• Home
  • About
  • Movies
    • AFFLICTION Review
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
    • SOUND OF METAL Review
    • MANK Review
    • HAPPIEST SEASON Review
    • THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review
    • BLACK BEAR Review
    • FREAKY Review
    • TENET Review
    • THE CALL Review
    • HILLBILLY ELEGY Review
    • THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review
    • RUN Review
    • DREAMLAND Review
  • Wrestling
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
    • TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: mystery

THE CALL Review

01 Tuesday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 15 Comments

Tags

2020, drama, family, friendship, horror, mature, mystery, netflix, review, South Korea, spoiler, thought, thriller, tragedy, violence

“The past cannot be changed, it can only be accepted”

 

 

 

 

Pernahkah kalian ngerasa ingin kembali ke masa lalu, untuk mengubah hal kecil yang kalian lakukan dahulu – seperti ngunci pintu sebelum pergi atau ngelarang seorang untuk pergi – supaya kalian bisa memperbaiki masa depan sehingga gak suram-suram amat? Well, jika pernah, maka nonton thriller berjudul The Call dari Korea ini akan bisa memberikan peringatan kepada kalian.

Untuk tidak bermain-main dengan masa lalu. Untuk menerima kehidupan dan bersyukur atas apa yang hidup gariskan kepada kita. Karena masa lalu sejatinya bukan untuk diubah, melainkan untuk diterima, supaya kita bisa belajar kesalahan darinya.

 

The Call adalah dongeng supernatural yang mengisahkan Seo-yeon, seorang wanita muda yang meratapi kehidupannya yang sekarang. Ayahnya meninggal sewaktu ia kecil karena kejadian yang ia yakini sebagai kelalaian dari sang Ibu. Membuat Seo-yeon belum bisa memaafkan Ibunya. Dia sulit menerima kenyataan. Kecuali di satu waktu ketika kenyataan itu menawarkan suatu kesempatan unik kepada dirinya. Pesawat telepon di rumah masa kecil Seo-yeon berdering, gadis bernama Young-sook menelepon dari rumah yang sama – dari tahun 1999! Telepon itu jadi penghubung Seo-yeon dan Young-sook; penghubung masa kini dengan masa lalu. Membuat mereka bisa mengubah keduanya, untuk mereka berdua. Kedua wanita yang sama-sama bakal menghadapi peristiwa mengenaskan itu akhirnya memang jadi berteman. Young-sook membantu menyelamatkan ayah Seo-yeon, sehingga masa depan itu – masa kini Seo-yeon – berubah total. Jadi ceria dan bahagia. Kini giliran Seo-yeon, membantu Young-sook menghindari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh ibu si sahabat lintas-waktunya. Masalahnya adalah; Young-sook ternyata tidak se-innocent yang dikira. Dan boleh jadi sudah terlambat bagi Seo-yeon untuk menyadari bahwa masa kininya sekarang sudah berada di bawah kendali Young-sook si pembunuh berantai!

Hallo, the 90’s called, and she wants your reciprocation back!

 

 

Saat kuliah di Teknik Geologi dulu aku belajar prinsip yang berbunyi “The present is the key to the past”, yang bermakna sebuah struktur batuan atau fenomena kenampakan alam yang kita lihat di masa sekarang dapat memberikan informasi seperti apa kejadian alam di masa terdahulu, sehingga struktur dan kenampakan itu bisa terbentuk. Kita bisa belajar banyak tentang masa lalu dengan meneliti ‘result’nya di masa depan. Film The Call garapan Chung-Hyun Lee agaknya membalikkan itu semua, karena dalam thriller bunuh-bunuhan ini masa lalu-lah yang dijadikan kunci. Kengerian dalam cerita ini muncul dari ketidakberdayaan Seo-yeon atas kehidupannya. Memang, ada beberapa adegan di mana dia mempelajari banyak catatan, guna menyimpulkan kejadian di masa lalu dan menggunakan informasi itu untuk membantu Young-sook. Akan tetapi, semua itu di bawah perintah si Young-sook yang kerap mengancamnya. Dalam titik yang paling intens, kita akan menyadari betapa mudahnya bagi Young-sook untuk menghabisi hidup Seo-yeon hingga ke akar-akarnya. Ini adalah pertarungan antara masa depan dengan masa lalu, dan masa lalu itu ditampilkan menang karena masa depan itu naturally adalah hasil dari masa lalu. Film bahkan nampilin adegan Seo-yeon berusaha menjebak Young-sook, tapi gagal. Ketidakberdayaan karena gak punya kendali atas masa lalu itulah yang dijadikan konsep dari bangunan cerita The Call. Menjadi tontonan menarik, saat seorang tokoh berusaha melawan hal yang tidak bisa ia kendalikan.

Bukan kalimat geologi itu saja yang dimainkan oleh film ini. Chung-Hyun Lee juga bermain-main dengan konsep timeline, atau dua periode cerita yang disatukan. Memang bukan hal yang baru, tapi Chung-Hyun Lee berhasil menyuguhkan thriller yang seru dari sana. Dalam anime Your Name (2016) kita juga sudah melihat gimana komunikasi antara dua orang dari zaman berbeda bisa terbentuk dan mengakrabkan, tapi film tersebut berujung romansa sedangkan dalam The Call ini kita melihatnya bukan saja sebagai cerita serial-killer yang unik, melainkan sekaligus sebagai sebuah hubungan aksi-reaksi peristiwa yang berkesan benar-benar mengerikan. Di film ini, alur bolak-balik disulam untuk menghasilkan revealing dan surprise yang membuat suspens dan intensitas cerita semakin naik seiring berjalannya durasi. Editing yang digunakan untuk menguatkan feel cerita juga sangat precise, sehingga setiap kali berpindah periode, emosi ataupun intensitas cerita tidak ada yang ketinggalan. Tidak sekalipun kita merasa terlepas dari film ini berkatnya.

Untuk aturan-dunianya sendiri, film memang tidak mau repot-repot menjelaskan. Dengan membuat karakter ibu Young-sook berprofesi sebagai shaman alias dukun, secara subtil film ini ingin mengarahkan logika kita kepada hal-hal supernatural. Bahwa semua itu dapat saja terjadi karena cerita ini berada dalam dunia di mana shaman, premonisi, ritual, dan hal-hal gaib adalah hal yang ‘nyata’. Sehingga meskipun medianya berupa telepon-tanpa-kabel, logika kita tidak lantas menuntut penjelasan ilmiah ala sci-fi atas peristiwa koneksi yang terjadi antara kedua karakter sentral. Melainkan, ya, ini adalah peristiwa supernatural. Dan kurasa, bagi mindset orang kita – dan orang mereka karena sama-sama Asia – minimnya penjelasan logis soal itu sama sekali bukan dalam artian menggampangkan-cerita, melainkan kita melihatnya sebagai bagian dari latar. Ini juga yang mengakibatkan film ini gak jadi needlessly ribet dengan aturan dan cara kerja dunianya. Membuat kita jadi lebih mudah menyimak apa yang terjadi kepada karakter, baik secara inner maupun outer journey. Dan aku lebih suka mikirin soal karakter manusia itu ketimbang berpusing ria mikirin ‘how pseudo-technology atau science gaib atau time-inverse works’.

Untung kedua tokohnya gak mirip, bisa-bisa ntar ada sutradara yang bikin tulisan panjang lebar soal teori kenapa muka orang Korea sama semua

 

 

Namun, penutup film ini toh memang bikin bingung setengah mati. Aku baca di timeline Twitter, banyak penonton yang ngeluhin soal extra-ending film ini. Banyak juga yang membahas teori-teori kejadian sebenarnya yang mungkin terjadi. Untuk tidak menge-spoil keasyikan kalian ikut berteori, maka aku hanya akan nulis ngambang aja soal pendapatku terhadap adegan tersebut, dan maknanya. Menurutku adegan ekstra tersebut bisa saja diniatkan untuk membuka peluang sekuel – karena toh interaksi kedua karakter sentral ini menarik dan bikin nagih – tapi honestly, buatku ending di ekstra itu adalah akhiran yang paling pas untuk mengikat arc si Seo-yeon. She totally deserves whatever she got in the end. Karena dia-lah yang duluan ingin mengubah masa lalunya. Dia-lah yang nyalahin ibu dan gak mau menerima kenyataan – yea, kupikir si Young-sook berkata jujur saat mengungkap kejadian sebenarnya di tragedi ayah Seo-yeon. Sedari awal Young-sook yang gila itu enggak pernah memanipulasi Seo-yeon untuk berbuat sesuatu, dia hanya menelepon. Aksi dan pilihan tindakan Seo-yeon lah yang memutarbalikkan semua. Buatku memang film ini sangat powerful jika dipandang sebagai cerita peringatan.

Orang yang berkubang di masa lalu pada akhirnya enggak akan mendapat masa depan, dan itulah yang persisnya terjadi kepada Seo-yeon di ending itu. Sementara orang yang beraksi di masa kininya, akan bisa ‘mengendalikan’ masa depannya sendiri nanti, seperti yang kita lihat terjadi pada Young-sook.

 

Sesuai dengan perkembangan/development karakternya itu, kita akan menemukan bahwa si Seo-yeon makin ke belakang, akan semakin ‘lemah’ posisinya sebagai tokoh utama. Dalam konfrontasi final, misalnya, protagonis ini malah tidak berbuat apa-apa. Tidak ikut beraksi. Cuma duduk di sana menyaksikan dua karakter lain berantem. Secara pengembangan cerita, aku bisa paham. Namun protagonis seharusnya tidak bisa diposisikan seperti itu. Buatku ini jadi nilai minus yang tak bisa dihindari karena gagasan film mengharuskan kejadiannya seperti itu. Mungkin yang bisa film ini perbaiki adalah efek visualnya. Saat masa lalu berubah, masa kini Seo-yeon turut mengalami perubahan drastis. Film memvisualkannya dengan efek yang ‘wah’, seperti mobil yang tiba-tiba menyerpih menghilang, kaca-kacanya pecah, dan segala macam. Efek ini buatku agak sedikit over dan kurang mewakili perasaan karakter. Mestinya efek menghilang itu bisa dibikin lebih kuat lagi ‘merenggut’ karakter yang ada bersamanya.

 

 

 

Cerita yang bolak-balik masa kini dengan masa lalu ternyata bisa diolah menjadi sesuatu yang mengerikan. Memparalelkan dua waktu tersebut ternyata tidak selalu harus dibikin ribet. Film ini berhasil menyajikan thriller yang menegangkan, dengan interaksi yang menarik antara karakter dari dua periode waktu berbeda. Secara teknis, film ini didukung oleh penampilan akting dan editing yang sangat cakap. Membuat arahan film berjalan dengan mulus. It does work really well as a warning story, buat orang-orang yang merasa gak bahagia karena tragedi di masa lalu. Akhir ceritanya memang bisa membingungkan, tapi jika kita berpegang kepada pemahaman terhadap apa yang dipelajari oleh karakter, bagian membingungkan tersebut bisa terjelaskan dengan sendirinya, dan bukanlah jadi masalah besar, at all.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE CALL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya teori sendiri tentang apa yang terjadi di adegan credit? Bagaimana pendapat kalian tentang Seo-yeon yang harus kehilangan segalanya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

ROH Review

16 Monday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, drama, family, horror, life, mystery, review, spoiler, supernatural, thought, violence

“The unseen enemy is always the most fearsome”

 

 

 

Hidup Mak di hutan, bersama dua orang anak; Along dan Angah, tak repot memikirkan banyak aturan (apalagi protokol kesehatan!). Hukum ‘rimba’ yang mereka amini cuma satu. Jangan percaya pada apapun yang ada di hutan, khususnya pada hal-hal yang tak bisa mereka lihat dan yang tak dapat mereka pegang. Bahkan ketika tau-tau ada rusa yang kena ke perangkap, Along si putri sulung memilih untuk mengabaikan jerit kesenangan Angah, si putra bungsu, yang mengira mereka dapat makanan untuk seminggu. Alih-alih, Along tetap mengumpulkan arang sesuai perintah Mak. Keluarga yang luar biasa ‘sederhana’ dan ekstra berhati-hati ini tampaknya adalah protagonis dalam Roh, gacoan Malaysia untuk Oscar tahun depan. Konflik bagi mereka datang berwujud seorang anak kecil yang tersesat, yang tau-tau memberi peringatan kepada mereka bahwa nyawa mereka semua akan berakhir pada bulan purnama berikutnya. Si anak misterius kemudian bunuh diri dengan mengiris lehernya sendiri! Tess!!!

Sutradara Emir Ezwan membuat cerita ini sebagai horor yang kuat secara atmosfer dan sarat akan lapisan. Film Roh tidak akan menakuti kita dengan membuat jantung copot. Melainkan Ezwan membuat Roh lebih seram daripada itu. Ia berusaha membuat kita turut merasakan keputusasaan yang dialami oleh Mak dan kedua anaknya. Seiring durasi yang tergolong singkat ini berjalan (hanya satu jam dua-puluh menitan) Ezwan meningkatkan bukan hanya stake, melainkan juga semakin banyaknya pertanyaan yang tak bisa Mak dan anak-anaknya ungkap. Karena Mak dan anak-anaknya berada di posisi bak pelanduk di tengah-tengah ‘gajah’ yang berkelahi. Mak sekeluarga berada di dalam situasi di mana mereka tidak tahu siapa yang bisa dipercaya. Di hutan sana ada seorang pria Pemburu yang berkeliaran. Ada pula seorang dukun perempuan (dipanggil Tok) yang senantiasa muncul memberikan peringatan-peringatan. Siapa mereka? Apa hubungan mereka dengan si anak misterius?

Siapa impostor di hutan ini??

 

Cerita dan penceritaan film Roh berangkat dari pengetahuan Islam bahwa syaiton eksis di dunia dengan tujuan untuk menyesatkan umat manusia. Jadi bukan tanpa alasan kalimat penggalan ayat tentang hal tersebut dipajang sebagai pembukaan. Karena memang itulah fondasi bangunan cerita dan pegangan yang jadi kunci untuk kita semua supaya dapat menikmati filmnya secara utuh. Kita akan benar-benar di tempatkan seolah di dalam sarung si Mak dan si kedua anak. Kita turut buta. Turut menerka-nerka. Ada bahaya apa di balik pepohonan lebat itu. Siapa yang mengintai dan berkata jujur, kita – seperti halnya Mak – tak pernah tahu, hingga sudah terlambat nantinya.

Semua elemen penceritaan dikerahkan oleh sang sutradara untuk menutupi kebenaran itu. Menciptakan sensasi kungkungan, menimbulkan intensitas horor dan rasa bahaya di balik setiap keputusan yang dipilih oleh para karakter. Informasi dan eksposisi dibeberkan dengan sedemikian rupa guna mempengaruhi penilaian kita terhadap tokoh. Editing pun bergerak mengikuti, dalam rangka memperkuat, katakanlah, ilusi yang hadir lewat dialog-dialog. Sehingga ketika kita mendengar dongeng tentang pemburu hantu yang berbahaya, seketika kita curiga kepada si Pria Pemburu yang ditampilkan bersisian dengan dialog dongeng tersebut. Namun bahkan dongeng itu sendiri tidak bisa dijadikan pegangan. Segala peringatan yang kita dengar melalui para karakter, bisa jadi hanya tahayul kosong, dan kebenaran justru pada sisi yang lain. Ditambah pula adegan-adegan sureal yang bisa jadi hanya mimpi atau berada dalam kepala tokoh tertentu. Begitulah sebagian besar durasi film ini terisi. Semuanya penuh deceit. Oleh muslihat. Film ini terasa seperti whodunit, yang esktra creepy karena seluruh tokohnya benar-benar tidak ada yang bisa dipegang. Pada akhirnya, kita justru akan merasa lebih tak-berdaya dan lebih sendirian ketimbang si Mak.

Ezwan tidak membuat cerita ini menjadi lebih mudah untuk dicerna. Tapi tentu, dia ingin kita tetap tinggal. Menyaksikan hingga akhir karena di ujung itulah penjelasan – meski tetap samar – dihadirkan. Usaha Ezwan di sinilah yang perlu kita apresiasi. Ruang gerak itu tidak tak-terbatas bagi Ezwan. Kita dapat melihat film ini tidak memiliki budget yang wah. Namun Ezwan berusaha menjadikan hal itu sebagai nilai positif bagi filmnya. Tidak banyak polesan cahaya diharapkan membuat film ini tampak natural. Artistik yang ala kadar diharapkan membuat kita semakin percaya bahwa protagonis benar-benar terpisah dari dunia luar. Dan bahkan properti-properti yang tampak janggal di hutan itu diharapkan semakin memperkuat kesan semua peristiwa ganjil yang mereka alami adalah ‘kerjaan’ seseorang – sesuatu kekuatan yang kontras dengan kodrat alam. Dua unsur yang ditonjolkan sebagai daya tarik visual adalah tanah dan api. Clearly, Ezwan meniatkan supaya penonton langsung menarik perhatian ke sana, karena sesuai dengan kepercayaan Islam bahwa manusia terbuat dari tanah sedangkan setan diciptakan dari api. Dua makhluk yang jadi sentral cerita. Dua dinamika inilah yang sedang diperlihatkan oleh Ezwan.

Kita sedang dalam peperangan. Melawan musuh yang tidak kelihatan. Kecemburuan. Ketakutan. Prasangka. Hal yang membuat kita terpecah belah, menimbulkan keraguan. Dan dari situlah bisikan-bisikan itu datang. For it is our strongest enemy. Maka kita harus menguatkan iman. Di dalam hati masing-masing kita sebenarnya tahu di dunia yang tak bisa dipercaya, cuma ada satu yang bisa. Roh benar-benar menunjukkan dinamika rimba kehidupan kita. Di tengah kebingungan, kita gampang tersesat oleh bisikan-bisikan.

 

Apa kita harus bertanya kepada Gisel yang bergoy.. eh maksudnya pada rumput yang bergoyang?

 

 

Pun, Roh bukan tontonan yang mudah untuk disaksikan. Untuk beberapa penonton, film ini bisa tergolong sadis. Menampilkan kekerasan yang bersarang pada anak-anak ataupun pada hewan. Memang, kamera selalu mengcut tepat di saat-saat paling sadis, namun tetap adegannya tidak meninggalkan ruang yang banyak untuk gambaran lain dalam kepala penonton. It is still clear dalam benak bahwa ada anak yang digorok dan semacamnya. Melihat tampilan horor berdarahnya ini membuat kita sedikit teringat dengan gaya-gaya horor dari tanah Asia lain seperti Jepang atau Thailand.

Representasi kelokalan memang penting. Terlebih untuk film yang diniatkan ke Oscar, karena memang Oscar sedari awal tahun sudah menyebarkan poin-poin yang mereka cari di dalam suatu film. Ezwan dalam karya debutnya ini sepertinya paham dan melihat hal sebagai gelas yang setengah penuh. Dalam artian dia melihat dengan optimis dan menjadikan poin tersebut sebagai ruang untuk menggeliatkan kreativitas. Film Roh tidak malu untuk menampilkan ajaran agama. Film Roh tidak latah untuk merasa diri progresif jika dirinya meng-subvert sesuatu. Dalam film ini diperlihatkan unsur Islam yang menjadi agama mayoritas di Malaysia, secara subtil film memberitahu bahwa jawaban bagi Mak sebenarnya sudah ada. Yaitu bersujud, meminta kepada-Nya. Namun manusia-manusia itu begitu tersesat sehingga cerita ini berubah menjadi cerita kegagalan. Untuk narasi kekiniannya, Ezwan menyelipkan lapisan narasi tambahan. Ada satu peraturan tak-tertulis lagi di bawah atap rumah Mak. Yakni jangan menyebutkan soal ayah. Mak seperti ke-trigger setiap kali anak-anaknya mempertanyakan soal ayah. Kita bisa menarik pemahaman perihal absennya sosok kepala keluarga di rumah mereka sebagai akar dari karakter Mak. Soal ayah/suami/pria ini lantas dijalin ke dalam konflik utama; ia menjadi ‘minyak’ yang menyebabkan si Mak lebih susah untuk percaya kepada perkataan si Pria Pemburu.

 

 

Malaysia tampaknya memberikan kontender yang cukup kuat di ajang Oscar. Horor filmnya ini tampil tidak ke arah genre-is, melainkan ke arah ‘drama berat’ yang lebih menghujam dan berbobot. Penceritaan yang dipilihnya untuk mengangkut gagasan sebenarnya bukan tanpa cela. Buatku sendiri, sebenarnya cenderung lemah dan masih bisa diperkuat lagi. Yang kerasa jelas tentu saja adalah perspektif atau tokoh utamanya siapa. Film ini tidak pernah benar-benar klir soal itu. Membuat kita bingung dan semakin susah mengikuti cerita. Kebanyakan bakal terjebak dalam tebak-menebak yang tak bakal pernah terpuaskan. Menonton ini dapat jadi melelahkan, dan akhirnya tidak lagi menarik bagi penonton. Tapinya lagi, memang justru hal tersebut yang diincar oleh film ini, yang merupakan sebuah dongeng mengerikan tentang muslihat dan tipu daya yang menyerang manusia.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROH.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian merasa film ini punya identitas yang kuat sebagai film dari Malaysia? Apakah kalian menemukan perbedaan representasi antara film ini dengan horor-horor lokal modern selain dari bahasa dan gaya arthousenya? Bagaimana seharusnya supaya film memiliki ruh yang kuat menurut kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

HIS HOUSE Review

03 Tuesday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 14 Comments

Tags

2020, drama, family, horror, love, mystery, netflix, review, spoiler, supernatural, thought, thriller

“Home is not where you are from, it is where you belong”

 

 

 

 

Horor tak biasa itu ternyata datang dari sutradara baru asal Inggris, Remi Weekes. His House garapannya yang tayang di Netflix, jika dibaca sekilas sinopsisnya, akan terdengar seperti teror rumah hantu yang belakangan ini menjamur. Suami-istri pengungsi imigrasi dari Sudan ditempatkan ke sebuah rumah di kawasan kota tak bernama. Mereka harus menetap di rumah tersebut sebagai percobaan dari kebebasan bersyarat yang mereka dapatkan. Syarat yang kayak cukup gampang tapi prakteknya ternyata susah. Sebab pada malam hari, mereka diteror oleh sejumlah hantu-hantu yang muncul dari dalam dinding, dari sudut-sudut gelap di rumah. Hal uniknya adalah; hantu dan mayat-mayat orang tenggelam itu bukan berasal dari rumah baru itu. Melainkan justru berasal dari suami dan istri itu sendiri.

Karena sesungguhnya pusat horor cerita ini ada pada pasangan suami istri tersebut. Bol dan Rial. Kehidupan rumah tangga mereka dihantui oleh trauma atas kejadian yang mereka alami bersama di masa lalu. Penceritaan film didesain supaya kita mengikuti keadaan mereka yang sekarang, supaya kita bisa menumbuhkan empati karena turut merasakan susahnya settle in di tempat dan lingkungan yang baru. Khususnya lingkungan yang jelas-jelas bukan tempat untuk mereka. Cerita perlahan membuka, membawa kita menyelam lebih dalam lagi ke latar Bol dan Rial – menyaksikan trauma tersebut bertransformasi secara berbeda terhadap mereka berdua, sehingga rasa emosional itu semakin menyayat. Menonton His House ini ngerinya seperti kita menemukan ada luka menganga di tubuh kita, dan feelnya seperti ketika kita disuruh untuk mengiris ke dalam luka tersebut. Ini adalah horor yang akan membekas, berkat penulisan karakter yang hidup lewat trauma yang membayangi mereka dan berkat penceritaan yang mempersiapkan kejutan di setiap penghujung babaknya.

Mau pindah ke manapun juga, hantunya bakal ngikut

 

 

Film ini tidak berlama-lama membiarkan kita berada dalam kegelapan. Misteri keberadaan hantu-hantu itu dengan lugas dijawab; mereka bukan sekadar mimpi atau hanya ada di dalam kepala Bol ataupun Rial. Kedua karakter ini diperlihatkan melihat penampakan yang serupa. Hantu-hantu itu nyata, setidaknya bagi mereka. Film justru ingin memusatkan perhatian kita kepada perbedaan interaksi ataupun perbedaan reaksi Bol dan Rial terhadap hantu-hantu tersebut. Karena itulah gagasan yang diusung oleh film; memperlihatkan bagaimana pasangan suami istri yang share a trauma, namun dealing with it dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah gangguan domestik – diperseram karena berwujud hantu-hantu. Sesungguhnya ini adalah cerita soal Bol dan Rial, suami dan istri, harus kompak dan berjalan bersisian menghadapi apapun masalah pernikahan dan rumah tangga.

Bol dan Rial memang begitu terguncang karena peristiwa masa lalu itu. Peristiwa yang merenggut nyawa Nyagak, putri mereka. Kita melihat peristiwa mengenaskan tersebut di opening film, saat Bol memimpikannya. Dan kemudian berbohong ketika ia ditanya oleh Rial tentang mimpinya. Sedari menit awal, film sudah terarah untuk menunjukkan dua hal penting pada dua tokoh sentral ini; mereka kehilangan anak, dan punya cara berbeda menyingkapinya. Inciting incident yakni mereka diberi kesempatan untuk hidup di sebuah rumah, tak pelak menjadi ujian. Bisakah mereka hidup normal meski membawa trauma.

Bagi Bol, ini seperti kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Dia ingin rumah. Dia benar-benar ingin membuat rumah pemberian itu sebagai rumahnya yang tak boleh sampai gagal ia dapatkan, untuk memulai kehidupan yang baru. Sopi Dirisu memainkan tokoh ini dengan gestur optimis yang intens. Dia begitu berdeterminasi untuk menjadikan tempat itu rumah sehingga tidak melihat isu-isu beneran di sekitarnya. Tatkala belanja baju di pertokoan, Bol gak ngeh dirinya diikuti oleh satpam rasis yang curigaan. Dan ketika hantu anaknya, dan hantu-hantu lain itu muncul, ia melawan. Ada aksi ada reaksi, perlawanannya tersebut – keinginan Bol untuk move on dan melupakan anaknya – justru membuat dirinya semakin terganggu oleh trauma. Buktinya hanya dia yang dihantui mimpi-mimpi dan adegan sureal yang membawanya kembali ke laut tempat anaknya tenggelam. Sedangkan Rial seperti tidak mau melupakan trauma tersebut. Nyagak dan hantu-hantu itu hadir kepadanya dalam beragam bentuk komunikasi. Kita gak pernah ngeliat Rial diteror sebagaimana Bol digangguin hantu. Instead, kita melihat horor itu bermanifestasi ke dunia luar bagi Rial. Perjalanan mencari alamat saja sudah demikian sureal baginya. Rial lebih nyaman untuk kembali daripada bertempat tinggal di sana. Konflik dengan trauma tersebut memang lebih kompleks pada diri Rial, dan Wunmi Mosaku memainkannya dengan nyaris tanpa cela. Tidak seperti suaminya, Rial tidak melawan keberadaan hantu, ia justru lebih takut terhadap suaminya karena sang suami memang ingin membawa mereka tinggal di luar dari trauma mereka, so to speak. Rial tidak menolak keberadaan hantu-hantu. Ketika pengawas mereka datang menginspeksi rumah dan menemukan tembok dalam keadaan bolong-bolong dihajar oleh Bol dalam usahanya melawan hantu tadi malam, Rial menceritakan peristiwa dan gangguan hantu-hantu yang mereka alami apa adanya kepada si petugas. Tidak seperti Bol yang berdalih dia mengusir tikus besar yang jadi hama di rumah itu.

Memahami itu semua, maka kita akan dapat melihat bahwa ending film ini sungguh menyatakan sesuatu yang kuat sehubungan dengan pembelajaran yang udah dialami oleh baik Bol maupun Rial. Ending film ini bukan memperlihatkan mereka pasrah tinggal diikuti oleh hantu-hantu karena mereka sadar mereka bersalah. Melainkan memperlihatkan bahwa kini Bol dan Rial sudah satu paham, mereka sudah berpegangan tangan. Mereka sudah menemukan rumah – menemukan tempat mereka. Yakni di tengah-tengah duka dan trauma.

Satu-satunya cara mereka bisa menata hidup baru dengan bahagia adalah bukan dengan melupakan trauma, bukan pula berkabung di dalamnya, melainkan hidup bersama mereka. Bol dan Rail toh punya masing-masing untuk saling menguatkan. Ke mana pun mereka ditempatkan, asal bersama, itulah rumah mereka.

 

Things get real with Rial!

 

 

Cerita film ini sudah demikian powerful dan mudah untuk relate kepada kita; masalah kehilangan anak dan merasa bersalah karena gagal melindungi si anak jelas bukan perkara ‘sedih’ semata. Begitu pun dengan pengalaman susahnya menata hidup di tempat baru. Menemukan ‘rumah’ adalah masalah yang dialami oleh hampir semua orang. Terutama oleh imigran yang harus berjuang dengan apa adanya di tanah perantauan. Maka, at first, aku merasa sebuah pengungkapan yang menjadi twist di babak ketiga cerita ini tuh overkill banget. Aku mempertanyakan apakah perlu untuk membuat kita memandang tokoh cerita ini dalam cahaya yang berbeda dari sebelumnya, setelah semua pembelajaran dan empati yang ia peroleh. Tapi kemudian aku sadar sebenarnya yang diincar film ini bukan twistnya. Cerita perlu untuk membuat kita memandang si karakter seperti begitu karena merupakan bagian penting dari bangunan traumanya. Film sepertinya juga ingin menguatkan ‘konten lokal’. Ada dongeng dari kampung Sudan yang diceritakan oleh Rial mengenai Night Witch; sosok yang menghantui seorang pria yang merampok demi membangun  rumah sendiri. Dongeng tersebut paralel dengan keadaan Bol – dari masa lalu yang kupikir overkill tadi – dan jika dongeng itu memang dongeng-budaya beneran, maka itu hanya akan menambah kekuatan identitas film ini.

Visual horor film ini pun sangat aku apresiasi. Weekes menggunakan imaji-imaji sureal dengan cut mulus yang memindahkan Bol begitu saja dari ruang keluarga yang berantakan ke tengah laut. Penampakan hantu kayak zombie yang muncul saat lampu mati pun serem punya, dan tampak khas. Cuma jumpscare-nya saja yang not so much kuapreasiasi. Walaupun teknik jumpscarenya enggak murahan – enggak sekadar untuk memancing jantung kita copot – dan tidak dijadikan andalan, tapi tetap buatku film ini masih bisa bekerja maksimal tanpa harus ada elemen ngagetin. Seperti twist yang sanggup untuk mereka perhalus keberadaannya sehingga tidak menjadikan film ini mencuat sebagai film ‘oh ternyata’, seharusnya adegan menakuti dengan hantu bisa digarap dengan lebih elegan lagi.

 

 

 

Karakter Bol dalam film ini berulang kali meyakinkan orang – dan dirinya sendiri – bahwa ia dan istrinya bakal sukses hidup di kota itu. Despite sikap rasis lingkungan sosial di sekitarnya, dan gangguan setan di malam hari, Bol yakin mereka akan bertahan, karena – berulang kali ia berkata – bahwa mereka adalah “one of the good ones”. Dan meskipun boleh jadi hingga setelah cerita berakhir, Bol dan Rial masih harus membuktikan kalimat tersebut, film ini sendiri sudah bisa kita pastikan benar sebagai “one of the good ones” dari film-film horor yang muncul di tahun horor ini. Cerita dan karakternya punya layer yang semakin disingkap membuat cerita menjadi semakin membekas. Digarap dengan kompeten dan visi bercerita yang punya kekhasan. Isu yang dibahas sebenarnya akrab, menjadikan house sebuah home; isu yang biasanya ada di drama keluarga diucapkan sebagai suara horor oleh film ini. Menyinggung perihal perlakuan terhadap imigran dengan subtil di balik trauma keluarga. Ia juga mempersembahkan diri sebagai tayangan yang gak berat-berat amat, dengan turut catering to taktik horor mainstream sebagai penyeimbang cerita yang berbobot.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for HIS HOUSE

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apa yang kalian pelajari dari lingkungan sekitar tempat tinggal Bol dan Rial? Menurut kalian, apa sih makna rumah?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE CRAFT: LEGACY Review

01 Sunday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, action, comparison, drama, family, fantasy, friendship, magic, mystery, review, sequel, spoiler, supernatural, teenager, thought

“They (women) want power over themselves”

 

 

 

Berhubung masih dalam suasana dongkol abis ngereview Rebecca (2020) ngobrolin seputar remake yang justru jadi lebih jelek dari versi aslinya, ini ada film yang bilangnya merupakan sekuel dari film yang keluar tahun 1996, tapi yang actually mereka bikin ternyata adalah semacam soft remake atau soft reboot menilik arahan film ini yang seperti mengincar ke sekuel berikutnya. The Craft: Legacy karya sutradara – yang sendirinya juga seorang aktor – Zoe Lister-Jones basically menceritakan ulang kisah pada film The Craft (1996), dengan tokoh-tokoh baru, dan tentu saja agenda woke kekinian yang dijejelin begitu saja ke dalam cerita tersebut.

Ada anak baru di kota. Lily namanya. Dia dan ibunya pindah ke sana, untuk tinggal bersama keluarga baru; ayah tiri dan tiga orang saudara laki-laki. Di sekolah, Lily mendapat teman baru berupa tiga orang cewek yang punya kekuatan sihir. Lily diajak gabung karena melengkapi formasi sihir (utara, timur, selatan, barat) sehingga kekuatan mereka semua kini sempurna. Mereka kini bisa banyak hal, termasuk menyihir seorang cowok bully di sekolah. Lily menjadikan si bully itu seorang yang lebih ramah dan gak kasar ke semua orang, terutama kepada dirinya. Di bawah pengaruh si cowok jadi berani untuk jujur kepada mereka berempat, perasaannya ditumpahkan. Rahasia dibeberkan. Namun kemudian si cowok ditemukan tidak bernyawa. Ada seseorang di kota yang gak suka saat cowok menjadi ‘lemah’. Ada seseorang yang memaksakan maskulinitas sebagai sebuah kekuatan untuk memerintah. Lily dan teman-teman superhero, eh maksudnya, teman-teman penyihir dengan kekuatan elemen harus menghentikan orang ini dengan segera.

 

Mereka avatar deng. Avatar pengendali CGI burik

 

Permasalahan tentang toxic masculinity itu sebenarnya enggak jadi masalah. Justru bagus, film ini punya ide tersendiri yang coba disampaikan lewat lingkungan sihir-sihiran yang selama ini dianggap sebagai dunia eskapis bagi wanita. Konon sejak dulu kala, penyihir wanita ditakuti di negara sana. Mereka diasingkan, dipenjara. Dibakar. Cerita penyihir wanita itu sebenarnya adalah simbolik bagi diskriminasinya sikap pria. Wanita gak boleh pinter-pinter, harus nurut, untuk voting aja mereka harus diperjuangkan. Nah, ketika film ini mengusung bentrokan antara dua kubu tersebut – cewek yang beneran penyihir dengan pria yang percaya kekuatan adalah milik mereka, dengan si cowok bully itu jadi berada di tengah-tengah mereka; sebenarnya film ini punya hal menarik untuk dibahas. Namun entah bagaimana – aku merasa jahat kalo menyebut pembuatnya gak capable – film ini menceritakan hal tersebut dengan seadanya. Film memasukkan konflik sekenanya. Sesimpel kayak mereka tinggal nambahin bagian-bagian itu ke dalam cerita film yang lama.

Film ini enggak peduli sama karakter-karakter. Oh, Lily punya tiga saudara tiri yang dibesarkan di lingkungan maskulin? Nope, film tidak pernah membahas mereka sebagai suatu karakter khusus. They are just there. Salah satu aspek yang membuat The Craft original begitu populer sehingga menyandang status cult 90an adalah karena film tersebut menggelora oleh personalitas. Setting dan karakter dan stylenya begitu membekas. Keempat penyihir di film itu semuanya diberikan backstory dan karakter. Ada yang tinggal di rumah yang abusive, ada yang dibully oleh teman yang rasis, ada yang sekujur tubuhnya luka bakar sehingga ia menderita setiap kali pengobatan, tokoh utama cerita itu sendiri harus berjuang mengarungi hidup di tempat baru, dengan dealing with kehilangan ibu dan segala macam. Maka mereka berempat punya alasan untuk beralih atau percaya kepada sihir. Mereka bonding over this, mereka belajar menggunakan kekuatan sihir, ada semacam mentor dan tokoh sihir yang mereka kunjungi, dan nantinya sihir itu akan mempengaruhi pribadi mereka dengan cara yang berbeda-beda. Tidak ada hal tersebut dalam film The Craft: Legacy. Tokoh-tokohnya tidak diberikan cerita latar ataupun kehidupan. Sihir di film ini tidak memiliki bobot apa-apa kepada para karakter. Hanya suatu hal spesial yang mampu mereka lakukan. Dan mereka seketika jago gitu aja, hanya lewat sekali montase. Kita tidak tahu siapa teman-teman baru Lily. Hanya Lily (yang diperankan dengan natural oleh Cailee Spaeny) seorang yang diberikan cukup banyak hal untuk kita pegang. Namun bahkan Lily itu tidak punya sesuatu yang paling penting yang harus dimiliki oleh tokoh utama.

Motivasi.

Untuk dua babak penuh, kita tidak tahu Lily ini maunya apa. Dia hanya bersekolah, unjuk kekuatan sihir dengan teman-teman, dan malam hari di rumah mendengar/mengalami hal-hal ganjil. Film ini sendiri tidak berniat untuk menggagas apa-apa selain pertarungan cewek melawan cowok (karena yang jahat harus cowok) yang ditambahkan begitu saja di babak akhir. Ya, kalo empat sentral aja gak ada development dan karakter, gimana tokoh jahatnya bisa dapat kesempatan untuk ditulis lebih baik. Satu-satunya pertanyaan yang disematkan oleh film – dan tampaknya jadi penggerak cerita karena cuma ini yang jadi bahasan di akhir – adalah soal hubungan Lily dengan tokoh-tokoh di film yang pertama. Keseluruhan film seperti bergerak dengan motivasi untuk memberikan kita jawaban terhadap hal tersebut. Dan meskipun mungkin memang itulah hal yang paling penting dari eksistensi film ini; jawaban yang mereka sediakan juga tidak memuaskan. Tokoh lama yang muncul sebagai koneksi terhadap Lily hanya diperlihatkan beberapa detik, dengan hanya sepenggal dialog. Seakan ingin ngehook kita supaya meminta sekuel. Pede sekali, memang.

Kebanyakan pria menginginkan kekuatan supaya bisa memegang kendali atas hal lain. Power for order, kata tokoh jahat di film ini. Namun wanita-wanita seperti Lily, ingin untuk jadi kuat tapi tidak pernah menginginkan kekuatan tersebut demi berkuasa atas orang lain. Mereka justru ingin kuat supaya bisa memegang kendali atas diri mereka sendiri. Power yang seperti inilah yang memang harus diperjuangkan.

 

CGI di momen revealing begitu jelek, bagusan CGI di film lamanya malah

 

Dengan karakter dull, ditambah efek-efek yang sekelas efek film televisi, film ini jadinya memang boring sekali. Sekali lagi coba kita bandingkan dengan The Craft yang lama. Dunia cerita tersebut menarik dan hidup. Bukan sekolah biasa yang jadi panggung cerita, melainkan sekolah katolik. Ini menciptakan kontras luar biasa menarik untuk digali; karena tokoh utama kita berpraktek sihir di lingkungan keagamaan tersebut. Film pertama kuat oleh penanda zaman, setting katolik dan tema penyihir itu dimanfaatkan untuk menampilkan aksesoris dan fashion-fashion gothic yang membuat gaya film ini 90an banget. Referensi ke tahun itu enggak dijejelin masuk, melainkan natural mendarah daging di cerita. Pada The Craft: Legacy, bahkan visual dan tempatnya juga hampa. Bincang-bincang soal sihir terasa datar karena lingkungannya tak beridentitas. Fashion dan penanda tahun generasi Z mereka tak tampak unik, malah cenderung maksa. Empat penyihir ini udah kayak power rangers, pake pakaian dengan corak warna yang sesuai dengan warna aura mereka. Tidak menarik, warna-warni itu justru hampa dan gak vibrant jika dibandingkan dengan hitam-putih yang dikenakan The Craft yang lama.

The Craft yang pertama juga jatoh saat babak ketiga yang konfliknya seperti hadir terlalu mendadak. Seolah film itu butuh durasi lebih banyak supaya development bisa lebih enak. Namun jatohnya film itu bukan apa-apa dibanding begonya film The Craft: Legacy yang datar ini pada babak ketiga. Terutama menjelang ending; itu penulisannya bukan cuma kurang cakap, tapi juga luar biasa males. Setelah konfrontasi yang melibatkan tokoh dengan peran gede meninggal, adegan berikutnya dibuat begitu normal – dengan para karakter lain ngebecandain keadaan tersebut. Seolah kejadian yang mereka alami sebelumnya bukan apa-apa. Gak ada efek terhadap mereka semua. Tidak ada aftermath, tidak ada apapun, karena film ingin buru-buru menjawab pertanyaan penting mereka; Lily anak siapa??

 

 

 

 

Film ini sukses, dalam membuat sihir menjadi seboring ini. Mereka punya agenda sebagai bumbu untuk cerita lama yang mereka perbarui, tapi tidak punya keahlian dalam crafting agenda tersebut ke dalam cerita yang benar-benar utuh, dan enak untuk diikuti. Kekuatan sihir bagi film ini sama aja kayak kekuatan superhero; orang yang jarinya bisa berapi, orang yang bisa mengendalikan elemen. Horor bagi film ini cuma adegan-adegan mimpi di malam hari, adegan misterius bagi film ini adalah momen-momen yang kelupaan dibahas seperti ketika saudara tiri Lily diceritakan hobi jalan dalam tidur, tanpa dijelaskan kenapa maupun pengaruhnya ke cerita. Karakter bagi film ini, ya, sekadar tokoh-tokoh pengisi dialog aja tanpa ada pengembangan atau penokohan yang membuat mereka manusiawi. Mereka pikir bisa menarik sekuel dari cerita lama seperti menarik kelinci dari topi, but really they should have about how to craft first.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE CRAFT: LEGACY

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Berhubung masih suasana Halloween, apa film tentang penyihir yang paling berkesan bagi kalian – selain Harry Potter loh ya hihi.. Kenapa menurut kalian kita begitu fascinated terhadap sihir?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

REBECCA Review

29 Thursday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ 7 Comments

Tags

2020, adaptation, comparison, drama, life, love, mature, mystery, netflix, novel, psychological, review, romance, spoiler, thought

“The shadow of someone’s greatness is not a good place to dwell.”

 

 

 

Sudah 2020 akhir, dan sampe sekarang aku masih belum benar-benar paham tujuan orang ngeremake atau ngereborn sesuatu, selain karena soal duit. Tapi tampaknya memang begitu; hanya untuk mendulang untung semata. Makanya yang dibuat ulang itu selalu merupakan hal-hal yang populer. Atas nama nostalgia. Sesuatu yang sudah bagus, perfectly fine, juga sering banget dibikin lagi versi barunya. Alasannya tentu saja untuk diremajakan, disesuaikan dengan keadaan modern, sebagai upaya pelestarian. Alasan tersebut sebenarnya masuk akal kalo memang dibarengi oleh usaha yang benar-benar kelihatan. Namun kebanyakan ya setengah-setengah. Memaksa narasi masuk ke dalam sebuah catatan zaman yang sebenarnya memang susah untuk diubah. Tengok aja adaptasi live-action Disney yang gagal dengan gemilang karena menjejalkan agenda-agenda sosial yang baru, tanpa diiringi dengan proses adaptasi yang lebih matang. Atau gimana horor seperti Pengabdi Setan atau Ratu Ilmu Hitam yang menanggalkan identitas lokal hanya untuk sebentuk gagasan progresif (ustad gak selamanya menang lawan hantu!) tanpa menawarkan solusi baru.

Jadi, yaa, aku heran aja sama remake; kenapa yang dibuat ulang itu bukan film atau cerita yang berpotensi tapi gagal untuk konek. Istilahnya, kenapa bukan film-film jelek yang diremake supaya bisa diubah menjadi lebih bagus. Lebih prestasi kan kalo gitu, like, ‘Gue dong bisa bikin film jelek jadi bagus!’ daripada malah dikenal membuat film yang gagal live up ke keberhasilan film versi jadul. Bukankah berkarya bisa lebih luwes jika tidak ada bayang-bayang gede yang memayungi. Perihal Rebecca versi Netflix ini juga; aku paham sutradara Ben Wheatley bilang karyanya ini merupakan adaptasi terbaru dari novel sumber ceritanya. Dan aku juga paham bahwa sudah ada banyak sebelum ini yang menjadikan cerita Rebecca sebagai inspirasi – sudah banyak ‘adaptasi’ bebas dari cerita ini. Namun tetep saja, film ini tidak bisa lepas – tidak bisa untuk tidak kita bandingkan – dengan bayang-bayang gede yang sudah diciptakan oleh Rebecca versi 1940an. Dan ini ironi. Sebab film yang terjebak di bawah bayang-bayang film sebelumnya ini jadi persis sama seperti ceritanya sendiri.

Rebecca adalah cerita tentang seorang wanita muda, yatim piatu, yang jatuh cinta kepada seorang pria kaya. Tentu saja tadinya wanita ini tak pernah bermimpi bisa jadi nyonya di rumah besar itu. Pertemuan mereka kasual saja. Di Monte Carlo saat si wanita masih menjadi asisten pribadi seorang wanita terpandang. Dia bahkan belum tahu kalo Maxim de Winter yang lebih tua itu sebenarnya siapa. Barulah ketika bosnya mengajak ke New York, wanita ini resah. Dia tidak siap berpisah dengan Maxim yang sudah beberapa waktu ini terus bersamanya. Maxim juga begitu. Tak ingin berpisah, pria itu lantas langsung ngajak nikah! Si wanita diboyong ke rumahnya, Manor Manderley. Tapi kebahagian hidup baru si wanita ini bukan tanpa beban. Karena ternyata Maxim adalah duda. Dan hantu Rebecca, mantan istrinya, masih ada di rumah besar tersebut. Menghuni setiap sudut rumah. Hidup di dalam kenangan dan cerita para pelayan. Hidup, di dalam kepala wanita muda yang malang.

The Haunting of Manderley Manor

 

Jika Mrs. de Winter yang baru tersebut hidup dalam bayang-bayang Rebecca, maka film Rebecca versi Netflix ini dibayangi oleh Alfred Hitchcock; sebagai sutradara film versi jadul. Dan bayang-bayang itu tak pelak adalah bayang-bayang yang besar, lantaran Hitchcock merupakan master dari horor dan suspens. Dalam kemudinya, Rebecca mencuat sebagai roman dengan nuansa psikologikal misteri yang mencekam. Rebecca Hitchcock yang hitam putih hadir mempesona sekaligus daunting berkat teknik storytelling. Sedangkan Rebecca baru ini cantik karena lebih vibrant oleh warna dan terasa punya nada berbeda yang berakar dari karakterisasi yang memang ditulis sedikit berlainan dengan materi aslinya.

Hal tersebut actually adalah peningkatan yang berhasil dilakukan oleh film ini. Ketika di film yang lama, perspektif ceritanya seperti berpindah karena si wanita muda ini lebih pasif dan tidak memikul banyak aksi, maka Rebecca baru ini memposisikan Mrs. de Winter itu lebih kuat sebagai tokoh utama. Ini bagian dari agenda progresif yang disematkan kepada film ini. Bahwa zaman sekarang wanita haruslah kuat, capable dalam memutuskan dan beraksi sendiri. Wanita Muda memang jadi lebih menonjol, pada babak ketiga arcnya terasa lebih dramatis. Kita tak pernah lepas darinya. Tokoh ini lebih solid sebagai tokoh utama dibandingkan dirinya versi jaman dahulu. Tapi juga, perubahan karakter ini menjadi akar utama masalah yang hadir dalam keseluruhan tone dan presentasi film ini.

Lily James yang memerankannya cantik, no doubt. But Joan Fontaine, pemeran versi 1940, was just on another level. Kecantikan Wanita versi Joan bersumber dari betapa lugu, inosen, dan nervousnya dia. Kunci dari suksesnya suspens psikologis cerita ini adalah rasa percaya kita terhadap si Wanita Muda bahwa ia adalah seorang yang fragile. Secara emosional dan fisik dia merasa inferior dibandingkan banyak orang lain. Apalagi terhadap Rebecca yang eksistensinya masih terasa di Manderley. Itu inti ceritanya. Si Wanita merasa kecil, dia membandingkan dirinya sendiri dengan Rebecca – yang sosoknya ia bangun sendiri dari cerita-cerita para pelayan – dia menciptakan sosok yang ia merasa iri sendiri kepadanya. Lily James yang memerankan Wanita Muda dengan karakterisasi kekinian tidak pernah tampak serapuh ini. Tokohnya dituliskan tetep sebagai orang yang polos dan inosen, tapi juga lebih pede, lebih tangguh. Bahkan secara emosional tampak lebih dewasa, menyamai Maxim yang harusnya jauh lebih matang dan kokoh. Sehingga feel dan tensi psikologis yang menderanya tidak utuh tersampaikan kepada kita. Menjadikan keseluruhan film terasa lebih datar karena nada yang diniatkan untuk tidak dapat tercapai, karena terinterferensi oleh karakter yang dibuat kuat sekarang.

Terlalu keras berusaha menjadi seperti seseorang, berusaha untuk menggantikan mereka di mata orang lain, hanya akan membuat kita layaknya bayangan hampa dari sosok mereka. Wanita Muda itu harus belajar untuk tidak tenggelam ke dalam rasa iri ataupun rasa khawatirnya terhadap apakah Rebecca lebih cantik, lebih pintar, atau lebih penyayang ketimbang dirinya. Tidak seorangpun mesti membandingkan diri dengan orang lain seperti itu. Kita seharusnya menciptakan bayang-bayang kita sendiri.

 

Karakter yang kuat ini juga membuat para pendukung tidak lagi begitu mengintimidasi. Salah satu faktor penting yang membuat Wanita Muda begitu keras membully dirinya sendiri adalah karena ia percaya setiap pelayan – terutama Kepala Housekeeper – membenci dirinya yang berusaha menggantikan posisi Rebecca. Si Mrs. Danvers itu memang bertingkah paling dingin, tapi ketika dipadukan dengan Wanita Muda versi Lily James, dinamika menekan-dan-tertekan itu tidak terasa. Aku bukannya mau bilang Wanita Muda harusnya tetap dibuat lemah, ataupun karakter itu tidak boleh kuat. Melainkan, harusnya ada usaha lain dari sutradara untuk mengakomodir karakter yang secara natural telah dibuat kuat ini. Singkatnya, ini kembali kepada kemampuan sutradara. Hitchcock membangun suspens dengan gerakan/permainan kamera. Setiap interaksi tokoh utama dengan pelayan atau penghuni rumah selalu diakhiri dengan kesan Si Wanita merasa dirinya menjadi semakin kecil. Yang dicapai simply dengan menjauhkan kamera dari si Wanita, atau mendekatkan kamera ke lawan bicaranya. Rebecca yang baru tidak punya ‘permainan’ seperti demikian.

Penekanan di babak ketiga saat si Wanita kemungkinan harus membela seorang pembunuh juga tidak lagi terasa

 

 

Tidak ada close-ups cantik, saat kamera lingering wajah satu tokoh yang memikirkan gejolak yang melandanya. Rebecca yang baru berserah kepada permainan dan teknologi visual untuk meng-elaborate maksud. Namun tidak konstan berhasil menghasilkan kesan surreal atau disturbing. Film ini menggunakan adegan-adegan mimpi – berjalan di lorong sepi lalu ada sulur-sulur tanaman yang menarik diri ke lantai, sementara film yang lama cukup memperlihatkan tokoh yang tidur dalam keadaan gelisah. Bergerak-gerak resah di atas ranjang. Membuat imajinasi kita terbang mengenai mimpi semengerikan apa yang ia lihat, perasaan segundah apa yang menggerogoti pikirannya.

Yang paling membedakan buatku – yang paling menentukan keberhasilan film ini dalam menafsirkan cerita aslinya buatku – adalah poin soal tokoh Rebecca itu sendiri. Ini krusial karena berkaitan dengan tokoh utama, dan aku yakin merupakan konsep paling utama yang harus dibangun oleh siapapun, media apapun yang bakal menceritakan ulang. Sosok Rebecca. Sosok itu haruslah tidak pernah terlihat. Karena dialah yang dikontraskan dengan si Wanita Muda. Tokoh utama kita tidak pernah disebutkan namanya, but she’s there. Nama Rebecca terus bergaung meskipun dia sudah tidak ada di dunia. Dinamika kontras ini harus dijaga oleh si pencerita karena bagian dari keresahan si tokoh utama. Membuatnya merasa eksistensinya semakin kecil, kalah sama orang yang tinggal nama. Menghadirkan sosok Rebecca, meskipun hanya dari belakang dan di dalam kepala tokoh, membuyarkan bangunan kontras ini. Karena bagaimanapun juga bagi kita yang melihat, ya tokoh itu jadi ada. Dinamika itu tidak utuh lagi. Dan ini actually dilanggar oleh film Rebecca yang baru. Sehingga bagiku yang timbul kesan si pembuat belum mengerti benar, atau mungkin lupa, terhadap apa sih sebenarnya kekuatan dari cerita ini.

 

 

 

Bayang-bayang yang menaunginya sangatlah besar, film ini tidak bisa untuk tidak dibandingkan dengan pendahulunya. Ada banyak perbedaan antara kedua film tersebut, tapi yang paling terasa adalah perbedaan arahannya. Absennya suspens ala Hithcock. Bagaimana dengan penonton yang belum pernah menonton versi jadul? Tidak akan berpengaruh banyak. Karena meskipun kita bisa mengapresiasi alur yang lebih nutup, tokoh utama yang lebih kuat, romance yang lebih hangat, dan vibrant yang lebih berwarna, film ini hampa dari segi misteri. Dan mengingat misteri tersebut krusial untuk penyampaian emosinya, maka film ini pun tidak berhasil menghantarkan emosi yang kuat. Seperti menyaksikan misteri terungkap di depan mata kita, begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for REBECCA

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian terhadap karakter Rebecca di film ini – apakah dia seorang wanita yang kuat? Mengapa dia bisa begitu berpengaruh terhadap penghuni Manderley?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

NOCTURNE Review

20 Tuesday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2020, drama, family, horror, love, Music, mystery, psychological, review, sibling, sisterhood, spoiler, supernatural, thought, twins

“No one remembers who came in second.”

 

 

 

Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.

Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.

Bukunya mirip Death Note, cuma ini notenya not balok.

 

 

Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.

Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.

Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.

Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.

 

Malah ada studi yang mengungkap, orang-orang justru lebih bahagia berada di posisi tiga dibanding posisi dua.

 

 

Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.

Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.

 

 

 

Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

BOOKS OF BLOOD Review

13 Tuesday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2020, adaptation, anthology, book, crime, drama, family, horror, life, mature, mystery, review, spoiler, thought, TV

“We wrote our names in blood”

 

 

 

Halloween tanpa antologi horor bagaikan sup tanpa garam, bola mata kodok, dan daging manusia hihihi.. Tiga cerita yang dapat kita baca dalam horor antologi Books of Blood; Tentang remaja perempuan dengan pendengaran super-sensitif yang kabur dari rumah – dikejar oleh perbuatannya di masa lalu, tentang seorang akademisi perempuan yang memperoleh kesuksesan finansial dan romansa setelah bertemu dengan cenayang yang menghubungkan dirinya dengan anaknya yang telah tiada, dan tentang dua orang kriminal yang memburu keberadaan buku paling mengerikan di dunia. Semuanya diikat oleh satu tema yang sama. Mengenai pilihan yang kita pilih seringkali bukanlah yang terbaik untuk kita, sehingga tanpa sadar kita sudah menulis cerita mengerikan. Sebuah horor dalam kehidupan sendiri.

Keberadaan Books of Blood ini sendiri menarik untuk beberapa alasan. Ia merupakan adaptasi dari seri buku horor karangan Clive Barker, salah seorang sosok yang bisa dibilang turut merevolusi genre horor. Di antara horornya yang berkesan adalah buatku – aku baru menontonnya saat halloween tahun lalu – adalah Hellraiser (1987); horor sadomasokis perihal ‘candu’ insan manusia. Film tersebut sangat mengena, menggunakan prostetik dan efek praktikal sehingga tampak ‘menjijikkan’. Kata sifat yang tepat sekali digunakan dalam perlambangan horor jika kita sedang membahas nafsu dan keinginan manusia. Untuk Books of Blood sendiri, sebenarnya materi aslinya berdasarkan pada enam volume buku. Aku belum membaca semua, tapi setidaknya aku sudah tahu apa yang bisa diharapkan. Cerita tentang manusia yang menemui horor saat berjuang mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan begitulah aku; aku melihat ada nama Britt Robertson main di film ini, maka aku bergegas menontonnya. Namun apa yang kusaksikan justru horor mengerikan yang sama sekali enggak ada hubungannya dengan cerita hantu yang seharusnya disajikan oleh film.

Ngeliat posternya, kirain film ini berjudul Face Book

 

When it comes to an anthology movies, maka cerita-ceritanya itu haruslah antara saling berkaitan penuh satu sama lain, atau berbeda-beda dengan satu detil kunci yang mengikat, entah itu seting tempat, tema, atau satu tokoh saja. Hanya supaya film itu tidak berubah menjadi gabungan film pendek saja. ‘Ikatan’nya ini gak harus dipaksakan. Melainkan mengalir. Para tokoh cerita tidak mesti harus bertemu pada satu titik di dalam cerita. Biarkan saja penonton yang menghubungkan cerita demi cerita. Books of Blood yang ditulis dan diarahkan oleh Brannon Braga justru tampak tidak sepenuhnya enjoy dalam bercerita. Film ini seperti terlampau bersusah payah untuk menghubungkan ketiga ceritanya. Braga seperti mengincar untuk membuat kita terkesima melihat gambaran-besar yang utuh setelah tiga kepingan cerita itu disatukan, sehingga ia lupa kepingan-kepingan kecil itu perlu untuk dikembangkan terlebih dahulu.

Kita menulis cerita kita dengan darah. Terdengar ekstrim, namun memang ada benarnya juga. Karena perjuangan hidup selalu tidak gampang. Akan ada yang dipertaruhkan. Akan ada kehilangan. Akan ada penyesalan. Maka dari itu sebabnya kita suka dengan cerita horor, karena nun jauh di dalam sana kita semua tahu bahwa cerita horor adalah cerita kita.

 

Kisah-kisah yang terangkum dalam film ini bukannya buruk. Walaupun dari tiga hanya satu yang benar-benar menyadur dari cerita Clive Barker, tetapi pada masing-masingnya masih dapat ditemui napas tema yang serupa dengan yang diusung oleh pengarang cerita. Horor yang kita temui tetap seputar manusia menempuh jalan mengerikan demi mencari apa yang mereka inginkan. Cerita yang paling Barker adalah cerita tentang wanita akademisi. Bagian cerita yang ini bertindak sebagai origin dari Buku Darah itu sendiri. Pada cerita ini pun elemen-elemen horor dewasa yang jadi ciri khas Barker (setidaknya dari yang kubandingkan dengan Hellraiser) masih tampak kuat. Relasi antarkarakter terbangun dengan paling lumayan. Wanita dan si cenayang yang ia pekerjakan jadi sentral, dan film mengeksplorasi hubungan mereka secukupnya. Yang sedikit mengecewakan dari cerita ini adalah visual hantu-hantunya. Books of Blood menggunakan efek komputer alih-alih praktikal, sehingga hantu-hantu di sini tampil kurang menakutkan. Ini disayangkan karena adegan puncak di cerita ini sebenarnya punya konteks yang sangat mengerikan. Kelahiran Buku Darah tersebut benar-benar akan jadi kejutan bagi yang belum familiar dengan cerita. Dan ini jadi salah satu kelebihan film; mereka berhasil membangun ekspektasi penonton terhadap ‘buku yang seperti apa’, untuk kemudian memberikan revealing yang bisa dibilang out-of-nowhere.

Cerita yang dijadikan tubuh utama oleh film ini, however, adalah cerita tentang tokohnya si Britt Robertson. Dan kubilang, ini boleh jadi keputusan yang tepat. Karena ceritanya yang paling down-to-earth, serta menarik sebab selain visual, cerita ini juga meletakkan horor pada suara. Jenna, nama tokohnya, paling gak tahan dengan suara orang ngunyah, maka kita pun turut diperdengarkan efek-efek suara mulai dari annoying hingga creepy. Di ceritalah aku mulai berpikir bahwa sebaiknya cerita-cerita dalam film ini dipisah aja. Bahwa mungkin mereka lebih baik jika berakhir sebagai film sendiri-sendiri. Cerita Jenna punya banyak hal menarik untuk dieksplorasi – horornya seperti hibrid antara ‘rumah hantu’ dan ‘psikopat gila’ dan ‘thriller psikologis yang hanya ada di kepala protagonis’ – tapi jadi tidak bisa berkembang optimal karena harus berbagi durasi, dan lore dunia, dengan dua cerita lain. Cerita Jenna adalah yang paling sedikit sangkut pautnya dengan Book of Blood, sehingga bikin kita heran, kenapa ada cerita ini di sini. Tidak bisakah pembuatnya memikirkan cerita relatable lain yang lebih dekat dengan Book of Blood itu sendiri. Karena penggaliannya gak bebas, akibatnya cerita ini jadi paling repetitif. Mendapat porsi paling besar namun penggalian horor yang itu-itu melulu. Kondisi Jenna tidak dimainkan banyak sebagai penggerak alur, mentok sebagai karakter trait saja. Hubungan antarkarakternya standar karena cerita bagian ini mementingkan twist. Setidaknya ada dua twist yang dihadirkan pada cerita ini. Tiga, jika dihitung dengan resolusi yang dipilih Jenna di akhir cerita.

Aku setuju suara makan yang ‘copak-copak’ adalah suara paling menjijikkan dunia-akhirat

 

Yang paling lemah adalah cerita tentang dua kriminal. Tidak mendapat porsi pembahasan yang memadai untuk bisa dikatakan sebuah cerita dalam film. Horornya pun terbilang sangat sederhana. Karakter-karakternya tidak digali, tidak menarik, dan menempatkan posisi cerita ini sebagai pembuka dan sebagai penghantar ke big-reveal jelas mematikan momentum yang dimiliki oleh film. Karena kisahnya membosankan. Kita langsung turn off dan gak peduli lagi. I mean, siapa coba yang penarasan apakah para kriminal yang bunuhin orang itu akan berhasil mendapatkan Buku. Film yang menantang akan membahas sedalam-dalamnya tokoh, dengan misi membuat kita peduli. Tidak ada usaha semacam itu di sini. Padahal aspek yang mau digali itu ada, misalnya salah satu tokoh yang ternyata menghabiskan masa kecilnya tinggal di kota tempat Buku Darah itu ada. Namun kita meninggalkan mereka dan kembali ke ‘petualangan’ mereka gitu aja. Makanya momen ketika si kriminal itu ‘dihipnotis’ oleh hantu ibunya di gereja terasa hampa-hampa aja. Karena backstory yang harusnya membuat dia manusiawi itu hanya sebatas informasi. At that point yang kita lihat hanya seorang penjahat yang lagi diganggu hantu. Kita tidak merasakan apa-apa terhadap mereka.

 

 

 

 

Dan barely merasakan sesuatu terhadap film ini. Sebagai sebuah kisah horor, tiga ceritanya punya sesuatu yang mengerikan. Juga punya selipan gagasan yang seragam. Namun sebagai satu film utuh, film ini gagal bekerja dengan benar. Antologi yang baik semestinya membuat kita merasakan cerita demi cerita. Menghubungkan seting dan faktor luarnya hanya bonus, sebagai tanda konsep atau gimmick yang berhasil. Selebihnya, antologi adalah soal denyut cerita dan kesinambungan tema. Sedangkan pada film ini; ia malah terlihat seperti satu film utuh yang carut marut. Sebagai cerita sendiri-sendiri tidak berhasil karena bangunan yang enggak seimbang. Sebagai satu cerita utuh juga gak nyampe karena terlalu berpindah-pindah, tanpa ada denyut yang asik. Obat nonton ini buatku, ya, Britt Robertson-nya aja. Far better than the whole movie.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for BOOKS OF BLOOD.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bisakah kalian mengubah pengalaman hidup kalian menjadi sebuah cerita horor?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

HUBIE HALLOWEEN Review

09 Friday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, comedy, family, friendship, funny, halloween, horror, life, love, mystery, netflix, review, spoiler, supernatural, thought

“Putting people down does not make you a powerful and strong person”

 

 

 

Gaung Uncut Gems (2020) yang menghadirkan penampilan paling manusiawi dari Adam Sandler belum lagi hilang – well, setidaknya di blog ini, karena masih masuk pada Rapor Film Cawu I – tapi aktor komedi itu tampaknya sudah rindu konyol-konyolan yang sudah menjadi cap dagangnya di dunia perfilman. Either that, atau Sandler sedang mewujudkan ikrarnya. Ingat saat Sandler berkelakar jika perannya di Uncut Gems gak dapet Oscar maka dia berjanji akan menyiksa kita semua dengan membuat ‘komedi terburuk yang pernah diciptakan Netflix’? Nah mari kita cari tahu apakah Hubie Halloween ini benar merupakan balas dendam yang Sandler janjikan tersebut.

Di sini Sandler mengajak rekan-rekannya yang biasa untuk membuat horor komedi bertema Halloween. Dia mendaulat dirinya sendiri sebagai Hubie, seorang pria yang bermental kalah jauh dari lama dirinya hidup di muka bumi. Tepatnya di kota Salem, kota yang terkenal dengan urban legend penyihir dan mistis. Tinggal bersama ibunya, Hubie sebenarnya punya misi yang mulia. Setiap tahun dia mendedikasikan diri untuk menjadi penjaga-halloween. Menegakkan ketertiban dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada malam halloween ke kepolisian setempat. Masalahnya adalah, nyaris seluruh warga kota itu menyepelekan Hubie. Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk menakut-nakuti Hubie. Melempari Hubie dengan beragam benda, mulai dari tisu toilet hingga kapak! ketika pria malang itu lewat dengan sepeda dan termos multifungsinya. Hubie adalah laughing stock, outcast, bahan bully penduduk kota. Padahal malam halloween kali ini jadi malam penting bagi Hubie. Karena bukan saja dia disuruh ibunya untuk mulai belajar berani membela diri (Hubie juga mencerna ini sebagai nasihat untuk berani bilang suka sama wanita yang sudah ia taksir sejak SD), tapi juga karena Salem beneran dalam bahaya. Jika film ini adalah game Among Us, maka Salem malam ini kedatangan setidaknya tiga impostor; seorang napi asylum yang kabur, seora–ehm seekor manusia serigala yang lepas, dan satu penculik bertopeng misterius yang berkeliaran menangkapi warga satu demi satu.

Tapi jika Hubie main Among Us, niscaya dia yang jadi crewmate sendirian dan dibully oleh banyak impostor lol

 

 

Sekali lihat saja kita sudah tahu bahwa ini bakal jadi cerita klasik ala komedi Adam Sandler. Cerita tentang seorang ‘idiot’ yang pada akhirnya akan jadi pahlawan, dielu-elukan semua orang, dan tentu saja mendapatkan cewek. Formula cerita seperti demikian sebenarnya tidak pernah sebuah masalah yang besar. Maksudnya; sah dan boleh-boleh saja. Apalagi cerita underdog seperti demikian memang lebih mudah untuk dinikmati, dan bahkan direlasikan. Masalah justru terletak pada bagaimana menceritakan formula tersebut. Kita perlu plot, karakter, dan juga candaan yang diceritakan dengan fresh. Hubie Halloween berdurasi sembilan-puluh menit. Dan bukan saja berceritanya penuh dengan trope-trope ‘sinematik Sandler’, candaan dan punchline yang menyertai pun seringkali berulang-ulang.

Film ini kalo jujur maka judulnya menjadi berbunyi ‘Seribu Ekspresi Ketakutan Adam Sandler sebagai Pria Kekanakan’. Karena memang itulah senjata komedi yang jadi ujung tombak film ini. Hubie dikagetin oleh topeng domba di etalase tokonya. Hubie terkejut oleh mobil yang disetir seseorang tanpa kepala. Hubie menjerit melihat dekorasi halloween yang ia sangka hantu beneran. Satu-satunya build up yang dipunya oleh film ini – dalam lingkup komedi – adalah build up untuk merekam ekspresi kaget Adam Sandler di depan kamera. Selebihnya, komedi dalam film ini dihadirkan lewat kekonyolan kejadian yang terlahir dari karakter-karakter yang ditulis secara absurd pula. Kekonyolan tersebut terjadi begitu saja. Tidak ada ritme, set up, atau sekadar sedikit lebih banyak thought di balik setiap punchlinenya. Soal delivery, semua pemain sebagian besar adalah aktor komedian yang sudah sering kerja bareng. Sehingga mereka benar-benar tampak fun dan mampu memancing gelak tawa hanya dengan ‘menjadi mereka seperti biasa’. Seberhasil-berhasilnya komedi Hubie Halloween adalah karena pengetahuan atau kefamiliaran kita kepada skit-skit dan gaya para pemeran, bukan karena penulisan komedi. Ketika kita melihat Steve Buscemi menjadi possible-werewolf, kita tertarik karena ini seperti perannya di animasi komedi mereka. Komedi dalam film ini mengandalkan ‘outside knowledge’ seperti demikian.

Ini disayangkan karena cerita Hubie ini punya potensi. Untuk beberapa menit pertama aku punya ketertarikan besar untuk mengikuti cerita meski sudah banyak lelucon lebay yang dihadirkan. Satu yang buatku genuine lucu dan dialognya bener ada set up komedi adalah percakapan antara Hubie dengan ibu soal ayah. Namun kemudian seiring bergulirnya cerita, tokoh-tokoh pendukung yang diperankan oleh pemeran yang udah gak asing hadir di film Adam Sandler bermunculan satu per satu tanpa kematangan penulisan karakternya, semakin jelas bahwa film tidak mau repot menulis untuk komedinya. Setting cerita juga sebenarnya sudah bagus. Merekam kejadian horor dalam rentang waktu tertentu – seluruh kejadian film ini berlangsung satu hari, dan dengan fokus di malam halloween – membuat cerita nyaris otomatis terkesan urgen. Ide ceritanya yang membaurkan tiga ‘impostor’ juga menarik. Karena memberikan misteri beneran untuk dipecahkan oleh Hubie. Si tokoh utama ini pun ditulis punya obstacle yang bisa kita pedulikan. Berkaitan dengan pesan bullying yang dilantunkan oleh cerita.

Setiap orang punya kelemahan, punya kecemasan, punya sesuatu yang ditakuti. Dan terkadang ada beberapa orang yang merasa bahwa kelemahan tersebut membuat mereka jadi punya kebutuhan untuk membully orang lain yang lebih lemah. Supaya mereka bisa merasa lebih baik terhadap diri mereka sendiri.

 

Di-bully seumur hidupnya, tidak menjadikan Hubie tumbuh menjadi pria pendendam. Dan ini disalahartikan orang; mereka menganggap Hubie penakut. Well, Hubie yang kagetan mungkin memang penakut sama setan, tapi dia tidak pernah penakut seperti yang disangka oleh penduduk kota. Hubie tidak melawan atau membalas perlakuan bukan karena dia takut. Melainkan karena dialah the better man di kota itu. Dia selalu mementingkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Hubie punya banyak kelemahan, tapi dia tidak sekalipun berniat untuk menutupi kelemahannya dengan menimpakan kepada orang lain – dengan membuat orang tampak lebih lemah daripada dirinya. Sikap inilah yang membedakan Hubie dengan warga lain. Film ini mengenakan pesan tersebut seperti Hubie mengenakan selempang halloween-protectornya;  mencolok dan too-obvious. Tidak disematkan dengan subtil. Pesan-pesan itu dicuapkan langsung lewat dialog. Diejakan seolah kita enggak kalah terbelakangnya dengan anak-anak kecil yang membully Hubie.

Ada yang jual gak sih termos kayak punya Hubie?

 

 

Penanganannya terhadap gagasan baik tersebut membuat film jadi tampak semakin malas dan tampil secukupnya aja. Untuk memenuhi keinginan bermain-main saja. Secara plot dan perkembangan karakter, gagasan yang dihadirkan gitu aja itu membuat Hubie menjadi tokoh utama yang gak punya perkembangan. Pembelajaran yang ia lakukan hanya memberanikan diri untuk ngobrol hati ke hati kepada cengcemannya. Instead, justru tokoh pendukunglah yang dibebankan untuk berubah. Penduduk Salem lah yang harus belajar untuk menerima dan menjadikan Hubie sebagai teladan. Tokoh utama kita imperfect, tapi dia tidak salah di sini.  Hal ini berpengaruh kepada penulisan aneh yang dilakukan oleh film. Tokoh-tokoh pendukung yang banyak itu diberikan penulisan seadanya karena mereka bakal mengungkap ‘siapa’ mereka di akhir. Jadi dengan kontruksi bercerita seperti begini; membuat tokoh utamanya tidak dikenai perkembangan, melainkan tokoh-tokoh pendukungnya yang mendapat pembelajaran, kita harus ‘menderita’ menikmati komedi konyol yang datang tanpa pace dan ritme dan set up. Semua tokoh yang belajar itu difungsikan sebagai pion saja. Bahkan tokoh love interest Hubie pun tak banyak mendapat karakterisasi karena film juga meniatkan dia sebagai salah satu tersangka utama.

 

 

 

 

Untuk menjawab pertanyaan di atas soal apakah film ini adalah balas dendam yang dijanjikan Adam Sandler; tidak. Film ini masih punya nilai dan gagasan dan tidak terlihat seperti karya dari seseorang yang berniat menghasilkan sesuatu yang terburuk untuk ditonton banyak orang. Film ini menurutku lebih seperti proyek cominghome kecil-kecilan aja. Seperti Sandler ingin berkata walaupun dia sukses menjajal drama serius, hati dan passionnya masih pada komedi konyol seperti ini. Dan dia memperlihatkan bahwa dia tidak akan dibully karenanya. Pada akhirnya film ini tetaplah bisa dijadikan hiburan pengisi halloween, horor menyenangkan yang membuat kita lupa sama horor di luar jendela masing-masing selama sembilan-puluh menit.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HUBIE HALLOWEEN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian membully seseorang dan kini menyesalinya? Jika bisa mundur ke belakang, apa yang ingin kalian katakan kepada orang yang kalian bully?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

EXTRA ORDINARY Review

26 Saturday Sep 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2019, 2020, comedy, drama, fantasy, funny, horror, love, mature, mystery, relationship, review, spoiler, supernatural, thought

“A life spent making mistakes is not only more honorable, but more useful than a life spent doing nothing.”

 

 

 

Extra Ordinary sungguhlah berada di luar kebiasaan horor-horor komedi yang lumrah kita temukan. Karena dunia cerita yang absurd itu alih-alih dibalut oleh kekonyolan lebay dari karakter-karakter yang berurusan dengan setan, malah dibalut oleh hati yang cukup hangat sehingga menonton ini bukan saja kita lepas tertawa. Melainkan juga kita seperti telah melepaskan beban yang menggelayut, yang membuat selama ini kita belum menjalani hidup yang sebenar-benar hidup.

Tokoh utama film ini aja sudah begitu unik. Cewek jomblo. Seorang instruktur latihan nyetir mobil. Rose namanya (Maeve Higgins memerankan sekaligus turut ambil bagian dalam menulis skenario). Dia berusaha keras membuat hidupnya tampak biasa-biasa saja. Lambaian ranting pohon dan anggukan steker toaster di pinggir jalan itu, dia cuekin. Hantu-hantu di jalanan itu, dia pura-pura tak lihat. Pesan-pesan yang masuk di hp-nya, yang pada minta tolong diusirin hantu itu, dia tak gubris. Jika setiap orang dilahirkan punya bakat, maka bakat (bukan terpendam, melainkan dipendam) Rose adalah bisa bicara dengan hantu. Bakat yang tak pelak menurun dari sang ayah; paranormal lokal yang videonya menyambut kita di adegan pembuka. Ayahnya itulah yang menjadi penyebab kenapa Rose kini tidak mau lagi menggunakan bakatnya untuk membantu orang. Sampai wanita ini bertemu dengan Martin (Barry Ward bakal nunjukin kefleksibelan aktingnya di sini), duda yang masih hidup bersama hantu istrinya. Rose tak punya jalan lain, selain bekerja sama dengan Martin berkeliling kota mengumpulkan ectoplasma hantu. Untuk menyelamatkan gadis remaja Martin yang dikutuk menjadi tumbal ritual setan oleh seorang rocker yang ingin kembali terkenal. Di balik absurdnya petualangan mereka, resiko besar membayangi Rose. Salah-salah, dia bisa kembali kehilangan orang terkasih karena bakatnya sendiri.

Beginilah cara menggarap horor komedi eksorsis dengan tokoh utama cewek!

 

 

Horor komedi memanglah genre yang gampang-gampang susah untuk digarap. Pesona dari genre ini tentulah berasal dari sesuatu yang menakutkan dipandang sebagai hal yang mengundang tawa. Dilihat dari situ, fungsi genre ini jadi seperti untuk menenangkan ketakutan kita itu sendiri. Dengan menertawakannya. Prinsipnya tak jauh dari komedi secara umum, yakni adalah jika kita sudah legowo untuk menganggap lucu sebuah kejadian atau tragedi atau diri kita sendiri, berarti kita sudah siap untuk menghadapi kejadian itu. Dalam ranah horor komedi, tentu saja ‘kejadian’ itu adalah sesuatu yang kita takuti. Dan sutradara Mike Ahern dan Enda Loughman paham; yang kita takuti itu enggak mesti hantu ataupun setan. Film ini berani untuk menarik lebih ke belakang lagi, ke sumber ketakutan di balik hantu dan setan tersebut.

Komedi yang dicuatkan di film ini bukan datang dari reaksi orang-orang yang ketakutan. Tidak akan kita jumpai adegan jumpscare konyol di sini. Tidak ada adegan orang kaget terus latah dan bilang “Wah elo ngagetin aja!”, “Kok elo? Gue nih yang kaget!!” ataupun adegan seperti karakter sompral padahal di belakangnya ada setan, dan lantas si karakter berbalik dan kaget sekonyol-konyolnya ngeliat ada setan di sana. Justru sebaliknya. Extra Ordinary ngebanyol dengan reaksi karakter-karakter seperti Rose dan Martin yang menganggap hantu itu biasa-biasa saja. Para hantu yang malah digambarkan konyol, namun tidak pernah terkesan lebay berkat timing komedi dari penulisan, arahan, dan editing film. Interaksi Martin dengan hantu istrinya merupakan salah satu yang paling sering bikin aku ngakak. Dalam salah satu adegan terlucu lain diperlihatkan saking biasanya ngeliat makhluk gaib, Rose jadi salah mengira nenek-nenek sebagai hantu, dan minta maaf kepada si nenek. Extra Ordinary juga tak berpaling dari humor-humor vulgar ataupun humor ‘sadis’. Ketika tiba giliran memperlihatkan kelakuan antagonis, lelucon film bisa berubah menjadi dark comedy. Dengan percikan darah. Film punya cara tersendiri dalam menampilkan kejahatan manusia. Diperlihatkan kepada kita range kejahatan itu, mulai dari pelet dan jampi-jampi ala voodoo, hingga ke tindakan sesederhana memanipulasi food online supaya dapat makanan gratis. Masing-masing ‘trik dan komedi’ film ini berhasil untuk membuat kita tersenyum geli.

Tidak ada yang hantu di kota ini… kan?

 

 

Dramatic premise cerita film ini sebenarnya enggak unik-unik amat. Kita sudah cukup sering menemukan cerita tentang seorang berbakat atau punya kekuatan yang enggan menggunakan bakat atau kekuatannya tersebut. Yang solusinya tentu saja si tokoh harus belajar berdamai dengan penyebab keengganan tersebut alias berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Dunia horor yang lantas jadi humor, serta pendekatan romance yang tak-biasanya lah yang membuat film ini luar biasa. Adegan-adegan pengusiran setan selalu dilakukan dengan berlapis gagasan mengenai cinta dan berdamai ama masa lalu sebagai bentuk melawan ‘demon’ diri sendiri. Konflik personal Rose dibeberkan lewat alur bolak-balik dengan dibingkai ke dalam video lama acara milik sang ayah sehingga eksposisi atau bahkan malah ejaan gagasan yang dilakukan oleh film tidak kentara. Kita tidak merasa diceramahi ketika membaca ‘Apakah Hantu Punya Perasaan?” yang terpampang di layar. Tapi kita bisa menangkap kepentingan dari judul video tersebut, dan hubungannya dengan perkembangan karakter Rose itu sendiri. Dan pada akhirnya Rose harus menerima ke-extraordinary-annya. Bukan hanya soal Talent, melainkan juga soal cara dia menjalani hidupnya.

Entah sudah berapa kali mungkin kita mendengar bahwa hidup normal itu membosankan. Anjuran untuk mengisi hidup yang biasa-biasa saja dengan hal-hal yang luar biasa. Yang penuh petualangan. Yang, kalo perlu, melanggar batas. Film ini pun berkata demikian. Malah lebih lanjut, film ini memberi sugesti kepada kita untuk tidak perlu takut kehilangan atau bikin kesalahan. Karena darisanalah kita belajar. Hidup demikian lebih baik ketimbang hidup tanpa melakukan atau mencoba apa-apa.

 

Penyelesaian film ini juga meng-subvert pakem genre horror, mirip seperti yang dilakukan oleh The Babysitter: Killer Queen (2020). Hebatnya, Extra Ordinary jadi lebih beralasan untuk membuat solusi yang seperti itu karena sesuai dengan gagasan yang diusungnya, yakni perihal menjalani hidup dengan lebih ‘luarbiasa’. Gagasannya adalah Rose selama ini hidup biasa-biasa aja dan katakanlah, membosankan. Rose benar-benar menjauhi semua yang luar biasa. Film menyimbolkan hal tersebut dengan keperawanan. Menarik bagaimana horor modern tidak lagi memandang keperawanan sebagai suatu kemurnian yang harus dijaga. Yang kini ditampilkan adalah keperawanan itu justru jadi inceran setan, dan orang-orang yang masih murni seperti Rose dianggap menjalani hidup yang membosankan.

 

 

Penggemar British-Komedi niscaya tidak akan melewatkan film ini. Kekuatan utamanya terletak pada cara bercerita dan dalam mengolah hal-hal lumrah menjadi sesuatu yang entah itu menantang atau membuat kita tergelak lalu memikirkan candaan tersebut. Dunianya sendiri terbangun dengan begitu kuat, dengan karakter-karakter yang menarik. Menampilkan tokoh antagonis kadang terasa seperti pilihan yang dilakukan hanya untuk membuat film ini lebih konyol lagi, sesuai dengan genrenya. Sebab film ini sudah luar biasa menarik hanya dengan menampilkan drama romance unik antara Rose dengan Martin yang masih belum bisa move on dari mendiang istrinya. Film memilih untuk menampilkan banyak, dan tetap tidak terbata dalam merangkum semuanya. Ia menunjukkan bahwa sajian receh pun masih bisa jadi enak untuk diikuti dengan tetap hormat pada penulisan dan karakter.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EXTRA ORDINARY

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian setuju bahwa hidup harus dijalani dengan ‘luar biasa’?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

ENOLA HOLMES Review

24 Thursday Sep 2020

Posted by arya in Movies

≈ 20 Comments

Tags

2020, action, adaptation, adventure, crime, drama, family, life, love, mystery, netflix, novel, review, spoiler, thought

“It means I’m strong enough to handle things all by myself.”

 

 

 

Enola adalah kebalikan dari ‘Alone’. Remaja cerdas itu tadinya kurang paham kenapa ibu menamainya seperti itu. Karena nama kedua abangnya jelas-jelas tidak bisa dibolak-balik begitu; Mycroft dan Sherlock. Ya, Sherlock yang itu. Yang detektif terkenal itu. Jadi setidaknya misteri pertama dari cerita ini terungkap sudah. Enola adalah adik bungsu dari Sherlock Holmes. Dan dalam film ini kita akan melihat Enola punya kemampuan memecahkan misteri yang gak kalah mengesankan dari abangnya tersebut. Film yang diadaptasi dari novel karangan Nancy Springer – yang clearly sangat menghormati Sir Arthur Conan Doyle sebagai sumber imajinasi dunia Holmes versi dirinya – mengisahkan petualangan Enola yang punya pesona dan warna berbeda dari petualangan Sherlock Holmes. Sutradara Harry Bradbeer mengemasnya sebagai cerita petualangan detektif wanita yang bahkan lebih ceria dari Nancy Drew, dengan mengedepankan isu feminisme untuk membuat ceritanya semakin relevan.

Namanya jadi misteri yang menarik baginya, sehingga si bungsu Holmes ini jadi menggemari cipher alias sandi/teka-teki susunan kata. Ia awalnya tidak mengerti kenapa sang ibu menamainya ‘alone’ padahal mereka selalu bersama. Setelah ayah meninggal dunia dan dua abangnya merantau ke berbagai penjuru Eropa, Enola tinggal berdua dengan ibu. Mereka menghabiskan hari dengan berbagai aktivitas. Ibu ngajarin Enola bermacam-macam. Mulai dari menenun, main tebak kata, bereksperimen kimia, hingga main tenis – di dalam rumah! Saking deketnya mereka, Enola sama sekali gak kebayang dia hidup sendirian. Hingga sang ibu menghilang dari rumah. Misterius sekali. Dua abang Enola pun pulang untuk memecahkan misteri ini. Tapi kedatangan mereka membawa ancaman kungkungan kepada Enola, karena kedua abangnya kurang terkesan dengan hasil didikan ibu terhadap Enola. Mycroft ingin mengirim Enola pergi ke sekolah wanita untuk menjadikan Enola wanita yang ‘seharusnya’. Sebelum itu kejadian, Enola yang berhasil menemukan petunjuk yang ditinggalkan ibu, pergi diam-diam, dengan menyamar sebagai anak cowok. Dalam memulai petualangannya mencari ibu di London, Enola bertemu dengan kasus pertamanya. Kasus yang membuat ia memikirkan ulang makna dari kesendirian dan menjadi wanita yang kuat.

Ajarkan feminisme sejak dini

 

 

Aku gak bohong kalo ada bagian dari film ini yang membuatku jadi teringat sama Mulan (2020). Terutama karena kedua film ini vokal sekali dengan suara pemberdayaan perempuan. Untungnya, Enola Holmes adalah cerita yang jauh lebih menyenangkan untuk diikuti. Film ini punya dunia yang lebih vibrant dan gak takut menampilkan humor. Dengan karakter yang lebih hidup; dan terutama karakter-karakternya lebih relatable. Agenda feminisme dalam film Enola Holmes ini dimasukkan tidak dengan paksa, melainkan dengan tetap memikirkan dampaknya terhadap narasi. Ada satu adegan yang aku suka karena benar menunjukkan konsistensi pada Enola yakni ketika Enola selamat nyawanya karena korset yang ia kenakan; ini konsisten dengan gagasan wanita menjadi dirinya sendiri, Enola selamat dengan menjadi wanita. Tidak seperti pada Mulan yang gak konsisten dengan adegan Mulan harus menjadi wanita tapi malah menunjukkan dirinya justru diselamatkan ketika ia mengenakan armor lelaki. Enola juga tidak pernah tampil sebagai Mary Sue – istilah buat karakter cewek yang dibuat sempurna yang serba-bisa sampai-sampai melemahkan karakter lain hanya untuk membuatnya terlihat semakin ‘kuat’. Dan buatku inilah kelebihan Enola Holmes dibanding film-film feminis kebanyakan. Film ini masih memikirkan bagaimana menuangkan agendanya ke dalam naskah dengan merata sehingga tidak membuat karakternya demikian sempurna.

Karakter Enola ditampilkan sebagai remaja yang vulnerable, dengan banyak hal yang masih harus ia pelajari di dalam petualangannya.  Ketika Enola digambarkan panjang akal, jago berantem, dan sangat mandiri, naskah menyeimbangkan karakter ini dengan menunjukkan bahwa ia sudah mempelajari semua itu sedari kecil. Dan bahkan dengan segala kemampuan itu, Enola masih diperlihatkan kurang pengalaman. Dia tidak serta merta berhasil. Masih ada kegagalan, lalu berpikir ulang. Karakter ini masih perlu belajar banyak. Konflik pada dirinya terutama adalah tentang ibu yang ia yakini tidak akan meninggalkan dirinya. Namun hal tersebut selalu ditentang saat beberapa kali Enola ditampilkan tertohok oleh pertanyaan dari berbagai karakter mengenai kenyataan bahwa sekarang ia tidak tahu di mana ibunya berada.

Di situlah permainan peran dari Millie Bobby Brown (aktor muda temuan, dan kuyakin sekarang kebanggaan, Netflix) mengangkat film ini setinggi-tingginya. Di tangannya, Enola tampil sebagai karakter utama sejati; kita peduli padanya, kita berempati kepada konfliknya. We just love to cheer for her. Millie adalah Enola yang ceria, funny in her own way, sedikit pemberontak tapi tak pernah annoying. Sutradara Bradbeer tidak menyia-nyiakan karisma dan pesona yang dibawa oleh Millie kepada karakternya. Bradbeer sudah mempersiapkan konsep ‘breaking the fourth wall’ sebagai device untuk menghadirkan Enolanya Millie langsung face-to-face kepada kita. Ini membuat semua eksposisi yang dibutuhkan cerita tersampaikan lewat cara yang kita semua gak bisa tolak. Emangnya siapa juga yang gak mau diajak ngobrol sama Enola, kan? Millie begitu mulus berpindah dari ngomong kepada kita dan ngomong ke karakter-karakter di film. Aktor muda berbakat itu hampir membuat kita merasa seperti bagian dari diri si Enola itu sendiri. Kita bukan cuma sebagai penonton, kita turut jadi bagian dari karakterisasinya.

Millie doesn’t even flinched when the script asks her to do some action. Memang, selain berwarna, lucu, dan berbobot agenda, film ini juga punya muatan aksi. Film ini menampilkan beberapa adegan ketika Enola berantem tangan kosong dengan penjahat. Dan adegan-adegan aksi ini punya rentang tone yang cukup drastis. Ada yang penuh ledakan tapi berbau mirip fantasi. Bahkan ada juga yang lumayan violent. Like, real murder attempt kind of violent. Tingkat kekerasannya yang cukup tinggi tersebut membuat tone cerita film ini secara keseluruhan agak sedikit gak seimbang lagi. Cerita ini memang sedari awal dibangun dengan dibayangi oleh subteks kriminal, tapi menurutku resolusi yang berupa berantem beneran tersebut seharusnya lebih dibangun atau setidaknya dunia yang jadi panggung Enola bisa lebih digelapkan sedikit, supaya menyeimbangkan atau memperkecil rentang tone yang ditampilkan di awal dengan di konfrontasi akhir.

“Jangan sampai jurus Demogorgon Killer gue keluar ya!”

 

 

Sebagaimana film-film petualangan adaptasi novel lainnya, Enola Holmes juga dihadapkan pada tantangan memuat-banyak-dalam-durasi-terbatas. Dan boleh jadi, ini adalah perlawanan yang lebih berat ketimbang memperjuangkan gerakan perempuan. Karena meskipun film ini berhasil membuat tokoh perempuan yang benar-benar kuat dan respectable, di sisi lain film ini masih tersandung saat bercerita hal yang kompleks meski diberi durasi yang sudah cukup panjang. Ada banyak karakter pendukung, ada banyak plot sampingan, yang harus disampaikan tetapi film ini tidak benar-benar mulus dalam menyampaikannya.

Soal fokus ceritanya, film ini jadi seperti terbagi dua. Yang diangkat di awal adalah persoalan mencari ibunya. Namun di pertengahan, seiring dengan perkembangan karakter Enola, fokus cerita berpindah ke menolong seorang anak bangsawan yang diburu oleh seseorang. Meskipun memang naskah sekuat tenaga untuk membuat dua ‘main objectives’ ini saling berkaitan, tetapi tetap saja ini memecah motivasi tokoh utama. Sehingga berakibat pada berkurangnya urgensi pada petualangan besar si protagonis ini secara keseluruhan. Tidak ada, katakanlah deadline, yang mengejar atau menjepit Enola untuk menemukan ibunya secepat mungkin. Begitupun dengan kasus perburuan yang ia tangani; tidak ada urgen yang membuat kita ingin Enola berhasil karena kasus tersebut tidak benar-benar berbahaya bagi Enola. Itulah sebabnya kenapa cerita di bagian akhir dibuat jadi sedemikian violent; Supaya Enola bisa benar-benar tampak dalam bahaya. Thus, stake cerita diharapkan jadi naik. Karena sepanjang cerita, stake yang dimiliki Enola cuma dia gak boleh sampai ketahuan oleh dua abangnya. Sekolah khusus wanita yang strict tersebut tidak kuat atau tidak cukup dramatis untuk dijadikan ganjaran. Misteri hilangnya sang ibu pun pada akhirnya tidak diberikan konklusi yang sebanding dengan build upnya.

Being independent dan mempercayai kekuatan sendiri bukan berarti kita harus mengerjakan semuanya sendirian, ataupun hanya demi diri sendiri. Petualangan yang ditempuh oleh Enola mendewasakan dirinya terhadap hal tersebut. There’s no shame jika dalam perjalanan pemberdayaan, kita menemukan cinta dan malah menunjukkan kebutuhan untuk bekerja sama dengan orang. Karena bisa berdiri sendiri bukan berarti kita harus memilih untuk sendiri.

 

Karakter-karakter pendukung yang cukup banyak jumlahnya itupun masih belum dihidupkan secara maksimal. Salah satu yang niscaya jadi pusat banyak perhatian tentunya adalah karakter Sherlock Holmes. Namun tak banyak dilakukan oleh Henry Cavill sebagai tokoh ini. Melawan pakem karakter eksentrik dan cueknya, Sherlock di sini ditempatkan sebagai low-key mendukung Enola. Namun ini justru membuat tokohnya berada ngambang di tengah-tengah. Di antara Enola yang free-spirited dengan abang tertua mereka yang total strict. Dari sini saja mungkin kita sudah bisa melihat bahwa karakter-karakter di cerita ini sebenarnya bisa untuk padetin lagi. Sherlock dan Mycroft bisa saja dirapel menjadi satu karakter yang lebih bakal terasa lebih flesh out. Bikin aja, misalnya, Sherlock yang strict dan jadi antagonis utama buat Enola. Sehingga ia akhirnya akan mengalami perkembangan dan punya lebih punya banyak hal untuk dilakukan. Mestinya sih bisa jadi lebih menarik, I mean, kapan lagi kan kita melihat Sherlock dalam cahaya yang lain.

 

 

 

Perhaps, jebakan terbesar yang berhasil dilompati oleh film ini adalah jebakan untuk tampil seperti fan-fiction dari cerita Sherlock Holmes. Enola dan karakter-karakter lain boleh jadi bukan kanon dalam semesta Sherlock Holmes, tetapi film ini sendiri berhasil membuktikan diri sebagai cerita utuh yang layak dinanti pengembangannya lebih lanjut. Keberadaan film ini layak untuk ditetapkan sebagai semesta alternatif dari tokoh ikonik yang sudah ada. Tokoh utamanya sendiri benar-benar menarik, kuat, dan adorable. Dia adalah heroine (jagoan cewek) yang ideal, baik dalam narasi detektif maupun dalam agenda feminis. Film ini bisa kita lihat sebagai introduksi yang cukup kuat jika memang ceritanya masih akan dibuat terus berlanjut. Dengan beberapa catatan kecil soal problem yang lumrah ditemukan dalam cerita-cerita petualangan adaptasi buku, film ini tetap menghibur berkat penampilan akting dan nuansa fresh yang dibawa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ENOLA HOLMES

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian seberapa penting sih ‘merasakan kesendirian’ itu bagi diri kita?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • AFFLICTION Review
  • PIECES OF A WOMAN Review
  • ONE NIGHT IN MIAMI Review
  • NOMADLAND Review
  • MINARI Review
  • PROMISING YOUNG WOMAN Review
  • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
  • TARUNG SARUNG Review
  • SHADOW IN THE CLOUD Review
  • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • The second time you make it, it’s no longer a mistake. AFFLICTION, my review: mydirtsheet.com/2021/01/23/aff… #affliction 11 hours ago
  • Wait what... Cora Jade baru 19 tahun??? Maaaakkkk aku tuaaa 1 day ago
  • Lanjut nonton 205 karena penasaran sama Priscilla Kelly (ganti nama jadi Gigi Dolin) dan Cora Jade. And there they… twitter.com/i/web/status/1… 1 day ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Create a free website or blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
%d bloggers like this: