• Home
  • About
  • Movies
    • [Reader’s Neatpick] – FLIPPED (2010) Review
    • CHAOS WALKING Review
    • TERSANJUNG: THE MOVIE Review
    • GODZILLA VS. KONG Review
    • THE FATHER Review
    • ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE Review
    • CHERRY Review
    • THE MAURITANIAN Review
    • RAYA AND THE LAST DRAGON Review
    • FLORA & ULYSSES Review
    • TOM AND JERRY Review
    • I CARE A LOT Review
    • STAND BY ME DORAEMON 2 Review
    • WRONG TURN Review
    • MONSTER HUNTER Review
    • JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review
    • MALCOLM & MARIE Review
    • DON’T TELL A SOUL Review
    • EARWIG AND THE WITCH Review
    • ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review
    • SAINT MAUD Review
    • THE LITTLE THINGS Review
    • JUNE & KOPI Review
    • AFFLICTION Review
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
  • Wrestling
    • WrestleMania 37 -Night II Review
    • WrestleMania 37 -Night I Review
    • Fastlane 2021 Review
    • Elimination Chamber 2021 Review
    • Royal Rumble 2021 Review
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
  • Books
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: relationship

CHAOS WALKING Review

08 Thursday Apr 2021

Posted by arya in Movies

≈ 4 Comments

Tags

2021, adaptation, drama, family, funny, life, love, novel, relationship, review, sci-fi, spoiler, thought

“Women are hard to read”

 

Planet itu bukan Bumi. Lingkungannya boleh saja mirip, tapi dengan satu perbedaan besar. Tidak ada perempuan yang kelihatan di sana. Kota kecil tempat Todd tinggal, semua penghuninya adalah lelaki. Dari cerita yang Todd dengar Pak Walikota, perempuan di kota mereka – termasuk ibu Todd – dibantai oleh penduduk asli planet ini. Itu karena para perempuan tidak memiliki Noise. Ya, inilah satu lagi perbedaan mencolok antara planet ini dengan Bumi; di planet ini, pikiran dan kata hati para lelaki bisa didengar oleh semua orang. Terwujud dalam gelembung suara, yang juga mirip kabut, di sekitar kepala masing-masing individu, yang disebut sebagai Noise. Todd dan masyarakat kota terbiasa hidup dengan Noise, kesatuan mereka terbentuk atas dasar saling percaya. Sampai kemudian, sebuah pesawat ruang angkasa jatuh ke hutan. Viola, anak perempuan seusia Todd jadi satu-satunya penyintas. Todd sekarang memegang kunci keselamatan bagi Viola, sebab gadis itu tentu saja diburu seketika. Dan dalam pelarian mereka itulah sejarah/rahasia kelam komunitas koloni ini sedikit demi sedikit menjadi terbuka.

Setting dunia yang seluruhnya dihuni laki-laki milik film ini memang mengingatkan kita pada Maze Runner. Heck, bahkan Wonder Woman aja sudah menggunakan setting closed world seperti demikian. So yea, setting yang dimilikinya memang boleh jadi tidak menambah banyak untuk identitas film ini. Which we must turn our head to the other ‘gimmick’. Konsep Noise.

Konsep itulah yang membuat film adaptasi novel Young Adult berjudul The Knife of Never Letting Go berbeda dari yang lain. Sutradara Doug Liman banyak melakukan eksplorasi di sini. Kita melihat bagaimana Noise menjadi bagian wajib dalam fondasi masyarakat dalam cerita. Tapi juga sekaligus jadi semacam restriksi bagi protagonis, yakni si Todd. Dibandingkan dengan karakter lain, memang Todd ini yang terasa paling ‘normal’. Dia gak nyaman pikiran dan kata hatinya didengar oleh semua orang, jadi dia menciptakan teknik pertahanan sendiri. Dia berusaha untuk menyembunyikan pikirannya dengan mengulang-ngulang kalimat dalam kepalanya sendiri. Liman membuat Noise ini bisa dikendalikan jika seseorang cukup kuat. Bisa disembunyikan, atau malah bisa juga diperkuat sehingga muncul dalam bentuk visual. Liman juga membuat Noise ini sebagai bagian dari komedi, dan integral dalam build up cinta-cintaan antara Todd dengan Viola. Kita akan melihat banyak adegan Todd dengan kikuk berusaha menutupi imajinasi-ngarep Viola naksir kepadanya.

Meskipun aneh juga cowok yang selama ini gak pernah lihat cewek bisa ngerti dan membayangkan pacaran itu ngapain aja.

 

Sayangnya, konsep yang dimiliki Chaos Walking ini hanya terasa asyik saat dibicarakan di atas kertas. Tampak seru ketika kita membacanya, kemudian membayangkan seperti apa kejadiannya secara nyata. Karena, saat kita menonton film ini, sesungguhnya hanya terasa setengah asik. Malahan, aku butuh waktu cukup lama untuk membiasakan diri sama adegan-adegan yang penuh oleh reaksi dan perlakuan karakter terhadap Noise-Noise di sekitarnya. Dan ketika sudah terbiasapun, cerita tak lantas jadi fun dan menarik simpati. Masih ada kekosongan yang menjemukan di tengah kebisingan Noise tersebut. Karakter-karakternya tidak pernah berhasil tampil semenarik konsepnya itu sendiri. Certainly, ini bukan permainan akting yang jelek. Ada Tom Holland di sini, sebagai Todd. Ada Daisy Ridley, sebagai Viola. Mereka berusaha menghidupkan karakternya. Mereka tampil baik jika sendiri-sendiri. Namun simply, tidak banyak chemistry di antara mereka berdua.

Masalah ini tentu saja datang dari penulisan. Relasi dua karakter ini, secara design, punya perkembangan. Yakni keduanya tadinya saling tidak percaya, tapi mereka harus bekerja sama, dan kemudian perlahan tumbuh cinta yang genuine di antara mereka berdua.  Perkembangan tersebut tidak pernah tersampaikan dengan benar kepada kita. Karena karakterisasi mereka dituliskan sedikit sekali. Todd dapat porsi lebih banyak, karena dia tokoh utama, tapi sebagian besar waktu (saat sebelum ketemu Viola) dihabiskannya untuk menutupi pikiran dari orang-orang sekitar. Kita tidak diperlihatkan apa motivasi personal dirinya. Di sisi lain, karakterisasi si Viola bahkan nyaris tidak ada. Karakter ini malah sebagian besar screen time-nya dihabiskan dengan tanpa-dialog; sesuai dengan gagasan yang diincar oleh film, yakni perempuan itu tidak bisa ditebak. Hasilnya adalah kita kayak melihat partner petualangan yang aneh. Gadis serbabisa dan mandiri, yang diantarkan menuju keselamatan oleh cowok yang berusaha untuk tidak mati; ada potensi di sini. Terutama karena Todd sebenarnya lebih suka cewek ini tetap tinggal bersamanya alih-alih diantarkan menuju tempat keselamatan. Hanya saja film tidak meluangkan banyak waktu untuk relasi. Melainkan terus berkutat pada aksi kejar-kejaran, seperti kesetanan mengejar durasi waktu.

Pikiran cowok gampang ketebak, sementara sangat susah untuk menerka apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan. Konsep Noise film ini, serta sejarah pertikaian kelompok penghuni planetnya, menyimbolkan hal tersebut. Ini sebenarnya menunjukkan pria yang takut tidak punya kendali atas perempuan yang bisa berpikir sendiri, jadi mereka memusuhinya. Memusnahkannya. Perjalanan Todd bisa kita paralelkan sebagai perjalanan seseorang untuk menerima dan mengakui keberadaan dan keberdayaan perempuan. Bisa dibilang, ini adalah perjalanan Todd menjadi seorang feminis.

 

Sama seperti kebanyakan novel Young Adult yang dikasih lampu ijo untuk diubah menjadi film, cerita Chaos Walking juga punya elemen kekinian yang lagi seksi untuk dibahas. Yaitu masalah ‘cowok melawan cewek’. Feminisme melawan maskulinitas-yang-toxic. Elemen tersebut dengan sangat gamblang tersurat. Kelompok pria yang memusuhi perempuan karena perempuan itu tak tertebak dan serba berahasia. Perempuan yang menjadi pemimpin yang lebih adil. Cowok yang dianggap sama kayak cewek ketika mereka berusaha menjaga privasi. Film ini gak punya masalah dalam memainkan elemen-elemen tersebut bahkan hingga ke settingan paling ‘over’. Menjadikan cerita film ini basic dan tidak ada tantangan. Aku malah lebih tertarik sama elemen subtil yang dihadirkan cerita, yaitu soal masalah antara manusia pendatang dari Bumi dengan penduduk asli planet ini. Di sini, elemen tersebut melingkupi apa yang sepertinya tampak sebagai penindasan, dan penyebaran hoax. Aku ingin melihat lebih banyak tentang apa yang terjadi sebenarnya. Namun bahkan penduduk asli itu hanya dimunculkan random dalam satu adegan.

Yang pikirannya ngeres melulu, dijamin gawat tinggal di planet ini

 

Chaos-nya penulisan dan arahan Chaos Walking ini datang sebagai dampak dari reshoot dan rewrite yang dilakukan. Secercah hal manis dan keseruan masih sesekali bisa kita temukan, tapi selebihnya film ini terasa sambung-menyambung menjadi cerita yang gak-jelas bangunan narasinya. Aksi dalam film ini semuanya hanya berupa kejar-kejaran. Yang gak seru karena stake-nya gak pernah bisa kita mengerti. Ini berhubungan dengan motivasi antagonis yang juga aneh. Kenapa begitu penting bagi karakter jahat itu untuk mencegah Viola memanggil pesawat lain. Film ini kelupaan membahas backstory kenapa mereka semua memilih tinggal di planet itu. Lebih tepat mungkin bukan ‘kelupaan’. Melainkan sengaja. Kok sengaja? Ya apalagi kalo bukan karena meniatkan untuk sekuel. Film ini sengaja gak membahas dalam mengenai dunia cerita, karena bakal ditempakan sebagai bahasan dalam cerita film kedua. Tapi sejujurnya, melihat performa terlalu minim yang diberikan oleh film ini, aku ragu ada penonton yang menginginkan sekuel ini. Kayaknya lebih pasti, para penonton meminta uang mereka kembali.

 

 

Ini adalah salah satu kekecewaan buatku karena film ini sebenarnya mengusung konsep menarik seputar pikiran manusia. Namun penulisannya terasa kacau, seperti melupakan apa yang sedang dibahas di tengah-tengah, dan terus mengganti menjadi bahasan baru. Kita tidak pernah tahu konteks besar dari narasi film. Sehingga akhirnya memang bagi kita, film ini hanya berupa rusuh yang tidak jelas, dengan karakter yang bland, yang tidak bisa kita pedulikan. Yang tidak terasa chemistrynya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for CHAOS WALKING.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah bagi kalian yang cewek, cowok memang semudah itu untuk dibaca? Dan apakah bagi kalian yang cowok, cewek memang susah untuk ditebak? Film ini mengatakan hal seperti itu tidaklah adil. Bagaimana pendapat kalian, apakah memang lebih baik untuk kita mengetahui semua hal yang dipikirkan oleh pasangan kita?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

TOM AND JERRY Review

01 Monday Mar 2021

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2021, adaptation, adventure, animation, comedy, drama, family, life, relationship, review, spoiler, thought

“Fighting in and of itself is not a threat to the relationship.”

 

 

 

Dibuat pada tahun 1940an, Tom and Jerry adalah masa kecil bagi banyak sekali orang. Abang-kakak kita suka. Emak-bapak kita tahu. Heck, bahkan mungkin ada yang nenek atau kakeknya punya kenangan duduk manis di hari Minggu pagi nontonin kucing dan tikus itu kejar-kejaran. We all love Tom and Jerry. Dulu aku setiap kali pergi ngerental vcd film dan smekdon, kalo si rentalnya gak ada uang kembalian, aku selalu minta kembaliannya dijadiin kaset Tom & Jerry aja. Hahaha enggak ding, maksudnya Tom & Jerry selalu tak ketinggalan untuk ikut kusewa. Nonton kartun mereka itu rasanya gak pernah bosan. Slapstick dan tingkah polah Tom yang ngejar Jerry yang usil selalu sukses bikin ngakak, gak peduli udah ditonton seberapa kalipun. That’s how timeless they are.

Tapi generasi kekinian, bisa jadi gak kenal ama Tom dan Jerry. Dan memang untuk itulah film ini dibikin. Kisah kejar-kejaran mereka dihidupkan kembali melalui dunia campuran animasi kartun dengan lingkungan nyata. Namun sayangnya pembuat film ini malah seperti lupa tujuan tadi. Di tengah dunia berisi manusia dan hewan-hewan kartun tersebut, film ini tersesat. Film ini malah menghabiskan waktu lebih banyak tanpa membahas Tom dan Jerry itu sendiri.

Sutradara Tim Story dan penulis naskah Kevin Costello sebenarnya udah kayak memojokkan diri mereka sendiri in the moment mereka memutuskan untuk “yok bikin film Tom dan Jerry kekinian, yook”. Karena si Tom dan Jerry itu sendiri adalah karakter yang tidak bicara. Dengan begitu, cerita pun harus distretch out; Story dan Costello jadi menggunakan karakter manusia dan karakter kartun lain untuk role bicara. Secara garis besar, outline konsep film ini sebenarnya sudah cukup jelas. Karakter Tom dan Jerry akan menghidupkan suasana lewat kejar-kejaran dan humor-fisik, sedangkan cerita akan dikembangkan lewat karakter manusianya. Namun Story dan Castello tidak tampak confident dalam mengembangkan komedi ala Tom dan Jerry. Entah karena ragu Tom & Jerry bisa tertranslasikan dengan sukes buat selera modern atau karena mereka simply gak mengerti apa yang membuat Tom dan Jerry itu digemari. Pembuat film tidak melakukan hal baru terhadap kejar-kejaran kucing dan tikus ini. Mereka hanya mengulang sketsa di kartun, untuk nostalgia. Di sisi lain, karakter-karakter manusia yang dibuat jadi vital itu juga gagal dikembangkan. Tak lebih dari karakter tumpul dan membosankan.

Bayangkan kalo Tom dan Jerry kejar-kejarannya di Hotel Cecil

 

Dari sinopsis IMDB-nya, film ini sebenarnya difungsikan sebagai semacam origin; kisah gimana Tom dan Jerry bertemu, kisah gimana kejar-kejaran abadi mereka bermula. Namun dari menonton film ini, tidak tampak seperti itu. Tom dan Jerry seperti sudah musuhan sejak lama, dan film ini tuh terasa seperti hanya satu episode dari episode kejar-kejaran mereka. ‘Origin dari kejar-kejaran’ mereka itu juga gak spesial-spesial amat. Jerry melihat Tom ngamen di taman, dan Jerry mengganggu Tom karena Jerry butuh duit. Gitu doang. Di sini, Jerry itu homeless, dia mencari tempat tinggal dan sampailah dia ke Hotel Royal Gate yang mewah. Tom si kucing yang jadi pianoless berkat Jerry, dendam dan mengejar si tikus hingga ke Hotel Royal Gate. Sementara itu ada manusia bernama Kayla (film kedua Chloe Grace Moretz di tahun 2021. Also, film keduanya di tahun 2021 yang zonk!) yang lagi jobless, sehingga dia akhirnya ‘mendapat’ kerja di Hotel Royal Gate. Di Hotel itulah konflik dan chaos terjadi. Kayla ditugasi mengusir Jerry, Kayla minta bantuan Tom, dan mereka harus cepat dan discreet about the job karena beberapa hari lagi akan ada pesta nikahan bergengsi di hotel tersebut!

See, ceritanya saja sudah langsung bermasalah. Keberhasilan pesta nikah itulah yang jadi tujuan ‘petualangan’ Kayla, atau Tom, atau Jerry, atau whoever the protagonist is. Alih-alih membahas (atau menghibur) dengan aksi Tom ngejar Jerry sambil saling ‘menyakiti’ pake benda-benda berat — which is the true selling points of Tom and Jerry, film malah fokus ke… pernikahan. Kenapa kita harus peduli sama pernikahan tersebut saat filmnya sendiri gak pernah benar-benar mengaitkan kepentingan pernikahan tersebut dengan journey Kayla, Tom, ataupun Jerry. Kita disuruh peduli sama pasangan interracial yang hendak nikah itu. Kupikir tadinya mereka adalah selebriti beneran, kayak cameo gitu. Tapi ternyata tidak, mereka karakter cerita. Yang disebutkan punya banyak penggemar, dan pengen wedding yang mewah (pake gajah!), tapi mempelai wanitanya sebenarnya enggak setuju-setuju amat. Kita disuruh peduli karena di cerita itu mereka orang terkenal, dan kita selalu suka ngikutin drama orang terkenal walaupun rekaan kan?

Not!

Kita nonton ini karena ingin melihat Tom dan Jerry. Banyak-banyak! Kita mau lebih banyak adegan seperti saat Tom nyebrang kabel listrik, berusaha mencapai Jerry yang lagi ngadem di jendela hotel. Tapi di sini mereka udah kayak karakter sampingan. Udah kayak karakter comedic-relief di antara adegan-adegan drama manusia yang karakternya random.

I get it. Film mungkin memang sedang membandingkan relationship unik antara Tom dan Jerry dengan pernikahan. Tom dan Jerry sering kejar-kejaran dan berantem, tapi mereka toh langgeng. Kisah mereka tak lekang waktu. Ketika harus baikan, mereka bisa kok jadi sahabat yang tak-terpisahkan. Supaya hubungan asmara bisa langgeng seperti itu, kita bisa meniru mereka. ‘Perlu’ sesekali bertengkar. Karena sesungguhnya bukan ribut dan berantem itu yang bikin renggang.

 

Dunia yang dihuni manusia dan hewan-hewan kartun itu sebenarnya menarik. Harusnya film mengeksplorasi ini lebih jauh. Tapi cerita malah dikurung di hotel. Hotel yang punya aturan gak boleh ada binatang, tapi karakter ceritanya pada selow aja bawa hewan-hewan ke hotel. Jadi, larangan itu gak dijadikan sebagai eksplorasi atau bahkan sebagai konflik. Kayla di sini tu enggak diam-diam nyelundupin hewan, dia mau ngusir tikus. Jadi aturan tersebut, setting hotel tersebut gak punya pengaruh sama sekali kepada karakter Kayla, atau Tom, atau Jerry. Film ini tuh kayak “Hey, ini situasinya bisa menarik” /  “Nah, let’s make it simple and dumb”

Mari setiap beberapa menit sekali kita rangkum cerita lewat merpati yang ngerap!

 

Si Kayla itu karakternya aneh. Dia nipu untuk mendapatkan kerja di hotel. Tapi arc-nya gak pernah benar-benar terbentuk sebagai cerita seseorang yang harus berbuat demikian, kemudian menyesal, dan berusaha redeem herself. Cerita Kayla dibuat untuk asik-asikan doang, dan dia nyesal dan berubah itu sama sekali gak ada perjuangan naik turunnya. Datang gitu aja sesuai durasi. Dibilang baik, enggak juga. Dibilang jahat, ya gak segitunya. Dibilang lucu, dia garing. Dia cuma ada di sana, mengambil tempat sebagai pusat cerita. Dan kita gak peduli sama dia. Emangnya kenapa kalo dia gagal nangkap Jerry. Emangnya kenapa kalo dia sampai ketahuan nipu. Emangnya kenapa kalo Jerry sampai dius… lupakan, gak bakal ada yang bisa nangkap Jerry – that mouse is slick!. EMANGNYA KENAPA KITA HARUS PEDULI SAMA WEDDING DUA SELEB-PALSU?!!

Semua stake film ini lemah, dan salah satunya dikembangkan dengan gak niat. Kita hanya peduli pada kejadian kocak yang terjadi pada Tom dan Jerry. Kenapa begitu susah untuk film ini memberikan itu kepada kita. Aku mulai berpikir film ini gak paham yang namanya komedi. Begini, ada banyak pemain komedi dalam film ini. Ada Michael Pena yang jadi atasan Kayla. Ada Ken Jeong yang jadi kepala koki di hotel. Ada Patsy Ferran yang jadi bell-girl. Tapi film ini gak ngasih apa-apa untuk mereka semua. Tidak ada dialog-dialog lucu. Bahkan one-liner konyol pun tidak ada. Yang dianggap sebagai komedi oleh film ini tu adalah ketika seseorang bicara sendiri, atau melakukan hal awkward sendiri, terus dia jadi tengsin karena diliatin atau malah karena lawan bicaranya sudah pergi. Hanya itu. Talenta komedian cuma mereka suruh begitu.

 

 

Sebenarnya Tom dan Jerry udah punya film-panjang, keluar tahun 1992. Full-animation. Sehingga film tersebut seenggaknya masih menampung spirit utuh dari serial kartunnya. Nah, di film baru ini, Story dan Costello yang udah membawa Tom Jerry ke setting dan konsep visual baru, tak punya banyak pilihan selain menampilkan karakter Tom dan Jerry seoriginal mungkin. Mereka kembali pada karakter yang tidak bicara. Role bicara diberikan kepada karakter-karakter manusia, dan karakter kartun yang lain. Akibatnya Tom dan Jerry jadi bener-bener kehilangan suara. Story dan Costello kesusahan mengembangkan cerita dari komedi Tom dan Jerry yang biasa. Mereka membuat sesuatu yang lebih seperti sebuah drama karakter manusia. Tapi itupun tidak maksimal karena penulisan yang punya mindset bahwa film untuk anak-anak harus dibuat sesimpel mungkin. Karakter manusia hampa semua. Dan parahnya kita terjebak pada mereka. Tom dan Jerry-nya cuma sesekali menghiasi layar, and we know we want more of them! 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TOM AND JERRY

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian bagaimana pertengkaran bisa menjadi penting dalam suatu relationship?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

EXTRA ORDINARY Review

26 Saturday Sep 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2019, 2020, comedy, drama, fantasy, funny, horror, love, mature, mystery, relationship, review, spoiler, supernatural, thought

“A life spent making mistakes is not only more honorable, but more useful than a life spent doing nothing.”

 

 

 

Extra Ordinary sungguhlah berada di luar kebiasaan horor-horor komedi yang lumrah kita temukan. Karena dunia cerita yang absurd itu alih-alih dibalut oleh kekonyolan lebay dari karakter-karakter yang berurusan dengan setan, malah dibalut oleh hati yang cukup hangat sehingga menonton ini bukan saja kita lepas tertawa. Melainkan juga kita seperti telah melepaskan beban yang menggelayut, yang membuat selama ini kita belum menjalani hidup yang sebenar-benar hidup.

Tokoh utama film ini aja sudah begitu unik. Cewek jomblo. Seorang instruktur latihan nyetir mobil. Rose namanya (Maeve Higgins memerankan sekaligus turut ambil bagian dalam menulis skenario). Dia berusaha keras membuat hidupnya tampak biasa-biasa saja. Lambaian ranting pohon dan anggukan steker toaster di pinggir jalan itu, dia cuekin. Hantu-hantu di jalanan itu, dia pura-pura tak lihat. Pesan-pesan yang masuk di hp-nya, yang pada minta tolong diusirin hantu itu, dia tak gubris. Jika setiap orang dilahirkan punya bakat, maka bakat (bukan terpendam, melainkan dipendam) Rose adalah bisa bicara dengan hantu. Bakat yang tak pelak menurun dari sang ayah; paranormal lokal yang videonya menyambut kita di adegan pembuka. Ayahnya itulah yang menjadi penyebab kenapa Rose kini tidak mau lagi menggunakan bakatnya untuk membantu orang. Sampai wanita ini bertemu dengan Martin (Barry Ward bakal nunjukin kefleksibelan aktingnya di sini), duda yang masih hidup bersama hantu istrinya. Rose tak punya jalan lain, selain bekerja sama dengan Martin berkeliling kota mengumpulkan ectoplasma hantu. Untuk menyelamatkan gadis remaja Martin yang dikutuk menjadi tumbal ritual setan oleh seorang rocker yang ingin kembali terkenal. Di balik absurdnya petualangan mereka, resiko besar membayangi Rose. Salah-salah, dia bisa kembali kehilangan orang terkasih karena bakatnya sendiri.

Beginilah cara menggarap horor komedi eksorsis dengan tokoh utama cewek!

 

 

Horor komedi memanglah genre yang gampang-gampang susah untuk digarap. Pesona dari genre ini tentulah berasal dari sesuatu yang menakutkan dipandang sebagai hal yang mengundang tawa. Dilihat dari situ, fungsi genre ini jadi seperti untuk menenangkan ketakutan kita itu sendiri. Dengan menertawakannya. Prinsipnya tak jauh dari komedi secara umum, yakni adalah jika kita sudah legowo untuk menganggap lucu sebuah kejadian atau tragedi atau diri kita sendiri, berarti kita sudah siap untuk menghadapi kejadian itu. Dalam ranah horor komedi, tentu saja ‘kejadian’ itu adalah sesuatu yang kita takuti. Dan sutradara Mike Ahern dan Enda Loughman paham; yang kita takuti itu enggak mesti hantu ataupun setan. Film ini berani untuk menarik lebih ke belakang lagi, ke sumber ketakutan di balik hantu dan setan tersebut.

Komedi yang dicuatkan di film ini bukan datang dari reaksi orang-orang yang ketakutan. Tidak akan kita jumpai adegan jumpscare konyol di sini. Tidak ada adegan orang kaget terus latah dan bilang “Wah elo ngagetin aja!”, “Kok elo? Gue nih yang kaget!!” ataupun adegan seperti karakter sompral padahal di belakangnya ada setan, dan lantas si karakter berbalik dan kaget sekonyol-konyolnya ngeliat ada setan di sana. Justru sebaliknya. Extra Ordinary ngebanyol dengan reaksi karakter-karakter seperti Rose dan Martin yang menganggap hantu itu biasa-biasa saja. Para hantu yang malah digambarkan konyol, namun tidak pernah terkesan lebay berkat timing komedi dari penulisan, arahan, dan editing film. Interaksi Martin dengan hantu istrinya merupakan salah satu yang paling sering bikin aku ngakak. Dalam salah satu adegan terlucu lain diperlihatkan saking biasanya ngeliat makhluk gaib, Rose jadi salah mengira nenek-nenek sebagai hantu, dan minta maaf kepada si nenek. Extra Ordinary juga tak berpaling dari humor-humor vulgar ataupun humor ‘sadis’. Ketika tiba giliran memperlihatkan kelakuan antagonis, lelucon film bisa berubah menjadi dark comedy. Dengan percikan darah. Film punya cara tersendiri dalam menampilkan kejahatan manusia. Diperlihatkan kepada kita range kejahatan itu, mulai dari pelet dan jampi-jampi ala voodoo, hingga ke tindakan sesederhana memanipulasi food online supaya dapat makanan gratis. Masing-masing ‘trik dan komedi’ film ini berhasil untuk membuat kita tersenyum geli.

Tidak ada yang hantu di kota ini… kan?

 

 

Dramatic premise cerita film ini sebenarnya enggak unik-unik amat. Kita sudah cukup sering menemukan cerita tentang seorang berbakat atau punya kekuatan yang enggan menggunakan bakat atau kekuatannya tersebut. Yang solusinya tentu saja si tokoh harus belajar berdamai dengan penyebab keengganan tersebut alias berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Dunia horor yang lantas jadi humor, serta pendekatan romance yang tak-biasanya lah yang membuat film ini luar biasa. Adegan-adegan pengusiran setan selalu dilakukan dengan berlapis gagasan mengenai cinta dan berdamai ama masa lalu sebagai bentuk melawan ‘demon’ diri sendiri. Konflik personal Rose dibeberkan lewat alur bolak-balik dengan dibingkai ke dalam video lama acara milik sang ayah sehingga eksposisi atau bahkan malah ejaan gagasan yang dilakukan oleh film tidak kentara. Kita tidak merasa diceramahi ketika membaca ‘Apakah Hantu Punya Perasaan?” yang terpampang di layar. Tapi kita bisa menangkap kepentingan dari judul video tersebut, dan hubungannya dengan perkembangan karakter Rose itu sendiri. Dan pada akhirnya Rose harus menerima ke-extraordinary-annya. Bukan hanya soal Talent, melainkan juga soal cara dia menjalani hidupnya.

Entah sudah berapa kali mungkin kita mendengar bahwa hidup normal itu membosankan. Anjuran untuk mengisi hidup yang biasa-biasa saja dengan hal-hal yang luar biasa. Yang penuh petualangan. Yang, kalo perlu, melanggar batas. Film ini pun berkata demikian. Malah lebih lanjut, film ini memberi sugesti kepada kita untuk tidak perlu takut kehilangan atau bikin kesalahan. Karena darisanalah kita belajar. Hidup demikian lebih baik ketimbang hidup tanpa melakukan atau mencoba apa-apa.

 

Penyelesaian film ini juga meng-subvert pakem genre horror, mirip seperti yang dilakukan oleh The Babysitter: Killer Queen (2020). Hebatnya, Extra Ordinary jadi lebih beralasan untuk membuat solusi yang seperti itu karena sesuai dengan gagasan yang diusungnya, yakni perihal menjalani hidup dengan lebih ‘luarbiasa’. Gagasannya adalah Rose selama ini hidup biasa-biasa aja dan katakanlah, membosankan. Rose benar-benar menjauhi semua yang luar biasa. Film menyimbolkan hal tersebut dengan keperawanan. Menarik bagaimana horor modern tidak lagi memandang keperawanan sebagai suatu kemurnian yang harus dijaga. Yang kini ditampilkan adalah keperawanan itu justru jadi inceran setan, dan orang-orang yang masih murni seperti Rose dianggap menjalani hidup yang membosankan.

 

 

Penggemar British-Komedi niscaya tidak akan melewatkan film ini. Kekuatan utamanya terletak pada cara bercerita dan dalam mengolah hal-hal lumrah menjadi sesuatu yang entah itu menantang atau membuat kita tergelak lalu memikirkan candaan tersebut. Dunianya sendiri terbangun dengan begitu kuat, dengan karakter-karakter yang menarik. Menampilkan tokoh antagonis kadang terasa seperti pilihan yang dilakukan hanya untuk membuat film ini lebih konyol lagi, sesuai dengan genrenya. Sebab film ini sudah luar biasa menarik hanya dengan menampilkan drama romance unik antara Rose dengan Martin yang masih belum bisa move on dari mendiang istrinya. Film memilih untuk menampilkan banyak, dan tetap tidak terbata dalam merangkum semuanya. Ia menunjukkan bahwa sajian receh pun masih bisa jadi enak untuk diikuti dengan tetap hormat pada penulisan dan karakter.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EXTRA ORDINARY

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian setuju bahwa hidup harus dijalani dengan ‘luar biasa’?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE BABYSITTER: KILLER QUEEN Review

11 Friday Sep 2020

Posted by arya in Movies

≈ 3 Comments

Tags

2020, comedy, drama, funny, gore, horror, netflix, relationship, review, sequel, slasher, spoiler, teen, thought

“You will never get over with a crush until you find a new one.”

 

 

 

Ngelupain ‘crush’ atau ‘orang-yang-kita-idolain-ampe-naksir-berat’ itu dapat menjadi hal yang susah untuk dilakukan. Terutama jika ‘pujaan’ kita itu benar-benar dalam kondisi gak mungkin untuk kita dapatkan. Semakin mustahil justru semakin susah. Karena kita penasaran dan tidak mendapat closure terhadap perasaan naksir yang simply tak tersampaikan tersebut.

Tengok saja si Cole. Udah dua tahun. Udah dua film. Tapi dia masih belum bisa melupakan babysitter lamanya yang kece dan keren; Bee. Hubungan yang menarik antara Cole dan Bee memang menjadi salah satu aspek yang bikin kita begitu kepincut sama horor-komedi The Babysitter (2017). Karena bukan hanya sebagai cem ceman, Bee ini udah kayak kakak sekaligus sahabat terbaik bagi Cole. Dan juga, seorang musuh. The Babysitter berubah menjadi horor slasher over-the-top ketika mengungkap bahwa Bee ternyata adalah pemimpin dari klub pemuja setan. Kelompok Bee mengincar darah Cole, si anak polos. Jadi, di samping masih terbayang-bayang sosok Bee, Cole yang sekarang udah SMA juga masih teringat-ingat akan peristiwa mengerikan tersebut. Dia jadi awkard sendiri di sekolah. Orangtua Cole sudah akan mengirimnya ke Psychiatric Academy, jika Cole hari itu tidak kabur ke pantai bersama teman masa kecilnya, Melanie. Namun toh Cole memang tidak gila. Di alam bebas itu, Cole bertemu kembali dengan hantu-hantu dari masa lalunya. Mereka kini bekerja sama dengan geng baru pemuja setan. Dan mereka semua juga belum melupakan soal Cole dan darah innocent Cole yang begitu berharga untuk ritual mereka!

Dan kejar-kejaran konyol itupun dimulai~

 

Aku suka film film pertama; Samara Weaving-nya keren, ceritanya unik, sadisnya fun. Sebagai sebuah sekuel, The Babysitter: Killer Queen ini mempertahankan banyak hal dari film pertamanya. Penonton yang suka dengan gaya gore dan humor lebaynya, sudah pasti akan menggelinjang karena film kali ini menghadirkan lebih banyak ‘tubuh’ yang bakal digunakan untuk eksplorasi kreasi adegan mati yang kocak-kocak. Penonton yang suka dengan gimmick komedi tulisan dan visual akan bernostalgia berat karena film kedua ini menggunakan gimmick yang persis sama. Mulai dari menampilkan judul di opening hingga ke kemunculan momen ‘WTF’ yang dibikin sebagai throwback buat film pertama. Di sekuen finalnya juga; jika film pertama menggunakan lagu We are the Champions, maka di film kedua ini lagu Queen yang dipasang adalah – you guessed it – Kille Queen. So yea, buat penonton yang suka ama sensasi mengenali hal-hal familiar, film ini punya kelebihan pada aspek tersebut. Pemain-pemain yang lama juga semuanya masih lengkap, memainkan karakter mereka terdahulu. Bahkan adegan mati mereka di film ini digambarkan punya kemiripan dengan adegan mati mereka di film sebelumnya. Misalnya, tokoh si Bella Thorne kembali kena tembak di dada dan akhirnya mati dengan kepala yang misah dari badan. Walaupun film terlihat kesusahan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Samara Weaving (karena karakternya mendapat pengurangan durasi yang cukup besar dibanding pada film pertama), elemen horor yang konyol masih dihadirkan dengan level maksimal untuk menyenangkan kita yang semakin hari semakin bosan dan butuh tontonan yang membuat kita sekejap kabur dari realita.

Sayangnya, hal vital satu lagi – selain Samara Weaving – gagal dihadirkan kembali oleh film. Penulis skenario yang menggarap The Babysitter pertama, Brian Duffield, yang notabene bertanggung jawab atas hadirnya penggalian cerita antara Cole dan Bee, yang membuat horor ala home-invasion menjadi menegangkan plus seru dengan ide-ide segar, tidak lagi ambil bagian nulis pada sekuel ini. Duffield hanya terkredit sebagai pencipta karakter. Sebagai gantinya, naskah digarap rombongan oleh sutradara McG bersama tiga kepala lain. Dan hasilnya langsung kelihatan di layar yang kita tonton. Absen sudah narasi yang terstruktur kuat dengan karakter-karakter yang menarik karena bersenang-senang dengan trope karakter dalam genre horor. Kejadian dalam The Babysitter: Killer Queen ini terasa semakin serabutan karena tuntunan dunia atau panggung cerita yang semakin luas, sementara para penulis naskah tidak mampu mengimbangi perluasan tersebut.

Kejar-kejaran itu jadi terasa random. Literally menampilkan tokoh random. Bicara soal gak bisa move on, empat orang di balik naskah ini sepertinya benar-benar memuja para tokoh lama dan gak peduli ama tokoh baru sehingga justru para tokoh lama yang mendapat backstory lebih lengkap. Itupun penceritaannya dilakukan dengan ala kadar dan kayak tempelan. Tokoh-tokoh baru tak sekonyol tokoh lama. Di sini dimunculkan tokoh pendukung mayor baru; seorang cewek pindahan yang punya masa lalu dengan Bee, hanya saja pengkarakteran tokoh ini begitu tipis. Dia baru benar-benar diungkap di akhir, dan sepanjang durasi sebelumnya si cewek ini tak lebih dari device cerita saja.

Hal yang menarik dari tokoh itu adalah, melaluinya dirinya film tampak ingin meng-subvert atau menggulingkan salah satu trope horor klasik. Atau sederhananya, ingin mengubah solusi-klasik dari film horor. Menjadikan solusi itu menjadi lebih cocok dengan keadaan masa-sekarang. Bahasan di paragraf ini bakal jadi spoiler ringan, aku mau ngingetin sedikit sebelum lanjut. Jadi, horor-horor klasik dibuat berdasarkan formula kebaikan menang mengalahkan kejahatan, yang digambarkan seringkali dengan simbol kemurnian lawan sesuatu yang korup. Putih-hitam. Kemurnian di situ berarti keperawanan. Kita acap melihat dalam slasher klasik tokoh yang mati duluan itu ya remaja-remaja binal. Yang dibunuh saat lagi ena-ena. Protagonisnya adalah cewek baik-baik. Kemurniannya bakal mengalahkan corrupt-nya setan. Trope ini pernah ‘ditumbangkan’ oleh Scream (1996) dengan menjadikan Sidney final girl meski gak lagi ‘murni’. The Babysitter: Killer Queen ini seperti menggulingkan apa yang sudah pernah ditumbangkan itu sekali lagi. Di sini setannya mengejar sesuatu yang polos alias murni, dan solusi yang dihadirkan adalah dengan tidak menjadi murni. Justru ketidakmurnian itu yang langsung dijadikan senjata untuk mengalahkan setan. Implikasinya bisa tergantung bacaan masing-masing penonton, dan film tidak ngejudge apapun. Dan kupikir elemen ini tentunya adalah kekuatan dari film ini, jika saja si film ini sendiri tidak terlalu khusyuk menguatkan kekonyolan-kekonyolan dan ceritanya dibuat jauh lebih rapi lagi.

Mungkin The Babysitter dibuat dengan deal ama setan, dan sekuel ini dijadikan tumbal

 

 

Salah satu cara ampuh untuk melupakan ‘crush’ adalah dengan menemukan pujaan yang baru. Cole menemukan ini dan akhirnya mendapat closure. Sayangnya si film sendiri belum, sehingga dirinya jadi terlalu berkubang di film terdahulu dan malah jadi seperti parodi dari film tersebut.

 

Jangankan untuk menyamai film pertamanya, untuk menjadi sebuah tontonan yang menghibur saja film ini tidak lagi mampu. Kekonyolan yang dihadirkan tidak lagi bikin kita senang karena terlalu over. Untuk awal-awal masih bisa ditolerir, namun kemudian semakin menjadi-jadi. Menyeruak ke mana-mana. Lelucon film ini bersandar pada referensi pop culture, dengan rentang yang sungguh luas. Dari polisi yang nyanyi “Ice, ice, baby” hingga ke Joe Exotic dan celetukan soal horor post-Jordan Peele. Untuk komedi dan aksi slashernya, film ini udah menyerempet level ‘edan’, dan edan yang bukan dalam artian positif. Edan, dalam artian kejadiannya terjadi tanpa ada bobot karena begitu random. Semuanya terasa overkill. Dan yang membuatnya semakin parah adalah, kejadian-kejadian tersebut akan jarang sekali terasa fresh. Ada satu sekuen-adegan yang buatku sangat garing. Yakni ketika ada dua tokoh yang berantem; film membuat berantem mereka itu dengan konsep seperti video game. Ada suara “Fight!” dari narator, di sudut atas layar kita kemudian tampil life-bar seperti pada game fighting, dan kedua tokoh tadi berantem pake jurus-jurus. Itu semua terjadi out-of-nowhere. Tampak seperti ingin niru Scott Pilgrim vs. The World, hanya saja dilakukan dengan lebih poor, dan randomnya tidak termaafkan karena tak sesuai degan dunia cerita yang dibangun. Like, kenapa di dunia yang ada cult dan setan, malah nonjolin konsep video game.

 

 

 

Masing-masing penulis tampaknya punya ide dan referensi. Tapi alih-alih berembuk dan menyatukannya menjadi satu konsep yang solid, semua ide dan referensi itu ditampilkan serabutan. Dicampurkan ke dunia dan tokoh-tokoh yang sudah kita kenal. Dan hasilnya ya memang sebuah kekonyolan yang menyerempet ke segala arah. Film ini tidak mampu menulis cerita dan karakter baru yang menyamai, setidaknya, bobot pada film pertama. Film ini tidak mampu menciptakan konsep baru. Film hanya tahu membuat semuanya jadi berskala lebih besar. Sayangnya, itu termasuk kebegoan. Malahan kebegoan itulah yang justru diprioritaskan untuk membesar.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE BABYSITTER: KILLER QUEEN

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Who’s your biggest crush ever? Dan bagaimana cara kalian move on darinya, jika bisa?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

GURU-GURU GOKIL Review

18 Tuesday Aug 2020

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2020, comedy, crime, drama, family, father, funny, gadis sampul, life, love, netflix, relationship, review, spoiler, thought

“Experience is the best teacher, and the worst experiences teach the best lessons.”

 

 

 

 

Sosok seorang guru adalah sosok yang menginspirasi. Yang menjadi suri teladan. Pahlawan tanpa tanda jasa. Beruntung, Guru-Guru Gokil karya Sammaria Simanjuntak yang tayang eksklusif di Netflix bukan guru. Sebab sebagai sebuah cerita tentang guru-guru, film ini nyaris tidak punya ‘muatan lokal’ yang menarik, dan tidak ada yang bisa menggugah inspirasi sama sekali. Kecuali buat orang yang mimpi jadi pahlawan di siang bolong.

Sama seperti orang-orang normal di seluruh dunia, Taat Pribadi suka ama yang namanya duit. Jadi dia pergi merantau ke kota, nyobain pekerjaan apapun demi mencari uang. Jauh dari kampungnya, jauh dari bapaknya yang guru. Jauh dari kerjaan guru itu sendiri; kerjaan yang ia sinisin karena hubungannya dengan sang bapak. Namun ketika semua usaha gagal, Taat terpaksa pulang dan mengambil kerja sampingan sementara sebagai… seorang guru! Hihihi seharusnya memang ada yang menarik dan lucu di sini, karena Taat bekerja di sekolah tempat ayahnya mengajar. Ada hati juga. Situasinya sudah klop untuk jadi sebuah komedi yang hangat tentang bapak dan anak. Hanya saja, kemudian pada naskah dimunculkan sebuah perampokan uang gaji para guru. Taat kemudian menginvestigasi, karena tentu saja awalnya dia ingin duitnya. Tapi kemudian ada guru yang ia suka. Kemudian ada penjahat yang sadis. Kemudian ada Dian Sastro yang jadi guru pinter tapi ‘oon – dan dia lagi hamil. Bisa aku meledak sekarang?

Mungkin gokil di sini maksudnya beneran ‘pergi membunuh’

 

Sementara para pemain memang tampak nyata sangat menikmati permainan peran mereka masing-masing; Gading Marten is on his zone, dua alumni Gadis Sampul Faradina Mufti dan Dian Sastro (the later is also the producer) bersenang-senang dengan karakter yang berbeda dari tipikal peran drama yang biasa mereka mainkan, dan bahkan Asri Welas diberikan sesuatu yang baru ketika memainkan tokoh Kepala Sekolah. Their joy membuat film ini ceria meskipun film bersikukuh menggunakan warna ekspresionis oren alih-alih cerah dan light-hearted. Dan memang kesenangan mereka itu tidak pernah terdeliver kepada kita. Cerita film ini sebagian besar akan berfokus kepada pemecahan kasus pencurian. Memperkenalkan needlessly sadistic villain nun jauh di pertengahan cerita. Ketika kita sadar cerita crime pun sebenarnya masih bisa lucu dengan bumbu-bumbu komedi, film Guru-Guru Gokil ini masih bingung. Berada di tengah, di antara semuanya. Lucu enggak, tegang kurang, drama gak nyampe. Kita dibuatnya terlalu bosan oleh arahan yang mengawang untuk bisa ikut excited, untuk ikut tertawa, dan untuk hanyut terenyuh.

Penulisannya sebenarnya enggak buruk. Taat Pribadi jelas bukan tokoh yang membosankan. Karakternya punya cela dan ‘flawed-character’ inilah adalah cara yang tepat untuk membuat cerita menjadi menarik. Marlin adalah ayah yang overprotektif, Woody adalah mainan lama yang iri sama mainan baru, Ariel adalah anak duyung yang melawan pada aturan bapaknya. Kita menganggap tokoh-tokoh bercela seperti demikian itu menarik karena cerita adalah soal pertumbuhan mereka menjadi lebih baik. Itulah yang disebut dengan journey mereka. Taat pada Guru-Guru Gokil cinta mati ama duit, serta dia gak suka sama bapaknya yang ia anggap lebih baik dan mendengarkan orang lain daripada dirinya. Taat tidak serius menjadi guru pengganti, dia hanya mau duitnya. Nantinya, Taat harus memilih antara duit atau menyelamatkan sekolah. Pertumbuhan di sinilah adalah Taat berkembang menjadi beneran peduli pada orang-orang di sekolah. Poin awal dan akhir film ini sebenarnya tepat. Jika ini mesin, maka roda-roda giginya berada pada posisi yang benar. Hanya saja, proses dari awal ke akhir, dari poin a ke poin b itulah yang menjadi masalah. Film ini menggunakan banyak roda gigi yang gak seimbang sehingga perjalanan cerita film ini enggak asik untuk diikuti.

Karakter yang tadinya bercela itu dikembangkan jadi ahli-semua. Taat menjadi membosankan saat ia mampu memecahkan apapun. Masalah yang seharusnya jadi ‘alat’ untuk karakternya berkembang dan belajar, malah either beres dengan bantuan atau ia kerjakan sendiri dengan gampang. Bukan saja Taat mampu jadi guru pengganti yang baik, yang konek dengan semua murid di kelas tanpa kita lihat prosesnya seperti apa, pria ini juga mampu menemukan pelaku kejahatan hanya dengan modal tato. Ia juga bisa sulap, mencairkan hati seorang guru galak. Dia bisa mengetahui hal di kampung itu yang tak semestinya dia yang-baru-datang-dari-kota tidak ketahui. Film punya cara gampang; begitu ada sesuatu yang perlu dijelaskan, mereka cukup membuatnya sebagai adegan flashback atau montase dengan narasi voice-over dari Taat.

Mungkin ini adalah cara film untuk menyuarakan gagasan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Taat bisa itu semua karena dia memang sudah mencoba banyak hal. Taat membuat jadi guru tampak sedemikian mudah. Cuma butuh pengalaman buruk untuk bertobat, dan wanita cantik untuk dicie-ciein.

 

Paling enak kita membandingkan Taat dengan Dewey Finn, tokoh yang diperankan Jack Black di School of Rock (2003). Filmnya sama-sama komedi di sekolah. Kedua tokoh sama-sama ‘flawed character’ guru pengganti yang peduli sama duit bayarannya aja. Kedua sama-sama gak tahu menahu apapun soal pelajaran sekolah ataupun cara mengajar anak-anak. Namun pada School of Rock, Dewey tidak pernah bicara tentang hal yang tidak ia tahu. Dan film tersebut benar-benar nunjukin. Dewey hanya tahu soal musik rock, dan itulah yang ia ajarkan kepada murid-murid. Dewey memanfaatkan para murid untuk ikut serta dalam lomba ngeband, membohongi mereka dengan mengatakan bahwa itu adalah proyek sekolah yang akan dinilai dan menentukan masa depan. Kita melihat prosesnya, Dewey jadi dekat bukan hanya dengan murid tapi juga dengan sesama guru; dia menggunakan skill ngeles dan ‘pengetahuan’ musiknya di ruang guru, di kantin. Kita juga diperlihatkan konsekuensi ketika kunjungan orangtua Dewey sama sekali tergagap karena gak bisa ngajar. Tidak ada proses itu pada Taat di Guru-Guru Gokil. Tidak ada kantin, tidak ada ruang guru. Melainkan hanya poin-poin seperti tau-tau murid-muridnya diskusi dan menggambar tato bareng. Hampir seperti film ini nyontek plot School of Rock untuk bagian di kelas. Tau-tau ada orangtua yang minta kunjungan belajar dan di situpun Taat diselamatkan oleh murid. Hanya ada satu murid yang benar-benar berkoneksi dengan Taat, dan itu karena bagian dari elemen romansa yang dimiliki oleh cerita. Dalam School of Rock, kesimpulannya jelas. Bagaimanapun juga Dewey tidak layak menjadi guru sekolah, tapi dia menunjukkan bahwa pendidikan di sekolah harus berimbang, antara seni dan teori. Dewey akhirnya jadi guru les musik bagi murid-murid di sekolah itu. Sebaliknya pada Guru-Guru Gokil, tidak jelas apa yang mau dikatakan oleh film ini kepada dunia guru dan pendidikan itu sendiri.

Sebaiknya semua orang hanya mengucapkan apa yang mereka tahu

 

 

Ada seuprit komentar/kritik di sana sini soal gaji guru yang kecil, tapi mereka mau jualan untuk nambah-nambah pun gak boleh karena kurang etis pada tempatnya. Ataupun soal guru yang diprank atau malah dibully oleh murid. Seperti yang memang cukup marak belakangan ini, banyak guru yang ngalah dan berada di posisi sulit antara anak yang terlalu bandel dan dimanja oleh orangtuanya. Film ini seperti ingin menggagas supaya kita lebih meninggikan derajat guru. Namun tentu saja pesan itu jadi susah untuk mengalir ketika film sekaligus memperlihatkan orang seperti Taat saja ujung-ujungnya bisa jadi guru di sekolah. Dia tak kalah pintar dan cerdiknya dengan guru beneran. Dia cuma butuh ijazah untuk formalitas. Kita tidak pernah benar-benar merasakan darimana kecintaannya mengajar timbul karena film lebih meluangkan waktu untuk mengembangkan elemen romansanya kepada seorang guru, ketimbang mengembangkan proses dengan murid-murid. Karakter bercela ini jadi ter-redeem hanya karena ada tokoh penjahat, tokoh guru yang lebih jahat – yang lebih suka uang daripada dirinya. Pemecahan kasusnya tak menarik karena seperti generik film-film komedi yang penjahatnya digambarkan over-sadis tapi bego – kayak di film untuk anak balita. Konflik Taat dengan sang bapak beres dengan gampang, hanya butuh ‘membuka komunikasi’.

Dan seperti yang diperlihatkan oleh adegan endingnya yang teramat cheesy – ya bahkan lebih cheesy dari adegan ‘hujan uang’ yang mestinya bisa lebih berbobot itu – pada film ini, syarat jadi guru yang baik itu cuma satu: harus tetep gokil!

Oke aku meledak sekarang. DUAR!!

 

 

 

 

 

Kalo mau nonton cerita tentang korupsi/kriminal di balik dinding sekolah karena guru yang gajinya kecil juga pantas untuk nuntut ‘tanda jasa’, ada Bad Education (2020), yang berasal dari kisah nyata. Kalo mau ringan dan lucu tentang orang yang tadinya tidak peduli sama pendidikan dan maunya cuma duit menemukan cintanya sebagai pengajar, ada School of Rock. Poinku adalah, masih ada pilihan tontonan lain yang jauh lebih baik, lebih seru, lebih lucu dengan caranya masing-masing, dibandingkan dengan film ini yang berusaha untuk menjadi semuanya sekaligus. The comedy is fine, enggak terlampau receh, penampilan aktingnya juga oke. Mestinya film ini berfokus kepada anak dan bapak itu saja, enggak usah terlalu banyak pada kasus perampokan. Hasilnya malah film ini jadi salah satu film komedi crime termembosankan dan cerita tentang guru yang paling tak-inspiratif yang bisa kita saksikan. Oh iya, film ini juga mencoba jadi film lebaran dengan setting bulan puasa yang eksistensinya benar-benar tak lebih dari sebuah sepuhan. Such a shame karena ini adalah film-baru Indonesia pertama yang tayang semenjak pandemi, dan bisa tayang di Netflix seluruh dunia, hanya untuk jadi tontonan setengah-setengah dengan muatan lokal yang demikian lemah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GURU-GURU GOKIL.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Tipe guru seperti apa yang kalian suka dan tak suka? Hal terbandel apa yang pernah kalian lakukan kepada guru? Melihatnya kembali sekarang, spakah kalian menyesal melakukannya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SHE DIES TOMORROW Review

09 Sunday Aug 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, art, drama, family, festival, friendship, horror, life, love, psychological, relationship, review, spoiler, thought, thriller

“Live each day like it’s your last, ’cause one day you gonna be right”

 

 

 

Kematian adalah sesuatu yang pasti, sekaligus merupakan sebuah misteri. Karena tidak ada satupun manusia yang tahu pasti kapan dirinya akan mati. Semua itu didesain untuk membentuk manusia itu sendiri. Orang yang pintar nan bijaksana akan berpikir bahwa setiap saat dirinya bisa mati, maka mereka mengisi waktu hidupnya dengan amal-amal dan kegiatan yang berguna. Memastikan tidak ada waktu mereka yang sia-sia. Namun tentu saja, sama hipotetikalnya untuk menjadi manusia sesempurna itu. Bagi kebanyakan orang, menghadapi kematian akan terasa sama seperti yang dirasakan oleh Amy dan tokoh-tokoh di film She Dies Tomorrow. Menakutkan dan penuh kecemasan.

Malam itu Amy (Kate Lyn Sheil mengalunkan emosi  tanpa banyak berkata-kata) tersentak dengan keyakinan absolut bahwa esok dirinya akan meninggal. Pada poin awal cerita, kita belum tahu darimana pengetahuan atau keyakinan wanita itu berasal, tetapi kita toh melihat hal-hal ganjil yang ia lihat. Yang ia rasakan. Amy melihat cahaya merah-biru-hijau berpendar di rumahnya. Dia merasakan depresi begitu kuat sehingga ia lebih memilih untuk baring di lantai. Sembari mencakar ubinnya. Amy berjalan linglung kayak orang mabok. Dan akhirnya dia menelpon sahabatnya, yang malam itu datang dan mendengar curhat soal besok Amy tidak lagi ada di dunia. Sang sahabat tentu saja menyanggah, dan menenangkan Amy, lalu pergi pulang. Namun di ruang kerjanya sendiri malam itu, sahabat Amy kepikiran soal kematian, dan akhirnya dia sendiri jadi percaya dirinya juga akan mati esok hari. Diapun mencari pertolongan ke kerabat. Hanya untuk membuat lebih banyak lagi orang-orang yang depresi dan bertingkah aneh seperti Amy. Semua orang kini percaya besok mereka mati!

Ada yang menyebar, tapi bukan virus

 

Sutradara Amy Seimetz dengan tepat menangkap ketakutan dan kecemasan manusia saat akhir hidup tiba, dan menerjemahkan dua perasaan tersebut ke dalam visual semi-surealis yang membuat bulu kuduk meremang. Jika kita menyebut She Dies Tomorrow ini film horor, maka ia adalah horor yang kuat visual dan perasaan. Tentu, tokoh-tokoh film ini melakukan beragam hal yang aneh dan menyerempet disturbing – ada tokoh yang ‘membunuh’ anggota keluarganya dan meyakininya sebagai tindakan belas kasih terakhir sebelum dirinya sendiri expired – tapi tindakan-tindakan seperti demikian tidak menjadi sumber dari ketegangan yang kita rasakan saat menonton. Tindakan itu adalah produk; reaksi dari aksi penyadaran. Penyadaran inilah horor yang sebenarnya. Bagaimana perubahan sikap mereka yang tadinya mengolok tokoh yang bilang besok ia pergi; mereka lantas menjadi sama ‘kosong’ dan hopeless dalam sekejap setelah mereka mengucapkan “bagaimana kalo besok kita beneran mati?”

The sudden silence, close up wajah-wajah yang mengucurkan air mata, gambar seseorang menangis tanpa suara, nyatanya akan balik menghantui kita tatkala pertanyaan terbesar dan terus berulang film itu kita tanyakan balik kepada diri kita. Elemen psikologikal thriller dari film ini bekerja dengan kuat berkat permainan akting yang seragam meyakinkan. Ini adalah bukti dari arahan film sangat fokus dan punya visi. Bukan tidak mungkin pula film ini sangat personal bagi sutradara. Nama tokoh yang dibuat serupa dengan nama dirinya mungkin untuk menunjukkan sang sutradara punya pengalaman langsung dengan dua perasaan utama yang jadi kunci pada film ini.

Mengetahui kapan pastinya kita pergi, enggak benar-benar membuat hidup kita lebih baik, bahagia, dan terhindar dari rasa penyesalan serta kecemasan. Karena sebenarnya mengetahui kita pasti akan pergi saja sudah cukup. Kita mestinya senantiasa ingat bahwa setiap hari bisa saja menjadi hari terakhir, maka isilah waktu supaya nanti tidak ada penyesalan. Usahakanlah supaya tidak ada penyesalan.

 

Sementara visual dan penceritaan boleh jadi senjata utama film, sebenarnya bagian paling penting yang secara subtil dipantik oleh film ini adalah pertanyaan ‘mengapa’. As in, mengapa ‘penyakit yakin besok mati’ itu bisa demikian menular. Lagi film ini membawa kita berkontemplasi. Tokoh-tokoh yang tertular itu, adalah orang-orang yang punya penyesalan, yang punya sesuatu yang belum mereka lakukan dalam hidup – entah itu belum sempat atau belum mampu. Orang-orang yang hidupnya perlu banyak pembenahan. Dalam sebuah film yang fokus pada narasi yang kuat, cerita seperti ini akan menampilkan tokoh pendukung yang sama sekali tidak terpengaruh atau tidak tertular oleh anxiety kematian seperti yang dialami Amy. Tokoh yang berfungsi sebagai pembanding. Namun She Dies Tomorrow tidak tertarik akan hal tersebut, demi sebuah keabsahan. Karena menampilkan tokoh yang tak tersentuh tentu akan mengurangi kekuatan ‘kematian’ itu sendiri. Film ini ingin realistis dalam hal tidak ada manusia-sempurna. Tidak ada manusia yang tidak terganggu oleh kepastian dirinya besok tiba-tiba meninggal. Mulai dari dokter hingga ke tukang sewa atraksi mobil semuanya punya unfinished business yang ingin diselesaikan perlahan. Kita semua punya masalah yang kita takuti, mengetahui hari ini adalah kesempatan terakhir untuk bisa menyelesaikannya terang saja bakal menimbulkan reaksi seperti yang ditampilkan oleh film ini.

Makanya Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi

 

 

Meskipun kematian tersebut pasti, dan para tokoh yakin malam itu adalah malam terakhir, namun film mengontraskan itu semua dengan membuat segala aspek tidak-pasti. Yang dibangun oleh film ini adalah sensasi ketakutan atas sesuatu yang samar-samar. Inilah hal yang paling dekat dengan yang disebut ‘plot’ oleh film ini. She Dies Tomorrow tidak punya narasi. Sudut pandangnya berpindah-pindah antara satu tokoh ke yang lain. Belum lagi lompatan-lompatan flashback. Semua tokoh di sini sama lemahnya, tokoh utama cerita boleh saja kita tukar-tukar sendiri dan enggak akan ngaruh ke seluruh cerita. Karena film ini sebenarnya adalah soal suasana. Dan ini membuat film jadi punya jarak dengan penonton. Terkadang dia seperti menggiring ke sesuatu, tapi ternyata tidak. Penonton yang ingin melihat sebuah resolusi, akan kecewa karena tidak ada semua itu di sini. Konsekuensi atas tindakan masing-masing tokoh pada malam itu juga dilewatkan dan dibiarkan mengambang.

Menonton awal-awal film ini, akan gampang bagi penonton kebanyakan untuk menyangka ceritanya adalah tentang sesuatu ‘makhluk’ yang menyebabkan penularan-kematian tersebut. Karena memang film di awal membuat seolah ada sesuatu. Kamera akan mengambil sudut-sudut dari balik pintu, atau dari belakang, seolah ada yang mengincar tokoh. Dan ini kinda mengarahkan penonton ke tempat yang salah. Mengecoh penonton. Karena kemudian kamera yang demikian tidak terjadi lagi. Dengan begitu saja film membuka kenyataan, yang mereka lakukan di sini adalah seperti menuntun anak ke suatu tempat kemudian melepaskan pegangan tangannya begitu saja. Cerita film ini sepertinya bisa saja jadi lebih menarik dengan memberinya bangunan narasi yang normal, yang tanpa flashback, yang runut dan benar-benar menceritakan si Amy itu sendiri. Namun itu tidak akan mengenai target sutradara yang menginginkan horor atau thriller yang lebih menekankan kepada perasaan atau mood. Jadi ini adalah resiko kreatif, yang harus kita apresiasi dan hormati.

 

 

 

Visually intriguing, atmosfernya mellow dan unsettling, dan semua kerasa mencekam dari dalam. Membuat kita ikutan resah dan memikirkan kematian. Ini bukan horor/thriller biasa yang mengandalkan ada sosok yang melambangkan ketakutan, yang ada demon yang harus dikalahkan. Dalam film ini hantunya adalah anxiety, yang berasal dari tokoh masing-masing yang gagal mengisi hidup mereka sehingga banyak penyesalan dan urusan yang mendadak harus diselesaikan. Sebuah entry yang menarik dan menambah rentang film mencekam. Gak semua orang akan nyaman nonton ini, ataupun senang dengannya. Jika besok aku mati, aku gak rela film ini jadi horor terakhir yang aku tonton, karena aku ingin melihat perjalanan yang lebih menakutkan dengan narasi yang lebih terstruktur dan memuaskan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SHE DIES TOMORROW.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Siapkah kalian jika besok waktu kalian sudah habis? Apakah menurut kalian mengetahui kapan pastinya kita mati akan membuat kita lebih baik? Atau lebih baik untuk tidak tahu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

YES, GOD, YES Review

30 Thursday Jul 2020

Posted by arya in Movies

≈ 4 Comments

Tags

2019, 2020, comedy, coming-of-age, comparison, drama, family, friendship, funny, life, relationship, religion, review, spoiler, teen

“You must never feel badly about making mistake, as long as you take the trouble to learn from them”

 

 

 

 

Coba ingat apa hal yang paling kita takutkan pada saat masih sebagai makhluk yang polos. Takut bikin marah orangtua. Takut kena marah guru. Takut bikin salah. Takut dosa. Apalagi kalo kita besar di lingkungan yang aturan agamanya kuat, kayak Alice di film Yes, God, Yes. Cewek ini adalah tipikal remaja rohis banget. Tumbuh dengan pengawasan pendidikan dan moral Katolik yang ketat. Yang kaku dan konvensional. Lingkungan Alice menjadi semakin ‘jaman jahiliyah’ lagi sebab film ini bertempat di awal 2000an, jadi sebagai pelengkap penduduk cerita yang masih belum terbuka, kita lihat Alice juga hidup di era informasi yang terbatas. Internet belum seperti sekarang. Komputernya masih membuka gambar dengan bertahap. Dan ruang chatnya? Well, di ruang chat itulah Alice menemukan sumber masalahnya. Dia belajar hal yang sebenarnya tak boleh ia lakukan karena dilarang agama. Tapi Alice penasaran. Dan semakin ia penasaran, ia semakin lakukan, dan ia semakin merasa berdosa. Alice lantas ikut club agama untuk menemukan ketenangan. Hanya saja yang ia tahan justru tambah menjadi-jadi. Membuat dia dikucilkan teman bahkan guru, dan membuat dirinya bertanya-tanya sendiri apakah dia bakal jadi penghuni neraka.

Enak gak sih baca paragraf di atas? Kebayang gak si Alice sebenarnya ngapain dari sana? Aku sengaja untuk tidak terang-terangan untuk membuktikan satu poin. Bahwa menutup-nutupi itu memang sejatinya tidak memuaskan. Tidak membantu untuk orang melihat apalagi memahami persoalan yang sebenarnya. Sekolah Katolik tempat Alice menimba ilmu penuh oleh orang-orang yang menutup-nutupi perbuatan mereka, dengan segala petuah dan tindak-tindak suci. Membuat Alice jadi tidak bisa sepenuhnya mengerti ‘baik-dan-salah’, dia malah nyangkanya semua orang dewasa yang taat beragama adalah orang-orang yang tak pernah berbuat dosa. Untung bagi kita, film Yes, God, Yes ini sendiri sangat blak-blakan dalam bercerita. Sutradara Karen Maine jujur ketika menyebut seksualitas. Tidak seperti yang kulakukan di paragraf atas. Maine benar-benar gamblang memperlihatkan gerak-gerik penasaran remaja wanita polos dalam diri Alice yang baru saja terbangun gairah kedewasaan. Maine menyorot kepolosan Alice dalam cahaya komedi, bukan untuk kita menertawakannya. Melainkan supaya kita lebih relate, karena ada masa kita seperti Alice. Dan sekarang kita mengerti bahwa yang dibutuhkan oleh Alice dan remaja-remaja itu bukanlah ceramah bahwa masturbasi atau pacaran itu masuk neraka, melainkan bagaimana melakukannya dengan ‘bertanggung jawab’

Si Alice mungkin mikirnya nyari tahu lewat google dosanya lebih besar

 

The best thing yang dilakukan oleh film ini adalah penggambarannya yang sangat akurat terhadap innocent dan rasa takut seorang remaja yang masih polos, terhadap not exactly pada aturan agama yang ia yakini melainkan lebih kepada aturan dan judgement orang-orang penganut agama tersebut. Yes, God, Yes ini menjawab pertanyaan dan keraguan banyak remaja-remaja seperti Alice seputar urge yang pastilah mereka rasakan. Untuk kemudian film ini akan memberikan jaminan kepada remaja-remaja tersebut, bahwa mereka tidak sendirian. Bahwa yang mereka rasakan adalah normal. Dan ultimately bahwa semua orang punya rahasia, semua orang punya dosa, bahkan orang dewasa – guru ataupun orangtua – sekalipun.

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan dosa. Semua orang melakukan kesalahan, bukan saja itu hal yang normal, malah iklan ada yang nyebut ‘berani kotor itu baik’. Saat salah kita jangan jadi hipokrit, dan jadi sok suci demi menutupi kesalahan itu. Own up to it. Karena pada saat salah itulah kita belajar. Kita mengubah diri menjadi lebih baik, kita jadi tahu mana yang benar. Hidup bukan untuk tidak berbuat dosa, melainkan memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Kita menebus dosa di dunia salah satunya adalah dengan belajar dari kesalahan. 

 

Arahan Maine juga sukses membuat Natalia Dyer luar biasa tampil meyakinkan. Natalya bukan favoritku di serial Stranger Things karena tokoh dan permainannya di situ sangat generik. Sedangkan di Yes, God, Yes ini, Natalya tampil dengan jauh lebih mantap. Dia terasa otentik memainkan tokoh yang so lost dalam rasa penasarannya. Yes, God, Yes sudah seperti versi yang lebih ringan dan polos dari film Lady Bird (2017) dan Alice sendiri tampak seperti figur Christine yang jauh lebih polos – Natalya berpotongan mirip Saoirse Ronan, hanya lebih ‘rapuh’. Kedua tokoh dalam film masing-masing mengalami masalah yang serupa, they are both in their sexual awakening, mereka sama-sama bertempat di lingkungan Katolik, sehingga gampang bagi kita untuk menarik garis perbandingan. Pertanyaan terbesar yang datang dari itu adalah, setelah Lady Bird yang begitu otentik dan natural di segala bidang, masih perlukah kita menonton Yes, God, Yes?

Tentu, Yes, God, Yes ini banyak dikasih nilai bagus oleh para kritikus. It’s only natural berkat ceritanya yang masuk dan benar-benar fit in ke dalam narasi kontemporer (baca: agenda jaman now) Terlebih para SJW dalam kalangan kritikus selalu suka dengan cerita-cerita yang menyudutkan aturan tradisional; tersebutlah agama di dalamnya. Pemahaman narasi film ini adalah pada penekanan bahwa semua manusia itu berdosa. And sure it’s true. Kita gak boleh merasa superior daripada orang lain hanya karena kita lebih taat dan rajin beribadah daripada mereka. Hanya saja, cara film ini menyampaikan pesannya itu justru seolah Alice menjadi berani dan merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri begitu ia tahu orang lain juga melakukan kesalahan; begitu ia melihat orang-orang yang seharusnya lebih ‘alim’ daripadanya ternyata melakukan perbuatan dosa yang lebih parah daripada dirinya. Membuat cerita film seperti begini, untuk menampung gagasan yang true tadi, menjadikan film tidak ‘menantang’ baik bagi Alice maupun bagi kita. Melainkan hanya jatuh ke contoh-contoh banal, like, ‘pfft tentu saja si pastor itu otaknya ngeres, atau tentu saja kakak pembina murah senyum itu aslinya maniak seks.’ Tentu, kasus-kasus seperti demikian memang ada dan terjadi di dunia nyata – misalnya baru-baru ini terkuak soal kekerasan seksual di balik tembok Gereja seperti yang dilansir Tirto – tapi pada film ini, elemen itu dimasukkan tanpa disertai narasi atau bahasan yang memadai. Mereka hanya dimunculkan begitu saja, tak ubahnya sebagai ‘jawaban mudah’ terhadap kebimbangan tokohnya; sesuatu yang gampang untuk membuat tokoh utama merasa lebih baik.

Pesan yang lebih kuat adalah membahas bagaimana mengakui salah dengan benar-benar menyadari kesalahan itu sendiri. Bagaimana supaya Alice tidak merasa rendah karena perbuatan wajar yang ia lakukan. Dalam film ini Alice merasa lega setelah diberi penguatan oleh seseorang ‘masak cuma nonton Titanic masuk neraka’, dan dengan dia memergoki orang-orang suci di sekitarnya melakukan dosa yang lebih besar daripada ngerewind adegan mobil Titanic atau chat nanyain arti dari slang ‘toss salad’. Film yang lebih baik tidak akan membuatnya memergoki, melainkan membangun relasi yang padat dan emosional antara Alice dengan orang-orang Gereja yang membuatnya merasa terttekan itu. Drama mereka akan digali, mungkin dengan pastor yang menceritakan pengalamannya dulu suka nonton bokep, atau apapun yang membuat cerita berkembang dari Alice yang awalnya mengantagoniskan mereka. Namun Yes, God, Yes malah memilih untuk meng-conjure adegan alice ketemu ‘manusia bercela’ dan memperlihatkan dia lebih gampang membuka diri di depan orang-orang yang gak judgmental. Di sinilah letak masalah penyampaian agenda film ini. Yes, God, Yes begitu set out untuk mengkotakkan mana golongan yang judgmental dan fake, dan mana yang tidak, sementara kita tidak benar-benar melihat bangunan kokoh atas aspek itu, melainkan juga cuma berdasarkan judgment kita sendiri.

Lebih gampang mengakui kita salah jika orang lain juga bersalah, ketimbang jika orang lain benar

 

 

Untuk tidak ikutan bias seperti mereka-mereka yang ngasih nilai tinggi buat film ini hanya karena seusai dengan narasi dan agenda mereka, aku juga gak mau ngasih film ini nilai rendah hanya karena gak sesuai dengan pesan yang menurutku lebih kuat. Maka mari melihat film ini secara objektif penceritaan saja. Dan kupikir, setelah kita menonton Lady Bird yang memperlihatkan Katolik itu tidak mesti sebagai sangkar antagonis yang memenjarakan karakternya, kita gak perlu lagi menonton film komedi banal seperti Yes, God, Yes ini. Alice adalah karakter yang ditulis dengan lemah. Film tidak memberikannya waktu untuk karakternya terset-up dengan baik. Alih-alih memperlihatkan, film memilih untuk menjadikan backstory Alice sebagai misteri yang jadi hook cerita – tentang apakah Alice benar-benar melakukan hal yang digosipin seluruh sekolah pada saat pesta. Ini membuat jarak antara kita dengan Alice. Hobi Alice juga gak berpengaruh langsung terhadap cerita. Dia dibuat hobi main game ular di Nokia, and that’s it. Seperti dimasukin buat denyutan nostalgia saja.

Pun, hubungannya dengan keluarga, hubungannya dengan sahabat, hubungannya dengan guru dan pastor, tidak ada yang sempat diceritakan dengan matang. Semuanya datang-pergi dengan cepat. Film ini mencukupkan dirinya di 78 menit, bukan karena penulis gak mampu untuk bikin lebih panjang. Tapi karena jika dipanjangin lagi, jika drama dan relasi-relasi tersebut digali lebih dalam, ceritanya jadi gak cocok lagi dengan agenda judgmental yang diusung oleh film. Jadi film ini memilih untuk tetap pendek. Dan memang jadi kayak film pendek yang dipanjang-panjangin, ditarik begitu aja sehingga jadi tipis.

 

 

 

Bayangkan karet balon yang ditarik sehingga jadi nyaris transparan. Sepeti itulah film ini. Mereka harusnya nambah lapisan drama, untuk membuat film jadi lebih berbobot, penting, tanpa mengurangi keinosenan yang jadi ujung tombak. Lagipula, menambah durasi tentu saja bukan perbuatan dosa. Meski memang banyak momen relateable yang membawa kita ke jaman waktu masih polos, tapi momen cringe juga tak kalah banyaknya sampai kita pengen bilang ‘oh, God, no’
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for YES, GOD, YES.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kapan pertama kali kalian nonton bokep? Apakah kalian masih ingat reaksi pertama kalian saat menontonnya? Apakah kalian masih merasa bersalah atau canggung jika saat ini nonton dan ketahuan oleh orangtua?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE RENTAL Review

25 Saturday Jul 2020

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2020, drama, horror, life, love, mature, psychological, relationship, review, spoiler, thought, thriller

“You have nothing to fear if you have nothing to hide”

 

 

 

Membuat film itu adalah kesempatan langka yang sangat berharga. Karena apa? Karena itulah saat suara kita, gagasan – ide – pendapat kita dianggap punya nilai sehingga seseorang mau mengeluarkan uang demi kita bisa menyuarakannya. Aku percaya semua orang yang pengen bikin film sejatinya karena mereka punya sesuatu yang urgen – sesuatu yang menurut mereka penting – untuk disampaikan. Bikin film bukan semata untuk gaya-gayaan. Aktor Dave Franco tidak menyia-nyiakan kesempatan semacam demikian. Dalam debutnya sebagai sutradara, Franco menuangkan ketidaknyamanannya perihal privasi ke dalam cerita peliknya hubungan percintaan, rekanan dan persaudaraan – untuk kemudian diselesaikan dengan aktual horor yang berdarah-darah. Menjadikan The Rental sebagai cerita yang lebih dekat dengan rumah buat sebagian orang.

The Rental adalah tentang dua pasangan yang memutuskan untuk liburan bareng. Melepaskan penat beban kerjaan dengan gila-gilaan di rumah/vila pinggir laut keren yang mereka temukan di internet. Namun ada sesuatu yang gak enakin hati pada pemilik rumah tersebut. Pertama, dia terduga rasis. Dan kedua, mentang-mentang rumahnya, dia keluar masuk begitu saja tanpa sepengetahuan orang-orang yang telah menyewa. Puncak ketidaknyamanan tinggal di sana adalah ketika salah satu dari pasangan yang nyewa rumah itu menemukan kamera tersembunyi, terpasang di kamar mandi. Walau ini sebenarnya justru mempermudah; mereka tinggal lapor polisi, si pemilik yang tadinya rasis kini juga terbukti cabul itu dibekuk, dan mereka bisa dapat ganti rugi. Kan? Well, masalah jadi pelik lantaran dua dari mereka punya rahasia yang tertangkap kamera, dan mereka gak mau ketahuan. Jadi mereka terpaksa tutup mulut. Hanya untuk menemukan bahwa kamera-kamera itu ternyata punya ‘asal-usul’ yang jauh lebih mengerikan. Bukan saja hubungan baik antara mereka berempat yang kini terancam, nyawa mereka semua juga!

horor dari Airbnb!

 

Dengan menutup akses ‘jalan keluar yang mudah’ bagi para tokohnya (dalam keadaan normal cerita ini dengan gampang bakal beres saat mereka menemukan kamera, tapi film membuat tokohnya punya rahasia yang gak boleh ketahuan), The Rental jadi punya cengkeraman yang kuat sekali pada konflik kompleksitas manusia. Set up film ini sangat menarik. Yang dihamparkan oleh film ini adalah empat tokoh (lima, sama si pemilik rumah) yang enggak sebegitu unik, melainkan menarik karena dari hubungan mereka masing-masing kita bisa mengendus bau-bau konflik. Dan film memang benar-benar membawa kita menerobos ke konflik-konflik tersebut.

Dua pasangan yang menjadi pusat cerita adalah Charlie-Michelle dan Josh-Mina. Namun relasi antarmereka enggak sesimpel itu. Pada adegan pembuka kita malah akan menyangka Charlie dan Mina yang berpacaran. Karena mereka berdualah yang dengan akrab memesan rumah. Turns out, Charlie dan Mina adalah rekan kerja, dan mereka memang sahabat dekat. Sementara Josh adalah saudara Charlie. Josh ini dalam hal apapun digambarkan inferior dari Charlie; not to mention dia emosian dan pernah berurusan dengan polisi. Di rumah, kita ketemu pasangan Charlie yang sebenarnya; Istrinya yang ceria, Michelle. Dengan hubungan yang ‘menantang’ seperti itu, kita langsung tahu bahwa mereka sebenarnya gak benar-benar teman, or even cuma-teman. Dan kesadaran kita akan tersebut membuat nontonin mereka semacam nungguin bom waktu yang mau meledak.

Film-film horor terbaik selalu mengerti bahwa persoalan selalu lebih dalam dari sekadar rumah yang ada misterinya. Melainkan terutama adalah soal ketakutan karakter. The Rental untuk awal-awal ini bekerja sebagai thriller psikologi yang menarik. Akar dari ketakutan dan masalah mereka adalah trust. Tokoh-tokoh di sini punya histori, tapi mereka pengen move on dan setuju untuk menjadikan masalalu sebagai privasi. Yang dengan segera mendapat tantangan dari sikap pemilik rumah tempat mereka liburan. Bagi Mina (meskipun tokoh yang diperankan Sheila Vand buatku sangat annoying, tapi dia yang paling dekat sebagai tokoh utama), misalnya, sikap rasis si pemilik sangat menantang posisinya sebagai orang yang bisa dipercaya. Mina sebenarnya memesan rumah itu lebih dulu, tapi ditolak dengan alasan penuh. Beberapa jam kemudian, Charlie (Dan Stevens sepertinya sudah ahli meranin tokoh yang terkesan mendua) mencoba pesan, dan voila! Mina meng-confront alasan penolakan (nama belakang wanita itu adalah Mohamadi, seperti nama Arab) Dan meskipun kita tidak pernah mendapat kepastian si pemilik beneran rasis, kita dapat menyimpulkan sikapnya tersebut mentrigger privasi Mina berkaitan dengan hubungan supereratnya dengan sang partner kerja yang sudah beristri.

The Rental menjadikan pembunuh berkamera sebagai hukuman, penebar ketakutan bagi orang-orang yang menutupi suatu keburukan. Namun film ini berlaku dua arah, karena kamera tersebut juga ditunjukkan sebagai penjahat yang mengerikan. Orang bilang kalo kau benar, maka tidak ada yang perlu kau sembunyikan. Namun tentu saja itu bukan berarti semua orang yang merasa dirinya benar harus membuktikan dirinya dengan buka-bukaan. Membiarkan dirinya direkam kamera atau apa. Kita semua harus percaya dan menjunjung privasi. Kita tidak punya hak untuk merekam dan menginvasi privasi orang lain, entah itu ada yang mereka tutupi atau tidak.

 

after all of this, sepertinya keputusan pemilik menolak Mina adalah langkah yang tepat

 

 

Kita sudah terinvest oleh karakter dan peduli sama ketakutan mereka. Kita bahkan sudah mengantisipasi keributan di antara mereka. Para aktor film ini menampilkan permainan akting yang meyakinkan, mereka seperti sahabat beneran. Mereka telah membuktikan sanggup mengemban beban tensi dan drama emosional yang diberikan. Namun Franco seperti tidak mampu mempertahankan tone somber yang sudah terbangun. Or worse, buatku Franco sengaja untuk mengubah tone cerita menjadi horor slasher yang membuat The Rental malah jadi kehilangan kekhususan. Franco seperti tidak dapat menemukan ending yang tepat dari cerita yang bermuatan gagasan soal ‘pasang kamera tidak boleh, but we all have something bad yang ditutupi’. Pilihannya dalam mengakhiri film tampak seperti usaha-terakhir karena he pushed himself into the corner dengan gagasan tersebut.

Untuk menyampaikan kedua pihak sama-sama bersalah, The Rental dibuat jadi berakhir, untuk tidak ngespoiler banyak, katakanlah ‘tragis’. Tanpa resolusi. Tanpa perubahan arc dari tokoh-tokohnya. Mereka tidak (sempat) belajar apapun dari kejadian di film ini. Untuk melakukan hal tersebut, babak terakhir film ini dibelokkan menjadi slasher. Horor yang main fisik. Dan untuk sampai ke sana, sebagai transisi dari teror psikologis, film bicara sebagai drama relationship. Tiga elemen utama yang membangun film menjadi disebut horor ini enggak bercampur dengan benar. Menjadikannya opposite dari yang diniatkan. Horor yang enggak-seram. Dengan tokoh-tokoh yang enggak benar-benar bikin peduli karena kita tahu salah merekalah semua itu terjadi. Dan untuk membuat film semakin tidak konsisten lagi, Franco memasukkan elemen komedi stoner receh andalan geng dia dan abangnya. Yang sama sekali gak lucu ataupun bikin film jadi menyenangkan untuk diikuti. Aku bener-bener kasihan sama Alison Brie disuruh berakting sedekat itu dengan garis celengan bapak-bapak.

 

 

 

Franco tampak punya gaya dan mengapresiasi horor, dan karakter-karakter yang dinaunginya. Untuk menit-menit awal film ini bahkan sempat terasa seperti horor art di festival. Tapi kemudian film ini stop working. Tidak mampu mencapai ending dengan resolusi, Franco mengakhiri ceritanya dengan membuat film menjadi slasher generic, dengan beberapa bumbu komedi receh di sana sini. Hal yang paling menakutkan di sini buatku adalah dengan ending tersebut film ini hanya akan diingat sebagai cerita tentang pembunuh yang merekam orang dengan kamera. Enggak unik. Enggak baru. Padahal dia punya sesuatu yang menarik di awal. Cerita ini butuh untuk digodok lebih jauh. Atau mungkin feature-horor terlalu besar bagi Franco sebagai langkah awal?
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RENTAL.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian soal privasi tempat tinggal? Pernahkah kalian merasa risih saat menginap di hotel/Airbnb dan mengetahui kamar dimasuki oleh pemilik saat kalian tidak ada, untuk dibersihkan atau semacamnya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

PALM SPRINGS Review

13 Monday Jul 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, comedy, drama, festival, funny, life, love, mature, philosophy, relationship, review, romance, sci-fi, spoiler, thought

“Sometimes people come into your life for a moment, a day, or a lifetime”

 

 

 

Terjebak di lingkaran-waktu-yang-terus-berulang (infinite time loop), mengulangi hari yang sama – kejadian yang sama terus-menerus, maka seseorang itu harusnya introspeksi diri, kan? Harusnya menggunakan kesempatan kedua (atau kesekian kalinya) itu untuk memperbaiki setiap kesalahan yang sudah dilakukan supaya hidupnya bisa kembali lurus dan bermakna, kan?? Salah! Well, setidaknya enggak mesti begitu. Karena time-loop tersebut justru bisa saja digunakan untuk mengisi hari sesuka hati karena hidup ini toh semeaningless itu.

Begitulah cara Nyles (Andy Samberg mendapat kesempatan menggali sisi cuek dari persona komedi ‘main-main’nya) memaknai peristiwa terjebak di time-loop yang terjadi kepadanya. Entah sejak beberapa lama. Kini hidup Nyles cuma sebatas satu hari, di hotel tempat sahabat pacarnya menggelar pesta pernikahan. Setiap kali tertidur, Nyles akan terbangun di ranjang hotel pada hari yang sama. Setiap kali dia celaka, zaaappp! dia terbangun tanpa luka di ranjang tersebut. Kita bertemu dengan Nyles saat dia sudah enggak peduli lagi untuk mencari jalan keluar. Dia menikmati hidupnya yang tanpa komitmen dan nyaris tanpa konsekuensi, kecuali saat Roy (J.K. Simmons selalu jadi surprise yang bisa diandalkan) datang, memburunya untuk balas dendam. ‘Hidup nyaman’ Nyles tersebut mulai keganggu saat dalam salah satu skenario main-mainnya, Sarah (Cristin Milioti kocak sekali sebagai cewek sarkas yang penuh dark jokes) tertarik kepada Nyles dan mengikuti cowok itu masuk ke gua yang mereset waktu time-loop.

Kenapa ngikooottt??!!

 

Menit-menit awal film ini memang bisa bikin bingung, juga bakal banyak eksposisi sehingga sedikit boring. Namun begitu aturan-dunia cerita sudah terestablish – dan film keep it simpel – Palm Springs menjelma menjadi perjalanan yang menarik. Arahan Max Barbakow mengeksplorasi aspek-aspek segar dari trope ‘time-loop’ yang sudah banyak kita dapatkan pada film seperti ini sejak Groundhog Day (1993). Jiwa dan hati cerita ini terletak pada hubungan antara Nyles dengan Sarah, yang tentu saja jadi deket dan beneran akrab karena mereka terperangkap bersama. Film mengembangkan komedi dari kontras antara Nyles dan Sarah yang sangat berbeda dalam memandang banyak hal. Mulai dari Sarah yang meminta tanggungjawab udah keseret masuk, walaupun Nyles balik nuding ‘salah sendiri siapa suruh ikut, kan udah dilarang’. Hingga – setelah fase denial terlewati – ke perbedaan keduanya mengisi hari. Nyles dan Sarah akan berpetualang berdua, tapi mereka punya ide yang berlainan. Inilah yang membuat film ini menarik.

Dari hubungan keduanya kita mendapat banyak sekali adegan fun. Samberg dan Milioti seperti dilepas untuk berliar-liar ria. Diikat hanya oleh chemistry yang semakin menguat tatkala film rehat dari adegan-adegan kocak dan beralih ke perbincangan mendalam soal keberadaan manusia di dunia. Mereka debat, tapi gak sekadar teriak-teriak. Selalu ada yang baru dari pengadeganan dan perbicaraan mereka, sehingga asik sekali untuk disimak. Konflik Nyles dalam cerita ini sebenarnya adalah tentang ketakutan berkomitmen. Terjebak di time-loop disandingkan dengan terjebak melalui hari-hari yang sama saat kita sudah mengikrarkan komitmen. Maka Nyles lebih memilih untuk terjebak di time-loop karena di situ Nyles bisa bebas tanpa konsekuensi. Hari ini dia bisa salah kepada orang, besoknya orang tersebut sudah lupa dengan semua salah itu. Sementara bagi Sarah, mengetahui bahwa kita salah dan orang-orang gak tau itu semua, itulah kesalahan yang sebenarnya. Sarah butuh hidupnya menjadi benar, dia tidak mau lari dari komitmen.

Menjadi dewasa berarti harus siap menjalani hari-hari yang sama. Dengan tanggung jawab dan konsekuensi. Film ini mengajarkan kita untuk melihat hal-hal kecil untuk disyukuri karena hidup adalah bukan soal seberapa lama waktu yang kita habiskan dengan seseorang, atau dengan pekerjaan, atau dengan keadaan. Melainkan adalah soal apa yang kita lakukan terhadap waktu itu sendiri.

 

Salah satu perdebatan mereka yang menarik adalah soal menerima orang apa adanya. Nyles mengumpamakannya dengan memakan biskuit berlapis coklat. Hanya merasakan apa yang digigit, enggak usah memusingkan hal-hal selainnya. Sementara Sarah mengatakan kita perlu memikirkan coklatnya coklat apa, biskuitnya terbuat dari apa. Karena masalalu penting dalam pembentukan seseorang, karena rekam jejak eksistensi manusia adalah mereka melalui perubahan. Ironisnya, Nyles juga tidak kita ketahui asal-usulnya. Dan ini membuat kita susah untuk benar-benar peduli sama Nyles, padahal dia bertindak sebagai tokoh utama cerita.

Kejebak dalam loop itu enak, apa-apa tinggal lup!

 

 

Saat Nyles dan Sarah saling curhat tentang masa lalu, Sarah merahasiakan beberapa kejadian di dalam hidupnya, tapi paling tidak kita jadi lebih mengenal dirinya. Sedangkan Nyles, karena sudah lama sekali hidup di dalam loop, dia jadi lupa akan masa lalunya sendiri. Kita bahkan tidak pernah tahu kenapa Nyles bisa terjebak pada awalnya, apa karena dia nyasar ke gua? Film ini tidak peduli untuk membahas itu. Backstory Nyles yang disesumbarkan hanyalah ‘sejarah’ siapa aja yang pernah ia ‘pacarin’ selama terjebak, ranging from bartender ke ayah Sarah, tentu saja penekanan adegan ini adalah untuk menambah bumbu humor. Kita tidak pernah mengetahui dunia Nyles sebelum loop selain dia adalah cowok yang bosan dalam relationshipnya dengan pacar yang jauh lebih muda. Sehingga kita jadi susah peduli sama Nyles. Kita perlu tahu sepeerti apa kehidupannya dulu supaya tokohnya jadi punya bobot, supaya kita bisa peduli seperti yang kita lakukan terhadap Sarah. Seiring cerita berjalan, kehidupan personal Sarah sebelum masuk ke dalam loop diungkap, dan kita pun jadi semakin peduli. Konflik personal Sarah, beban karakternya jadi terasa nyata. Heck, bahkan si Roy yang memburu Nyles karena dendam saja berkesempatan untuk mendapat simpati kita, karena dia diberikan momen yang membuka backstory hidupnya. Nyles perlu digali lagi supaya kita melihat dia lebih dari sekadar nihilis yang kerjaannya main-main (baca: immature). Atau kalo enggak, mestinya sekalian bikin Sarah saja sebagai tokoh utama. Soalnya lagi, memang si Sarah ini yang banyak bikin keputusan; entah itu untuk mengisi hari, ataupun untuk keluar dari loop, arc Sarah clearly lebih emosional daripada arc Nyles.

Kita tidak bisa menyalahkan orang yang ikut masuk ke dalam hidup kita. Karena kita tidak bisa mengatur ataupun memilih siapa yang benar-benar peduli terhadap kita. Sebaliknya, justru jadi tugas kita untuk tidak bersikap egois dan balik-peduli kepada orang-orang yang sudah memilih untuk masuk ke dalam hidup kita.

 

 

Kita tidak benar-benar gereget dan mendukung Nyles untuk bisa kembali ke waktu normal, setidaknya tidak sebanyak gereget kita terhadap keberhasilan Sarah. Film mestinya bisa lebih menyeimbangkan tone, karena jika sudah menyangkut Nyles, cerita memang seperti bimbang untuk jadi lebih sedikit serius. Di sekitar Nyles film ini tampil dengan surealis yang konyol (dengan dinosaurus di latar belakang!), humor yang receh, dan kekerasan yang komikal. Dan bicara soal ‘kekerasan yang komikal’, aku masih belum bisa sepenuhnya akur sama jalan keluar yang diberikan oleh film kepada Nyles dan Sarah. Apakah film memang mengincar sesuatu yang dark dan gak pasti? Kedua tokoh ini praktisnya sama saja dengan bunuh diri untuk mengakhiri; either mengakhiri hidup atau mengakhiri loop. It’s one thing kalo sudah dilandaskan sedari awal sebagai komedi – seperti pada montase Sarah mencoba-coba kekuatan loop, tapi rasanya berbeda aja kalo tokohnya melakukan itu dengan konteks ‘langkah terakhir’ yang gak pasti.

 

 

Dengan cerdas menceritakan ulang trope time-loop, komedi romantis ini membuktikan kreativitas itu memang masih mungkin untuk terus digali. Menonton film ini rasanya mirip kayak nonton episode-episode Twilight Zone, yang karakternya selalu dihadapkan pada keadaan yang menantang pikiran-pikiran filosofis. Bedanya, film ini gak horor. Melainkan sangat kocak. Selain masalah kurang tergalinya tokoh utama, dan dia kalah emosional dengan tokoh pendukung, aku pikir film ini tetap termasuk dalam kategori tontonan yang enak untuk ditonton lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Oh tidak, kita kena loop?
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PALM SPRINGS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Nyles menyalahkan karena tidak mengerti kenapa Sarah mau-maunya mengikuti dia masuk ke dalam gua. Menurut kalian, kenapa kadang kita bersikap seperti Nyles – yang takut ketika ada orang yang memilih masuk ke hidup kita?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

GREYHOUND Review

10 Friday Jul 2020

Posted by arya in Movies

≈ 4 Comments

Tags

2020, action, adaptation, book, drama, life, love, relationship, review, spoiler, thought, war

“If you’re in control, they’re in control”

 

 

 

 

 

Setelah menonton begitu banyak film perang, kita sudah mengestablish bahwa perang itu mengerikan. Karena menelan begitu banyak korban. Dan tentu saja korban-korban itu bukan hanya berjatuhan di garis terdepan. Film Greyhound arahan Aaron Schneider menunjukkan dahsyatnya peperangan di garis belakang. Bahkan, tepatnya, sebelum garis pantai. Alias di samudera. Tempat kapal-kapal logistik peperangan berkonvoi dan dikawal menuju medan tempur.

Tom Hanks kini berperan sebagai Krause, kapten salah satu kapal tempur yang mengawal kapal-kapal yang membawa supply dan tentara tersebut sepanjang Samudra Atlantik. Awalnya perjalanan mereka aman-aman saja. Namun begitu sampai perbatasan Amerika dan Eropa, pesawat yang menjadi mata mereka di udara harus mundur. Keadaan sepenuhnya berada pada pundak Krause, memimpin perjalanan setidaknya sampai pesawat dari Eropa tiba. Inilah momen-momen krusial karena di jendela-waktu sempit tersebut, konvoi kapal mereka bagai sitting duck. Diincar oleh sekelompok kapal selam pemburu milik Nazi Jerman. Musuh mengincar dari bawah laut. Mencoba menenggelamkan kapal-kapal tersebut.  Krause harus melindungi semua kapal, mengupayakan semua taktik yang ia tahu untuk menghadapi sergapan musuh!

“You sunk my battleship!”

 

 

Tadinya aku mengira ini adalah film biografi; film yang menceritakan perjuangan dan kepahlawanan tokoh nyata di medan perang. Tapi ternyata enggak. Film ini adalah adaptasi dari novel The Good Shepherd. Dan alasan aku menyangka ini adalah kisah asli adalah karena film ini mampu membuat kita mengapresiasi perjuangan Krause, membuat kita memikirkan sebegitu berbahayanya perjalanan yang ia tempuh. Sebesar itu resiko yang ia hadapi, sebanyak itu tanggungjawab yang ia emban. Film ini menunjukkan menjadi kapten atau pemimpin itu sulit. Kita enggak menjadi pahlawan hanya dengan selamat dari pertempuran. Hanya dengan memerintah ini itu kepada bawahan. Melainkan di balik setiap keputusan ada beban. Bahwa untuk membuat satu langkah ada yang jadi korban. Dan kapten akan menanggung beban-beban tersebut sepanjang umurnya.

Greyhound kuat dalam penggambaran. Adegan tembak-tembakan kapalnya seru dan menegangkan. Film ini nyaris nonstop aksi. Kapal Krauser secara konstan mendapat ancaman dan serangan. Kita akan mengawasi Krauser mengeker torpedo yang merayap dari balik ombak. Bayangkan film Jaw, hanya saja bukan hiu yang berenang lurus dengan cepat ke arah kita. Setiap kali Krauser memantau keadaan dengan teropong, kita bisa melihat pemandangan CGI kapal-kapal yang bisa meledak terbakar begitu saja. Ya, kadang CGI film ini sangat kentara, tapi untungnya kesan dikepung dan diburu itu masih bisa cukup terasa. Sehingga misi film ini untuk memberi kita pengalaman-langsung bisa dikatakan berhasil.

Menulis sendiri naskah adaptasi ini, Tom Hanks tampak paham luar dalam mengenai karakter yang ia perankan. Dengan kekuatan aktingnya yang telah teruji, Hanks menggambarkan beban tindakan dan pilihan yang dirasakan oleh Krauser dengan tepat mengena. Dia mengerti cerita ini tentang apa. Hanya saja, Hanks seperti lupa bahwa kita yang nonton juga butuh untuk memahami konteks tokohnya. Untuk memahami siapa Krauser sehingga kita bisa peduli. Naskah yang Hanks tulis tidak terstruktur dengan mantap sehingga tidak mampu untuk memuat segala informasi yang bisa berguna bagi kita untuk menjadi tersedot masuk ke dalam cerita. Tentu, kita mengerti ini adalah cerita kapten pahlawan yang berusaha bertanggungjawab atas hidup banyak orang; di kapalnya, di kapal tempur rekan mereka, di kapal-kapal supply yang mereka kawal, dan orang tersayang yang menantinya di rumah. Namun itu tidak membuat tokoh ini unik. Toh semua pahlawan memang begitu. Kasarnya; udah tugas kapten untuk bertindak seperti itu. Film mestinya memuat karakter yang spesial, karena tentu saja tidak semua kisah pahlawan harus difilmkan. Yang spesial-spesila aja. Ini namanya urgensi. Film harus urgen. Selain tantangan lingkungan-perang yang unik, harus ada juga kekhususan pada karakternya sehingga kita tertarik dan peduli dengan yang ditonton. Misalnya, tokoh pahlawan perang tapi gak mau menembakkan senjata seperti pada Hacksaw Ridge (2016). Atau seperti 1917 (2020) yang paket komplit menyediakan tantangan berupa tokoh harus berjalan kaki masuk ke wilayah musuh dengan tekanan waktu, sekaligus memberikan keadaan karakter yang tak-biasa yakni tokohnya adalah orang yang menolak untuk terbuka.

Krause di Greyhound bukannya tidak punya kekhususan itu. Masalahnya adalah film tidak membuka ini dengan segera. Kita baru akan tahu hal yang membuat dirinya berbeda sehingga kisahnya pantas untuk disaksikan saat keadaan sudah aman. Saat film sudah mau habis. Sungguh amat terlambat kita diberitahu bahwa Krauser ternyata adalah kapten yang kurang berpengalaman. Misi pengawalan ini adalah misi pertama baginya. Maaan, bayangkan betapa kuatnya konflik terasa jika kita mengetahui ini sedari awal. Tentulah dramanya bakal jadi lebih impactful. Jadi kupikir kali ini kalian yang belum nonton tapi sudah baca review ini akan berterima kasih udah kena spoiled, karena mengetahui ‘rahasia’ Krause itu eventually akan membuat karakternya menjadi lebih berasa.

You’re welcome.

 

Seperti yang disampaikan oleh judul novelnya, ini adalah tentang menjadi pemimpin yang baik. Seorang kapten atau pemimpin hanya akan terbukti kecakapannya dengan berada di bawah serangan keadaan yang begitu menekan. Reaksi mereka dalam keadaan tersebutlah yang menunjukkan kualitas mereka. Seorang pemimpin harus dapat mengendalikan diri. Tidak menunjukkan keraguan, tidak gentar, meski di dalam hatinya boleh jadi dia yang paling takut di antara semua. Seperti Krause dalam film ini yang menahan sakit di kakinya, yang makan saja ia tahan, karena ia tahu pasukannya sangat membutuhkan panutan dan arahan dalam situasi di mana bersin aja gak boleh.

 

Melihat durasi film ini, sesungguhnya memang memunculkan keraguan. Setidaknya jadi ancang-ancang untuk menurunkan ekspektasi. Karena film perang yang ‘serius’ biasanya jarang yang di bawah dua-jam. Karena bahasan moral, karakter, drama, dan aksi tembak-tembak tentu saja membutuhkan waktu yang enggak sebentar untuk matang. Greyhound ternyata singkat, ya karena memang cuma aksi saja yang film ini punya. Karakter enggak pernah dibahas dengan dalam. Kita gak tahu siapa orang-orang yang ada di sana, mereka hanya pasukan yang karakternya seringkali tak lebih dari sekadar nama. Film toh tetap mencoba menggali drama dari mereka. Usaha minim karakterisasi dalam film ini mencakup koki yang terus memasakkan makanan untuk Krause meski tak dimakan, prajurit muda yang canggung, dan Krause yang menulis tapi pensilnya patah. Film ini butuh lebih banyak drama. Karakter yang lebih kompleks. Mereka bisa bikin ada satu tokoh yang kelihatan seperti mata-mata/pengkhianat atau semacamnya; at least dengan begitu tokoh-tokohnya akan jadi lebih seru.

Dan memandang film ini begitu selesai, aku malah merasa sembilan-puluh-menit itu saja sudah seperti dipanjang-panjangin. Kejadian dalam film ini itu-itu melulu. Kita akan melihat ancaman dan tembak-tembakan yang nyaris sama persis. Dialog dalam film ini juga enggak ngangkat. Tidak banyak (alias sedikit sekali) hal penting yang mereka ucapkan, karena sebagian besar waktu dipakai oleh para tokoh untuk meneriakkan instruksi dan melaporkan status posisi musuh pada radar dalam bahasa militer, yang butuh beberapa waktu bagi kita untuk mengerti apa yang mereka teriakkan.

 

 

Antara tembakan torpedo dan berondongan istilah-istilah navigasi laut, film ini menunjukkan gambaran kelam keadaan perang di laut. Memberikan pengalaman langsung betapa mencekamnya perang itu sendiri. Sebagai kendaraan untuk hal tersebut, film ini memang persis dengan kapal Krause itu sendiri; sea-worthy. Namun sebagai sebuah tontonan, film ini hanya sebatas ‘C-worthy’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GREYHOUND

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apa keputusan paling sulit yang harus dibuat oleh Krause dalam film ini?

Dan bicara tentang kapten dan pemimpin, bagaimana pendapat kalian tentang langkah yang diambil kapten negara kita dalam mengarungi laut pandemi sekarang ini?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • WrestleMania 37 -Night II Review
  • WrestleMania 37 -Night I Review
  • [Reader’s Neatpick] – FLIPPED (2010) Review
  • CHAOS WALKING Review
  • TERSANJUNG: THE MOVIE Review
  • GODZILLA VS. KONG Review
  • THE FATHER Review
  • Fastlane 2021 Review
  • ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE Review
  • CHERRY Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • @RandyAshem Dogol emang sih ya, motong gak liat2 konteks hahaha 4 hours ago
  • Four Horsewomen, beware! Raquel >< Becky Bianca >< Sasha Rhea >< Charlotte Mereka kurang satu lagi tuh, tinggal co… twitter.com/i/web/status/1… 4 hours ago
  • Ya kalo film anak, ada adegan belah kepala, yaa bolehlah dicut. Kalo film keluarga, ada adegan gory, ya bolehlah di… twitter.com/i/web/status/1… 9 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Create a free website or blog at WordPress.com.

Cancel

 
Loading Comments...
Comment
    ×
    loading Cancel
    Post was not sent - check your email addresses!
    Email check failed, please try again
    Sorry, your blog cannot share posts by email.
    Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
    To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
    <span>%d</span> bloggers like this: