GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO Review

 

“Obedience keeps the rule, Love knows when to break them”

 

 

“Pure magic.” Begitu kata Stephen King buat Pinocchio versi Guillermo del Toro. Komentar yang bukan sekadar basa-basi promosi dari pengarang misteri dan fantasi hebat ke pengarang misteri dan fantasi hebat satunya. Pinokio si boneka kayu selalu punya tempat di hatiku, karena itulah salah satu dongeng pertama yang pernah aku dengar. Nino bobo ku waktu kecil adalah kaset sandiwara Pinokio versi Indonesia yang jadul itu. Gedean dikit, aku dikasih VCD Pinokio Ateng & Iskak. Baru, lama setelah itu, aku baru nonton Pinokio versi animasi Disney klasik. Petualangan Pinokio yang gak boleh bohong, bolos sekolah ke negeri nikmat, kemudian menari-nari di dalam perut ikan paus, benar-benar tertanam jadi khayalan menarik bagiku, karena waktu kecil aku termasuk anak yang males sekolah hehe.. Jadi Pinokio semacam pengingatku untuk menjadi lebih baik. Karena nonton berbagai macam versi Pinokio itulah, aku bisa mengonfirmasi, komentar King tadi benar adanya. Selain pure magic, Pinocchio punya del Toro adalah versi terbaik karena dia ngasih sesuatu yang vibe dongeng klasiknya kuat, sekaligus juga menghadirkan elemen baru – sesuatu yang lebih! untuk kita pikirkan.

Dan aku senang dengan kehadiran Pinocchio yang ini. Soalnya belum lama ini kan, Disney ngeluarin versi live-action dari animasi Pinocchio klasik mereka. Disney pengen ngebalikin pesan yang ada dari dongengnya. Bukan lagi soal Pinokio berusaha menjadi lebih baik (menjadi anak manusia) tapi jadi soal dunia-lah yang harus menerima Pinokio sebagai boneka kayu, sementara si Pino gak perlu berubah. Pinokio yang kukenal, yang kujadikan panutan untuk jadi anak yang sedikit lebih baik tatkala merasa malas sekolah, jadi berasa soulless. Disney sok-sok mau ngubah cerita Pinokio jadi ‘kekinian’, tapi failed. Untungnya, cerita Pinokio direset kembali oleh kehadiran versi Guillermo Del Toro ini. Dikembalikan ke state klasik, namun dengan muatan modern yang dilakukan dengan jauh lebih baik.  Di animasi stop-motion ini, Pinokio tetep harus belajar jadi lebih baik, dan begitupun juga dengan dunia sekitarnya harus belajar memperlakukan Pinokio – someone yang berbeda – dengan lebih baik.

Mamam tuh, Disney!!

 

Guillermo del Toro bukan saja dengan sukses merebut kembali dongeng si boneka kayu dari cengkeraman kapitalis sok woke, beliau juga berhasil membuat film ini seperti miliknya sendiri. Panggung fantasi Pinokio dibawanya ke timeline signature dirinya, ke masa-masa perang. Pinokio kini juga seperti Ophelia dan banyak lagi karakter dalam film del Toro; anak yang mengarungi hidup dalam periode perang. Dongeng ini jadi slightly darker, tapi bukankah dongeng-dongeng anak memang selalu punya akar atau origin yang kelam seperti itu? Anyway, cita rasa khas tersebut sudah dihadirkan del Toro sejak menit pembuka. Instantly kita langsung tahu bahwa ini Pinokio yang sama, tapi juga berbeda. Di film ini, Pinokio tidak dibuat dengan cinta. Melainkan oleh rasa marah, sedih, duka yang melebur jadi satu. Geppetto (disuarakan oleh David Bradley dengan penuh range emosi) kehilangan anak semata wayang, keluarga satu-satunya, akibat perang. Kita melihat pak tua itu mabuk-mabukan di dekat kuburan anaknya dari perspektif Sebastian Cricket (kepentingan karakter jangkrik yang disuarakan Ewan McGregor sebagai narator lebih kelihatan di film ini) yang nangkring di dalam pohon pinus. Dalam galaunya, Geppetto menebang pohon itu, memotong-motongnya, serabutan membuat boneka dari kayu-kayu itu. Ketika spirit hutan menghidupkan boneka asal-asalan tersebut – sambil menugasi si jangkrik yang hidup dalam bolongan kayu yang kini ada di dada si boneka untuk jadi ‘hati nurani’ – Geppetto tidak melihatnya sebagai anugerah. Dia hanya melihat Carlo, anaknya. Jadilah, Pinokio di cerita ini bertualang menghadapi mulai dari sirkus boneka hingga monster laut, bukan untuk menjadi anak manusia, melainkan jadi seperti anak Geppetto yang tiada.

Enggak perlu animasi mentereng ‘seolah-nyata’, film ini tahu bahwa animasi hanyalah medium bercerita. Dan itulah yang digunakannya semaksimal mungkin untuk membuat  cerita ini layaknya dongeng yang magis. Animasi stop-motion yang ditampilkan tampak fluid dan cocok dengan estetik fantasi yang dihadirkan. Karakter manusianya unik-unik, ada kesan grounded sekaligus ‘masuk akal’ bagi kita di dunia mereka ada hewan-hewan yang bisa bicara atau bertingkah kayak manusia. Satu lagi elemen yang gak ada di versi sebelumnya adalah dunia cerita yang kali ini, menyandingkan fantasi (spirit) dengan agama. Pinokionya bahkan dibikin kayak ‘paralel’ dengan Yesus. Sama-sama dibuat dari kayu, sama-sama putra yang harus menjawab sang ayah, malah ada dialog Pinokio yang menyebut “Dia sama seperti saya, tapi kenapa saya dibenci dan dia disembah” saat melihat ibadat di gereja,  Khususnya memang, aku suka desain si Pinokio.  Walaupun cuma kayu yang kasarnya kayak diukir dan dirangkai susun kayak ngasal, tapi nyatanya karakter ini begitu ‘hidup’. Matanya gak kosong kayak Pinokio versi live action Disney. Buktinya, kita benar-benar bisa membedakan dari matanya mana Pinokio saat hidup dengan dia saat cuma boneka. Dan itu hanya bisa tercapai karena karakter ini benar-benar dikasih personality. Bukan sekadar boneka polos. Mulai dari adegan-adegan dia bernyanyi, merusak barang di rumah penuh keingintahuan, nekat kerja di sirkus supaya ayahnya punya duit, film terus berusaha ngasih sesuatu yang membuat Pinokio ini punya spark. Suara Gregory Mann yang anak-anak banget pun menambah banyak dalam membuat karakter ini begitu likeable, apalagi permasalahan dia relate buat penonton yang pernah ngalamin berjuang memenuhi ekspektasi orangtua.

Paham modern yang diangkat del Toro dalam cerita yang aslinya tentang boneka yang pengen jadi anak manusia adalah soal seperti apa sih sebenarnya anak yang baik itu. Multiple perspective dilakukan oleh film sehingga kita bisa melihat gimana contoh hubungan anak dan orangtua dapat menjadi tidak sehat lantaran orangtua, dalam film ini sosok ayah, terlalu maksain keinginan.  Seperti Geppetto yang ingin Pinokio jadi Carlo. Ataupun karakter bernama Podesta yang mewajibkan anaknya jadi tentara ke medan perang. Anak-anak memang harus patuh kepada orangtua, tapi itu bukan lantas berarti harus membuang siapa diri mereka sebenarnya. Itu bukan lagi cinta, melainkan tak ubahnya aturan militer.

 

Apa yang dilakukan film ini terhadap Negeri Nikmat, aku juga suka banget. Jika di Pinokio yang dulu kita melihat anak-anak nakal bermain sepuasnya, manjat-manjat, lari-lari, tertawa-tawa, maka film kali ini mengganti bagian tersebut dengan anak-anak yang memanjat dan berlari-lari menyelesaikan tantangan ketangkasan di tempat latihan militer. Anak-anak ini, termasuk Pinokio, disuruh jadi tentara sejak dini. Harus disiplin dan segala macem. Sekilas ini tampak sungguh berkebalikan dengan Negeri Nikmati dan Pinokio jadul, tapi kalo disimak ternyata efeknya sama. Anak-anak yang nakal sama tidak baiknya dengan anak-anak yang patuh tapi kaku. Apalagi jika itu di luar kemauannya sendiri seperti karakter Candlewick, atau anak yang sama sekali tidak mengerti yang ia lakukan kecuali buat nyenengin orangtua seperti Pinokio yang antusias bilang “I love war!” meskipun kita tahu boneka kemaren sore seperti dia tahu apa soal perang. Image anak-anak yang disuruh pakai topeng gas saat berperang itu pun eerily mirip sama anak-anak di Negeri Nikmat yang jadi keledai. Mereka udah bukan anak-anak lagi, intinya.

And also, tentara berarti sama aja ama keledai, sama-sama dicolok hidungnya buat ngikut perintah sang tuan.

 

Dua hal, sebenarnya, yang bikin aku was-was. Yang pada awalnya bikin aku gak yakin sama keputusan film ini. Yang membuatku berpikir “tidakkah ini melemahkan kepada karakternya?”. Pertama adalah soal Pinokio di sini dibikin tidak bisa mati, tapi dia ‘bisa’ mati. Nah lo, bingung kan? Jadi, Pinokio bakal ngalamin kejadian yang membuat dia bakal mati kalo dia adalah manusia beneran.  Tapi karena si Pinokio bukan manusia, jadi setiap kali dia ngalamin mati, dia hanya masuk other realm, tempat saudaranya si Spirit Hutan yang memberi dia hidup.  Pinokio tinggal menunggu waktu (yang semakin lama, semakin panjang) untuk bisa kembali ke dunia. Awalnya kupikir ini meniadakan stake. Pinokio jadi tidak perlu takut gagal atau mati, dia tinggal nunggu dan balik lagi. Kupikir ini cuma cara film memindahkan Pinokio ke dalam situasi lain. Tapi ternyata ini deep juga. Dimanfaatkan untuk hook emosional di akhir. Ternyata ini cara film untuk membuat Pinokio ‘ada kerjaan’. Supaya Pinokio bisa punya pilihan. Karena kalo dia mau jadi anak manusia, berarti dia akan kehilangan ability tidak bisa mati. Dan dia nanti memilih ini demi menyelamatkan orang yang ia sayangi ketika mereka semua dalam bahaya yang berhubungan dengan gencetan waktu.

Hal kedua yaitu soal hidung Pinokio. Jujur pas ngeliat adegan Pinokio gunain hidungnya untuk keluar dari masalah, aku bengong. Aku sudah percaya film ini lebih baik dari versi live-action Disney. Tapi kemudian mereka melakukan hal yang sama dengan Pinokio versi tersebut. Mengapprove menggunakan kebohongan untuk menyelamatkan diri. Aku mikir panjang setelah nonton, like, kenapa film malah ngelakuin ‘kesalahan’ yang sama di menit-menit terakhir. Ternyata jawabannya simpel. Dan adegan tersebut sama sekali tidak melemahkan film ini. Perbedaan mendasar adegan itu di antara kedua film adalah, di Pinokio del Toro, usulan berbohong supaya idung panjang Pinokio bisa digunakan untuk selamat bukan berasal dari Pinokio itu sendiri. Sekali lagi, Pinokio diberikan waktu untuk mengambil keputusan sesuai dengan konteks pembelajaran karakternya. Pinokio akhirnya memutuskan untuk mengikuti usulan tersebut, selain demi keselamatan, juga karena itulah bentuk dari pembelajaran yang ia alami. Bahwa cinta kepada orangtua berarti juga siap untuk melanggar aturan. Pinokio walau wujudnya kayu tapi hatinya belajar untuk jadi manusia tulen, karena ia akhirnya mampu mengenali cinta dengan tulus, dia tidak lagi blindly following love. Tinggal Geppetto (dan para orangtua) yang  masih harus belajar mencintai tanpa ada aturan yang mengharapkan seseorang harus menjadi seperti apa.

 

 




Jika diurut, certainly, versi del Toro ini adalah yang terbaik dari Pinokio-Pinokio yang kutonton. Gagasan cerita lamanya masih ada, tapi juga ditambah dengan gagasan baru yang akhirnya jadi saling menambah satu sama lain. Menghasilkan pengalaman nonton yang magical sekaligus menyentuh. Cerita tentang hubungan anak dengan orangtua yang kental nuansa fantasi. Nyanyian-nyanyiannya pun gak kalah asik dengan versi Disney. Elemen yang lebih kelam soal kematian dan perang dan bahkan di balik bisnis sirkus/hiburan tidak pernah memperibet cerita. Melainkan justru menambah kaya perspektif. Kekuatan utama film ini setelah penceritaan, memang karakter-karakter. Yang punya personality kuat. Pinokionya beneran jenaka dan extremely loveable. Ada beberapa momen yang bikin aku sempat meragukan, tapi film ini berhasil kelar dengan gemilang. Guillermo del Toro really owns this. Sekali lagi. Mamam tuh, Disney!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian soal disiplin terhadap anak? Bagaimana supaya tidak terlalu ‘militer’ seperti yang dilakukan salah satu karakter ayah pada film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ISLE OF DOGS Review

“Be mindful of what you throw away…”

 

 

 

Dendam kesumat sejak sebelum Jaman Kepatuhan itu masih membara. Walikota korup kota Megasaki, Jepang, Mr. Kobayashi yang antipati sama anjing, memprogandakan untuk membuang seluruh anggota spesies tersebut ke luar pulau. Mengasingkan mereka bersama sampah-sampah yang tak diinginkan. Anjing-anjing itu kudisan, kotor, membawa penyakit menular yang bisa membahayakan manusia.  Begitu katanya, menggunakan ketakutan untuk mengendalikan paham penduduk. Kampanyenya sukses, sekarang Megasaki bersih dari anjing, baik anjing terawat dipelihara maupun yang kutuan. Mereka semua numplek tinggal di pulau terasing, mengais sisa-sisa untuk makanan. Tidak ada majikan yang menjemput atau sekedar mencari mereka. Kecuali satu anak bernama Atari yang nekat ngemudiin pesawat demi mencari anjing penjaganya tersayang, Spots. Pesawatnya jatuh. Atari mendarat darurat, in sense sukur dia masih hidup, di tengah-tengah pulau, di mana lima ekor anjing berembuk untuk setuju menemani Atari mencari Spots yang sudah lama tak terlihat lagi di pulau tersebut.

Jika kita punya cinta, dan membuat suatu karya dengan benar-benar menyalurkan rasa cinta tersebut ke dalamnya, maka kita akan mendapati hasil yang kurang lebih sama dengan Isle of Dogs. Lewat animasi stop-motion ini terasa sekali desah nafas kecintaan sutradara Wes Anderson terhadap Jepang dengan segala kebudayaannya. Dan tentu saja terhadap anjing.

“Isle of Dogs” kalo diucapkan cepet-cepet maka akan terdengar seperti “I love dogs”

 

Wes Anderson membangun dunia Jepang masa depan dari apa yang ia tahu dan membuatnya anjing menjadi pusat dari semesta. Kalo boleh dibilang aku lebih ke cat-person ketimbang penyinta anjing, like aku barely bisa menahan kakiku untuk tidak mengambil langkah seribu setiap kali denger gonggongan.  tapi film ini tidak membuatku merasa harus ikut mengambil pihak – aku tidak merasa harus setuju sama rencana klan Kobayashi yang ingin membuat Jepang sebagai surga kucing alih-alih anjing. Karena pada anjinglah film ini meletakkan hatinya.

Binatang peliharaan bukan sekadar barang atau mainan yang bisa kita buang sekena hati, mereka tak kurang sebagai bagian dari keluarga

 

Film membuat keputusan aneh berupa hanya tokoh-tokoh anjinglah yang selalu berbahasa inggris, dengan tujuan supaya kita mengerti sudut pandang mereka. Animasi hewan-hewan ini pun tampak ter-render dengan sangat menakjubkan. Bulu-bulu kusut itu, para anjing memang tampak kotor, tapi kita tidak terhalangi untuk menyelami mereka dengan lebih jauh.  Animasi 3D computer memang semakin pesat lewat teknologi-teknologi yang hanya bisa kita bayangkan, tapi gambar-gambar tangan dan animasi stop-motion akan selalu dapat tempat di hati kita semua. Melihat film ini tak urung membuat kita meresapi dan mengapresiasi betapa kerasnya kerja yang dilakukan oleh pembuat film untuk membuat semua tampak hidup. Salah satu ciri khas Anderson adalah bagaimana dia mengomposisikan gambar-gambar indahnya dengan begitu simeris. Shot-shot dalam film ini tampak seimbang, salah satu yang paling bikin aku melotot adalah adegan ketika salah satu anjing melihat bayangan anjing tak dikenal, yang tak bisa ia cium baunya, dari kejauhan. Pada stop-motion khususnya, ada keindahan yang mencuat di balik adegan-adegan gerak yang kasar. Seperti anjing-anjing itu sendiri, tampak galak, tapi mereka makhluk yang tak kalah gentlenya di dalam.

Penokohannya dibuat dengan sangat menarik. Lima anjing yang menemani Atari bertindak sebagai guide yang akan menghantarkan kita kepada urat-urat drama dan komedi  dan bahkan paparan mengenai bagaimana aturan pulau sampah itu bekerja. Talenta seperti Edward Norton, Bill Murray, Jeff Goldblum, tentu saja hanya akan membantu kita dapat dengan segera terattach sama hewan-hewan tersebut. Adalah keajaiban dari animasi film ini membuat setiap tokoh hewan tampak seperti punya kemiripan dengan aktor yang menyuarakan. Ada keakraban yang kita rasakan ketika kalimat ‘gonggongan’ masing-masing anjing  seperti benar-benar dituliskan khusus sesuai dengan kharisma dan cara bicara aktornya. Anderson nyaris seperti menyerahkan persona publik dari para aktor untuk merasuk ke dalam dialog, membuatnya terasa seperti otentik. It’s like we’re watching the fantasy version of the actor; enggak mungkin kita salah menebak yang nyuarain Nutmeg adalah Scarlett Johansson.

jadi, pertanyaan ‘who let the dogs out?’ sudah terjawab kan ya? Iya kan!?

 

Dari kelima anjing yang masing-masing mempunyai nama sinonim dari pemimpin, ada satu yang paling berbeda dari yang lain. Ia tidak dibesarkan dalam pemeliharaan manusia. Ia sedari awal memang ‘hanya’ anjing jalanan. Tapi si Chief ini, punya latar belakang paling menarik sehubungan sikapnya yang menolak untuk jadi peliharaan. Chief actually adalah tokoh yang paling mendekati tokoh utama pada film ini. Performa Bryan Cranston benar-benar highlight, membuat kita bersimpati kepada Chief meskipun tokoh ini yang paling angkuh. Dia lebih memilih makan sampah ketimbang biskuit anjing, bayangkan coba. “I bite” ancamnya kepada manusia yang ingin membelainya. Tentu saja, dalam sebuah naskah yang digarap seksama, arc akan dibuat melingkar seperti anjing yang mengejar sendiri ekornya. Chief lah yang actually menjadi anjing yang paling dekar dengan Atari. Perkembangan tokoh Chief ini akan sangat memuaskan.

Lebih  mudah bagi kita untuk membuang jauh-jauh, sama sekali tidak mau berurusan dengan, sesuatu yang kita pikir kita tidak suka. Memang, itu adalah pilihan kita. Yang perlu diingat adalah since it was an option, kita tidak bisa memaksakan kepada orang lain untuk memilih keputusan yang sama. Hidup adalah berdampingan, ada yang kita suka – ada yang tidak kita suka. Jika kita cukup kuat untuk melakukan sesuatu di luar pilihan itu; daripada menghabiskan tenaga mengenyahkan, menggebah orang untuk turut membenci, bukankah alangkah baiknya untuk kita mencoba melihatnya dari sudut yang lain.

 

 

Keputusan aneh yang membuat kita begitu dekat dengan tokoh-tokoh berkaki empat, however, terasa ganjil begitu kita mencoba untuk menyelami tokoh manusianya. Atari, Kobayashi, Yoko dan si ilmuwan pecinta anjing, mereka sayangnya tampak satu-dimensi karena kita yang tidak bisa berbahasa Jepang, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ada batasan emosi yang bisa dideliver hanya dengan animasi. Dalam gaya penceritaan film ini, terkadang dialog manusia mendapat translasi lewat terjemahan berita atau diucapkan oleh seorang tokoh pelajar yang berasal dari luar negeri. Tapinya lagi, sebagian besar dari dialog yang bisa kita mengerti itu berupa eksposisi. Tokoh pelajar asing tadi, arcnya bahkan tampak tak begitu berguna, dia berusaha menyadarkan orang-orang Jepang bahwa anjing adalah sahabat terbaik manusia – ia adalah perwujudan perjuangan dari pihak manusia, hanya saja tidak begitu berdampak pada progresi cerita. Malahan, tokoh yang disuarakan oleh Greta Gerwig ini banyak diprotes oleh kritikus lantaran dianggap sebagai projeksi dari white-washing; bahwa setelah semua yang terjadi, orang kulit putihlah yang menjadi penyelamat.

Sejumlah bobot suspens mengisi durasi cerita yang berjalan dengan pace yang nyaris stabil. Musik dan visual bekerja bahu membahu, membangun adegan-adegan yang riveting. Hanya saja kebutuhan untuk tampil penuh style, sekali lagi gaya bercerita yang dilakukan oleh film, membuat cerita ini semakin timpang lagi. Ada banyak flashback yang dipakai, untuk mengakomodasi backstory beberapa karakter, yang melukai pacing – membuat cerita berjalan semakin lambat. Maju ceritanya jadi semacam terhambat karena kita harus melihat flashback dulu, kilasan balik yang kadang juga tak menyampaikan sesuatu yang paralel dengan cerita. Kalo bukan karena musik dan animasinya yang menarik minat, mungkin aku sudah tertidur begitu mencapai babak kedua.

 

 

 

 

Animasi yang menawan, pencapaian film ini regarding visual benar-benar luar biasa. Kerja keras itu terbayarkan dalam setiap frame. Para aktor membuat dongeng ini hidup, karakter-karakter anjingnya mencuat kuat. Mengangkat tema yang dewasa seputar apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap hal yang tidak kita cinta. Aku selalu senang menonton animasi yang tidak kelewat bego dan actually punya sesuatu di baliknya. Sayangnya, cerita film ini tampil sedikit timpang. Tokoh manusianya tidak terflesh out sebaik tokoh hewan. Pacingnya sedikit goyah oleh penggunaan flashback, tapi kupikir lagi, bisa saja ini masalah minor yang bisa kita overlook saat menonton film ini untuk kedua kalinya. Karena yang dibangun oleh Wes Anderson di sini adalah dunia fantasi yang bergerak dalam konsep dan konteksnya tersendiri.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ISLE OF DOGS.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017