THE MEDIUM Review

“All is amiss. Love is dying, faith’s defying, heart’s denying”

 

 

Sebagai satu rumpun Asia Tenggara, Thailand mirip-miriplah sama kita. Di sana pun kepercayaan terhadap kleniknya tinggi (maksudnya, orang sono juga lebih suka ke dukun ketimbang ke klinik! hihihi) Dalam catatan yang lebih serius, ada perbedaan fundamental antara kepercayaan klenik orang Thailand dengan orang kita. Di kita, mempercayakan kesembuhan kepada ilmu ghaib bisa disebut sebagai dosa. Sebagai praktek syirik, karena bertentangan dengan ajaran agama. Menduakan Tuhan. Sedangkan bagi mayoritas penduduk Thailand, klenik tersebut justru bagian dari kepercayaan religi mereka. Bangsa Thailand berdoa kepada Dewa-Dewa. Meminta kesejahteraan, kesehatan, peruntungan. Dukun adalah perantara rakyat dengan sesembahan mereka. Menolak menjadi dukun saja, berarti menolak percaya kepada Dewa-Dewa, dan itu adalah perbuatan salah yang bakal mendatangkan kemalangan. Seperti yang persisnya terjadi pada cerita film yang di-review kali ini. The Medium, kolaborasi antara penulis naskah Thailand dan Korea, akan membuka perjalanan horor My Dirt Sheet pada musim halloween tahun ini!

medium80hnp3NoCkV75bXWPLA88wEgFcK
Kalo kita bisa percaya penyakit sihir seperti cacar naga, maka kita juga bisa percaya sama sakit guna-guna

 

Poster filmnya bilang bahwa ini adalah cerita tentang perdukunan di Thailand. Maka kita dibawa melihat keseharian seorang dukun perempuan yang cukup populer bernama Nim. Cerita tampak cukup inosen di awal-awal. Kita melihat dia mengobati orang. Kita mendengar Nim menjelaskan tentang pekerjaannya tersebut, tentang darimana ia mendapat ilmu, dan bahkan soal ia memposisikan diri sebagai sanding dari ilmu kedokteran. Semua itu ternyata set up untuk kekacauan yang bakal terjadi. Bermula dari Nim yang menghadiri pemakaman suami kakaknya. Kita lantas diberitahu soal keluarga besar Nim, yang adalah bungsu dari tiga bersaudara. Keluarga besar Nim sepertinya dikutuk, lantaran sang kakak pernah menolak ilmu dukun dari Dewa. Nim langsung tahu bahwa ada yang tidak beres pada Mink, kini anak satu-satunya dari kakaknya. Mink, dengan mood swing yang mengkhawatirkan. Mink, yang bicara kepada orang yang tak kelihatan. Mink, yang pantulannya di cermin bisa senyum sendiri (jantungku copot lihat adegan ini!) Mink, yang sempat menghilang dan kembali – tidak lagi seperti orang normal. Nim bisa jadi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan keluarganya, namun bahkan serangan kekuatan gaib yang jahat itu too much untuk dihandle oleh Nim. 

Medium storytelling yang dipakai oleh sutradara Banjong Pisanthanakun (salah satu horor karyanya yang paling membekas buatku adalah Shutter di tahun 2004) dalam The Medium ini adalah gaya dokumenter. Kehidupan Nim direkam oleh beberapa kru kamera yang ingin meneliti profesi dukun sebagai tradisi lama yang ada di Thailand. Dalam perfilman, istilah untuk cerita fiksi yang dibingkai dengan gaya dokumenter disebut mockumentary. Dokementer ala-ala. Yang memang, seringkali, bukan gaya dokumenternya saja yang di-mockery. Melainkan juga ada film menggunakan gaya tersebut untuk menyentil topik yang diangkat. Seperti bagaimana Taika Waititi dalam What We Do in the Shadows (2014) memparodikan genre vampire. Atau bagaimana This Is Spinal Tap (1984) didesain untuk ngeledek kehidupan rock band. Akan tetapi, The Medium tidak terasa seperti komentar nyeleneh terhadap perdukunan. Sutradara Banjong justru terlihat punya respek yang dalam terhadap profesi tersebut. Lewat dialog yang dibentuk sebagai interview, dimuatnyalah berbagai insight.

Bahwa kerjaan dukun punya beban, tanggungjawab, dan segala kesusahan tersendiri. Kita melihat Nim yang tidak menikah, hidup sendiri alih-alih dua saudaranya yang tinggal serumah di bagian lain kota. Nim tidak dibuat sebagai karakter serbabisa, yang punya mantra-mantra ampuh, dengan tarian-tarian ritual memukau. Tidak ada jurus-jurus. Tidak ada merintah-merintah hantu berantem untuk berantem kayak Shaman King. Ketika Nim bekerja, yang kita rasakan justru ke-vulnerable-an. Dukun ternyata tidak segampang itu mengusir setan. Nim butuh waktu berhari-hari berdoa dalam lingkaran ritual yang rumit dan gak mentereng. Dia bahkan harus berhujan-hujan menanti petunjuk dari roh yang ia ajak komunikasi. Bumbu drama antara Nim dengan keluarga kakaknya, dengan abangnya, menambah lapisan pada gambaran seorang dukun yang diceritakan oleh film ini. Pekerjaan Nim benar telah jadi mockery, bahkan di kalangan rakyat Thailand itu sendiri. Dua saudara tertua Nim sendiri tidak terlampau respek sama kerjaan dukun. Sang kakak justru menolak ilmu tersebut jatuh kepadanya, dan memilih ‘kabur’ memeluk agama lain. Dalam satu adegan diperlihatkan Nim nangis dengan tragis saat patung Dewa yang sudah turun temurun jadi sembahan keluarganya ditemukan dalam keadaan patah. Kepala Dewa itu berguling di tanah.  Film tidak menegaskan bahwa itu adalah perbuatan roh jahat yang berusaha ia usir, atau ada orang tertentu yang sengaja menghancurkan patung. Yang jadi poin adalah kerjaan relijius Nim tidak lagi mendapat perlakuan atau diterima dengan sebagaimana mestinya.

Dari sekian banyak dosa yang bisa dilakukan umat manusia terhadap keyakinannya, menolak Tuhan adalah dosa paling besar. Film ini menunjukkan dosa tersebut tidak terampuni. Tuhan balik meninggalkan keluarga kakak Nim, dan di momen eksak itulah keluarga tersebut tidak bisa tertolong lagi.

 

Gaya dokumenter digunakan dengan maksimal. Karena dengan konsep ini yang kita lihat terbatas pada apa yang direkam oleh kamera dalam narasi saja, info yang kita dapat juga tidak bisa lebih banyak daripada kameramen – kita tidak melihat kejadian yang off-camera atau yang tidak direkam – sehingga ini menambah banyak bobot ke dalam aspek misteri yang dimiliki oleh film. Kayak patung tadi, kita tidak tahu pasti bagaimana bisa rusak, dan oleh siapa. Tapi misteri kejadian tersebut dengan efektif menaikkan tensi. Dan film juga jago dalam membangun tensi. Atmosfer mengerikan juga terjaga dengan baik. 

Salah satu tantangan dalam mockumentary adalah membuat alasan yang bisa dimaklumi kenapa ada kamera di sana. Film ini bijak sekali dalam menempatkan kamera tersebut. Ketika there’s no way kru bisa ada di satu tempat tertentu, maka film enggak ragu untuk memindahkan pandangan kita kepada rekaman cctv misalnya. Dan actually, memang pada permainan gimmick kamera inilah The Medium menyimpan kekuatan. Sekuen kamera tersembunyi pada menjelang babak ketiga adalah bagian yang paling seram buatku. Jumpscare yang dilakukan pun tidak annoying, melainkan memang efektif sebagai punchline adegan seram. Selanjutnya tentu saja adalah kru kamera itu sendiri. Film harus menemukan adegan atau alasan yang pas, yang memungkinkan kenapa mereka bisa terus merekam padahal ada hantu. Film juga memikirkan rancangan untuk ini. Yang juga dimainkan ke dalam pay off adegan horor nantinya. You know, dengan santainya nanti si hantu merebut kamera dari tangan kameramen, dan balik merekam mereka. Mengungkapkan horor yang selama itu tak-terlihat kepada kita semua.

Dalam lingkup horor, film ini memang enggak segan-segan menampilkan darah, adegan menjijikkan, adegan vulgar, hingga ke adegan sadis. Korbannya juga enggak pilih-pilih. Kuat-kuatin mental deh kalo mau nonton film ini. Jika kalian punya soft spot kepada hewan atau anak bayi, maka kalian akan butuh sebanyak mungkin comfort items yang bisa kalian dapatkan sebagai persiapan sebelum menonton.

medium808503_s_1624271312911
Bayangin, Dewa aja ditolak loh. Women, am I right?

 

Dengan perhatian tercurahkan kepada rancangan gaya dokumenter supaya efektif untuk capaian horor, film ini mau tidak mau jadi abai sama bangunan narasinya. The Medium akan terasa kepanjangan, ada masalah pacing yang cukup serius di pertengahan saat film mulai terasa menapaki poin yang berulang-ulang. Mink menghilang, ketemu, kesurupan, Nim berusaha mengusir roh jahat dengan ke tempat-tempat misterius, Nim seolah tahu sesuatu, tapi Nim tetap gagal. Ada beberapa kali siklus tersebut berulang, dalam berbagai variasi. Nim sebagai tokoh utama pun mulai menjengkelkan. Karena meskipun seharusnya ini adalah interview dia, tapi dia tidak pernah memberitahu kita apa-apa soal kasus Mink. Kamera, dan kita, hanya mengikutinya ke mana-mana. Mengikuti tindakan dan pencerahan yang ia dapatkan, tapi kita tidak pernah tahu dia sebenarnya lagi ngapain. Kita tidak tahu apa makna telur yang kuningnya berwarna hitam. Kita hanya melihat Nim bereaksi. Ada kesan seperti film sendiri juga sebenarnya tidak tahu, dan hanya melakukannya untuk mengulur-ulur misteri. Lalu Nim ‘hilang’ begitu saja. Posisinya digantikan oleh dukun pria, yang hadir so late in the game sehingga seperti karakter yang serbatahu. Seperti film butuh solusi instan. Dan on top of pergantian tokoh utama begitu saja (dari Nim sepertinya ke kakaknya), kasus misteri tetap tidak ada penjelasan.

Cerita film ini tidak berakhir dengan perasaan yang memuaskan. Yea aku tahu, ini bukan happy ending. Tapi bad ending yang disajikan juga tidak memuaskan, karena tidak benar-benar terasa seperti menuntaskan apa-apa. Babak ketiga film ini adalah ketika semua kerusuhan terjadi. Asik untuk horor-hororan, tapi film juga seketika menjadi all over the place. Ada orang yang kayak zombie, makanin orang. Ada orang kesurupan nabrakin kepala ke tembok ampe serpihan otaknya nempel. Kamera dengan infrared. Voodoo doll. Semua itu berlangsung gitu aja tanpa ada kepedulian sama konflik karakter yang seperti disudahi begitu saja. They are helpless, so, here’s hell for your entertainment. Film kayak bilang begitu kepada kita semua. Film yang tadinya meminta perhatian kita pada cerita, pada drama dan perasaan karakter, pada kerjaan dukun, mendadak menyuruh kita untuk senderan dan rileks menikmati horor yang mereka sajikan. Yang tampak buatku, ini merupakan sebuah ketidakkonsistenan, dan malah hampir seperti film memang tidak tahu cara mengakhiri cerita dengan tepat.

 

 

Sebagai wahana horor, aku suka. Aku merekomendasikan ini sebagai tontonan Halloween kalian semua. Nuansa horor yang kental, relate dengan kita. Karakter yang juga somehow terasa akrab. Gaya bercerita yang efektif sebagai landasan momen-momen seram yang bikin kita segen matiin lampu rumah di malam hari. Film ini punya semua itu. Yang tidak film ini punya, dan ini penting, adalah konsistensi bangunan cerita. Kita yang orang Indonesia bisa nonton ini tanpa subtitle, dan tidak akan ketinggalan banyak narasi penting, dan bisa tetap mengerti. Karena yang punya pay off pada film ini hanya gaya berceritanya. Ceritanya sendiri tidak. Jika kalian pengen nyimak cerita seputar dukun dan kepercayaan yang lebih padet dan matang, kalian akan lebih menemukannya pada The Wailing (2016), karya penulis naskah dari Korea yang ikut kolab ngerjain naskah film ini. Efektif hanya sebagai wahana horor, namun tidak demikian halnya sebagai film horor, film ini ternyata tepat sekali seperti judulnya. Medium. Sedang-sedang saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE MEDIUM.

 

 

 

That’s all we have for now

Ngomong-ngomong soal dukun, waktu kecil aku punya penyakit amandel. Yang cukup parah, gampang meradang. Aku pasti sakit demam dan tidak bisa menelan makanan, paling tidak satu kali dalam sebulan. Karena takut dioperasi, maka aku dibawa orangtua berobat ke dukun. Nah lucunya, sebelum ketemu sama dukun yang bener, aku sempat nyasar dulu ke dukun yang ngasal. Dari mana aku dan orangtuaku tahu bahwa dukun pertama itu ngaco? Well, karena, dia nyuruh kami untuk nyari obat berupa telur dari ayam hitam berbulu putih!

Apakah kalian punya pengalaman lucu (atau mungkin seram!) seputar berobat ke dukun?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

SAINT MAUD Review

“God’s one and only voice is silence.”
 

 
 
Perjalanan menemukan Tuhan, bagi setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang terus menapaki jalan lurus; terus berdoa dan berbuat baik kepada sesama. Merasa bahagia dan dekat dengan Tuhannya dengan membantu orang-orang. Sebaliknya, ada yang jadi mendekatkan diri kepada Tuhan, meminta perlindungan, ketika mendapat bencana atau ujian berat. Dan tak sedikit pula, yang merasa dekat dengan Tuhan setelah melakukan kesalahan fatal sehingga ia ingin bertobat. Yang merasa dirinya telah tersesat. Dalam kegelapan itulah, mereka akhirnya menemukan Tuhan. Merasa mendengar suara-Nya. Akan tetapi, bagaimana tepatnya kita bisa yakin kalo yang kita temukan itu memang suara kebenaran? Bagaimana kita bisa tahu kalo itu bener merupakan wahyu Ilahi? Bagaimana jika itu ternyata suara setan? Atau lebih buruk, bagaimana kalo bisik-bisikan itu ternyata kehaluan kita semata?
Pertanyaan itulah yang diangkat sebagai pembicaraan utama oleh sutradara sekaligus penulis naskah Rose Glass dalam film panjang pertamanya ini. Saint Maud adalah cerita horor yang menggabungkan psikologi atau keadaan jiwa seseorang dengan keyakinan terhadap agama. Sehingga cerita ini akan benar-benar menghantui secara personal. Seram yang dihasilkan oleh film ini bukan dari setan-setanan. Bahkan bukan dari elemen Tuhan melawan setan seperti film-film horor religi yang biasa kita lihat. Melainkan, seram film ini datang dari melihat orang yang semakin ngeblur batas antara realita dan halunya, yang membuat semakin burem juga mana yang kebenaran dan keselamatan, mana yang tidak baginya.
Rose Glass dengan bijak mengarahkan ini sebagai cerita yang sudut pandangnya benar-benar fokus kepada si satu tokoh utama ini. Karena ini sesungguhnya adalah cerita yang berakar pada efek dari kesendirian seorang manusia. Nama karakter utamanya adalah Maud. Suster yang memilih untuk menjadi penganut agama yang taat, setelah peristiwa kecelakaan di ruang operasi terus membayanginya. Maud percaya dirinya menemukan Tuhan setelah tragedi tersebut. Maud ditugasi untuk merawat Amanda, seorang penari profesional yang umurnya tinggal menghitung hari. Melihat bukan hanya kondisi, melainkan terutama dari gaya hidup Amanda yang berbeda dengan yang diyakininya, Maud lantas percaya bahwa Tuhan telah memberinya tugas yang lebih penting. Yakni ‘menyelamatkan’ Amanda ke jalan yang benar. Judul film ini datang dari sikap Maud yang merasa dirinya jadi orang suci. Kengerian akan terus memuncak seiring kita melihat tindakan tak-tertebak dari Maud yang membuat kita berpikir “Ni orang jangan-jangan mendengar bisikan setan?”

Jangan becanda sama maut.. eh, sama Maud!

 
Tadinya kupikir film ini bakal kayak  Persona (1966) versi horor religi karena kebetulan setting dan tokoh sentralnya serupa. Dua orang perempuan – yang satu sebagai pengasuh yang lain, yang satu lebih pendiam daripada yang satunya – yang saling berinteraksi dan akhirnya saling memblurkan garis kepribadian dan kepercayaan masing-masing. Tapi ternyata tidak. Hubungan Maud dengan Amanda memang diberikan sorotan yang kuat. Perbedaan hidup antara Maud yang sederhana dan penyendiri dengan Amanda yang supel dan sering bikin party; glamor meski sedang sakit, terkadang jadi konflik. Interaksi kedua karakter ini juga melingkup soal reaksi Amanda terhadap ajaran agama dari Maud. Namun demikian, cerita ini tetaplah milik Maud seorang. Fungsi hubungan Maud dengan Amanda adalah untuk menunjukkan dinamika power yang menjadi fuel ‘misi mulia’ Maud. Memperlebar jarak Maud dengan orang lain, membuatnya semakin terhanyut dan mengurung diri ke satu-satunya lawan bicara. Yakni ‘suara Tuhan’.
Ngeri, beneran, melihat film ini menggambarkan percakapan Maud dengan ‘Tuhan’. Kita kan biasanya berdoa dengan meminta dan memohon, merendahkan diri kepada Tuhan. Suara kita lirih, kalo perlu berdoa sambil menangis. Karena kita tahu kita tidak berdaya di hadapan Tuhan. Kita kecil, powerless. Tidak demikian halnya dengan Maud. Dia sudah begitu percaya bahwa dialah orang terpilih. Sang Penyelamat, malah. Maud sampai mengenakan sprei layaknya pakaian panjang Yesus. Nada suara Maud ketika bicara dengan Tuhan tidak seperti sedang berdoa. Suaranya terdengar akrab seolah sedang bicara hadap-hadapan dengan teman. Saking ‘biasanya’, obrolan dia dengan ‘Tuhan’ itu jadi voice-over yang bertindak selayaknya narator dalam film ini. Dan dia enggak memohon, melainkan menuntut. “Maafkan ketidaksabaran hamba, tapi saya minta rencana itu disampaikan kepada saya secepatnya”, begitu pinta Maud kepada Tuhan. Dan ketika hal tidak berjalan sesuai dengan yang ia mau – seperti ketika Amanda tetap bertemu dengan pacar wanitanya meskipun sudah dilarang – Maud enggak segan-segan untuk menunjukkan nada marah kepada Tuhannya.
Aku bicara ini sebagai seorang yang udah ngegodok naskah tentang perempuan yang curhat dengan kompornya sejak lima tahun lalu (yang Alhamdulillah sampai sekarang belum ada pitching-nya yang sukses), jadi aku kira-kira bisa paham intensitas psikologis yang ingin dicapai film Saint Maud dari obrolan Maud dengan ‘Tuhan’ tersebut. Yang sebenarnya adalah obrolan Maud dengan dirinya sendiri. Dengan jiwanya yang sudah terdeteriorate oleh isolasinya dengan sosial, oleh rasa bersalah dan traumanya atas kesalahan di masa lalu. Yang dialami Maud ini sungguh sesuatu yang mengerikan dan berbahaya. Kita lihat saja gimana Maud melukai dirinya sendiri; dia megang wajan panas, dia masukin paku ke dalam sepatu – kemudian berjalan mengenakan sepatu tersebut. Atau gimana Maud melukai orang lain ketika dia menganggap semua yang gak ‘seiman’ dengannya sebagai kemasukan setan. Padahal justru Maud sendiri yang kerap tampak seperti kerasukan. Dia sebenarnya secara tak-sadar telah menjadikan agama sebagai pelarian. Sebagai pemuas diri, untuk meyakinkan bahwa dia tidak bersalah – atau untuk meyakinkan bahwa kesalahannya dulu sudah dimaafkan sehingga kini dia jadi juru selamat.
Film bahkan menggambarkan puncak komunikasi Maud dengan Tuhan seperti sesuatu yang mirip dengan orgasme.

 

Edan sama beneran taat beriman itu memang gak ada bedanya, seperti yang dibuat oleh film ini. Kita tentu tahu sendiri contoh-contoh kasus di dunia nyata perihal orang yang terlalu edan beragama sampai-sampai menghakimi sendiri pihak-pihak yang mereka anggap berdosa. Mengharamkan, membubarkan ibadah orang, dengan dalih menegakkan perintah Tuhan. Padahal mana ada perintah Tuhan yang menyuruh mereka untuk semena-mena. Jadi yang mereka dengar itu perintah siapa? Kan itu pertanyaannya.

 
Dalam menampilkan kehaluan Maud itulah, teknis dan arahan visual film menunjukkan taringnya. Garis antara mana yang kejadian sebenarnya dengan mana yang kejadian di dalam pandangan mata Maud benar-benar dibuat halus. Warna lingkungan yang benar-benar diperhatikan komposisi terang dan gelap (bayangan) turut memperkuat kesan was-was. Tone tersebut siap untuk dibawa ke fantasi maupun realita. Dan karena kita dibuat terus melekat dengan sudut pandang Maud, maka momen-momen ketika adegan film ter-snap! menunjukkan yang sebenarnya terjadi terasa sangat menggetarkan secara emosional. Menyaksikan film ini membuatku merasa sensasi yang gak enak, yang bikin merinding. Aku tak pernah siap dan bisa mengantisipasi yang bakal terjadi berikutnya. Ditambah pula dengan imaji air dan pusaran yang senantiasa dihadirkan. Menonton Maud dengan sedemikian dekat itu terasa seperti menatap kotak kejutan lekat-lekat. Tidak tahu kapan menjeblak terbuka dan apa yang ada di dalamnya.
Maud adalah pusat cerita. Fakta ini jadi tanggung jawab buat Morfydd Clark yang memerankan Maud. Adegan demi adegan, karakter ini semakin dibuka lapisannya, dan setiap momen itu adalah suspens yang terus meningkat. Tak sekalipun Clark terbata memainkan karakter ini. Clark seperti sudah paham betul psikis seorang Maud. Yang menarik dari karakter ini kan adalah keambiguan dan keunpredictable-an. Kita hanya tahu hal-hal esensial tentang dirinya, cukup untuk membuat kita simpati, tapi selebihnya kita tidak pernah benar-benar yakin. Keambiguan ini berhasil dijaga oleh Clark lewat permainan aktingnya. Dia tampak cukup waras, terkendali, dan mampu berencana. Tapi di saat bersamaan dia juga unstable banget. Pendekatan Clark ini membuat Maud menjadi sangat menarik, enggak sekadar tampak sebagai orang halu. Film ini butuh untuk kita berada bersama Maud hingga momen akhir di ending yang edan itu. Clark berhasil memastikan itu terjadi.
 
 
 
Aku selalu bilang bahwa horor psikologis adalah horor terbaik, dan statement ini sampai saat itu belum berubah. Karena film ini adalah contohnya. Menyajikannya lewat lapisan agama, semakin memperkuat hal spesial yang ada pada film ini. Karena agama memang berkaitan dengan kejiwaan manusia – ia bicara iman, sesuatu yang dipercaya oleh hati manusia. Yang diciptakan oleh Rose Glass sebagai film panjang pertamanya ini adalah cerita yang singkat namun sangat membekas. Sebuah gambaran disturbing tentang bagaimana seseorang bisa tersesat saat menyangka diri mereka menemukan Tuhan. Fokus cerita tetap pada karakter, menjadikan film ini sebagai narasi studi-karakter yang benar-benar grounded. Meskipun bermain di ranah ambigu, which make this film as beautiful as it’s haunting.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SAINT MAUD.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang perilaku fanatik dalam beragama? Apakah itu juga karena halu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TARUNG SARUNG Review

“Prayer is the time you spend one-on-one with God”
 

 
 
Petinju punya ring sebagai medan berlaga. Petarung MMA punya octagon. Pesumo berantem dalam lingkaran dohyo. Cabang bela diri punya ‘sajadah’ sendiri, punya keunikan sendiri, tapi sebenarnya punya prinsip yang sama; Konfrontasi satu-lawan-satu, dengan skill dan teknik seni tersendiri. Sebelum menjadi sebuah kompetisi, ini adalah bentuk komunikasi – penyelesaian masalah – dari manusia satu ke manusia lainnya, yang telah mengadat budaya sesuai daerah masing-masing. Dan tak banyak dari kita yang sebelumnya tahu, daerah Makassar punya beladiri yang unik. Yang mempertemukan petarungnya bukan di atas ring ataupun di dalam kerangkeng. Melainkan di dalam sarung.
Budaya Tarung Sarung dari Makassar itulah yang diangkat oleh Archie Hekagery dalam drama aksi terbarunya. Hekagery menyusun narasinya ini ke dalam kerangka cerita kompetisi. Tokoh jagoan kita di sini adalah Deni, remaja anak orang kaya yang dikirim pulang kampung. Deni disuruh mengurus perusahaan keluarga di sana, sebagai bukti dia bisa berguna bagi keluarga. Tapi tentu saja, layaknya anak muda, Deni malah terlibat urusan asmara. Deni berseteru dengan jagoan di sana – jagoan yang telah berturut-turut menjuarai kompetisi Tarung Sarung. Demi membantu dan membela kehormatan teman-teman yang ia kenal di sana, Deni menyanggupi tantangan untuk ikut dalam kejuaraan Tarung Sarung nasional yang akan diselenggarakan satu bulan lagi. Dalam waktu yang singkat itu Deni harus berguru, tapi dengan syarat yang tentu saja tidak mudah bagi dirinya. Sama tak mudahnya dengan latihan yang harus anak kota itu jalani. Turns out, Deni belajar lebih banyak daripada sekadar ilmu beladiri.

Dia juga belajar bahwa masakan ikan di Makassar itu rasanya enak sekali

 
 
Ya, ini adalah bentukan cerita yang sudah familiar sekali bagi kita. Kisah kompetisi yang tokohnya underdog alias terlihat gak ada harapan untuk menang. Musuhnya jauh lebih berpengalaman. Dianya sendiri ‘lembek’. Serta ada elemen hubungan si protagonis dengan guru yang awalnya ogah untuk melatih. Film Tarung Sarung ngikutin persis beat-per-beat formula cerita ‘underdog dalam kompetisi’. Namun, yang membuat film ini sedikit berbeda adalah karakter si protagonis underdog-nya itu sendiri.
Si Deni itu bukanlah tipe karakter yang mengundang simpati kita. Dia bukan anak baek-baek, yang terlalu sombong atau terlalu naif. ‘Dosa’ Deni ini udah terlampau banyak sedari awal. He’s a spoiled rich kid, yang hal baik dalam dirinya cuma dia ringan tangan untuk berbagi. Deni percaya uang membuat semua orang bahagia, jadi dia yang punya banyak uang itu enggak pelit dan selow aja bagi-bagiin harta untuk membuat orang senang. Untuk membereskan masalahnya. Deni punya banyak anak buah yang siap disuruh-suruhnya untuk mengeroyok mukulin orang. Deni juga tidak percaya Tuhan, dia ogah beribadah, dia gak mengaku beragama. Panji Zoni juga mengapproach karakternya ini dengan akting yang membuatnya mirip tokoh jahat ala cerita gangster Jepang.
Film Tarung Sarung mengambil resiko besar membuat protagonis ceritanya orang yang begitu unlikeable seperti ini. Dia ini dibikin kayak antihero or something. Sehingga pada awal-awal cerita, memang susah bagi kita untuk ngikutin cerita ini. Aku gak merasa benar-benar peduli sama Deni. Apalagi karena dia dikelilingi oleh karakter-karakter konyol yang difungsikan untuk membalancekan tone. Menjadikannya lebih pop. Supaya kita merasa senang karena mereka lucu. Padahal malah semakin annoying. Aku awalnya malah ragu bagaimana elemen underdog bisa worked jika karakternya dibuat unlikeable. Tapi seiring berjalannya cerita, seiring kita semakin mengerti kemana arahan progres cerita, karakter Deni terasa semakin membaik. Development karakternya dalam durasi nyari dua jam ini begitu gede. Deni bukan semata berhasil membuat kita bersimpati, melainkan, he really earns it.
Kultur kedaerahan seperti tarung sarung itu sendiri, dan juga agama, dimainkan ke dalam formula cerita underdog tadi. Dengan satu lapisan lagi yakni lapisan fish-out-water. Inilah yang jadi pembentuk karakter Deni. Anak kota, yang percaya uang sebagai jalan keluar, yang jauh dari agama, yang main keroyokan, dibentrokkan ke dalam lingkungan yang lebih kekeluargaan, yang erat dalam keagamaan, yang menjunjung tinggi spiriatualis one-on-one. That’s the grand design dari karakterisasi Deni. Karakternya dibuat seperti demikian supaya bisa memuat makna kultur tarung sarung yang selaras dengan agama, dengan harapan supaya kita bisa ikut belajar bersama Deni. Buatku aspek yang menarik dari konteks ini adalah soal satu-lawan-satu dan pencerahan Deni terhadap agamanya. Dalam beladiri tarung sarung, mau tak mau Deni memang harus satu lawan satu dengan lawan di dalam sarung. Dan bagaimana sarung juga merupakan atribut ibadah, yang dipakai saat Deni berkomunikasi one-on-one dengan sang Pencipta. Ada koneksi di sini. Yang dapat kita lihat dijadikan solusi oleh Deni pada adegan final fight yang cukup nyeremin itu.

Satu-lawan-satu dalam berantem actually lebih terhormat dibandingkan keroyokan. Karena benar-benar mengetes keberanian saat kita menatap langsung mata musuh. Apalagi jika berada dalam satu tempat yang dekat, seperti dalam ring atau malah rentang satu sarung. Keberanian inilah yang harus dipelajari oleh Deni; keberanian yang akan mengantarkannya kepada keikhlasan. Dan cara terjitu membuktikanny adalah dengan belajar sholat. Karena saat beribadah, Deni akan di dalam sarung sendirian, mata-ke-mata dengan Allah.

 
To address the elephant in the room; ya film ini jelas sekali terinspirasi oleh The Karate Kid (1984). Nama lengkap Deni aja Deni Russo, throwback ke protagonis The Karate Kid yang bernama Daniel LaRusso. Tahap-tahap latihan beladirinya juga mirip, Yayan Ruhian jadi ‘Mr.Miyagi’nya di sini. Nyuruh Deni nepok nyamuk dan beresin sendal mesjid pakai kaki sebagai bentuk latihan yang tak Deni sadari. In fact, film Tarung Sarung ini menjadi meta tatkala Deni dan Tenri (love interestnya) melihat poster film The Karater Kid. Mereka berdua mengenali film tersebut, bicara tentangnya, Deni malah menyebut dirinya taunya cuma Karate Kid versi remake dan suka sama film tersebut. Dengan begitu, gak masalah bagiku film ini punya elemen cerita dan beat yang The Karate Kid, toh filmnya sendiri embrace it.  Hanya saja, menurutku film ini melewatkan kesempatan untuk bermain lebih jauh dalam ranah meta tersebut. Karena kan aneh, karakternya tahu film Karate Kid, tapi gak nyebutin apa-apa soal kejadian yang ia lalui persis sama dengan film itu. Menurutku film ini mestinya bisa have fun lagi, totally bermain di ranah meta alias bikin self-aware aja. Daripada menyebutkan/menampilkan sekilas yang malah jadi kayak sebagai alasan aja.

Like, “tuh lihat kami nampilin poster Karate Kid, jadi ya kami memang sengaja kok nyamain ama film ini”

 
 
Memang, ada beberapa titik dalam film ini yang masih bisa diperbaiki penuturannya, atau ditambah eksplorasi penulisannya. Misalnya adegan opening di bar yang sempat kusinggung sekilas. Di opening ini tidak langsung kelihatan bahwa tokoh utama cerita adalah cowok yang ngeroyok orang yang udah minta maaf. Deni malah tampak seperti penjahat. Apalagi karena momen pembuka film ini exactly adalah nampilin karakter yang ternyata bukan siapa-siapa di cerita sedang nonton liputan kompetisi tarung sarung di handphonenya. Adegan nonton itu tidak perlu, karena pertama bukan tokoh utama cerita yang nonton. Kedua karena penjelasan tentang tarung sarung toh akan diulangi kembali saat Deni baru tau dan ingin berlatih. Jadi, adegan penjelasan di opening itu redundant. Untuk memperkenalkan tarung sarung early (within 10 minutes) kepada kita sebenarnya bisa dilakukan saat adegan Deni nonton televisi di rumahnya sebelum berangkat ke Makassar. Tinggal bikin saja Deni menonton tayangan liputan tersebut.
Penulisan film ini bisa di-improve lagi berikutnya pada berbagai adegan Deni diajarin prinsip dalam agama Islam. Meskipun memang setiap percakapan itu dibuat menggantung untuk Deni mempertimbangkannya di dalam hati, tapi tetap film terdengar ‘terlalu frontal berceramah’. Pengadeganan mestinya bisa dibuat lebih smooth lagi. Sebagai perbandingan, kita bisa lihat bagaimana film Ma Rainey’s Black Bottom (2021) menghandle tokoh utamanya yang juga jauh, tak percaya, dan bisa dibilang mengantagoniskan agama. Pencerahan yang datang kepada karakter dilakukan oleh film itu lewat lebih banyak gerakan kamera ketimbang dialog-dialog nasehat dari karakter lain. Sehingga film tersebut jadi lebih smooth dan less-menceramahi.
Dan terakhir, satu hal lagi yang mestinya bisa dikembangkan oleh film ini adalah penulisan terhadap karakter lawan utama si Deni. Yang kita tonton ini, karakter jahatnya, ya just that; jahat. Ambisius, nekat. Dan kasar. Dengan kata lain, masih satu dimensi. Padahal sudah ditetapkan bahwa tarung sarung itu kuat menyangkut soal harga diri. Si Sanrego jahat yang suka manggil Deni ‘Calabai’ itu tidak pernah benar-benar dibahas dorongan personalnya. Dia hanya ingin memperistri Tenri dan Deni jadi penghalang baginya – ini gak digali oleh film, melainkan Sanrego dibuat jahat aja. Makanya ketika konflik semakin memuncak; Sanrego menantang Deni melakukan Sigajang Laleng Lipa (tarung sarung versi hidup/mati pake badik), kita hanya melihatnya sebagai tindakan seorang loser. Padahal ada secercah emosional yang bisa digali karena Sanrego harga dirinya terluka.
 
 
With all being said, menurutku film ini cukup lumayan. Terutama sebagai drama. Karena perjalanan tokoh utamanya terasa sangat fulfilling, dan Deni benar-benar earned our respect dan simpati. Ada banyak layer pada cerita karakter ini. Keluarga, budaya, agama, bahkan lingkungan hidup. Padet banget. Dan semuanya berhasil diikat terarah oleh naskah. Karakter-karakter pendukung pun mendapat pengembangan, walaupuh beberapa difungsikan sebagai easy-fodder untuk dramatisasi. Tapi sebagian besar film ini terasa padat dan cukup berbobot. Dengan ‘hanya’ meninggalkan beberapa aspek yang mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi. Dari segi aksi, yang kurang adalah kamera worknya; kurang bisa menonjolkan keunikan dari bertarung dalam sarung karena treatmentnya masih serupa sama adegan berantem biasa. Soal kemiripan dengan The Karate Kid, yah film sudah ‘ngaku’, dan memang formula cerita kompetisi begini sudah sering diulang-ulang karena formula ini sudah terbukti berhasil. Jadi aku cukup maklum. Lagipula latar film ini sudah cukup kuat sebagai identitas yang unik. Aku sedikit sayang aja film ini nyerah tayang di Netflix alih-alih bertahan nunggu tayang di bioskop.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for TARUNG SARUNG
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa formula underdog dalam cerita/film tentang kompetisi selalu berhasil dan disukai penonton?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

IQRO: MY UNIVERSE Review

“Finding a better way to live”

 

 

Semesta film Iqro: My Universe tampak seperti tempat yang lebih-baik untuk ditinggali. The girls here are kickin’ ass in a science fair! Periode cerita ini berlangsung memang tidak gamblang disebutkan, tapi kita semua bisa berharap dunia tempat tinggal Aqilla adalah masa depan yang baik yang enggak jauh-jauh amat dari dunia kita sekarang. Kenapa aku bilang masa depan? Karena di film ini kita melihat ilmu pengetahuan dan agama berjalan saling bersisian, saling dukung mendukung. Tidak ada yang ribut mempermasalahkan bentrokan ilmu agama dengan sains di lingkungan Aqilla. Sah-sah saja untuk anak perempuan, berhijab, pengen menjadi astronot. Aqilla tidak dicurigai pengen bikin bom ketika membuat roket. It seems like a perfect place to live.

Tapi sepengetahuan Aqilla, Bumi semakin rusak. Lewat narasi ia menceritakan keinginannya untuk menemukan planet hunian baru, yang lebih baik, supaya semua orang bisa pindah ke sana. Makanya Aqilla getol banget pengen jadi astronot beneran. Ia percaya dengan pindah, maka hidup akan menjadi lebih baik. Begitu ia menemukan lomba vlog berhadiah kunjungan ke pusat pelatihan astronot, Aqilla langsung semangat untuk ikutan. Tapi opa (kakek) Aqilla yang menginspirasinya menjadi astronot, tidak bisa diajak bikin vlog sebab beliau pindah bertugas ke Inggris. Hanya ada satu cara lagi supaya Aqilla bisa terpilih. Yakni membuat vlog bersama astronot wanita Indonesia, Tsurayya. Aqilla bekerja keras supaya mendapat approval dari Tsurayya, hingga berdampak ke prestasinya sekolah. Aqilla tidak peduli. Dia harus menang supaya impiannya jadi astronot yang menemukan tempat tinggal baru bisa terwujud, sekaligus mengalahkan saingannya di sekolah. Cita-cita memang harus tinggi, tapi Aqilla terlalu sibuk sama hal-hal yang jauh di atas, sehingga melupakan hal yang lebih penting, yang berada lebih dekat di darat.

Aku enggak nonton film Iqro yang pertama, tapi kupikir film itu pastilah banyak diminati sehingga cerita anak-anak ini dibuatkan sekuelnya. Dan dari apa yang kulihat pada film kedua ini, Iqro bisa jadi memang semesta khusus film-film yang baik. Film ini akan mengajarkan kepada anak-anak seperti Aqilla untuk berani mengejar cita-cita. Iqro: My Universe juga bekerja dalam level spiritual alias rohani, karena apa yang tampak di luar sebagai cerita anak yang ingin menjadi astronot supaya bisa mencari planet yang lebih baik sebenarnya berbicara tentang fenomena khas yang relevan dengan pemeluk agama Islam sekarang ini; soal hijrah. Kendati begitu, film ini juga tidak serta mengekslusifkan diri. Sutradara Iqbal Alfajri membahas hijrah dalam konteks yang universal. Film simply menyebutnya sebagai pindah, dan selain Aqilla kita mendapat dua contoh kasus hijrah lagi yang paralel dan mendukung sebagai pembelajaran ‘pindah’ yang diinginkan oleh Aqilla. Pertama, subplot si opa yang pindah ke Inggris yang menurut Aqilla meninggalkan dirinya, yang kemudian si opa dihadapkan pada pilihan untuk kembali ke negara yang lebih membutuhkan atau tetap di sana. Kedua, subplot kerabat Aqilla yang baru saja pindah dari desa ke kota, yang bakal harus memilih menjadi beban ayahnya dengan belajar di pesantren atau kembali ke desa.

Aqilla harus menyadari bahwa ini bukan soal mencari tempat yang lebih baik, melainkan membuat tempat tinggal menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang. Yaitu dengan melakukan kebaikan yang dimulai dari perbaikan sikap diri sendiri. Karena hijrah sesungguhnya adalah pergi meninggalkan yang buruk dan mendatangi yang baik-baik.

 

ketika kau ngajakin bikin vlog dan nyuruh narsumnya megangin kamera

 

Really, Aqilla’s story is not half bad. Tentu, lapisan terluarnya ditampilkan sebagai cerita hubungan anak dengan mentor yang lebih tua, yang ‘galak’, tapi toh paling tidak hubungan utama cerita ini bertumpu pada pasangan yang tak-biasa; seorang anak dengan astronot wanita. Paling enggak, ini menceritakan dunia astronot yang tidak semua orang tau. Atau malah mau peduli untuk mencari tahu. Ada banyak hal yang mestinya bisa digali dan diintegralkan dengan gagasan cerita. Momen-momen seperti Aqilla latihan ala astronot; berjalan di dalam air, running an errand mencari benda-benda yang penting untuk penelitian antariksa. Film harusnya lebih memperbanyak soal ini. Tapi sayangnya, film seperti tidak tahu apa yang mereka punya. Tokoh Aqilla sebenarnya tergambar menarik. Dia gigih, dia punya attitude yang mungkin membuatnya tampak sengak tapi cocok dengan pembelajaran yang bakal karakternya dapatkan. Aqilla kabur dari rumah, bohong sama ibu, hanya supaya bisa ketemuan sama Bu Tsurayya – padahal ini ceritanya lagi bulan puasa loh. Aku dulu waktu kecil sempat bercita-cita jadi astronot, dan melihat Aqilla di film ini aku malu sendiri tidak benar-benar serius mengejar cita-cita tersebut. Aisha Nurra Datau yang memerankannya juga gak ancur aktingnya. Dia seharusnya bisa menjadi salah satu ikon anak-anak jaman now. Pembuat film yang lebih kompeten akan mengeksplorasi relasi Aqilla dan Tsurayya habis-habisan, menantang Aisha untuk beradu akting dengan Maudy Koesnaedi dalam level yang berbeda.

Tapi film ini tidak melakukan apa-apa terhadap keunikan yang ia punya. Latar bulan puasa, budaya rohani tidak pernah benar-benar dicuatkan. Kita hanya melihat mereka berbuka dan makan sahur. Dan sesekali mengaji. Menyebutkan ayat-ayat yang dijadikan sumber perkembangan ilmu pengetahuan. Itupun dilakukan dengan paparan semata. Tidak ada arahan yang spesial digunakan untuk mengakomodir cerita yang unik ini.

Mentang-mentang judulnya Iqro (sepertinya lebih mengacu kepada kitab yang dibaca anak-anak pengajian alih-alih kata Iqra yang berarti bacalah), film ini diceritakan dengan sangat tekstual. Formula cerita dimainkan dengan standar; sedikit nilai plus ketika film berusaha semaksimal mungkin mengaitkan subplot-subplot – namun plot utama si Aqilla benar-benar biasa. Seperti membaca buku cetak pelajaran. Pengetahuan dan keilmuan astronot disebut begitu saja. Bayangkan melihat anak yang bersemangat berinteraksi dengan mentor yang sok cuek; seharusnya bisa mengasyikkan. Akan tetapi film malah memberi mereka dialog tentang penjelasan kegunaan bunga Chrysantemum dan zat-zat kimia. Jadinya membosankan. Dialog film ini memang sangat parah. Hampir seperti penulisnya tidak tahu bagaimana cara merangkai dialog yang menarik. Dialog dalam film sebaiknya – SEHARUSNYA – hanya digunakan antara untuk memajukan plot atau untuk menunjukkan karakter. Dialog dalam film ini jarang sekali berfungsi seperti demikian.

saking biasanya nonton film ini rasanya kayak naik roller coaster yang tak mampu membuat kita berteriak

 

Terlalu banyak dialog yang berisi eksposisi alias penjelasan yang enggak penting karena kita semua sudah tahu. Kayak dialog papa Aqilla menjelaskan ke mama soal pencurian barang-barang di museum. Literally yang diucapkan papa adalah ringkasan apa yang sudah kita lihat di adegan sebelumnya. Sungguh adegan yang mubazir. Kita sudah tahu apa yang terjadi, masing-masing kita sudah melihat kejadiannya dengan mata kepala sendiri, I mean, anak kecil yang nonton juga pasti ngerti sama kejadian tersebut – siapa yang bersalah, siapa yang nolongin, siapa yang enggak sengaja terlibat. Jadi kenapa harus ada dialog yang menginfokan rangkuman kejadian tersebut. Ini yang penonton kita apa mamanya Aqilla. Di menjelang pertengahan ada yang lebih parah dari itu. Aqilla buka puasa ke rumah kakaknya, mereka bertemu untuk pertama kalinya, dan dialog yang dimainkan oleh dua tokoh ini adalah… Aqilla menceritakan ulang semua kejadian yang sudah kita tonton hingga di titik itu. Ikut lomba vlog, opanya pergi ke Inggris, dia berusaha minta vlog kepada Tsurayya, empat puluh lima menit kejadian yang sudah kita saksikan dirangkum dalam percakapan Aqilla dengan kakaknya.

Ini juga menunjukkan betapa uselessnya tokoh Kak Raudah yang diperankan oleh finalis Gadsam Adhitya Putri. Dan dia bukan satu-satunya tokoh tak-berguna dalam film ini, yang ‘tugas’ mereka cuma nyampein satu ayat atau ngasih satu benda, dan kemudian hilang hingga akhir cerita. Menjelang tamat, kan ceritanya hari raya tuh, nah bahkan tokoh-tokoh ini gak muncul lagi ikut merayakan lebaran bersama Aqilla. Aku mengerti bahwa mungkin tokoh-tokoh tersebut ‘penting’ karena punya peran di film pertama, tapi ya jangan dipaksain muncul juga kalo gak mampu memberikan banyak fungsi untuk mereka. Pastilah ada cara yang lebih baik, sehubungan dengan pemanfaatan karakter, untuk ngasih Aqilla satu benda atau satu informasi. Cerita ini sebenarnya mampu berdiri sendiri, hanya saja film memilih untuk membuatnya tak-lepas dari film yang pertama dengan tetap memasukkan tokoh-tokoh yang sebenarnya tak penting.

 

 

 

Sungguh berat rasanya buatku menulis ulasan ini, karena filmnya sendiri sebenarnya tergolong film yang bergagasan baik. Yang punya nilai untuk ditonton oleh anak-anak dan keluarga. Tapi penggarapannya sangat standar. This movie was so text-book, it barely has a soul. Kualitas penulisannya di bawah rata-rata. Banyak karakter tapi dialognya hanya berupa eksposisi dan rangkuman kejadian. Sehingga mereka semua jadi mubazir tidak berguna. Film ini bicara tentang tidaklah apa-apa untuk berusaha menggapai bintang setinggi-tingginya, planet kalo perlu, sayangnya dirinya sendiri tidak bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Film ini membidik rendah, tidak meroket ke angkasa.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for IQRO: MY UNIVERSE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana sih pandangan kalian tentang hijrah? Apa pendapat kalian tentang tren hijrah yang marak dewasa ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.