“Man is not what he thinks he is, he is what he hides.”
Dongeng. Film-film Guillermo del Toro, mau itu horor, romans, ataupun sci-fi, selalu terasa seperti fantasi ajaib yang penuh makna. Bukan karena filmnya sukses menghantarkan tidur. Film del Toro terasa seperti lantunan dongeng karena begitu crafty-nya dia bercerita. Dari cara dia menampilkan visual, membangun atmosfer, hingga ke desain dan karakterisasi yang seperti ditarik dari ruang imajinasi terdalam benak manusia. Film Guillermo del Toro adalah dongeng yang justru rugi jika kita sampai tertidur menontonnya. Nightmare Alley yang ia adaptasi dari novel 1947an pun hadir seperti demikian. Dengan setting di dunia sirkus dan karnival yang penuh muslihat, del Toro berkisah tentang pria yang terbuai oleh tipudaya sendiri. Di balik thriller-noir yang mencekam dan bikin penasaran, ini sesungguhnya adalah dongeng tragis manusia yang mendambakan seluruh isi dunia, tapi malang, ia menemukan dirinya terperosok ke dalam gang suram tanpa jalan keluar.
Pertama kali berjumpa dengannya, kita tidak diberitahu apa-apa tentang pria ini sama sekali. Film tidak memberikannya dialog. Kita tidak mendengar orang memanggil atau mengucapkan namanya. Kita hanya melihat dirinya menyeret mayat ke dalam lubang di sebuah rumah, lalu membakar rumah tersebut. Pria itu lantas pergi meninggalkan semuanya. Tidak banyak film yang bisa ‘lolos’ dengan menampilkan sedikit sekali identitas sang protagonis cerita. Biasanya, film dituntut harus segera mengestablish hal-hal penting berkenaan dengan protagonis; siapa dia, keinginannya, namanya – supaya penonton bisa langsung menempelkan diri untuk mengikuti cerita/journey si karakter. Di sinilah letak bukti bahwa Guillermo del Toro adalah pendongeng sejati. Menit-menit krusial miliknya, diisi oleh karakter ‘misterius’, tapi lewat penceritaan visual yang mengalun tegas dalam balutan gambar-gambar malam di pinggiran yang menakjubkan, bibit-bibit tentang karakter ini telah disemai. Dan dengan melihat itu semuanya, kita ternyata bisa mengerti. This poor man has done something terrible, bahwa dia desperate meninggalkan masa lalunya, dan dia butuh duit. Sekarang, kita telah dibuat mau mengikutinya, karena kita ingin mendengar dari si karakter sendiri; siapa dirinya dan apa yang telah ia lakukan.
See, bukan saja film ini berhasil melandaskan karakter utama tanpa banyak berkata-kata. Film ini juga berhasil melandaskan konteks gagasannya. Bagaimana seseorang mengatakan siapa dirinya. Bagaimana seseorang mempersembahkan dirinya kepada orang lain. Bagaimana seseorang berpikir siapa sih dirinya. Setelah itu terlandaskan, barulah film menyebut siapa nama si Pria. Stan. But honestly, nama tidak akan jadi soal. Karena hanya nama baik yang akan diingat, dan Stan bukanlah pria yang benar-benar baik.
Perjalanannya membuat Stan sampai di tenda-tenda karnaval. Gagah dan masih muda, Stan mendapat pekerjaan di sana. Dunia belakang panggung karnaval tersebut jadi panggung cerita yang menarik. Khususnya bagi Stan. Karena karnaval bukanlah tempat paling jujur di dunia. Segala macam bentuk tipuan, mulai dari trik alat, trik merayu pengunjung, trik membualkan cerita, hingga trik sulap berkumpul di sana. Secara khusus, Stan tertarik sama pertunjukan mentalis. Maka belajarlah dia. Setelah merasa cukup menimba ilmu, Stan bersama perempuan yang dicintainya, pergi meninggalkan karnaval. Membuka pertunjukan mentalis sendiri, di tempat-tempat yang jauh lebih bonafid. Sampai akhirnya trik Stan ditantang oleh seorang psikiater wanita. Dan Stan, yang terus bertekad untuk menunjukkan siapa dirinya, mulai melanggar aturan yang bahkan ditaati oleh penipu-penipu di bisnis karnaval. Aturan untuk tidak bikin pertunjukan yang melibatkan hantu-hantuan.
Magic sesungguhnya justru adalah penceritaan film ini. Del Toro berhasil mengangkat keajaiban dari sudut-sudut karnaval yang gelap dan kumuh. Kameranya berhasil membuat orang bongkar tenda aja tampak jadi sebuah pengalaman sinematik yang legit. Beberapa kali sutradara yang paling populer lewat kiprah horornya ini seperti menggoda kita dengan hal-hal berbau horor. Ada adegan pencarian seseorang ‘freak’ yang kabur masuk ke dalam wahana rumah hantu. Ada penampakan makhluk bayi yang diawetkan, yang katakanlah, kayak Dajjal dengan mata besar di dahi. Del Toro memainkan tone seram ke dalam simbol-simbol cerita yang lebih humanis, hanya untuk membuat kita menyadari bahwa tidak ada yang lebih horor daripada manusia yang terjerumus ke dalam downward spiral, seperti yang sudah kita antisipasi bakal terjadi kepada Stan.
Does Stan think he’s better than the place, than anyone else? He sure thinks so. Interaksi Stan dengan komunitas karnaval memang tampak berjarak. Film membuatnya kontras dengan interaksi dalam komunitas itu sendiri. Para pelakunya menghormati pekerjaan mereka, menganggap keluarga satu sama lain. Tak ragu berbagi ilmu. Jika kalian belum puas melihat akting Willem Dafoe di Spider-Man kemaren, well, di Nightmare Alley dia menyuguhkan permainan karakter yang enggak kurang dari luar biasa. In fact, film ini penuh oleh banyak lagi penampilan akting level Oscar yang semuanya tampil prima. Membawakan cerita yang telah diarahkan, dengan sangat baik. Jika simpati kita buat Stan sukar tumbuh, karakter-karakter pendukung inilah yang akan memastikan kita merasakan sesuatu. Ada cukup banyak drama di sini. Kita melihat mereka dari sudut pandang Stan. Selalu dari sudut pandang Stan. Dia memandang mereka seperti murid yang haus ilmu. Paling banter, seperti anak memandang ayah. Relationship yang tampaknya jadi sumber konflik – sumber masalah dalam kehidupan Stan.
Banyak sebenarnya yang bisa dibicarakan mengenai drama dan karakter-karakter di porsi karnaval. Aku certainly lebih suka ketika cerita masih bertempat di sini. Nada tragis memang konstan terasa sepanjang durasi film, tapi di bagian awal ini – dengan begitu banyak karakter menarik, setting yang juga unik – film terasa lebih hidup. Dan untuk sesaat kita pun jadi lupa sama masalah yang merayap di balik karakter Stan. Kita akan ikut tertarik melihat dia bertumbuh jadi lebih akrab, lebih jago trik, dan ultimately katakanlah menyelamatkan karnaval dari razia. Porsi kedua cerita adalah tentang Stan yang sudah mandiri sebagai mentalist di hotel mewah dengan seteru – lalu kerja samanya – dengan karakter psikiater yang diperankan begitu intimidating oleh Cate Blanchett. Fun sebenarnya melihat Stan menebak orang-orang, udah kayak detektif. Tapi Stan juga mulai kelihatan belang yang sesungguhnya. Cerita pun menjadi lebih gelap. Miris semakin tak terbendung melihat klien-klien Stan termakan oleh ‘trik mentalist hantu’, bahwa mereka ditipu pakai harapan mereka sendiri untuk berkomunikasi dengan terkasih yang sudah tiada. Pokoknya ada deh satu adegan pasangan tua yang bakal bikin hati kita hancur saking kasiannya.
Permasalahan sebenarnya tetap sama-sama menarik. Namun pada paruh kedua film ini (at least sampai sebelum babak ketiganya muncul) pace lambat dan durasi panjang film ini makin kentara terasa adalah karena ada romansa juga yang sepertinya mau diceritakan. Ini yang mengalihkan perhatian kita. Stan dan Molly (diperankan dengan manis oleh Rooney Mara) hampir seperti mendadak jatuh cinta, dan ketika kita peduli sama hubungan mereka, relationship mereka itu tidak benar-benar dicuatkan seutuhnya. Molly tidak pernah digali. Bagaimana perasaannya yang dijanjikan seisi dunia padahal nyatanya cuma jadi asisten sulap mentalist, bagaimana Stan mulai bikin show yang dia tahu itu ‘salah’. Karakter Molly dalam cerita praktisnya memang cuma jadi ‘asisten’ bagi karakter Stan, yang tidak pernah benar-benar melihat cinta sebagai tujuan utama. Di garapan romansa inilah, kita dan Stan – yang memang gak pernah diniatkan untuk benar-benar segarispandang – menjadi total berjarak. Sehingga kita terlepas dari cerita. Di titik ini, kita hanya ikut cerita, karena kita lebih peduli pada Molly, sementara film tetap pada perspektif Stan. Film melakukan ini bukan tanpa alasan. Film ingin kita untuk benar-benar melihat bagaimana tragisnya ‘faustian bargain’ itu bisa terjadi kepada manusia. Karena Stan sesungguhnya adalah contoh klasik seseorang yang menukarkan value kemanusiaannya demi glory, uang, kuasa – yang selama ini tidak pernah ia dapatkan, karena ia merasa selalu menjadi subordinat dari ayah yang ia benci.
Sebagai orang yang merasa dirinya lebih baik dari semua penipu. Yang merasa dia lebih baik daripada ayahnya. Yang merasa dirinya berhak mendapat seisi dunia sehingga dia tidak masalah untuk menjadi orang jahat demi hak tersebut. Yang telah terbutakan oleh tipuannya sendiri, Bradley Cooper telah memberikan penampilan akting terbaik dalam karirnya sejauh ini kepada kita. Stan ini menurutku adalah salah satu karakter yang memang harus didukung oleh fisik pemainnya. Cooper punya fisik dan kharisma yang benar-benar kontras dengan sekecil apa Stan deep inside, dan Cooper sadar ini. Dia tahu bagaimana psikologis karakternya, dengan trauma-trauma dan masa lalu kelam itu, bekerja. Dan dia membuat karakter ini benar-benar seperti ekslusif untuk dia mainkan. Dedikasi dan kepahaman Cooper memainkan Stan dapat kita lihat di adegan terakhir film ini. Ending Nightmare Alley adalah salah satu ending terkuat, yang benar-benar poetic – circle back ke kejadian di awal (bukan hanya ke certain dialog tentang cara mencari orang untuk pertunjukan tertentu, tapi bahkan hingga ke pertama kali karakter ini membuka suara) Dan di situ akting Cooper benar-benar juara. Begitu banyak emosi ditampilkannya.
Salah satu dialog kunci film ini mengatakan bahwa manusia itu begitu desperate untuk dilihat orang. Itulah yang jadi tema dongeng tragis ini. Jadi, manusia berusaha menjadi yang terbaik. Tapi sering juga kita merasa diri kita lebih baik dari yang sebenarnya. Kita bablas. Alih-alih berjuang, kita menutupi kekurangan. Kita menipu diri sendiri. Film ini adalah dongeng tragis apa yang terjadi ketika manusia terhanyut dalam menipu dirinya sendiri.
Aku akan mendukung kalo film ini berlaga di Oscar. Karena film ini begitu tragis, endingnya adalah salah satu yang terbaik, dan aku ingin melihat dia berkompetisi dengan The Lost Daughter (2022), yang juga punya ending poetic nan tragis – and it’s like versi anak cewek dari cerita tentang anak cowok ini. Dan tentu saja Bradley Cooper juga harusnya dilirik berkat penampilan yang gak kalah tragisnya dengan Olivia Colman. Tentu, ini bukan terbaik dari Guillermo, design ceritanya agak sedikit jadi bumerang di pertengahan, tapi for sure design produksi film ini adalah kelas juara. Ada begitu banyak yang bisa dinikmati sepanjang durasi. Mulai dari karakter, simbol-simbol, belakang panggung bisnis karnaval, mentalist lawan ilmu psikiater, serta visual dan hasil tangkapan kameranya itu sendiri. Penceritaannya juga terasa khas. Sehingga aku kasihan sama orang yang tertidur dan walk out pas nonton ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NIGHTMARE ALLEY
That’s all we have for now
Salah satu simbol yang berulang kali muncul di film ini adalah mata/gambar mata. Apa menurut kalian makna dari mata di dalam gagasan cerita ini?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA