“The difference between a hero and a villain is that they just make different choices.”
Dari The New Mutants kita belajar bahwa sesuatu yang diundur-undur itu mungkin sebaiknya memang tidak usah dikeluarkan, jika tidak dilakukan pembenahan. Karena diundur itu sendiri sejak awalnya adalah tanda kebelumsiapan. Film The New Mutants ini tadinya ingin ditayangkan pada April tahun 2018. Karena ada beberapa reshot yang entah kenapa tidak pernah kejadian, film ini terus mundur. Lima kali, sebelum akhirnya tayang begitu saja di tengah pandemi di tahun 2020 ini. To be honest, film ini bisa mundur lebih lama lagi, suka-suka studionya, and it wouldn’t make any difference jika memang perubahan/perbaikan tersebut tidak dilakukan. Keadaan yang ironisnya sesuai dengan gagasan yang diangkat di balik cerita film ini sendiri.
Yakni cerita soal setiap manusia punya kekuatan dan ketakutan, dan tergantung masing-masing untuk terus meringkuk atau bertindak – dan tindakan yang dipilih tersebut ultimately akan menentukan apakah kita superhero atau villain. Orang baik atau orang jahat.
Sutradara Josh Boone menempatkan lima anak muda dalam sebuah fasilitas tertutup sebagai panggung cerita. Tapi tentu saja, lima anak muda itu bukan geng Breakfast Club yang sedang kena detensi sekolah. Melainkan, kelimanya adalah remaja dengan kekuatan super yang dianggap membahayakan, sehingga mereka dikurung di gedung penelitian itu. Dikurung dalam rangka untuk mengenali kekuatan mereka dan mempelajari penggunaannya. Namun bagi mereka itu bukan hal mudah. Karena masing-masing punya trauma di masa lalu. Misalnya tokoh utama cerita ini, Danni Moonstar; gadis keturunan Indian ini dibawa ke facility itu setelah kota tempat tinggalnya hancur oleh ‘badai’ misterius – effectively menewaskan sang ayah. Danni, tidak seperti empat remaja lain, belum mengetahui apa pastinya ke-mutant-annya. Sehingga ekstra susah bagi dirinya untuk escape dari trauma masa lalu, sekaligus untuk ikut teman-temannya escape dari tempat itu. Karena kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi di sana tanpa diketahui penyebabnya.
Yang fresh dari film ini memang genrenya. Boone membuatnya sebagai horor superhero. Mutant-mutant remaja dalam cerita ini akan berhadapan dengan monster-monster mengerikan dari masa lalu mereka. Masa lalu yang enggak jauh-jauh amat, karena mereka masih muda. Masih belum bisa mengendalikan kekuatan mereka; dari situlah mimpi buruk mereka berasal. Ada yang enggak sengaja membakar pacarnya sendiri. Ada yang mengakibatkan kecelakaan sehingga menimbun ayahnya hidup-hidup. Yang paling menarik buatku adalah karakter Illyana alias Magik yang diperankan oleh Anya Taylor-Joy. Cewek rusia ini, bersama boneka naga, sedari belia sudah membunuh 18 orang pria dewasa. Terdengar bad-ass banget, tapi sesungguhnya juga memilukan mengingat yang ia alami saat masih kecil tersebut. Boone memvisualkan trauma-trauma ini ke dalam bentuk-bentuk menyeramkan, seperti hantu dan monster yang bukan saja mengerikan tapi juga bisa benar-benar melukai mereka. Jika elemen ini diekplorasi lebih giat, dengan pengembangkan karakter yang dilakukan maksimal, tentulah film ini bisa benar-benar nendang.
Karena situasi seperti mereka ini jarang kita dapatkan dalam cerita superhero. Sudah terlalu sering cerita superhero membahas belajar menggunakan kekuatan dalam nada yang ringan dan lucu, dan kemudian si superheronya langsung menghadapi ujian berupa menyelamatkan orang tersayang. Dengan pembelajaran mereka disebut pahlawan bukan dari kekuatan supernya. Cerita The New Mutants sebenarnya mengincar jalur yang berbeda. Sebelum menyelamatkan orang-orang, Danni dan teman-temannya diberikan satu film khusus untuk belajar menyelamatkan diri mereka sendiri. Dan actually diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidup mereka, sebagai superhero atau villain. The only other times aku menemukan bahasan seperti ini adalah pada serial anime My Hero Academia dan One Punch Man yang memang membahas lebih dalam filosofi pengkotak-kotakan ‘superhero’ dan ‘villain’. Aku berharap dapat pembahasan lanjutan pada film ini.
Namun film ini malah membuatku frustasi karena mereka bersikap ngawang-ngawang terhadap hal tersebut. Permasalahan mengemban kekuatan di usia remaja dapat membawa banyak derita dan pengalaman mengerikan, dan setiap orang punya dua pilihan berbeda untuk menyingkapinya, hanya dicuatkan di akhir Jika hal tersebut ditunda untuk menonjolkan hal lain semisal interaksi karakter-karakter yang unik ataupun bagaimana mereka menyelidiki gedung facility itu (aneh sekali hanya ada satu dokter yang menjaga mereka), atau apapun lah untuk memanfaatkan talenta-talenta muda itu secara maksimal, maka kita sejatinya tidak akan menemukan titik jemu saat menonton film ini. Sayangnya, justru hal itu juga tidak mampu dilakukan oleh film. Para mutant remaja tersebut hanya berinteraksi klise yang ala kadarnya; sok tough di depan dokter, lalu sok saling menjahili saat dokter gak ada. Karakter Illyana yang supposedly digambarkan layaknya mean girl bagi Danni, tidak pernah berkembang lebih ‘hidup’ daripada sekadar melontarkan hinaan rasis. Tokoh cowoknya either just want to hook up or playing hero. Semuanya terasa datar dan terasa kurang diperhatikan. Karena memang perhatian nomor satu film ini adalah memasukkan elemen ‘kekinian’ — memperlihatkan hubungan romansa antara Danni dengan mutant cewek bernama Rahne (Maisie Williams meranin karakter paling annoying dalam film ini)
Dahulu sewaktu belajar menulis, aku diberitahu bahwa sebenarnya perkara menulis adalah perkara menanyakan pertanyaan yang tepat. Menilik dari sana, aku pikir sepertinya itulah penyebab kenapa The New Mutants tidak bekerja maksimal memenuhi potensi yang dimiliki oleh ceritanya. Mau berapa lama pun diundur, mau berapa kali retake yang mereka lakukan (kalo jadi dilakukan) sepertinya tidak akan ngaruh banyak. Karena film ini melakukan kesalahan pada hal yang paling fundamental dalam penulisan bangunan ceritanya. Kesalahan itu berupa simply salah mengajukan pertanyaan.
Keseluruhan cerita film ini dibangun dari pertanyaan ‘apakah kekuatan mutant yang dimiliki oleh Danni’. Jawaban dari itu akan diungkap di babak akhir. Menjelma kepada kita sebagai adegan final fight dengan penyelesaian paling receh dalam universe superhero; tokoh utama gak ikut berantem (gak bisa karena praktisnya kekuatan si protagonislah yang jadi musuh) dan kemudian dia bangkit dan semuanya selesai begitu saja. Dan jujur saja, siapa sih dari kita yang saat nonton ini belum bisa mengerti kalo kekuatan Danni itu sebenarnya apa, saat sudah sampai di babak tiga? Aku yakin gak ada. Aku yakin semua itu udah begitu jelas arahnya kemana. ‘Kekuatan macam apa yang dimiliki oleh mutant A’ akan otomatis muncul di kepala kita saat menonton film superhero. Film tidak perlu menyimpan jawaban pertanyaannya tersebut. Film tidak perlu mengstretchnya sepanjang tiga babak. Pertanyaan itu tidak bisa dijadikan sebagai pertanyaan utama untuk majunya cerita. It just doesn’t work. Pertanyaan yang seharusnya diangkat sebagai cerita oleh film ini adalah soal bagaimana si tokoh remaja ini hidup dengan berurusan dengan kekuatannya tersebut.
Makanya Illyana begitu menarik buat kita. Mencuri perhatian, kita bilang. Itu bukan sekadar karena Illyana literally karakter paling keren, atau karena Anya Taylor-Joy cantiknya memang unik. Kita lebih tertarik dan bersimpati kepadanya karakternya lebih cepat kita mengerti – kita tahu kekuatannya apa, traumanya dari mana, apa luka personalnya. Sehingga pembahasan tentang karakter itu pun lebih kompleks lagi, langsung ke emosional tentang bagaimana dia mengambil sikap dan bergerak seperti di garis batas antara superhero dengan villain. Kita bersamanya saat dia melawan ketakutannya dan ketika dia memilih untuk menjadi superhero. Coba kalo Danni ditulis dan dikembangkan seperti begini. Pertanyaan kekuatan dia tidak dijadikan pamungkas. Melainkan yang diangkat adalah persoalan bagaimana dia menyingkapi kekuatan dengan segala konsekuensinya, path mana yang akan dia pilih. Niscaya film akan jadi lebih menarik. Danni akan belajar mengenai dealing with her power selama dua babak, alih-alih dalam lima belas menit dia tak sadarkan diri saat teman-temannya bersusah payah.
Dari film ini mestinya film-film Indonesia yang tertunda jadwal tayangnya di bioskop mengambil pelajaran. Bahwa waktu tunda itu bisa dijadikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Film ini sendiri punya begitu banyak waktu, hype dan segala macam terhadapnya sudah terbendung tinggi. Hadir dengan ala kadar seperti begini – cerita horor superhero yang gak jor-joran, elemen remaja yang cuma fokus ke agenda saja, akting yang juga hanya sedikit lebih bagus daripada level televisi (kecuali Anya!), dan writing yang perlu banyak pembenahan – hanya akan membuat filmnya jadi semakin jatuh karena ekspektasi terhadapnya sudah terlampau tinggi. Jika Danni berkata sesungguhnya adalah pilihan kita untuk membesarkan yang mana, maka film ini telah memilih untuk tetap berusaha gede sebagai medioker.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE NEW MUTANTS
Danni percaya dalam setiap manusia hidup dua ekor beruang, would you like to share kira-kira beruang mana yang paling subur hidup di dalam diri kalian?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA