• Home
  • About
  • Movies
    • TOM AND JERRY Review
    • I CARE A LOT Review
    • STAND BY ME DORAEMON 2 Review
    • WRONG TURN Review
    • MONSTER HUNTER Review
    • JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review
    • MALCOLM & MARIE Review
    • DON’T TELL A SOUL Review
    • EARWIG AND THE WITCH Review
    • ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review
    • SAINT MAUD Review
    • THE LITTLE THINGS Review
    • JUNE & KOPI Review
    • AFFLICTION Review
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
  • Wrestling
    • Elimination Chamber 2021 Review
    • Royal Rumble 2021 Review
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: pixar

SOUL Review

27 Sunday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 16 Comments

Tags

2020, adventure, animation, comedy, disney, drama, family, life, mature, pixar, review, spoiler, thought

“Life starts now.”

.

 

 

Bertahun-tahun pengen jadi bintang jazz, Joe (diisi suaranya oleh Jamie Foxx) yang bekerja jadi guru musik honorer akhirnya diterima untuk nampil bermain musik di klab bersama idolanya. Tentu saja Joe langsung memilih gig ini ketimbang tawaran untuk jadi guru tetap di sekolah dasar. Dalam perjalanan pulang, Joe yang begitu girang sibuk menelpon sehingga tak lagi memperhatikan jalan (itupun kalo dia pernah memperhatikan jalan sebelumnya). Joe mengalami kecelakaan. Dia jatuh tewas. Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai.

EIIIIITTSS, jangan keburu sedih dan depresi dulu. Karena Joe adalah tokoh utama dalam film Soul; film buatan Pixar. Dan jika ada satu hal yang kita ketahui tentang Pixar, maka itu adalah Pixar selalu merancang cerita dengan muatan perasaan yang real, yang nge-tackle masalah yang manusiawi seperti kematian, perpisahan, dibalut dengan konsep yang menyenangkan. Selalu ada lapisan kreatif yang menjadikan ceritanya menarik.

Kecelakaan tadi ternyata belumlah akhir dari semua bagi Joe. Karena dia mendapati dirinya – jiwanya – berada di sebuah tempat yang bisa membawanya hidup kembali. Joe kabur dari jembatan lorong ‘siratal mustaqim’, dan sampai di The Great Before. Tempat pelatihan dan seminar bagi jiwa-jiwa sebelum dilahirkan ke dunia. Joe yang menyamar menjadi salah satu mentor, ditugaskan untuk mengajari unborn soul bernama 22 (disuarakan oleh Tina Fey dengan suara yang menurut si karakter “annoys people”) tentang kehidupan duniawi. Si 22 ini sudah beribu-ribu tahun gagal terus lulus pelatihan, padahal mentor-mentornya adalah orang terkenal semua. Joe dan 22 yang bertualang bersama mencari spark untuk 22, akhirnya saling mengajari soal apa yang sebenarnya paling berharga dari kehidupan.

Film Soul ini digarap oleh Pete Docter yang sebelum ini menggarap Inside Out (2015). Jadi kita bisa mengharapkan eksplorasi dan world-building yang sama imajinatifnya di Soul ini. Dibandingkan dengan Inside Out, memang Soul terasa bahkan lebih ‘dalem’ lagi. Karena alih-alih soal emosi dan kepribadian bekerja, Soul adalah eksplorasi soal eksistensi dan jiwa itu sendiri. Docter dan co-director Kemp Powers menerjemahkan filosofi mengenai kehidupan, afterlife, dan apa yang membuat kita, kita ke dalam dunia ‘kartun’ versi mereka sendiri.

Dan tak lupa juga menampilkan ‘soul music’ alias musik Jazz

 

 

Menjelaskan soal filosofis seperti eksistensi ke dalam presentasi atau bentuk yang ringan, jelas adalah sebuah tantangan besar. Bahkan bagi sekelas Pixar. Kita tahu anak kecil memang ada kalanya nanyain hal-hal ‘sulit’; hal-hal yang enggan untuk kita bahas kepada usia mereka. Namun begitu, rasanya jarang sekali ada anak kecil yang nanyain ‘kenapa kita suka mengejar hobi yang dilarang oleh orangtua’. I’m not saying film Soul ini gak cocok untuk selera anak. Karena memang filmnya sendiri didesain untuk bisa ditonton oleh anak kecil. Desain visualnya mengundang. Karakter jiwa-jiwa itu berbentuk lucu, mereka tampak seperti gabungan awan dengan roh. Fluffy sembari garis tubuhnya agak-agak berpendar transparan. Masing-masing jiwa ini punya bentuk yang distinctive, yang sesuai dengan penampakan atau fisik tubuh manusia mereka. Sehingga menyenangkan untuk menebak-nebak atau membandingkan wujud asli dengan wujud jiwa beberapa karakter yang disebutkan. Selain itu ada juga karakter lain yang bentuknya tak kalah unik. Film ini juga punya antagonis, walaupun di sini tokoh antagonis itu tidak benar-benar punya niat jahat, melainkan hanya terlihat sebagai penghalang bagi Joe yang literally kabur dan pengen mengubah nasibnya. So yeah, film ini masih punya pesona khas animasi Pixar yang digemari anak-anak. Dialognya juga masih sempat untuk terdengar lucu dalam sebagian besar porsi adegan.

Hanya saja menu yang disajikan Pixar kali ini memang lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa. Pixar mengambil langkah yang berani di sini; membuat tokoh utama yang bukan anak-anak, malah pria dewasa yang bahkan belum punya keluarga/anaknya sendiri. Segala konteks yang berusaha disederhanakan tadi itu juga pada akhirnya akan tetap jauh bagi anak kecil. Menonton film ini bagi anak-anak sekiranya bakal sama seperti ketika kita yang sudah dewasa menyaksikan Tenet (2020). Film Soul ini pun kadang terseok juga oleh kebutuhan untuk menjelaskan konteks dan pembangunan dunianya; itulah terutama yang memberatkan bagi anak yang belum dapat menangkap dengan baik gambaran besar ataupun maksud dari narasi yang diceritakan. Bagi kita orang dewasa, atau bagi penonton yang sudah mengerti permasalahan yang menimpa karakternya, film Soul ini akan jauh lebih emosional. Tidak akan terasa hampa seperti saat nonton Tenet. Karena tokoh utamanya, permasalahan dirinya, begitu universal dan terceritakan dengan baik oleh film. Penyederhanaan konteks filosofis, konsep dunia afterlife yang dijadikan ceria seperti camp pelatihan, tidak mengurangi penekanan kepada konflik emosional dan psikologi yang dirasakan oleh karakter Joe – dan bahkan juga si 22. Film ini pun semakin fleksibel dengan tone-nya, sebab di pertengahan akan ada bagian cerita jiwa yang tertukar tubuh, dan film berhasil untuk tidak tersesat menjadi komedi konyol. Melainkan malah semakin terasa penting sebagai suatu bagian dari perkembangan karakter.

Penulisan film ini luar biasa. Aku suka cara film menyelipkan hal-hal seperti kematian, keputusasaan ke dalam cerita. Hal-hal tersebut penting dan tidak-bisa tidak disebutkan ketika kita bicara tentang persoalan tujuan hidup, eksistensi, dan kebahagiaan seperti ini. Ada banyak aspek dalam film ini yang kalo kita pikirkan lagi ternyata sebenarnya sangat suram. Misalnya soal jiwa-jiwa yang segitu banyaknya muncul di dekat Joe di jembatan ke cahaya itu, menunjukkan segitu banyaknya manusia yang mati setiap hari. Ada yang muncul bertiga pula, mereka mati kecelakaan apa gimana. Dan Joe sendiri, dia gak sadar dirinya tewas karena dia begitu sibuk mengejar passionnya sebagai pemusik Jazz. Kalimat ‘Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai’ sesungguhnya sangat naas dan inilah yang jadi gagasan utama penulisan karakter Joe.

Berarti menurut film ini, semua manusia terlahir tanpa jiwa

 

 

Joe adalah seorang yang sangat passionate. Dia mengejar karir, and do what he loves. ‘Kesalahan’ yang harus Joe sadari adalah menyangka bahwa hidupnya baru akan dimulai – baru benar-benar berarti jika passion atau karir impiannya itu sudah tercapai. Film langsung membenturkan ini dengan membuat Joe celaka. Namun Joe gak mau nerima, dia kabur membawa jiwanya keluar dari kematian. Jiwanya berontak, bagaimana mungkin dia mati pada saat hidupnya justru baru dimulai – pada saat karirnya mulai mencapai titik terang. Joe tidak pernah benar-benar peduli pada hidupnya, selain untuk berhasil menjadi pianis jazz. Inilah yang membedakan Joe dengan 22 pada saat si unborn soul itu mencicipi seperti apa hidup untuk pertama kalinya. Joe tidak pernah duduk dan menangkap daun yang jatuh. Joe selalu mengejar karirnya sehingga lupa untuk melihat hidup. Tidak seperti 22 yang berhenti dan menikmati apapun yang ditawarkan kehidupan kepadanya. Ada momen yang sangat menyentuh ditampilkan oleh film ini yaitu ketika Joe melihat visual kehidupannya, yang ternyata sangat hampa. Dia tidak melakukan apa-apa padahal sudah hidup selama itu. Momen ini menunjukkan bahwa mengejar impian meskipun adalah suatu perjuangan hidup, tapi bukan berarti hidup jadi harus tentang itu.

Lebih lanjut film memperlihatkan Joe yang tetap tidak bahagia setelah berhasil menjadi anggota band jazz bareng idolanya. Karena dia ketinggalan semua hal lain kehidupannya. Dalam film ini ada makhluk yang disebut lost-soul. Para jiwa akan berubah menjadi makhluk ini jika tidak lagi senang dalam hidup. Meskipun dalam film ini tidak ditunjukkan, tapi aku yakin jika Joe tetap memilih ngeband dan melupakan 22 dan semua yang ia lalui tadi, maka Joe akan perlahan berubah menjadi lost-soul. Dan ultimately menjadi lost-soul adalah hal yang paling mengerikan yang bisa terjadi kepada sebuah jiwa. Karena yang terpenting adalah untuk menghidupi hidup.

Kita bisa mati kapan pun. Inilah yang diingatkan oleh film. Hidup tidak dimulai ketika kita lulus kuliah, atau ketika kita dapat kerja, atau ketika impian kita tercapai. Hidup sedang berlangsung. Sekarang juga! Maka tunggu apa lagi? Kejarlah yang dicita-citakan, tapi jangan lupa untuk membina hidup. Karena purpose of life is to live the life

 

Sehingga masuk akal jika film ini memberikan kesempatan kedua bagi Joe. Karena perkembangan karakternya diset sebagai orang yang kini mulai belajar untuk dengan benar-benar melihat hidup. Bukan hanya tentang musiknya, tapi juga tentang keluarganya, tentang teman-temannya. Dan kupikir cerita Soul yang dibikin seperti ini justru lebih indah dan mengena sebagai inspirasi ketimbang membuat cerita yang ‘kelam’ dengan membuat Joe benar-benar memutuskan untuk ‘terus’. Nah kembali lagi ke penulisan yang hebat, Soul tidak lantas memberikan kesempatan kedua itu saja dengan cuma-cuma kepada Joe. Dia dibuat pantas untuk mendapatkanya dengan membantu 22. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan telah menyadari apa ‘kesalahannya’ dalam memandang hidup. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan sudah menerima dan merelakan nasibnya.

Semua aspek sudah dipertimbangkan oleh film ini. Semua yang ditampilkan terasa masuk ke dalam suatu tujuan. Suatu makna. Sehingga membuat film ini semakin berbobot. Satu lagi yang paling aku suka dari cara film ini menangani karakternya adalah dengan bersikap open terhadap ‘ending’ karakter 22. Tokoh ini sangat menarik, awalnya dia gak suka untuk pergi ke bumi, dia menganggap semua kehidupan itu yang sama aja. Not worth, enakan di Great Before. Tapi hidup sesungguhnya benar seperti paradoks Cliche-22 (mungkin dari sini nama 22 itu); kita gak bakal tau seberapa enaknya hidup, tanpa pernah menjalani hidup itu sendiri. Si 22 memang akhirnya terjun untuk dilahirkan ke bumi, dan yang aku suka adalah kita tidak diperlihatkan terlahir atau menjadi siapa si 22 di Bumi. Film tidak memberikan kita adegan Joe bertemu dengan 22 versi manusia, dan menurutku ini sungguh langkah yang bijak. Karena menunjukkan hidup tidak bergantung kepada kita terlahir sebagai apa, bisanya apa, sukanya apa. Itu semua tidak berarti bagi 22, karena dia hanya ingin sekali untuk hidup.

 

 

 

Ini adalah karya Pixar yang paling berbeda. Mulai dari tokoh utamanya yang dibuat dewasa (not to mention merepresentasikan African-American yang belum pernah dijadikan tokoh utama oleh Pixar) hingga ke permasalahan yang berjarak dengan anak-anak. Konteksnya adalah tentang eksistensi yang berusaha diceritakan dengan sederhana. Dan ini memang tidak membuat Pixar keluar dari identitasnya. Yang kita lihat tetaplah sebuah journey yang imajinatif, penuh warna, dengan karakter yang adorable. sehingga nilai hiburannya tetap dipertahankan di balik bobot yang luar biasa. Sungguh sebuah tantangan yang gak ringan. Namun film ini berhasil. Ceritanya menyentuh dan terasa penting. Para karakter pada akhirnya tampil realistis karena bergelut dengan masalah yang sangat relatable. Kebingungan yang mungkin terjadi saat mempelajari konsep dunianya akan tertutupi oleh keunggulan penulisan karakter. Minus poin bagiku cuma minor, yaitu menurutku harusnya film sedikit lebih konklusif terhadap karakter Joe yang mendapat kesempatan kedua. Buatku alih-alih membuatnya hanya terlihat bersyukur dan menikmati hidup, mungkin bisa juga ditambah dia akhirnya mengambil tawaran sebagai guru; just to circle back ke pilihan yang dia dapatkan di awal cerita. Selebihnya buatku film ini beautiful dan penting, if you care about life and your existence. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SOUL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian sudah menemukan ‘spark’ di dalam hidup?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

INCREDIBLES 2 Review

25 Monday Jun 2018

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

#FilmLebaran, 2018, action, animation, disney, family, funny, kids, mature, pixar, review, sequel, spoiler, superhero, thought

“All parents are super heroes.”

 

 

Dipersalahkan padahal kita tahu kita melakukan sesuatu yang benar itu  memang rasanya menyebalkan. Kita sudah berjuang, tapi orang-orang salah mengerti apa yang kita lakukan. Karena semua itu memang soal perspektif. Apalagi pada dasarnya, seringkali kita semua menilai dari hasil. Dalam dunia criminal misalnya, kita pengen penjahat segera ditangkap dan dijebloskan ke dalam bui. Namun kita kerap kesal melihat cara kerja polisi yang lamban, bertele-tele dengan segala prosedur itu. Di lain pihak, keberadaan pihak yang main hakim sendiri, yang bertindak di atas hukum, seringkali dituduh meresahkan.

Katakanlah, pahlawan super.

Kehancuran yang mereka sebabkan bukan tidak mungkin lebih gede dari yang diakibatkan oleh penjahat yang hanya ingin merampok bank. Not to mention, penjahat yang cerdik itu juga tidak seratus persen berhasil ditangkap. Karena kejadian seperti demikianlah, superhero-superhero di film Incredibles 2 dicap undang-undang sebagai sesuatu yang dilarang. Keluarga Bob Parr yang sudah kita kenal baik (mereka dan kerabat mereka tak berubah banyak semenjak terakhir kali kita melihat mereka empat belas tahun silam) termasuk yang dicekal keberadaannya lantaran mereka semua berkekuatan super. Mereka disuruh hidup normal, menghentikan profesi menangkap penjahat karena itu sama saja dengan mereka melanggar hukum.

Pahlawan dan penjahat sebenarnya adalah masalah perbedaan perspektif. Pahlawan bagi satu orang bukan tidak mungkin penjahat bagi beberapa orang lain yang melihatnya dalam ssudut pandang dan alasan yang berbeda. Dan terkadang, untuk membuat hal lebih menarik, media menyederhanakan atribut dan kelemahan mereka untuk menyetir sudut pandang kita – membuat kita melihat mereka semakin ke entah pahlawan atau penjahat.

 

Yang dengan berani disampaikan oleh animasi sekuel buatan Brad Bird ini adalah bahwa terkadang untuk memperbaiki peraturan, kita harus melanggar aturan tersebut terlebih dahulu. Bob dan Hellen diajak kerjasama oleh pasangan kakak beradik yang punya perusahaan telekomunikasi untuk mengembalikan citra baik superhero ke mata masyarakat. Mereka bermaksud merekam semua aksi menumpas penjahat lewat kamera kecil yang dipasang di kostum, supaya pemirsa sekalian dapat melihat langsung sudut pandang superhero, apa yang tepatnya rintangan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam upaya menegakkan kebenaran. Tak peduli harus melanggar bejibun peraturan dalam prosesnya. Tapi untuk melakukan itu, superhero yang dipasangi kamera haruslah main aman, enggak yang gasrak gusruk terjang sana sini seperti Mr. Incredible. Maka, jadilah Elastigirl yang dipilih sebagai perwakilan superhero. Dan selama Elastigirl jadi the face of a good cause, memerangi tokoh penjahat baru bernama Screenslayer yang bisa menghipnotis orang-orang lewat monitor apapun, Bob Parr terpaksa kudu diam di rumah – menjadi bapak rumah tangga yang baik, ngurusin tiga anaknya yang bandel, yang baru merasakan gejolak remaja, dan yang baru tumbuh gigi.. eh salah, baru tumbuh kekuatan super.

sekalian aja Elastigirl bikin vlog pembasmian penjahat

 

Incredibles 2 membuktikan perbedaan besar kualitas antara sebuah sekuel yang dipatok kontrak dengan sekuel yang benar-benar dipikirkan dengan matang. Maksudku, lihat saja bagaimana sekuel yang jaraknya deket-deket kayak sekuel Cars, atau bahkan ada yang jaraknya cuma setahun kayak sekuel Jailangkung – mereka adalah franchise yang diniatkan harus punya sekuel yang keluar dalam batas waktu yang dekat, jadi pembuatnya belum sempat mengolah cerita dengan benar-benar baik. Sebagian besar kasus malah sengaja membagi satu cerita besar menjadi tiga agar bisa punya trilogi. Pembuat Incredibles, Brad Bird, semenjak film The Incredibles (2004) rilis sudah mengatakan akan ada sekuelnya, hanya saja dia tidak akan membuatnya sampa dia merasa punya cerita yang lebih baik, atau paling enggak sama baiknya dengan film yang pertama.

Penantian kita toh benar-benar terbayar tuntas.

Ini adalah salah satu terbaik yang ditelurkan oleh Pixar. Dikeluarkan dengan pesan yang relevan dengan tidak hanya iklim superhero, namun juga keadaan sosial dan poltik di jaman sekarang. Incredibles 2 adalah film anak-anak, namun tidak merendahkan mereka. Film ini mengajak anak-anak untuk memikirkan perihal yang cerdas dan serius. Tentang baik dan jahat, tentang peran keluarga. Brad Bird menceritakan filmnya dengan efektif dan penuh gaya. Sure, percakapan yang ada sebenarnya tergolong berat. Misalnya ada debat antara Elastigirl dengan Mr. incredible soal bagaimana dia akan menyelamatkan anak-anak dengan meninggalkan mereka di rumah. Film begitu mempercayai anak-anak kecil yang menonton bahwa mereka bisa memahami ini. Dan ketika kita menunjukkan respek kepada orang, respek itu akan berbalik kembali kepada kita. Itulah yang terjadi antara film ini dengan anak kecil penontonnya. Bukan hanya adikku saja yang antusias menyaksikannya, studio tempatku menonton hampir penuh dengan bisik anak-anak yang berdiskusi kepada orangtuanya, gumaman approval dari mereka ketika superhero melakukan aksi heroik, dan teriakan seru ketika mereka mengalahkan penjahat. Untuk sekali itu, aku tidak keberatan bioskop menjadi berisik.

Sama seperti ceritanya, animasi film ini juga menunjukkan kedalaman yang luar biasa. Helaian rambut Elastigirl terender dengan sempurna. Kita bahkan dapat serat-serat kain kostum para superhero dengan jelas. Porsi aksi digarap dengan menyerupai aksi live action. Pergerakannya sangat mengalir, cepat, dan tidak membingungkan. Ada begitu banyak momen aksi yang membuat kita menahan napas, karena indah dan menariknya animasi yang digambarkan. Sekali lagi, sama seperti ceritanya, animasi film ini pun terlihat dewasa. Teknik lightning yang digunakan membuat intensitas setiap adegan tampak menguat berkali lipat. Favoritku adalah adegan flashback tentang keluarga Deavor; tonenya sangat precise namun tidak melupakan hakikatnya sebagai film anak-anak.

Teknik visual seperti ini membuatku teringat sama film-film anime berkualitas yang membuat kita bertanya ini kartun anak apa dewasa sih. Incredibles 2 masih tetap konyol, seperti film anak-anak biasanya, ada lelucon kentut dan segala macam, tapi dia bekerja di dalam konteks yang benar. Like, kalo kita berurusan dengan bayi, maka tidak bisa tidak kita akan bertemu dengan popok dan segala macam isinya. Sehubungan dengan anime, tentu saja aku yang lagi getol-getolnya ngikutin anime My Hero Academia menemukan kesamaan antara pesan dan beberapa karakter. Seperti gimana pandangan penjahatnya terhadap para superhero, ada karakter yang kekuatannya sama. Kekuatan teleportasi kayak game Portal itu benar-benar keren. Yang stand out dilakukan oleh film ini adalah gimana dia tidak serta merta membuat superhero dan lantas ahli, ada kevulnerablean manusiawi yang dihadirkan saat superhero gagal menargetkan kekuatannya, dan mencobanya kembali.

Pertukaran tugas dalam rumah tangga tidak dihadirkan sekedar untuk komedi dan gimmick saja. Film ini menghormati kedua pekerjaan yang dilakukan oleh orangtua dengan menukar peran ibu dan ayah. Karena kalo kita pikirkan secara mendalam, tugas sebagai orangtua bagaimanapun juga adalah misi superhero yang sesungguhnya dalam dunia nyata. Bagaimana mereka seringkali tampak kejam dan antagonis di mata anak-anaknya adalah bukti nyata perspektif hero-villain itu bekerja. Butuh kesabaran dan kerja yang ekstra super untuk menjaga anak-anak, menyelamatkan kebutuhan mereka, membesarkan mereka, dan semua itu tergali lewat bagian cerita Bob Parr di rumah. Tentu, menjaga dan mengawasi itu terdengar jauh kalah keren dari bertindak menghajar penjahat. Itulah yang dikeluhkan oleh Bob, dia ingin beraksi. Itu juga yang bikin Violet kesel, kenapa saat melawan musuh harus dia yang disuruh menjaga Jack-Jack, si bayi.

Dilindungi bukan berarti lemah. Mendapat tugas sepele bukan berarti karena kita kurang mampu mengerjakan yang lebih. Karena sebenarnya, menjadi superhero bukan seberapa mentereng tugas dan alat-alat yang kita gunakan. Superhero adalah soal seberapa berat tanggungjawab yang berani kita emban. Berapa banyak amanat yang sanggup kita penuhi.

 

Paralel dengan pembelajaran protagonis, di film ini kita dapat tokoh antagonis yang juga membenci bagaimana penduduk hanya suka menjadi penonton, hanya suka mengawasi superhero yang mereka elu-elukan. Villain film ini berpendapat superhero membuat orang-orang menjadi semakin lemah, tidak bisa melindungi – membuat keputusan untuk diri sendiri. Dia ingin menghukum semua orang yang hanya mau menonton dengan kekuatan hipnotis melalui monitor. Melalui tokoh ini, film juga bicara mengenai ajakan untuk menikmati dunia secara langsung. Ketergantungan terhadap monitor – kalo ada yang belum sadar, kita menatap layar nyaris seluruh waktu dalam sehari kita terjaga sekarang – bahwa kita baru percaya kalo melihat sesuatu yang tayang di monitor, alih-alih melihat dan mengalami langsung, adalah suatu hal yang tak sehat. Panjahat dalam film ini punya motivasi yang bagus. Hanya saja personanya sendiri, gimana film berputar di sekitarnya, tampak lemah. Film memasukkan twist, but not really. Tidak ada surprise yang kurasakan ketika menonton ini. Semua elemen cerita tampak jelas berujung ke mana, siapa akan menjadi apa. Kupikir film yang berfokus pada dilema superhero sebenarnya tidak perlu ada yang dicap literal sebagai penjahat, I would be fine jika ini totally tentang drama keluarga superhero saja. Tapi ini kan juga dibuat sebagai film anak-anak jadi mereka harus punya tokoh yang dijahatkan.

Namanya saja udah terbaca “Evil Endeavor”, mengungkap kedoknya jauh sebelum twist terjadi

 

 

 

 

Film lebaran terbaik yang aku tonton tahun ini, dengan nilai yang jauh di atas. Pixar menunjukkan kematangan sekaligus konsistensi yang luar biasa dalam persembahannya ini. Animasi yang aku tidak tahu ternyata bisa lebih dalem dan menggugah lagi berhasil mereka hadirkan. Cerita superhero yang mengangkat sudut pandang yang jarang dilakukan, terlebih dalam film untuk anak-anak. Tokoh-tokohnya menarik, aksinya seru, kocak, dan jangan heran dan sampai kewalahan saat nonton ini adik-adik kita akan melontarkan pertanyaan yang cerdas. Karena film ini memberikan pesan dan bahan pemikiran yang berbobot di balik aksi kartunnya; untuk kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INCREDIBLES 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

COCO Review

27 Monday Nov 2017

Posted by arya in Movies

≈ 11 Comments

Tags

2017, animation, comparison, culture, disney, drama, family, funny, life, pixar, review, spoiler, thought

“Always forgive, but never forget.”

 

 

Seandainya Pixar adalah mutant, maka kekuatan supernya pasti adalah kemampuan untuk membuat kita menangis. Menit-menit terakhir film Coco, aku serasa berada di rumah duka beneran. Studio penuh oleh suara sengau yang mengomentari cerita. Sekelilingku penuh oleh penonton yang bahunya naik turun, menahan isak tangis. Semua orang begitu terpengaruh oleh apa yang mereka saksikan, lantaran film ini benar-benar memanfaatkan waktu demi ngebangun  cerita tentang passion dan keluarga yang sungguh luar biasa. Coco adalah CERITA YANG AMAT SANGAT KAYA. Oleh tema, oleh budaya, oleh backstory para tokoh, sehingga begitu menontonnya kita seolah melangkah ke dalam suatu kehidupan yang sedang berlangsung. Dan hal tersebutlah, film ini seperti dunia yang bahkan sudah bekerja sebelum kita mengintipnya, yang merupakan salah satu aspek terhebat dalam film Coco.

Ceritanya tentang anak cowok bernama Miguel yang pengen banget menjadi musikus. Dia ingin mencipta lagu, dia ingin bernyanyi, dia ingin seperti tokoh idolanya, Ernesto de la Cruz yang sudah melegenda di Mexico. Miguel punya tempat persembunyian khusus yang ia dedikasikan untuk de la Cruz. Di tempat itu, Miguel diam-diam otodidak belajar main gitar dari menonton video-video lama Cruz. Miguel sembunyi-sembunyi begitu lantaran musik adalah hal yang dilarang dibicarakan di bawah atap keluarga. Semua sanak Miguel bekerja sebagai pembuat sepatu, dan Miguel diharapkan untuk mengikuti tradisi keluarga. Tidak boleh ada musik, jangan sampai Miguel berkelakuan serupa dengan kakek buyutnya yang meninggalkan nenek Coco demi karir. Keinginan Miguel makin tak terbendung di perayaan Hari Orang Mati, dia mencuri gitar di makam de la Cruz, yang kemudian membuatnya terdampar di dunia orang mati. Untuk bisa keluar, Miguel harus meminta restu dari keluarganya yang sudah mati, sembari mencari cara gimana supaya dia bisa tetap menekuni musik tanpa melukai hati saudara-saudara yang lain, terutama orangtua dan neneknya.

Nenek Coco kecilnya mirip Alessia Cara

 

Kekuatan spesial kedua kalo Pixar sebagai mutant adalah membuat  animasi senyata foto sebagai sesuatu hal yang klise untuk disebutin di dalam review. Detil-detil gambar pada Coco gila banget detilnya. Gerakan animasinya mulus. Shot-shot kota, jalanan, udah kayak foto beneran dan mereka seolah menyelipkan tokoh animasi ke dalamnya. Pemandangan dan festivenya dunia kematian dan perayaan di dalamnya sangat meriah sehingga walaupun bicara tentang dunia orang mati, tema ceritanya juga sebenarnya cukup kelam (kita akan bicarain ini di bawah), tapi film ini merekamnya dalam penampakan yang berwarna. Ini adalah film emosional menyentuh hari yang ceria. Dan aku belum ngomongin soal musiknya loh. Menakjubkan deh. Permainan gitar, nyanyiannya, semua terdengar begitu cantik.

Ada apa sih dengan Mexico dan Kematian? Dia de los Muertos adalah hari raya di Meksiko untuk mengenang orang yang sudah tiada. Pada hari itu dipercaya leluhur yang sudah meninggal akan mendatangi rumah kerabat yang masih hidup, selama mereka masih diingat. Hal tersebut dijadikan stake dalam film ini, salah satu tokoh membantu Miguel kembali ke dunia karena dia ingin Miguel segera memasang fotonya di rumah, supaya keluarganya ingat dan si tokoh tidak menghilang. Orang yang sudah mati tidak akan benar-benar pergi, sampai tidak ada lagi yang mengenang mereka. Kenangan kita atas merekalah yang membuat orang yang kita cintai bisa tetap hidup, walaupun umur mereka sudah lama habis.

 

Coco punya cerita yang kaya, punya tokoh yang bisa dengan mudah kita apresiasi. Aku bisa melihat film ini lebih disukai oleh orang dewasa, meski tidak tertutup kemungkinan ada anak kecil yang bisa melihat ke balik nyanyian dan tengkorak-tengkorak yang bertingkah lucu itu. Buatku, aku hanya sebatas menikmati, karena apa yang ditawarkan oleh cerita Coco sudah kelewat familiar bagiku. I do feel related to it, aku tahu persis gimana punya kerjaan yang gak disetujui orangtua. Namun cerita cantik dengan pesan yang amat menyentuh  film ini enggak terasa terlalu menyelimutiku karena ini hanya satu lagi cerita tentang anak muda yang ingin melakukan sesuatu di hidupnya tapi keluarga ingin dia melakukan hal lain sehingga dia kudu menemukan jalan tengah untuk menyenangkan keluarga sembari menjawab panggilan hatinya. Premis dasar tersebut, begitu juga dengan elemen anak sampai ke dunia lain dan belajar tentang hidup adalah hal-hal yang udah lumayan sering kita lihat dieksplorasi dalam film.

Belum lama ini, di tahun 2014  ada animasi berjudul The Book of Life yang bukan hanya punya tema cerita yang sama, settingnya juga mirip dengan film Coco. Akan tetapi, seperti halnya Antz buatan Dreamworks dengan A Bug’s Life nya Pixar yang keluar nyaris berbarengan di tahun 1998, kesamaan antara Coco dengan The Book of Life enggak semata kayak Pixar totally nyontek. Kedua film ini punya lapisan luar cerita yang sangat berbeda. The Book of Life yang bercerita tentang anak dari keluarga matador yang ingin main musik, namun dilarang, dan dia juga terdampar di Dunia Kematian mengambil aspek cinta segitiga untuk menekankan soal pencarian passion. Kalo seperti aku, kalian suka sama The Book of Life, maka kalian pasti akan teringat sama film ini ketika menonton Coco. Tapinya lagi, Coco bisa jadi adalah film yang kalian inginkan ketika kurang puas menonton The Book of Life. Karena pada film Coco, fokus tentang warisan keluarga, gimana usaha konek dengan keluarga itu, diceritakan dengan lebih terarah.

Dunia Kematian itu begitu semarak sehingga kita jadi gak sabar untuk mati. Eh?

 

Di balik limpahan musik dan budaya itu, kalo kita pikir-pikir, sesungguhnya ada implikasi kelam yang cukup mengerikan yang dapat kita petik dari Coco. Film ini antara lain bicara tentang mengabadikan diri lewat seni. Dengan karya, dengan kita menciptakan sesuatu, orang akan terus membicarakan kita. Ernesto de la Cruz hidup bak dewa  di dunia kematian karena lagunya begitu terkenal. Orang-orang terkenal berpesta pora di sana. Aspek kelam yang kumaksud adalah, tidak ada konsep baik-buruk di sini. Tidak peduli apa yang kita lakukan, entah karya seni ciptaan kita nyolong punya orang lain, entah kita pernah bersikap brengsek ke orang lain, dalam film ini kita masih akan hidup senang di tempat yang layaknya surga selama foto kita masih dipajang, nama kita masih disebut oleh kerabat atau orang yang masih hidup.

Dalam film ini, kita melihat ada tokoh yang baik, ia sebagai tengkorak benar-benar mati, sendirian di ranjang gantungnya, karena dia tidak punya apa-apa yang bisa membuatnya diingat orang.  Ini mencerminkan bahwa orang-orang biasa, yang hidup sebagai orang baik tapi gak nyiptain apa-apa, yang gak melakukan sesuatu yang membuat mereka tertulis di buku sejarah, hanya akan menunggu waktu mati itu datang lagi. Kebaikan enggak diingat orang. Hanya menjadi terkenal yang abadi. Tentu saja, di masa di mana satu video viral di youtube bisa bikin orang jadi sukses, implikasi pesan tersebut dapat menjadi bumerang sebab membuat terkenal, punya banyak fans, menjadi prioritas hidup nomor satu bagi anak kecil alih-alih ngelakuin hal baik lain. Makanya, kita yang mesti bisa ngingetin ke adik-adik saat nonton ini bahwa diingat dan direstui keluargalah yang paling penting.

 

 

 

 

 

Ada cerita indah nan menyentuh yang bisa diapresiasi oleh anak-anak pada film ini. Ada banyak hal positif yang bisa kita ambil mengenai keluarga, mengenai jalan hidup yang kita pilih. Film ini juga kaya oleh unsur budaya. Tapi tentu saja, seperti mata uang, ada sisi kelam di balik pesona dan keceriaannya. As the story standpoint goes, aku enggak bisa bilang aku benar-benar tersedot penuh ke dalam ceritanya, meskipun relatable buatku. Film ini terasa sangat familiar, hingga aku tidak merasakan keunikan yang dia miliki. This is just another story, yang diceritakan dengan sangat baik, pengisi suaranya mantep, musiknya catchy, arahannya sangat ketat.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for COCO.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

 

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

CARS 3 Review

17 Thursday Aug 2017

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2017, animation, comparison, drama, family, funny, kids, life, pixar, racing, relationship, review, sequel, spoiler, thought

“Those who can’t do, teach.”

 

 

What is your goal in life? Well, entah itu jadi seniman sukses, orang kaya, selebriti tenar, penulis hits, kita mestinya ngeset tujuan kita segede-gedenya. Lupakan jadi yang biasa-biasa aja. Apalagi berhenti mengejar keinginan tersebut. Teruslah ngegeber gas untuk mengejar  mimpi mulia yang kita punya. Lightning McQueen tahu persis akan hal ini. Sebagai pembalap dia enggak bisa untuk enggak meniatkan diri menjadi juara satu. Untuk menjadi yang tercepat. Makanya, dia terus mendorong dirinya untuk menjadi lebih baik dan lebih cepat. McQueen punya ‘mantra penyemangat’ sendiri yang selalu dia ikrarkan setiap kali hendak mulai balapan.

It is about self empowerment. Kita harus punya mindset juara. Akan tetapi, yang diingatkan oleh Cars 3 kepada kita semua adalah definisi juara sebenarnya lebih dari piala semata.

 

Cars adalah franchise kedua dari Pixar – selain Toy Story – yang udah sampai pada film ketiga. Cars pertama tayang di tahun 2006 dan entah sudah berapa kali aku menonton film ini. Bukan karena suka banget, melainkan karena film itu adalah satu-satunya yang bisa mendiamkan tangisan adek bungsuku. Jadi dulu, nyaris setiap hari dvd Cars disetel di rumah. Filmnya sih oke. Apakah butuh sekuel?  Jawabannya tentu saja tidak, jika kita melihat betapa ‘kacaunya’ Cars 2 (2011). Bisa jadi Cars 2 adalah film Pixar terburuk yang pernah dibuat. Aku mengerti sekuel sebaiknya memang dibuat berbeda dengan film orisinalnya. Cars 2 punya nyali untuk tampil beda. Tetapi, mengubah dari apa yang tadinya film tentang mobil balap menjadi film tentang mobil yang jadi mata-mata, dengan practically memasangkan karakter paling annoying di sejarah Pixar sebagai tokoh utama, jelas bukan langkah yang brilian.

Cars 3 sepertinya sadar akan kekhilafan mereka.

Film kali ini dikembalikan ke jalan yang lurus.Kembali ke soal mobil balapan, separuh bagian awal Cars 3 nyaris terasa seperti Pixar mencoba menyematkan kata maaf. Mater, dalam film ini, didorong jauh ke latar. Dia cuma muncul di beberapa adegan singkat, hanya supaya fansnya enggak ngamuk. Itu juga kalo ada hihi. Selebihnya kita akan mengikuti McQueen as dia belajar untuk mengingat kembali apa yang membuat dia menjadi pembalap in the first place.

Kalian bisa jadi apa saja. Jadilah mobil balap.

 

Lightning McQueen yang disuarakan oleh Owen Wilson sudah semakin tua. Sebenarnya tidak ada yang salah dengannya, dia masih bisa melaju cepat. Hanya saja, teknologi semakin berkembang. Jadi, McQueen mulai sering kalah. Mobil-mobil balap generasi baru bermunculan, dengan teknologi paling mutakhir terpasang pada mereka. Zamanlah yang sekarang harus dipacu oleh McQueen. Dia lantas belajar untuk menjadi pembalap yang lebih baik, dia pergi berlatih ke sebuah tempat canggih yang sudah disediakan oleh sponsor. Di sana, McQueen dilatih oleh seorang pelatih bernama Cruz. Which is a fresh, interesting new character yang berhasil menyeimbangkan kementokan karakterisasi McQueen sendiri.

Trailer film ini menyugestikan seolah Cars 3 diberikan arahan yang lebih serius. Film ini tampak hadir lebih gelap, kita melihat McQueen terpelintir rusak, sebelum akhirnya terbanting ke jalan. Nyatanya, film ini basically MIRRORING KEJADIAN PADA FILM PERTAMA. Di mana kala itu McQueen adalah pembalap baru dan dia bertemu – kemudian diajarkan banyak – oleh Doc Hudson. Relationship McQueen dan Hudson akan banyak dieksplorasi dalam Cars 3 karena adalah aspek yang penting, essentially McQueen sekarang berada di posisi Hudson. An old, tired race car. Kita akan melihat McQueen berlatih untuk menjadi lebih kencang, untuk menjadi lebih baik. Dia bersedia belajar menggunakan teknologi baru yang somehow tidak berjalan begitu baik buatnya. Bersama pelatih barunya, McQueen balapan di pantai berpasir. Mereka berdua ikutan demolition derby. McQueen benar-benar mencoba untuk mencari ke dalam dirinya, apa yang membuatnya jadi pembalap. Di bagian latihan ini, film picks ups considerably. Ada pesan yang baik di sini, dan menjelang akhir semuanya menjadi surprisingly menyentuh dengan sebuah keputusan yang diambil. Mungkin banyak yang bisa menebak ke mana arah cerita, tapi tetep aja kerasa sangat touching karena kita akhirnya melihat karakter McQueen berputar satu lap, he comes full circle di akhir cerita. Dan menurutku, ending film ini sangat memuaskan.

Jika enggak ada manusia, kenapa mobil-mobil itu punya pegangan pintu?

 

While penonton cilik mungkin akan ileran ngeliat mobil-mobil baru nan mengkilap – Cars 3 tampak mulus seperti biasa, jika tidak lebih – penonton yang lebih dewasa bakalan sedikit berkontemplasi dibuat oleh pesan yang terkandung di dalam narasi.

Apakah kelak kita akan undur diri dengan sukarela, menyerahkan obor itu kepada generasi berikutnya, atau apakah kita akan terus melaju dalam jalan yang kita tahu ada ujungnya, risking everything just to keep up? Keseluruhan pembelajaran Cars 3 adalah tentang warisan. Kapan harus berhenti, merelakan, dan menyadari bahwa bukan semata kemenangan yang akan abadi. It’s our excellency.

 

Jika setiap mobil punya akselerasi, maka film ini pun ada. Antara film baru di’starter’ dengan kita mulai menikmati cerita, sesungguhnya memakan waktu yang enggak cepet. Paruh pertama film ini boring banget. Ada banyak lelucon yang jatoh bebas menjadi datar sedatar-datarnya. Kalian tahu, serial Cars selalu memancing jokes dan anekdot seputar personifikasinya terhadap dunia manusia. Yang memang sekilas terdengar amusing, tapi kalo dipikir-pikir rada gak make sense.

Banyak yang membandingkan film ini dengan sekuel-sekuel Rocky. Aku agak berbeda dengan pendapat itu, karena buatku, Cars 3 lebih kepada personal McQueen. Dia enggak necessarily pengen mengalahkan Storm, si mobil balap yang lebih muda namun rada angkuh dan kasar. McQueen ingin buktikan kalo dia sendiri masih mampu berlari di lintasan itu, bahwa dia adalah pembalap yang punya tujuan hanya satu. Aspek ‘ketika si muda menjadi tua’ ini bisa kita tarik garis lurus dengan keadaan Pixar sekarang. Bagi anak-anak, Cars adalah Pixar. Sedangkan bagi kita yang udah nonton lebih duluan, Cars adalah franchise Pixar yang paling ‘lemah. Bandingkan saja dengan Toy Story (1995). Pixar sudah exist cukup lama, dia sudah enggak ‘muda’ lagi, dan kita bisa lihat karya mereka juga enggak sekonsisten dulu lagi briliannya. Cars 3 adalah usaha Pixar menunjukkan mereka still can go wild-and-young. Tapi pertanyaan yang harus kita tanyaka adalah, akankah kita melihat successor ataupun rival baru yang lebih muda, yang bakal membuktikan bahwa mereka lebih baik dari Pixar?

 

 

 

Tidak banyak ‘pergantian gigi’ seperti yang kita kira, namun tak pelak ini adalah kisah mentorship yang menyentuh. It work best as a bigger picture, jika kita menonton ini setelah menonton film yang pertama. Bagusnya pun kurang lebih sama, deh. Kita bisa ngeskip Cars 2 entirely dan enggak akan banyak nemuin lobang di continuity. Penokohan membuat karakter lama jadi punya depth baru. Even newcomer diberikan penulisan yang lebih nendang lagi. Tapi leluconnya kinda datar, it’s hard enough membayangkan peraturan universe mobil-mobil itu. Dent pada konsep, dan Pixar berusaha sebaik mungkin menggali apa yang mereka bisa dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CARS 3.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Finding Dory Review

16 Thursday Jun 2016

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2016, adventure, animation, disney, family, funny, hollywood, kids, life, pixar, review, sequel, thought

“Strength comes from overcoming the things you once thought you couldn’t. ”

 

12792317_10154164942382240_2487411388686774115_o

 

Waktu pertama kali mendengar tentang film ini mau dibikin, aku menyangka berita tersebut cuma lucu-lucuan untuk April Mop. I like Finding Nemo. Uh, ralat. I love Finding Nemo! Setiap hari di rumah, kami muter dvd ikan badut yang ketangkep manusia itu. Tontonan wajib sambil makan siang sepulang sekolah. Padahal belakangan juga enggak ditonton, karena adegannya udah pada hapal jadi denger suaranya aja udah puas banget. That movie was some sort of addictive to my family. Cerita film tersebut udah konklusif sekali, aku merasa tidak akan bisa dibikin sambungan. Toh kalaupun bisa, buat apa ada sekuelnya. I thought that Nemo dan Marlin dan Dory was done for good.

 

But they did comeback with a sequel. An AMAZING AND HEARTWARMING one! Sebelumnya Pixar sudah pernah menggunakan karakter yang tadinya sidekick menjadi peran utama dalam film berikutnya, kayak Mater di Cars 2 (2011) dan Mike dalam film Monsters University (2013). Dalam hal inilah Pixar mengerti kalo sebuah sekuel bisa saja menggunakan formula cerita yang sama asal dilihat dari tokoh yang berbeda. Kali ini, giliran tokoh paling lovable seantero Disney Pixar-universe yang dijadikan sorotan; Dory si ikan tang biru.

Kebalikan dari Finding Nemo (2003) yang tentang ayah mencari anak, Finding Dory adalah tentang Dory yang ingin mencari keluarganya. Namun penghalangnya? Dramatic-premis film ini simpel sekali, gimana caranya Dory menemukan keluarganya kembali jika dia sendiri tidak mengingat mereka due to ‘penyakit’ short term memory loss yang ia derita? So sekali lagi, trio ikan ini menyebrangi luasnya lautan, bertemu dan berteman dengan segenap makhluk-makhluk air yang baru – yang sifatnya oddly resemble manusia jaman sekarang –, tak-sengaja pisah beberapa kali, dan kemudian demi bersatu kembali mereka harus menempuh berbagai macam halangan exploring the Marine Life Institute yang sebagian besar involving manusia yang ignorant dan environment di mana ikan tidak bisa lama-lama berdiam di sana. Dan ohiya, setelah kredit penutup ada adegan ekstra dari teman-teman akuarium Nemo di film pertama, jadi tetaplah duduk di tempat and then you can tell me ceritanya gimana karena aku sudah keburu keluar gara-gara kebelet -,-

Selalu senang setelah sekian lama (13 tahun loh jarak kedua film ini!) bisa kembali ke dunia dengan karakter-karakter yang kita cintai dan kita kenal dan mereka tetap seperti yang dulu seolah kita hanya meninggalkan mereka satu hari saja. Film ini did it right dengan tidak menampilkan loncatan-waktu yang tidak perlu. Sehingga kita bisa melihat karakter-karakter tersebut bertumbuh.
As soon as I sit down I know I’m in for a treat. Bener-bener tidak ada hal buruk yang bisa kita ucapkan terhadap apa yang sudah berhasil dicapai oleh film ini secara visual. Dunia bawah air itu terlihat jernih. Bahkan daratannya juga terlihat kinclong, dan film ini menghabiskan lebih banyak waktu di wilayah kering ketimbang film pertama. Animasi tokoh-tokohnya pun bening, kita bisa melihat sisik pada tubuh Marlin dengan jelas. Mereka kayak ikan beneran. Everything that can be seen in this movie looks so smooth.

lihatlah betapa mulusnya jidat Papa si Dory. Hahaha ikan kayak punya jidat

Lihatlah betapa mulusnya jidat Papa si Dory. Hahaha ikan kayak punya jidat.

 

Sedikit sedih, mungkin menyentuh rasa takut kehilangan yang kita sayang. Akan tetapi keseluruhan Finding Dory, kalo mau digolongkan, bisa termasuk ke dalam kelompok film Pixar yang sepenuhnya bisa dinikmati oleh anak-anak. Anak Indonesia khususnya bisa menyaksikan film ini dalam bahasa Indonesia karena seperti The Good Dinosaur tahun lalu, Finding Dory juga diberikan hak untuk rilis dalam versi yang sudah dialih suara. Judul resminya ditranslate sebagai Mencari Dory. And it might get interesting buat publik lokal since yang ngisi suara Dory adalah Syahrini.

 

Tema yang diusung Finding Dory sangat dekat. Pesan yang terkandung diincorporate dengan baik ke dalam cerita. Mudah dicerna. Lucunya, inti film ini mirip-mirip sama film The Conjuring 2. Tentang keluarga yang mengerti kita. Tentang kegembiraan, ketakutan, kekuatan yang kita rasakan bareng dalam sebuah keluarga. Apapun yang kita lakukan, kita enggak akan bisa melupakan begitu saja momen-momen yang mengikat kita menjadi sebuah keluarga. Ada lebih banyak momen emosional dalam film yang ini. Kondisi Dory yang selalu lupa jadi device yang dalem untuk konstruksi cerita. Adegan-adegan Dory berusaha mengingat ayah dan ibunya demi mendapatkan petunjuk keberadaan mereka sungguh adegan yang menyentuh dan menginspirasi. Kalo Nemo cacat fisiknya, maka Dory memiliki kekurangan secara kognitif, dan film ini menunjukkan kepada mata-mata berbinar yang terhubung kepada otak haus ilmu anak kecil bahwa kekurangan yang kita miliki adalah sekaligus senjata terkuat yang kita punya.

Lebih dari sekedar ikatan darah, really, keluarga adalah kumpulan orang-orang yang mengerti dan menerima kita for who we are. We try to understand each other. We affect each other. Dory menemukan bahwa sebenarnya apa yang ia cari, terhampar di depan mata, seluas lautan biru yang mereka tinggali.

 

Di samping adegan-adegan kocak semacam gurita ngendarai truk atau kerang galau, film ini cukup subtle dalam bercerita. Aku suka sekali adegan di awal saat Dory yang teringat masa kecilnya, mulai kepikiran rindu dan ingin pulang ke tempat orangtuanya sementara di background kita lihat Mr. Ray menjelaskan apa arti insting kepada Nemo. That was such a strong scene, kejadian migrasi ikan pari tersebut membangkitkan naluri seorang anak dari dalam diri Dory. Naluri yang tadinya sudah terlupakan.
Aku juga suka gimana film ini tie in dengan film sebelumnya. Menjawab beberapa hal yang tadinya hanya guyonan ringan dalam film pertama. Menonton Finding Dory kita akan mengenal Dory lebih dekat, kita akan tahu kenapa Dory bisa membaca tulisan manusia, kenapa ia bisa bahasa paus, darimana ia tahu lagu “Just keep swimming”. Dan betapa sebenarnya Dory itu ikan yang cerdas.

"beauty, brain, and b….bicarain apa kita barusan?"

“Beauty, brain, and b….bicarain apa kita barusan?”

 

Dibandingkan dengan Finding Nemo, materi film si Dory ini terasa sedikit kurang. Mungkin karena memang stake yang dihadirkan enggak segede resiko yang bisa menimpa Marlin. Ini juga karena sedari awal Dory memang sudah seekor karakter yang wonderful. Enggak kayak Marlin yang tipe-tipe orangtua pencemas gak mau dengar kata anaknya. Petualangan Dory sedikit lebih mudah karena dia mendapat bantuan dari pihak-pihak yang merasakan langsung kewonderfulan sikapnya. Journey Dory adalah tentang dia menyadari hal terkuat dari kekuarangan dirinya tersebut. Dari apa yang tidak bisa ia lakukan. Masalah Dory adalah dari dirinya sendiri, so that’s why film ini terpaksa memakai banyak flashback. Yang jatohnya sedikit annoying, tentu saja, penggunaan kilas-balik seharusnya dijaga tetap minimal. Tapi ya di sini memang harus dipakai karena naturally enggak ada cara lain. Marlin dan Nemo, di lain pihak, tidak mengalami perbedaan arc yang signifikan dari film pertama. Marlin masih perlu belajar berempati dan percaya sementara Nemo perannya adalah to make sure Marlin tidak mengulangi kesalahannya di film terdahulu.

 

 

Jadi untuk menjawab diriku di paragraf awal, apakah sekuel ini diperlukan? Beberapa aspek cerita memang repetitif, bagian mereka kerap terpisah dan bertemu kembali, terlihat melelahkan. Flashback yang banyak menegasi stake hingga kadang stake tersebut terasa diada-adakan, demi sekuel. Kita harus menyadari bahwa anak-anak butuh lebih banyak film seperti ini. Cerita hangat dengan humor yang harmless tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap teman dan keluarga. Dan makin ke sini, Pixar sebagai medium cerita tersebut, semakin sukses menghadirkan visual yang luar biasa. Film ini sangat appealing buat semua umur. Berlawan dengan tag-linenya, kalo Dory menonton film ini, aku yakin dia enggak bakal lupa sama ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for FINDING DORY

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

The Good Dinosaur Review

30 Monday Nov 2015

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2015, animation, comedy, disney, drama, family, fantasy, friendship, hollywood, indonesia, kids, life, pixar, review, thought

“Brave isn’t about not being afraid. It’s about being scared to death and still not giving in.”

 

The_Good_Dinosaur_Official_International_Poster_b_JPosters

 

Reptil-reptil raksasa masih akan terus mendominasi planet Bumi. Peradaban dan teknologi tidak akan pernah ada. Manusia didorong ke belakang menjauh dari status sebagai spesies nomor satu. Pixar bersama Disney berhasil menceritakan angan-angan – yang cukup mengerikan – tersebut dengan sangat bersahabat. Lucu, malah.

Ratusan juta tahun setelah meteor besar terbang melewati planet ini, alih-alih menabrak, satu keluarga Apatosaurus petani dikaruniai tiga ekor anak. Buck yang kuat, Libby yang cerdas, dan Arlo yang paling kecil. Dan memang, tidak seperti saudara-saudaranya, Arlo lacks of everything. Dilahirkan dengan kaki-kaki yang lemah, untuk berjalan aja dia susah. Suatu kejadian kemudian menyebabkan Arlo terpisah dari keluarga dan rumahnya di kaki gunung berpuncak tiga. Bersama bocah manusia yang dia beri nama Spot, dinosaurus leher panjang ini mendapat banyak pelajaran hidup dalam perjalanan pulang yang penuh petualangan. Raymond Ochoa dan Jack Bright berhasil menghidupkan tegarnya Arlo dan geraman-lolongan Spot to the point relationship kedua karakter ini dengan gampang relatable buat semua orang.

The Good Dinosaur mecahin dua ‘rekor’.
Pertama, film ini adalah kali pertama Pixar ngeluarin dua film dalam kurun waktu setahun. Dan ‘prestasi’ uniknya yang kedua adalah pihak Disney actually ngeluarin versi bahasa Indonesia dari film ini, diberi judul DINO YANG BAIK. Aku sempet bingung juga mau nonton yang mana, akhirnya milih yang bahasa original sih, tapi aku masih penasaran pengen liat yang udah disulih suara. Aktor cilik Indonesia, Adam Farrel, adalah yang terpilih untuk menyuarakan Arlo dalam versi dubbing. Rasa-rasanya kita baru denger yah ada film luar yang merhatiin pasar dalam negeri seperti ini. Menurutku ini pertanda bagus, semoga nantinya mereka juga lanjut merhatiin usaha beberapa film produksi dalam negeri yang tried their best to get noticed dengan masukin subtitle inggris dalam karya mereka.

best for bussiness

best for bussiness

 

Suguhan visual yang indahnya sama besar dengan the heart of it’s story adalah keunggulan film-film keluaran Pixar. Mereka sangat terarah dalam nentuin target pasar, they really know what they’re doing. Ada film ringan yang cocok buat anak-anak seperti Cars, Monsters Unversity. Enggak sedikit juga film yang sampai ke tingkatan dapat dinikmati oleh orang dewasa, seperti Toy’s Story dan Inside Out, yang akan berikan pengalaman menonton berbeda seiring bertambahnya usia yang nonton.

Jadi termasuk golongan film Pixar yang manakah The Good Dinosaur?

Lelucon-leluconnya passable lah buat selera adek-adek kita; tingkah Spot yang liar namun gemesin, pembawaan Arlo yang mirip Nobita di kartun Doraemon, easy dan kocak. Enggak sampai di situ, film ini juga penuh oleh emosi. Kaya dengan momen-momen intense yang benar-benar ngena di balik keindahan gambarnya. Aku sendiri terhenyak pas adegan Arlo dan Spot ‘ngobrol’ di tepi sungai, mereka kind of nyeritain apa yang terjadi pada keluarga mereka masing-masing. Scene yang powerful, yang mungkin anak-anak tidak bisa langsung mengerti begitu saja. The Good Dinosaur DIMAKSUDKAN SEBAGAI FILM KELUARGA, AS IN PARA ORANGTUA HARUS IKUTAN DUDUK MANIS DI SEBELAH ANAK MEREKA. Menjelaskan apa yang terjadi pada Arlo. Seperti ibu yang duduk di sebelah ku pas di bioskop, beliau nonton bersama dua orang anaknya. Ibu tersebut dengan sabar menceritakan si Arlo lagi ngapain, relationship nya dengan Spot yang lebih primitif (gak bisa ngomong and such), memperkenalkan dinosaurus lain – yang lucunya ditulis berlawanan dari pakem bintang film Jurassic Park, membacakan ulang dialog yang tidak dimengerti, menghibur anaknya yang sedih saat Arlo harus kehilangan seorang yang dicintai. Memberi pelajaran tentang persahabatan yang menjadi dasar evolusi karakter Arlo. Aku bisa mendengar anak ibu itu bertanya, “Mami, kok mereka temenan, kan tadi dikejar-kejar?” yang jawabannya langsung dituturkan oleh sang ibu. Anak-anak juga akan belajar tentang keberanian sepanjang film berlangsung. Berani bukan berarti sama sekali tidak takut. Semua orang pasti merasa takut. Berani adalah kita ketakutan setengah mati namun kita tetap tidak menyerah.

Ya, film ini menuntut keaktifan orangtua. Menurutku cukup lucu film ini memancing interaksi di mana anak-anak yang nonton menjadi seperti Spot; mereka berani mempertanyakan, dan orangtuanya jadi kayak Arlo; yang takut-takut ngejelasin tema yang merenyuh hati. Jadi semacam tantangan juga buat parents karena The Good Dinosaur enggak nahan-nahan, film ini DENGAN GAMBLANG MEMPERLIHATKAN KERASNYA DUNIA BINATANG, ngeliatin hukum makan-memakan alam liar. There are some pretty (but) gross scenes. Aku aja sampai terkikik geli they really did that, sementara si ibu di sebelah sibuk nenangin anak-anaknya hihi. Kalau kalian bawa adek yang masih kecil nonton ini, you might need to prepared them saat adegan yang ada serangga gede atau ada kawanan Pterodactyl. Beberapa anak ada yang terlalu sensitif terutama kalo liat makhluk imut terluka apalagi sampai menemui ajal.

'sokay, it is just a circle of life, after all!

‘sokay, it is just a circle of life, after all!

 

Technically speaking, The Good Dinosaur memang mampu bikin yang nonton takjub. Mata kita dijamin berbinar-binar memandang LATAR BELAKANG DUNIA YANG JERNIH DAN TERLIHAT NYATA BAGAIKAN SEBUAH FOTO PEMANDANGAN. Semua itu terlihat KONTRAS DENGAN MODEL TOKOH-TOKOHNYA yang digambarkan sangat cartoon-ish. Pernah nonton film kartun The Land Before Time (1988) yang tokohnya juga anak-anak dinosaurus? Masih ingat sama film animasi Dinosaur yang dikeluarin Disney tahun 2000? Nah, Arlo dan semua dino dalam The Good Dinosaur tidak tampil se’nyata’ itu. Malah mereka cenderung terlihat enggak blend dengan gambar latar tersebut. Tapi sepertinya benturan animasi tersebut disengaja untuk nunjukin kesan begitulah anak-anak memandang dunia. Dan aku yakin sekali, saat menonton film ini, enggak ada satupun anak kecil yang protes kenapa bentuk dinosaurusnya kayak permen gummy bear. Aku pribadi cukup heboh sendiri lantaran film ini berani memunculkan Velociraptor yang berbeda dengan film lain; di sini Raptornya berbulu, seperti yang ditulis dalam buku-buku IPA di sekolah.

Proses produksi film ini sebenarnya jauh lebih ‘berliku’ daripada perjalanan si Arlo. Jadwal tayangnya sudah mundur jauuuuhhhh dari jadwal tayang sebelumnya, which was before Frozen (2013). Film ini juga sudah mengalami pergantian produser dan sutradara. Karakternya dirombak. Serta merta plotnya pun dikabarkan mengalami banyak penulisan ulang.
Mungkin itu sebabnya The Good Dinosaur terasa lemah sekali dari segi cerita. Di bawah standar Pixar yang biasa. Apalagi film ini keluar tidak sampai setahun dari Inside Out yang luar biasa itu, jadi penurunannya kerasa banget. The Good Dinosaur penuh dengan TAMBALAN CERITA-CERITA LAMA. Struktur cerita utamanya kerasa paling mirip dengan The Lion King (1994); hubungan dan circumstances antara Alro dengan ayahnya bikin kita sontak teringat kepada Simba dan Mufasa. Para Raptor are practically the hyenas. Terus, trio T-Rex redneck nya seperti karbon kopi dari predator dalam Finding Nemo (2003). Bukan cuma itu, premis hewan purba berkelana dengan bocah manusia sudah pernah kita saksikan lewat Ice Age (2002). Yang pergi nonton ini dengan ekspektasi tinggi tak ayal akan merasa kecewa terhadap hal tersebut.

 

Dinosaurus yang baik. Alam yang juga baik walaupun ganas (“The storm provides!” lol I like that preach). Yang bad mungkin adalah kita yang tidak bisa lagi menilai sesuatu dari mata anak kecil. Tidak adil rasanya bilang ini adalah film yang jelek. Graphic nya outstanding. Film ini masih punya hati dan clearly sangat appealing bagi anak-anak. Namun juga tidak bisa dibilang terlalu jinak; beberapa adegan might be too violent for kids. Tapi toh tidak bisa dipungkiri, selain ‘keberaniannya’, tidak ada impact signifikan yang dihasilkan oleh animasi yang satu ini. Perjalanannya terlalu ‘diatur’ ditambah adegan-adegan yang constantly reminds us of another successful movies. Meski berakhir bahagia, the story terasa never really hits ‘home’.
Mungkin memang sebaiknya meteor itu menghantam saja.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for The Good Dinosaur.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

 

We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Recent Posts

  • TOM AND JERRY Review
  • I CARE A LOT Review
  • STAND BY ME DORAEMON 2 Review
  • Elimination Chamber 2021 Review
  • WRONG TURN Review
  • MONSTER HUNTER Review
  • JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review
  • MALCOLM & MARIE Review
  • DON’T TELL A SOUL Review
  • EARWIG AND THE WITCH Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • Wah udah setahun? Gak ada yang bikin selebrasi nih, apa kek..? 15 hours ago
  • Hotel mewah itu jadi rumah baru buat Jerry. Tapi juga, Hotel itu jadi tempat kerja baru bagi Kayla. Kayla, dibant… twitter.com/i/web/status/1… 18 hours ago
  • @christmellody Hahaha kayak game khusus Yuffie banget. Wah anak emas nih ps5 xD 1 day ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Create a free website or blog at WordPress.com.

Cancel

 
Loading Comments...
Comment
    ×
    loading Cancel
    Post was not sent - check your email addresses!
    Email check failed, please try again
    Sorry, your blog cannot share posts by email.
    Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
    To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
    %d bloggers like this: