AUTOBIOGRAPHY Review

 

“History repeats itself”

 

 

Dua hal tentang sejarah, yaitu ditulis oleh pemenang, dan mengulangi dirinya sendiri. Autobiography mungkin memang bukan cerita tentang kehidupan sutradaranya. Alih-alih itu, Makbul Mubarak dalam debut film panjangnya ini menggunakan judul tersebut untuk merujuk kepada rekam-jejak kekuasaan kelam militer yang bakal terus berulang. Keseluruhan film ini merupakan gambaran dari bagaimana itu semua bisa terjadi. Gimana rezim tangan-besi bisa begitu mendarah daging sehingga sekalipun ada satu orang yang cukup berani untuk menentangnya, tidak lantas berarti mudah bagi orang tersebut untuk berpaling dari kenyamanan yang ditawarkan oleh kuasa yang ia tentang tersebut. Makbul lantas menghiasi penceritaannya dengan cekat lewat close up lekat, warna pekat, dan perasaan yang kelat. Sehingga wajar, banyak yang bilang Autobiography ini adalah film yang seram meski bukan film horor!

Bagi cowok, sosok ayah memang dapat terasa begitu menyeramkan. Meski udah gede kayak sekarang, aku masih gak berani main game, baca komik, atau bahkan nonton film di depan ayahku sendiri. Karena ajaran (dan hukumannya) untuk disiplin, serius, dan gak banyak main-main sudah begitu membekas. Itu ayah sendiri loh, dalam lingkungan keluarga pribadi. Bayangin aja kalo ayah yang lebih lagi, kayak Jenderal Purna, yang bagi Rakib bukan ‘ayah’ biasa. Bapak-bapak itu adalah purnawirawan, balik ke kampung untuk urusan kampanye politik. Semua orang hormat dan takut padanya. Kuasanya menyelimuti desa, tentara-tentara bisa dipanggilnya kapan saja dia mau. Bapak-bapak itu, juga adalah bos keluarga Rakib turun temurun. Dan kini giliran Rakib untuk mengurus keperluan sehari-hari si bapak Jenderal. Posisi ini membuat hubungan mereka jadi personal bagi Rakib, for he is the one that’s experiencing Jenderal Purna  dalam berbagai spektrum. Sebagai ayah, sebagai majikan, sebagai guru, sebagai pemimpin, dan sebagai ‘something else’ yang lebih mengerikan.

Later, Rakib bakal found out si Jenderal juga punya selera ‘humor’ dengan “Maaf adalah hadiah”

 

Spektrum tersebut dihidupkan oleh penampilan akting yang luar biasa dari  Arswendy Bening Swara. Simak waktu dia bilang “Siapa bilang saya minum kopi” dan lantas menyuruh Rakib duduk.  Suaranya enggak tinggi, Nadanya enggak naik. Tapi Rakib dan kita, sama-sama tau bahwa malatapeka besar akan terjadi kalo kata-kata itu tidak segera dituruti.  Di level seperti itulah Arswendy menghidupkan karakter ini. Santai, tapi tegasnya bikin orang tahu bahwa dia tidak main-main. Pak Jenderal ini kalo ngomong mirip kayak gambaran Tom Marvolo Riddle (alias sebelum jadi Voldemort) di buku Harry Potter. Setiap kata, sesantai apapun, disampaikan dengan force yang kuat. Setiap kata terasa seperti perintah, tapi tanda-serunya silent dan hanya keluar lewat penekanan dan aura yang dimiliki oleh Arswendy sebagai Jenderal Purwa. Kita juga akan melihat – seperti politikus pada umumnya – Pak Jenderal memantik simpati dengan kata-kata motivasi, dengan janji-janji. Simak lagi waktu dia ‘ngeles’ saat ada karakter anak muda bernama Agus yang mengadu soal keluarganya berharap agar tidak digusur. Force dari kata-kata Pak Jenderal saat menjawab itu kontan terasa mengerikan, karena di balik ‘ngeles’ persuasifnya, kita bisa mendengar nada mengancam di balik ‘di mana Ibu’ dan ‘di mana rumahmu’.

Tinggal-lah Rakib di sana, diam termenung, berusaha untuk mencerna dan memahami siapa sebenarnya Pak Jenderal yang dihormati sekaligus ditakuti warga. Memang, berbeda dengan Arswendy yang banyak melantunkan dialog dan lebih open secara ekspresi, Kevin Ardilova memainkan karakter yang lebih banyak diam. Yang ekspresinya lebih tertahan. And he was excellent at this! Rakib tampak seperti bergulat dengan pikirannya sendiri setiap kali berhadapan dengan ‘aksi’ Pak Jenderal. Dia kelihatan seperti takut, kagum, dan penasaran sekaligus. Sekilas, karakter Rakib ini bisa tampak sebagai kurang konsisten – cepat berubah-ubah. Tapi itu hanyalah efek dari ‘manipulasi emosional’ dari Pak Jenderal yang memang paling kuat menyerang Rakib. One moment, Rakib ditinggikan dengan disebut mirip Jenderal waktu masih muda. Lihat betapa gembiranya dia kemana-mana pakai seragam bekas Pak Jenderal. Momen berikutnya dia dimarahi karena nyembunyiin sesuatu di saku. Momen lainnya, Rakib tergopoh-gopoh nyari charger yang mau dipinjam. Ada juga ketika Rakib dibela dan lantas disuruh minta maaf dalam satu kesempatan yang sama. Ini sebenarnya adalah build up yang dilakukan film ke momen pecahnya konflik di antara kedua karakter ini.  Ini adalah kelincahan naskah untuk memuat gagasan sekaligus menjabarkan wants-and-need karakter Rakib itu sendiri sebagai karakter utama. At heart, ini adalah coming-of-age story bagi Rakib. Seorang anak muda yang ingin dapat approval dari seorang sosok ayah. Sehingga, ya, akan ada momen-momen ketika Rakib seperti menikmati perannya sebagai bawahan Jenderal, momen-momen ketika dia mempercayai pujian dan nasihat Pak Jenderal, yang semuanya mengarah ke ‘horor’ yang sudah kita antisipasi sebagai dramatic irony. ‘Horor’ ketika Rakib menyadari betapa dingin dan merah sebenarnya tangan yang selama ini menyuapi dirinya.

Film ini enggak cuma punya dramatic irony dan melepaskan kita dari tensi setelah melihat apa yang dipilih untuk dilakukan Rakib terhadap Pak Jenderal. The real punchline ada di belakang, pada apa yang dipilih untuk dilakukan Rakib setelah Jenderal tidak ada. Film ini mengakhiri ceritanya , meng-cut kita semua dari ceritanya, di momen eksak yang  sepertinya perfect banget. Ini tipe ending yang kayak di Triangle of Sadness (2022). Ending yang menyerahkan kepada kita untuk mengimajinasikan sendiri apa yang terjadi berikutnya. Orang yang lebih optimistis mungkin akan melihat Rakib di ending sebagai generasi muda yang mereset kembali power struggle antara rakyat dan pemimpin militer. Menjalankan fungsi sesuai namanya, mencatat yang baik-baik saja. Tapi kemudian aku ragu apakah bakal ada penonton yang melihatnya seperti itu. Sebab yang digambarkan film ini tak ayal begitu familiar bagi kita. Ada masa Indonesia di bawah pemimpin militer mengalami masa kelam orde baru. Saat orang bisa hilang karena bersuara, apalagi menentang. Dari konteks tersebut, dari judulnya, dari bagaimana semiotik dan aspek film dibangun, film ini sebenarnya sudah mengarah ke satu ending yang shocking terkait jadi apa Rakib setelah semua ini. Jadi, ya, adegan dan motong endingnya seperti itu perfect, tapi secara bangunan keseluruhan gak benar-benar terasa kayak perfect choice untuk dibegitukan. Karena sebenarnya film masih akan tetap kuat dan dramatis, dan emosional, jikalau endingnya enggak ‘dicut’ dan kita langsung melihat satu kesimpulan.

Siklus rezim kekerasan ternyata terus berulang. Film ini berusaha memberikan gambaran apa yang sebenarnya menyebabkan itu terjadi. Apa yang membiarkan itu terjadi. Gagasan yang bisa kita baca dari cara film menyampaikan ceritanya ini adalah bahwa semua itu berakar pada toxic masculinity. Autobiography adalah film yang cowok banget. Mulai dari catur, berburu, bir, kendaraan, semua simbol cowok hampir ada. Tapi, sosok perempuan – sosok ibu – seperti sengaja ditiadakan. Diminimalisir. Dan itu mungkin sebabnya kenapa film ini begitu ‘seram’. Seolah gak ada yang bikin jadi lembut. Seems like there’s no hope. Kita cuma bisa nikmati saja.

 

Jadi, karakter Pak Jenderal mengingatkan kalian kepada siapaa?

 

Bahasa visual yang digunakan pun seperti menuntun penonton untuk sampai kepada kesimpulan ending itu. Kita melihat Rakib memandang pantulannya di cermin, sambil memegang cangkir kopi yang diberikan sesuai permintaannya. Bercerita dengan visual seperti demikian memang salah satu kekuatan film ini, yang membuatnya jadi fresh. Karena Makbul Mubarak banyak menyuguhkan adegan lewat sudut yang unik. Sudut yang benar-benar mewakili perasaan Rakib. Kamera mengintip dari kaca jendela, merunduk di bawah spanduk kampanye, ataupun ya, membiarkan kamera tidak menyorot apa-apa selain aftermath dari suatu perbuatan. Visual ini juga jadi cara penyampaian metafora atau penyimbolan yang efektif. Adegan Rakib mandi lalu tiba-tiba Pak Purwa masuk dan memandikan dirinya, misalnya. Simbol ketika kuasa bahkan bisa ‘menjajah’ pribadi kecil di ruang mereka yang paling privat sukses tergambarkan dengan kuat dan disturbing lewat adegan tersebut. Suspens dan intensitas memang akhirnya berhasil diraih oleh film lewat gambar-gambar ini. Timing-nya juga precise sekali. Meskipun memang banyak shot-shot yang diam, entah itu menangkap ekspresi Rakib atau hanya memperlihatkan karakter duduk di sana, tapi tidak pernah terasa kelamaan. Feeling ‘ngeri’ tersebut berhasil terjaga dengan baik.

Di sisi lain, ada juga beberapa adegan yang mestinya bisa ditrim untuk membantu pacing keseluruhan. Film ini bisa terkesan terlampau runut,  walaupun runutnya kejadian tidak benar-benar terlalu ngaruh ataupun ngasih something dramatis yang benar-benar diperlukan.  Kayak ketika Rakib nganter-jemput Pak Jenderal ke kawinan.  Film benar-benar ngeliatin proses antar, pulang lagi, ambil senapan. jemput lagi, nyampe di tempat pesta – yang sebenarnya fungsinya untuk ngeliatin Rakib mampir ke mana dulu, dan adegan senapannya di mobil hampir ketauan. Menurutku fungsi tersebut gak benar-benar worth untuk mengulur pacing, dan mestinya bisa diperketat lagi.

 

 




But still, ini film yang luar biasa menginspirasi. dari sisi bahwa ini adalah film panjang pertama dari sutradara. Bahwa ia mampu mewujudkan visinya dan memberikan kita suguhan yang completely different. Yang berani, baik itu topik maupun seni berceritanya. Fakta bahwa film seperti ini – dibuat oleh sutradara baru pula – bisa eksis, dan bahkan memborong banyak penghargaan dalam dan luar negeri, seharusnya jadi inspirasi bagi setiap pecinta film. Buat yang angker sama film ‘berat’, jangan keburu keder duluan. Dua karakter sentral film ini, dihidupkan lewat penampilan akting yang gak dibuat-buat, akan gampang konek karena terasa familiar. Malah, semua yang digambarkan film ini terasa familiar, makanya film ini dikatain seram. Kita seolah menghidupi dunia yang sama dengan karakternya.  Visualnya bahkan berkata lebih banyak lagi daripada para karakter. Yang membuat film ini semakin menarik untuk disimak, semakin jauh dari kata membosankan. Aku gak bisa ngasih kata-kata bujukan ataupun kata-kata perintah yang mengancam kayak Pak Jenderal. Aku hanya bisa ngasih skor buat film. So yea, 
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for AUTOBIOGRAPHY

 

 




That’s all we have for now.

Jadi apakah menurut kalian kekerasan itu diwariskan, atau dipelajari?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BEFORE, NOW & THEN (NANA) Review

 

“When women are oppressed, it’s tradition.”

 

 

Keabadian memang milik Tuhan, tapi toh ada juga beberapa hal di dunia yang begitu mendarah daging, gak lekang, sehingga jadi sesuatu yang bersifat nyaris seperti kekal selamanya. Represi perempuan dalam sosial masyarakat Indonesia, misalnya. Dalam film terbarunya, Before, Now & Then (Nana), sutradara Kamila Andini menggambarkan bagaimana hal tersebut bertumbuh seperti jadi tradisi – bahwa perempuan dulu, kini, hingga nanti harus menyimpan siapa diri mereka, luka-luka hati mereka, di balik tuntutan untuk tampil lemah lembut dan patuh sesuai fitrah sebagai seorang ibu dan istri. Persoalan ini dituturkan oleh Kamila bukan dalam ledakan emosi, melainkan dengan sama ter-restrained-nya. Film ini, seperti perempuan Indonesia, tampil elok dan menghanyutkan, tapi dengan suatu perasaan tragis di baliknya.  Kesan yang ketika ditranslasikan ke dalam bahasa sinema, menjelma menjadi satu lagi hal di dunia yang bakal hidup selamanya; sebuah excellency.

The excellence of execution film ini bukan hanya tertampil lewat visual, melainkan juga dari bagaimana ceritanya terstruktur. Just like any great film should, Before, Now & Then mengerti pentingnya  awal, tengah, dan akhir cerita. Kehidupan protagonisnya, terhampar menyeluruh untuk kita simak. Nana boleh jadi menyembunyikan banyak hal pada dirinya kepada orang lain, tapi bagi kita, Nana seperti air – yang tampak tenang meski kelam – untuk diselami. Semua yang kita lalui di masa lalu akan membentuk siapa kita di masa sekarang, dan siapa kita nanti di masa yang akan datang bergantung dari bagaimana kita menyingkapi masa lalu di masa sekarang, apakah kita belajar darinya atau terus tenggelam bersamanya.  Tahap fundamental seperti demikianlah yang jadi jalur pergerakan film ini; Nana will go through life,  dengan konteks bahwa keadaan di sekitar Nana gak berubah – merupakan sistem mengurung yang sama, sehingga terciptalah konflik personal yang berlayer itu dari sana.

Untuk membuat kita mengerti apa yang bakal bersarang di hati Nana sehari-hari, film membawa kita melihat ke masa ‘before’ Nana. Yakni saat dia dalam pelarian di dalam hutan. Nana yang saat itu menggendong bayi, menerobos hutan bersama saudaranya, Ningsih. Mereka diburu, bukan oleh Belanda, bukan oleh Jepang, melainkan oleh ‘gerombolan’. Gerombolan itu juga yang telah membawa suami Nana, dan yang diyakini Ningsih telah membunuh bapak mereka. Eksposisi ‘before’ yang dilakukan film ini di awal cerita serta merta menjadi opening yang efektif karena bukan saja melandaskan setting serta konflik yang membuat karakter keluar dari zona amannya, tapi juga langsung memperkenalkan kita kepada penceritaan audio visual level tinggi yang dilakukan. Lihat bagaimana film menggambarkan Nana saking rindunya dia sampai gak ingat wajah suaminya. Film menggambarkan ini dengan actually meletakkan sosok suami di kejauhan, like, waaay di belakang layar sosoknya hanya blur saja. Batas realita dengan hal di benak Nana saat itu dikaburkan, sehingga hutan itu jadi sureal, dan dengan konteks mereka lagi diuber-uber (diperkuat oleh musik mengiris di latar), sense ketakutan, sense pengalaman traumatik bisa langsung tersampaikan kepada kita.

Jadi, apakah sebenarnya judul film ini dibacanya: “Selamanya Nana di dalam kurung”?

 

‘Now’ dalam cerita Nana adalah lima-belas tahun kemudian. Nana hidupnya tampak nyaman sebagai istri Kang Lurah. Statusnya terpandang di masyarakat. Anaknya sekarang bukan cuma satu, tapi ada empat orang, dan yang paling dekat dengan Nana adalah gadis cilik bernama Dais. Tapi gak satupun dari Kang Lurah ataupun Dais tahu bahwa perempuan yang melayani dan mengasihi mereka itu masih terus dibayangi oleh kejadian di masa lalunya. Tidak, dengan hanya melihat wajah Nana yang ekspresinya sekilas tampak teduh dan tenang. Briliannya film ini memang terutama datang dari bagaimana Nana dimainkan oleh Happy Salma (kalo dari perannya ini cocoknya namanya Sadie Salma) Happy Salma tampak benar-benar mengerti karakter ini, benar-benar paham tugas yang harus ia lakukan dalam memerankan karakter ini. Dia memainkan Nana dengan sangat contained. Dari ekspresinya, dari bagaimana Nana bergerak, dan bahkan dari bahasa. Bukannya mau membandingkan (karena memang bukan apple to apple), tapi film pertama yang membuatku tertarik lebih jauh dengan sinema; tertarik bagaimana film dibuat, bagaimana cerita dirancang, bagaimana menonton itu dapat menjadi sebuah pengalaman adalah Mulholland Drive-nya David Lynch. Karena semua aspek di film itu ‘diatur’ oleh treatment sutradara, dan itu mindblowing buatku. Aku menemukan bahwa Before, Now & Then juga adalah film seperti itu, jadi aku semakin excited. Semua aspek Nana adalah treatment khusus yang dilakukan untuk menguatkan gambaran keterkurungan jiwa yang dirasakan Nana. Judulnya memang gak bohong, keseluruhan Before, Now & Then adalah Nana. Adalah bagaimana Nana berurusan dengan kehilangan, ketakutan, dan keterbatasan yang bakal terus bersama dia selamanya.

Sesuai dengan latar tempatnya, film ini menggunakan dialog full bahasa Sunda. Aku memang bukan ahlinya, ngerti juga gak banyak (aku sebagian besar menyimak obrolan karakter dari baca subtitle), yang kutahu cuma bahasa Sunda ada tingkatan intensitasnya, dan film menggunakan itu untuk memperkuat gejolak perasaan yang dialami oleh karakter. Sehingga percakapan jadi hidup. Anak-anak terdengar seperti anak-anak, perempuan yang ngobrol dengan suami akan terdengar berbeda dengan saat dia ngobrol di malam hari dengan dirinya sendiri, dan sebagainya. Bahasa lantas diperkuat oleh ekspresi. Di aspek ini film sedikit mengambil resiko. Lantaran Nana yang di separuh awal masih berkubang di perasaan terkukung (even tho it’s not her fault) memang bakal tampak melelahkan bagi penonton yang capek bermuram dan berhening terus. Penawar dari Nana akan hadir di pertengahan dalam wujud karakter Mak Ino yang diperankan oleh Laura Basuki. Totally berkebalikan dari Nana. Blak-blakan, berani, lebih cheerful-lah. Momen-momen ringan juga bakal banyak datang dari Ino, yang bakal menularkan vibe ini ke Nana. Hubungan antara Nana dan Ino jadi salah satu relationship penting dalam cerita, karena dari Ino yang awalnya dia anggap sebagai trigger ketakutannya-lah Nana belajar bagaimana ‘membebaskan’ diri. Well, at least dalam perasaannya sendiri.

Tentu ada alasannya kenapa Laura Basuki yang dicast sebagai Ino. Karakter itu bagi Nana awalnya adalah seperti manifestasi dari kehilangannya dulu. Nana yang masih belum melupakan bayang-bayang suami terkait PKI dan antikomunis, melihat Ino yang bermata sipit dan menjual daging lebih dari seorang suspect mistress dari Kang Lurah. Di iklim yang lagi trend pelakor seperti sekarang memang mudah melihat persoalan mereka sebagai perselingkuhan, tapi sungguh film ini lebih dari itu. Ketakutan Nana bahkan bukan benar-benar soal diselingkuhin. Melainkan lebih kepada kehilangan keluarga lagi, kehilangan anak lagi. See, relationship yang lebih penting di film ini dari Nana dan Ino yang akhirnya jadi temenan begitu Nana sadar betapa ‘kuatnya’ Ino sebagai perempuan cina di masa hidup mereka itu, adalah antara Nana dengan Dais. Yang membawa penyadaran bahwa konflik Nana adalah generational, bahwa masalah itu akan turun temurun. Bahwa perempuan akan selalu ditindas mau itu di jaman Belanda, jaman Jepang, ataupun jaman-jaman lain. Salah satu adegan favoritku adalah setelah Nana menyisiri rambut Kang Lurah yang feelnya so serene, film lantas menarik perbandingan dengan memperlihatkan adegan Nana bersama Dais menyisir rambut. Dais menanyakan kenapa perempuan rambutnya panjang tapi malah disanggul, dan Nana menjawab sanggul adalah simbol rahasia yang disimpan oleh perempuan. Ibu anak itu lantas berbagi rahasia. Lalu sepeninggal Dais, Nana mengenang masa lalunya sambil menatap konde, dan lantas dia mengenakan konde itu sebagai simbol menguatkan diri. Gestur Nana nguat-nguatin diri  di depan cermin setelah konde terpasang really gets me. Pemandangan bahwa untuk keluar rumah perempuan seperti Nana harus membebat perut, berdandan, menyanggul rambut, itulah bentuk represi diri dalam hal terkecil. Makanya adegan-adegan Nana dengan Ino terjun ke sungai, merokok dengan pakaian dalam, jadi menyentuh sekali bagi penonton. Itulah momen ketika karakter perempuan bisa menjadi diri mereka sendiri. Gak ada rahasia.

Belum setahun, tapi kita udah dapat dua karya menakjubkan dari Kamila Andini, nikmat mana lagi yang mau sinefil dustakan?

 

Kamila lebih menonjolkan cerita lewat simbol visual dan gerak, dalam usaha membuatnya lebih dalam secara personal. Daripada mengatakan kuat referensi film karya orang luar, aku lebih suka menyebut ini film Kamila yang paling mirip dengan film-film bapaknya. Aku merasa film ini adalah companion dari Kucumbu Tubuh Indahku (2019) karya Garin Nugroho. Karena di situ Garin juga bercerita tentang trauma masa lalu tergambar dalam gerak tubuh, terpetakan dalam tubuh pria yang menjadi feminim. Kisah Nana ini menilik permasalahan itu dari sudut perempuan. Bagaimana pembatasan diri perempuan – saat mereka bahkan tidak bisa bebas mengekspresikan trauma – juga membatasi gerak pada akhirnya.  Dalam film Before, Now & Then, Kamila membatasi gerak-gerak aktornya untuk menguatkan kesan ini. Akan ada banyak adegan yang terasa kayak terlalu frame-in, yang terasa kayak teatrikal, demi menyampaikan karakter yang secara inner terbelenggu tersebut. Perbandingan yang menarik perhatianku adalah gerak slow motion yang dilakukan film ketika Nana mengikuti Ino – menatap punggung Ino – saat pertama kali ke ruang potong daging, saat mereka belum kenal, dengan gerak cepat ketika tatapan Nana mengikuti punggung Ino yang meloncat dari tebing ke sungai.

Film tampil balance dengan gak lantas menjadi karakter laki sebagai antagonis. Justru ‘penjahat’nya di sini adalah sistem, yang tak terlawan. Bagaimana masyarakat akan selalu nganggap PKI jahat, bagaimana perempuan bakal terus harus nurut, dan sebagainya. Yang dihadirkan film ini adalah perbandingan. Pada laki-laki represi tentu juga ada, tapi itu jadi problem yang harus segera diluruskan. Bagi perempuan, represi dan opresi adalah tradisi, yang bakal terus berlanjut.

 

Tentunya aspek surealis gak ketinggalan. Film ini punya adegan-adegan mimpi, punya musik biola yang bisa ngasilin perasaan berbeda setiap kali muncul, dan bahkan ada karakter misterius. Di film ini Nana akan berjumpa dengan perempuan muda yang diperankan oleh Arawinda Kirana, yang muncul setiap kali ada sesuatu yang berhubungan dengan anak-anak. Aku pikir karakter ini adalah manifesti ingatan Nana akan anaknya yang tewas, dan nanti setelah dia juga kehilangan Dais, baru si karakter misterius hadir sebagai Dais. Yang berbisik-bisik kepada Nana. Seperti Dais kecil bisik-bisik kepada Nana. Seperti Ino berbisik-bisik kepada Nana. Inilah yang menghantarkan kita kepada ‘then’. Nana posisinya gak banyak perbaikan di akhir, tapi sekarang dia tidak lagi senelangsa di awal cerita. ‘Then’ juga menanyakan balik kepada kita, gimana ‘sekarang’? Jadi, pesan / statement film ini mirip dengan yang disampaikan Kamila di film Yuni (2021), bahwa perempuan hanya punya perempuan lain sebagai penawar rasa terkukung bahwa sistem yang mendikte posisi perempuan sudah terlanjur mendarah daging. Bedanya, di film kali ini, Kamila menumpahkan uneg-uneg itu ke dalam presentasi yang lebih ‘teknis’, kalo gak mau disebut lebih artsy.




Sungguh kejutan menyenangkan di bulan Agustus, walau agak sedih juga sih tidak menonton ini bioskop melainkan di platform. Tapi film sepersonal ini memang lebih cocok ditonton secara personal pula, jauh dari hingar bingar. Mungkin sekilas tampak berat, tapi ini adalah cerita yang pengen kita tonton berulang-ulang. Bukan sekadar untuk menebak maksud simbol-simbolnya, melainkan juga karena cerita ini dihadirkan sebagai perjalanan personal karakter sehingga mudah terkoneksi. Karena kita mengerti problem karakternya real dan tidak dibuat-buat. Meskipun bisa dibilang film ini terlalu mengatur dengan treatment melingkupi banyak hal mulai dari ekspresi, gerak, hingga bahasa. Kesan yang dihasilkan bukan membuat film jadi kaku, melainkan jadi magis. Dan itu juga sesuai konteks dan bahasan yang coba diangkat film. Yang pada akhirnya jadi buah pikiran lain untuk direnungkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEFORE, NOW & THEN (NANA)

 




That’s all we have for now.

Lucunya, banyak penonton yang jadi ngeship Nana dengan Ino. Menurut kalian kenapa itu bisa terjadi?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE Review

 

“Losing something is the only way to show you how important it was”

 

 

Fantastic Beasts seharusnya adalah proyek yang ajaib. Dan pada awalnya memanglah ajaib! Bayangkan sebuah buku pelajaran yang konsepnya lebih cocok disebut sebagai katalog, diubah menjadi kisah hidup ‘pengarangnya’ sepanjang karir mengumpulkan hewan-hewan fantastis.  Dijadikan cerita petualangan yang mungkin the easy way to do it adalah dengan membuatnya jadi kayak Pokemon, dengan pesona dunia sihir Harry Potter. Namun, empunya cerita ternyata punya misi yang lebih besar. Begitu sekuel Fantastic Beasts tayang di 2018, jelas sudah makhluk-makhluk sihir itu ternyata hanya tunggangan untuk sebuah greater good. Tapi greater good menurut penulisnya, loh. J.K. Rowling pengen mengembangkan lebih dalam sejarah dunia Harry Potter yang telah kita kenal. Dan sebagaimana para karakternya yang berusaha mencapai greater good dengan mengorbankan banyak hal, Rowling sendiri rela untuk menulis-ulang role dunia, mengubah-ngubahnya, membuat kita para fans mempertanyakan ulang informasi yang sudah kita dapatkan dari Harry Potter sebelumnya. Franchise Fantastic Beasts tak lagi terasa sebagai petualangan yang ajaib, melainkan sebagai sebuah perbaikan statement yang ambisius, Jadi, aku menonton film ketiganya (dari lima yang sudah direncanakan) yang masih digarap David Yates ini  dengan maksud untuk mencari jawaban atas dua pertanyaan. Seberapa besar lagi peran karakter utama – si Newt Scamander – dipinggirkan demi episode karakter lain. Dan seberapa besar lagi kehancuran yang dibuat film ini kepada nama Dumbledore.

Jawaban untuk pertanyaan yang pertama agak sedikit menggembirakan. Eddie Redmayne gak lagi sekadar bengong-bengong gugup di latar, gabut nungguin apa lagi yang harus dilakukan oleh karakternya, Newt Scamander. Makhluk-makhluk ajaib yang ia kumpulkan juga gak lagi cuma jadi penghias. Fantastic Beasts ketiga berusaha untuk kembali membuat cerita yang tentang hewan sihir, alih-alih cerita yang  hanya menampilkan mereka. Hewan sihir kembali diintegralkan ke dalam plot. Makhluk kuda bersisik yang disebut Qilin jadi rebutan Newt dengan gengnya si Grindelwald. Lantaran Qilin yang langka ini punya kemampuan untuk melihat hati penyihir. Qilin hanya akan bungkuk hormat kepada penyihir berhati mulia lagi bijaksana. Grindelwald pengen punya Qilin karena di dunia sihir lagi masa pemilu. Apparently, penyihir di masa hidup mereka memilih pemimpin internasional dengan cara voting. Qilin ingin digunakan Grindelwald, katakanlah, untuk semacam kampanye. Untuk jadi bukti dirinya pantas jadi pemimpin. Cerita film ini berkutat seputar Newt Scamander dan teman-temannya berusaha menggagalkan Grindelwald mendapatkan semua Qilin. Apa lagi kalo bukan dengan bantuan Dumbledore. Dumbledore dan Grindelwald udah kayak Prof X dan Magneto – jika dua mutant itu saling cinta. Mereka saling ngumpulin orang-orang kepercayaan, dan perang di antara kedua penyihir yang saling respek ini berlangsung lewat kelompok mereka.

 

So yea, exactly like Prof X – Magneto

 

 

Secara pengembangan mitologi dunia dan masukin cerita Newt ke dalam sejarah Dumbledore-Grindelwald, Fantastic Beasts ketiga ini memang terasa masih bego dan maksa. Tapi paling tidak, adegan-adegannya lebih enjoyable. Aku prefer lebih banyak adegan konyol seperti Newt jalan kepiting ketimbang eksposisi dunia politik sihir yang menjemukan. Dumbledore yang masih belum bisa turun tangan langsung melawan Grindelwald karena perjanjian darah yang mereka lakukan saat masih muda, membantu dengan cara khas dirinya sendiri. Potterhead pasti familiar dengan gaya Dumbledore tersebut, karena hal yang sama juga penyihir itu lakukan kepada trio kesayangan kita yang disuruh berburu Deathly Hallows. Di Fantastic Beasts kali ini, Dumbledore memberikan benda-benda khusus kepada Newt dan teman-temannya – tanpa penjelasan, dan mereka disuruh melakukan tugas masing-masing. Keseruan nonton film ini datang dari melihat bagaimana fungsi benda-benda tersebut terkuak seiring tugas yang terlihat random (baik bagi kita, apalagi bagi karakter cerita yang melakukannya). Jacob, misalnya. Fan-favorit karakter yang diperankan Dan Fogler ini dikasih tongkat sihir palsu oleh Dumbledore. Apa yang Jacob lakukan dengan tongkat itu bakal jadi salah satu pemantik komedi, dan pada gilirannya juga jadi alat yang membawa karakter ini kepada konsekuensi yang cukup tragis.

Lalu si Newt sendiri. Ia disuruh untuk memberikan koper ajaibnya yang berharga (karena berisi semua hewan sihir, termasuk satu lagi Qilin yang tersisa) kepada karakter penyihir cewek yang ceroboh. Kita bisa melihat dengan jelas Newt agak-agak gak rela, tapi jika kita jadi anak buah Dumbledore pertanyaannya akan selalu apakah kita benar-benar percaya dia atau tidak. ‘Blind faith’ orang-orang kepada Dumbledore memang jadi salah satu pesona dari karakter ini sejak dari franchise Harry Potter (ada konflik yang didedikasikan untuk mempercayai Snape yang dipercayai oleh Dumbledore). Itulah yang coba diulang kembali oleh film Fantastic Beasts ketiga ini. Elemen ini membuat film berhasil jadi sedikit lebih ringan. Enggak melulu jenuh oleh bahasan politik dan intrik dunia sihir. Cerita film ini memang masih terlampau too much (meski udah durasi dua setengah jam), tapi tidak terlalu terasa sesak. Kali ini terasa lebih punya ritme. Lebih kayak screenplay ketimbang novel yang divisualkan. Kehadiran penulis naskah memang langsung berasa. Tidak lagi Rowling menulis skrip sendirian, kali ini dia dibantu oleh Steve Kloves yang dulu jadi penulis naskah untuk film-film Harry Potter. Aku pribadi sih ngarepnya; ke depannya si Rowling enyah aja. Mending dia nulisin novel Fantastic Beasts lagi aja. Baru novelnya ‘disihir’ jadi skenario oleh scripwriter beneran. That’s how Harry Potter berjaya, kan. Tapi yah, mungkin sudah ogah balik berlama-lama seperti itu. Studio dan Rowling udah jadi males dan terus menggeber.

Akibatnya, baru di titik pertengahan ini, film ketiga Fantastic Beasts udah kerasa lifeless. Ini cerita tentang dunia sihir tapi tanpa sihir penceritaan.  Petualangan tadi, makhluk-makhluk magical, beberapa adegan di Hogswarts, bahkan akting-akting para pemeran tampak bagus sendiri-sendiri tapi tidak lantas jadi sebuah experience yang asik untuk disimak. Development karakter Newt hanya dipoint out dengan gamblang. Tidak jadi sebuah journey karakter yang mengalir. Film jadi kayak rentetan poin-poin dan statement belaka. Oh mereka harus nunjukin hewan ajaib. Oh mereka harus lihatin Dumbledore cinta ama Grindelwald. Oh mereka harus masukin quote-quote bijak dari Dumbledore. Oh mereka harus berikan diversity. Film cuma ingin memuat itu. Makanya sekalipun narasi bicara tentang cinta, pengorbanan, ataupun kehilangan, feeling tersebut gak nyampe. Malahan keseluruhan film ini terasa gak tulus, melainkan hanya seperti sebuah mesin pengungkap kejadian saja. Karakter penyihir internasional – yang jadi kandidat pemimpin – malah gak dapat dialog ataupun karakterisasi. Mereka cuma berdiri di sana sebagai simbol cerita film ini melingkupi belahan dunia lain.

Tema yang paralel pada karakter-karakter film ini adalah soal mengenali cinta lewat kehilangan. Newt harus pisah dengan Tina (yang btw direduce perannya dari heroine cewek ke karakter yang cuma muncul di akhir), dan dengan kopernya. Dumbledore yang harus bergulat dengan perasaannya terhadap Grindelwald yang jadi penyihir jahat. Dan bahkan Aberforth (adik Dumbledore) juga dapat bahasan yang serupa. Yakni mereka harus belajar bahwa kehilangan dan berpisah jalan bukan berarti hilangnya rasa cinta. Melainkan justru memperbesar karena baru dengan kehilangan sesuatulah kita jadi menghargai betapa pentingnya sesuatu tersebut.

 

Yang membawa kita kepada jawaban atas pertanyaanku yang kedua. Dumbledore. Film kedua berakhir dengan satu pengungkapan stupid soal Credence ternyata adalah keluarga Dumbledore. Kupikir film ketiga bakal banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya hubungan Credence dengan Albus. Kembali ke persamaan dengan Prof X dan Magneto tadi, kupikir Credence paling enggak bakal semacam Juggernaut dan Prof X. Yang jelas, dari film kedua berakhir, seolah film ketiga bakal bahas keluarga ini lebih dalam. Tapi ternyata enggak. Albus Dumbledore gak banyak beda perannya dengan di film kedua. Credence hanya bertingkah galau sepanjang waktu (peran karakter Ezra Miller ini actually tetap gak bertambah dibanding sebelumnya) Peran Grindelwald juga tak banyak mendorong kemajuan franchise ini. Selain soal dia mau jadi pemimpin dunia, tidak banyak porsi cerita yang dialamatkan kepadanya. Walaupun basically Grindelwald yang kali ini punya pendekatan yang berbeda. Mads Mikkelsen yang menggantikan Johnny Depp memainkan Grindelwald yang lebih grounded. Dia tetap kejam tapi lebih ‘kalem’, sehingga terlihat lebih berbahaya.

Film ini punya Mikkelsen yang menghembuskan nyawa baru bagi sisi dramatis karakternya, dan di sisi satunya punya Jude Law sebagai Albus Dumbledore yang juga bermain sama manusiawinya, tapi yang berhasil dihasilkan film dari keduanya ini hanyalah “puff” angin kosong. Cerita tidak memberikan mereka lebih banyak waktu untuk berinteraksi. Sekalinya berduel, mereka juga tidak diberikan sesuatu yang wah. Aku paham film bisa jadi memang pengen menyimpan pertemuan epic itu untuk film terakhir. Tapi ya seenggaknya di film ini kasih sesuatu ‘teaser’lah. Yang bikin kita pengen melihat lebih banyak. Kedua aktor tersebut udah kayak memohon diberikan momen yang emosional, lihat saja akting mereka. Tapi film cuek bebek. Perihal cinta antara keduanya, film lebih memilih untuk membuat Dumbledore menyembut dengan gamblang “Because I love you” Gak ada subtlety, gak ada dinamika emosi, gak ada seni. Gak ada hati. Bagiku film ini kayak supaya J.K. Rowling punya kesempatan untuk membuktikan dirinya memang mendesain Dumbledore dan Grindelwald sebagai pasangan sedari awal. That scene seolah lebih penting untuk si Rowling ketimbang untuk para karakter cerita itu sendiri.

 

Dan mereka masih tetap kekeuh memperlihatkan Minerva McGonagall memang sudah mengajar di Hogwarts

 

 

Last straw bagiku adalah film kayak enggak mau capek-capek untuk membangun dunia dan komunitas sihir di era tersebut. Film banyak berjalan-jalan ke negara lain, tapi gak banyak perbedaan antara penyihir di Inggris dengan yang di Jerman, misalnya. They look all the same. Sama-sama kayak Muggle. Film ini udah kayak spy action biasa, kalo tongkat sihir diganti pistol atau pedang, potongan adegan film ini bisa diselipin ke dalam adegan King’s Man, and no one will notice. Inilah satu hal yang paling aku gak suka dari franchise Fantastic Beasts sedari awal; penyihirnya banyak yang berpakaian muggle, dengan sempurna. Dumbledore yang nyentrik – dan kalo lagi ‘nyamar’ jadi muggle selalu pakai kombinasi pakaian yang norak – di film ini dandan sharp dress semua. Bahkan di lingkungan Hogwarts dia memakai setelan necis muggle. Udah seri ketiga tapi film belum berhasil menjawab kenapa. Kenapa Dumbledore di Harry Potter seolah gak ngerti fashion muggle tapi di film ini yang timelinenya sebelum era cerita Potter, Dumbledore bisa kok berpakaian ‘normal’. Yang paling lucu adalah si Grindelwald. Dia yang begitu membenci muggle, pengen menghabisi muggle dari muka bumi, malah berpakaian ala muggle.

Aku gak ngerti kenapa film mengabaikan soal pakaian, karena justru pakaian itulah salah satu faktor yang bikin dunia sihir itu seru di Harry Potter. Pakaian mengingatkan kita bahwa kita berada di dunia sihir. Makanya film ini jadi semakin bland.  Udahlah penceritaannya standar, gak ada keajaiban dan gairah storytelling. Visualnya pun gak ajaib. Karakter-karakternya didesain dengan sama boringnya. Kecenderungan narasi untuk lebih membahas politik, dan ngasih statement sok relate (Grindelwald kayak presiden yang pengen membuat dunia sihir great again!), membuat setiap film Fantastic Beasts terasa sangat melelahkan. Film ketiga ini enggak terkecuali.

 

 

 

Meskipun lebih enjoyable karena mengembalikan sisi adventure yang fun, tapi film ini tetap penuh oleh hal-hal yang maksa. Tema politik kekuasannya dibahas hanya ala kadar, sehingga hanya jadi memberatkan. Perkembangan karakter disampaikan ala kadarnya. Begitu juga dengan bahasan konflik. Banyak yang dilanjutkan sekenanya, kayak persoalan Queenie yang tau-tau masuk kelompok jahat di film kedua. Sehingga di akhir, film ini kayak gak ada bedanya kalopun urutannya ditempatkan sebagai film kedua. Film tidak punya banyak kesempatan untuk berkembang dengan penuh wonder dan keajaiban karena fokus pada memperlihatkan statement-statement.  Seperti yang dilakukan oleh Grindelwald, film ini juga mencoba menghidupkan kembali franchise yang mestinya sudah mati di film kedua dan memaksanya untuk mengeluarkan feeling.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Fantastic Beasts sejauh ini? Apakah kalian masih penasaran menunggu kelanjutannya?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DON’T LOOK UP Review

“It’s funny because it’s true”

 

Film-film tentang bencana selalu dimulai dari presiden yang tidak mendengarkan ilmuwan. Kalimat yang jadi meme di internet tersebut lucu, karena memang begitulah biasanya cerita-cerita bencana dalam film terjadi. Tapi kalimat tersebut mulai tidak lagi demikian lucu, ketika orang-orang menyadari kejadian itu sedang terjadi juga di dunia nyata kita. Bahwa film – karya seni – memanglah meniru kehidupan. Jadi orang-orang mulai ngebash Don’t Look Up. Komedi satir terbaru dari Adam McKay yang tega-teganya menyinggung soal reaksi pemerintah – reaksi manusia – terhadap pandemi Covid-19, di balik kedok cerita yang berdasarkan laporan jurnalis perihal perubahan iklim atau global warming. But hey to be fair, mungkin sebelum menggodok naskahnya McKay tidak meniatkan, bahkan belum tahu bakal ada pandemi. Tapi catatan dunia menangani pandemi baik itu di Amerika, hingga Indonesia, seperti menuliskan diri sendiri ke dalam naskah McKay. Sehingga dia membuat film ini seperti sebuah cerita pandemi yang tidak bicara tentang pandemi!

Jadi, kita-kita sendirilah – reaksi kita menghadapi pandemi, reaksi kita terhadap film ini – yang actually memberikan power kepada Don’t Look Up. The joke is on us. Untungnya Don’t Look Up lebih bijak daripada sekadar cerita yang menuding kebegoan umat manusia. Karena di balik komedi-gelapnya, McKay telah menggariskan bukan jawaban, melainkan lebih seperti gagasan soal lebih menghargai hidup dan kalo bisa kita semua kurang-kurangilah ego hidup di dunia fana.

lookmXkEyXkFqcGdeQWRvb2xpbmhk._V1_
Kalo kata Max Black di Twitter “Kirain drama, ternyata film comety”

 

Di mataku, McKay punya reputasi sebagai sutradara yang mampu menjelaskan banyak hal rumit dengan sederhana dan malah lucu. Seperti, ketika di The Big Short (2016) dia berhasil menjelaskan peristiwa krisis finansial 2007-2008 lengkap beserta istilah-istilah ekonomi dan perbankan dengan nada komedi yang solid sehingga aku yang sama sekali buta akan hal tersebut tidak terbengong-bengong, malahan sangat menikmati dramanya. Sehingga sekarang, bagiku menarik sekali melihat pendekatan yang ia lakukan dalam mempersembahkan masalah perubahan iklim ke dalam kiasan sci-fi tentang komet yang jatuh menimpa bumi. Yang dilakukan McKay di sini adalah membuat permasalahan iklim ataupun komet yang sering disepelekan banyak orang karena jauh alias masih lama itu menjadi terasa amat, sangat, superduper dekat. 

Bagi astronomer, nemuin komet merupakan prestasi. Bisa menamai komet dengan namamu adalah salah satunya. Tapi perayaan komet yang dilihat Dr. Mindy dan muridnya, Kate Dibiasky terpaksa harus berakhir prematur. Karena menurut hitungan, komet besar tersebut ternyata melaju menuju bumi. Tepatnya, akan membuat bumi kiamat dalam waktu sekitar enam bulan lagi. Jadi Dr. Mindy dan Kate harus segera melaporkan temuan mereka ke presiden, dengan harapan tindakan pencegahan bisa segera dilakukan. Namun, reaksi Bu Presiden, orang-orang yang berkepentingan, dan bahkan sebagian masyarakat pun ternyata tidak seperti yang diharapkan oleh Dr. Mindy dan Kate.  

Presiden yang hanya peduli sama citra. Yang cuma mau bergerak jika itu berarti keuntungan perolehan suara baginya, maka selalulah diadakan selebrasi. Media yang suka menutupi kejadian dan lebih milih mendahulukan rating. Masyarakat dan netijen yang failed untuk melihat kepentingan suatu hal, melainkan lebih tertarik pada gosip dan pada betapa gantengnya orang yang muncul di televisi. Pada gambaran-gambaran sosial seperti inilah satir dan sindiran Don’t Look Up menunjukkan performa sangar yang jadi hiburan utamanya. Bencana yang mestinya bisa cepat diatasi, jadi lama dan berlarut-larut karena bukan saja menyepelekan dan tidak percaya, pemerintah lebih suka untuk mengurusi dulu isi kantongnya. Dan orang-orang terombang-ambing sehingga akhirnya turut mengambil keputusan salah dan bego karenanya. Di sinilah kita dengan gampang menarik garis kepada penanganan pandemi yang parah dari pemerintah. Running gag soal snack gratis yang dijual oleh komandan tinggi negara itu? Yup kita gak salah jika mengaitkannya denagn keputusan pemerintah menjual kepada rakyat hal-hal yang semestinya gratis dan seesensial makanan. Film ini dibuat oleh orang Amerika yang resah sama pemerintah mereka yang pinter-pinter blo’on. Dan sebagaimana yang terbaca, lucunya, film ini juga terasa sama dekatnya bagi kita yang orang Indonesia.

Beneran, cuma perlu sedikit perubahan kok untuk membuat film ini benar-benar relate total sama Indonesia. Perubahan kayak, dituker; si Jonah Hill yang jadi presiden dan Meryl Streep jadi sosok di belakangnya yang dibecandain orang sebagai ibunya. Atau karakter bilyuner gadget yang diperankan Mark Rylance dibuat mengharuskan semua orang ngeinstall app buatannya untuk perlindungan dari komet.  I’m sorry jika terdengar terlalu political. But yea, everything is about politics. Film ini jelas dibuat berdasarkan ketidaksukaan terhadap itu. Karena padahal tidak semuanya mesti harus politik. McKay actually nulis dialog soal kenyataan sesungguhnya bahkan lebih parah, karena mereka-mereka (pemerintah) itu tidak sepintar itu untuk menjadi sejahat yang kita kira. Karena memang padahal ada hal yang lebih penting. Kesehatan, keselamatan hidup orang banyak. Keselamatan planet. Film menuliskan concernnya dengan sangat cerdas. Menyindir dengan, turns out, sangat tepat. Makanya terasa sangat lucu. 

lookvlcsnap-2021-12-25-11h42m56s324
The writing is funnier than most comedies I’ve watched this year.

 

Di balik satirnya itu, film sesungguhnya ingin memperlihatkan yang terburuk dan yang terbaik dari umat manusia. Bukan salah film kalo yang ia gambarkan jadi betul-betul relevan sehingga kayak menunjuk-nunjuk muka kemanusiaan. Karena yang ditampilkan sebenarnya berimbang. Penggalian mendalam dari sosial penanda jaman yang kita rasakan. Betapa mudahnya orang yang dijadikan meme walaupun sesungguhnya dia yang benar, itu juga digunakan untuk menunjukkan betapa lihainya kita terhadap teknologi. Menggelar konser kemanusiaan, sekilas tidak berarti langsung kepada masalah, tapi itu juga jadi bukti kuatnya persatuan jika kita semua sudah sadar. Don’t Look Up bukannya tidak ada plot. Ilmuwan Dr. Mindy dan Kate bukanlah ada di sana untuk memperingatkan semua orang dan mereka selalu benar. Masing-masing juga punya kesalahan.

Ada pilihan yang mereka ambil, yang berujung pada pembelajaran. Pada Dr. Mindy yang diperankan penuh range emosi oleh Leonardo DiCaprio, kita melihat development dari seorang profesor yang belum publish jurnal, nervous jadi pusat perhatian tapi dia pengen membuktikan diri, dan akhirnya terlena juga ketika mendapat sedikit attention dan posisi. Dan bahkan karakter yang difungsikan sebagai kompas moral seperti Kate, juga punya drama. Jennifer Lawrence jadi korban bully udah seberpengalaman DiCaprio jadi korban bencana alam; di sini Kate yang ia mainkan adalah karakter yang paling amburadul oleh kejadian. Dia yang nemuin, tapi dia yang paling diledek, diacuhkan, dikucilkan. Mencapai emosional seperti itu dengan tetap menjaga tone yang humorous jelas bukan prestasi mudah. Kate-lah yang menghantarkan kita kepada elemen agama yang dimuat oleh film ini. Elemen yang sekilas kayak di permukaan, tapi sesungguhnya punya statement yang tak kalah kuatnya. Elemen itu datang dari ‘tempat’ yang tak terduga, dan actually adalah yang paling dekat dengan jawaban yang dipunya oleh manusia di film ini. Karena lowkey film ini bicara tentang kesombongan manusia yang merasa punya power di dunialah yang membuat kiamat itu tampak berlipat kali lebih buruk.

Masih banyak lagi aktor-aktor gede yang ikut bermain di sini, dan mereka semua on-board banget dengan yang ingin disampaikan oleh film. Mereka total menghidupkan karakter-karakter mereka yang tampak konyol. See, mereka di sini tidak berusaha keras untuk tampil konyol, karakter-karakter mereka yang begitu relate dengan kejadian yang terjadi di dunia nyatalah yang membuat mereka lucu. Lucu yang ironis, yang membuat kita balik mempertanyakan diri “Mau sampai kapan kita hidup sekonyol ini?” Jadi, ya di balik komedi memang ada kesuraman yang merayap. Ada suatu ketakutan bahwa dunia kita bisa saja berakhir seperti yang diperlihatkan film. Ini membuat kita jadi sejajar dengan karakter film yang takut dunia mereka dihantam komet. 

Banyak karakter, banyak sindiran komedi, banyak dark yang melatarbelakangi, film ini tidak sekalipun tersandung dalam menampilkan semuanya. Kamera film tidak terjebak (dan tidak merasa perlu) untuk menyorot ensemble cast sekaligus dalam satu frame. Melainkan fokus kepada menghasilkan berbagai rasa yang diniatkan. Cut-to-cut film memang terkadang tampil too much pada bagian eksposisi dan pada bagian membandingkan dua kejadian sekaligus, tapi saat menguarkan komedi ataupun yang bikin kita geram, film dengan bijak fokus memperlihatkan reaksi dan ekspresi. Sehingga walaupun pace film terasa cepat, kita tidak merasa kebingungan ngikuti cerita ataupun perasaan yang diniatkan, tidak merasa ketinggalan. Semuanya tampil dengan keseimbangan luar biasa.

 

 

 

Baru inilah film yang benar-benar menjadi penanda era pandemi. Era idiocracy. Dan film ini bahkan sama sekali tidak bicara tentang virus tersebut. Tidak ada masker-maskeran, tidak ada lockdown-lockdownan. It was supposed to be kiasan global warming. Tapi kita jualah yang membuatnya bahkan terasa lebih relevan lagi.  Berisi sarkas yang dikemas ringan dan sangat menghibur, komedi dari awal hingga akhir tanpa pernah kehilangan bobot dari komentar-komentar dan sindiran yang dilayangkan. McKay menunjukkan kualitas penulisan yang cerdas. Dia paham mengolah cerita tanpa keluar dari fokus. Begitu banyak yang bisa salah dalam film ini, berkat beragamnya elemen yang dimuat, elemen yang bekerja. Dia dengan berani menghantam semua. Aku tidak akan meminta film ini untuk melambat, atau menyuruhnya berhenti mengejek kita. Seperti komet itu. Ya, seperti komet. Film ini datang sebagai cerminan atau kiasan dari yang terjadi di dunia nyata. The only time kita menunduk seharusnya adalah untuk merenungkannya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DON’T LOOK UP.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah keadaan di Indonesia sekarang pantas untuk dibuatkan film komedi sendiri? Genre apa yang kalian buat berdasarkan Indonesia?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DUNE Review

“There is no greater jihad than to help the helpless”

 

Beberapa menyebut film ini sebagai Star Wars versi lebih serius. Ada juga yang menyebutnya sebagai Star Wars versi islami. Cerita tentang Imam Mahdi. Bagi pembaca novelnya, Dune adalah fiksi ilmiah yang paling ditunggu, karena mereka penasaran bagaimana cerita sepadat itu divisualkan ke dalam tayangan. Bagi David Lynch, Dune adalah pengingat kegagalan, sehingga ia bahkan tak tertarik nonton film baru ini. Bagi ‘film-twitter’, Dune adalah bahan ribut bulan ini. Dan akhirnya, tiba juga bagiku untuk menyumbang suara mengatakan Dune versi Denis Villeneuve ini adalah apa.

Waktu itu memang aku terlalu sibuk untuk ikutan keramean seputar artikel yang bilang orang yang ngantuk nonton Dune punya wawasan pas-pasan. Padahal semua itu gak ada hubungannya sama wawasan. Kubilang sekarang, mereka yang bosen, bahkan sampai ketiduran nontonin Dune versi baru ini, pastilah cuma orang-orang yang belum pernah nonton Dune yang versi David Lynch. Serius. Senada dengan Lynch sendiri, alasan aku juga enggak antusias menyambut Dune terbaru adalah karena aku punya mimpi buruk berkenaan dengan Dune 1984. Aku berusaha nonton lima kali, dan ketiduran enam kali!! Bukan karena film itu jelek – aku gak punya kapasitas bilang film itu jelek, karena selalu gagal menontonnya sampai habis – tapi karena film itu terbeban banget oleh eksposisi. Sepuluh menit pertamanya aja full-narasi eksposisi! Makanya, begitu akhirnya menonton Dune versi Denis, aku lega sekali karena film ini terasa jauuuuuuuuhhhhh lebih ringan. Denis meminimalisir semua eksposisi dan mitologi. Jika Dune memanglah awalnya dibuat untuk menjadi ‘saingan’ Star Wars, maka Dune versi 2021 ini adalah yang paling dekat untuk memenuhi fungsi tersebut. Film ini jauh lebih mudah untuk dinikmati ketimbang yang kalian dengar dikatakan oleh orang-orang.

DUNE4267631098
Film ini jadi bukti bahwa bisa kok sebuah adventure grande dibuat tanpa bumbu-bumbu humor one-liner yang cheesy

 

Aku ngerasa bisa relate sama usaha film ini dalam mengurangi eksposisi, karena di sini aku pun gak mau kalo review yang aku tulis akan terbaca sebagai gibberish – sebagai fafifuwasweswos omong kosong – oleh pembaca yang enggak ngerti sama istilah-istilah dalam semesta cerita Dune. Di sini, aku pun harus berusaha membuat supaya ulasan ini bisa semudah mungkin untuk diakses oleh general audience. Dan itu beneran susah! Diadaptasi dari novel karya Frank Herbert sepanjang 412 halaman, Dune punya dunia yang lore dan mitologinya penuh oleh istilah-istilah (dengan referensi kuat ke budaya dan peradaban Islam, sehingga wajar banyak yang nyebut ini sebagai Star Wars untuk sobat gurun), dan punya cerita penuh oleh intrik politik kerajaan-kerajaan atau kelompok-kelompok masyarakat, sementara juga tetap mempertahankan message mengenai lingkungan, sosial, dan kepercayaan sebagai tema yang membayangi gambaran besarnya. Ibarat minuman, Dune begitu kental. Susah untuk mengekstraknya menjadi konsumsi yang lebih ringan tanpa mengurangi esensi yang dikandungnya. Berikut usahaku menceritakan sinopsis dengan singkat, tanpa menyelam terlalu dalam ke istilah dan mitologinya:

Di dunia tahun 10191, planet gurun Arrakis jadi lahan tambang karena kandungan sumber dayanya. Penduduk asli planet tersebut, bangsa Fremen yang bermata biru, terjajah bertahun-tahun lamanya oleh bangsa penambang House Harkonnen. Demi mengatasi keadaan tersebut, Emperor mengutus House Atreides dari Planet Caladan. Tokoh utama cerita ini adalah putra mahkota House Atreides, Paul. Di bawah bimbingan ayahnya, Paul dididik secara militer dan dibimbing untuk jadi pemimpin yang baik, sebagai penerus kelak. Tapi Paul ternyata punya takdir satu lagi. Paul memiliki kekuatan ‘penglihatan’ dan ‘the voice’ (ala Jedi Mind Trick). Dia mungkin adalah messiah yang bisa menghentikan perang, menyatukan semuanya. Di saat Paul masih berkutat dengan tanggungjawab besar dan mimpi-mimpi yang menawarkan versi masa depan yang menyita perhatiannya, pengkhianatan besar terjadi!

See, basic banget! Menulisnya simpel begitu jadi terasa kayak cerita ‘The Chosen One’ yang biasaKurang lebih tantangan seperti itulah yang harus dijabanin oleh Denis di proyek ini. Denis gak mau filmnya berat, maka dia menceritakannya dengan sesimpel yang ia bisa. Dengan minim dialog. Dengan informasi-informasi dan penjelasan dibeberkan seperlunya. UIntungnya Denis punya senjata andalan, yang tentu saja tidak aku punya (siapalah saya…), yang penulis novel aslinya gak punya, dan yang bahkan gak bisa dimaksimalkan oleh David Lynch. Visual Storytelling.

Ketika harus memberitahu bahwa karakter yang diperankan Zendaya adalah orang Fremen yang cantik nan misterius, Denis menceritakannya lewat visual yang begitu striking. Mengontraskan warna mata, warna kulit, warna lingkungan. Memanfaatkan dukungan musik dan permainan kamera. Begitu kuat kesan dreamlike pada adegan yang memang berupa pandangan di dalam mimpi tersebut. Bandingkan saja dengan Dune versi lama, yang lebih memilih mengatakan semua itu kepada kita langsung lewat narasi voice-over, narasi suara hati yang bergema. Dune versi baru ini lebih elegan. Bicara banyak tanpa banyak bersuara. Denis tidak mau kita fokus membincangkan mitologi dan sebagainya. Denis mau kita menikmati spektakel visual yang ia hadirkan dengan maksimal. Dia ingin kita mengalami semua visual di planet fantasi ilmiah tersebut. Shot-shot wide yang kerap ia lakukan, ditujukan untuk menekankan sensasi epicness kepada kita. Entah itu ketika ada pesawat (yang sayapnya seperti sayap capung!) mendarat di tengah-tengah kerumunan, ketika serangan cacing tanah raksasa diperlihatkan dari atas lewat sudut pandang dua orang di atas pesawat, atau ketika ada badai pasir di latar belakang. Semuanya mengedepankan skala. Kita melihat manusia begitu kecil, cacing begitu besar, dan sebagaimana. Sense indera inilah yang membuat pengalaman menonton Dune jadi begitu memikat. Kita dimaksudkan untuk menyantap itu semua sebagai hidangan utama.

dune_worm_main
Visualnya edune!!

 

Film versi Lynch bahkan minim aksi. Tidak ada pertempuran berantem atau satu-lawan-satu di sana. Sementara, film baru ini seru lewat lebih banyak aksi, baik itu kejar-kejaran maupun berantem. Martial Art yang ditampilkan pun tampak plausible, dimainkan dengan menghibur ke dalam ‘gimmick’ alias lore yang dipunya oleh dunia cerita. Dune David Lynch, yang mementingkan narasi dan eksposisi semesta, tidak punya ruang yang lega untuk mengembangkan karakter. Paul di film itu tidak punya banyak fase-fase development. Malah karena begitu sempit, karakternya tampak seperti menerima status ‘imam mahdi’ itu begitu saja. Dia lantas jadi kayak dewa. Denis dalam film versinya ini punya ruang lebih banyak untuk membebaskan karakternya. Paul dikembangkan dengan lebih natural. Timothee Chalamet punya banyak waktu untuk menunjukkan jangkauan aktingnya. Ada lebih banyak momen humanis untuk karakternya membangun relasi dengan ibu yang jadi mentor ‘ilmu jedi’nya. Begitu juga momen-momen dengan karakter sahabatnya, yang tidak ada pada film versi Lynch yang strict ke Paul dan sang ayah saja. Arc-nya adalah tentang menerima tanggungjawab, dan Paul punya dua yang harus ia terima. Film menyulam ini dengan seksama, inilah yang dipastikan ada closingnya, sehingga nanti saat film memang harus bersambung ke part berikutnya, masih ada elemen yang menutup pada cerita.

Antara jadi pemimpin atau penyelamat. Antara sebagai penjajah atau penolong. Paul sesungguhnya telah memilih, tapi dia struggle dengan posisi dirinya untuk menempati pilihan tersebut. Perjuangan inner-nya yang menggambarkan makna jihad. Sebab jihad bukan semata berarti turun berperang. Melainkan berjuang, membawa diri sendiri, untuk menolong yang tak berdaya.

 

Ini sih sebenarnya yang jadi masalah. Dune 2021 terasa incomplete. Karena memang filmnya ternyata dibagi dua. Dan, marketingnya.. well, aku tau kurang bijak menilai film dari cara mereka memasarkan diri, tapi there’s something about it yang membuatku jadi mengaitkannya dengan pembuatan dan storytelling film ini sendiri. Dune tidak segera memasarkan diri sebagai Part One (they soft sell this instead), dan bagian keduanya disebutkan akan lanjut atau tidak bergantung kepada kesuksesan Dune yang sekarang ini. Jadi, film ini keadaannya semacam kayak game Final Fantasy. Ini adalah kesempatan ‘terakhir’ mereka membuktikan diri dengan ngasih yang jor-joran, karena ada kemungkinan ujung ceritanya gak bakal bisa lanjut ditampilkan. Tapi Dune tidak benar-benar rapi menutup episode ini. Arc paul memang  menutup, tapi development lain tidak digenjot. Istilah gampangnya, Dune ini tidak terlihat seperti didesain untuk bisa berdiri sendiri. Walaupun pembuatnya yakin mereka hanya punya kesempatan kecil untuk melanjutkan cerita, tidak terasa mereka put everything on the line. Jadi, effort meracik cerita di sini agak kurang maksimal.

Mereka literally cuma bergantung pada keberhasilan spektakel visual. Di luar itu, dan di samping usaha menutup arc Paul for now, tidak lagi ada substansi. Keputusan film untuk meminimkan informasi berbalik jadi bumerang. Kita jadi tidak masuk secara immersive ke dalam mitologi dunia. Film ini menjadi terlalu sederhana for its own good. Narasinya jadi kurang berbobot karena tidak membahas mendalam. Dari konteks bahasa, misalnya. Saat menonton Dune ini kita akan notice banyak istilah Islam, tapi dengan mengabaikan banyak lore, film ini sendiri jadi seperti mengesampingkan kepentingan kenapa istilah-istilah tersebut dipakai pada awalnya oleh novel. Tentu saja pertanyaan ‘kenapa’ yang baru jadi terangkat. Memang, kondisi politik dunia kita pun memang sudah berbeda, antara masa pembuatan novel Dune dengan masa filmnya dibuat ulang. Dan ini jadi menarik, apakah memang ada hubungannya dengan itu? Apakah menyebut Islam dan jihad sebagai asosiasi dari protagonis kulit putih tidak lagi ‘klik’ dengan situasi saat ini? Ini kan bisa jadi bahan tulisan lain yang menarik untuk diangkat. But for now, untuk kepentingan penilaian karya film, aku mencukupkan dengan mengatakan film ini agak terlalu kopong perihal substansi, dan memang hanya dibuat untuk spektakel saja.

 

 

 

Memang conflicted sih, aku jadinya. Aku percaya film adalah sulap kreasi. Film ini menawarkan teknik dan kreasi yang tidak kurang dari sebuah masterpiece. Namun aku juga percaya film harus punya bobot. Film ini, sekarang aku tidak begitu yakin. Apakah dia sengaja untuk hiburan visual saja, dan menyimpan semua bobot di bagian kedua. Atau apakah memang sengaja dibikin ringan dan sama sekali tak membahas yang lebih dalam. Apakah film justru mengandalkan kita untuk baca novelnya (atau baca thread di twitter, kalo kalian kebelet pengen cepet ‘smart’ tanpa baca bukunya) supaya mereka tak perlu banyak-banyak menjelaskan lagi – which is still bad, karena film haruslah bisa bercerita tanpa suplemen lain. Kalopun ada kesimpulan, maka itu adalah bahwa film ini membuktikan novel karya Herbert memanglah tidak-bisa-difilmkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DUNE

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian perjuangan Paul adalah perjuangan Jihad?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

AUM! Review

“The seed of revolution is repression”

 

 

Bikin film tantangannya banyak. Konsep-konsep matang yang sudah disiapkan bisa sirna diterpa keadaan di lapangan. Cuaca yang tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kerusakan atau gangguan tak terduga pada alat-alat teknis maupun properti. Mood atau moral yang turun setelah sedikit adu argumen saat syuting. Semua yang menuntut filmmaker untuk mengubah rancangan, menyesuaikan dengan kondisi, bisa saja dan hampir selalu pasti terjadi saat sedang menggarap film. Itu dengan asumsi film tersebut sudah lolos dan dapat izin untuk dibuat. Karena memang pada kenyataannya, beberapa cerita boleh jadi tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk disyutingin sama sekali. Beberapa cerita dinilai terlalu ‘berbahaya’ untuk dibuat. Jadi adalah sepenuhnya tergantung usaha si empu cerita untuk menempuh apa saja supaya buah pikiran yang ia anggap penting tersebut bisa lahir dan ditonton semua orang. Aum! debut feature sutradara Bambang ‘Ipoenk’ K.M. menceritakan tentang film yang seperti demikian.

Lewat gaya mockumentary yang bernada humor-meta, Bambang menunjukkan kepada kita bagaimana sekiranya tantangan dan sukarnya membuat film yang menyuarakan reformasi, pada awal era reformasi. Kenapa aku bilang ‘sekiranya’? Well, karena walaupun kita sudah mendengar betapa opresifnya pemerintah di jaman tersebut. Beberapa dari kita ada yang mengalami langsung, aku yakin. Tapi yang disajikan oleh film ini, lewat gaya penyampaian yang dipilih, tidak pernah membuat alur cerita terasa realistis. 

aum-0_5f85ba8e-df8a-4a91-9627-54e47fd22e7d
Di IMDB malah katanya ini film biopik…

 

 

Ini tuh kayak sekumpulan orang kreatif berkumpul sehabis nonton One Cut of the Dead (2018), dan tercetuslah ide cerita versi mereka sendiri, dengan menggunakan konsep bercerita dari film komedi zombie asal Jepang tersebut. Hanya saja, mereka kurang mengenali apa yang membuat konsep itu berhasil. Alhasil, Aum! yang punya formula beat-to-beat sama dengan One Cut, tidak bekerja semaksimal itu. Aum! tidak bekerja seperti yang pembuatnya niatkan.

Dalam One Cut of the Dead, semuanya jelas. Film yang dibuat oleh para karakter kru dalam cerita, kualitasnya jelek. Amatir (makanya dilaporkan banyak penonton bioskop walk-out pada rentang setengah jam film ini) Kemudian, diungkaplah siapa yang berada di balik kamera. Kita diberikan penjelasan atas kondisi film yang mereka bikin. Tuntutan TV, gimmick yang harus dipenuhi, hingga ke konflik personal si sutradara dan para aktor. Sehingga kita tahu bahwa pentingnya film yang akan mereka bikin bagi mereka, lalu kita jadi peduli saat kenyataan di lapangan para kru menemui kesulitan sementara the show must go on. Pada akhirnya, dan mengerti kenapa hasil akhir film mereka bisa jelek seperti itu, dan kita jadi menumbuhkan rasa respek sama perjuangan kru.

Aum! yang dibuat dengan kualitas gambar dan kamera yang deliberately di bawah standar (untuk menguatkan kesan gerilya filmmaking) juga memiliki bangunan cerita yang sama. Dimulai dari kejadian yang ternyata bukan kejadian nyata. Melainkan film, yang bercerita tentang mahasiswa aktivitis yang dikejar-kejar aparat, kemudian dibantu oleh abangnya, kemudian dia rapat dengan teman-teman, dikejar lagi, rapat lagi menyuarakan ajakan untuk melakukan gerakan reformasi, lalu ada adegan yang memparodikan tindakan pemerintah terhadap gerakan mahasiswa. Lalu kita dibawa melihat proses belakang layar kejadian di awal tersebut; di sini narasi soal tekanan dan susahnya mereka menggarap film itu secara diam-diam seharusnya dikembangkan. Dan lalu, film pisah dari One Cut; Di babak akhir Aum! memasukkan twist. 

Yang membuat One Cut bekerja adalah kita sudah dilandaskan. Film buatan mereka jelek tapi memuaskan bagi mereka, tekanan untuk terus lanjut ada benar-benar kita lihat, urgensinya kuat karena ada batas waktu dan gimmick one-cut itu sendiri. Stakenya pun kerasa karena kita mengerti motivasi karakter pembuat film. Nah, itu semualah yang enggak ada, atau enggak jelas, pada Aum! Kita gak yakin film sub-par bergaya teatrikal yang para karakter film ini bikin tu, terconsidered gagal atau tidak oleh mereka, kita tidak tahu pesan mereka sampai atau tidak ke penonton di dunia mereka. Kita juga tidak melihat tekanan seperti yang terus diucapkan oleh karakter produser. Hanya ada beberapa bystander misterius yang bertanya saat syuting, selebihnya tidak ada yang menantang pembuatan film mereka, karena isi film tersebut. Padahal harusnya ini yang dikuatkan. Bagaimana mereka dapat izin, bagaimana mereka ngecoh supaya jadi syuting, misalnya. Supaya kita yang nonton bisa mengerti memang susah bagi mereka untuk bersuara. Bukan literally harus ngomong “Action!” pelan-pelan sampe gak kedengeran sama pemainnya. Hal yang kita lihat jadi hambatan paling besar dalam proses filming mereka justru adalah ketidakkompetenan kru dan sutradara – yang diniatkan jadi momen-momen komedi oleh Aum! Dan lagi, proses  bikin film mereka ini tidak pernah terasa urgen. Si Produser menyebut mereka harus bikin film diam-diam, tapi hanya ada satu adegan diperlihatkan yang mereka syuting di tempat umum. Selebihnya mereka syuting di ruang mereka sendiri. Di dalam mobil. Di gedung teater. Yang semuanya kalo gagal pun, bisa diulang syutingnya. 

Karakter-karakter Aum! tidak dikembangkan. Selain kerjaan yang jadi jobdesc mereka, kita tidak tahu lagi mereka ini siapa. Jefri Nichol jadi dua karakter (aktor dan peran yang ia mainkan), tapi karakternya tidak ada yang esensial untuk cerita dan reformasi itu sendiri. Dia hanya ada di sana, akting dua versi, for nothing. Lalu ada karakter bule yang megang kamera untuk dokumentasi. Karakter ini ujungnya pun tidak jadi apa-apa dalam cerita. Konflik yang meraung paling besar itu justru adalah soal debat filmmaking antara sutradara dengan produser di lapangan. Keduanya berselisih paham tentang visi dalam film. Hal yang bersifat internal, alih-alih eksternal seperti yang seharusnya jadi tantangan yang sebenarnya. Dan kemudian datanglah twist. Paling enggak, twistnya bener. Bener-bener mengubah cara pandang kita terhadap cerita ini dari awal. Sutradara ternyata tidak berada di pihak menyuarakan reformasi. Tidak berada di kapal yang sama dengan visi Produser. Sutradara, katakanlah, semacam menyabotase dari dalam. Berusaha supaya film yang mereka bikin menjadi sesuatu yang bukan diniatkan. Twistnya ini meskipun gak salah, gak ngada-ngada, dan ditanam dengan baik, tetep tidak mengangkat status. Kembali ke film mereka di awal. Yang kita tonton adalah film bersuara reformasi dengan gamblang seperti yang diinginkan produser, tapi teknisnya (dan suara nyanyian Jefrinya) ngaco. Jadi apakah itu berarti film mereka ini berhasil? Mereka akhirnya memang beneran digrebek. Tapi apakah itu pencekalan terhadap film mereka, atau karena posisi dan aktivitas mereka sebagai aktivis reformasi bocor oleh musuh dalam selimut tadi?

See, film ini tidak pernah clear, dan inilah yang salah satunya menghambat kita dari masuk ke dalam cerita.

aum-film-bioskop-online-2-31dc8b472b01810368e713bd7b9fc36b
Denger Chicco Jerikho teriak mulu ama-lama bunyinya berubah menjadi “Hoam!” aliasnya bunyi kita menguap

 

 

Tapi, debat Sutradara dan Produser itu sebenarnya menarik, sih. Mereka bicara soal apakah film harus subtil dan mengundang pilihan kepada penonton, atau harus stick memuat satu suara tertentu. Dengan konteks film sebagai seni, keadaannya jadi berbalik. Justru si Produser yang membela reformasilah yang jadi seperti opresor ketika dia pengen banget filmnya menyetir penonton ke arah reformasi. Meskipun pada saat itu, reformasi memang dibutuhkan. Itulah sebabnya film yang mereka hasilkan jadi konyol. Karena suara itu dipaksakan. Tapi tetap tidak diakui sebagai film yang jelek, karena pesan reformasinya adalah hal yang dibutuhkan.

Mungkin, keadaan inilah yang dimaksud oleh Woodrow Wilson ketika dia menyebut “benih sebuah revolusi adalah represi” Gerakan yang mendorong perubahan mau tak mau, sadar tak sadar akan menyebabkan satu atau lain hal merasa terbatasi. Seperti pada membuat film contohnya. Ketika pembuat memaksakan satu suara kepada penonton, tanpa memberi ruang dialog, film tersebut telah mengekang penonton dari gagasan lain.

 

Maka dari itulah, aku selalu menilai film tidak semata dari ada atau tidaknya pesan/isu. Melainkan dari bagaimana pesan/isu/gagasan tersebut disuarakan. Diceritakan. Aum! punya isu yang penting dan masih relevan, tapi film ini tidak memahami fungsi pada konsep bercerita yang mereka pakai (atau kalo boleh dibilang, mereka tiru).

Film meta seperti One Cut dan Aum! ini kuncinya ada pada ilusi. Kita membuat film di dalam film, yang begitu imersif, sehingga penonton bertanya mana yang nyata? One Cut berhasil membuat apa yang tadinya seperti kisah zombie menjadi cerminan dari perjuangan kru membuat sebuah tayangan. Perjuangan yang beneran relate sama orang-orang yang bekerja di belakang layar. Aum! mengambil konteks represi di era reformasi. Tapi dia terasa seperti meraba situasi, seperti kita. Oh dulu mahasiswa hilang diculik. Oh, dulu karya dibredel. Oh, ada militer nyamar. Kita tahu hal itu terjadi, tapi tidak bagaimana tepatnya. Fiksi dalam film harusnya diilusikan ke dalam fakta-fakta ini. Tapi dalam Aum! apa yang tadinya film fiksi bermuatan fakta, malah berlanjut terus menjadi seperti fiksi. Apalagi dengan twist ‘sutradara ternyata adalah’ tersebut. Tidak ada yang terasa real dalam film ini. Interaksi para kru juga terasa dibuat-buat, karena dijadikan komedi ‘atasan yang galak kepada bawahan’

 

 

 

Perbandingan dilakukan bukan semata untuk mengatakan film ini meniru. Melainkan untuk melihat bagaimana konsep seharusnya memenuhi satu fungsi. Film ini terasa menggunakan konsep hanya karena konsep itu keren dan bekerja pada film lain. Padahal saat kita menyaksikan, konsep pada film ini tidak banyak menolong cerita. Alurnya semakin kerasa ngada-ngada. Isinya dari akting teater yang kaku ke adegan orang debat dan marah-marah. Kita tidak peduli sama karakter-karakter karena tidak dikembangkan (melainkan disimpan untuk twist). Tujuan untuk memperlihat represi itu juga tidak tercapai, karena hambatan yang diperlihatkan film cuma hambatan dari internal. seperti ketidakcakapan kru dan sebagainya. Jadi saat menontonnya ya tidak konek, tidak peduli. Aku tidak menepis film ini punya isu penting. Tapi punya isu tidak lantas membuat sebuah film, bagus.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for AUM!

 

 

 

 


That’s all we have for now

Manakah yang lebih kalian setuju – film harus menggiring penonton ke opini tertentu atau membuka pilihan kepada penontonnya?

Share with us in the comments yaa

 


Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

BECKETT Review

“There is not a thing as the wrong place, or the wrong time.”

 

Aku tidak tahu Beckett garapan sutradara asal Italia, Ferdinando Cito Filomarino, bakal nyeritain tentang apa. Seperti biasa, aku gak nyari info filmnya, gak nontonin trailer. Aku suka ‘datang’ ke sebuah film dengan sesedikit mungkin tahu tentangnya. Langsung nonton aja, apapun film yang keluar. Beckett, at first, terlihat seperti cerita sepasang manusia yang dimabuk cinta. Tapi kemanisan yang mereka tunjukkan di sepuluh menit pertama itu membuatku waspada.  Apakah ini memang kisah cinta dua pasangan yang berurusan dengan perbedaan-perbedaan kecil mereka? Seems convenient mengingat John David Washington yang jadi lead di sini pernah juga memainkan drama pasangan dalam Malcolm & Marie (2021).  Tapi hey, Washington juga bermain di Tenet (2020), jadi mungkin saja ini berubah jadi thriller laga. Atau malah siapa tau ini beneran dari kisah nyata, seperti BlacKkKlansman yang dibintangi Washington di tahun 2018. 

Jangankan yang nonton, bahkan si Beckett sendiri enggak tahu dia sedang dalam cerita apa. Beckett akan terus berlari dan berlari dan berlari di sepanjang narasi yang memuat bahasan seperti kasus penculikan, konspirasi politik, dan kebobrokan polisi. 

beckettx1080
Jika kisah cintamu terasa seperti too good to be true, siap-siaplah lari!

 

Turns out, Beckett adalah cerita tentang seseorang yang berada di tempat yang salah, di waktu yang salah. Beckett dan pacarnya lagi liburan di pelosok Yunani. Malang menimpa malam itu. Mereka kecelakaan. Beckett yang mengantuk membuat mobil mereka melayang keluar dari jalan. Nyungsep ke dalam sebuah rumah. Pacar Beckett tewas. Beckett? Dia melihat sesuatu yang harusnya tidak boleh ia lihat di sana. Beckett yang selamat dari kecelakaan, menjadi ‘ancaman’ bagi kelompok orang yang gak mau rahasia mereka terbongkar. Alhasil, Beckett pun jadi buruan. Dikejar-kejar oleh wanita misterius, dan polisi berjanggut yang gak segan membunuhi orang-orang. Pelarian Beckett menuju keselamatan di Kedutaan menjadi sebuah aksi menyelamatkan diri yang nyaris mustahil. Karena apparently, di tengah memanasnya situasi politik di Yunani, Beckett gak tahu harus percaya kepada siapa.

Udah kayak gabungan ketiga film Washington terdahulu, cuma gak kisah nyata aja. Dan tentunya gak ada elemen time-travel (oh boy, padahal si Beckett pastilah pengen banget bisa time travel). Film ini mengambil pendekatan yang lebih grounded. Beckett adalah manusia biasa, cowok yang biasa-biasa saja. Dia sama-sama kurang bertanggung jawab dengan kita semua yang males nelfon hotel untuk konfirmasi kedatangan. Beckett yang berlibur ke Yunani bahkan gak mau repot untuk belajar bahasa sono barang sedikit. Naskah film actually cukup berhasil mengolah suspens dari karakteristik Beckett tersebut. Film tidak sekadar mencuatkan warna kulit Beckett, membuatnya kentara dan jadi penguat tantangan bahwa tidak ada tempat bersembunyi baginya. Film juga membuat perbedaan bahasa jadi pemantik ketegangan. Dengan sengaja bahasa lokal Yunani tidak diberikan subtitle, sehingga kita jadi sejajar dengan Beckett. Kita jadi sama gak tahunya, yang tentu saja lantas membuat kita jadi turut peduli dan pengen ikut menguak apa yang terjadi.

Washington memerankan orang biasa yang terjebak dalam situasi tak biasa, dengan cukup meyakinkan. Dia tampak distant dan canggung di antara orang-orang lokal. Dengan tangan cedera itu berlari menyusur hutan sambil terpincang dan terbungkuk-bungkuk dalam usaha menyembunyikan diri. Kebingungan Beckett juga terpancar dari wajahnya. Dia enggak tahu apa yang terjadi, apa yang harus ia lakukan. Stakenya di sini adalah hidup atau mati. Film membuat rintangan terus naik baginya. Dia ketemu orang-orang, beberapa membantu, beberapa jadi korban karena membantu, dan tentu saja beberapa ikut memburunya. Dalam usaha untuk membuat hal-hal tetap naik, supaya suspens tetep kenceng, perlahan film mulai meninggalkan bumi. Alias tidak lagi berada di jalur yang grounded. Setelah turning-point saat Beckett tidak bisa mundur lagi, dan dia mulai bertekad untuk menyelamatkan kasus penculikan, aksi-aksi film jadi semakin konyol. Beckett terus tertembak dan terluka, tapi dia terus berlari. Kita mengerti perubahan dirinya yang kini enggak lagi berlari untuk menyelamatkan diri, melainkan berlari untuk, katakanlah, jadi pahlawan. Yang tidak kita mengerti adalah kenapa aksi-aksi yang ia lakukan itu tidak lantas membunuhnya. Serius deh, nyawa Beckett tidak pernah lebih terancam lagi di akhir itu. Dia justru tampak lebih mungkin untuk mati karena ulahnya sendiri ketimbang karena ditembak oleh polisi jahat. Bagaimana orang biasa seperti Beckett bisa terjun dari parkir lantai atas, dengan selamat menimpa atap mobil yang melaju keluar, yang bahkan tidak bisa ia lihat datangnya. Ini timing dewa yang SpiderMan aja butuh latihan mencobanya hahaha

BECKETT (2021) John David Washington as Beckett. Cr: Yannis Drakoulidis/NETFLIX
Si Beckett berbakat jadi superhero

 

Selagi Beckett berlari-lari, mari kita menyelami kejadian yang membangun narasi film ini. Apa yang sebenarnya ingin film ini katakan dengan masalah politik, dan bahkan dengan memperlihatkan hubungan Beckett dan pacarnya dengan sangat elaborate.

Not. Much.

Beckett dan pacarnya (diperankan dengan semakin manis oleh Alicia Vikander) mengambil porsi waktu yang terlalu lama di pembuka. Inilah yang actually membuat kita kebingungan film ini sebenarnya cerita tentang apa. Di sepuluh menit pertama itu, yang terlandaskan sempurna adalah hubungan Beckett dan tanggungjawabnya terhadap sang pacar. Sedangkan permasalahan kecamuk politik dan kasus peculikan hanya diperlihatkan sekilas lewat tayangan televisi yang menyala di kafe. Padahal film ini justru ternyata sebaliknya. Lebih soal lari-larian Beckett yang tak-sengaja terlibat di dalam situasi politik tersebut, dan gak banyak tentang pacarnya. Dari set up dan sepuluh menit pertama yang dilakukan, film mestinya membuat Beckett kerap teringat dengan pacarnya. Seharusnya meaning relationship tersebut bagi Beckett diperlihatkan punya peranan besar terhadap perjuangan survivalnya. Ceritanya seharusnya sering circled-back ke relationship tersebut. Tapi yang ada, dalam babak perjuangannya itu, hanya satu kali Beckett ‘kembali’ ke persoalan pacarnya. Konflik dari dia basically telah bikin pacarnya yang berspirit manic-pixie itu celaka seperti absen di sebagian besar cerita lari-larian, dan kemudian dimunculkan lagi begitu saja saat film memutuskan sudah saatnya membuat Beckett menyadari pembelajaran.

Ya, kita ngerti satu-satunya circled-back yang dilakukan oleh film memang adalah yang paling penting. Itu adalah momen ketika Beckett yang menyesali dirinya membawa sang pacar ke tempat yang salah, ternyata melihat makna dari mereka berada di sana; di rumah itu, bersimbah darah, and all. Dia di sana untuk menyelamatkan seseorang. Namun penulisan film dalam menggarap itu tidak benar-benar rapi menyulamnya. Penyadarannya terasa mendadak, karena sebagian besar waktu film heboh di adegan lari-larian dan membahas konspirasi politik yang terjadi.

Enggak ada yang namanya berada di tempat yang salah, di waktu yang salah. Karena di manapun kita berada, kita seharusnya bisa membuat sesuatu yang positif. Tugas kitalah untuk membuat setiap detik hidup menjadi bermakna. Kemungkinannya justru sebaliknya. Kita bisa jadi selalu ditempatkan where we meant to be.

 

Di lain pihak, soal politik, dan soal polisi bobrok segala macam yang dijadikan fokus cerita itupun tidak pernah diselami lebih dalam. Melainkan hanya kulit luar. Hanya situasi yang perlahan dikuak dan diketahui oleh Beckett. Kecamuk politik yang jadi latar Beckett lari-lari itu, yang memang cuma dijadikan latar. Tak lebih sebagai tempat film memuat revealing-revealing. Oh ternyata ini yang jahat. Ternyata yang itu yang baik. Kan, sudah kuduga ada di sana. Jadi cara supaya film tetap bisa punya sesuatu untuk memancing keseruan aja. Inilah yang membuat Beckett jadi sajian yang hampa. Tidak menantang kita. Hanya membuat kita ikut ngos-ngosan capek melihat Beckett dikejar ke sana kemari. melihat Beckett bertingkah kaku dan ketakutan dan kebingungan di antara orang-orang lain. Sutradara seperti cuma menyuruh para aktornya untuk lari dan mengucapkan dialog, tanpa banyak muatan visi yang dia kembangkan dari naskah – yang juga ditulis dengan kurang dalam dan tidak rapi.

 

 

 

Ini adalah jenis film yang dibuat dengan mementingkan bagaimana supaya penonton tetap merasa surprise. Openingnya dibuat seolah tentang kisah pasangan. Kita tidak akan tahu ini cerita tentang apa dengan melihat menit-menit pembukanya. Situasi atau konspirasi politik dipakai supaya cerita bisa punya banyak pengungkapan. Sebenarnya ini bisa bekerja dengan efektif, jika dibarengi dengan penulisan dan arahan yang jitu. Film ini tidak punya dua hal tersebut. Penulisannya tipis. Arahannya, malah ikut berlari-lari. Dari yang cukup grounded, ke menjadi aksi-aksi yang konyol. Dari yang tadinya aktingnya kaku karena disengaja, jadi malah seperti kayak gak diarahin. Nonton film ini toh memang terasa seru. Tapi seru yang bikin capek. Kayak abis lari-larian keliling pot kembang tanpa alasan.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for BECKETT.

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa menurut kalian kita merasa berada di tempat dan waktu yang salah? Apakah itu sebuah wujud denial?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM Review

“The truly intelligent person is one who can pretend to be a fool in front of a fool who pretends to be intelligent.”
 

 
 
Luar biasa memang usaha Sacha Baron Cohen dalam mengkritik negaranya!
Empat belas tahun lalu aktor ini nongol sebagai Borat, jurnalis fiktif dari Kazakhstan. Dia ke Amerika untuk studi budaya. Yang pada kenyataannya adalah Sacha sedang memperlihatkan betapa konyolnya ke’open-minded’an ketika diterapkan oleh orang-orang di sana. Sebagai pendatang dari negara yang jauh lebih inferior, Borat ditampilkannya jujur dan polos, namun juga begitu terbelakang. Borat bukan saja memperlihatkan bagaimana sebenarnya orang Amerika ketika dihadapkan kepada sesuatu yang berbeda dengan mereka,  tapi juga bagaimana mereka menyingkapi ‘budaya’ mereka sendiri jika budaya tersebut diterapkan dengan cara berbeda. Dua tahun lalu, Sacha mengambil gaya mockumentary yang lebih berani lagi pada serial Who is America. ‘Prank’ yang ia lakukan langsung menyasar ke orang-orang penting. Dia menyamar sebagai sesosok pro- (politik, kepemilikan senjata api, dll), berdialog dengan tokoh-tokoh politik, dan dengan kocak mengekspos kedogolan mereka. Dan sekarang, tepat di bawah hidung kita semua, Sacha Baron Cohen telah sekali lagi mengenakan ‘topeng’ Borat. Kembali ke U.S.and A. Meletakkan cermin itu ke tengah-tengah warga Amerika yang kini berada di bawah kepemimpinan Donald Trump. Gerakan feminis. Dan Covid-19.
Kalo kita mau ikutan berkaca di cermin yang sama, tentulah kita juga akan menemukan sindiran-sindiran yang dilontarkan oleh film ini ikut mengena ke negara kita. Represi, sexism, apapun dijadikan adu kubu politik, sudah jadi masalah sehari-hari. Di negara kita pun bukannya tidak ada gerakan protes ataupun kritik cerdas seperti yang dilakukan oleh Sacha Baron Cohen. Baru-baru ini, Najwa Shihab udah bikin kita berdecak kagum lewat aksinya mewawancarai kursi kosong sebagai ganti Pak Menteri Kesehatan yang menolak hadir saat diundang ngobrol. Kita butuh lebih banyak kritikan-kritikan cerdas seperti yang dilakukan oleh Najwa atau Borat ini. Kritikan yang sayangnya juga harus disematkan kata nekat setelah predikat cerdas tadi. Nekat karena memang ada ‘bahaya’ yang membayangi. Kita lantas mencemaskan Najwa kalo-kalo nanti ditelikung pemerintah. Borat sendiri harus mengenakan rompi antipeluru di balik kostum penyamarannya saat merekam film ini. Dan itu memperlihatkan betapa powerfulnya film yang ingin ia sampaikan ini.
 
 

Dengan berpura-pura bego duluan, Sacha mengekspos kebegoan yang lebih paripurna

 
 
Ada lebih banyak layer pada film Borat kedua ini jika dibandingkan dengan Borat yang pertama. Tajuk originalnya cukup panjang, berbunyi “Delivery of Prodigious Bribe to American Regime for Make Benefit Once Glorious Nation of Kazakhstan”. Dari judul tersebut kelihatan bahwa cerita ini punya target yang lebih spesifik dibandingkan film pendahulunya yang abstrak ke sosial Amerika. Kali ini yang diincar adalah ‘American Regime’. Film kali ini seperti memadukan gaya film pertama dengan serial Who is America. Borat dan, kali ini partner in crimenya adalah putrinya; Tutar, yang berusia 15 tahun, akan semacam menginterview beberapa tokoh (ranging from aktivis feminis, ke  pendukung Trump hingga ke major politican) dengan konteks narasi yang lebih ditonjolkan. Narasi yang berakar pada relasi ajaib antara Borat dengan Putrinya itu menjadikan film ini tontonan yang lebih berarah, dan suprisingly lebih emosional, karena jadi bermuatan drama.
Drama ayah-anak ini dijadikan oleh sutradara Jason Woliner sebagai pengikat sketsa-sketsa ‘prank’ di dunia nyata yang dilakukan oleh Borat dan Tutar dari waktu ke waktu. Beberapa hal yang dikritik (dan dibuktikan) oleh film Borat 2 ini antara lain adalah soal salah kaprahnya gerakan feminis, soal negara yang seperti melanggenggkan perdagangan perempuan, soal sikap negara terhadap perempuan itu sendiri – dan juga terhadap minoritas, soal sikap terhadap jurnalistik, dan tentu saja soal penanganan dan propaganda terhadap pandemi virus Corona. Drama ayah-anak yang jadi tulang punggung narasi akan memberikan setiap sketsa bermuatan kritik-kritikan tadi konteks yang mengikat yang menjadikannya punya bobot lebih sebagai tontonan. Meskipun memang drama ayah-anaknya itu sendiri konyol alias absurd. Resolusinya menghangatkan dan membawa banyak harapan untuk dunia yang lebih baik, tapi juga tidak sepenuhnya terasa baru. Borat ingin memberikan putrinya tersebut sebagai hadiah untuk Vice President. Ini adalah misi yang diberikan negara baginya, karena Kazakhstan ingin mengapresiasi Amerika yang sudah kembali menjadi negara kuat yang bisa dijadikan panutan. Journey putrinya Borat (dimainkan dengan berdedikasi dan luar biasa oleh Maria Bakalova) sangat dramatis meskipun di awal karakternya ditulis sangat komikal demi satire yang diincar oleh film.

Semua kekonyolan karakter pada film ini fits perfectly ke dalam konteks satir yang diincar. Penekanannya sekali lagi adalah pada cara bercerita sambil menyindir itu sendiri. Film Borat percaya untuk melakukannya dengan mengolok diri sendiri terlebih dahulu. Untuk mengekspos seseorang yang pura-pura pintar, kita harus berpura-pura bloon di hadapannya terlebih dahulu. Untuk membuat mereka merasa makin superior, dan ketika kepala itu sudah demikian gede, maka jatuhnya akan semakin keras.

 
Maka film melandaskan betapa terbelakangnya Borat dan Tutar dan negara Kazakhstan itu sendiri dibandingkan dengan Jerry, atau Jim, atau Karen; dengan Amerika yang superior. Jika kalian enggak suka dengan humor vulgar yang dilakukan tanpa ditahan-tahan dari karakterisasi Borat dan Tutar, maka kalian akan susah untuk menyukai film ini walaupun mungkin kalian sepaham dengan gagasannya. Karena kelucuan cerita film ini memang bertumpu pada pengkarakteran ‘polos tapi barbar’ tersebut. Film harus membuild up gap antara Borat dengan Amerika supaya komedinya dapat berjalan. Dan ketika sudah berjalan, memang film ini jadinya lucu sekali. Misalnya adegan ketika Borat membeli kandang untuk putrinya, si penjual bingung atas permintaan si pembeli tapi kelihatan dia berusaha untuk open minded dan gak ikut campur. Sementara itu si Borat terus memancing reaksi. Sampai di satu titik akhirnya Borat berkata soal bukankah normal membeli kandang untuk tempat tinggal anak perempuan karena presiden “McDonald Trump” toh mengandangi anak-anak Mexico. Ataupun ketika Tutar gak sengaja menelan hiasan bayi pada kue yang disuapi oleh Borat, lalu mereka pergi ke dokter untuk mengeluarkan bayi yang tertelan tersebut. Sampai di sini aku yakin kalian bisa membayangkan bagaimana kocaknya Borat dan Tutar memainkan keadaan yang mengetes keopen-mindedan dokter yang menangani mereka.

Borat 2 juga bercanda dengan twist yang mereveal penyebab sesungguhnya pandemi Corona

 
 
Kehadiran Tutar sebagai pemain kunci cerita bukan saja menghantarkan kritik terpenting yang disampaikan oleh film, melainkan juga berfungsi sebagai penanda eksplorasi lebih jauh yang dilakukan oleh film ini sehubungan dengan statusnya sebagai sekuel dari tontonan yang begitu berpengaruh terhadap rakyat Amerika itu sendiri. Mau tidak mau memang yang paling duluan kita ingat dari Borat adalah tingkah antiknya. Ucapan-ucapannya yang katro sekaligus porno. Sosok Borat udah jadi salah satu ikon pop-culture yang tidak mungkin tidak dikenali. Sekuel ini juga bermain-main dulu dengan hal tersebut. Ia menunjukkan kepada kita bahwa Borat udah jadi ‘selebriti’ di Amerika. Orang-orang di jalan pada berebut memanggilnya. Bahkan sudah dijual kostum untuk orang yang mau cosplay jadi Borat di malam halloween nanti. Hal ini hanya mendorong film Borat untuk merancang cerita yang lebih beda lagi, dan tokoh Tutar adalah jawabannya.
Resep keberhasilan sekuel Borat ini adalah tempat dan waktu. Tempat; Amerika sebagai negara yang supposedly berpikiran terbuka, memungkinkan cerita seperti Borat ini dilakukan. Membuat kelucuan yang datang dari kontrabalans antara aksi dan reaksi yang timbul dari mindset dan pola pandang yang mereka anut sendiri. Waktu; karena film ini begitu relevan. Ia mempermasalahkan hal-hal yang memang sedang kita hadapi sekarang. Menargetkan keadaan politik Amerika, dan tayang hanya sebulan sebelum election berikutnya di negara itu. Perihal covid, film juga berhasil memasukkannya ke dalam konteks cerita. However, jika kita melihatnya dari sudut lain, kita juga bisa bilang film ini berkat ke-happening-nya, bakal dengan cepat terasa out-of-date. Memang, hanya waktu yang akan menentukan. Namun kita bisa membayangkan bagaimana jika kita menonton film ini untuk pertama kali di tahun 2025, katakanlah saat pandemi sudah berakhir. Joke/pranknya mungkin tidak lagi semuanya mengena. Untuk perbandingan, film Borat yang pertama; meskipun tidak menonjol di tubuh narasi, ia diingat melalui prank2 sindiran Borat leading up ke dia nyulik Pamela Anderosn. Dan itu karena yang disindir Borat adalah kebudayaan Amerika di masa modern secara keseluruhan. Yang secara waktu, jangkauannya lebih luas. Kita masih mengingatnya. Aku pikir ketimeless-an tersebut lebih susah dicapai oleh film yang kedua ini. Also, film ini juga sedikit terlalu mengandalkan popularitas Borat itu sendiri, mengandalkan ke semua penonton sudah tahu siapa Borat itu sebelumnya.
 
 
 
Komedi satir dengan konsep yang menakjubkan. Luar biasa tajam, dan nekat. Film ini enggak ragu untuk ‘menipu’ narsumnya demi memberikan mereka pandangan yang lebih terbuka, penyadaran, dan merefleksikan kepada kita keadaan yang sebenarnya. Di balik itu semua, film ini masih mampu untuk menghadirkan drama ayah anak yang cukup dramatis dan mencuri emosi kita. Hanya komedinya yang mungkin gak untuk semua orang. Kasar, vulgar. Terutama untuk orang-orang yang kesindir langsung oleh gagasan film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian bisakah film seperti ini tercipta di Indonesia, mengingat iklim politik dan pola pikir orang indonesia itu sendiri? Apakah menurut kalian jurnalis seperti Najwa Shihab atau seniman seperti Sacha Borat Cohen ini melanggar etika ketika mengekspos ‘bintang tamunya’ sehingga jadi bahan olokan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GUNDALA Review

“We must preserve our humanity.”

 

 

Indonesia juga punya komik superhero. Coba tanya deh ke ayah, paman, atau kakak kalian yang remaja di tahun 70-80an saat komik-komik tersebut lagi berjaya. Siapa tahu mereka masih menyimpan dan kalian bisa membaca dan membandingkan dengan superhero dari luar. Jika tak punya, jangan khawatir. Karena Joko Anwar bersama Screenplay Pictures dan Bumilangit Komik berniat menghidupkan para pahlawan super lokal – dibranding ulang sebagai ‘Jagoan’ – dalam jagat sinema tersendiri. Bumilangit Cinematic Universe namanya.

Gundala adalah film pembuka franchise yang menjanjikan delapan film untuk Jilid I jagat sinema ini. Ini adalah origin story tentang ‘kelahiran’ pahlawan berkekuatan petir tersebut. Bahkan jauh sebelum si tokoh mendengar nama Gundala. Bingung? Seperti yang ia lakukan pada Pengabdi Setan (2017), sutradara Joko Anwar membuat sesuatu yang benar-benar baru dari materi asli yang ia adaptasi. Tidak seperti di komik, Gundala dalam film ini bukan Sancaka sang ilmuwan. Melainkan Sancaka hanya seorang anak pinggiran yang takut kesamber petir. Di waktu kecil, Sancaka menyaksikan ayahnya tewas ditusuk oleh kelompok sendiri saat berdemo. Kemudian Sancaka ditinggal oleh ibunya yang tak kunjung pulang ke rumah. Sancaka terpaksa pindah hidup ke jalanan. Kerasnya keadaan di kota yang nyaris tak menyisakan manusia bermoral, membuat Sancaka memegang teguh prinsip hidup ‘jangan percaya siapapun dan jangan mencampuri urusan orang’. Dia survive hingga dewasa dengan prinsip tersebut. Namun setelah mendapat kekuatan dari petir yang selama ini ia takuti, Sancaka diberikan pilihan untuk bangkit dan menjadi penyelamat bagi rakyat tertindas.

“Jangan percaya orang kaya karena Batman dan Ironman cuma ada di komik”

 

Gersang. Berdebu. Panas. Ganas. Begitulah dunia tempat tinggal jagoan kita digambarkan oleh film. Kehidupan rakyat jelata benar-benar keras. Penuh ketakutan dan persaingan. Gundala bukan film pahlawan super yang meriah oleh fantasi. Tone ceritanya malah sangat depressing. Bukan kurangnya air yang membuat kehidupan mereka kering, melainkan minusnya rasa kemanusiaan. Rating 13+ yang dicapkan bahkan menurutku tidak benar-benar sesuai dengan yang digambarkan oleh film. It should be higher. Sancaka sebagai anak kecil sungguh menderita hidupnya. Dia dikejar-kejar, dipukuli, diiris telinganya. I mean, at least Bruce Wayne punya banyak duit, kan. Dia mungkin punya banyak mainan dan elektronik untuk membantunya melewati hari. Sancaka tidak punya apa-apa. Bahkan dalam momen terdamai hidupnya – dalam tidur – dia terus bermimpi tragedi. Jika kalian punya masalah melihat kekerasan pada anak kecil, kalian bakal menemukan film ini cukup susah untuk disaksikan. Karena semuanya ditampilkan tanpa ditahan-tahan. Gebukan ke kepala di-close up. Hamparan darah di-zoom. Kalopun ada tusukan yang disembunyikan oleh kamera, itu hanya karena film ingin membuat pelakunya ambigu.

Tingginya level kekerasan, banyaknya adegan yang menunjukkan pembunuhan, pengeroyokan, penipuan, pengazaban, membuat film ini lebih pantas disebut sebagai thriller-aksi realis. Karena keadaan dunia yang dinampakkan sesungguhnya adalah komentar pembuat film terhadap keadaan dunia kita yang tampak baik-baik saja. Ada tusuk menusuk setiap hari, meski tidak berdarah. Ada orang berantem setiap hari, meski cuma di twitter. Ada saling hasut, saling menebar benci, di berbagai media. Menanamkan politik ketakutan. Dan juga tidak sedikit yang memilih untuk diam seperti Sancaka. Yang sedapat mungkin menjauh dari urusan orang, daripada ntar terseret ke dalam bahaya. Perjalanan Sancaka dalam film ini adalah perjalanan untuk menjadi oase di tengah kekeringan kemanusiaan. Naskah menggempor Sancaka habis-habisan. Abimana Aryasatya memberikan kegugupan yang tepat dalam menghidupkan tokohnya, ia menyambung estafet emosi dari Muzakki Ramdhan yang jadi Sancaka cilik, untuk kemudian meluaskan kembali jangkauan emosi tersebut. Dia diletakkan dengan segera di posisi paling naas yang mengharuskan dia untuk belajar survive. Dia belajar berkelahi. Namun pelajaran yang paling susah yang harus ia lewati adalah cara menumbuhkan keberanian untuk peduli kepada orang lain. Setelah itu tercapai, barulah dia bisa fokus belajar mengendalikan kekuatan petir yang ia punya.

Untuk tujuan itu, cerita memasangkan Pengkor sebagai lawan – antitesis – dari Sancaka. Pengkor, yang separuh tubuhnya penuh luka bakar dan berjalan pincang, adalah bos dari ratusan anak-anak jalanan yang menyimpan dendam terhadap kemanusiaan. Pengkor menyusup ke lapisan atas, menanamkan orang-orangnya, dan berusaha mengatur negara sesuai dengan idealismenya. Dengan masa lalu yang mirip, bahkan lebih tragis. Pengkor adalah Sancaka jika ia tidak pernah sadar dari prinsip hidup jalanan yang ia pegang. Jika Sancaka memilih untuk menjadi hero untuk alasan yang salah. Karakter Sancaka dan Pengkor dikembangkan dari teori ‘wounds and lie’. Mereka sama-sama punya trauma yang menyebabkan mereka percaya pada satu hal yang salah. Namun Sancaka yang menyadari kesalahannya, dengan segera menjadi oposisi dari Pengkor. Pendekatan yang diambil film terhadap dua karakter ini mirip sama hubungan antara Joker dan Batman. Begitu miripnya, aku sebelum film dimulai bertaruh dengan temanku bahwa monolog “harapan bagi rakyat adalah candu” (dibawakan oleh Bront Palarae dengan nada rendah khas tokoh penjahat utama saat mengintimidasi protagonis) pada trailer sesungguhnya terjadi pada adegan Pengkor ngobrol dengan Sancaka – seperti monolog Joker kepada Batman di dalam sel di The Dark Knight (2008). Dan saat menonton aku menyesal tidak mempertaruhkan hal yang lebih signifikan, karena ternyata tebakanku benar.

Gundala mengajarkan penontonnya, yang sepertinya banyak orang dewasa, untuk tidak memelihara antipati terhadap sekitar. Karena saat kita memutuskan untuk tidak menolong siapa-siapa, kita sebenarnya juga tidak menolong diri kita sendiri. Kemanusiaan adalah satu-satunya hal yang dapat membuat zaman panas yang edan ini menjadi sejuk. Maka, jangan biarkan sikap itu mengering.

 

Gundala memang seperti superhero luar. Kekuatan Gundala original basically adalah gabungan dari Thor dan The Flash (dalam film ini hanya Thor, walaupun film sempat seolah membuild up kemampuan lari Sancaka lewat beragam adegan yang menunjukkan dirinya dikejar-kejar). Tokoh-tokoh jagoan legendaris di komik-komik lokal kita memang banyak kemiripan dengan tokoh Marvel maupun DC. Aku sebenarnya tidak ingin membanding-bandingkan, tetapi toh filmnya sendiri yang seperti memohon untuk kita bandingkan dengan film-film superhero yang lebih superior, dengan jagat sinema dan segalanya itu. Gaya dan arahan Joko Anwar klop sama gaya kelamnya DCEU. Yang menurutku bisa saja bekerja dengan maksimal. Tone gelap dapat menutupi kelemahan CGI. Aksi-aksi fantastis dari kekuatan superhero simply bisa disubsitusi dengan aksi pertarungan berbasis martial arts; serupa aksi yang pernah membuat film laga Indonesia mendapat pengakuan dari penonton mancanegara. Film melakukan porsi aksinya dengan baik. Meski ada beberapa efek CGI yang mestinya tidak perlu nekat dilakukan karena hasilnya memang tidak tampak meyakinkan. Ngaku deh , masa sih kalian gak tertawa melihat efek Sancaka jatuh dari atas gedung.

Daerahnya sering hujan tapi kenapa tetep terlihat kering dan gersang ya?

 

Dialog yang terdengar lebih ‘tinggi’ daripada tokoh yang mengucapkannya adalah khas Joko Anwar. Dalam film ini kita akan melihat anak kecil ngobrol soal dewan legislatif, yang seketika bikin aku ngakak terlebih karena teringat anak kecil di Pengabdi Setan nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’. Namun ‘ketinggian’ dialog itu pas dengan tone cerita. Jika film komit ke arah gelap dan gritty itu, maka akan tidak ada masalah. Namun sepertinya keinginan mereka untuk menjadikan film ini sebagai langkah awal – seperti Ironman sebagai pembuka MCU – malah berbalik menjadi bumerang. Karena tentu saja studio butuh jaminan film bakal laku. Jadi, Gundala yang semestinya bakal bekerja dengan baik di ranah dark and violentnya harus ada sedikit humor dan appealing buat lebih banyak orang. Maka film ini memilih untuk mencampurkan tone ala DCEU dengan sisipan guyon ala MCU. And it doesn’t mesh well together.

Lelucon-lelucon yang dimasukkan ke dalam dialog dan adegan menyebabkan film terdengar canggung. Terkadang memaksa kita untuk tertawa, padahal seharusnya kita meresapi subteks yang dikoarkan. Selain itu, lelucon ini membunuh karakter. Karena semua tokohnya jadi terdengar sama. Mereka ngomong singkat-singkat. Saling menjawab cepat-cepat. Dan pada satu titik, campuran tone cerita ini, membuat kita tak yakin kejadian penting di film harus dianggap serius atau tidak. Aku gak enak ngasih spoiler banyak, tapi pada poin muncul serum perusak moral (yea you read that right), aku benar-benar gak tahu harus ketawa atau tidak. Karena dampak dan semua yang berhubungan dengan kejadian serum itu tampak obviously make no sense, tapi film tetap lanjut karena itu adalah bagian dari rencana super jahat. Tega sekali film menggambarkan rakyat sebego itu, tapi mungkin memang di situlah letak kritikan tajam film ini terhadap keadaan sosial yang gampang terpancing. Lagian, karena semua penduduk film ini ditampakkan sudah rusak moralnya sedari awal, aku merasa susah untuk peduli dan menganggapnya serius.

Cerita bergerak terlalu cepat untuk dapat memberikan arti pada masing-masing tokoh yang muncul. Ada banyak yang seperti tokoh penting – dimainkan oleh aktor mumpuni – namun ternyata terbang menghilang begitu saja. ‘Algojo-algojo’ Pengkor itu hanya tubuh saja. Karakterisasi mereka ya hanya gimmick masing-masing. Peduli apa sama nama mereka, atau apakah mereka ada di komik atau enggak, film hanya memperkenalkan mereka sebagai Si Jurus Nari, Si Mahasiswi Bersenjata Tas, Si Dua Golok Gede. Atau mungkin nama mereka memang seperti itu, kayak tokoh-tokoh di cerita silat Wiro Sableng. Aku gak tahu. Kepedulian film memberi karakterisasi pada mereka toh juga cukup sampai di sana.

Kupikir itu semua berkaitan dengan keinginan film untuk membangun jagat sinematik. Mereka memperkenalkan tokoh, hanya untuk memancing kita nonton film berikutnya. Karena kemungkinan tokoh tersebut bakal dijelasin di sana. Dan menjamin kepada studio banyak orang bakal nonton terus karena penasaran. Kapitalis sekali, sih. Tapi memang seperti itulah industri film mainstream bekerja. Mengekor cara sukes MCU. Jangankan tokoh-tokoh seperti Ghazulnya Ario Bayu yang tampak meta sekali karena mengetahui seluk beluk cerita Gundala, atau tokoh Sri Asih yang muncul hanya sekelebat untuk mengingatkan kita kepada Wonder Woman, atau tokohnya Tara Basro yang sepanjang film menuntut untuk ditolongin, penjelasan kenapa petir mengincar Sancaka sedari kecil aja tidak dapat kita temukan dalam cerita origin ini. Karena disimpan untuk film berikutnya. Kalo film pertama ini laku. Dan kita harus membuat film ini laku untuk menjawab pertanyaan yang sengaja dibiarkan menganga tersebut. Pace film tampak tergesa-gesa seolah filmnya sendiri pengen cepat-cepat sampai ke sepuluh menit terakhir. Ke bagian yang menggoda penonton untuk episode selanjutnya.

 

 

Joko Anwar’s attempt at superhero franchise is dark, violent, and really gritty. Rasa lokal yang dihadirkan mampu memberikan warna baru yang membuatnya berbeda. It is a Jagoan movie, after all. Tapi di saat bersamaan, gaya yang diambil dalam usahanya untuk tetap berada di ranah mainstream demi menjual lebih banyak film-film berikutnya, membuat film ini terasa seperti memirip-miripkan diri dengan gaya film pahlawan super yang lebih sukses. Karakter-karakternya tak tampak benar-benar hidup. Mereka hanya melanjutkan adegan demi adegan yang berpindah-pindah dalam tempo cepat. Sancaka dan Pengkor cukup maksimal – malah Pengkor sempat bertindak kayak John Kramer si Jigsaw dengan death trapnya – tapi ada banyak lagi yang tampak penting ikut ditampilkan. Aku ingin melihat mereka lebih banyak, mendengar mereka lebih banyak. Pada akhirnya kejatuhan bagi film ini adalah mereka juga mengerahkan tenaga untuk membangun universe di depan membangun satu cerita ‘kecil’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GUNDALA

LONG SHOT Review

“The only way a journalist should look at a politician is down”

 

 

 

Apakah Amerika segitu begonya sehingga memilih seorang aktor sebagai pemimpin negara?

Lelucon semacam itulah yang bakal kita jumpai dalam komedi romantis berpanggung dunia politik yang digarap oleh Jonathan Levine ini. Lelucon-lelucon yang bakal berubah menjadi sindiran begitu kita mencoba menjawabnya. Lantaran apa yang tadinya terasa seperti sebuah long shot – sesuatu yang gak mungkin – ternyata jauh lebih pendek jaraknya dengan kenyataan hari ini. Segala keanehan yang tampak berakar dari fantasi konyol pembuat film ini bisa jadi adalah komentar bahwa yang telah terjadi di dunia justru lebih aneh lagi.

Fantasi itu dimulai dari Charlotte Field (I would vote for Charlize Theron, really) Sekretaris Negara yang mendengar kabar menggembirakan dari Presiden. Beliau bakal mengejar karirnya di perfilman sehingga Field berkesempatan lebih cepat empat tahun dari targetnya untuk menjadi presiden wanita pertama di Amerika. Dengan ‘tim sukses’nya, Field memulai merancang rencana supaya mendapat banyak simpati publik. Hal pertama yang harus Field benahi adalah daya humornya, untuk mengimbangi kecerdasan dan kemampuannya, you know, karena dia adalah wanita. Di sinilah masuk Fred Flarsky (Seth Rogen teteup nge-Seth Rogen) dengan fantasi masakecilnya. Field Remaja dulunya adalah babysitter Flarsky. Tentu saja, Flarsky ternyata diam-diam naksir berat sama kakak pengasuhnya yang cerdas tersebut, bahkan hingga sekarang, setelah mereka dewasa dan Field nyaris menjadi orang nomor satu di sana.  Dan Flarsky? Well, dia masih cupu walau kini dia seorang jurnalis. Tertarik dengan gaya bahasa artikel Flarsky yang vulgar tapi kena-sasaran, Field mengajak pria berjenggot tersebut untuk menjadi penulis pidato pribadinya. Bersemilah kisah cinta yang mustahil antara jurnalis berintegritas dengan politisi yang mementingkan citra demi elektabilitas.

romantis atau sauvinis?

 

Ultimately, kita penonton adalah penentu arahan seperti apa yang sebaiknya diambil oleh film. Sutradara Levine paham bahwa ketika penonton membeli tiket untuk romance komedi, bukan komentar atau gagasan atau kritik yang ingin disampaikan oleh filmlah yang membuat penonton geregetan. Melainkan adalah pesona dari dua karakter yang saling jatuh cinta. Dalam film ini, kita dapat Field dan Flarsky yang memang tampak manis dan cute bersama. Theron sendiri tak pernah tergagap bertransisi dari memerankan woman in power yang serius ke cewek tetangga-sebelah yang atraktif, dan sangat kocak melihat tokoh ini ketika dua sisi hidupnya bercampur menjadi satu. Bayangkan saja gimana jadinya ketika Sekretaris Negara bernegosiasi dengan teroris, dalam keadaan teler. Momen-momen ketika dia menari bersama Rogen dalam alunan lagu Roxette masih tampak meyakinkan, kita bisa merasakan jejak-jejak cinta monyet masa awal-remaja mereka yang perlahan membesar. Rogen pun cukup bijak untuk menurunkan kenyelenehan sedikit demi menyeimbangkan dengan porsi Theron. Tapi yaah, komedi film ini masih tetap tergolong raunchy, juga masih ada ganja yang berpartisipasi, dan aku turut menyesal buat keluarga yang duduk di barisan di depanku yang mengajak anak balita mereka untuk nonton ikut serta.

Namun begitu, mengatakan seting politiknya duduk di kursi belakang demi cinta-cintaan sebenarnya agak kurang tepat juga. Setiap karakter dalam film ini hidup dan bernapas dari pandangan politik mereka, or at least ideologi mereka. Konflik antara Field dan Flarsky tercipta dari perbedaan value di antara mereka. Personifikasi dari sebuah hubungan klasik antara jurnalisme dan politik. Ini menarik, karena dua kubu tersebut tidak semestinya berjalan bersama. Hubungan di antara mereka seharusnya adversarial. Berlawanan. Politisi bekerja mengarahkan pikiran masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Jurnalis bekerja untuk memberitahu kebenaran kepada masyarakat. Politisi seperti Field butuh untuk membangun imej. Sedangkan kerjaan Flarsky adalah mengekspos apa yang ada di balik imej tersebut. Namun, dua orang ini bersedia untuk bekerja sama, karena ada cinta di antara mereka.

Lewat kisah romantis dua tokoh ini, sepertinya film ingin mengatakan kepada kita wartawan dan politisi bisa kok saling cinta, tanpa melahirkan berita-berita hoax sebagai buah cintanya. Itu, atau sebenarnya film ingin melontarkan sindiran. Bahwa satu-satunya waktu ketika jurnalis dan politisi saling cinta adalah ketika sang jurnalis tidak lagi bekerja untuk publik.

 

Skrip film ini memang cukup cerdas, tapi semakin cerita bergulir, ketidakseimbangan semakin besar kita rasakan. Seolah ada satu fantasi yang lebih long shot ketimbang yang lain. Menurutku, imajinasi cerita film ini pada akhirnya menjadi bumerang karena naskah punya tuntutan. Tokoh utama yang baik haruslah yang lebih banyak melakukan pilihan, yang lebih banyak melakukan usaha. Film ini melakukan dengan benar. Kita melihat pilihan-pilihan yang dibuat oleh Field menggerakan alur cerita. Kita melihat perubahan pada dirinya. Yang malah bisa diartikan sebagai perjuangan wanita untuk menjadi presiden itu memang berat. Ada standar tinggi yang harus dilewati, karena politisi seperti Field harus bertanggung jawab kepada partai atau pendukungnya selain kepada pandangan sendiri. On the other hand tho, fantasi Flarsky yang lebih sepele, terlihat lebih mungkin. Tidak ada yang perlu diubah secara drastis.

Gagasan film ini malah jatohnya melempem karena mereka tidak membuat ruang supaya dua fantasi tersebut tampak seimbang. Yang pada akhirnya menimbulkan hal yang membuat kita semua khawatir. Mengapa Field – yang pintar dan punya kuasa – rela mempertaruhkan banyak hal demi bersama dengan orang seperti Flarsky? Ini tidak akan membuat Field look good, dari segi cerita. Film malah seperti membanggakan ada ayah-negara pertama ketimbang presiden wanita pertama, dan si ayah-negara itu masihlah seorang yang sama dengan orang di awal film, yang berkata vulgar, yang ngeganja – how is this make a country better? Kedua tokoh tersebut tampak seperti kehilangan integritas masing-masing di akhir cerita, dan semua itu terjadi karena rakyat yang digambarkan punya soft spot buat romantisme.

also, kritikan buat yang bikin subtitle di cineplex 21; film yang kutonton tadi banyak banget arti kata-kata yang salah

 

 

 

Mengangkat panggung yang menarik buat sebuah drama cinta komedi. Sayangnya film kurang berhasil menyeimbangkan aspek-aspeknya. Elemen romance-nya lebih berhasil, dan sekiranya memang hanya itulah yang akan dibawa pulang oleh penonton. Tetapi toh film mencoba untuk mengangkat satir politik lewat fantasi-fantasi yang mungkin terlalu jauh untuk benar-benar berhasil didaratkan. Pertanyaan yang terangkat dari arc tokoh utama menghasilkan jawaban yang enggak jelas baik atau buruknya. Yang lebih pasti justru hanya soal cowok yang bisa mendapatkan cewek yang diidam-idamkan – enggak peduli betapapun jauh posisi mereka. Film sukses menghasilkan yang manis-manis, tapi gagal mewujudkan janji-janji fantasinya. Hmm.. tau gak ini mengingatkan kita kepada siapa? Para politisi!
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for LONG SHOT.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian hubungan antara jurnalis dengan politisi sebaiknya? Kalo disuruh memilih antara koran tanpa pemerintah dengan pemerintah tanpa koran, kalian lebih memilih yang mana? Kenapa?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.