“To leave home is to break your own heart.”
Pembahasan Best Picture kita berikutnya adalah film Belfast. Ditulis dan disutradarai oleh Kenneth Branagh, sebagai sebuah semi-otobiografi. Branagh di sini bercerita dari pengalaman masa kecilnya sendiri di kampung halaman, Belfast di Utara Irlandia, tercinta. Melihat sembilan nominasi yang lain, Belfast memang yang paling ‘berbeda’. Satu-satunya yang hitam-putih, satu-satunya yang karakter utama anak kecil, dan satu-satunya yang bercerita di bawah seratus menit. Tapi ini bukan berarti lantas Belfast jadi anak-bawang. Malah bisa jadi ini justru kuda hitam(-putih). Sebab menonton Belfast rasanya sarat sekali. Sudut pandang anak-anak tersebut ternyata mampu membuat ceritanya kaya dan penuh oleh perasaan, tanpa jadi overly-ribet.
Basically ini adalah cerita tentang anak kecil yang gak mau pindah dari kota kelahirannya.Buddy (newcomer Jude Hill menghidupkan karakter refleksi masa kecil pak sutradara), dalam opening film, sedang bermain-main di daerah dekat rumah. Sungguh kawasan yang akrab. Semua orang di sana saling kenal, saling menyapa. Buddy main ksatria-ksatriaan, melawan naga dengan pedang kayu dan penangkis dari tutup tempat-sampah. Tapi mendadak daerah tersebut rusuh. Imajinasi berantem-beranteman Buddy seketika berganti jadi kericuhan yang nyata. Buddy ada di tengah-tengah kawanan pemuda Protestan menghancurleburkan properti, menyasar komunitas Katolik yang di tinggal di situ. Penangkis mainan Buddy kini benar-benar jadi pelindung dari lemparan batu-batu besar. Buddy yang masih kecil, gak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Tidak benar-benar paham hubungan kejadian tersebut dengan tempat tinggalnya, dengan orangtuanya. Buddy cuma tahu satu. Dia gak mau pindah dari sana, karena di Belfast itulah ada kakek neneknya, ada teman-temannya, ada anak-perempuan yang ia sukai. Di Belfast itulah hidup dan hatinya.
Kenapa harus pindah itulah yang sebenarnya pelik. Film ini memotret cekcok dalam sejarah. Konflik antarpemuda dua agama, yang juga berkaitan dengan politik, yang actually berlangsung tigapuluh tahun lamanya. Dari film ini kita jadi tahu soal The Troubles itu, dan juga bahwa ternyata detektif Hercule Poirot era kita berasal dari Belfast dan menjadi salah satu dari sekian banyak penduduk sana yang terkena dampak harus bermigrasi mencari keselamatan. Jadi meskipun cerita ini sebenarnya sangat personal bagi Branagh, tapi Belfast punya muatan yang membuatnya tak sekadar sebuah memori masa kecil dan surat cinta untuk kota kelahiran. Tidak seperti Licorice Pizza (2022) yang just trip to memory lane, film ini punya konflik di dalamnya yang ternyata masih beresonansi kuat, masih relevan, dengan keadaan sekarang. Saat konflik-konflik keagamaan, konflik kependudukan masih terjadi. Kita mungkin sampai saat ini masih beruntung belum ngerti rasanya harus ninggalin rumah yang nyaman karena sekarang rumah tersebut berada dalam lingkaran target huru-hara, atau malah perang seperti Rusia-Ukraina. Kita bisa bersimpati pada rasa takut dan kesedihan dari naasnya, tapi tidak heartbreak yang lebih personal. Dan Belfast hadir dalam level yang lebih personal tersebut. Karena memang Branagh tidak membuat Belfast fantastis, ataupun overdramatis dengan gambaran tragedi. Melainkan tetap dalam ‘pandangan’ mata anak kecil yang belum bisa mencerna semuanya dengan benar. Branagh menekankan kepada komunitas atau kehidupan daerah tersebut
Daerah yang penduduknya constantly ribut memang sedikit ngingetin sama West Side Story (2022), tapi sebenarnya buatku, nonton film ini ada kesan yang mirip ama nonton Jojo Rabbit (2020). Karena elemen konflik dilihat dari sudut pandang anak tersebut. Di Belfast, si protagonis anak malah lebih ‘inosen’ lagi. Bagi Buddy masalah itu adalah bagaimana supaya nilai matematika bagus sehingga dia dipindah duduk ke barisan depan, sebelahan sama anak cewek berkepang dua yang manis itu. Bagaimana supaya kakeknya bisa sehat. Dan bagaimana supaya dia bisa ikut nenek nonton film di teater. Buddy aware ada kericuhan, ada orang yang terus nanyain ayahnya yang kerja di Inggris. Jika ayah pulang, Buddy sering juga menguping ayah bertengkar dengan ibu soal tinggal di tempat lain. Tapi semua masalah itu hanyalah ‘warna’ lain dalam kehidupan Buddy. Film fokus memperlihatkan komunitas yang akrab, mulai dari kebiasaan hidup orang-orangnya, hingga tentu saja ke bagaimana Buddy mengarungi hidupnya. Jadi nonton ini, rasanya seperti kita jadi turut jatuh cinta sama tempat tersebut, yang ultimately berarti kita peduli sama Buddy. Ada dramatic irony juga yang kita rasakan karena kita tahu ke mana cerita ini berujung. Dan kita benar-benar concern tentang bagaimana Buddy menangani akhir cerita nanti. Kita hanya bisa berharap cinta yang terus tumbuh seiring berjalannya hari itu gak berakhir menjadi patah-hati yang demikian besar.
Kehidupan sehar-hari jadi fokus, sehingga film ini berjalan agak seperti ngalor-ngidul. Seperti ‘kelemahan’ yang biasa terasa dalam cerita-cerita slice of life. Sudut pandang tersebut dibuat Branagh semakin menarik lagi dengan menggunakan charm komedi ala british sebagai warna lain dalam narasi. Again, membuatku semakin mendekatkan film ini sama Jojo Rabbit. Namun dalam komedi pun, Belfast tidak pernah menjadi sebombastis itu. Tone tetap dijaga sederhana oleh Branagh. Kesannya film ini jadi serius tapi santai. Kejenakaan sebagian besar datang dari tindakan Buddy, seperti misalnya ketika dia ikut menjarah toko, tapi yang diambilnya cuma ‘satu benda itu’. Naskah pun lantas meluncurkan nasihat-nasihat, petuah-petuah lewat karakter yang menyingkapi tindakan Buddy. Salah satu relationship paling hangat dan menghidupkan cerita adalah antara Buddy dengan kakeknya. Dialognya dapat terdengar agak wordy, tapi seperti Buddy kita ikut duduk di sana mendengarkan dan membayangkan setiap kata yang terucap.
Pindah memang bukan hal sepele. Entah itu untuk mencari kesempatan yang lebih baik, atau untuk mendapatkan keamanan, pindah berarti akan ada yang berubah di dalam hidup. Akan ada yang ditinggalkan. Akan ada hal baru yang harus diterima dan disesuaikan. Orang dewasa saja banyak yang gak siap dengan kepindahan. Apalagi anak kecil seperti Buddy. Film ini menelisik efek kepindahan tersebut, mampu mengubah jalan hidup banyak orang, despite kepindahan tersebut diperlukan atau tidak.
Dengan banyak ‘warna’ dalam penceritaan, maka penggunaan warna hitam putih untuk tampilan film jadi kontras yang membuat kita ‘hmmm, berarti ada maknanya..’ Hitam putih di sini jadi gak pretentious kayak film C’mon C’mon (yang juga ada karakter anak kecilnya) yang sampai sekarang aku belum review karena aku masih berkutat mikirin alasan yang bagus kenapa film tersebut dibuat dengan hitam putih. Dalam Belfast ini, penggunaan hitam putih itu sendiri aja punya banyak lapisan alasan. Pertama, kita bisa memaknainya sebagai kontras tadi; kontras antara saratnya bahasan dan elemen bercerita yang semuanya ditampilkan lewat sudut pandang kepolosan anak-anak. Kedua, hitam putih ini adalah penanda waktu 1969 yang jadi panggung utama cerita. Film actually menggunakan gambar berwarna ketika memperlihatkan Belfast modern di awal dan akhir durasi. Jadi perbandingan Belfast di dua periode itu nyata ke kita. Sekaligus menguatkan cerita ini adalah flashback memori. Alasan ketiga adalah yang paling menarik. Karena sebenarnya film juga menggunakan adegan berwarna saat nunjukin film-film atau pertunjukan yang ditonton oleh Buddy dan keluarganya.
Dan aku harus bilang, Buddy yang suka nonton ini membuat cerita terasa jadi lebih relate lagi. Di rumah, Buddy nonton serial Star Trek. Di bioskop, Buddy dan keluarga nonton film-film koboi dan film musikal kayak Chitty Chitty Bang Bang. Tontonan yang membuat keluarga mereka ceria, Buddy benar-benar menikmati waktunya saat menonton. Keluarga Buddy sepertinya sama ama kita, menonton sebagai eskapis. Dengan memberi gambar berwarna kepada tontonan-tontonan tersebut, maka film seperti menyimbolkan harapan buat hidup/kenangan hitam-putih Buddy (atau kita bisa bilang Branagh). You know, seolah Branagh ingin bilang bahwa di masa itu film sudah menjadi harapan baginya.
Secara pesan, film ini sebenarnya sudah terangkum lewat tiga kalimat yang muncul di akhir cerita. Tapi Branagh menawarkan lebih banyak lagi. Kekurangan Belfast cuma tensi. Slice of life ini gak bisa mempertahankan atau membangun tensi, karena sudut pandang anak yang melihat semuanya sebagai ‘just another thing happening’. Di satu momen mungkin kita ikut merasa ngeri saat kamera menghantarkan kita menuju Buddy yang menguping orangtuanya berdebat dari balik jendela, namun momen berikutnya permasalahan itu menguap dari Buddy yang kali ini melihat orangtuanya menarik bak aktor dalam film yang ia tonton. Tapi jika dipikir lagi, ‘kekurangan’ bukanlah sebuah kesalahan, karena memang seperti demikianlah Branagh maunya. Bahwa dia merancang ceritanya untuk berjalan seperti demikian. Karena mungkin itulah yang ia rasakan saat kecil dulu. Enggak benar-benar mengerti masalah ‘orang dewasa’, semuanya just goes by, hingga akhirnya baru kerasa saat dia harus meninggalkan semua.
Sebagai projek yang sepertinya paling personal yang pernah ia tangani, film ini berhasil dibuat oleh Branagh melebihi target. Enggak sekadar untuk memori. Enggak cuma berbagi pengalaman masa lalu. Personalnya film ini begitu kuat, mengakar menjadi identitas yang bakal mencuatkan film ini di antara yang lain. Branagh membawakan kepada kita kisah kehidupan yang manis-manis pahit, yang senang-senang susah. Pengalaman hidup yang begitu kaya. Dan teramat beresonansi dengan keadaan hidup sekarang. Film ini termasuk yang paling ringan dan yang paling singkat di antara nominasi Best Picture Oscar 2022, tapi merupakan pesaing yang kuat soal urusan urgensi dan kepentingan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BELFAST.
That’s all we have for now
Sedikit OOT, sistem nilai di sekolah Buddy yang mendudukkan murid di kursi sesuai dengan nilai mereka cukup unik atau cukup militan, tergantung dari bagaimana kita memandangnya. Bagaimana pendapat kalian tentang sistem tersebut?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA