuktikan bahwa kita bisa kok mengikuti karakter hanya di momen yang sedang berlangsung saat itu. Hanya saja, Atomic Blonde tidak berhasil membuat rasa tertarik kita terpuaskan. Investasi kita terhadap karakter tidak membuahkan apa-apa karena kita struggling berat memahami kompleksititas ceritanya.

Penulisan tokoh-tokoh seolah dibuat sengaja untuk mengecoh kita, it full of turns. Setiap mereka diperkenalkan sebagai sesuatu dan pada akhirnya mereka ternyata adalah ‘sesuatu’ yang lebih besar. Sesuatu yang berbeda. Kita enggak diberikan banyak waktu untuk mengenal mereka. Kita dapat dream sequence untuk Lorraine. Tapi itu belum cukup. Selebihnya, untuk karakter-karakter minor, perubahan mereka terjadi begitu saja. Misalnya tokoh si Sofiia Boutella. Dia juga bermain sangat baik, namun masih belum termanfaatkan dengan sama baiknya. Relationship Delphine dengan Lorraine dapat memberikan layer yang lain pada narasi, tapi film tidak mengeskplorasinya. Cuma sebatas, there we did it.

Sofia Nutella, Charlize Terong, James McD. Oke aku lapeeerrrr

 

Film ini mengecewakan ku dari segi sudut pandang bercerita. Petualangan dengan tokoh-tokoh yang penuh muslihat, aksi yang mendebarkan, menjadi berkurang intensitasnya lantaran film menggunakan flashback. Mereka memilih untuk bertutur dengan cara Lorraine duduk diinterogasi, untuk kemudian dia menceritakan apa yang sudah terjadi. Banyak film yang juga memakai cara bercerita seperti ini, kita diperlihatkan kondisi tokoh utama sekarang seperti apa untuk kemudian kita mundur sembari dia menceritakan kisahnya. Aku enggak begitu suka cara begini karena ketegangan film jadi berkurang. Kita melihat Lorraine matanya hitam abis ditonjok, sekujur badannya dihiasi borok luka, akan tetapi kita tahu dia akan baik saja. Because she sit was there to tell the tale. Jadi, setiap berantem yang kita lihat akan bikin kita, like, “wuiihhh idih!… ah, tapi dia selamat kok.” Cerita film ini bisa menjadi lebih exciting, tensi serta stakenya lebih gede jika dimulai lurus aja dari awal ke akhir, tanpa perlu bolak-balik antara present dengan timeline sebelumnya. Lagipula, setiap kali cerita balik ke ketika Lorraine diinterogasi, segalanya terasa berjeda. Sekuens di ruang interogasi itu kering dan hampa banget, kita pengen cepet-cepet balik ke bagian Lorraine melakukan sesuatu yang badass.

Satu lagi gaya yang diambil oleh Atomic Blonde, yang menurutku agak berlebihan, adalah penggunaan musiknya. While it is nice denger lagu-lagu upbeat dari 80an – pilihan lagunya bagus – namun timing pemakaian lagu ini terasa memberatkan film lebih daripada membantunya. Soundtrack film ini ABRASIVE sekali, seolah menjadi bagian dari narasi. Seperti ketika Lorraine masuk ke bar, lagu rock itu kemudian berganti gitu saja jadi musik jazz ketika ada yang menyalakan pemantik api saat Lorraine duduk di meja bar. Ada dua atau tiga kali kejadian, di mana musik latar pelan banget, dan ketika Lorraine mulai menghajar orang, musiknya menggede sendiri begitu saja. Mereka tampaknya ingin bikin lagu-lagu itu standout, akan tetapi sepertinya bukan ide yang bagus sebab lagu-lagu itu tidak menambah kepada narasi, ataupun benar-benar penting untuk pengembangan karakter.

 

 

 

Not to say film ini style over substance. It does have a complex spy story. Dan gaya film ini memang keren luar biasa. Banyak shot ciamik. Sekuens aksi yang nampol. Tapi film ini bukan orang Jerman yang enggak bikin kesalahan simpel. Terdapat banyak pilihan editing yang tampak seperti ‘just because they can’ alih-alih yang benar dibutuhkan untuk kepentingan cerita; susunan narasi yang bolak-balik dan terasa amburadul, membuat kita sering terlepas. Apalagi di bioskop Indonesia, sensornya banyak, jadi makin terlepas, deh kita. Dan musik yang sangat menggebu-gebu, meski kepentingannya enggak segede itu buat narasi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ATOMIC BLONDE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Wrestlemania 33 Review

 

Hardy Boyz baliiiiiiiikkkk!

Untuk sekali ini, Wrestlemania bener-bener NGEDELIVER APA YANG TERTULIS PADA TAGLINENYA. Acara ini sukses bikin kita naik-turun dalam sebuah perjalanan panjang. Buatku kemunculan Hardy Boyz menjadi surprise paling “wah!” I didn’t see that coming. Ketika New Day dalam balutan attire ala-ala Final Fantasy (aku ngenalin boneka kayak moogle dan gambar chocobo, tapi enggak yakin game Final Fantasy seri yang mana – mungkin yang baru since they advertising the latest FF 14) ngumumin bakal ada satu tim lagi yang ikutan dalam Ladder Match kejuaraan Tag Team, aku udah siap untuk menghujani TV dengan gumpalan kertas. Namun kemudian musik ngejreng menghentak yang aku dengar sejak hari pertama aku nonton gulat itu terdengar, dan muncullah Matt dan Jeff Hardy, fresh dari kontrak dengan promotor wresling lain; Jeff kelihatan seperti dicomot dari 2009, Matt menggebrak bikin kita makin menggelinjang dengan his Broken mannerism, dan aku literally berdiri di kursi!

Jeff girang banget mau ngeBROKENin tangga

 

Jika sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang orang-orang membicarakan Wrestlemania 33, maka orang-orang tersebut akan membicarakan kembalinya Hardy Boyz, lamaran John Cena, dan momen pensiunnya Undertaker.

 

Ini adalah bisnis di mana jika engkau bertanding dalam apa yang menjadi pertandingan terakhirmu, kau harus kalah. Tidak peduli siapapun dirimu. Ric Flair kalah. Shawn Michaels kalah. Dan Undertaker pun kudu begitu. Istilahnya adalah menyerahkan ‘obor’ kepada superstar lain. Mengistirahatkan legacy. Legenda enggak bakal pernah mati, itu benar. Tapi kita kudu nerima kenyataan bahwa yang terbaik di antara merekapun butuh untuk redup dan beristirahat. Banyak fans yang kesel kenapa Taker harus passing his torch kepada Roman Reigns – yang sudah begitu sering dihujat sehingga kini namanya kerap disalahejakan menjadi Booman Reigns. Aku sendiri juga enggak senang ngeliat Roman gets the upper hand, menghajar tokoh yang sudah menghiburku sejak kecil. Gampang bagi kita semua untuk enggak suka sama Roman, namun jika orang ‘gede’ terbaik di sejarah wrestling saja benar-benar melihat dirinya pantas kalah oleh Roman, maka kita harusnya menghormati keputusan tersebut.

Apalagi dalam pertandingannya ini, Taker terlihat sangat kepayahan. Kondisi dan umurnya enggak lagi sesuai dengan pertandingan keras selama dua-puluh menit. Di pertengahan, tidak lagi kelihatan seperti Taker dikalahkan oleh superstar yang lebih muda, cerita mereka malah lebih ke Undertaker tidak bisa mengalahkan fisiknya sendiri. Kita masih bisa ngerasain semangat gimmick Deadman ada pada dirinya, namun setiap gerakan yang ia eksekusi, terlihat jelas bahwa Taker just can’t handle it anymore.
The last shot of topi, jubah, dan sarung tangan yang ditinggalkan oleh Undertaker di tengah ring adalah pemandangan yang sangat sureal. Wrestlemania 33 DIBUKA DENGAN GEMPITA, DAN DITUTUP DENGAN MURAM DURJA. Simbolisme adegan tersebut sangat kuat. In fact, ada banyak simbol dan metafora visual yang bisa kita temui sepanjang acara ini. The most obvious one sekaligus yang paling kocak adalah di video pembuka di mana mereka nyamain disuplex oleh Brock Lesnar sama kayak experience terjun ketika naik wahana roller coaster.

WWE has really STEP UP THEIR GAME DALAM SEGI DESAIN PRODUKSI. Set acara ini terlihat sangat menakjubkan. Panggungnya megah dan kreatif. Kostum-kostum superstarnya keren parah. Aku suka banget liat kostum Maryse. Banyak spesial entrance yang bikin kita tepuk tangan bersorak riuh rendah. Pencahayaan dan kerja kameranya juga kelas dewa banget. It’s a visual triumph. Kalo ini film, maka nilai sinematografinya pastilah udah tinggi sekali. Dan ngomong-ngomong soal kaitan dengan film, WWE mulai mengintegralkan GAYA SINEMATIK ke dalam presentasi acaranya. Bukan hanya sekedar kembang api yang digunakan dengan timing dan occasion yang lebih kreatif. Kita bisa lihat misalnya dari entrance Seth Rollins; dia membawa obor, mengarahkan apinya ke bawah, dan efek video komputer pada ramp menampilkan api yang menjalar sampai ke ring. Teknik yang sangat membantu ngepush bukan hanya karakter, melainkan juga cerita yang ingin disampaikan.

Jericho selalu punya ide buat masuk jadi nominasi Fashion of the Year

 

In the past, kita udah ngeliat beberapa kali WWE ngelakuin hal teknis kayak sambaran petir untuk showcasing ‘kekuatan’ Kane dan Undertaker. Tapi belum pernah WWE actually memakai hal semacam begitu saat pertandingan berlangsung. Penggunaan efek ini, aku pikir, bisa bekerja dengan baik jika digunakan dengan tepat dan enggak berlebihan. Saat pertandingan Bray Wyatt melawan Randy Orton, kita disuguhkan oleh visual mengerikan pada canvas ring setiap kali Wyatt unggul. Image cacing dan belatung tersebut sukses bikin Orton ngabur ke luar ring. Ini memberikan dampak psikologis yang kuat, terasa seger juga. Namun sayangnya, seperti juga film-film bioskop dengan efek yang terlalu canggih, masalah pasti terletak kepada penulisan. Match-match Wrestlemania kali ini kebanyakan MENDERITA OLEH BOOKING yang sepertinya memang enggak niat untuk bikin match bintang-lima. Kembali ke kasus Wyatt melawan Orton, matchnya sendiri jika kita pisahkan dari efek-efeknya, maka akan menjadi match yang amat standar dengan hasil yang juga standar. Tuker-tukeran finishernya terasa buru-buru. They go back to zero; Orton going nowhere dengan arahan juara sebagai face, dan Wyatt kembali menjadi irrelevant.

Wyatt kalah bahkan setelah dia menunjukkan kekuatan magisnya.

 

Wrestlemania kali ini memanfaatkan cinematic experience yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

 

Tiga dari empat pertandingan awal sebenarnya adalah puncak terbaik yang disuguhkan oleh Wrestlemania. AJ Styles melawan Shane McMahon adalah pilihan tepat untuk membuka acara dikarenakan kedua orang ini sama-sama rela untuk ngelakuin apapun. Penulisan dan psikologi ceritanya pun sangat well-thought. Dimulai dengan Shane harus ngelawan Styles di environment di mana dia enggak bisa ngelakuin hal-hal ekstrim yang jadi andelannya. Styles ngerasa dia bakal unggul, karena dia adalah the best pure wrestler di Smackdown, atau malah di seluruh rooster WWE sekarang ini. Namun Shane dengan mengejutkan mengimbangi Styles, dia kick out dari Styles Clash! Jadi Styles lantas membalas dengan balik coba mengalahkan Shane di dalam permainannya sendiri. Wasit kena tendangan nyasar dan tong sampah ikut andil dalam pertandingan. Lucunya, di sini aku melihat Shane menjadi McMahon yang paling egomaniak, dia kelihatan jago banget di semua bagian. Dia bisa mukul. Dia bisa banting. Dia bisa Shooting Star Press. Sepertinya ini pertama kalinya dalam pertandingan di mana AJ Styles kelihatan yang ‘beraksi’ lebih sedikit ketimbang lawannya. Makanya aku senang Styles yang menang karena sebenarnya dia enggak perlu buktiin apa-apa kepada Shane.

Kevin Owens melawan Chris Jericho juga bagus. Keduanya udah saling kenal gaya masing-masing, dan mereka mau melangkah lebih jauh dalam mengeksplorasi apa yang bisa lakukan terhadap masing-masing. Pop Up Powerbomb yang dicounter dengan Codebreaker itu contohnya. Sweet! Dan Owens actually ngebreak pin count dengan nempelin SATU JARI ke tali ring dalam usahanya mengejek lukisan yang diberikan oleh Chris Jericho kepadanya di Festival Persahabatan tempo hari. Match mereka penuh oleh karakter dan oleh aksi, seperti juga pertandingan tag team yang dimenangkan oleh Hardy Boyz. Those were a very good match. Meski sayangnya Kejuaraan United States kedorong ke bayang-bayang oleh betapa padetnya acara ini dan Pertandingan Tag Team enggak actually make sense dari booking standpoint.

Feud yang udah dibuild up dari kemaren-kemaren semacam ternegasi oleh kemunculan Hardys sebagai peserta dadakan, dan kemenangan mereka hanyalah pure buat ‘Wrestlemania moment’. Satu lagi build-up yang jadi pointless adalah Nia Jax yang entah kenapa malah ditulis tereliminasi duluan dalam pertandingan Fatal 4 Way buat Raw Women’s Championship. Dia jadi terlihat lemah. Status pertandingannya juga jadi pointless, like, kalo gitu kenapa enggak Triple Threat aja? Apa gunanya ngepush orang yang ditambah di last minute only to have her kalah duluan? Dan kemudian Sasha Banks kalah kepentok turnbuckle yang mestinya terekpos tapi karena botch maka pinggir ringnya masih empuk, dan kita enggak pernah dikasih liat Sasha berantem ama Bayley. Angle persahabatan mereka enggak berkembang ke mana-mana, it feels like Sasha juga enggak perlu ada di match ini. Dan personally, aku ngerasa final two Bayley dan Charlotte (anak Ric Flair ini doyan banget eksekusi move dengan sangat anggun!) juga ngebotch; I think it should’ve ended with Super Bayley to Bayley instead of Macho Man’s Elbow Drop.

Nia harusnya masuk final karena she’s not like most girls

 

Bookingan Kejuaraan Wanita Smackdown malah lebih parah lagi. Aku seneng match Alexa Bliss Nyaawww ini naik status dari pre-show ke main card, tapi ternyata kepentingannya malah turun drastis. Keenam cewek tersebut bertarung dalam sebuah pertemuan singkat yang peran utamanya adalah sebagai cooling down moment antara dua pertandingan yang lebih besar. Masing-masing berusaha memanfaatkan waktu dengan maksimal, mereka berbagi spot untuk saling mengembangkan karakter, but it feels so rushed out. Dan aku masih belum bisa melihat Naomi sebagai championship material, skillnya medioker, dan aku kesel kenapa WWE ngebikin Alexa selalu lemah di hadapan Naomi. Tahun lalu match cewek jadi Match of the Night, sekarang sepertinya mereka kembali jadi ‘jeda pariwara’ -__-

Yang paling mengecewakan adalah partai tag team campuran antara John Cena dan Nikki melawan Miz dan Maryse. Aku lumayan kangen liat entrance dan tarungnya Maryse, but she’s not even wrestling here. Miz hebat bertingkah antagonis, dan dia menghabiskan menit-menit di atas ring sebagai seorang brengsek hanya untuk dibalas dengan moves serentak dari Cena dan Nikki. Build up partai ini sangat bagus dan kocak dan seger, mereka harusnya bercerita dengan hebat lewat pertandingan ini. Tapi enggak. Cena enggak perlu susah-susah untuk menang, karena ini hanyalah sebagai ajang pencitraan buat Cena melamar. Everybody saw that coming. Padahal akan lebih bagus kalo Cena dan Nikki berjuang keras sebelum akhirnya menang atas Miz dan Maryse. Dan bagian paling lame dari lamaran ini adalah Cena membuktikan sendiri kebenaran kata-kata Miz soal dia hanya ngelakuin sesuatu yang baik di depan kamera.

 

Lima jam lebih, nyaris tujuh jam jika ditonton bersama kick off shownya, Wrestlemania 33 memang melelahkan. Biar gak capek dan boring, kami yang nonton bareng di Warung Darurat malah sempet ngadain acara niru-niruin superstar dadakan demi ngisi keboringan saat Pitbull ‘konser’. Jika paruh akhir dibook dengan lebih seru, cepet dengan banyak aksi, maka acara ini bukan tak-mungkin jadi salah satu Wrestlemania terasyik. Makanya kita enggak punya masalah ama match Goldberg melawan Lesnar. Match ini punya keunggulan karena berlangsung singkat dan penuh oleh aksi, meski memang bukan pertandingan yang great. Dan makanya lagi, Seth Rollins melawan Triple H yang punya formula sebuah match yang hebat (wounded face mengalahkan heel yang culas) malah terasa menjadi biasa aja. Jadi enggak ada bedanya ama pertandingan Triple H tahun lalu. Memang, booking dan susunan match Wrestlemania kali ini agak aneh. It’s a good show dengan nuansa muram yang bikin kita terus kepikiran perihal momen terakhirnya
The Palace of Wisdom menobatkan AJ Styles melawan Shane McMahon sebagai Match of the Night.

 

 

 

Full Results:
1. SINGLE AJ Styles defeated Shane McMahon.
2. WWE UNITED STATES CHAMPIONSHIP Kevin Owens jadi juara baru mengalahkan Chris Jericho.
3. WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY ELIMINATON Bayley retains setelah mengalahkan Charlotte Flair di final-two.
4. WWE RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY LADDER Hardy Boys make a surprising return dan memenangkan sabuk atas Luke Gallows & Karl Anderson, Sheamus & Cesaro, dan Enzo & Big Cass
5. MIXED TAG TEAM John Cena dan Nikki Bella ngalahin The Miz dan Maryse.
6. NON-SANCTIONED Seth Rollins mengalahkan Triple H
7. WWE CHAMPIONSHIP Randy Orton merebut sabuk.
8. WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Brock Lesnar defeated Goldberg.
9. WWE SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP SIX PACK CHALLENGE Naomi jadi juara di kampung halamannya. Full Results:
10. NO HOLDS BARRED Roman Reigns bikin pension The Undertaker.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Thank you, Undertaker!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]

 

Jadi, sejak Moana (2016) aku jadi ngefans berat sama Alessia Cara. Aku suka suaranya. Aku actually lebih enjoy dengerin How Far I’ll Go versi Alessia, I think it’s more powerful. Pas bagian “What is wrong with me?” flownya terasa lebih enak. Kemudian aku mulai denger musik-musik punya Alessia Cara sendiri. I’ve listen to her Know-It-All album. Beberapa track dari album tersebut berakhir jadi suara-suara yang diputer berulang-ulang di kamarku. Kenceng-kenceng pula. Sampai Bibi Kosan yang suka nyanyi “naik-naik tagihan listrik, tinggi-tinggi sekalii” jadi sebel karena ngerasa kalah saing. Aku malah jadi nyusun skrip film pendek yang bisa dikatakan adaptasi bebas dari salah satu lagu Alessia. I can’t tell you which one as of right now, because I don’t want to jinx it haha. Tapi doakan saja lancar dan beneran jadi.

Ngeliat dari yang ditulisnya, Alessia Cara seems like an actual cool personality. Dia punya attitude. Apa yang bener-bener impressed me adalah gimana dalam lagu-lagunya, Alessia memasukkan perspektif ‘orang luar’ yang berusaha melihat ke dalam dunia ‘ini’, di mana si penyanyi merasa berlawanan dengan dunia tersebut. Liriknya terasa jujur dan akrab. Alessia menggambarkan gimana rasanya berada di dalam pesta yang sebenarnya dia enggak pengen dateng. Alessia bercerita tentang gimana anak-anak muda ingin masuk ke dunia dewasa so much and just find themselves not yet ready for it. Alessia menyerukan tentang kepercayaan diri, tentang self-acceptance, dan itu adalah topik yang sangat relatable. Terutama buat remaja, yang jadi pendengar utama musiknya. Dan buatku juga, I’ve been kind of a misfit nyaris seumur idup haha, and yea I wish aku punya lagu-lagu ini untuk didengar sewaktu aku masih sekolah.

 

Wild Things, menurutku adalah salah satu lagu Alessia Cara yang paling penting. Mestinya sih kalian pasti sudah pernah denger juga, it has been going around since 2015. Alessia sendiri, pada suatu sesi wawancara bilang kalo lagu ini adalah anthem yang diharapkan bisa gerakin orang banyak. Liriknya sendiri punya tone yang sangat ‘menghentak’. Dan kupikir, fakta aku yang enggak demen denger musik bisa tergugah buat ngebreak down liriknya, adalah sebuah prestasi!

 

Find table spaces
Say your social graces
Bow your head, they’re pious here

Ini adalah dunia menurut Alessia. Bayangkan meja di kantin sekolah yang berjubel murid kita bingung mau duduk di mana; Tiap meja punya aturan, ada aturan-aturan sosial yang kudu dipatuhi saat menjadi bagian dari crowd di meja tersebut. Atau bahkan dipatuhi just to be a part of the said table.

 

But you and I, we’re pioneers
We make our own rules
Our own room, no bias here
Let ’em sell what they are sellin’
There are no buyers here

But hey, kata Alessia, kita yang enggak dapet tempat justru bisa bikin tempat sendiri. Kita bisa duduk di mana saja kita suka, enggak harus di meja. Tidak ada prasangka atau aturan karena hidup adalah kebebasan. Kita harusnya sadar bahwa orang pasang citra atau berpendapat apapun sama merdekanya dengan memilih percaya atau enggak.

 

So gather all the rebels now
We’ll rebel rouse and sing aloud
We don’t care what they say no way, no way

Bagian ini memanggil kita, teman-teman ‘seperjuangan’, untuk just be happy menjadi diri sendiri. Untuk menyuarakan independesi kita tanpa mengkhawatirkan apakah kita terlihat keren atau pinter ataupun populer.

 

And we will leave the empty chairs
To those who say we can’t sit there
We’re fine all by ourselves

Supaya kita tidak pernah lagi mencari tempat di tengah-tengah sosial yang mengekang. Untuk enggak lagi berusaha keras fit in, karena satu-satunya penerimaan atau pengakuan yang penting adalah pengakuan terhadap diri sendiri.

 

So aye, we brought our drum and this is how we dance

Drum melambangkan beat, di mana setiap kita punya beat unik masing-masing. Kita punya gaya sendiri. Kita enggak perlu malu memperlihatkan siapa kita ke luar sana. Jadi ya kalo mau bikin sesuatu, mau nulis atau apa, ya bikin aja. Perkara ga ada yang baca atau ga ada yang suka mah gausah dipikirin.

 

No mistakin’, we make our breaks, if you don’t like our 808s
Then leave us alone, cause we don’t need your policies
We have no apologies for being…

808 bisa sebagai sebutan buat bunyi drum, juga bisa mengacu kepada kode polisi buat gangguan ketenangan. Either way, jika ada yang enggak suka dengan, katakanlah, gaya kita – jika ada yang merasa terganggu – maka mereka bisa bilang tapi jangan harap bisa mengubah gaya kita. Menjadi diri sendiri bukanlah kesalahan. Kita tidak perlu meminta maaf karenanya.

 

Find me where the wild things are
Oh my, we’ll be alright
Don’t mind us, yeah
Find me where the wild things are

Oke bagian chorus ini catchy banget. Beat drumnya ngentak, sorak “aye aye aye” di backgroundnya bikin kita ikutan nyanyi. Aku suka pas di “don’t mind us yeah”. But actually ‘find me where the wild things are’ adalah ungkapan yang melambangkan our-true self adalah passion terliar kita, pikiran terdalam kita. Kita perlu untuk menemukan hal tersebut sebelum akhirnya kita bisa bangga menjadi diri sendiri.

 

 

I lose my balance on these eggshells
You tell me to tread, I’d rather be a wild one instead

Kulit telur itu lapisan yang tipis banget, kondisi yang digambarkan oleh lirik ini adalah kondisi yang di mana si Alessia merasa capek terus-terusan mikirin perkataan orang terhadap apa yang ia katakan atau perbuat. Jadi, daripada disuruh to watch what she says atau apa yang ia lakukan, dia lebih memilih untuk ngikutin kata hatinya saja.

 

Don’t wanna hang around the in crowd
The cool kids aren’t cool to me
They’re not cooler than we are

Ini adalah part yang menarik karena actually lagu ini membuat kita merasa menjadi enggak-keren sebagai hal yang paling keren sedunia. Karena kita enggak nunggu dibilang keren oleh orang lain dulu. Jika kita respek diri sendiri, accepting siapa diri kita, kita akan sadar kita enggak bergantung kepada orang lain untuk bisa bahagia.

 

We will carve our place into time and space
We will find our way, or we’ll make a way, say hey, hey, hey
Find you’re great, don’t you hide your face
And let it shine, shine, shine, shine

Jika enggak ada tempat, kita bikin tempat baru. Jika enggak ada jalan, kita terobos dan bikin jalan sendiri. Kita hidup oleh tindakan yang kita pilih; bukan karena orang lain, melainkan demi diri sendiri. Kita mewujudkan passion kita dengan mengambil action sendiri, tidak peduli kata orang lain. Tidak ada cool atau enggak keren. Dan ultimately, kita enggak perlu malu dengan who we really are. Kita enggak perlu takut dikatain beda. Ekspresikan diri sebebas-bebasnya

 

 

 
Kalo ada yang iseng nanya apa persamaan film Logan (2017) dengan film Interchange (2017), maka aku akan menjawabnya: lagu Wild Things. Saat ngereview dua film tersebut, aku enggak-bisa enggak bikin koneksi antara apa yang dihadapi oleh tokoh utama dengan yang dinyanyikan oleh Alessia Cara. Karena jauh di dalam, kedua film ini juga bicara tentang accepting diri sendiri. Both Logan dan Adam berusaha mencari liberty dan ultimately, mereka justru menemukannya di dalam tempat tergelap di dalam diri. Passion kita, kepercayaan kita, adalah hal yang hidup liar di dalam , namun kita tidak boleh takut. Kita harus menerimanya, jangan disembunyikan; supir limo yang damai bukan jawaban bagi Logan, berhenti jadi fotografer enggak bikin Adam tenang. Kita mesti menjadi satu dengan our innerself yang liar, tidak peduli apa penilaian orang, karena dari situlah kedamaian dan kebebasan berasal.

 

 

 

That’s all we have for now.
If you like it, kalian bisa ngerekues di komen lagu apa yang kalian ingin liriknya kami breakdown selanjutnya.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.