INANG Review

 

“A lot of times, we are trapped by our own false sense of security.”

 

 

Rilis di tanggal 13, angka dianggap banyak orang sebagai angka sial, Inang sendiri memang bicara seputar mitos malapetaka atau kesialan. Ada sebuah hari yang menurut penanggalan Jawa disebut sebagai Rebo Wekasan. Beberapa orang percaya di hari Rabu terakhir bulan Safar tersebut, diturunkan berbagai bala alias hal-hal negatif. Sampai-sampai, bayi yang terlahir pada hari atau tanggal tersebut harus diruwat, supaya terhindar dari nasib naas. Perihal anak yang lahir Rebo Wekasan tersebut dikemas oleh Fajar Nugros menjadi cerita pengalaman horor seorang perempuan yang hendak melahirkan. Sementara horor itu sendiri, bagaikan anak pertama bagi karir penyutradaraan Fajar Nugros, sehingga kita bisa merasakan sesuatu yang spesial coba untuk disajikan. Karena scare dalam Inang tidak sebatas hantu-hantuan, melainkan scare yang lumayan kaya. Kengerian Inang menguar dari gambar-gambar dan perasaan, yang seringkali mengontraskan antara kenyamanan dengan sesuatu yang lebih mengancam di baliknya.

Inang yang tayang perdana di Bucheon International Fantastic Film Festival, Juli lalu, memang bercerita terbaik saat membahas persoalan Wulan. Sang perempuan yang di ambang melahirkan bayi seorang diri (karena lakiknya ogah tanggungjawab). Masalahnya, Wulan bukan orang dengan ekonomi yang stabil. Dia cuma kasir supermarket. Jadi Wulan benar-benar mencemaskan nasib bayinya. Alih-alih aborsi, sebagai langkah terakhir, Wulan ikut program ibu asuh yang dia temukan di facebook. Di situlah Wulan dipertemukan dengan pasangan suami istri tua yang manis dan perhatian banget, yang bukan saja bersedia mengadopsi bayi tapi juga merawat dan membantu proses Wulan melahirkan di rumah mereka yang sangat berkecukupan. Wulan boleh saja merasa aman (dan sangat nyaman), tapi mendadak dia mulai dihantui mimpi buruk di rumah tersebut. Ada sesuatu yang aneh pada pasangan suami istri itu. Sesuatu di balik ritual-ritual yang harus ia jalani atas saran mereka, membuat Wulan tak lagi merasa bisa mempercayakan keselamatan dirinya dan anak yang dikandungnya kepada mereka.
Si Ladybug Bullet Train lahirnya di Rabu Wekasan juga deh pasti!

 

Meskipun gak spesifik menyebut diri sebagai sutradara komedi, toh Fajar Nugros memang punya kecenderungan mengolah drama berbau komedi. Dari Yowis Ben hingga Srimulat (2022) ia cukup piawai bermain di nada komedi. Dan di film Inang ini kita bisa merasakan insting komedi cukup berhasil juga menghantarkannya mengolah drama horor, hampir seperti keberhasilan horor filmmaker di luar yang berangkat dari komedi. Dalam Inang, Nugros keliatan punya ketajaman komentar sosial serupa yang dilakukan komedian Jordan Peele waktu bikin thriller horor Get Out (2017). Nugros juga mengisi layarnya dengan celetukan, gagasan, pandangan terhadap keadaan sosial. Terutama, soal perempuan kelas pekerja. Gimana perempuan-perempuan seperti Wulan harus melakukan sesuatu yang ‘ekstra’ untuk mencari nafkah. Memang komentar-komentar yang diselipkan tersebut lebih baik tidak banyak dibeberkan, lebih baik dibiarkan untuk penonton menemukan sendiri, tapi jelas, Nugros benar-benar bersenang-senang dengan gambar-gambar dan situasi yang ia masukkan. Image-image dalam film ini kayak punya sesuatu celetuk di baliknya. Cover buku yang menyebut ibu dan negara, misalnya. Atau bahkan ada selipan promo buat projek film Nugros berikutnya. Selain itu tentu saja film ini juga punya gambar-gambar horor, yang juga sama-sama ‘fun’. Nugros juga perlihatkan kedalamannya membuat adegan beratmosfer. Satu kali, dia menyelingi adegan Wulan masuk ke rumah ibu asuh dengan shot seekor tikus masuk ke perangkap. Memberikan kita perasaan tak-nyaman yang sedari awal langsung menghantui bahwa Wulan juga sama seperti si tikus. Sedang masuk dalam perangkap. Bagi film ini enggak masalah kalo kita tahu atau bisa nebak duluan bahwa suami istri itu gak bener, karena perasaan uneasy kita terhadap Wulan-lah yang diniatkan. Sehingga dramatic irony muncul, dan kita jadi semakin peduli kepada apa yang terjadi kepada si tokoh utama.

Perihal casting juga sama funnya. Kita telah melihat gimana Fajar Nugros menyusun personil Srimulat sehingga benar-benar terasa menyerupai ruh aslinya. Dalam Inang ini, well, Nugros tampak mengcast pemain dengan ‘kejutan-kejutan’ yang bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan si aktor itu sendiri. Naysila Mirdad, yang dikenal penonton sebagai salah satu spesialis pemeran perempuan lembut teraniaya, diberikan tweak pada karakter yang ia perankan di sini. Wulan yang ia perankan juga basically perempuan ‘teraniaya’; kekurangan duit, coba dimanfaatkan oleh lelaki, hingga dijebak ke situasi mengerikan oleh orang yang tampaknya baik. Belum lagi, nyaris seluruh durasi dihabiskannya dengan begitu vulnerable sebagai orang hamil. Tapi Wulan bukan karakter lembut. Foul mouth, malah. Ini, aku bisa lihat, jadi semacam kejutan kecil yang menyenangkan bagi penonton karena diperlihatkan sisi lain dari tipe karakter yang biasa. Naysila sendiri juga tampak have fun bermain sebagai Wulan ini. Dia menjaga aktingnya tetap natural, sehingga walaupun di luar kebiasaan, penonton tidak merasa aneh melihat ‘karakter barunya’. Also, Nugros mengcast ibu asli Naysila, Lidya Kandou sebagai ibu asuh yang tampak baik tapi punya maksud gelap terselubung. Yang juga memberikan lapisan ‘familiar’ tersendiri terhadap kesan kita saat menonton. Nah kesan itu paralel dengan tema di dalam cerita, bahwa film ini – seperti rumah asuh bagi Wulan – menyambut kita hangat. Meninabobokkan kita dalam sense of familiarity, seperti Wulan yang merasa nyaman terlena dalam sesuatu yang menurutnya aman, kemudian baru-lah horor dan kengerian yang perlahan tapi pasti menerjang.

Dunia yang kita hidupi memang keras, makanya gampang bagi kita untuk terjebak sendiri ke dalam rasa aman dan nyaman. Bahkan ritual yang dilakukan itu sendiri juga adalah bentuk dari false security dari orangtua yang takut anaknya ketiban sial. Tapi terutama, film ini kayak ngasih lihat kontras antara rude atau kasarnya lapisan bawah ternyata jauh lebih baik karena setidaknya orang-orang di jalanan, yang vulgar dan tampak barbar, mereka lebih ‘jujur’ Tampil ada adanya. Ketimbang lapisan atas, higher power, yang seperti menawarkan hal yang lebih baik tapi punya maksud yang lebih buruk di balik segala kemanisan tersebut. 

 

Tema narasi tentang perempuan hamil yang berurusan dengan pasangan tua yang tampak terlalu ‘ramah’ ke jabang bayinya memang lantas mengingatkan kita kepada salah satu horor masterpiecenya Roman Polanski, Rosemary’s Baby (1968). Yang sayangnya bagi Inang. standar itu berarti cukup tinggi. Perbandingan dengan Rosemary’s Baby jadi mengungkap banyak kelemahan pada naskah film Inang, yang ditulis oleh Deo Mahameru. Terutama dari segi eksplorasi. Rosemary’s Baby yang tentang perempuan hamil mendapat perlakuan manis dari tetangganya, yang ternyata mengincar bayi dalam kandungan untuk cult pemuja setan, benar-benar menyelam ke dalam psikologis karakter utamanya. Si Rosemary dibikin bingung dan curiga kepada gelagat baik tetangganya, ada peristiwa yang ganjil yang terjadi berhubungan dengan mereka, ada yang aneh di balik sikap mereka, dan konflik digali film tersebut dari kecurigaan Rosemary ditantang oleh orang-orang sekitar yang justru menyalahkan dirinya yang dianggap tak stabil secara mental. Sampai ke titik dia sendiri percaya dia yang senewen. Film Inang, gak punya semua itu. Karena sedari awal, kita sudah dikasih momen dramatis Wulan masuk ke rumah orang jahat, misteri yang ada hanya soal apa yang sebenarnya terjadi. Dan film gak benar-benar melakukan banyak terhadap bagaimana misteri di sana akhirnya terungkap.

Nugrosemary’s Baby

 

Adegan mimpi banyak digunakan untuk memantik suasana horor. Dan kita semua tahu, adegan mimpi dalam horor atau thriller merupakan aspek yang tricky untuk dilakukan. Mimpi jadi bagus saat digunakan untuk menggambarkan psikologis yang mendera karakter. Horornya bisa jadi sangat sureal dan benar-benar disturbing. Film Inang, seperti yang telah kusebut, punya imageries yang kualitas top. Ada makhluk creepy juga yang sempat muncul dalam mimpi Wulan. Selama memang digunakan untuk memvisualkan ketaknyamanan atau kecurigaan Wulan yang kian membesar, adegan mimpi film ini bekerja dengan efektif. Hanya saja, selain itu, film juga membuat adegan mimpi yang memperlihatkan Wulan ketemu sama korban-korban ritual sebelum dirinya. Dan karena ini tidak disebut alasannya kenapa bisa Wulan melihat mereka, atau tidak pernah ditekankan bahwa memang ada hantu yang semacam minta tolong, maka adegan-adegan mimpi yang melibatkan hantu korban itu jadi hanya berupa cara gampang film meletakkan eksposisi saja. Ini tidak lagi jadi menambah buat film, karena malah meminimalkan ‘kerjaan’ Wulan. Dia hanya disuapi info lewat mimpi, dan kemudian lebih lanjut lagi film mengkerdilkan peran perempuan yang set up dan perjuangannya sudah bagus itu menjadi seorang dalam situasi damsel in distress semata.

Selewat paruh pertama, film memperkenalkan karakter anak dari pasangan suami istri asuh tersebut, yang diperankan Dimas Anggara, yang praktisnya menjadi hero dalam cerita.  Si Bergas ini bakal menyelematkan Wulan, cerita juga berubah menjadi tentang dirinya yang berkonfrontasi dengan apa yang dilakukan oleh orangtuanya selama ini, dia juga harus berdamai dengan siapa dirinya. Wulan, dengan segala permasalahan perempuannya, jadi tersingkirkan. Jadi hanya sebagai orang untuk diselamatkan. Dan baru di ending, Wulan dikasih transformasi yang bertujuan untuk mengembalikan kembali posisinya sebagai karakter utama.

Bukannya mau bilang aku bisa bikin cerita yang lebih bagus (because I can’t), dan terutama reviewer gak boleh bandingan satu film dengan cerita yang gak exist. Tapi aku hanya ingin pointed out bahwa yang dipilih oleh film Inang, membuat karakter utamanya kehilangan power. Gak ngapa-ngapain yang membuatnya ‘deserved’ the transformation. Film memilih untuk mereduce karakter utama perempuan menjadi ‘korban yang harus diselamatkan’ oleh karakter lain yang dibuat lebih pantas dan lebih berkonflik langsung dengan ritual dan mitos Rabu Wekasan. Aku hanya ingin menyebut bahwa narasi Inang gak mesti mentok seperti ini. Masih banyak pilihan yang bisa diambil untuk mengembangkan ini, untuk membuat karakter utamanya lebih deserved all that. Misalnya, mungkin dengan membuat bayi yang Wulan lahirkan pas ritual actually bayi terkutuk, like devil-kid. Sehingga di akhir, rumah itu jadi chaos karena malapetaka yang dibawa, Wulan keluar dengan menderita, terluka juga oleh anaknya, dan dari perlawanan dia mempertahankan bayinya dari semua orang di sana. Yang jelas, Wulan membawa si anak yang she comes to love sehingga transformasi di akhir dia menjadi ibu pembunuh demi anaknya, jadi lebih dramatis, dan lebih well-earned. Masih ada cara untuk membuat Wulan gak ketinggalan action, dan tetap kuat sebagai tokoh utama. Plus mimpi-mimpi Wulan jadi ada musababnya dengan jika si anak dibuat ternyata berkekuatan gaib.

 

 




Cerita tentang perempuan yang mengusahakan kelahiran bayinya, di tengah kesulitan duniawi yang menghimpit, sehingga akhirnya terjebak ke dalam bujuk rayu ritual sesat sesungguhnya adalah materi horor thriller yang demikian dramatis. Film ini punya bahan-bahan yang tepat untuk menjadi drama mengerikan yang membuahkan banyak gagasan lewat komentar-komentar sosial. Bagusnya lagi, film ini bijak untuk tidak menjadi wahana rumah hantu, melainkan benar-benar menguatkan di atmosfer dan pada perasaan uneasy dan kelam sebagai faktor ketakutan nomor satu.  Sialnya, cerita ini tidak dibesarkan dengan benar-benar fokus di situ. Film berpindah ke masalah karakter lain, dan actually mengesampingkan permasalahan karakter utama. Hingga ke titik dia tidak benar-benar melakukan apapun, selain diselamatkan. Dan ceritanya dibuat melingkar begitu saja sebagai shock di akhir semata. Itu yang membuatku jadi tidak benar-benar bisa menyukai drama horor ini. Formulanya padahal sudah benar, protagonis yang melewati ketakutan sedemikian parah, babak belur fisik dan mental, sehingga ‘bertransformasi’ oleh horor yang ia lalui. Tapi film ini shift ke karakter lain, dan karakter utamanya skip gitu aja langsung ke ‘transformasi’. Ada denyut yang hilang di nada horor film ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INANG

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya sama yang namanya hari sial? Bagaimana pandangan kalian soal kesialan itu sendiri?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PIECES OF A WOMAN Review

“It is better to plant good seeds than to mourn bad weather”
 

 
 
Tiga puluh menit pertama film Pieces of a Woman akan actually mencabik-cabik perasaan kita sehingga menjadi serpihan-serpihan. Aku nonton ini cuma ‘modal’ info bahwa di film ini akting Vanessa Kirby worthy banget untuk disaksikan. Aku tahunya cuma ini adalah cerita tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya. Jadi aku udah siap bakal dapat cerita sedih, tapi aku certainly gak nyangka yang kusaksikan ini bakal begitu devastating.
Menit-menit awal cerita berlangsung cepat. Kita ngeliat karakter suami dan istri, dalam kerjaan mereka masing-masing, bersiap pulang – dengan harapan bayi mereka bisa lahir kapanpun at this point of time. Ketika mereka di rumah, kita melihat adegan yang hangat. Sean menguatkan Martha yang perutnya mulai ‘beraksi’. Mereka ngobrol dan bercanda. Mereka tampak udah siap banget, semua sudah direncanakan. Team work, begitu kata Sean dan Martha dengan kompak. Namun manusia memang hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. Air ketuban Martha malam itu pecah, sebelum waktunya. Perutnya berkontraksi hebat – dengan rasa sakit yang jauh dari perkiraan Martha. Dan bidan yang datang membantu persalinan bukan bidan langganan mereka, melainkan bidan pengganti karena bidan yang satu itu sedang dalam proses bersalin pasien yang lain. Segala ‘rusuh’ malam melahirkan ini ditampilkan oleh sutradara Kornel Mundruczo lewat sekuen unbroken yang panjang. Sehingga kita seperti berada langsung di rumah itu, menyaksikan keriwehan. Merasakan emosi dan panik dan bingung dan luapan perasaan lainnya yang menerpa pasangan tersebut. Aku juga gak tahu proses melahirkan itu seperti apa, sehingga ketika bidan di film ini berusaha menenangkan semua itu normal, aku juga berusaha tenang. But things do escalate quickly.
Dan ketika tragedi itu bener kejadian – film mengadegankannya dalam cara yang sangat hearbreaking – aku sadar menyaksikan semua itu dengan menahan napas!

Babak pertama paling horor!

 
Sekuen melahirkan yang horor itu ngeset ‘cerita sebenarnya’ film ini. Yakni tentang seorang perempuan yang harus menghadapi kehilangan dan duka. Trauma yang harus berani ia hadapi. Pertanyaan yang menggantung adalah bagaimana Martha mengarungi hari-hari berikutnya. Apa pengaruh peristiwa tersebut bagi ‘kerja tim’ Martha dan Sean. Untuk menekankan bahwa rest of the movie sesungguhnya bahkan lebih naas lagi bagi para karakter, maka film mengontraskan suasana. Suasana hiruk pikuk pada babak pertama tadi tidak akan pernah kita temui lagi. Digantikan oleh atmosfer yang sebagian besar diam, tapi menyayat hati.
Semua itu sesungguhnya tercapai berkat penampilan Vanessa Kirby sebagai Martha, yang ternyata benar-benar luar biasa. Selain tampak begitu meyakinkan memainkan orang yang kesusahan dalam proses melahirkan, Kirby juga juara bermain emosi dalam diam – lewat tampilan ekspresi saja. Kita bisa melihat derita dari matanya. Kita bisa melihat bekas peristiwa itu membentuk perilaku hingga ke raut wajah Martha. Detil kecil seperti kedutan di pipi saat karakter ini mengatakan sesuatu gives us away perihal yang sebenarnya ia rasakan – dan saat itu yang ia katakan adalah hal yang berlawanan dengan yang ia pendam. Kirby paham bahwa karakternya ini punya coping mechanism berupa memendam trauma tersebut. Bahwa bagi karakternya ini kejadian menyedihkan tersebut akan berlalu jika ia simpan di hati, sehingga ia berusaha menjalani hidup secara normal. Kita melihat Martha masuk kerja gitu aja, membuat heran semua orang yang masih menatapnya dengan prihatin. Martha mengira dengan membuat keputusan seperti menyerahkan jenazah bayinya untuk bahan penelitian alih-alih dikuburkan dengan proper, maka itu berarti dia kuat dan move on. Namun justru sikapnya yang demikian itu yang membuatnya kian berjarak dengan orang-orang terdekat yang peduli kepadanya. Martha jadi renggang dengan suaminya. Martha juga bahkan jadi lebih renggang lagi dengan ibunya sendiri.
Film menganalogikan hubungan Martha dan keluarganya dengan pembangunan jembatan. Transisi dari satu periode waktu ke waktu yang lain oleh film ini dilakukan dengan menampilkan shot jembatan yang sedang dibangun. Ini menyimbolkan Martha itu sendiri; yang tadinya berjarak kemudian seiring berjalan waktu akan tersambung dengan orang lain, seperti jembatan itu yang seiring waktu terkonek dengan sisi seberang. Film ini menunjukkan proses Martha dalam ‘menyambung’ kembali dirinya dengan dunia luar. Proses itu sendiri disimbolkan oleh film sebagai apel. Kita akan melihat Martha gemar makan apel, sampai-sampai dia lalu memutuskan untuk mencoba menanam biji apel. Tindak menanam ini paralel dengan sikap Martha yang memendam. Apel itu sendiri juga akhirnya menjadi kunci dari perjalanan acceptance Martha. Mungkin Martha menanam apel karena naluri untuk membesarkan sesuatu, tapi yang lebih penting adalah tindakannya tersebut menunjukkan bahwa Martha lebih memilih untuk membesarkan suatu kehidupan ketimbang membesarkan dendam atau permasalahan. Dan seperti jembatan yang semakin tersambung, bibit apel yang ia tanam juga semakin membesar. Hingga benar-benar menjadi pohon rindang seperti yang kita lihat pada ending. Film memang meninggalkan banyak pertanyaan di ending tersebut (nasib akhir beberapa karakter ataupun perihal kemunculan karakter baru), tapi yang diperlihatkan olehnya sudah lebih dari cukup. Karena ending itu membuktikan pertumbuhan dari karakter Martha; hasil yang positif dari perjuangannya bergelut melawan grief dan trauma.

Apa yang kita tanam pada masa-masa sulit, akan tumbuh untuk dipanen menjadikan masa-masa yang bahagia. Perjalanan-inner Martha memperlihatkan kepada kita bahwa lebih baik untuk menanam harapan daripada meratapi kejadian buruk yang telah terjadi

 
Pieces of a Woman memang bekerja terbaik saat memperlihatkan Martha yang berjuang menyembuhkan dirinya keping demi keping. Hanya saja, film sering tidak komit terhadap ini. Sudut pandang ceritanya, terutama setelah babak pertama itu, akan sering berpindah-pindah. Aku paham bahwa film ingin mengontraskan proses grieving Martha dengan Sean suaminya, untuk memperlihatkan betapa dahsyatnya efek peristiwa kematian anak tersebut. Shia LaBeouf juga bermain dengan sepenuh hati sebagai Sean yang memilih untuk meluapkan derita, alih-alih memendam. Kita lihat karakter ini berpaling ke alkohol, sering bertindak kasar, dan bahkan sampai selingkuh. Aku paham kepentingan untuk menggali karakter ini. Namun, seringkali Sean jadi menutupi kita ke Martha itu sendiri. Karena Martha yang didesain untuk jadi distant dengan setiap orang, dan Sean yang lebih terbuka, membuat film ini malah jadi seperti cerita yang nonjolin Sean. Dengan kata lain, tidak lagi konsisten dengan sedari awal. Kita malah jadi tidak diperlihatkan banyak mengenai siapa si Martha itu. Ambil contoh adegan opening. Sean malah lebih banyak dibahas, kita melihat dia berinteraksi di lingkungan kerjanya. Informasi dia punya istri, yang mau melahirkan, lalu kemudian hubungan dirinya yang pekerja kuli dengan mertua yang kelas jet-set, semuanya terangkum dalam sepuluh menit pertama. Sedangkan, karakter utama film ini – si Martha – informasinya sudah sedikit di awal. Kita hanya melihat dia berjalan pulang dari kantor, tanpa jelas apakah dia gugup melahirkan, apakah dia excited, apakah dia hanya kecapekan.

Aku kalo dilempar bola pasti langsung bales nimpuk pake apel!

 
Mengenai mertua Sean, alias ibu Martha; juga sama. Karakter ini lebih banyak dibahas hubungannya dengan Sean. Ibu Martha gak suka sama Sean, dan Sean menganggap beliau melecehkan posisinya sebagai kepala keluarga. Tapi kedua karakter ini mau untuk ‘bersekongkol’ demi Martha. Bahasan kedua karakter ini lebih kompleks. Sedangkan hubungan si Ibu dengan Martha hanya dirangkum lewat satu adegan monolog – yang aku akui cukup emosional. Kita lebih banyak melihat mereka melihat Martha, ketimbang melihat Martha itu secara langsung. Dan ini jadi mengecilkan karakter Martha itu sendiri. Film ini harus menyadari betapa beruntungnya ada Vanessa Kirby yang menghidupkan karakter Martha jauh beyond apa yang ditampilkan pada naskah. Karena naskah hanya meniatkan kita untuk melihat Martha sebagaimana Sean dan Sang Ibu melihatnya. Sebagai pribadi yang dingin, yang berjarak, yang mengambil keputusan aneh. Berpindah-pindah sudut pandang itu membuat journey film tidak lagi clear. Kita baru hanya akan mengerti pada apa yang dirasakan Martha sebenarnya – pada apa yang kubicarakan di atas – pada saat menjelang akhir. Ketika Martha membuka diri dan membuat pilihan di persidangan yang tadinya beragenda menuntut bidan yang membantunya melahirkan.
 
 
 
Jadi aku pikir film ini sesungguhnya bisa sangat emosional, jika fokus menempatkan kita kepada sudut pandang Martha. Namun film ini mengambil penceritaan yang aneh, membuat kita berpindah-pindah, malahan membuat kita ikut merasa distant terhadap Martha. Bukannya distant bersamanya. Padahal film butuh untuk kita lebih banyak ikut merasakan kontemplasi Martha. Bukan sekadar sebagai revealing atau solusi instan di akhir cerita. But I do like the first act. Tiga puluh menit pertama itu benar-benar cocok dibikin dengan menempatkan kita sebagai penonton yang melihat semua. Sehingga emosinya benar-benar terasa.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PIECES OF A WOMAN.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa makna kepergian Sean bagi pertumbuhan karakter Martha? Bagaimana tanggapan kalian mengenai dinamika keluarga yang digambarkan oleh film ini; realistis atau tidak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

NEVER RARELY SOMETIMES ALWAYS Review

“A person’s right to abortion is a person’s right to their own body”
 

 
 
Sebelum Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dicabut dari prioritas polegnas, bapak-bapak dan ibu-ibu Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat mestinya menonton film Never Rarely Sometimes Always karya sutradara wanita Eliza Hittman supaya bisa ngerti pilu dan sepinya perjalanan seorang korban kekerasan seksual mengarungi sistem dan ranah sosial.
Autumn (debut akting yang luar biasa dari Sidney Flanigan) merahasiakan kehamilannya dari keluarga. Tentu saja. Remaja tujuh-belas tahun manapun pasti akan dihukum dan dipersalahkan duluan jika mengadu dirinya mengandung anak sebelum waktunya. Jangankan begitu, nyanyi sambil curhat di talent show sekolah aja Autumn dihujat kok. Sehingga Autumn memutuskan untuk ‘mengurus’ perut mblendungnya seorang diri. Sayangnya, peraturan klinik atau rumah sakit di kota dan negara bagian tempatnya tinggal mengharuskan Autumn untuk didampingi oleh orangtua. Ini membuat Autumn harus pergi ke New York, yang peraturan aborsinya sudah lebih luwes. Maka berangkatlah Autumn bersama sepupunya yang sangat suportif, Skylar (Talia Ryder memerankan karakter yang lebih outgoing, mengimbangi tokoh utama yang tertutup).

Autumn tidak mengadu karena tahu ‘pembahasannya agak sulit’

 
‘Pelarian’ mereka selama beberapa hari itulah yang menjadi penyusun cerita film ini. Dua gadis belia mengarungi kota asing, tak pelak merupakan kiasan dari dua gadis yang memasuki usia dewasa dan segala masalah-masalahnya. Sulaman kiasan seperti itulah yang membuat film ini begitu menohok. Hittman dengan sangat cakap merajut kesubtilan sehingga film ini terasa sangat real. Tidak ada masalah yang dilebay-lebaykan di sini. Tidak ada plot poin yang “wow!”. Tidak ada pancingan-pancingan yang kelewat dramatis. New York yang seringkali dicap kota yang kejam di berbagai film atau cerita lain aja, di sini seperti kota-kota biasa; orang sibuk berlalu lalang, cuek, tapi reasonable. Yang dihadapi oleh Autumn adalah persoalan yang lumrah. Dia butuh duit makan. Untuk ke klinik, untuk naik bus dan transportasi umum. Dia butuh tempat untuk beristirahat dan memejamkan mata barang sejenak. Hittman menyisipkan gagasannya di dalam rintangan Autumn yang tampak sederhana itu.

Bahwa hidup memang bukanlah tempat semua urusan dimudahkan, tapi hal dapat menjadi dua kali lebih susah jika kita adalah seorang wanita yang memilih dengan kesadaran sendiri untuk mengaborsi kandungan, apalagi kita masih remaja.

 
Fakta bahwa Autumn harus pergi jauh dari rumah. Merahasiakan; justru takut ketahuan oleh keluarganya – oleh ibunya sendiri padahal kita lihat Autumn ingin sekali reach out to her (alih-alih bersandar di kaca bus atau tembok dingin). Sistem yang membuat seorang perempuan dicap salah saat memilih ingin menggugurkan kandungan – or even get pregnant in the first place – sehingga mereka harus berjuang sendiri di luar sana, nyaris terlunta-lunta seperti yang dialami oleh Autumn. Itulah masalah yang disorot oleh Never Rarely Sometimes Always. Akan ada banyak adegan yang bermuatan seruan kepada wanita untuk membangun kekuatan sendiri. Mulai dari Autumn yang menindik hidungnya sebelum pergi dari rumah; yang menandakan dia berani untuk mengambil alih kendali atas tubuhnya sendiri. Ataupun adegan berpegangan tangan dengan Skylar dari balik pilar yang menyimbolkan para wanita sudah seharusnya bersatu dan saling menguatkan satu sama lain.
Hubungan erat antara Autumn dan Skylar memang menjadi hati dari cerita ini. Kita akan melihat seberapa jauh Skylar bertindak demi membantu sepupunya. Autumn bukan exactly teman-menggelandang yang baik sepanjang waktu karena kondisinya, tapi Skylar tetap bertahan di sana. Keduanya sudah seperti anak kembar; bisa mengomunikasikan banyak tanpa perlu banyak bersuara. Actually, inilah yang jadi salah satu kekuatan pada penceritaan yang dilakukan oleh Hittman. Dia berani untuk menampilkan adegan-adegan yang sunyi tanpa suara. Kedua tokohnya dipampang tanpa saling bicara. Mereka memilih keputusan begitu saja sehingga membuat adegan dalam film ini semakin nyata dan terasa begitu in-the-moment. Alih-alih menggunakan dialog yang bisa-bisa membuat tokohnya terdengar whiny, film lebih memilih untuk menggunakan kamera sedekat mungkin dengan Autumn, ataupun Skylar. Menyuruh kita untuk menangkap emosi dari mata dan ekspresi mereka. Supaya lebih mudah bagi kita untuk berempati. Tantangan bercerita begini tentu saja ada pada pundak kedua pemain yang bisa dibilang masih baru dalam dunia film, tapi mereka berhasil. Autumn adalah salah satu tokoh paling real yang kutonton sepanjang tahun ini. Untuk membuktikan banyak-diam itu bukan cara sutradara menutupi kekurangan akting pemainnya, film memberikan kita adegan dialog dengan dokter yang luar biasa menyentuh. Adegan yang juga jadi jawaban untuk kita-kita yang mungkin penasaran maksud dari judul film ini. Yang jelas, adegan tersebut benar-benar mengungkap luka yang selama ini disimpan oleh Autumn. Exposing her as a wounded person, dan menguatkan kepada drama pilihannya untuk aborsi.

Tentu saja di titik ini sudah bukan lagi jadi soal siapa ayah kandungan Autumn

 
Namun melihat ke belakang setelah menonton, film ini hanya punya itu. Autumn ingin aborsi, dan pada akhirnya dia mendapatkan yang ia inginkan. Tidak ada yang berubah dari diri atau pandangannya terhadap hidup. Impresi yang hadir saat ending adalah Autumn akan kembali ke rumah, melanjutkan hidup yang sama dengan sebelum dia aborsi. Things never gets better for her. Dan memang itulah message film ini. Tidak ada perbaikan untuk wanita-wanita, mereka jadi korban kehamilan. Strong message, memang, tapi juga menjadikan Never Rarely Sometimes Always ini film yang bercela. Karena harus ada plot dan development. Perubahan. Film ini, berdedikasi menampilkan hal yang real seputar pandangan sosial terhadap aborsi dan kesulitan yang harus ditempuh pelakunya, tidak memiliki dua hal tersebut. Sehingga ia tidak lagi terasa seperti film. Kalo boleh dibilang; film ini malah jadi seperti iklan layanan masyarakat (yang ‘modern’). Or worse; seperti sebuah propaganda.
Kesubtilan Hittman membuat kita tidak menyadari bahwa film yang seperti gambaran nyata ini ternyata begitu artifisial, dunianya terbangun atas satu ide tertentu. Mempersembahkan Autumn sebagai korban, sehingga aborsi yang ia pilih tidak lagi dipertanyakan. Sehingga tokoh ini seolah berhak untuk melakukan aborsi. Sedari awal film – literally adegan awalnya – Autumn sudah diperkenalkan kepada kita sebagai korban dari hubungan yang enggak sehat dengan cowok yang mendominasi. Itulah antagonis pada film ini. Laki-laki. Patriarki. Mulai dari cowok yang meledeknya saat nyanyi dan di restoran, atasannya di supermarket yang hobi nyiumin tangan karyawan cewek, ayah tirinya yang cabul, hingga ke lelaki di kereta, semua tokoh cowok di film ini digambarkan gak beres. Bahkan cowok yang menolong Autumn dan Skylar pada akhirnya diperliahtkan sebagai tokoh yang merasa pantas untuk mendapatkan sesuatu dari mereka. Rintangan terbesar yang dihadapi Autumn dalam ‘perjalanan emansipasi otonomi dirinya’ adalah jebakan-jebakan maskulin.
Film ini tidak pernah membahas soal aborsi itu sendiri. Tidak perlu, karena di dunia seperti itu – dan seperti inilah dunia nyata menurut film – Autumn dan wanita-wanita entitled untuk memilih aborsi karena itu adalah tubuh mereka. Bicara soal kesubtilan, mengapa kita tidak menengok hal ini; film sungguhlah detil memperlihatkan usaha Autumn memperoleh kembali tubuhnya – kita diperlihatkan dia menindik hidung, kita dipertontonkan dia meninju-ninju perutnya sendiri, bahkan memar bekas pulukan itu on-point dalam sebuah shot, tapi Autumn sama sekali tidak pernah melihat apa itu aborsi. Dia dibius saat prosesnya, kita bisa bilang dia menutup mata ketika semua itu berlangsung. Paralelnya adalah, Autumn tidak pernah diperlihatkan berkutat dengan moral atau apapun mengenai aborsi. Karena film memang sudah mendesain aborsi itu sebagai jawaban. Padahal perihal moral justru adalah hal paling penting jika kita membicarakan aborsi. Wanita-wanita muda seharusnya tidak dibiarkan menutup mata dari apa sih tindak aborsi itu sebenarnya. Instead, permasalahan yang diangkat oleh film ini justru adalah bagaimana supaya aborsi itu bisa dapat lebih mudah dijangkau oleh wanita. Keseluruhan film adalah tentang perjuangan dan kesusahan yang harus dilalui oleh Autumn ke New York – perjuangan yang harusnya bisa dipermudah jika klinik di dekat rumahnya mengizinkan aborsi tanpa orangtua. Itulah yang dibutuhkan oleh Autumn dalam cerita ini; proses yang tidak dipersulit karena dia berhak atas tubuhnya.
 
 
 
Bukan masalah bagiku jika sebuah film berbeda pandangan moral dengan diriku, justru akan jadi tontonan yang membuka pikiran. Tapi ada syaratnya. Film itu haruslah diceritakan dengan meyakinkan, mantap, dan menantang. Film ini hanya memainkan tokohnya di ranah victim untuk kita kasihani, supaya kita melihatnya pantas dan berhak melakukan aborsi. Film ini mengabaikan kompleksitas sebuah pilihan. Adegan-adegannya dibuat se-real mungkin, akan tetapi desain di baliknya sungguh artifisial. Memaksa kita untuk percaya dunia sejahat itu dan aborsi bukanlah salah perempuan. Sejujurnya, aku mulai annoyed sama film-film ‘art’ kekinian, mereka dibuat terlalu agenda-ish. Lihat Vivarium (2020) yang failed untuk melihat cacat dalam analogi yang mereka ajukan soal membesarkan anak, ataupun Gretel & Hansel (2020) yang menyisipkan penyihir gak-usah nikah dalam cara yang membuat mual. Padahal aku suka gaya bercerita yang berbeda. Aku suka pendekatan akting yang berani. Sinematografi yang lugas. Penokohan yang gak dibuat-buat demi menyenangkan satu target pasar tertentu. Film ini punya semua hal tersebut. Hanya saja di sisi lain, ia tidak lagi terasa seperti film melainkan sebuah iklan dengan elemen-elemen yang pretensius karena dibangun sesuai agenda yang mereka cekokan kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NEVER RARELY SOMETIMES ALWAYS

 

 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian soal aborsi? Bagaimana seharusnya pemerintah mengatur soal kasus kehamilan akibat paksaan seperti yang dialami oleh Autumn? Jaminan apa yang seharusnya diberikan kepada wanita seperti Autumn?
Dan bagaimana pendapat kalian soal DPR yang mau kabur dari pembahasan RUU PKS?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA